Você está na página 1de 74

1. Apakah ilmu itu netral?

Sains dapat dikatakan netral dan konsisten jika sains tersebut


keputusannya tidak menghakimi dan mengkebiri individu maupun
kelompok tertentu dan kebenarannya selalu sesuai dengan zaman. Dan
jikalau sains tersebut telah dijadikan sebagai alat untuk menghakimi dan
mengkebiri individu maupun kelompok tertentu dengan alasan tertentu
maka jelas bahwa sains tersebut telah diarahkan oleh nafsu.
Salah satu bukti bahwa sains itu netral dan konsisten ialah pada peristiwa
pernyataan Galileo mengenai matahari sebagai pusat tata surya, hal ini
menimbulkan polemik dikalangan ilmuan pada zaman itu. Pada saat itu
teori aristoteles-lah, bumi sebagai pusat tata surya, yang paling
berkembang dan bahkan menjadi semacam kepercayaan dikalangan
masyarakat Italia pada saat itu. Bahkan akhirnya Galilleo ditahan oleh
penguasa sebagai tahanan rumah akibat penemuannya ini. Setelah
berkembangnya teknologi astronomi maka terlihat dengan jelaslah bahwa
mataharilah yang menjadi pusat tata surya.
Dari peristiwa tersebut dapat kita ketahui bahwa sains itu netral, hal ini
terlihat karena tidak ada fihak yang dirugikan bahkan dihakimi oleh
temuan sains tersebut, tetapi terkadang manusialah yang tidak bersikap
netral terhadap sains tersebut, seperti merubah data, tidak
mempublikasikan karena alasan politis, dll. Dalam peristiwa Galileo
tersebut bahwa peran penguasa yang berbau politis itu sangat menodai
kenetralan sains Galileo tersebut. Sains dapat dikatakan konsisten jika
sains tersebut sesuai dengan perkembangan zaman, dapat kita lihat
bahwa sains Galileo itu dapat terbukti dengan jelas seiring perkembangan
zaman.
Netralitas ilmu dalam ontology
Ontologi adalah salah salah satu diantara lapangan penyelidikan filsafat
yang paling kuno, awal mula alam pikiran barat sudah menunjukan
munculnya perenungan dibidang ontologi. Apa yang ingin diketahui oleh
ilmu, Atau dengan lkata lain apakah yang menjadi telaah bidang kajian
ilmu adalah hal-hal yang dibahas ontology. Menurut jujun obyek penelaah
ilmu mencakub seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh panca indr
manusia dalam batas-batas tersebut maka ilmu mempelajari obyek
empiris. Karena dalam bidang ini kewenangan ilmu hanya dalam batas
empiris, maka ilmu itu netral, dan pada tataran ini pula ilmuan harus
mampu menilai antara yang baik dan yang buruk, yang pada hakikatnya
mengharuskan dia menentukan sikap. Kenetralan atau kebebasan ilmu
yang dituntut tidak sama dengan ketidak terikatan mutlak, akan tetapi
kenetralan disini adalah diberlakukanya nilai khusus yang diwujudkan ilmu
pengetahuan. Karena kebenaran dijunjung tingi sebagai nilai, maka
kebenaran itu dikejar secara murni dan semua nilai lain dikesampingkan.
c.
Netralitas ilmu dalam epistimologi.
Apa untungnya bila sain itu netral? Bila sain itu kia angap netral, atau kita
mengatakan bahwa sain sebaiknya netral netral keuntunganya adalah
perkembangan sain akan cepat terjadi. Karena tidak ada yang
menghambat atau menghalangi tatkala peneliti.(1) memilih dan
menetapkan obyek yang hendak diteliti (2) cara meneliti dan (3)tatkala
mengunakan produk penelitian.

