Você está na página 1de 26

Sebuah catatan ringan

ATRESIA ESOFAGUS
Sejarah
Pertama kali dilaporkan oleh Durston ( 1670 ) dimana melaporkan adanya
pengabungan trakeoesofageal dengan atresia esofagus.tahun 1888 Charles
Steel dari London melakukan eksplorasi bedah dan mencoba melakukan koreksi
bedah tetapi gagal menganastomose. Tahun 1899 Hoffman melakukan
gastrostomi, dan Richter tahun 1913 melakukan pemisahan fistula. Sampai
akhirnya Ladd ( 1944 ) dan Leven (1941) melakukan gastrostomi, koreksi fistula
dan interposisi jejunal. Waterston (1979) mempopulerkan transposisi kolon
diakhir tahun 70 an 1.
Embriologi
Perkembangan embriologi esofagus tidak bisa dilepaskan dari perkembangan
trakea, karena satu sama lain saling berhubungan. Oleh karena itu sebagian
besar kelainan esofagus disertai dengan kelainan trakea yaitu fistula.
Kira kira usia kehamilan 19 hari, foregut embrio manusia berupa tabung selapis
sel, yang terbentang dari pharynx ke lambung 2. Trakea muncul saat usia
kehamilan 22 23 hari, ditandai dengan munculnya tonjolan di bagian ventral
dari foregut. Tonjolan ini semakin memanjang dan bagian lateral dari massa
sel-sel endodermal memadat membentuk jembatan jaringan dan membagi
foregut menjadi trakea dibagian ventral dan esofagus dibagian dorsal. Proses
ini dimulai di daerah carina dan berkembang cepat kearah cephal. Proses
pemisahan trakea dan esofagus menjadi lengkap sampai di daerah larynx saat
usia kehamilan 26 hari 2,3. Kegagalan proses pemisahan ini saat usia kehamilan 4
minggu diduga menyebabkan fistula trakeaesofageal 1,2. atau bisa juga
laryngotracheoesophageal cleft2. Keterangan mengapa atresia esofagus terjadi
masih belum jelas. Satu teori mencoba menjelaskan, elongasi trakea ke caudal
sangat cepat, dan dinding dorsal esofagus ikut tertarik dan bersatu dengan
trakea, sehingga terbentuk fistula di bagian distal 3.
Saat usia 6 minggu kehamilan, otot-otot sirkuleresofagus terbentuk dan
kemudian terentuk nervus vagus kemudian, dan usia 7 minggu kehamilan
muncul pembuluh darah dari aorta, dan saat minggu ke 9 kehamilan terbentuk
otot-otot longitudinal.bagian dalam esofagus awalnya bercilia tetapi kemudian
berubah menjadi lapisan sel-sel epitel gepeng berlapis saat usia 20 minggu
kehamilan 3.

Sebagaimana kelainan kongenital banyak klasifikasi yang dibuat. Pada umumnya


sistem klasifikasi diterangkan berdasarkan radiologis. Seperti oleg Vogt, tahun
1929. grup 1 dan 2 termasuk didalamnya keadaan dimana tidak ada esofagus
dan atresia esofagus tanpa fistula. Grup 3 terdapat fistula di proksimal, distal
atau proksimal dan distal. Fistula yang ganda proksimal dan distal disebut juga
fistula tipe H. dan jiga tidak ada atresia esofagus dengan fistula tipe H
dimasukkan ke grup 4 1.

Dengan perkembangan dibidang bedah dibuat beberapa klasifikasi lain seperti


yang dibuat oleh Ladd tahun 1944, gross tahun 1953, Stephens et al tahun 1956
dan Swensen et al tahun 1962. dan Kluth membuat serial kasus kelainan
esofagus yang jarang ditemukan tahun 1976 1.

klasifikasi menurut Kluth


Waterston et al mencoba membuat klasifikasi berdasarkan faktor resiko ( 1962 )
1
. Indikator tersebut adalah berat badan saat lahir, kelainan lain, dan pneumonia
saat dirujuk. Berat lahir > 2500 gr, berat lahir 1800 2500 gr , dan berat lahir <
1800 gr. Kelainan kongenital dibagi ringan, sedang dan berat. Kelainan ringan
sampai sedang termasuk didalamnya anomali anggota gerak, sumbing bibir atau
palatum, ASD dan PDA minor. Kelainan berat termasuk atresia gastrointestinal,
anomali jantung major dan anomali ginjal major atau kombinasi diantara anomali
sedang. Sedangkan pneumonia dikelompokkan berdasarkan X-ray yaitu tidak
ada pneumonia, pneumonia sedang ( radio opak satu lobus ) dan pneumonia
berat ( radio opak pada sebagian kedua paru paru atau seluruh lapangan satu

Etiologi
Penyebab kelainan trakeoesofageal fistula belum diketahui. Diduga heriditer 1,2.
Omizek et.al. 1982 menduga karena infeksi virus pada ibu. Beberapa penulis
menduga karena penggunaan pil kontrasepsi jangka panjang (Szendrey et al
1985, Nora & Nora 1975)1.
Klasifikasi

Gamaliel sps

paru paru ). Terakhir resiko dikelompokkan kedalam grup A dengan resiko ringan,
grup B dengan resiko sedang dan grup C dengan resiko berat.

( Freeman 1969, Fraser et al 1987, Czeizel & Vitez 1981 ). Angka kejadian
atresia esofagus yang lebih tinggi dilaporkan di Finlandia sekitar 1 : 2440
kelahiran hidup ( Kyyronen & Hemminki 1988 )1,3.

Tabel 1. Sistem Klasifikasi


Anomali lain yang berhubungan
Anomali lain yang berhubungan dengan atresia esofagus ini perlu mendapat
perhatian karena akan sangat menentukan tindakan dan prognose dari
penderita. Pada umumnya sekitar 40 % disertai kelainan kardiovaskular, anomali
lain bisa mengenai anorektum dan saluran kencing serta gastrointestinal 1,2,3.
Table CONGENITAL ANOMALIES ASSOCIATED WITH ESOPHAGEAL
ATRESIA AND TRACHEOESOPHAGEAL FISTULA 3

Tabel 2. klasifikasi fungsional atresia esofagus dan fistula trakeoesofagus


dari Waterston

Area
Cardiovascular
Gastrointestestinal
Neurologic
Genitourinary
Orthopedic
Other
TOTAL

1935-1966
44
31
9
4
0
3
91 (31.6%)

1966-1976
12
8
1
1
0
1
23 (27.3%)

1976-1985
10
10
2
1
0
1
24 (34%)

(Manning PB, Morgan RA, Coran AG, et al. Fifty years experience with
esophageal atresia and tracheoesophageal fistula. Ann Surg 1986;204;446)
tahun 1973 Quan & Smith pertama kali mengemukakan kelainan kongenital lain
yang hampir selalu didapat bersama-sama yang dikenal dengan VATER. Tetapi
kemudian menyusul bukti kelainan kongenital lain yang belum dikatagorikan oleh
Quan & Smith, maka tahun 1974 Temtamy & Miller serta Nora & Nora 1975
mengemukakan VACTERL1,3. VACTERL termasuk didalamnya : defek vertebra,
malformasi anorektum, anomali cardiac, tracheo-esophageal fistula, abnormal
renal, defek pada limb termasuk displasia tulang radius 1,2,3,4.
Manifestasi klinik

* Waterston et al 1962
+ Spitz et al 1987
karena banyaknya klasifikasi untuk mudahnya dipakai istilah atresia esofagus
dengan atau tanpa TEF
Insidensi
Insidensi atresia esofagus dilaporkan sekitar 1 : 4425 kelahiran hidup ( Haight
1957 Myers 1974 ) dan di Australia sekitar 1 : 4000 - 1 : 3000 kelahiran hidup

Gamaliel sps

Gejala awal dan paling sering adalah regurgitation atau drooling 2,3,4. Grosfeld
dan Ballantine 1978 mengemukakan dari 84 pasen mempunyai gejala salivasi
pad 50 penderita, distres pernafasan pada 28 penderita, sianosis pada 26
penderita, problem feeding pada 9 penderita, batuk ada 8 penderita, distensi
lambung pada 5 penderita dan sindroma beberapa gejala pada 9 penderita 1.
Pada non paten fistula di bagian distal mungkin didapatkan abdomen scapoid
1,4
.
Adanya riwayat polihidramnion sering ditemukan pada atresia esofgagus tanpa
fistula 1, 2,3.

Presentasi klinik yang berbeda dimungkinkan oleh karena tergantung tipe atresia
dan ada tidaknya fistula serta kelainan lain yang menyertainya (lihat klasifikasi
Waterston).
Pemeriksaan penunjang
Jika timbul kecurigaan terhadap adanya atresia esofagus, pertama dilakukan
adalah memasang NGT nomor 10, jika sulit melewati esophagus atau aspirasi
cairan lambung tidak bisa dilakukan maka kemudian dibuat foto polos
anteroposterior dan lateral. Manuver ini mungkin tidak berguna untuk atresia
esofagus tipe H. Dalam hal demikian foto radiografi dengan kontras akan sangat
berguna, dianjurkan kontras yang water soluble 1,2,3,4.
Pemeriksan lain yang dianjurkan adalah dengan endoskopi, bronkoskopi atau
proksimal esofagoskopi, keuntungannya dapat mendiagnosa termasuk adanya
fistula tanpa resiko aspirasi 1,2,3. CT-scan sagital dianjurkan pula 2.
Gambaran radiografi yang diharapkan berupa ujung esofagus ditandai dengan
lipatan NGT, serta tidak adanya gas dalam lambung atau intestinum jika tanpa
fistula dibagian distal non paten 1,4.
Pengelolaan
Preoperatif
Atresia esofagus bukan kasus yang sifatnya emergensi untuk tindakan bedah
segera. Optimalisasi penderita merupakan hal terpenting. Pemasangan NGt dan
aspirasi berkala penting untuk mencegah akumulasi saliva, sekaligus mencegah
saliva masuk kedalam paru-paru. Posisi bayi dipertahankan telungkup atau
miring horisontal 1.
Guzzetta et al, menganjurkan bayi selalu hangat, posisi kepala 30 0 , pasang
kateter intravena, pemberian antibiotik walaupun tidak ada manifestasi
pneumonia, dan aspirasi berkala saliva dari upper pouch 4.
Selama menunggu optimal dapat dilakukan pemeriksaan penunjang lain guna
mencari anomali yang memang sering didapatkan.
Koreksi Bedah
Jika bayi tidak stabil dapat dilakukan penundaan operasi bedah, hanya
dilakukan gastrostomi 4.
Jenis koreksi bedah yang dapat dilakukan adalah: anastomose ujung distal dan
proksimal, jika sulit maka dapat dilakukan dengan interposisi kolon, transposisi
gaster, interposisi gastric tube 1.
Postoperatif
Pemberian antibiotik untuk beberapa hari, endotracheal tube dipertahankan
terutama untuk pasen yang memerlukan ventilator. Hisap lendir atau saliva
dilakukan berkala sampai bayi dapat menelan dengan baik. Jika dipasang Chest
Tube dipertahankan untuk kira-kira 10 hari. Feeding dilakukan via gastrostomi,
dan beberapa ahli bedah menganjurkan esofagogram untuk melihat anastomose
2
. Penilaian esofagogram dapat dilakukan setelah 1 minggu anastomose
dilakukan, untuk melihat kaliber dan kebocoran anastomose 4.

Komplikasi
Dapat terjadi striktur, fistula yang recurrent, refluks gastroesofageal, kelainan
motilitas esofagus, trakeomalasia, dan leakage anastomosis.
Daftar Pustaka
1.
Spizt, Lewis ; Hitchock, Rowena J; Oesophageal Atresia and
Tracheooesophageal Fistula in Surgery of The Newborn; Churchill
Livingstone ; United Kingdom; 1994; page 353 373
2.
Holder, Thomas M,M.D; Esophageal Atresia and Tracheoesophageal
Malformations in Pediatric Surgery; 2nd ed; W.B. saunders Co.;
Philadelphia;1993; page 249 - 269
3.
Coran, Arnold G.; Congenital Abnormalities of Trachea and
Esophagus in Greenfield_Nyhus Surgery; Chapter 102; BiblioMed
Textbook Science CD-R; Lippincott Ravens Publisher; 1997
4.
Guzzetta,Philip C, et al; Esophageal Atresia and Tracheoesophageal
Fistula in Pediatric Surgery in Principle of Surgery; 7 th ed.; McGraw
Hill Int. Ed.; Singapore; 1999; page 1723 - 1726
Biliari Atresia
Biliary atresia is characterized by obliteration or discontinuity of the extrahepatic
biliary system, resulting in obstruction to bile flow. The disorder represents the
most common surgically treatable cause of cholestasis encountered during the
newborn period. If not corrected surgically, secondary biliary cirrhosis
invariably results. Patients with biliary atresia may be subdivided into 2 distinct
forms, which are
(1) those with isolated biliary atresia (postnatal form), accounting for 6590% of cases, and
(2) patients with associated situs inversus or polysplenia/asplenia with or
without other congenital anomalies (fetal/embryonic form),
comprising 10-35% of cases.
The pathology of the extrahepatic biliary system is highly variable in these
patients, and the following classification is based upon the predominant site of
atresia:
(1) type I involves obliteration of the common duct, while the proximal
ducts are patent;
(2) type II is characterized by atresia of the hepatic duct, with cystic
structures found in the porta hepatis; and
(3) type III (>90% of patients) involves atresia of the right and left
hepatic ducts to the level of the porta hepatis. Of great importance,
these variants should not be confused with intrahepatic biliary
hypoplasia, which comprises a group of distinct and surgically
noncorrectable disorders.
Pathophysiology:

Gamaliel sps

The pathogenesis of this disorder remains poorly understood. Early studies


postulated a congenital malformation of the biliary ductular system. Problems of
hepatobiliary ontogenesis are suggested by the fetal/embryonic form of atresia
that is associated with other congenital anomalies. However, the more common
neonatal type is characterized by a progressive inflammatory lesion, suggesting a
role for infectious and/or toxic agents causing bile duct obliteration.
In the most prevalent type III histopathological variant, the fibrous remnant
demonstrates complete obliteration of at least a portion of the extrahepatic biliary
system. Ducts within the liver, extending to the porta hepatis, are initially patent
during the first few weeks of life but may progressively be destroyed. The same
agent(s) that damaged the extrahepatic ducts may be causative, and the effects
of retained toxins in bile are contributing factors.
Identification of active and progressive inflammation and destruction of the biliary
system suggests that extrahepatic biliary atresia likely represents an acquired
lesion. However, to date, no single etiologic factor has been identified.
Frequency:
In the US: Individual studies suggest an overall incidence in the US
of 1 per 10,000-15,000 live births.
Internationally: The incidence of biliary atresia is highest in Asian
populations, and it may be more common in Chinese versus
Japanese infants.
Mortality/Morbidity:
The long-term survival rate following portoenterostomy is 47-60% at 5 years and
25-35% at 10 years. In one third of all patients, bile flow is inadequate following
surgery, and these children succumb to complications of biliary cirrhosis in the
first few years of life unless orthotopic liver transplantation is performed.
Following portoenterostomy, postsurgical complications include cholangitis (50%)
and portal hypertension (>60%). Hepatocellular carcinoma may be a risk for
those patients with cirrhosis and no clinical evidence of portal hypertension.
Progressive fibrosis and biliary cirrhosis develop in children who do not drain bile,
and liver transplantation is the only option for long-term survival.
Race: Incidence of bilary atresia is highest in Asian populations. The disorder
also occurs in African American infants, with an incidence approximately 2 times
higher than Caucasian infants.
Sex: Extrahepatic biliary atresia occurs more commonly in females than in males.
Age: Biliary atresia is a disorder unique to the neonatal period.The fetal/perinatal
form is evident within the first 2 weeks of life; the postnatal type presents in
infants aged 2-8 weeks.

