Você está na página 1de 12

BAB I

Pendahuluan

11 Latar Belakang Masalah

Sebagai hukum publik yang dijadikan alat oleh negara untuk menjaga
ketertiban, maka sudah pasti di dalam hukum pidana yang dipakai oleh negara kita
adalah hukum yang berlandaskan dan sesuai dengan falsafah kehidupan berbangsa
dan bernegara yaitu Pancasila dan UUD 1945.
Dengan adanya falsafah yang merupakan sebuah cita-cita dan tujuan dari
hukum yang saat ini diterapkan dan berlaku di seluruh wilayah nusantara maka
dalam hal ini hukum pidana yang salah satu tujuannya adalah untuk menjaga
ketertiban maka, di dalam hukum pidana sendiri terdapat asas-asas yang merupakan
sendi atau tiang dalam penerapan suatu sanksi kepada orang yang telah melakukan
suatu kejahatan atau delik.

12 Permasalahan

Berdasarkan dari latar belakang di atas, maka permasalahan yang ingin


penyusun angkat dalam makalah kali ini sebagai berikut:
1) Perbedaan antara asas-asas hukum pidana dan asas-asas dalam hukum
Islam?
2) Bagaimana posisi hukum Islam dalam sistem hukum di Indonesia?

13 Tujuan

Berdasarkan dari permasalahan yang telah penyusun sebutkan di atas, maka


tujuan dalam penyusunan makalah ini, adalah:
1) Untuk mengetahui asas-asas yang terdapat dalam hukum pidana dan asas-
asas yang ada dalam syari’at Islam.
2) Untuk mengetahui sejarah serta sejauh mana hukum Islam mempengaruhi
sistem hukum di Indonesia.
14 Manfaat

1
Dari makalah yang penyusun tulis diharapkan bisa memberikan sebuah
kontribusi yang cukup berarti dalam wacana hukum pidana sehingga diharapkan hal
ini bisa menjadi sebuah pecut sekaligus sebagai stimulus bagi teman-teman yang lain
yang ingin lebih memfokuskan atau berkonsentrasi terhadap penelitian dalam bidang
hukum pidana.
Di samping itu, dengan adanya makalah ini maka dapat terkuaklah sedikit
pintu tentang sejarah hukum Islam baik di masa prapemerintahan Hindia Belanda,
pemerintahan Hindia Belanda maupun setelah Indonesia merdeka. Juga semakin
meneguhkan kita bahwa ternyata hukum Islam beserta asas-asasnya sudah
beradaptasi cukup baik dalam sistem hukum di Indonesia.
BAB II
Analisa Masalah

21 Perbedaan Antara Asas-asas Hukum Pidana dan Asas-asas Dalam Hukum

Islam.

21.1Asas-asas Dalam Hukum Pidana.


2 Asas Legalitas (Principle of Legality)
Dalam pasal 1 ayat 1 KUHP kita melihat suatu dasar yang pokok dan menjadi
dasar dalam menjatuhkan sanksi bagi pelaku suatu tindak kejahatan, adanya asas
legalitas (Principle of Legality). Dikatakan dalam asas ini bahwa; “tidak ada
perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih
dahulu dalam perundang-undangan”. Dalam bahasa Latin asas ini dikenal sebagai
nullum dellictum nulla poena sine praevia lege (tidak ada delik, tidak ada pidana
tanpa peraturan lebih dahulu).1
2 Asas Retroaktif (Hukum Transitoir)
Dalam pasal 1 ayat 2 KUHP ditentukan: “Jika ada perubahan dalam
perundang-undangan sesudah saat melakukan perbuatan, maka digunakan aturan
yang paling ringan bagi terdakwa”.2
2 Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan (Green Straf Zonder Schuld :
Actus Non Facit Nisi Mens Sit Rea)
Asas ini ada dalam hukum yang tidak tertulis dan hidup serta berkembang
dalam anggapan masyarakat. Seandainya terjadi seseorang yang dipidana tanpa dia
merasa telah melakukan kesalahan tersebut bahwa ternyata kesalahan tersebut tidak
diketahui olehnya, bahkan sangat tidak memungkinkan baginya untuk mengetahui
perihal kesalahan tersebut maka, hal ini akan mencoreng keadilan. Dalam hal ini
yang bersangkutan harus diberi tahu terlebih dahulu tidak dengan serta merta dia
dapat langsung dipidanakan.
Terdapat beberapa aturan yang tercantum dalam KUHP mengenai tidak
dipidananya sesorang yang telah melakukan perbuatan pidana seperti dalam pasal 44

1 Moeljatno, Prof, S.H, Asas-asas Hukum Pidana, (Cet. 7; Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002), 23.
2 Ibid, 31.