Orang yang mengangap sain tidak netral akan dibatasi oleh nilai dalam (1)
memilih obyek penelitian (2) cara meneliti dan (3) mengunaka hasil
penelitian.
Tatkala meneliti kerja jantung manusia,orang yang beraliran sain itu tidak
netral akan mengambil mungkin- jantung kelinci atau jantung hewan
lainya yang paling mirip dengan manusia. Orang yang beraliran sain netral
mungkin akan mengambil orang gelandangan untuk diambil jantungnya.
Orang yang beraliran sain volue bound, dalam epistimologi akan meneliti
jantung itu. Tidak dengan menyakiti kelinci itu .sementara orang yang
mengikuti sain volue free tidak akan memperdulikan obyek penelitian itu
menderita atau tidak. Orang yang beraliran sain netral akan mengunakan
hasil penelitian itu secara bebas, sedangkan sedangkan orang yang
bermadhap sain itu terikat akan mengunakan produk itu hanya untuk
kebaikan saja.
Ilmu merupakan pengetahuan yang didapat melelui Proses tertentu yang
dinamakan metode keilmuan. Metode inilah yang membedakan ilmu
dengan buah pikiran lainya. Atau dengan perkataan lain ilmu adalah
pengetahuan yang diperoleh melelui metode keilmuan metode menurut
senn sebagaimana dikutib jujun, merupakan produser atau cara
mengetahui sesuatu yang mempunyai lagkah-langkah yang sistematis.
Metodologi merupakan suatu kajian dalam mempelajari peraturanperaturan yang terdapat dalam metode ilmiah. Metode ioni secara filsafati
termasuk apa uyang diamakan epistimologi.Epistimologi dalah
pembahasan bagaimana kita mendapatkan pengetahuan: Apakah sumbersumber pengetahuan?Apakah manusia dimungkinkan untuk mendapatkan
pengetahuan? Sampai mana mungkin pengetahuan yang ditangkap
manusia.
Sebagaimana telah dinyatakan diatas, pengetahuan merupakan
kekuasaan yang pada dasarnya ditujukan untuk kemaslahatan manusia.
Masalahnya , seandainya seorang ilmuan dengan metode ilmunya
menemukan sesuatu yang menurutnya berbahaya bagi kemaslahatan
umat manusia apa yang harus ia lakukan? Haruskah ia
menyembunyikanya atau menyerahkan kepada manusia dan berpegang
pada prinsip kenetralan ilmu menghadapi masalah ini , majalah fortune
mengadakan angket yang yang ditujukan pada para ilmuan amerika
serikat. Hasilnya dari penelitian itu menunjuka mayoritas ilmuan
berkeyakinan tidak boleh menyembunyikanhasil penemuan apapun juga
dari masyarkat luas sewrta apapun juga bentuknya dari msyarakat luas
serta apapun juga akan menjadi konsekuensinya.
Kenetralan seorang ilmuan dalam hal ini disebabkan angapanya bahwa
ilmu pengetahuan merupakan rangkaian penemuan yang mengarah pada
penemuan selanjutnya. Kemajuan ilmu pengetahun tidak melelui loncatan
loncatan yang tidak berketentuan melainkan melalui proses kumulatif
yang teratur. Dengan demikian usaha menyembunyikan kegiatan kegiatan
kebenaran dalam kegiatan ilmiah merupakan kerugian bagi kemajuan ilmu
pengetahuan seterusnya , dalam penemuan ini ilmu itu bersifat netral. Dri
aspek inilah pengetahuan terbebas dari aspek-aspek yang mengikat.
Seoarang ilmuan tidak boleh memutar balikan penemuanya bikla
hipotesisnya yag dijunjung tingi yang disusun diatas kerangka pemikiran
yang terpengaruh preferensi moral ternyata hancur berantaklan karena
bertentangan dengan fakta-fakta pengujian. Disini hitam dikatakan hitam
dan putih dikatakan putih apapun juga konsekuensinya bagi obyek moral
yang mendorong dia untuk melekukan penelaahnya, penyimpangan dalam