Regardless of etiology, the clinical presentation of neonatal


cholestasis is remarkably similar in most infants.

In the case of biliary atresia, most infants are full-term,


though a higher incidence of low birthweight may exist.
In most cases, acholic stools are not noted at birth but
develop over the first few weeks of life. Appetite, growth,
and weight gain may be normal.

Physical:

Physical findings do not identify all cases of biliary atresia. No


findings are pathognomonic for the disorder.
These infants typically are full term and may manifest
normal growth and weight gain during the first few
weeks of life.
Hepatomegaly may be present early, and the liver is
often firm or hard to palpation. Splenomegaly is
common, and an enlarging spleen suggests progressive
cirrhosis with portal hypertension.
Direct hyperbilirubinemia

Unconjugated hyperbilirubinemia rarely persists beyond


2 weeks. Infants with prolonged physiologic jaundice
must be evaluated for other causes.
Liver may be palpated in the hypogastrium.
My be associated cardiac anomalies.
A high index of suspicion is key to making a diagnosis
because surgical treatment by age 2 months has clearly
been shown to improve the likelihood of establishing bile
flow and to prevent the development of irreversible
biliary cirrhosis.

Causes:
Infants with idiopathic neonatal hepatitis, which is the major differential diagnosis,
are often preterm and/or small for gestational age.
Infectious agents

History:

Typical symptoms: jaundice, dark urine, and light stools.

No single agent has been identified


Fischler et al reported CMV infection
Reovirus type 3 have yielded conflicting results.

Rotavirus groups A, B, and C and the common hepatitis


viruses A, B, and C; however, no clear associations have
been found.
Genetic factors

Suggests the possibility of a disorder in ontogenesis.

A variety of other genetic abnormalities, including deletion of the


mouse c-jun gene (a proto-oncogene transcription factor) and
mutations of homeobox transcription factor genes, are associated
with hepatic and splenic defects; however, a direct link to biliary
atresia has not been described.
Other causes

Disorders of bile acid synthesis are part of the differential diagnosis


of biliary atresia.

Teratogens and immunological factors.


Deferential Diagnosis
Alagille Syndrome
Caroli Disease
Cholestasis
Cystic Fibrosis
Galactose-1-phosphate Uridyltransferase Deficiency
(Galactosemia)
Hemochromatosis, Neonatal
Lipid Storage Disorders
Syphilis
Other Problems to be Considered:
Alpha-1-anti-trypsin deficiency
Byler disease
Choledochal cyst
Idiopathic neonatal hepatitis
Inborn errors of bile acid synthesis
Nonsyndromic intrahepatic bile duct hypoplasia
Total Parenteral Nutritionassociated (TPN) cholestasis
Viral infections (eg, toxoplasmosis, other infections, rubella,
cytomegalovirus infection, and herpes simplex [TORCH])
Lab Studies:

Serum bilirubin (total and direct):


Alkaline phosphatase (AP),
5' nucleotidase,
Gamma-glutamyl transpeptidase (GGTP), is elevated in cholestatic
conditions, may be normal in some forms of cholestasis of hepatocellular
origin

Serum aminotransferases, serum bile acids, (ALT >800 IU/L) indicates


significant hepatocellular injury and is more consistent with the neonatal
hepatitis syndromes.
Serum alpha-1-antitrypsin with Pi typing: Alpha-1-antitrypsin deficiency
represents the most common inherited liver disease that presents with
neonatal cholestasis. The abnormal PiZZ phenotype, as determined by
electrophoresis, is associated with neonatal cholestasis in approximately
10% of affected subjects.
Sweat chlorine (Cl): Biliary tract involvement is a well-recognized
complication of cystic fibrosis (CF), and an association between meconium
ileus in the newborn and cholestasis has been described.
Imaging Studies:
Ultrasound
o
In neonatal cholestasis syndromes, ultrasound can exclude specific
anomalies of the extrahepatic biliary system, particularly choledochal
cyst. Today, a diagnosis of choledochal cyst should be made in utero
by fetal ultrasonography.
o
In biliary atresia, ultrasound may demonstrate absence of the
gallbladder and no dilatation of the biliary tree.
Hepatobiliary scintiscan
Hepatobiliary imaging, utilizing technetium-labeled diisopropyl iminodiacetic
acid (DISIDA) nuclear scintiscan, is useful in evaluating infants with
suspected biliary atresia. Unequivocal evidence of intestinal excretion of
radiolabel confirms patency of the extrahepatic biliary system.
Other Tests:
Duodenal intubation and duodenal string test: These studies are utilized in
some centers to evaluate duodenal bile excretion; however, in the author's
experience, these studies are cumbersome, time-consuming, and
unreliable.
Procedures:
Percutaneous liver biopsy
o
Percutaneous liver biopsy is widely regarded as the most valuable
study for evaluating neonatal cholestasis. Morbidity is low in patients
without coagulopathy. When examined by an experienced
pathologist, an adequate biopsy specimen can differentiate between
obstructive and hepatocellular causes of cholestasis, with 90%
sensitivity and specificity for biliary atresia.
o
biopsies usually are not diagnostic in those younger than 2 weeks,
and serial samples, usually at 2-week intervals, may be required to
reach a definitive diagnosis.
Intraoperative cholangiogram

Histologic Findings:

Gamaliel sps

Surgical specimens demonstrate a spectrum of abnormalities, including active


inflammation with bile duct degeneration, a chronic inflammatory reaction with
proliferation of both ductular and glandular elements, and fibrosis. Portal bile
ductular proliferation, bile plugging, portal-portal fibrosis, and an acute
inflammatory reaction are characteristic findings in infants with neonatal
cholestasis of an obstructive etiology. Periodic acid-Schiff (PAS) staining of
biopsy tissue also can be used to confirm a diagnosis of alpha-1-antitrypsin
deficiency by finding intracellular PAS-positive granules resistant to digestion by
diastase.
Medical Care:

No primary medical treatment is relevant in the management of


extrahepatic biliary atresia.
Once biliary atresia is suspected, surgical intervention is the only
mechanism available for a definitive diagnosis (intraoperative
cholangiogram) and therapy (Kasai portoenterostomy).

Surgical Care:

Following a thorough evaluation for causes of neonatal cholestasis,


intraoperative cholangiography establishes the diagnosis of extrahepatic
biliary atresia.
At operation, the fibrotic biliary tract remnant is identified, and patency of
the biliary system is assessed.
In cases in which biliary patency is associated with ductal hypoplasia,
further surgical intervention is not indicated, and bile may be collected to
evaluate for disorders of bile acid metabolism.
Under the unusual circumstance of distal patency of the common duct with
acceptable proximal luminal caliber, a modified portoenterostomy may be
considered in place of the traditional Kasai procedure. However, the
clinician must be aware that progression of disease pathophysiology may
occur. The author has observed patients undergo modified
portoenterostomies (gallbladder Kasai), only to subsequently experience
continued inflammation and obliteration of the extrahepatic biliary tree and
to ultimately require classic portoenterostomies.
In most cases of atresia, dissection into the porta hepatis and creation of a
Roux-en-Y anastomosis with a 35- to 40-cm retrocolic jejunal segment is
the procedure of choice.
Recent studies have reported that extension of the portal dissection
beyond the portal vein bifurcation and the umbilical point in the left hilum
may improve the likelihood of achieving adequate biliary drainage.

Consultations:

The evaluation of neonatal cholestasis may initially be carried out by the


primary care provider, depending upon reliability of the laboratory in
performing the necessary serum determinations indicated above.
Obviously, further nonsurgical testing (eg, hepatobiliary imaging, liver
biopsy) and surgical exploration should only be carried out in centers with
considerable experience in managing this disorder.
The physician must not delay in the diagnosis of extrahepatic biliary
atresia. Refer infants for appropriate subspecialty care as soon as a
diagnosis of obstructive jaundice is suspected.

Diet:

During the evaluation phase of biliary atresia, the infant's diet typically is
not changed.
Postoperative breastfeeding is encouraged when possible, since breast
milk contains both lipases and bile salts to aid in lipid hydrolysis and
micelle formation. Theoretically, breast milk also may protect against
cholangitis, a common complication following portoenterostomy, by
suppressing the growth of gram-negative and anaerobic flora. However, to
date, no data is available to support this claim.
Infants who are fed formula and who achieve adequate bile drainage
should not require a special diet. Early in the postoperative course and
when the status of biliary continuity may be in question, one of the mediumchain triglyceride-containing formulas (eg, Alimentum, Pregestimil) may
enhance lipid digestion.

In the immediate postoperative period, methylprednisolone has been used as


both an anti-inflammatory agent and as a nonspecific stimulant of bile saltindependent bile flow. In patients with chronic cholestatic conditions and bile duct
patency, ursodeoxycholic acid (ie, ursodiol, UCDA) also has been shown to
enhance bile flow. For infants following portoenterostomy, UCDA may improve
outcomes, and the drug is associated with minimal toxicity.
In order to prevent cholangitis postoperatively, prophylaxis with trimethoprimsulfamethoxazole has been used on a long-term basis. Unfortunately, conclusive
data supporting the use of this agent, or the other drugs described above, in the
management of biliary atresia are not available.
Complications:

Complications following portoenterostomy include both acute and


chronic problems.

Gamaliel sps

In the early postoperative phase, an unsuccessful


anastomosis with failure to achieve adequate bile
drainage is the most common complication
Later in the course, complications related to progressive
liver disease and portal hypertension occur in more than
60% of infants who achieved initial surgical success.
Cholangitis develops in 50% of patients following
portoenterostomy.
Hepatocellular carcinoma may be a risk for those
patients with cirrhosis and no clinical evidence of portal
hypertension. Progressive fibrosis and biliary cirrhosis
develop in children who do not drain bile

Prognosis:

Postsurgical prognosis: The most critical determinant of outcome is


age at the time of operation. Although individual centers have
reported favorable results in some infants undergoing surgical
correction when they were older than 3 months, patients are
significantly less likely to require liver transplantation if the
portoenterostomy is carried out when they are younger than 2
months. In the postoperative period, the rate of decline in serum
bilirubin concentration correlates directly with a positive prognosis.
Bile flow is inadequate in one third of patients following surgery, and
these children require an early (<2 years) liver transplant. Factors
that predict improved long-term outcome after Kasai
portoenterostomy include the following:
o Younger than 2 months at operation
o Preoperative histology and ductal remnant size
o Presence of bile in hepatic lobular zone 1
o Absence of portal hypertension, cirrhosis, and
associated anomalies
o Experience of the surgical team
o Postoperative clearing of jaundice
Reoperation: The following 3 categories of patients with extrahepatic
biliary atresia should be considered for reexploration following a
Kasai or modified Kasai portoenterostomy:
o Infants who become jaundiced after an initial anicteric
phase postoperatively

Infants with favorable hepatic and biliary duct remnant


histology at initial operation, who do not successfully
drain bile
Infants who may have had an inadequate initial surgery

Liver transplantation: Extrahepatic biliary atresia is the most common


primary diagnosis in children requiring orthotopic liver transplantation
(OLT), comprising more than 50% of patients with liver transplants in
most series.
o Consider OLT early in patients who do not achieve
clearing of jaundice following portoenterostomy.
o However, in most series the primary indications for OLT
are the symptoms of end-stage liver disease and/or
hepatic failure, including progressive cholestasis,
recurrent cholangitis, poorly controlled portal
hypertension, intractable ascites, decreased hepatic
synthetic function (eg, hypoalbuminemia, coagulopathy
unresponsive to vitamin K), and growth failure.
o Overall, a recent review demonstrated that 66% of
infants undergoing the Kasai procedure ultimately
required OLT, including more than 50% of patients who
initially achieved bile drainage.

eMedicine Journal, November 6 2001, Volume 2, Number 11


Copyright 2002, eMedicine.com, Inc.

Caroli Disease
Caroli disease/syndrome is a rare congenital disorder of the intrahepatic bile
ducts. It is characterized by intrahepatic dilatation of the biliary tree, thought to be
the result of a pathologic developmental process known as a ductal plate
malformation (DPM). Caroli disease/syndrome often is associated with autosomal
recessive polycystic kidney disease (ARPKD), and both the hepatic and renal
processes are felt to reflect a developmental process, albeit in the context of
different organs. A rare association with autosomal dominant polycystic kidney
disease (ADPKD) also has been reported.

The term Caroli disease is applied if the hepatic disease is limited to ectasia or

Patients with Caroli disease/syndrome may experience recurrent episodes of

* Cholelithiasis

segmental dilatation of the larger intrahepatic ducts. This form is much less

cholangitis and are also at risk for associated bacteremia and sepsis, but may

* Congenital Hepatic Fibrosis

common than Caroli syndrome, in which malformations of smaller bile ducts and

also manifest the complications of portal hypertension seen in CHF.

congenital hepatic fibrosis also are present.

Associated with ARPKD, and patients may have varying degrees of renal cysts,

Pathophysiology:

interstitial fibrosis, and renal failure. Associated with risk of cholangiocarcinoma at

The precursor of the intrahepatic biliary tree is a double-layered sleeve of cells

a rate of 100 times that of the general population.

known as the ductal plate (DP). The DP first arises from hepatocyte precursors

Sex: Symptoms of Caroli disease/syndrome are more common in females.

surrounding hilar portal vein vessels at the eighth week of gestation, and more

Age: Symptoms appear first in adults, although childhood and neonatal cases

peripheral regions of the DP then develop sequentially. During the remainder of

have been reported.

gestation, a process of DP remodeling occurs in which small areas of the double

History:

Bilirubin usually is normal.

layer separate to form tubules, which join to form the intrahepatic biliary tree,

History of intermittent abdominal pain may be present, reflecting episodes of bile

Transaminases may be slightly elevated.

while the remaining regions of the DP involute. Caroli disease/syndrome is a

stasis or bile stone passage.

CBC may reveal thrombocytopenia and leukopenia if there is portal hypertension

subcategory of diseases thought to originate from failures of this process known

Patients with cholangitis may complain of fever and right upper quadrant

and hypersplenism. An elevated WBC count or ESR may indicate cholangitis.

collectively as ductal plate malformations (DPM).

abdominal pain.

Creatinine and BUN should be obtained to detect associated renal disease.

In Caroli disease, DPM occurs at the level of the larger intrahepatic ducts (ie, left

Portal hypertension in Caroli syndrome may result in hematemesis or melena.

and right hepatic ducts, segmental ducts), resulting in dilatation and ectasia. The

A family history of kidney or liver disease may be present.

Ultrasonography is the best initial imaging study, as it will reveal the irregular

resulting biliary stasis may lead to cholelithiasis, cholangitis, and sepsis, as well

Physical:

dilatation of the large intrahepatic bile ducts typical of Caroli disease/syndrome.

as an increased risk of cholangiocarcinoma.

Hepatomegaly is present.

Extrahepatic biliary dilatation also may be present as a result of prior

In Caroli syndrome, DPM occurs at all levels of bile duct formation. In the more

Splenomegaly occurs.

cholelithiasis. Doppler evaluation of the liver will detect portal hypertension.

peripheral biliary tree, DPM is associated with portal vein malformations as well

Right upper quadrant tenderness, occasional.

Kidneys also can be assessed for evidence of polycystic kidney disease.

as fibrosis of the portal tracts and/or fibrous bands extending across adjacent

Abdominal mass or masses occur if large polycystic kidneys are present.

Computed tomography also may be used, particularly if ultrasound cannot be

portal tracts. These findings are typical of congenital hepatic fibrosis (CHF), and

Jaundice rarely is present.

obtained because of bowel gas or body habitus.

Caroli syndrome is, therefore, thought to exist in the same spectrum of disease

Causes:

Hepatobiliary scintigraphy and magnetic resonance cholangiography also have

as CHF.

A genetic cause is likely, given the association with ARPKD, but specific

been used in the diagnosis of Caroli disease/syndrome.