3
mengenai orang yang tidak mampu bertanggungjawab atau karena adanya paksaan
(overmacht).3
2 Asas-asas Dalam Ruang Lingkup Berlakunya Peraturan Pidana
a. Asas Teritorialitas
Dalam pasal 2 sampai 9 KUHP sebaliknya diadakan aturan-aturan
mengenai batas-batas berlakunya perundang-undangan hukum pidana
menurut tempat terjadinya perbuatan. Jika hal ini ditinjau dari sudut
negara maka, akan kita dapati pendirian negara bahwa perundang-
undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang
terjadi di dalam wilayah sendiri maupun oleh orang asing.4
b. Asas Personal (Nasional Aktif)
Dalam pasal 1 ayat i KUHP, diadakan aturan-aturan mengenai batas-batas
berlakunya perundang-undangan hukum pidana menurut waktu atau saat
terjadinya perbuatan. Maka, apabila hal ini ditinjau dari sudut negara
akan kita lihat bahwa pendirian negara terhadap peraturan perundang-
undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang
dilakukan oleh warganegara, di mana saja juga di luar wilayah negara.5
c. Asas Perlindungan (Nasional Pasif)
Asas yang memberlakukan KUHP terhadap siapa pun juga, baik WNI
maupun WNA yang melakukan perbuatan pidana di luar wilayah
Indonesia. Jadi, yang diutamakan adalah keselamatan kepentingan suatu
negara.6
d. Asas Universal
Asas ini melihat pada prinsip suatu tata hukum internasional, di mana
terlibat kepentingan bersama dari semua negara di dunia. Maka, kalau ada
suatu tindak pidana yang merugikan kepentingan bersama dari semua
negara ini, adalah layak bahwa tindak pidana dapat dituntut dan dihukum
oleh setiap negara, dengan tidak dipedulikan, siapa saja yang

3 Saifullah, Dr, SH, M. Hum, Buku Ajar Konsep Dasar Hukum Pidana, (Sekolah Tinggi Islam Negeri
Malang Jurusan Syari’ah Prodi al Ahwal as Syakhshiyah 2004), 13.
4 Moeljatno, Prof, S.H, Op. Cit, 38.
5 Ibid.
6 Sugiatminigsih, Hj, SH, M. Hum, Pengantar Hukum Indonesia, (Universitas Muhammadiyah
Malang Fakultas Syari’ah, 2009), 67.
melakukannya dan di mana saja.7
e. Asas Ni Bis In Idem
Arti dari asas ini adalah tidak ada pengulangan untuk hal yang sama atau
tidak ada kedua kali pada hal yang sama. Hal ini tercantum dalam pasal
76 KUHP. Hal ini mengandung makna bahwa putusan hakim terhadap
suatu peristiwa tidak dapat dirubah, kecuali dalam soal appel (revisi) atau
kasasi. Jadi seseorang tidak dapat tidak akan dituntut pula terhadap
perbuatan jika vonis sudah dijatuhkan.8

21.2Asas-asas Dalam Hukum Islam


Sebagai sebuah agama, Islam juga mengatur hubungan yang bersifat baik itu
vertikal terlebih-lebih hubungan horizontal yaitu hubungan yang terjadi dalam
interaksi manusia sehari-hari. Berkaitan dengan hal ini maka berikut ini adalah asas-
asas yang ada dalam hukum Islam sendiri yaitu:
1) Alquran.
Secara terminologi alquran berasal dari kata qara’a yang berarti telah
membaca. Sedangkan secara etimologi alquran adalah kumpulan wahyu
(kata-kata) Allah yang disampaikan kepada Muhammad SAW dengan
perantaraan Malaikat Jibril selama Muhammad menjadi Rasul. 9
2) Sunnah atau Hadis Rasulullah SAW.
Sunnah adalah kebiasaan orang hidup dan hadis ialah cerita. Maksud
sunnah atau hadis dalam konteks fikih adalah himpunan ucapan,
perbuatan, dan hal-hal yang didiamkan Rasulullas SAW.10
3) Ijma’ (Kesepakatan Ulil Amri).
Menurut ilmu bahasa, ijma’ artinya, mengumpulkan. Menurut ilmu fikih,
ijma’ artinya, kesatuan pendapat dari ahli-ahli hukum (ulama-ulama fikih)
Islam dalam satu masalah dalam satu masa dan wilayah tertentu (teritorial