halini merupakan pelangaran moral yang sangat dikutuk dalam


masyarakat ilmuan.
d.
Netralitas Ilmu dalam Aksiologi
Yang paling merugikan umat manusia adalah bila paham sain netral itu
telah menerapkan pemahamanya pada aspek aksiologi. Mereka dapat saja
mengunakan hasil penelitianya untuk keperluan apapun tanpa
mempertimbangkan nilai.
Paham sain netral sebenarnya tidak telah melawan atau menyimpang dari
maksud penciptaan sain. Tadinya sain dibuat untuk membantu manusia
dalam menghadapi kesulitan hidupnya. Paham ini sebenarnya telah
bermakna bahwa sain itu tidak netral,sain memihak pada kegunaan
membantu menyelesaikan kesulitan yang dihadapi oleh manusia.
Sementara itu paham sain netral terus justru akan memberikan kesulitan
bagi manusia menyelesaikan kesulitan yang dihadapi manusia. Kata kunci
terletak di aksiologi sain yaitu ini: tatkala peneliti akan membuat teori,
sebenarnya ia telah berniat membantu manusia menyelesaikan masalah
dalam kehidupanya, mengapa justru demikian temuanya dapat
menambah masalah bagi manusia? karena karena ia menganut sain netral
padahal sebenarnya seharusnya ia menganut sain yang tidak netral.
Berdasarkan uraian sederhana diatas diatas dapatkah ditarik kesimpulan
bahwa yang paling bijaksana ialah kita memihak atau memilih paham
bahwa sain tidaklah netral. Sain itu bagian dari dari kehidupan, sementara
kehidupan itu secara keseluruhan tidaklah netral. Paham sain tidak netral
adalah paham yang sesuai dengan ajaran semua agama dan sesuai pula
dengan niat ilmuan tatkala menciptakan teori sain. Jadi sebenarnya tidak
ada jalan bagi penganut sain netral.
2. Apakah seluruh masalah dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan?
Tidak seluruh.
Filsafat adalah ilmu istimewa yang mencoba menjawab
masalah-masalah yang tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan
biasa, karena masalah-masalah tersebut di luar atau di atas
jangkauan ilmu pengetahuan biasa. Filsafat ialah hasil daya upaya
manusia dengan akal budinya untuk memahami (mendalami,
menyelami) secara radikal dan integral hakekat sarwa yang ada:
hakikat Tuhan, hakikat alam semesta, dan hakikat manusia.
Tujuan Filsafat, menurut Kattsoff (1986:3) adalah
mengumpulkan pengetahuan manusia sebanyak mungkin,
mengajukan kritik, dan menilai pengetahuan ini, menemukan
hakekat-nya, dan menerbitkan serta mengatur semuanya itu, dalam
bentuk yang sistematis. Filsafat membawa kita kepada tindakan
yang lebih layak.
Agama merupakan satu sistema credo (tata keimanan atau
tata keyakinan) atas adanya sesuatu yang absolut di luar manusia.
Selain itu, Agama juga merupakan satu sistema ritus (tata
peribadatan) manusia kepada yang dianggapnya mutlak tersebut.
Dalam Agama juga terwadahi satu sistema norma (tata kaidah)
__________________________________________________________________________
_______________________________________Bahan Perkuliahan: Penelitian Sosial
3
yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dan alam
lainnya, yang sesuai dan sejalan dengan tata peribadatan
termaksud di atas.