Frequency:

causative mutations have not been identified.

In the US: the exact frequency is unknown. Caroli syndrome (large and small bile

Caroli disease/syndrome appears to be inherited in an autosomal recessive

Liver biopsy and culture should be performed in cases of suspected chronic

duct ectasia with CHF) is much more common than Caroli disease (large bile

manner.

cholangitis.

duct ectasia only). Symptoms of Caroli disease/syndrome are more common in


females.

* Cholangitis
* Choledochal cyst

Lab Studies:

Imaging Studies:

Procedures:

Endoscopic retrograde cholangiopancreatography has been used in identification


Defferential :

and treatment of biliary stones in patients with Caroli disease/syndrome, but is

Mortality/Morbidity:

Gamaliel sps

Other Problems to be Considered:

associated with a risk of cholangitis post-procedure.

Portosystemic shunting may be indicated in patients who have portal

In the minority of patients who have intrahepatic ductal ectasia without associated

Pathophysiology:

hypertension.

CHF (ie, Caroli disease), the prognosis is determined largely by the frequency

The mechanisms responsible for the development of primary sclerosing

Histologic Findings: Liver biopsy will reveal the typical pattern of DPM, with

and severity of episodes of cholangitis, which may result in sepsis or death.

cholangitis are unknown. The relationship with PSC and inflammatory bowel

bile duct ectasia, portal vein malformations, and fibrosis. In Caroli

Progressive liver failure also may develop, possibly requiring liver transplantation.

disease (IBD) offers several clues. An immune-mediated destruction of the

syndrome, DPM will be evident throughout the liver, whereas only larger

Patients with both ductal ectasia and CHF (ie, Caroli syndrome) are subject to the

hepatobiliary tract, perhaps initiated by transient infection or the absorption of

intrahepatic ducts will be affected in the much rarer Caroli disease.

risks and consequences of recurrent cholangitis as described above. They are

bacterial by-products, in the genetically predisposed individuals with colonic

Medical Care: The use of ursodeoxycholic acid can decrease the frequency

also at risk for the complications of portal hypertension, namely variceal bleeding,

disease, may initiate the biliary injury.

of complications due to cholelithiasis. Ursodeoxycholic acid (Ursodiol,

hypersplenism, and thrombocytopenia.

Frequency:

Actigall) can promote the dissolution of intrahepatic stones and promote

degree

of

Renal manifestations
polycystic

kidney

disease

In the US: PSC is the most common hepatobiliary disease observed in IBD with
associated

with

Caroli

an incidence that varies from 2.5-7.5%. Conversely, 50-75% of patients with PSC

bile flow in Caroli disease/syndrome.Broad-spectrum antibiotics including

The

anaerobes, are used in the treatment of cholangitis associated with Caroli

disease/syndrome is variable.

have IBD. It may precede the onset of ulcerative colitis (UC) or may occur

disease/syndrome.

Patients who present with renal disease as neonates or infants are more likely to

following proctocolectomy.

Surgical Care: Surgical treatment may be necessary for recurrent or

have severe disease with enlarged cystic kidneys and progressive renal failure.

Sex: A male predominance appears to exist in PSC.

refractory cholangitis. Obstructing stones can be removed and bile flow can

Others may have normal-appearing kidneys or minimal cystic changes with only

Age: Peak incidence of PSC occurs in the third and fourth decades, also in

be maintained via hepaticojejunostomy or external drainage.

mild deficits in renal function.

infancy.
History:

In cases of localized stasis, lobectomy can be curative and can also reduce the
risk of cholangiocarcinoma.

eMedicine Journal, October 2 2001, Volume 2, Number 10

The clinical presentation of childhood PSC is highly variable and frequently

In severe cases of refractory or chronic cholangitis, or in cases of liver failure,

Copyright 2002, eMedicine.com, Inc.

without obvious features of cholestasis. Patients may have hepatomegaly,


hepatitis, cholangitis, intermittent jaundice, fevers of unknown origin, pruritus,

transplantation may be considered.

Further Inpatient Care:

Primary Sclerosing Cholangitis

Indications for hospitalization

Primary sclerosing cholangitis (PSC) is a chronic cholestatic liver disease of

Suspected cholangitis or sepsis

unknown etiology that is recognized increasingly in children. Diagnosis is based

Obstructing cholelithiasis requiring invasive intervention

on a combination of clinical features and cholestatic biochemical profile,

Further Outpatient Care:

histology findings. In the absence of underlying bile duct abnormalities, a

Ultrasonography can be used to monitor stones.

generalized beading and stenosis of the intrahepatic and extrahepatic biliary tree

Prognosis:

characterize PSC. PSC usually is progressive, leading to cirrhosis, portal

Hepatic manifestations

hypertension, and liver failure. Effective medical treatment modalities for


childhood PSC remain undetermined. Liver transplantation remains the only
effective therapeutic option for patients with end-stage liver disease from PSC.

Gamaliel sps

with stigmata of chronic liver disease and cirrhosis. The onset and progression
tend to be insidious. Modes of presentation include the following:

Asymptomatic

patients

present

with

incidental

finding

hepatomegaly on exam or abnormal liver function tests (LFTs).

accompanied by typical cholangiographic abnormalities, and is supported by liver

Liver function tests and transaminases can be followed as an outpatient.

abdominal pain, or weight loss at time of presentation. Some patients present

Nonspecific complaints

Abdominal pain

Fevers

Weight loss

of

Intermittent jaundice

In children, PSC commonly is associated with markers


suggestive of an autoimmune process.

Patients with cholestasis present with complications of cholestasis,


including pruritus, cholangitis, and fat malabsorption.

The close association between PSC and various human leukocyte

Patients with cirrhosis present with complications of portal

antigen (HLA) haplotypes is well established.

hypertension, including ascites, variceal bleeding, and splenomegaly.

An increased frequency of HLA-B8 and HLA-DR3 is

Physical findings on physical exam vary with the degree of disease activity at the

observed in patients with PSC. HLA-B8 also is associated with

time of initial presentation. Approximately 75% of patients have hepatomegaly at

other autoimmune disorders.

presentation.

Biliary Trauma
Congenital anomalies of the biliary tract

Lab Studies:

PSC is a progressive disorder of unknown etiology. Bacteria, toxins, viral

chronic liver disease. Alcohol consumption has been shown to be an

agents.

independent risk factor for the development of cholangiocarcinoma in

Serum bilirubin is elevated in advanced stages of PSC.

Hepatic synthetic function tests (eg, serum albumin,


prothrombin time [PT]) become abnormal with advanced

pathogenetic mechanism; however, no causal relationship has been


Defferential

bacteremia or abnormal absorption of toxic metabolites or bile acids.

Autoimmune Chronic Active Hepatitis

The hepatobiliary injury is mediated by activation of Kupffer cells and


release of cytokines such as tumor necrosis factor alpha.

Reovirus and cytomegalovirus (CMV) are possible etiologic agents,


analogous to a reovirus-induced cholestasis in mice.

Immunologically mediated damage to the biliary tree remains the

disease activity.

Human Immunodeficiency Virus Infection

PSC.

Langerhans cell histiocytosis

Chronic hepatitis

Serum carbohydrate antigen 19-9 (CA 19-9) level greater than 100
U/mL has 75% sensitivity and 80% specificity in identifying PSC

syndrome)

patients with cholangiocarcinoma.

Autoimmune Hepatitis

Imaging Studies:

patients with PSC compared to patients with IBD without liver


disease, with 25% of patients with PSC having at least one

Causes of sclerosis secondary to bile duct abnormalities :

autoimmune disorder outside of the liver and colon.

Choledocholithiasis

Gamaliel sps

p-ANCAs have been found to be present in 60-82% of patients with


PSC (with similar frequency in ulcerative colitis).

Idiopathic autoimmune hepatitis (can coexist with PSC, termed overlap

Autoimmune disorders are more frequent among

Both immunoglobulin G (IgG) and immunoglobulin M (IgM) as well as


the serum globulin fraction may be elevated in some patients with

o
o

Other Problems to be Considered:

Infectious hepatitis

of the perinuclear antineutrophil cytoplasmic antibodies (p-ANCA).

Serum cholylglycine often is markedly elevated, out of


proportion to the serum bilirubin elevation.

Cholestasis

most likely etiology of PSC.


Both patients with PSC and UC have a high prevalence

Serum transaminases may be normal or elevated to


several times normal.

patients with PSC.

established. An abnormal colonic mucosal barrier may lead to portal

The most common abnormality is an elevated alkaline


phosphatase or gamma-glutamyl transferase.

Significant alcohol consumption is never advisable in a patient with

infections, and immunologic and genetic factors have been proposed as etiologic

The high degree of association of PSC with IBD suggests a common

Liver function tests

These lend support to the theory that immunologic and


genetic mechanisms may be involved in the pathogenesis.

Causes:

Cholangiocarcinoma

Magnetic resonance cholangiography

Peripheral wedge-shaped areas of high T2 signal

during ERCP, but it carries an increased complication

intensity and dilatation of bile ducts are characteristic

rate.

MR findings in PSC.

Pathologic

correlation

of

magnetic

Liver biopsy

resonance

cholangiography (MRC) findings suggests that these

Ductular

complications,

such

as

dominant

strictures,

cholelithiasis, and ascending bacterial cholangitis

PSC.

Other associated diseases, such as IBD or other autoimmune

features include a periductal concentration of mononuclear cells and ductular


proliferation. Less specific liver histology can present with a picture resembling

patients with PSC compared to 97% for endoscopic

chronic active hepatitis. One series of childhood cases described consistent

with

retrograde cholangiography (ERCP) or percutaneous

periportal copper-associated protein (orcein stain) positivity. The most

methotrexate, cyclosporine, pentoxifylline, and antibiotics.

transhepatic cholangiography (PTC).

characteristic finding of PSC is a concentric obliterative fibrosis of interlobular bile

diseases

Pharmacologic therapies that have been evaluated in adult patients


PSC

ducts, with the presence of intrahepatic cholangiectasis with ductal obliteration.


This may reveal intrahepatic and extrahepatic ductal

Ultrasound may be normal in as many as 50% of


patients.

Procedures:
Endoscopic retrograde cholangiopancreatography

Staging:

prednisone,

azathioprine,

budesonide,

Effective treatment modalities remain undetermined at

Choleretic therapy with ursodeoxycholic acid (UDCA)


reportedly

The hepatic progression of PSC is divided into 4 histologic stages. These stages

improves

symptoms

and

biochemical

abnormalities in adult patients with PSC.

are used to document histologic progression and may help evaluate treatment

effect in clinical trials. The Mayo Clinic has developed a multivariate statistical

Children with PSC experience significant improvements


in their liver biochemical indices when treated with

survival model from long-term survival data (Mayo risk score). The Mayo natural

UDCA; however, the long-term effect of UDCA on the

history model of PSC computes the score based on the patients age, history of
aminotransferase. This has been a major step in identifying patients at low,

include

present.

This pathognomonic lesion has been observed occasionally in children with PSC.

variceal bleeding, and serum levels of albumin, bilirubin, and aspartate

MRC has an overall diagnostic accuracy of 90% in

observed with portal hypertension.

Chronic cholestasis with pruritus and malabsorption

and bile duct inflammation.

observed with cirrhosis, and splenomegaly and ascites

Histologic Findings: A wide range of histologic findings exists in PSC. Nonspecific

dilatation, increased echogenicity and heterogeneity

Cirrhosis and portal hypertension

features may be related to underlying perfusion changes

Ultrasound

Certain liver histologic findings are highly suggestive of

clinical outcome of PSC remains to be determined.

Dominant strictures of the extrahepatic biliary tree, most often at the

Cholangiography remains the criterion standard for

moderate, and high risk of dying while early in the course of PSC. In an age-

bifurcation of the hepatic ducts, are a major problem for patients with

establishing the diagnosis of PSC.Cholangiography

adjusted multivariate analysis, each unit increase in the Mayo risk score was

PSC.

demonstrates irregularly distributed, multifocal strictures

associated with a 2.5-fold increase in risk of death, whereas the Child-Pugh

Surgical Care:

and dilatations of the intrahepatic and extrahepatic bile

classification for advanced cirrhosis had no significant impact on survival. The

ducts, which give the characteristic appearance of

histologic stage of disease consistently has been useful in predicting survival,

choledochoenterostomy) are insignificant in the management of

beading.

most likely related to a large sampling variability with liver biopsies.

PSC.

Therapeutic interventions, such as dilation of strictures

Medical Care:

or placement of an endoprosthesis, can be performed

Gamaliel sps

Direct therapy for patients with PSC toward managing the following:

Surgical

drainage

procedures

(portoenterostomy,

These procedures may provide palliation but do not alter

the natural history of the disease because of the

Surgical drainage procedures are associated with


increased risk of cholangitis postoperatively, and
subsequent liver transplantation may become technically

from

numerous

liver

transplant

centers

survival for patients with end-stage PSC.

approximately equal to 90%, respectively.

Biliary strictures, both anastomotic and nonanastomotic,


can occur.

Actuarial patient survival rates after OLT for PSC at 1


and 5 years have been shown to be greater than and

Chronic ductopenic rejection adversely affected patient


and graft survival.

demonstrates excellent long-term patient and graft

Acute cellular and chronic ductopenic rejection


compared to a non-PSC control group.

treating children with PSC.


Data

Posttransplant patients are subject to a wide array of complications


secondary to chronic immunosuppression.

Orthotopic liver transplantation (OLT) has proven successful in

Chronically active disease may be a risk factor, whereas


folate may have a protective effect.

more difficult.

Recurrent sclerosing cholangitis

Prognosis:

Diet:

PSC is characterized by a slow, insidious progression to cirrhosis.

As with other cholestatic disorders, provide fat-soluble vitamin supplementation

The identification of abnormal LFTs in patients with IBD has led to

(vitamins A, D, E, K) and nutritional support to ensure adequate growth.


No effective medical therapies exist for PSC. Choleretic therapy with UDCA has
been reported to improve symptoms and biochemical abnormalities, but the long-

earlier diagnosis of PSC, with likely longer apparent survival times.

Despite progress in early recognition, optimal treatment of patients

PENDAHULUAN
Manajemen cairan dan elektrolit merupakan hal yang sangat penting dalam
penanganan kasus kasus bedah anak. Pada pasien anak, gangguan cairan
tubuh, elektrolit dan keseimbangan asam-basa lebih sering ditemukan dan acap
kali gangguan ini lebih serius dari pada orang dewasa. Beberapa hal yang
menyebabkan anak lebih rentan terhadap gangguan tersebut adalah:
1.
2.

Kecepatan "turn over" air, elektrolit, asam-basa dan makanan per KgBB
pada bayi
adalah tiga kali orang dewasa.
Fungsi ginjal, terutama pada beberapa bulan pertama masih belum
sempurna sehingga kemampuan untuk mengkoreksi gangguan hidrasi dan
keseimbangan asam basa belum memadai.

Untuk dapat mengatasi gangguan hidrasi, status asam-basa dan gangguan


nutrisi kita perlu meninjau kembali prinsip-prinsip fisiologi cairan tubuh anak.
Berat badan anak dapat dibagi dalam 2 fraksi yaitu
cairan dan jaringan padat terdiri dari sel,mineral pada
tulang rangka dan jaringan lemak. Pada masa prenatal
awal cairan tubuh per KgBB adalah banyak dan sejalan
dengan usia kehamilan selanjutnya, fraksi jaringan
padat (protein, mineral tulang rangka dan jaringan
lemak) bertambah banyak sehingga pada bayi cukup
bulan cairan tubuh adalah 0,78 X BB (Kg)

with PSC remains a challenge, requiring a multidisciplinary approach

term effect on clinical outcome remains undetermined

among hepatologists, endoscopists, surgeons, and interventional

Complications:

MANAJEMEN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PERIOPERATIP


PADA PASIEN BEDAH ANAK

colorectal cancer or dysplasia.

consistent involvement of the intrahepatic biliary tree.