7 Wirjono Prodjodikoro, Prof, Dr, SH, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, (Cet. 1; Bandung: PT.
Refika Aditama, 2003), 57.
8 Saifullah, Dr, SH, M. Hum, Log. Cit, 16.
9 Mohd. Idris Ramulyo, SH, M.H, Asas-asas Hukum Islam Sejarah Timbul dan Berkembangnya
Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia, (Cet. 1; Jakarta: Sinar Grafika, 2004),
46.
10 Ibid, 51.

5
tertentu). Ijma’ tidak boleh bertentangan dengan Alquran dan Sunnah
Rasulullah SAW, ada setelah Nabi wafat.11
4) Qias (Analogische Interpretatie).
Pemikiran secara analogi deduktif disebut qias maksudnya suatu hukum
yang belum diketahui dengan hukum yang telah diketahui karena
persamaan ‘illah (sebab).12

Dari uraian dari kedua asas baik itu asas-asas yang ada dalam hukum pidana
sendiri maupun asas-asas yang ada dalam hukum Islam sepintas hal ini nampak tidak
sinkron atau relevan. Akan tetapi jika ditelaah lebih jauh lagi maka akan kita dapati
bahwasanya asas-asas yang tercantum dalam hukum pidana jika kita melihat tujuan
dari asas-asas tersebut berdasarkan konteks hukum Islam, maka kita akan menjumpai
lima tujuan dari hukum Islam itu sendiri, yang terdiri atas:13
1. Menyelamatkan jiwa,
2. Menyelamatkan akal,
3. Menyelamatkan agama,
4. Menyelamatkan harta benda,
5. Menyelamatkan,mendamaikan, dan menentramkan keluarga.
Dari kelima tujuan berdasarkan konteks hukum Islam ini maka, seluruh asas-
asas hukum pidana yang tersebut di atas dapat dikatakan sudah sesuai dengan tujuan
dari hukum Islam sendiri.
Tentunya adanya kesuaian dan keserasian yang ada baik dalam asas-asas
hukum pidana maupun dalam asas-asas hukum Islam tidak terjadi dengan begitu
saja. Dalam hal ini para perumus dan pembikin undang-undang tanpa memandang
baik dia itu seorang muslim ataupun tidak tentunya telah memperhatikan norma apa
saja dalam unsur pokok hukum pidana. Selaras dengan hal ternyata dalam Islampun
juga mengatur hal demikian. Sebagai sebuah agama yang tidak hanya mengurusi
perkara antara hamba dengan tuhan akan tetapi Islam sebagai sebuah doktrin yang
bersifat komprehensif baik dalam mengatur hubungan antara hamba dengan
tuhannya juga mengatur hubungan antara sesama bahkan lebih jauh lagi serta
11 Ibid, 54.
12 Ibid, 55.
13 Ibid, 7.
kompleks, Islam juga mempunyai peran yang konkrit dalam berkontribusi terhadap
hukum yang diterapkan bagi penganutnya.
Hal ini bukan hanya sebagai kebetulan belaka jika asas-asas yang telah
disebutkan di atas tidak mempunyai tujuan yang sama dengan tujuan yang dimiliki
dalam hukum Islam. Ketika norma-norma yang ada dalam hukum pidana
menyebutkan adanya suatu norma yang berarti larangan dan suruhan14 maka dalam
hukum Islam juga berlaku hal yang demikian.

21.2Posisi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum di Indonesia.