Ditinjau dari segi sumbernya maka agama (tata keimanan,


tata peribadatan, dan tata aturan) itu dapat dibeda-bedakan atas
dua bagian: 1) agama samawi (agama langit; agama wahyu;
agama profetis; revealed religion; Din as-Samawi); 2) agama
budaya (agama bumi, agama filsafat, agama rayu, non revealed
religion, natural religion, Din at-ThabiI, Din al-Ardhi).
Agama dengan karakteristiknya sendiri pula memberikan
jawaban atas segala persoalan yang mendasar (asasi) yang
__________________________________________________________________________
_______________________________________Bahan Perkuliahan: Penelitian Sosial
4
dipertanyakan manusia; yang menyangkut alam, manusia ataupun
tentang Tuhan sekalipun!
Baik ilmu maupun filsafat keduanya hasil dari sumber yang
sama, yaitu: rayu (akal, budi, rasio, reason, nous, rede, vertand)
manusia. sedangkan Agama bersumberkan wahyu Alloh SWT.
Ilmu pengetahuan diperoleh dengan jalan riset (penelitian) dan
pengalaman (empirik), Percobaan (eksperimen) sebagai batu ujian.
Filsafat menghampiri kebenaran dengan cara mengembarakan atau
mengelanakan akal budi secara radikal (mengakar), integral serta
universal; tidak merasa terikat oleh ikatan apapun kecuali oleh ikatan
tangannya sendiri yang bernama logika. Manusia mencari dan
menemukan kebenaran dengan mendalami Agama dengan jalan
mempertanyakan (mencari jawaban tentang) berbagai masalah asasi
dari ataupun kepada Kitab Suci.
Kebenaran Ilmu adalah kebenaran positif yaitu berlaku sampai
saat ini, kebenaran filsafat adalah kebenaran spekulatif atau dugaan
yang tidak dapat dibuktikan secara empiris, riset, atau eksperimental.
Baik Kebenaran Ilmu maupun Kebenaran Filsafat adalah kebenaran
relatif (nisbi), sedangkan kebenaran Agama bersifat mutlak (absolut),
karena Agama diturunkan oleh Dzat Yang Maha Benar, Maha Mutlak
dan Maha Sempurna, yaitu Alloh SWT.
__________________________________________________________________________
_______________________________________Bahan Perkuliahan: Penelitian Sosial
5
Ilmu maupun Filsafat kedua-duanya diawali oleh sikap/rasa
sangsi atau tidak percaya sedangkan Agama dimulai dengan sikap
percaya atau iman.
Tidak semua masalah yang dipertanyakan manusia bisa dijawab
oleh Ilmu Pengetahuan, karena Ilmu itu terbatas oleh subyeknya (sang
peneliti) oleh obyeknya (baik obyek materia maupun obyek
formanya), oleh metodologinya.
Tidak semua masalah yang tidak terjawab oleh Ilmu lantas
dengan sendirinya bisa dijawab oleh Filsafat, Jawaban Filsafat sifatnya
spekulatif dan juga alternatif, tentang sesuatu masalah asasi yang
sama. terdapat berbagai jawaban filsafat.
Sedangkan agama memberi jawaban tentang berbagai soal
azasi yang sama, sebab tidak terjawab oleh ilmu yang dipertanyakan
(tidak terjawab) secara tuntas oleh filsafat akan tetapi perlu ditegaskan
disini, tidak semua persoalan manusia ada jawabannya dalam agama,
adapun soal-soal manusia yang tidak ada jawabannya dalam Agama

disebutkan oleh Anshari (1987:175), sebagai berikut:


1. Soal-soal kecil, detail yang tidak prinsipil; contoh jalan sebelah kiri
atau kanan, soal rambut panjang atau pendek, soal cek atau wesel.
2. Persoalan-persoalan yang tidak secara jelas dan tegas, terdapat
dalam Al-Quran dan As-Sunnah yang diserahkan kepada
Ijtihad_____________________________________________________________________
_____
_______________________________________Bahan Perkuliahan: Penelitian Sosial
6
atau hasil daya pemikiran manusia yang tidak berlawanan dengan
jiwa dan semangat Al-Quran dan As-Sunnah.
3. Persoalan-persoalan yang tetap merupakan Misteri, diliputi rahasia
yang tidak terjangkau akal budi dan fakultas-fakultas rohani
manusia lainnya karena keterbatasannya, yang merupakan ilmu
(dengan sifat mutlak Allah SWT) yang karena kebijaksanaanNya
tidak dilimpahkan kepada manusia seperti hakikat, roh, qodlo,
qadar, dan lain sebagainya. Dengan kekuatan akal budi, ilmu dan
filsafat manusia naik menghampiri dan memetik kebenaran yang
bisa dijangkau oleh kapasitasnya sendiri yang terbatas itu,
disamping itu karena sifat RakhmatNya Allah SWT berkenan
menurunkan wahyu-Nya kepada umat manusia di muka Planet
Bumi ini agar mereka menemukan kebenaran asasi yang tidak
dapat dicapai dan ditemukan sekedar kekuatan akal budinya
semata. Allah SWT telah menganugerahkan kepada manusia: (1)
alam; (2) akal budi; dan (3) wahyu. Dengan akal budinya manusia
dapat lebih memahami baik ayat Quraniah (wahyu) maupun ayat
kauniah atau alam untuk kebahagaian mereka yang hakiki.
3. Apakah kebenaran mutlak?
Kebenaran mutlak adalah kebenaran yang hakiki dan sejati, sesuatu yang
dapat melihat dan menyatakan keseluruhan realitas secara objektif, apa
adanya. Kebenaran mutlak ini harus hanya ada satu saja dan merupakan
suatu acuan atau standar bagi apa yang disebut dengan kebenaran relatif.
Kebenaran mutlak itu mempunyai sifat universal ( berlaku bagi semua
orang, tidak ada perkecualian ), kekal ( lintas waktu dan ruang, tidak
berubah-ubah, tidak berganti ), integral (tidak ada konflik di dalamnya )
dan tanpasalah ( bermoral tinggi, suci ).