Patients with UC and PSC are at increased risk of developing

radiologists.

Cholangiocarcinoma (CCA) develops in 10-15% of adult patients with


PSC.

Alcohol consumption has been shown to be an

The coexistence of UC is not predictive of an increased risk of death


in PSC. UC may be associated with an increased posttransplant
survival

independent risk factor for development of CCA in


patients with PSC.

Gamaliel sps

eMedicine Journal, February 6 2002, Volume 3, Number 2


Copyright 2002, eMedicine.com, Inc.

10

Gambar 1. Perbandingan fraksi anak dan dewasa


Pada masa awal perinatal cairan tubuh menurun secara mendadak sekitar 5%
dari berat badan lahir, mungkin lebih. Hal ini disebut penurunan berat badan

fisiologis yang terjadi pada saat-saat bayi mengadakan penyesuaian terhadap


lingkungannya sesudah lahir dan rnemantapkan minum peroral. Setelah itu
cairan tubuh adalah 0,60 X BB (Kg).
Cairan tubuh terdiri dari dua bagian besar:
Cairan intrasel
Cairan ekstrasel terdiri dari cairan plasma (intravaskular) dan cairan interstitial. 1,2
Tabel 1. Komposisi cairan tubuh pada anak.2,3
Tabel 2. Komposisi elektrolit dalam cairan tubuh anak. 3,4
MANAJEMEN TERAPI CAIRAN PERIOPERATIF
1.
Sebelum operasi (preoperatif)
I.I. Operasi emergency 1.5

Tabel 4. Perkiraan defisit cairan


Setelah menentukan status hidrasi penting pula mengetahui penyebab dari
dehidrasi tersebut, karena manajemen terapi cairan yang baik hanya dapat
dilakukan apabila kita tahu secara pasti, misalnya pada kasus luka bakar yang
berat (derajat 2 dan 3) dapat menyebabkan kehilangan cairan yang berat
sehingga memerlukan manajemen penggantian cairan yang sangat agresif atau
pada kasus obstruksi dari saluran pencernaan dimana keadaan ini sering disertai
emesis dan intake yang kurang. lskemi dari usus dapat menyebabkan kebocoran
kapiler dan menimbulkan syok. 6

Manajemen cairan dan elektrolit pada anak yang harus mengalami operasi
emergensi merupakan suatu hal yang amat penting. Waktu yang tersedia untuk
mempersiapkan pasien sangat terbatas, umumnya pasien emergensi bedah
anak datang dalam keadaan gangguan cairan dan elektrolit. Perlu
dipertimbangkan penyakitnya sendiri akan bertambah berat dengan penundaan
waktu, sedangkan melakukan operasi sebelum perbaikan umum juga
mempunyai resiko operasi yang besar.

Pemberian cairan dan elektrolit preoperatif pada kasus bedah anak merupakan
suatu hal yang unik. Beberapa disiplin ilmu dan pusat Rumah Sakit (RS)
melakukannya dengan berbagai cara.

Untuk melakukan manajemen yang baik maka sebaiknya kita menentukan


dahulu status hidrasi pasien.

Tabel 5, Kebutuhan cairan berdasarkan berat badan ( Kg)


Selain hal tersebut yang harus kita perhatikan adalah 2 kadar elektrolit didalam
darah yaitu Na+ dan K+ karena kedua elektrolit tersebut merupakan kation utama
dalam cairan tubuh. Kebutuban Na + adalah 1-3 mEq/100 cc sedangkan
kebutuhan Kalium 2 mEq/100 cc.
Pemberian cairan yang selama ini dipergunakan di RSHS adalah pemberian
50% dari cairan dehidrasi ditambah cairan maintenance diberikan dalam 2-6
jam dengan menggunakan cairan Ringer Lactat (RL) yang susunannya mirip
dengan plasma darah, diberikan dalam 2-6 jam karena diharapkan perfusi

Tabel 3. Penemuan klinis pasien dehidrasi


* Indikator terbaik dari status hidrasi
Dari pemeriksaan klinis tersebut kita dapat memperkirakan status hidrasi
pasien untuk kemudian memperkirakan besar defisit cairan tubuhnya.

Kebutuhan Cairan Pemeliharaan (Maintenance)

jaringan telah baik kembali. 1


Cara yang hampir sama dipergunakan oleh Divisi Bedah Anak di Children
Hospital Iowa, University of Iowa Hospital and Clinics. Mereka membagi
pemberian cairan dan elektrolit preoperatif dalam 2 bagian : 6
Fase 1.
Merupakan manajemen emergensi. Bila anak datang dalam keadaan dehidrasi
berat/syok diberikan bolus 20 mL/kg dari Ringer Lactat atau Normal Saline
secara intravena atau intraosseus. Setelah itu dilakukan penilaian respon dari
terapi tersebut. Bila tidak ada perubahan dalam status hidrasi setelah pemberian
60 mL/Kg etiologi lain selain syok hipovolernik harus dipertimbangkan (sepsis).
Fase II.
Dilakukan koreksi berdasarkan perhitungan cairan maintenance dan defisitnya.
Setengahnya diberikan dalam 8 jam, sisanya diberikan dalam 18 jam berikutnya.

Bila anak dalam keadaan isonatremi (130-150 mEq/L),


kekurangan natrium dapat dikoreksi dengan cara memberikan
Dextrose 5% dalam NaCI 0,45%.Kalium (20 mEq/L KCI) dapat
ditambahkan bila produksi urin sudah 1-2 cc/kg BB/jam.

Bila anak dalam keadaan hiponatremi (< 130 mEq/L.defisit dari


Natrium ini harus diperhitungkan dan ditambahkan pada cairan
rehidrasi.Kadar Natrium dikembalikan ke 130 mEq/L dan diberikan
koreksi selama 24 jam.
Cara koreksi nya:
Kekurangan Na+ = Na+ yang diinginkan Na+ sekarang x distribusi volume x BB
(Kg)
Sebagai contoh:
Na + = 123 mEq/L, BB = 10 Kg maka defisit dari Na
adalah = (130-123)X0,6XI0 Kg = 42 mEq Na +.
Koreksi Na+ dapat dilakukan dengan pemberian 5% Dextrose + NaCI 0,9% atau
NaCI 0,45%. Yang perlu diingat adalah tidak boleh melakukan koreksi Natrium
lebih cepat dari 0,5 mEq/L/jam
Sedangkan bila ditemukan keadaan hipokalemi (< 2,5 mEq/L) dilakukan koreksi
dengan KCI
Departemen Bedah Anak Virtual Naval Hospital di San Antonio melakukan

Gamaliel sps

11

koreksi cairan dan clektrolit dalam 3 Fase :

melakukan koreksi K+ bila didapatkan kadar K+ yang rendah. Koreksi K+ baru

Fase I

: Fase emergensi, koreksi dilakukan secara cepat

dilakukan pada fase ini karena diharapkan pemberian cairan pada 2 fase yang

rnenggunakan larutan RL atau Normal Saline selama 12 jam pertama sebanyak 10-20 cc/kgBB.
: Mengganti defisit dan maintenance cairan 24 jam

pertama telah mengembalikan perfusi cairan ke jaringan dan pasien telah


menghasilkan diuresis yang baik yaitu 1-2 cc/Kg/BB/ Jam.
Sebagai contoh:
1.
Anak usia 1 tahun, selama 4 hari mengalami penurunan BB sebanyak 1
Kg (Dari

Fase II
dalam 8 jam.
Fase III
: Memberikan sisa kebutuhan cairan 24 jam dalam 14-16 jam dan

Kg menjadi 9 Kg). Kadar K+ dan Na + normal.


Diperkirakan dehidrasi baru berlangsung (< 2 hari) rasio defisit ECF/ICF =
75%/25%.
dehidrasi sedang (2-7 hari) rasio defisit ECF/ICF = 60 %/40/o .
dehidrasi yang terjadi setelah 7 hari rasio defisit ECF/ICF 50%/50%.
Keadaan ini dinamakan dehidrasi isonatremi
defisit cairan total = 10 Kg-9 Kg = I liter.
defisit cairan ECF
= 60% X I liter = 600 cc
defisit cairan ICF
= 40% X I liter = 400 cc
ECF Na+
= 60% X 140 mEq/L = 84 mEq.
ICF K+
= 40% X 150 mEq/L = 60 mEq
Cairan dan elektrolit yang harus diberikan pada pasien ini adalah :
maintenance adalah 3 mEq/100 cc
maintenance adalah 2 mEg/ l00 cc
defisit diberikan pada hari pertama.
Maka :
Fase I (I jam pertama) 20 cc Normal Saline = 200 cc ( 200 cc cairan, 31 mEq
Na+)
Fase II (jam ke 2-8) kita mengganti 7 kebutuhan total 24 jam selama 7 jam atau
900 cc/7jam = 129 cc/jam.
Kita ingin memenuhi kebutuhan Na yang masih kurang yaitu 46 mEq dan ini bisa
kita
dapatkan dengan memberikan 1/3 Normal Saline dan D 5%.
Fase III (jam ke 9-24) setelah diuresis baik selain kita berikan sisa cairan
kebutuhan dalam 24 jam yaitu 900 cc dengan cairan D 5% dan 1/3 Normal
Saline selama 16 jam. Kita tambahkan K + sesuai kebutuhan maksimal 40 mEq/L
K+ yang diberikan pada hari pertama ini adalah dari kebutuhan.
2. Anak yang sama, narnun kadar Na+ nya rendah yaitu 120 mEq/L
defisit Na+ = Na+ yang diinginkan - Na+ sekarang X 0,6 X BB (Kg)
= (135-120) X 0.6 X 10
= 90 mEq
Kebutuhan cairan dan etektrolit pada pasien ini :
Fase I ( 1 jam pertama) Bolus NS 20 cc/kg BB = 200 cc cairan, 31 mEq Na+
Fase II ( Jam ke 2-8)
Sama seperti kasus pertama kita akan mengganti kebutuhan cairan dan
defisit Na+ maka cairan yang diberikan adalah D 5 % dan 2/3 NS.
Fase ke III (jam ke 9-24) diberikan 900 cc cairan D 5 % dan 2/3 NS selama 16
jam. Selain itu kebutuhan dan defisit K+ seperti juga soal nomer 1 diberikan pada
fase ini dengan jumlah yang sama.

Gamaliel sps

12

1.2 Operasi elektif


Berbeda dengan operasi emergensi, pada operasi elektif kita banyak mempunyai
waktu untuk melakukan manajemen cairan dan etektrolit dengan baik sehingga
pasien berada dalam keadaan optimal saat operasi.
Perhitungan kebutuhan cairan dan elektrolit harus mempertimbangkan beberapa
aspek lain misalnya bila ditemukan febris > 37C maka tiap kenaikan lC
kebutuhan cairan ditambah 12 %. Selain itu juga penting untuk mengetahui
komposisi kehilangan cairan tubuh yang dapat mempengaruhi keseimbangan
elektrolit.

Pada prinsipnya cairan, elektrolit dan nutrisi paling baik diberikan peroral karena
fisiologis dan tubuh sendiri yang melakukan seleksi terhadap apa yang
dibutuhkan melalui absorbsi didalam usus. Belum ada campuran cairan,
elektrolit dan nutrisi parenteral yang betul-betul dapat memenuhi kebutuhan
tubuh. Oleh karena itu bila keadaan pasien sudah memungkinkan secepatnya
diberikan peroral. Akan tetapi tidak selamanya pasien bedah anak
memungkinkan secepatnya diberikan cairan dan nutrisi peroral. Misalnya pada
pasien yang menyebabkan ususnya belum dapat berfungsi untuk itu misalnya
pasien dengan Necrotizing Enterocolitis, Gastroschizis, enterostomi didaerah
jejenum atau post reseksi usus karena trauma, perforasi demam typhoid, atresia
usus yang direseksi dan dianastomose, operasi by pass usus.5.6

5.

6.

(I ) : 2-6.
Ismael, Chaerul. Suroto Hamzah, Emilia, dkk, Buku Saku Terapi Cairan,
Enteral dan
Parenteral. Kelompok studi Terapi Cairan Parenteral. RS Hasan Sadikin
Bandung, 1997.
Hal 75-79.
Departement of Pediatrics, Virtual Naval Hospital. Electrolyte and Fluid
Abnormalities. In Pediatric Emergency Manual. San Antonio 2001 : 1 - 13

Referat Bedah Anak


10 April 2002
dr. Lili K. Djoewaeny
OBSTRUKSI INTESTINAL PADA NEONATUS

Tabel 6. Komposisi elektrolit yang hilang.


Komposisi Cairan yang sering digunakan dalam terapi cairan dan elektrolit
Penggantian kehilangan cairan gastrointestinal.
Cairan gaster
: 4,5 % NS, 20-40 mEq/L KCI.
Cairan gaster dan duodenum : Ringer Lactat, 20-40 mEq/L KCI.
lleostomy
: Ringer Lactat.
diarrhea
: 4,5 % Normal Saline, KCI atau RL dan KCI.
2. Selama operasi (Intraoperatif)
Sesungguhnya manajemen pemberian cairan selama operasi merupakan
tanggung jawab anestesi. Walaupun demikian ahli bedah sebaiknya mengerti
juga manajemen pemberian cairan intraoperatif. Selama operasi biasanya
diberikan cairan dextrose 5% dalam NaCI 0,225 % dengan kebutuhan
maintenance dan ditambah 2 cc/kg BB/jam untuk operasi berat. 2.5
3. Sesudah operasi (Pasca operatif)

Gamaliel sps

DAFTAR PUSTAKA
1.
Marks JF : Abnormalities of fluids, electrolytes, and calcium. Levin DL.ed.
Essentials of
Pediatric Care. Churchill Livingstone 1997; 2nd Edition; 543-547.
2.
Swenson O, Sherman JO, Fisher JH : Fluids and Electrolytes. J Pediatric
Surgery 4 :
346-349,1988.
3.
Sacher Peter. The Pediatric Surgery Handbook. Pediatric Surgical
Departement, Zurich
Switzerland, 2000.2nd Edition : 1-3.
4.
Ellsburry, Dan L. Dehydration . e-Medicine Journal, January 2002, Vol 3

13

Defek anatomi kongenital, kelainan metabolik, dan fisiologi abnormal dapat


menimbulkan keadaan obstruksi intestinal pada bayi usia sampai 1 bulan.
Manifestasi klinik utama dari obstruksi usus pada neonatal adalah muntah yang
bersifat bilious, juga distensi abdomen dan kegagalan pengeluaran mekonium
dalam 24 jam. Gejala tersebut pada bayi baru lahir harus diduga oleh karena
obstruksi mekanik sampai dibuktikan penyebab yang lain.
Pemunculan gejala klinik dapat bervariasi. Muntah yang terjadi biasanya bilious
walaupun bisa saja tidak demikian, akan tetapi kehilangan sekresi gaster,
pankreas empedu dan usus mungkin akan menyebabkan kehilangan cairan dan
elektrolit sehingga menyebabkan
hipovolemi, dehidrasi dan gangguan
keseimbangan asam-basa. Selain itu dapat pula menyebabkan isi muntahan
masuk ke paru-paru menyebabkan sumbatan jalan nafas dan aspirasi pneumoni.
Derajat distensi abdomen tergantung letak obstruksi. Obstruksi bagian distal
biasanya perut menjadi distensi, sedangkan bagian proksimal tidak demikian.
Obstruksi parsial mungkin manifestasi klinik minimal, atau bahkan tidak
ditemukan kelainan. Bila distensi sangat hebat bisa menekan diafragma dan
mengganggu pernafasan. Walaupun usus waktu lahir steril, tetapi segera setelah
itu bayi dapat menelan bakteri, dimana bakteri tersebut akan berproliferasi, jika
ada obstruksi dan akan menyebar melalui defek mukosa usus, hal ini bisa
menyebabkan sepsis.