Secara historis yang merupakan sebuah fakta dan sejarah bahwa jauh sebelum
datangnya para penjajah dari Belanda guna menginvasi Indonesia masyarakat Islam
telah terbentuk.
Dengan adanya misi suci keagamaan yang dilakukan oleh Muawiyah (tahun
661-690) yang merupakan khalifah pertama dari Bani Umayyah dan dilanjutkan oleh
khalifah Sulaiman bin ‘Abdul Malik berhasil mengajak raja Sriwijaya di Jambi Sri
Maharaja Lokitawarman dan Sri Maharaja Seri Indrawarman di Palembang
mengucapkan dua kalimat syahadat dan menjadi penganut madzhab ahlul sunnah wal
jamaah pada tahun 99 H atau 86 tahun sesudah wafat Nabi Muhammad SAW. Hal
yang sama juga terjadi pada seorang raja Jepara Ratu Simon.15
Dewasa ini hukum Islam merupakan sebagian dari hukum yang tidak tertulis
dalam kitab perundang-undangan. Akan tetapi, menjadi hukum yang hidup,
berkembang, berlaku, serta dipatuhi oleh masyarakat Islam yang berdiri sendiri di
samping undang-undang tertulis. Hal ini menjadi keharusan sejarah untuk memenuhi
kebutuhan serta hajat hidup masyarakatnya, apalagi masyarakat Indonesia sebagian
besar beragama Islam.16
Dalam perjalanannya, hukum Islam di masa prapemerintahan Hindia Belanda
yang dikenal dengan tiga periode. Pertama, periode tahkim dalam masalah pribadi
yang mengakibatkan perbenturan antara hak-hak dan kepentingan-kepentingan
dalam tingkah laku mereka. Kedua, periode ahlul hilli wal aqdi yaitu, pembai’atan
yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat dengan mengangkat seorang alim Islam
14Wirjono Prodjodikoro, Prof, Dr, SH, ibid, 13.
15 Ibid, 38.
16 Ibid.

7
di mana dia yang diangkat bertindak sebagai qadhi dituntut bisa menyelesaikan
setiap perkara yang terjadi di antara mereka. Ketiga, periode thauliyah yaitu,
penyerahan kekuasaan (wewenang) mengadili, kepada suatu badan judicative, tetapi
tidak mutlak. Dalam periode ini dibuktikan dengan adanya kumpulan hukum
perkawinan dan kewarisan Islam untuk daerah Cirebon, Semarang, Bone, dan Gowa
(Makassar) serta Papakem Cirebon.17
Sedangkan dalam masa pemerintahan Hindia Belanda menurut Prof. Mr.
Lodewijke Willem Christian Van den Berg (1845-1927), yang dalam tahun 1984
menulis buku Muhammadansch Recht (Asas-asas Hukum Islam), menyatakan bahwa
hukum Islam diperlukan bagi orang-orang Islam bumiputra walaupun dengan sedikit
penyimpangan-penyimpangan.18
Berikut adalah pasal-pasal yang menunjukkan kedudukan hukum Islam dalam
masa Hindia Belanda:
Pasal 75 ayat (3) RR tersebut mengatur :
“Apabila terjadi sengketa perdata antara orang-orang Indonesia yang
beragama Islam oleh hakim Indonesia haruslah diperlakukan hukum Islam
Gondienstig Wetten dan kebiasaan mereka.”19
Sedangkan dalam ayat (4) pasal 75 RR itu disebut:
“Undang-undang agama, adat dan kebiasasn itu juga dipakai untuk mereka
oleh hakim eropa pada pengadilan yang Huger Beroep, bahwa dalam hal
terjadi perkara perdata antara sesama orang Indonesia atau mereka yang
dipersamakan dengan orang Indonesia maka mereka tunduk kepada
keputusan hakim agama atau kepala masyarakat mereka menurut undang-
undang agama atau ketentuan lama mereka.”20
Menurut pasal 109 RR tersebut ditentukan pula:
“Ketentuan seperti tersebut dalam pasal 76 dan pasal 78 itu juga berlaku bagi
mereka yang dipersamakan dengan orang-orang Indonesia, yaitu orang-orang
Arab, Moor, orang Cina, dan semua mereka yang beragama Islam, maupun
orang-orang yang tidak beragama.”21
17 Ibid, 39.
18 Ibid, 39-40.
19 Ibid, 40
20 Ibid.
21 Ibid.
Dari peraturan perundang-undangan yang tersebut, tampak bahwa di masa
pertama pemerinahan Hindia Belanda, hukum Islam itu diakui eksistensinya sebagai
hukum positif yang berlaku bagi orang Indonesia, terutama mereka yang beragama
Islam, dan perumusan-perumusan, ketentuan-ketentuan itu dalam perundang-
undangan ditulis satu napas dan sejajar dengan hukum adat, bahkan sejak zaman
VOC pun keadaan ini telah berlansung demikian juga seperti terkenal dengan
conpendium freijer.22
Sejalan dengan berlakunya hukum Islam itu pemerintah Hindia Belanda
membentuk Pengadilan Agama, dan berdiri pula Pengadilan Negeri dengan
Staatsblad 1882 No. 152 dan 153. Kemudian diiringi terbentuknya Pengadilan Tinggi
(Mahkamah Syar’iyyah), yang berfungsi sebagai Pengadilan Tinggi Banding dan
terakhir berdasarkan pasal 7 g Staatsblad 1937 No. 610. Dalam tahun 1937 dengan
Staatsblad 1937 No.638 dan 639 dibentuk pula Pengadilan Qadhi Kecil pada tingkat
pertama dan Pengadilan Qadhi Besar untuk tingkat banding dan terakhir.23
Sedang pada masa setelah Indonesia merdeka, berdasarkan pasal 29 ayat (1)
dan (2) Undang-undang Dasar 1945, serta pembukaan UUD 1945 maka kedudukan
hukum Islam telah mulai mantap dan berkembang karena hukum Islam pada
pokoknya adalah hukum dari Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan rumusan falsafah
Negara Pancasila.24
Pola-pola etis dari kaidah-kaidah dalam Alquran cukup luas memberi
dorongan terhadap hukum modern. Hal ini memungkinkan adanya variasi dalam
penafsiran sesuai dengan kebutuhan menurut ruang dan waktu. Dalam
pelaksanaannya di Peradilan Agama dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 45
Tahun 1957 tentang Pembentukan Peradilan Agama di Luar Jawa dan Madura
dengan nama Mahkamah Syar’iyyah tingkat pertama di kabupaten dan tingkat
banding di ibukota provinsi jo. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, tentang
Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal 10 mengatur bahwa di samping
peradilan umum ada peradilan agama. Dengan demikian, hukum Islam dianggap
berlaku di Indonesia berdasarkan kekuatan hukum Islam itu sendiri bersandar kepada