Manusia jelas bukan kebenaran mutlak, karena ia tidak memenuhi syaratsyaratnya. Manusia bukan kebenaran mutlak karena ia makhluk ciptaan
yang terbatas, bersifat subjektif dan dikuasai oleh ruang dan waktu.
Bersifat subjektif artinya terhadap objek yang sama manusia mempunyai
sudut pandang atau pendapat yang berbeda-beda. Kalau misalnya ada
1000 orang yang dimintai pendapatnya akan sesuatu objek, akan ada
1000 macam pandangan yang berbeda-beda.

Manusia mengerti sesuatu sebatas pengertiannya sendiri dan melihat


sesuatu sebatas daya lihatnya sendiri. Dia tidak bisa dan tidak mungkin
bisa mengerti dan melihat sesuatu sebagaimana adanya. Jadi kebenaran
yang dilihatnya dari sudut pandangnya sendiri ( yang terbatas ) itu

bersifat relatif, bukan absolut ( mutlak ). Dikuasai oleh ruang dan waktu
mempunyai implikasi bahwa ia tidak mahatahu ( artinya banyak hal yang
tidak diketahuinya), bisa salah dan selalu berubah berganti.

Pandangan manusia itu sangat terbatas karena ( tubuh ) manusia dibatasi


oleh ruang dan waktu. Manusia hanya bisa berada pada satu tempat pada
waktu tertentu. Indra-indra tubuh manusia tidak bisa mendeteksi sesuatu
yang terlalu ekstrem. Mata manusia tidak bisa menangkap benda yang
terlalu besar atau kecil, terlalu dekat atau terlalu jauh. Mata manusia juga
tidak bisa menangkap gerakan yang terlalu cepat. Mata manusia hanya
bisa menangkap cahaya dengan panjang gelombang dalam suatu rentang
tertentu. Telinga manusia hanya dapat menangkap suara dalam rentang
frekuensi tertentu. Otak manusia hanya dapat memikirkan pola-pola yang
sudah dikenalnya sebelumnya. Banyak hal yang tidak atau belum
diketahui manusia, dan yang tidak atau belum pernah terpikirkan. Dan
ada hal-hal yang tidak akan pernah bisa terpikirkan olehnya.

Jadi kebenaran mutlak yang sejati itu harus datang dari luar manusia.
Adapun manusia hanya bisa mempunyai kebenaran relatif. Tidak mungkin
ada kebenaran mutlak di level manusia atau yang di bawahnya.
Kebenaran mutlak harus datang dari level yang lebih tinggi, dari Allah. Jadi
kebenaran mutlak adalah kebenaran yang datang dari Allah yang
mahabesar.