Perlu pula diperhatikan cadangan glikogen, neonatus mempunyai cadangan


glikogen sedikit dan cepat habis dan akan habis dalam 72 jam, bayi menjadi
hipotermi, hal ini memperburuk keadaan bayi.
Berbagai macam pemeriksaan penunjang dapat dilakukan, terutama foto polos
abdomen, barium enema, dan serial upper gastrointestinal (GI) contrast. Jika
gejala klinik spesifik tidak ada, maka dimulai dengan pemeriksaan foto polos
abdomen, baru barium enema dan kemudian serial upper GI contras. Tetapi
jika gejala jelas seperti pada necrotizing enterocolitis photo polos abdomen
memberikan informasi adanya pneumatosis intestinal, sedangkan penyakit
Hirschsprung dan malrotasi mempunyai gambaran abnormalitas dengan barium
enema. Sedangkan serial upper GI contrast akan memberikan makna yang
jelas pada malrotasi atau obstruksi usus bagian proksimal atau obstruksi parsial.
Kelainan kongenital pada saluran gastrointestinal biasanya berhubungan
dengan kelainan lain, ditemukan kurang dari 10 % pasien. Sepertiga pasen
dengan anomali gastrointestinal mempunyai kelainan kromoson trisomy 21, dan
20 % mempunyai kelainan jantung bawaan. Cacat bawaan lain yang harus dicari
termasuk malrotasi dan THE VACTERL (VERTEBRAL, ANAL, CARDIAC,
TRACHEAL, ESOPHAGEA, RENAL DAN LIMB).
Ketika obstruksi intestinal ditegakkan maka segera lakukan penilaian keadaan
umum penderita, berikan koreksi cairan dan elektrolit, dekompresi dengan
pemasangan NGT atau pemasangan rectal tube dan irigasi isi kolon bila perlu.
Pemberian antibiotik, oksigen, dan pengaturan suhu lingkungan untuk
mencegah hipotermi.

dilihat adanya gambaran usus di dinding abdomen atau dapat melihat adanya
gerak peristaltik usus. Bising usus mula mula meningkat tetapi pada fase paralitik
akan melemah atau hilang.
Pemeriksaan colok dubur pada bayi prematur dengan obstruksi intestinal distal
dari ampula Vateri, biasanya rektum berisi mukus dari pada mekonium yang
mengandung empedu. Mekonium normal di rektum dapat diduga intestinal
bagian proksimal paten, meskipun obstruksi bisa kemudian terjadi.
Pemeriksaan penunjang
Foto polos abdomen adalah pemeriksaan penunjang yang pertama kali
dilakukan, pada atresia jejunoileal menunjukkan distensi loop intestinal bagian
proksimal dengan hilangnya udara di bagian distal usus halus dan kolon. Pada
neonatal gambaran haustrae normal tidak terlihat, maka sulit membedakan
dengan usus halus tanpa kontras. Obstruksi karena adanya membran mukosa
yang tidak lengkap akan sulit di diagnosa. Jika terdapat gambaran udara yang
multipel mungkin lesi atresia juga multipel.
Serial upper GI contrast sebaiknya tidak dilakukan bila obstruksi di proksimal
dan pembedahan sudah direncanakan.
Pemeriksaan laboratorium carian aspirat lambung yang mengandung 25 mL
empedu saat lahir mendukung adanya obstruksi intestinal.

Penyebab obstruksi intestinal pada neonatus :


1.
Atresia atau Stenosis intestinal
Atresia atau stenosis intestinal bisa terjadi pada seluruh lokasi, lesi bisa di
jejunum, ilium dan colon. Stenosis jika terjadi penyempitan lumen karena faktor
usus itu sendiri atau kompresi dari luar. Bentuk lesi atresia bergatung dari
kelainan embriogenesis.
Tipe I atresia terdapat diafragma / membran / web intraluminal, bisa lengkap
atau fenestrated
Tipe II atresia berupa ujung buntu yang dipisahkan oleh tangkai firbrosa
Tipe IIIa atresia berupa ujung buntu yang dipisahkan oleh defek mesentrium
Tipe IIIb atresia biasanya atresia jejunum bagian proksimal dengan gap
mesenterium dimana usus bagian distal diperdarahi oleh atreri ileocolica, colica
kanan, atau mesenterika inferior (dikenal dengan deformitas apple peel atau
christmas tree)
Tipe IV atresia berupa atresia intestinal multipel

Gamaliel sps

gambar tipe atresia intestinal


90 % atau lebih obstruksi jejunoileal kongenital karena atresia komplit, dan
sisanya karena stenosis atau membran intraluminal terbuka, kadang kadang
eksentrik, berukuran kecil mungkin hanya beberapa milimeter.
Lesi tunggal umumnya di distal ilium, tetapi bisa di semua tempat, dan distribusi
antara jejunum dan ilium hampir sama.
Presentasi klinik
Insidensi atresia sekitar 1 : 300 kelahiran sampai 1 : 20 000 kelahiran. Riwayat
polihidramion harus ditanyakan, karena berhubungan dengan absorpsi normal
cairan amnion. Setelah lahir bayi akan muntah bilious, abdomen menjadi distensi
dan kegagalan keluarnya mekonium.
Derajat distensi tergantung lokasi obstruksi, usia post partum, dan efisiensi
dekompresi bagian proksimal. Lebih distal obstruksi dan usia post partum lebih
tua distensi lebih hebat dari pada obstruksi bagian proksimal. Obstruksi
duodenum atau jejunum proksimal bisanya muntah lebih signifikan, tetapi
distensi mungkin minimal. Pada distensi abdomen yang hebat mungkin dapat

14

Terapi
Untuk semua tipe adalah operatif, strategi operasi adalah mengembalikan
kontinuitas usus (fisiologi usus) dengan mempertahankan panjang dan anatomi
normal sebisa mungkin.
Survival rate setelah operasi pada obstruksi intestinal tanpa komplikasi adalah
100 %, insidensi bocor anastomose atau striktur sekitar 10 15 %.
2. Obstruksi Duodenum Kongenital
Obstruksi duodenum kongenital bisa disebabkan karena atresia murni, membran
intraluminal, stenosis dan pankreas anular. Tidak seperti obstruksi jejunoileal,
obstruksi karena anomali duodenum dibagi menjadi membran intraluminal, atau
stenosis dan atresia lengkap. Atresia mungkin dengan atau tanpa otot. Membran
mungkin terbuka atau tidak. Obstruksi duodenum biasanya duodenum ascenden
pada level dekat ampula Vateri (tipe klasik) dan pada umumnya karena obstruksi
membran mukosa. Jaringan pankreas dapat menyebabkan obstruksi duodenum
jika kelenjar pankreas yang mengelilingi duodenum menetap, dimana pada saat
pembedahan diperlukan kehati-hatian karena jangan sampai merusak sistem
bilier dan saluran pankreas. Obstruksi sebelum melewati ampula Vateri biasanya
muntahan tidak berisi empedu. Membran periampular, yang menutup distal
lumen duodenum menunjukkan wind-sock deformity.

Presentasi klinik
Insidensi obstruksi duodenum kongenital sekitar 1 : 10 000 sampai 1 : 40 000
kelahiran, 20 40 % mempunyai kromosom trisomy 21. Riwayat polihidramnion
harus ditanyakan.
Karakteristik obstruksi duodenum kongenital adalah intoleransi makanan dan
muntah bilious pada 24 48 jam pertama, sebagai catatan obstruksi pr oksimal
dari ampula Vateri muntah non bilious.
Pemeriksaan fisik pada obstruksi duodenum yang belum ditangani adalah
mungkin terlihat gerakan peristaltik gaster di dinding abdomen, dan lambung
mungkin teraba. Usus halus menjadi kolaps dan tidak ada udara, bila ditemukan
harus berfikir diagnosis lain. Obstruksi parsial karena membran yang terbuka
mungkin memberi gejala yang tidak jelas dan diagnosa menjadi terlambat.
Pemeriksaan penunjang
Foto polos abdomen memberi gambaran klasik adanya gelembung udara ganda
double bubble, dimana udara mengisi gaster dan duodenum. Jika obstruksi
total usus halus dan kolon tidak menunjukkan gambaran udara dalam lumen
usus. Jika obstruksi parsial distal dari obstruksi masih dapat melihat adanya
udara dalam lumen dan harus segera diikuti dengan serial upper GI contrast.

gambaran atresia duodenum


gambar E menunjukkan wind sock deformity

gambar anular pankreas dan potongan melintangnya

Gamaliel sps

Terapi
Pembedahan segera dilakukan segera setelah evaluasi jantung dan problem
medis lain teratasi, explorasi bedah memudahkan kesulitan diagnosis
membedakan antara obstruksi duodenum karena atresia atau stenosis dengan
malrotasi yang disertai obstruksi duodenum karena Ladd band.
Tujuan prosedur operasi adalah koreksi kontinuitas duodenum tanpa
mengorbankan panjang dan area absorpsi usus, dan menghindari cedera pada
pankreas atau ampula Vateri. Bisa diatasi dengan duodenoduedenostomy atau
duodenojejunostomy.
Membran mukosa bisa dieksisi dengan pendekatan duodenotomy, kemudian
penjahitan transversal duodenotomy. Paling sulit jika membran membentuk
wind sock karena antara yang distensi dan yang tidak distensi mungkin hanya
beberapa senti meter ke distal dari pangkal membran. Caranya dengan memakai
NGT dimasukkan dan kemudian didorong kearah web, sehingga pangkalnya
akan teridentifikasi, yang dieksisi hanya bagian antagonis dari ampula Vateri.
Post operasi umumnya memerlukan nutrisi parenteral sampai enteral feeding
ditoleransi. Angka kematian meningkat bila ada trisomy 21 dan kelainan jantung.
3. Malformasi Anorektal ( Anus Imperforata )
Anus imperforata atau atresia ani terjadi karena gangguan embriogenesis saat
usia 8 minggu. Banyak klasifikasi dibuat untuk menerangkan kelainan anatomi
pada malformasi anorektal. Salah satunya oleh Wingspread International
Classification tahun 1984.

15

Terdapat 2 variasi umum pada laki-laki anus imperforata letak rendah dengan
fistula perineal dan agenesis anorektal letak tinggi dengan fistula rekto-prostatikuretra. Pada perempuan umumya rectal pouch rendah biasanya mempunyai
fistula ke perianal atau vestibulum vagina.
Otot otot striata yang bertanggung jawab terhadap kontinensia tinja, dan
berada dalam kontrol volunter, secara anatomi membentuk funnel-shaped
terdiri atas levator ani di cranial, sphincter eksterna di caudal serta puborektal,
dan beberapa otot lain.
Pembagian MAR klasik adalah membangi antara letak tinggi dan letak rendah,
sedangkan yang intermediet dikatagorikan ke dalam letak tinggi. Letak rendah
atau tinggi adalah bergantung pada letak ujung rectal pouch terhadap garis
pubococcygeal, jika berada di atas disebut letak tinggi, jika melewati batas
bawah tulang ischium dianggap letak rendah. Korelasi anatomi yang lebih
penting adalah dengan otot-otot striata, karena kontinen tinja berhubungan erat
dengan kompetensi otot-otot tersebut.
70 % penderita MAR biasanya mempunyai cacat bawaan lain, jadi harus dicari
kelaian VACTREL . Penting mencari kelainan vertebra, terutama lesi setinggi
sacrum, bisa displasia atau agenesis, hal ini untuk prognosis fungsi dari saraf
otonom sacrum yang ikut mengatur kontinen tinja dan fungsi urologi.
Abnormalitas sacrum sering didapatkan pada MAR letak tinggi. Pemerriksaan
MRI akan membantu mengenali kelaian otot-otot striata dan kelainan sacrum.

Table ANATOMIC CLASSIFICATION OF ANORECTAL MALFORMATIONS


Female
High
Anorectal agenesis
With rectovaginal fistula
Without fistula
Rectal atresia
Intermediate
Rectovestibular fistula
Rectovaginal fistula
Anal agenesis without fistula
Low
Anovestibular fistula*
Anocutaneous fistula*#
Anal stenosis**
Cloacal malformations
Rare malformations
* Relatively common lesion
# Includes fistulas occurring at the

Male
High
Anorectal agenesis
With rectoprostatic urethral fistula *
Without fistula
Rectal atresia
Intermediate
Rectobulbar urethral fistula
Anal agenesis without fistula
Low
Anocutaneous fistula*
Anal stenosis**
Rare malformations
(Modified from Templeton JM,
ONeill JA. Anorectal malformations.

posterior
junction of the labia minora, often
called
fourchette fistulas or vulvar fistulas.
**Previously called covered anus.
Previously called rectocloacal fistulas.
Entry of
the rectal fistula into the cloaca may be
high or
intermediate, depending on the length
of the cloacal canal.

In: Welch KJ, Randolph JG, Ravitch


MM, et al. eds. Pediatric surgery, ed
4. Chicago, Year Book, 1986:1022)

Pada MAR letak rendah mekonium bisa keluar lewat fistula di perineum atau
vestibulum vagina. Jika fistula cukup besar untuk pengeluaran mekonium, bisa
saja gejala obstruksi ringan atau bahkan tidak ada. Akan tetapi dalam beberapa
minggu atau bula bisa obstruksi total karena perubahan bentuk tinja. Mekonium
atau udara mungkin melewati fistula ke uretra atau kandung kencing (MAR letak
tinggi). Adanya skin bridge berupa bucket-handle di area anus petunjuk
kearah letak rendah. Sedangkan jika tidak ada bentuk kulit anus yang normal,
tidak ada kontraksi sphincter eksternal dengan rangsang kutaneus, dan bentuk
pantat yang flat bottom appereance mengarah ke MAR letak tinggi. Perlu
dibedakan antara atresia anorectal dengan fistula di perineum dengan anterior
ani, ini penting untuk terapi definitif.
Pemeriksaan penunjang
Pertama kali diagnosis MAR ditegakkan adalah penentuan letak tingi atau
rendah, kemudian mencari fistula dan cacat bawaan lain.
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah foto polos abdomen, radiografi
klasik adalah diperkenalkan oleh Wangensteen-Rice invertogram, dibuat foto
lateral pelvis setelah 12 24 jam lahir dengan posisi kepala dibawah. Udara
yang yang tertelan akan menjadi kontras dan mengisi rectal pouch dan
perineum diberi label radio opak. Kemudian dinilai letak ujung rectal pouch
terhadap pubococcygeal line dan ischium. Penilaian ini tergantung dari tehnik
radiografi dan pengalaman yang membaca foto tersebut. Pengisisan rektum
dengan udara yang kurang, dan kolaps di bagian kaudal pouch sangat
berpengaruh dan biasanya karena kesalahan tehnik posisi.
Ultrasonografi daerah perineum ditujukan untuk melihat anatomis di daerah
tersebut, tetapi bayi harus saat tidak menangis.
Bayi dengan MAR dan fistula ke kandung kencing atau uretra mungkin perlu
pemeriksaan cystourethrogram. Post operatif colostomy, dapat dilakukan
pemeriksaan barium enema pada colostomy distal. Atau dengan endoskopi jika
orificium uretra dan fistula cukup besar.
Penilaian fungsi dan anatomis otot-otot striata dengan CT-scan atau MRI,
sekaligus mencari kelainan vertebra sakrum.

gambar malformasi anorektal pada laki-laki dan garis pubococcygeal


Presentasi klinik
Insidensi, 1 : 5 000 kelahiran, laki-laki lebih banyak, letak tinggi laki-laki 2 kali dari
perempuan. 95 % MAR letak rendah pada laki-laki merupakan membran yang
tipis atau fistula pada garis perineal atau scrotum. 90 95 % MAR letak rendah
pada perempuan mempunyai fistula ke vestibulum atau perineal. Pemeriksan
fisik dan colok dubur saat lahir memegang peranan penting dalam mengetahui
adanya MAR sedini mungkin. Jika tidak diperhatikan biasanya bayi datang
dengan gejala obstruksi intestinal. Abdomen distensi dan muntah bilious muncul
jika obstruksi total, tetapi butuh waktu 24 jam atau lebih untuk mengetahui lokasi
obstruksi dibagian distal. Tidak adanya mekonium menunjukan obstruksi total.