22 Ibid.
23 Ibid, 41.
24 Ibid, 42.

9
pasal 29 UUD 1945, bukan lagi dengan pasal 134 ayat (2) Indische Staats Regeling.25

BAB III
PENUTUP

3 Kesimpulan
Dari paparan di atas mengenai asas-asas dalam hukum pidana dan asas-asas
25 Ibid.
dalam hukum Islam juga posisi hukum Islam dalam sistem hukum di Indonesia dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut:
I.Antara asas-asas dalam hukum pidana dan asas-
asas dalam hukum Islam tidak ada pertentangan.
II.Jika dilihat dari tujuan-tujuan keduanya maka
akan nampak bahwa antara asas-asas hukum
pidana dan asas-asas dalam hukum Islam
merupakan sebuah kesatuan unifikasi dalam
hukum pidana.
III.Tanpa disadari atau tidak bahwa dalam
pembuatan peraturan perundang-undangan
pemakaian norma yang berupa larangan dan
suruhan adalah salah dari ajaran Islam.
IV.Keberadaan hukum Islam sudah mengakar dalam
masyarakat muslim meskipun belum tekodifikasi.
V.Adanya peraturan perundang-undangan dalam
uraian di atas secara tersurat menyatakan bahwa
hukum Islam sudah mulai dipakai sejak masa
kolonial.
VI.Pengakuan oleh negara tentang hukum Islam
sebagaimana termaktub dalam UUD 1945
merupakan eksistensi dan kontribusi konkrit
kaum muslimin Indonesia bagi Bangsa dan
Negara tercinta.
VII.Antara asas-asas hukum pidana dan asas-asas
hukum Islam serta kedudukan hukum Islam
dalam sistem hukum di Indonesia merupakan
salah satu penerapan syari’at Islam yang tidak
disadari baik oleh kaum muslimin sendiri ataupun
non muslim.

11
BAB IV
Daftar Pustaka

Idris Ramulyo, Mohd, S.H, M.H, (2004) Asas-asas Hukum Islam. Cet. 1; Jakarta:
Sinar Grafika.
Moeljatno, Prof, S.H, (2002) Asas-asas Hukum Pidana. Cet. 7; Jakarta: PT. Rineka
Cipta.
Sugiatminingsih, Hj, S.H, M. Hum, (2009) Pengantar Hukum Indonesia. Universitas
Muhammadiyah Malang.
Saifullah, Dr, S.H, M. Hum, (2004) Konsep Dasar Hukum Pidana. Sekolah Tinggi
Islam Negeri Malang.
Wirjono Prodjodikoro, Prof, Dr, S.H, (2003) Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia.
Cet. 1; Bandung: PT Refika Aditama.

Você também pode gostar