Kebenaran relatif adalah kebenaran manusia dari sudut pandangnya


sendiri yang terbatas terhadap kebenaran mutlak tersebut. Hanya ada
satu kebenaran mutlak, yang bersifat objektif, yang dikelilingi oleh banyak
kebenaran relatif yang bersifat subyektif, bagaikan matahari yang
dikelilingi planet-planet. Makin dekat kebenaran relatif itu kepada
kebenaran mutlak maka ia makin benar. Jadi yang relatif harus mendekati
yang absolut, subyektivitas harus mengejar obyektivitas, untuk
memperkecil kesenjangan di antara keduanya.

Mudah-mudahan renungan singkat di atas bisa membuat kita menjadi


lebih rendah hati, paling tidak sadar bahwa apapun pendirian atau
pendapat kita, itu hanyalah kebenaran relatif, kebenaran dari sudut
pandangnya sendiri. Karena kita cenderung melupakan hal ini, dan
memutlakkan yang relatif tersebut. Orang yang memutlakan yang relatif
saya sebut sebagai orang yang sok mahatahu. Orang seperti ini merasa
dia memikiki kebenaran mutlak yang sebenarnya hanya milik Tuhan; inilah
yang dinamakan kebenaran virtual yaitu kebenaran relatif yang
dimutlakkan.

Sikap sok mahatahu membuat kita menjadi otoriter, merasa paling


benar, sombong, kasar , mudah menuduh dan menghakimi. Kita sering
tidak sadar bahwa sehebat apapun penalaran kita dan seluas apapun
pengetahuan kita, masih banyak hal-hal yang tidak kita ketahui. Sangat
mungkin jika yang belum kita ketahui tersebut akan mengubah secara
drastis semua pandangan kita yang lama, jika itu terungkap.

Sikap 'sok mahatahu' seperti tersebut di atas telah kita saksikan sendiri
belum lama ini di senayan. Gaungnya sampai kemana-mana, bahkan
sampai di Kompasiana ini.

Disadur dari :"The Answer"


Apakah ada yang disebut sebagai kebenaran mutlak/ kebenaran sejagat?
Jawapan: Untuk memahami kebenaran mutlak atau kebenaran sejagat,
kita harus mulai dengan mendefinisikan kebenaran. Menurut kamus,
kebenaran adalah kesesuaian dengan fakta atau kenyataan; sebuah
pernyataan yang terbukti atau diterima sebagai benar. Sesetengah orang
akan mengatakan bahawa tidak ada realiti yang sejati, hanya persepsi dan
pendapat. Orang lain pula berpendapat bahawa pasti ada realiti atau
kebenaran mutlak.
Salah satu pandangan berkata tidak ada kebenaran mutlak yang dapat
mentakrifkan realiti. Mereka yang memegang pandangan ini percaya
bahawa segala sesuatu adalah relatif kepada sesuatu yang lain dan
dengan demikian tidak akan ada realiti sebenar. Kerana itu, akhirnya tidak
ada kemutlakan moral, tidak ada kuasa untuk memutuskan apakah suatu
tindakan itu positif atau negatif, benar atau salah. Pandangan ini
mengarah kepada "etika situasi" iaitu kepercayaan bahawa apa yang
benar atau salah adalah relatif kepada situasi. Kerana itu tidak ada benar
atau salah, apa pun yang terasa atau kelihatan benar pada masa itu
dalam situasi yang benar. Tentu saja, etika situasi membawa kepada
penilaian subjektif, mentaliti dan gaya hidup "apa pun terasa baik" yang
mengakibatkan banyak kesan buruk terhadap masyarakat dan individu. Ini
adalah postmodernisme, ia mencipta sebuah masyarakat yang
menganggap semua nilai, keyakinan, gaya hidup dan tuntutan kebenaran
adalah sama-sama sah.
Pandangan lain mengatakan bahawa memang ada realiti mutlak dan
piawaian yang mendefinisikan apa yang benar dan apa yang tidak. Oleh
kerana itu, tindakan untuk menentukan samada benar atau salah boleh
dilakukan dengan ukuran piawaian mutlak yang ada. Jika tidak ada yang
mutlak, tidak ada realiti, maka kekacauan akan berlaku. Misalnya, hukum
graviti. Kalau ianya bukan suatu yang mutlak, kita tidak yakin boleh berdiri
atau duduk di satu tempat sehingga kita memutuskan untuk bergerak.
Atau jika dua ditambah dua tidak selalu bersamaan dengan empat,
bencana akan berlaku ke atas tamadun dunia. Sains dan hukum-hukum