Gamaliel sps

Terapi
Dibedakan letak tinggi dan letak rendah
Letak rendah
Tidak memerlukan diversi kolostomi, pada beberapa kasus hanya perlu dilatasi
fistula atau membuka membran yang menutupi anus. Tetapi jika lebih komplek
mungkin perlu anoplasty, umumnya dilakukan cutback anoplasty atau
terkadang dengan mobilisasi dan transposisi fistula di anterior dan menempatkan
di sphincter eksterna serta rekonstruksi perineum. Transfer anoplasty adalah
dengan mendesign neoanus di tengah-tengah sphincter eksterna dan
memisahkan dari introitus vagina.
Letak tinggi

16

Jika evaluasi sudah lengkap, perlu kolostomi diversi. Tujuannya untuk


mengeluarkan feces dan menghindari kontaminasi feces ke fistula urinary.
Prosedur pull-through dilakukan saat usia 9 dan 18 bulan atau berat bayi 10 kg.
Berbagai macam pendekatan tetapi tidak ada yang lebih unggul dan semuanya
mempunyai tujuan yang sama yaitu :

Menempatkan rectal pouch pada perineum

Eliminasi obstruksi rektum

Menempatkan pulled-through pada posisi senormal mungkin di otot-otot


striata

Menutup fistula rectourinary


Tetapi pendekatan posterosagital anorectoplasty ( Pena ) memberikan lapang
pandang yang lebih bebas dari tehnik lain seperti pendekatan sacroperineal dari
Stephen dan Smith atau diseksi endorektal dari Rehbein, keduanya merupakan
tehnik blind pull through rektum ke perineum tanpa visualisasi langsung otototot striata.
Angka kematian berkisar 11 35 %, untuk kejadian bocor atau striktur dengan
tehnik posterosagital anorectoplasty sekitar 5 -10 %.
Prognosis ikut ditentukan oleh cacat pada sacrum dan fungsi otot-otot striata.
4. Ileus Mekonium
Istilah ileus mekonium merujuk pada obstruksi usus halus karena mekonium
yang abnormal. Obstruksi biasanya pada usus halus bagian distal. Kasus ileus
mekonium ini jarang, terdapat 2 bentuk klinik yaitu simpel atau komplikata. 10 %
sampai 33 % mempunyai riwayat keluarga dengan Cystic Fibrosis.
Penderita dengan cystic fibrosis mempunyai kelainan dimana terdapat defek
transport elektrolit di epitel yang mengakibatkan impermiabel terhadap ion klorida
defek tersebut dapat terjadi pada epitel di kelenjar keringat, dan saluran nafas
juga di pankreas, usus atau hati. Keadaan ini menyebabkan kegagalan
reabsorpsi ion klorida, hal ini jelas dibuktikan dengan test stimulasi beta
adrenergik pada kelenjar keringat (+ jika Kandungan NaCl 60 mEq/L). Jika
mengenai pankreas maka kemungkinan adanya kegagalan dalam eksresi enzim
pankreas, dan bila mengenai usus maka kemungkinan yang terjadi adalah
kegagalan pada sistem absorpsi dan sekresi. Ileus mekonium diduga terjadi
karena kegagalan sekresi enzim proteinase sehingga terjadi perubahan pada
kekentalan dan kandungan protein mekonium. Mekonium menjadi lebih kental
dan padat sehingga akhirnya menyumbat usus halus terutama di proksimal
valvula ileocaecal. Ileum terminal terisi oleh mekonium nonbilious dan eksresi
usus. Kolon menjadi kecil karena tidak terpakai, namun struktur masih normal.
Konsistensi mekonium bervariasi, merupakan campuran mekonium, udara dan
material yang kasar. Otot di usus proksimal obstruksi menjadi tebal dan secara
mikroskopik sel-sel goblet dimukosa menjadi prominen dan epitel mukosa besarbesar.
Komplikasi inutero bisa terjadi pada kira-kira 1/3 sampai kasus dimana terjadi
kebocoran mekonium ( perforasi ), vovulus, atau atresia. Bentuk klasik perforasi

adalah peritonitis mekonium steril dan pembentukan kista semu kalsifikasi


(cacified pseudocyst).
Presentasi klinik
Setelah lahir bayi menunjukan gejala obstruksi intestinal, dengan perut kembung
dan muntah bilious, biasanya mulai hari pertama kehidupan. Pada pemeriksaan
fisik akan ditemukan suatu abdomen yang distensi, teraba loop usus yang terisi
mekonium seperti adonan. Pemeriksaan colok dubur ditemukan lendir yang
putih atau abu-abu tanpa warna khas empedu, tetapi hal ini masih belum
menyingkirkan kemungkinan lain yang menyebabkan obstruksi usus di bagian
proksimal. Jika terbentuk pseudocyst mungkin akan teraba massa intra
abdomen. Gambaran peritonitis dan sepsis bisa ditemukan tergantung berat dan
ringannya penyakit ini.

Terapi
Non operatif
Dengan irigasi dan evakuasi mekonium. Pemeriksaan kontras pada ileus
mekonium simpel dapat pula sebagai terapeutik, beberapa penulis menganjurkan
kontras yang larut dalam air dan ditambahkan kedalamnya dengan acetylcystein,
sebagai enema. Material tersebut dapat refluks kedalam ileum terminal dan
melarutkan mekonium yang abnormal tersebut, serta melebarkan kolon. Enema
diulang lagi dibawah fluoroskopi. Komplikasinya adalah perforasi usus.
Operatif
Dilakukan eksplorasi, dan pemberian acetylcystein langsung pada ilium yang
obstruksi, dan mekonium langsung dievakuasi. Pengelolaan operatif tergantung
temuan operasi.
5. Meconium Plug Syndrome
Sindroma ini adalah karena adanya obstruksi kolon distal atau rektum karena
mekonium. Bayi menjadi cepat kembung dan gagal untuk mengeluarkan
mekonium, muntah bilious. Colok dubur bisa dilakukan sekaligus sebagai terapi.
Tetapi pemeriksaan dengan kontras dapat menyingkirkan kemungkinan lain
seperti cystic fibrotik dan penyakit Hirschsprung. Secara anatomi dan fungsi
kolon dan rektum normal.

mekonium yang abnormal menyebabkan obstruksi

Pemeriksaan penunjang
Foto polos abdomen untuk ileus mekonium yang tidak mempunyai komplikasi,
memberikan gambaran kalsifikasi samar-samar seperti gelas pecah tanpa air
fluid level, hal ini karena viskositas mekonium yang kental seperti ter. Multi loop
intestin yang distensi dapat ditemukan, dan kadang kadang seperti gambaran
gelembung sabun ditemukan juga hal ini terjadi bila mekonium tercampur dengan
udara. Pada pemeriksaan radiografi dengan kontras akan melihat adanya mikro
kolon.
Pada ileus mekonium yang mengalami komplikasi, foto polos abdomen bisa
ditemukan adanya scatered calcifications juga mengindikasikan peritonitis
mekonium.
Ultrasonografi dapat menilai adanya kista yang cukup besar dengan gambaran
air fluid level

Gamaliel sps

6. Malrotasi
Embriologi
Rotasi dan fiksasi intestinal pertama kali dikemukakan oleh Prof. Mall, 1898, dari
Johns Hopkins. Pertumbuhan usus dengan cepat terjadi setelah minggu ke - 5
kehamilan. Mengakibatkan herniasi pertumbuhan mid gut di cincin umbilikus.
Selama fase ekstracoelomic perkembangan usus, segmen proksimal
duodenojejunal bergerak, dimana usus yang berada dibawah arteri mesenterika
superior dari kanan ke kiri. Bagian ke empat duodenum terfiksir oleh ligamentum
Treizt. Segmen jejunoileal terjadi perpanjangan, sedangkan bagian distal mid
gut, akan menjadi caecum, dan kolon kanan, bergerak dari kiri ke kanan di
depan arteri mesenterika superior. Normalnya usus akan mengantung pada
retroperitoneal. Proses elongasi ekstracoelomic, rotasi, reduksi usus
ekstracoelom, dan fiksasi ke retroperitoneal selesai pada usia 12 minggu
kehamilan.
Malrotasi
Malrotasi merujuk pada kegagalan rotasi dan fiksasi. Lebih spesifik, non rotasi
merujuk pada pemanjangan usus pada aksis srteri mesenterika superior tanpa
adanya rotasi. Inkomplit rotasi jika terdapat rotasi tetapi tidak sempurna. Kedua
kelainan ini bisa menyebabkan volvulus mid gut. Obstruksi duodenum, dan
hernia interna (reverse rotation) terjadi pada rotasi yang tidak sempurna.

17

Fiksasi yang tidak sempurna jika gagal turunnya caecum dan fiksasi
mesenterium. Hernia interna dan volvulus caecum akibat fiksasi tidak sempurna.
Anomali lain yang menyertai bisa adanya hernia diafragmatika, atresia
duodenum paling sering, omphalocele, gastroshizis dan lainya.
Presentasi klinik
Tidak semua malrotasi menyebabkan kelainan, gejala obstruksi intestinal muncul
sesuai dengan kelainan yang ada. Bisa distensi atau tidak, bisa dengan gejala
strangulasi atau peritonitis atau sepsis. Umumnya karakteristik pada anak usia
bulan pertama mengalami distensi abdomen, muntah bilious, berak berdarah
padahal pernah mengalami episode pengeluaran mekonium yang normal saat
post partum.
Volvulus mid gut menjadi penting karena puntiran ini akan menyebabkan
gangguan suplai darah dari arteri mesenterika superior, letaknya sangat dekat.
Sehingga jika terjadi strangulata akan banyak usus yang hilang.
Obstruksi duodenum tidak saja karena volvulus tetapi bisa karena band yang
melekat dari caecum dan kolon proksimal menyilang duodenum ke posterior
kuadran kanan atas abdomen.
Pemeriksaan penunjang
Foto polos abdomen, mungkin ditemukan adanya perubahan posisi distribusi
udara kolon, atau adanya udara di gaster dan duodenum yang distensi tanpa
adanya gambaran udara mengisi usus lainya.
Foto radiografi dengan kontras, gambaran klasik adalah caecum ada di kuadran
atas, kecuali rotasi tidak sempurna dan caecum sangat mudah bergerak.
Malrotasi duodenum sering kali coiled ke kanan garis tengah memberikan
gambaran croksrew. Jika kontras tiba-tiba berhenti bisa diduga adanya
volvulus. Duodenum yang berada di sebelah kanan dari garis tengah, merupakan
salah satu kriteria malrotasi. Harus diingat volvulus tidak selalu menyebabkan
obstruksi.
Terapi
Operatif segera dilakukan tanpa menunggu pemeriksaan kontras jika malrotasi
sudah ditegakkan. Ladd procedure dapat dilakukan yaitu dengan melakukan
eksplorasi, derotasi volvulus, pemisahan band mesenterium, memisahkan
mesenterium duodenojejunum dari mesenterium cecocolica ( mulai dari dasar
mesenterium ) dan appendiktomi.
Karena operasi ini memerlukan waktu yang lama maka perlu penanganan post
operatif yang serius, fungsi usus bisa baru kembali dalam jangka 2 7 hari,
Second look diperlukan jika dalam 12 jam 24 jam terjadi perubahan klinis
kearah buruk, bisa karena infark mid gut.
7. Necrotizing Enterocolitis
Pneumatosis intestinalis biasanya menjadi petanda NEC, tetapi juga pada infant
dilaporkan akibat gastroenteritis akibat rotavirus, obstruksi menetap, dan respon

feeding susu sapi atau susu kedelai. Pada anak dan infant lebih tua dilaporkan
oleh karena infeksi rotavirus, penyakit paru kronik, dan terapi steroid.
Komposisi gas intramural : 30 % hidrogen yang mungkin akibat fermentasi
makanan oleh bakteri
Faktor resiko :
Prematur, asfiksia, polisitemia, sindroma distres pernafasan, anomali jantung,
mengalami kateterisasi umbilikus dan enteral feeding.
Adanya gas intramural atau di vena porta, dan rectal bleeding merupakan
tanda pathognomonic ( walaupun gejala muncul hanya sebentar )
Patogenesis : karena kerusakan mukosa usus, karena berbagai sebab.

Mild abdominal distention


Occult blood in stool (no fissure)
Abdominal radiographs showing distention with mild ileus

Beberapa peneliti melakukan pemeriksaan radionuklida dengan technitium 99,


untuk membedakan antara nekrosis trans-mural dengan cedera usus yang
reversible.

STAGE II (DEFINITE)
Any one or more historical factors
Above signs and symptoms, plus
Persistent occult or gross gastrointestinal bleeding
Marked abdominal distention
Abdominal radiographs showing significant intestinal distention
with:
Ileus
Small bowel separation (edema in bowel wall or peritoneal fluid)
Pneumatosis intestinalis
Portal vein gas

Terapi
Puasa 7 14 hari, antibiotik, aspirasi NGT teratur, dan nutrisi intravena.
Bayi discreening dari sepsis
Pemeriksaan abdomen dan X-ray dibuat untuk menilai progressivitas
Indikasi bedah :
Klinis makin memburuk, tidak ada perbaikan, dilatasi loop yang menetap pada xray, peritonitis, dan pneumoperitoneum. Beberapa merujuk adanya pneumatosis
vena porta.
Kosloske berpendapat, intervensi bedah dilakukan bila ada gas di vena porta,
pneumoperitoneum, dan pada paracentesis ditemukan posistif,
sedang trombositopenia dan klinis yang memburuk merupakan
indikator buruk. Indikator baik adalah pneumatosis berat.
Survival rate NEC baik terapi klasik maupun operatif sekitar 60 80 %.

STAGE III (ADVANCED)


Any one or more historical factors
Above signs and symptoms, plus
Deterioration of vital signs
Evidence of septic shock
Marked gastrointestinal hemorrhage
Abdominal radiographs showing pneumoperitoneum in addition to
findings listed for stage II
(Bell MJ, Kosloske A, Benton C, et al. Neonatal necrotizing enterocolitis in
infancy: prevention of perforation. J Pediatr Surg 1973;8:6013)

STAGING NECROTIZING ENTEROCOLITIS ( BEL. ET AL. ) :


STAGE I (SUSPECTED)
Any one or more historical factors producing perinatal stress
Systemic manifestations
Temperature instability
Lethargy
Apnea
Bradycardia
Gastrointestinal manifestations
Poor feeding
Increasing pregavage residuals
Emesis (may be bilious or test positive for occult blood)

Gamaliel sps

Presentasi klinik
Bayi yang mengalami NEC menunjukan gejala distensi abdomen, muntah bilious
dan adanya darah yang keluar bersama tinja. Tidak ada peneriksaan fisik yang
signifikan, perut yang cembung dengan nyeri tekan yang paling umum
ditemukan, sedangkan adanya perabaan loop intestinal yang menebal dan
menetap sangat individual dan tidak selalu ditemukan. Massa yang terfiksir intra
abdomen dan dinding abdomen yang eritrema, edema dan atau krepitasi
mengindikasikan adanya perforasi, usus yang nekrosis atau abses. Baradikardi,
distres pernafasan, oliguria, hipoksemia, asidosis, trombositopenia dan
temperatur yang tidak stabil menunjukan sepsis.
Pemeriksaan penunjang
Karena sulit menegakkan diagnosa secara klinik, foto polos abdomen sangat
membantu, pneumatosis intestinal atau gas di vena porta merupakan temuan
yang khas. Penebalan dinding usus, dan asites bisa ditemukan. Pneumatosis
umumnya di kuadran kanan bawah, kira-kira daerah ileocaecal.