fizik akan menjadi tidak relevan dan perdagangan tidak mungkin dapat
dijalankan. Keadaan kacau-bilau akan berlaku! Syukurlah, dua ditambah
dua bersamaan dengan empat. Ada kebenaran mutlak dan ianya boleh
ditemui dan difahami.
Sama sekali tidak logik untuk membuat kenyataan bahawa tidak ada
kebenaran mutlak. Namun, pada hari ini, ramai orang memeluk
relativisme budaya yang menolak semua jenis kebenaran mutlak. Soalan
yang baik untuk ditanya terhadap orang-orang yang berkata, "Tidak ada
kebenaran mutlak" adalah ini: Adakah anda benar-benar yakin dengan
itu? Sekiranya mereka menjawab ya, mereka telah membuat satu
kenyataan mutlak yang mana jawaban mereka sendiri mengatakan
bahawa memang wujud perkara yang mutlak. Kenyataan yang mereka
katakan bahawa tidak ada kebenaran mutlak merupakan satu-satunya
kebenaran mutlak.
Di samping masalah pertentangan-sendiri, ada beberapa masalah logik
yang harus diatasi seseorang yang mahu mempercayai bahawa tidak ada
kebenaran mutlak. Salah satu daripadanya adalah semua manusia
mempunyai pengetahuan dan fikiran yang terhad dan oleh sebab itu
secara logik manusia tidak boleh membuat kenyataan-kenyataan negatif
yang mutlak. Secara logik seseorang tidak boleh mengatakan, "Tidak ada
Tuhan" (walaupun ramai berbuat demikian), kerana dalam rangka untuk
membuat kenyataan seperti itu, ia perlu mempunyai pengetahuan mutlak
seluruh alam semesta dari awal hingga akhir. Memandangkan itu tidak
mungkin berlaku, kenyataan yang paling masuk akal dapat dikatakan
sesiapapun juga adalah "Dengan keterbatasan pengetahuan yang saya
miliki, saya tidak percaya ada Tuhan."
Masalah lain dengan penyangkalan terhadap kebenaran mutlak adalah
kegagalan untuk hidup sesuai dengan apa yang kita ketahui sebagai benar
dalam hati nurani, dalam pengalaman dan dalam apa yang kita lihat di
dunia nyata. Jika tidak ada kebenaran mutlak, maka pada akhirnya tidak
ada yang benar atau salah tentang apa pun. Apa yang mungkin "benar"
bagi anda tidak bererti itu "benar" juga bagi saya. Manakala pada
permukaan relativisme ini kelihatan menarik, maksudnya adalah setiap
orang menetapkan peraturan sendiri untuk hidup mengikut dan
melakukan apa yang difikirnya benar. Tanpa dapat dielakkan pendirian
tentang apa yang benar milik seseorang pasti akan bertembung dengan
pendirian orang lain. Apakah yang akan berlaku sekiranya benar bagi
saya untuk tidak memperdulikan lampu isyarat jalanraya walaupun ianya
berwarna merah? Saya akan meletakkan banyak nyawa dalam bahaya.
Atau saya mungkin berpikir mencuri dari anda itu betul dan anda berpikir
itu salah. Jelas, tanpa piawaian tentang benar dan salah kita akan berada
dalam keadaan konflik. Jika tidak ada kebenaran mutlak, tidak ada piwaian
tentang benar dan salah yang kepadanya kita semua perlu
bertanggungjawab, maka kita tidak akan dapat diyakinkan tentang apa
pun. Orang akan bebas melakukan apa sahaja yang mereka ingin lakukan
seperti pembunuhan, memperkosa, mencuri, berbohong, menipu dan
tidak ada seorang pun dapat mengatakan perkara-perkara ini sebagai
suatu kesalahan. Kita tidak dapat mempunyai kerajaan, tidak ada undangundang, tidak ada keadilan, kerana tidak ada seorang pun yang dapat
mengatakan bahawa pihak majoriti mempunyai hak untuk membuat dan