18

8. Penyakit Hirschsprung
Merupakan penyakit kongenital, dimana tidak terdapat ganglion parasimpatis
pada dinding kolon. Rectum selalu terkena dan sebagian besar mempunyai
kelainan pada rektum dan sigmoid. Dapat mengenai segmen yang lebih panjang
sampai seluruh kolon, tetapi jarang sampai usus halus. Keadaan aganglion ini
mengakibatkan peristaltik usus terhambat, akibatnya terjadi obstruksi
fungsional.diduga heriditer.
Insidensi sekitar 1 dari 8000 kelahiran hidup. Lebih banyak pada kulit putih, lakilaki dibanding perempuan 4 : 1.
Secara embriologis penyakit Hirschsprung karena terhentinya migrasi bakal
ganglion yang berasal dari neuroblast, normalnya sel-sel tersebut berada di
rektum saat usia 12 minggu kehamilan.
Panjangnya intestinal yang terkena bervariasi, 80 % sampai 90 % mengenai
rektosigmoid. Seluruh kolon yang terkena dengan zona transisional di ileum
terminal sekitar 10 % dari seluruh kasus.
Hirschsprungs disease merupakan kelainan kongenital heriditer yang
menyebabkan obstruksi partial
Presentasi klinik
Adanya riwayat mekonium terlambat ( lebih dari 24 jam ) pada bayi baru lahir
disertai distensi abdomen dan muntah bilious merupakan gejala klinik yang
tipikal untuk penyakit Hirschsprung. Hampir lebih dari sepertiga kasus obstruksi
intestinal adalah karena penyakit ini.
Pemeriksaan inspeksi daerah perineum dan pemeriksaan colok dubur penting
dilakukan karena dapat membedakan dengan kasus imperforasi anus. Pada

penyakit Hirschsprung mungkin didapatkan tinja yang menyemprot keluar saat


colok dubur.

weeks of gestation

rapid deterioration

Mesenteric vascular
accident during fetal
life in 1 per 3,000

Within 24 hours
of birth; vomiting,
abdominal

with volvulus

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan barium enema sangat membantu menegakkan diagnosis penyakit
ini, dimana terdapat gambaran kolon yang menyempit disertai pelebaran pada
daerah transisional. Namun perlu diingat gambaran penyempitan kolon kiri bisa
juga disebabkan dengan apa yang disebut small left colon syndrome
Pemeriksaan manometri anorektal dapat dilakukan dan lebih banyak dipakai
pada anak yang lebih besar.
Pemeriksaan histopatologi dari transanal suction biopsy merupakan
pemeriksaan penunjang yang dapat menegakkan diagnosa penyakit ini, dan
biopsi juga dapat dipakai untuk membedakan dengan penyakit neruronal
intestinal dysplasia, karena kedua penyakit ini memberikan presentasi klinik
yang mirip. Biopsi diambil dari rektum paling tidak sekitar 2-3 cm diatas linea
dentata.

Jejunoileal
atresia

Terapi
Begitu diagnosis ditegakkan, intervensi harus segera dilakukan.
Irigasi kolon dilakukan untuk dekompresi adekuat dan mengurangi resiko
enterokolitis. Diversi kolostomi dapat dilakukan untuk dekompresi yang adekuat.
Lokasi kolostomi tergantung level segemen yang terkena. Definitive pull-through
procedures normalnya dilakukan saat usia 6 sampai 12 bulan. Beberapa
prosedur yang umum dilakukan adalah prosedur dari Swenson, modifikasi
operasi Duhamel, dan modifikasi Soave. 10 % - 20 % penderita post pull-through
mengalami enterokolitis, dan ini memperburuk prognosis. Penyulit lain yang
dapat terjadi adalah bocor dan striktur anastomose.

Necrotizing
Cause unknown in
to 12 days after birth,
ileus
2.4 per 1,000 live births
distention, vomiting, bloody

Jejunoileal
atresia
hours

Air-fluid levels on
abdominal film

Meconium
ileus

Abdominal film;
distention, air-fluid
levels, sweat test,
"ground-glass" sign

Necrotizing
ileus

Abdominal film;
distention,
pneumatosis,

Nasogastric suction,
IV fluids, nutrition,
antibiotics for 10

air in the portal

When perforated,
immediate surgery

distention
live births
Meconium ileusGenetic, occurs in 15%

Immediately after
of newborns with cystic
birth; abdominal distention
fibrosis, and in

nasogastric suction,
IV fluids; 12 to 24
Decompression

days.

bilious vomiting
1 per 5,000 to 10,000
live births

Pengelolaan dan manajemen post operasi


10

stools

Type of obstruction

Treatment management

Duodenal atresia

Diamond- shaped duodeno - duodenostomy

Malrotation volvulus

Ladd's procedure; with

Jejunoileal atresia

Resection(s) and anastomosis(es)

Prosedur diagnostik dan manajemen preoperative :


Type of obstruction
management

Resume

Diagnostic procedure
and findings

Preoperative
interval before

may require a second la

surgery
Penyebab obstruksi intestinal pada neonatus dengan gejala muntah bilious
:
Type of obstruction
Cause and incidence
Age of onset and presentations
Duodenal atresia
birth; billious

Embryogenic; occurs in

Few hours after

1 per 5,000 live births;


vomiting, no distention
25% have Down syndrome
Malrotation with
volvulus

Incomplete bowel rotation


occurring during 7th to 12th

Gamaliel sps

At 3 to 7 days;
bilious vomiting,

Duodenal
suction,
atresia
hours

Abdominal film,

Malrotation
suction,
with
surgery
volvulus
patients

Upper GI spiral sign

"double-bubble sign "

Nasogastric
IV fluids; 24 to 48
Nasogastric

on ultrasound; abnormal

IV fluid; STAT

location of the superior

for symptomatic

mesenteric vessels
other

19

within days for

Meconium ileus

Intestinal
Gastrografin enema
plus IVatresia or
stenosis
Bilious vomiting
distention
Plain radiograph

Enterostomy if complicated ;
fluids

Abdominal
Acholic meconium

Barium enema
Necrotizing ileus

Resection of necrotic bowel

Bilious vomiting
andenterostomy Congenital duodenal
distention
Plain radiograph
obstruction
Upper GI study

Trisomy 21

Imperforate anus
distention
Prognosis :

anus

Type of obstruction

Prognosis

Necrotizing enterocolitis

Duodenal atresia
serious anomalies

Good unless associated with

Malrotation with volvulus

Good without bowel resection,


difficult with short-gut syndrome
after bowel resection

Jejunoileal atresia
bowel
Meconium ileus

Good unless excessive loss of


Depends on the systemic problems

Necrotizing ileus

Failure to pass
meconium
Evaluate for VATER syndrome
Bilious vomiting (late)
and cardiac anomalies

Gastric

25% need surgery(65% survival


rate) 75% can be treated
medically (95% survival rate)

distention

abdominal distention

Full-term, healthy
infant
Plain radiograph
Bilious vomiting

Plain
Acholic

No

Upper GI study
Barium enema

IV = intravenous; GI = gastrointestinal.

Hirschsprung disease
distention
Barium enema

NEONATAL INTESTINAL OBSTRUCTION


Physical
Examination
Diagnosis

History
Relevant Studies

Gamaliel sps

Bilious vomiting

Delayed passage of
Suction rectal biopsy
meconium
Family history
Uncommon causes of

20

Medical conditions
Variable
Meconium Plug Syndrome
Associated with bilious
Hypothyroidism
vomiting and ileus
Others

Incarcerated
Mass

Sepsis

Nonpatent

Abdominal
Plain radiograph
Bilious vomiting Guaiac-positive stool
Contrast studies contraindicated

Malrotation

Variable

Abdominal

High-risk, premature
infant

Meconium ileusBilious vomiting Abdominal distention


radiograph
Cystic fibrosis
meconium
Barium enema

Neonatal obstruction
hernia
Variable
(intussusception,
Meckel diverticulum
duplications)

Abdominal
Trisomy 21

Daftar Pustaka
1.
Tracy, F. Thomas Jr ; Neonatal Bowel Obstruction in The Practise of
General Surgery; WB Saunders; Philadelphia; 2002; p. 911 916
2.
Breuer, K. Christoper et al.; Anomalies of Bowel Rotation, Malrotation, and
Midgut Volvulus in The Practise of General Surgery; WB Saunders;
Philadelphia; 2002; p. 918 912
3.
Dillon, peter W; Cilley, Robert E; Newborn Surgical Emergencies,
Gastrointestinal anomalies, abdominal wall defects in Pediatric Clinics of
North America; vol. 4, No. 6, Dec. 1993; p. 1293 1307
4.
Touloukian, Robert J ; Intestinal atresia and stenosis in Pediatric Surgery,
2nd Ed. ; WB Saunders; Philadelphia ;1993 ; p.305 317
5.
Groff, Diller,III ; Malrotation in Pediatric Surgery, 2 nd Ed. ; WB Saunders;
Philadelphia;1993; p.320 330
6.
Ismael, Chairul; obstruksi Pada Neonatus; Ropanasuri, Volume 12 No.3,
Juli 1983.
7.
Abhyankar,A; Corkery, J.J.; Lander A.D; Postoperative Pneumatosis
Intestinalis in Infants Does Not Automatically Preclude Enteral Feeding;
Journal of Pediatric Surgery, Vol.36, No.12 ; Dec. 2001; p. 1820 1822
8.
Kimura, Ken ; Bilious Vomiting in Newborn :Rapid Diagnosis of Intestinal
Obstruction ; American Family Physician. May 2000.
9.
Oldham, Keith T; Gastrointestinal Disoders, Neonatal Intestinal
Obstruction ; in greenfild Nyhus Surgery Principle and Practice; CD-R ;
Lippincot Raven Pub.;

FEMALE PSEUDOHERMAPHRODITE

COLOK DUBUR
CACAT KONGENITAL LAIN :
VACTERL

DJENI BIJANTORO, BUSTANUL A. NAWAS, CHAIRUL ISMAEL


SUB-BAGIAN BEDAH ANAK, BAGIAN BEDAH FK-UNPAD/RSUP dr HASAN

OBSTRUKSI INTESTINAL PADA NEONATUS


KEADAAN GAWAT BISA DARURAT
PRESENTASI KLINIK TERGANTUNG
LETAK OBSTRUKSI : TINGGI- RENDAH
SIFAT OBSTRUKSI : TOTAL PARSIAL
ANATOMI FUNGSIONAL
GEJALA UMUM
MUNTAH : BILIOUS ATAU NON BILIOUS
DISTENSI ABDOMEN : TERGANTUNG LETAK OBSTRUKSI
KEGAGALAN KELUARNYA MEKONIUM : > 24 JAM - TIDAK SAMA SEKALI
ANAMNESA
RIWAYAT KEHAMILAN
LAHIR PREMATUR
POLIHIDRAMNION
PEMAKAIAN OBAT-OBAT TERTENTU
RIWAYAT PENYAKIT HERIDITER
PEMERIKSAAN FISIK
KEADAAN UMUM : SEPSIS, STATUS HIDRASI
TERGANTUNG PENYEBAB
ABDOMEN :
DISTENSI SELURUH
ATAU KUADRAN ATAS DENGAN BAGIAN LAIN TIDAK
GAMBARAN USUS DI DINDING ABDOMEN
GAMBARAN PERISTALTIK USUS
PERINEUM :
ANUS

Gamaliel sps

PEMERIKSAAN PENUNJANG
FOTO POLOS ABDOMEN
TEGAK
LEFT LATERAL DUCUBITUS
DATAR
BARIUM ENEMA
SERIAL UPPER GI CONTRAS
USG
CT-SCAN - MRI
BIOPSI HISTOPATOLOGI

SADIKIN
BANDUNG
ABSTRAK

YANG DIPERHATIKAN :
DISTRIBUSI UDARA
AIR FLUID LEVEL
PNEUMATOSIS INTESTINAL / UDARA DI VENA PORTA
UDARA BEBAS / UJUNG RECTAL POUCH
GAMBARAN KALSIFIKASI
PENEBALAN DINDING USUS
DENGAN KONTRAS :
PENYEMPITAN KOLON
PELEBARAN KOLON
UJUNG KONTRAS

Penanganan operasi pada ambigous genital harus


dilakukan seawal mungkin (neonatus), segera setelah
diagnosis tegak untuk meminimalkan pengaruh
psikologis pada orangtua maupun penderita. Tindakan
operasi pada ambigous genital meliputi klitoroplasti,
labioplasti dan vaginoplasti dengan tujuan memperbaiki
bentuk kosmetik dan sensibel yang baik maupun fungsi
genital agar menjadi normal atau mendekati normal.
Tehnik operasi harus memperhatikan : 1. Perdarahan
yang minimal dan preservasi neurovaskuler untuk suplai
ke glans, 2. Membentuk klitoris normal dengan
mengurangi ukuran glans dan panjang korpus
kavernosa, 3. Membentuk labia minora dan labia
mayora yang menutupi klitoris, 4. Membentuk vagina
dengan lumen yang adekuat untuk fungsi seksual
dikemudian hari.
Telah dilakukan operasi klitoroplasti dan labioplasti pada dua kasus
(anak usia 2 dan 5 tahun) dengan diagnosis Female Pseudohermaprodite
(gender perempuan) dengan hasil baik dan tidak didapatkan komplikasi.

PENYEBAB OBSTRUKSI :
ATRESIA DAN STENOSIS INTESTINAL
ATRESIA / STENOSIS DUODENUM, ANULAR PANKREAS
MALROTASI, VOLVULUS
NEC
MECONIUM ILEUS / MECONIUM PLUG SYNDROME
PENYAKIT HIRSCHSPRUNG
MALFORMASI ANOREKTAL

Kata kunci : ambigous genital, klitoroplasti


PENDAHULUAN
Bayi yang lahir dengan kelainan ambigous genital harus segera ditentukan
jenis kelaminnya (gender), untuk meminimalkan trauma psikis dari penderita
maupun orangtua. Walaupun angka kejadiannya jarang, pengelolaan ambigous
genital lebih kompleks karena memerlukan kerjasama tim ahli (Endokrinologi,

KLITOROPLASTI PADA

21

Pediatri Sosial, Bedah Anak, Radiologi dan Psikiatri). Pembagian ambigous

genital berdasarkan adanya gonad yang simetris/asimetris dan kromosom

penis dan didapatkan lubang vagina. Pemeriksaan laboratorium darah dalam

ditemukan massa (testis/ovarium), status lokalis genital ditemukan penis panjang

marker, adalah:

batas normal, pada USG tidak ditemukan gambaran testis pada intra abdomen

3,5 cm diameter 1,5 cm, muara orifisium urethra eksterna distal dari penis dan

1.
2.

maupun inguinal kiri dan kanan, CT scan ditemukan uterus yang kecil dan tidak

didapatkan lubang vagina. Pemeriksaan laboratorium darah dalam batas normal,

Female Pseudohermaphrodit (gonad simetris dan kromatin pos/flouresen Y

ditemukan testis/ovarium ditempat normal atau ektopik , HCG < 2 mIu/ml,

pada USG tidak ditemukan gambaran testis pada intra abdomen maupun

neg)

hormon testosteron 272 ng/dl dan sitogenetik ditemukan sebagian besar populasi

inguinal kiri dan kanan, CT scan ditemukan uterus yang kecil dan tidak ditemukan

Male Pseudohermaphrodit (gonad simetris dan kromatin neg/flouresen Y

sel tidak mengandung kromosom seks Y, yaitu 47,XX dan 46,XX. Penderita

testis/ovarium ditempat normal atau ektopik , HCG < 2 mIU/ml, hormon

pos)

dikelola oleh tim yang terdiri ahli anak( endokrinologi dan pediatri sosial), ahli

testosteron 275 ng/dl dan sitogenetik ditemukan sebagian besar populasi sel

3.

True hermaphrodit (gonad asimetris dan kromatin pos/flouresen Y neg)

bedah anak dan ahli jiwa, disimpulkan sebagai Female Pseudohermaphrodit

tidak mengandung kromosom seks Y, yaitu 46,XX. Penderita disimpulkan

4.

Mixed gonadal dysgenesis (gonad asimetris dan kromatin neg/flouresen Y

(gender perempuan).

sebagai Female Pseudohermaphrodite (gender perempuan).

pos)
PROSEDUR OPERASI
Penderita ambigous genital yang sudah ditentukan jenis kelaminnya

Insisi dilakukan melingkar 2mm distal korona glans, kemudian

sebagai perempuan, tindakan operasinya meliputi klitoroplasti, labioplasti dan

degloving batang penis sampai pangkal dan kulit dorsal penis diinsisi pada

vaginoplasti. Operasi klitoroplasti bertujuan untuk kosmetik dengan mengurangi

garis tengah( Byars flaps) secukupnya (0,5-1cm dari dinding abdomen) untuk

penonjolan dari phalus dan glans yang besar dengan melakukan reseksi korpus

menempatkan glans pada mons pubis seperti posisi klitoris yang normal. Insisi

kavernosa atau kombinasi reduksi dan reseksi korpus kavernosa maupun glans,

paralel menembus fasia Buck pada dorsal korpus daerah bundel neurovaskuler

sehingga ukurannya seperti klitoris yang normal. Hal penting lain yang harus

dipreservasi secara hati-hati dengan mikrodeseksi dari basis glans sampai

diperhatikan adalah preservasi sensasi, mengeliminasi kemungkinan terjadinya

bifurkasio korpus kavernosa, sehingga terpisah dari korpus kavernosa dan

ereksi korporal kemudian hari. Vaginoplasti bertujuan membentuk kosmetik

direseksi pada batas ini. Basis glans dideepitelisasi, kemudian glans di

dengan lumen yang adekuat dimana nantinya dapat digunakan untuk

reaproksimasi dengan sisa korpus dengan jahitan satu-satu menggunakan

berhubungan seks saat dewasa, dan untuk mengeluarkan sekret dari uterus.

benang non absorbsi 4-0. Glans yang sudah dideepitelisasi difiksasi pada
daerah mons pubis. Kulit dorsal penis dibuat flap menjadi labia minora yang

LAPORAN KASUS

akan menutupi neoklitoris.


KASUS 2

KASUS 1

Seorang anak umur 5

Seorang anak umur 2 tahun dengan keluhan utama kelamin ganda.


Anak ke 2 dari seorang ibu 24 tahun, kehamilan cukup bulan dan berat badan
lahir 3,2 kg. Sejak lahir didapatkan alat kelamin ganda, alat kelamin laki-laki sejak
usia 4 bulan dirasa makin besar. Pada pemeriksaan fisik dalam batas normal,
inguinal tidak ditemukan massa (testis/ovarium), status lokalis genital ditemukan
penis panjang 2,5 cm diameter 1 cm, muara orifisium urethra eksterna distal dari

Gamaliel sps

Pasca operasi penderita dirawat selama 4 hari dengan hasil luka

tahun dengan keluhan utama kelamin ganda. Anak ke 1 dari seorang ibu 30
tahun, kehamilan cukup bulan dan berat badan lahir 2,9 kg. Sejak lahir
didapatkan alat kelamin ganda, alat kelamin laki-laki yang makin membesar
sesuai dengan umur pertumbuhan. Selama ini anak diperlakukan sebagai anak
perempuan. Pada pemeriksaan fisik dalam batas normal, inguinal tidak

22

operasi baik, kemudian dipulangkan untuk kontrol di poliklinik bedah anak.


GAMBAR.

DISKUSI
Tipe dari kelainan ambigous genital dan penentuan gender akan
menentukan tidakan operasi maupun saat operasi yang ideal untuk mendapatkan
hasil yang optimal. Jika didapatkan vagina atau vagina masuk dalam sinus
urogenital dan didistal dari spingter eksterna, operasi reseksi klitoris atau
dikombinasi dengan vaginoplasti dilakukan pada usia antara 3-6 bulan. Pada dua
laporan kasus ini penderita didapatkan vagina dan penis (2,5x1 cm dan 3,5x1,5
cm), yang idealnya dioperasi pada usia 3-6 bulan, tetapi kurangnya informasi dan
masalah dana dari orangtua penderita, sehingga penderita baru dibawa berobat
pada usia 2 dan 5 tahun. Orang tua penderita mengalami tekanan dalam
memperlakukan dan mendidik anaknya, walaupun selama ini anak diperlakukan
sebagai anak perampuan.
Operasi klitoroplasti penderita ini hasilnya secara kosmetik baik,
dimana klitoris tertutup labia minora seperti klitoris yang normal, diproksimal dari
orifisium urethra eksterna.
Tehnik klitoroplasti harus dapat digunakan untuk berbagai ukuran

Reseksi korpus kavernosus saja kadang kurang memuaskan

glans, preservasi neurovaskuler dari glans yang baik agar sensasinya tetap

hasilnya karena dengan mengurangi panjang dari batang penis saja glans masih

normal, mencegah terjadinya priapismus dan penampilan kosmetik yang

tetap besar, sehingga secara kosmetik kurang memuaskan. Hutson dan kawan-

memuaskan. Prosedur operasi harus aman untuk dikerjakan pada neonatus,

kawan menggunakan tehnik Girth reduction clitoroplasty untuk mengurangi

sehingga pengaruh psikologi terhadap anak dan orangtuanya akan lebih baik.

besarnya glans. Tehnik ini dikerjakan dengan melakukan pembelahan (bivalved)


korpus kavernosus dan glans pada bidang koronal, mengurangi 50% korporal
bagian ventral sampai basis korpus.

Gamaliel sps

23

DAFTAR PUSTAKA
1.

Donahoe PK, Schnitzer JJ: Ambiguous genetalia. In ONeill JA,


editor: Pediatric Surgery, 5th, Chicago, 1998, Mosby-Year
Book.

2.

Sheldon CA: Intersex State. In Oldham KT, editor: Surgery of


Infants and Children, Philadelphia, 1997, Lippincott-Raven.

3.

Aaronson IA: Sexual differentiation and intersexuality. In


Belman AB, editor: Clinical Pediatric Urology, 4 th, London,
2002, Martin Dunitz.

4.

Donahoe PK, Powel DM: Treatment of Intersex Abnormalities.


In Ashcraft KW, editor: Pediatric Surgery, 2th, Philadelphia,
1993, WB Saunders.

5.

Nonomura K, Kakizaki H: Vaginoplasty with the labioscrotal


flap: a new flap vaginoplasty. In Thuroff JW, editor:
Reconstructive Surgery of the Lower urinary tract in Children,
Oxford, 1995, Isis Medical Media.

6.

Hutson JM, Voigt RW, Luthra JM (1991) Girth-reduction


clitoroplastyp-a new technique: experience with 37 patients. J
Pediatr Surg 6: 336-340.

UNDESCENSUS TESTIS
(CRYPTORCHISMUS)
Pendahuluan
Undescensus adalah suatu keadaan dimana testis berhenti di suatu tempat pada
jalur descensus yang normal antara renal dan daerah scrotum. Sedangkan

Gamaliel sps

24

Ektopik testis adalah kelainan letak testis di luar canalis inguinalis dan scrotum,
dapat di perineum, femoralis maupun di dasar penis. Retraktil testis atau yo-yo
testis bukanlah suatu undescensus tetapi terjadi penarikan kedalam canalis

processus vaginalis turun ke scrotum bersama testicle dan kadang kadang


menjadi tunika dari gonad. Setelah gonad mencapai scrotum, gubernakulum
menjadi struktur yang tidak teridentifikasi. Banyak aspek perkembangan
embriologi dan morfologi testicle yang belum diketahui.

inguinalis oleh reflek cremaster yang hiperaktif, tetapi dapat diturunkan ke dalam
scrotum dengan sedikit manipulasi. Bila dengan pemeriksaan yang seksama kita
gagal menemukan testis di dalam canalis inguinalis atau perineum kemungkinan
testis secara kongenital absent atau mengalami atropi karena terjadi torsi, atau
dapat juga testis terletak di rongga peritoneum berbatasan dengan ring interna.

1.

Adanya traksi dari gubernakulum dan atau m. Cremaster

2.

Pertumbuhan differensial dari dinding tubuh yang berhubungan

3.

inguinalis

yang

ditandai

dengan

membengkaknya

gubernakulum.
4.

Kegagalan turunnya testis dapat disebabkan karena:

Testis berasal dari mesonepric ridge di kiri dan kanan, dan turun bawah menuju
ke rongga retroperitoneal. Dan dalam keadaan normal, testis bergerak ke

Kegagalan hormonal, gonadotropin yang inadekuat atau sekresi


testosteron yang inadekuat

Embriologi
2.

Disgenesis testis

3.

Kelainan antomi, misalnya: abnormal gubernakulum, obstruksi


canalis inguinalis, obstruksi scrotum.

scrotum pada bulan ketujuh dan delapan dari kehidupan fetus oleh
gubernakulum. Gubernakulum ke superior berhubungan dengan ujung proximal
vas deferen dan ke bagian distal diyakini terbagi menjadi beberapa ekor
memanjang ke m. dartos dan fascia di scrotum, fascia colles di perineum dan
tuberkulum pubikum dan crest, ligamentum inguinale dan fascia pada trigonum
femoral.
Testis turun melalui cincin inguinal externa menuju ke scrotum pada bulan ke
delapan dan sembilan dari kehamilan. Secara normal testis mengikuti extensi
dari scrotum, tetapi kadang-kadang mengikuti salah satu dari ekor gubernakulum
menuju lokasi ektopik di perineal, suprapubik atau daerah femoral. Saat itu
gubernakulum membengkak dan memendek, dan menyebabkan testis turun dari
canalis inguinalis ke dalam scrotum, dengan pengaruh gonadotropin ibu dan
testosteron dari testis. Dengan makin membesarnya rongga peritoneum,

Gamaliel sps

spermatogonia pada testis yang kontralateral. Penelitian secara mikroskop


elektron terjadi degenerasi epitelium germinal mulai dari th ke 2 kehidupan,
hal ini mungkin berhubungan dengan suhu abdominal yang meningkat 1,5-20+F
dibanding dengan suhu di dalam scrotum.
Peningkatan insidensi dari degenerasi maligna pada undescensus testis

Perkembangan dan maturasi dari epididimis

Undescensus Testis lebih sering mengenai testis sebelah kanan, 10-15% terjadi
1.

spermatogonia. Penelitian juga menunjukan 52,7% terjadi penurunan

meskipun perubahan struktural dari sel leydig sudah terjadi pada tahun pertama,

Tekanan intra abdomen yang mendorong testis keluar melalui


canalis

insidensi 2,7%. Pada anak-anak usia 1 th terdapat 1% Undescensus testis. Testis

bilateral

penurunan kandungan spermatogonia pada undescensus testis dimana pada


tubulus yang berlanjut sampai usia 15 th. 14% pada undescensus testis tidak ada

Menurut Hurtles (1984), turunnya testis ke dalam scrotum disebabkan karena:

Undescensus Testis 21% terjadi pada bayi prematur, pada bayi yang cukup umur
biasanya dapat turun secara spontan dalam tahun pertama kehidupan.

dalam 2 th pertama kehidupan pada undescensus testis. Selama th ke 3 terjadi


testis yang normal terjadi peningkatan baik spermatogonia maupun diameter dari

Mekanisme Turunnya testis

dengan gubernakulum yang immobile.


Insidensi

Studi histologi memperlihatkan tidak ada kerusakan epitelium germinativum

Patologi
Ada bukti bahwa penurunan testis di bawah pengaruh endokrin. Dari penelitian
bahwa androgen yang dihasilkan oleh sel leydig bertanggung jawab terhadap
descensus testis yang normal. Pada Undescensus testis unilateral testis lebih
kecil dari kontralateral dan memiliki struktur yang abnormal.
Marshall dan Shermeta juga mengamati struktur yang abnormal ini mempunyai
peranan dalam infertilitas. Penyebab tersering dari Undescensus testis unilateral
adanya defek pada testis itu sendiri sehingga tidak mampu merespon stimulasi
dari endokrin atau terjadi blok mekanisme terhadap prosesus descensus.

25

merupakan refleksi lainnya bahwa abnormalitas sudah mulai terjadi dari awal.
Secara praktis setiap undescensus testis berhubungan dengan patensi dari
processus vaginalis dan beberapa pasien disertai dengan hernia.
Diagnosis
Diagnosis dari undescensus testis mulai dari tidak ditemukannya 1 atau ke 2
testis di dalam scrotum. Bila sebelumnya ke 2 orang tua penderita mengetahui
terdapat ke 2 testis di dalam scrotum kemudian menghilang kemungkinan terjadi
ascending testis karena retraktil. Disis lain bila terdapat riwayat bengkak dan
nyeri kemungkinan terjadi torsion dan teestis menjadi atropi. Bila testis tidak
pernah turun hemiscrotum menjadi kecil dan halus. Pemeriksaan tidak boleh
tergesa-gesa dan harus gentle dan anak harus relax, dapat pada posis :
Supine
Anak dalam posisi sit up, pada testis
retraktil dapat kembali masuk ke dalam
scrotum.
Berdiri, anak disuruh mengedan atau batuk,
bila testis teraba di dalam canalis inguinalis
tetapi tidak dapat dibawa turun ke dalam
scrotum dapat dibuat diagnosis suatu
undescensus testis.
Pemeriksaan lain palpasi di daerah canalis femoral, perineum untuk menemukan
ektopik testis. Lokalisasi preoperatif dari testis yang tidak teraba dapat ditentukan
dengan USG dan CT scan. Pada USG testis yang berada di inguinal dapat
dengan mudah di identifikasi tetapi yang terletak lebih dalam biasanya sulit,
dengan CT scan dapat memperlihatkan testis yang terletak di abdominal. Pda

pemeriksaan X-Ray dengan menggunakan venograpi percutaneus dapat


memperlihatkan visualisasi dari plexus pampiniform. Teknik lainnya dengan
laparoskopi untuk menentukan lokasi secara tepat di dalam intra abdomen, juga
berguna untuk identifikasi undifferentiated gonad dan sisa ductus mullerian.
Bila ke 2 testis tidak dapat di palpasi sangat berguna untuk menentukan fungsi
dari testis sebelum explorasi, dapat dikerjakan dengan HCG stimulation test.
Level serum testosteron ditentukan sebelum dan sesudah pemberian HCG
sejumlah 2000 unit/hari selama 4 hari. Jika terdapat gonad yang responsif terjadi
peningkatan testosteron plasma yang dramatis setelah stimulasi yang
merupakan alasan kuat untuk explorasi retroperitoneal dengan membuka rongga
peritoneum untuk menemukan testis.
Pengobatan
Dilaporkan dari uji klinik di Perancis 109 laki-laki dengan unilateral undescensus
testis dan 44 dengan bilateral undescensus testis usia antara 6 bln-5 th, mendapat
3 injeksi dari HCG setiap minggu selama 3 minggu masing-masing dosis berkisar
dari 500-1500 unit , terjadi penurunan ke dalam scrotum pada 12,4% terjadi
perbaikan pada 15,6%, tetapi 72% tidak ada perubahan. Hasil terbaik pada testis
yang terletak di canalis inguinalis, hanya 4% dari abdominal testis yang berhasil.
Dari penelitian ini diperlihatkan angka keberhasilan yang terbatas pada
pengobatan HCG pada anak.
Pemberian hormonal terapi pre operatif dapat meningkatkan ukuran testis dan
meningkatkan aliran darah sehingga hasil operasi menjadi lebih baik.
Jenis uretroplasty

Gamaliel sps

26

Você também pode gostar