menegakkan piawaian-piawaian ke atas pihak minoriti. Sebuah dunia


tanpa kemutlakan akan menjadi dunia yang paling mengerikan.
Dari sudut pandangan rohani, relativisme ini akan mengakibatkan
kebingungan agama, di mana tidak akan ada satu pun agama yang benar
dan tidak ada cara untuk mempunyai hubungan yang benar dengan
Tuhan. Oleh kerana itu semua agama adalah salah kerana membuat
tuntutan mutlak tentang akhirat. Bukan perkara luarbiasa pada hari ini
bagi orang-orang untuk percaya kepada dua agama bertentangan sebagai
sama-sama "benar", walaupun kedua-dua agama mendakwa mempunyai
satu-satunya jalan ke syurga atau mengajarkan dua "kebenaran" yang
saling bertentangan. Orang-orang yang tidak percaya pada kebenaran
mutlak mengabaikan tuntutan tersebut dan memeluk universalisme yang
lebih bertolak-ansur dan mengajar bahawa semua agama adalah sama
dan semua jalan menuju ke syurga. Orang yang menganuti pandangan
dunia ini dengan keras menentang orang Kristian Injili yang percaya pada
Alkitab yang berkata Yesus adalah "jalan, dan kebenaran, dan hidup" dan
bahawa Dia merupakan penyataan kebenaran yang tertinggi dan satusatunya Jalan bagi seseorang untuk dapat masuk ke syurga (Yohanes
14:6).
Toleransi telah menjadi salah satu nilai murni masyarakat postmodern
yang mutlak dan kerananya sikap tidak bertoleransi adalah satu-satunya
kejahatan. Setiap dogmatis terutama sekali keyakinan terhadap
kebenaran mutlak dipandang sebagai tidak bertoleransi dan itu
merupakan dosa terbesar. Mereka yang menolak kebenaran mutlak akan
sering berkata anda berhak mempercayai apa yang anda ingin percaya,
selagi tidak berusaha memaksa kepercayaan anda ke atas orang lain. Tapi
pandangan ini sendiri merupakan sebuah keyakinan mutlak tentang apa
yang benar dan salah dan mereka yang memegang pandangan ini jelas
sekali mencuba untuk memaksakan pandangan itu ke atas orang lain.
Mereka menubuhkan sebuah piawaian perilaku yang mereka tuntut
supaya diikuti orang lain, dengan demikian melanggar perkara yang
sangat mereka tegakkan.Ini merupakan satu lagi kedudukan yang
bertentangan. Mereka yang memegang keyakinan tersebut tidak mahu
bertanggungjawab atas tindakan mereka. Jika ada kebenaran mutlak,
maka ada piawaian mutlak tentang benar dan salah. Oleh sebab itu kita
bertanggungjawab terhadap piawaian-piawaian tersebut.
Pertanggungjawaban ini merupakan perkara sebenar yang ditolak oleh
mereka yang menolak kebenaran mutlak.
Penolakan kebenaran mutlak dan relativisme budaya yang terhasil
olehnya merupakan keputusan logik dari sebuah masyarakat yang telah
menerima teori evolusi sebagai penjelasan untuk asal usul kehidupan ini.
Jika evolusi naturalistik itu benar, maka kehidupan tidak bermakna, kita
tidak bertujuan dan tidak ada kebenaran atau kesalahan mutlak. Manusia
kemudian bebas untuk hidup sesuka hati dan tidak bertanggungjawab
kepada sesiapa pun untuk tindakannya. Namun, tidak kira berapa ramai
orang-orang berdosa menyangkal kewujudan Allah dan kebenaran mutlak,
suatu hari nanti mereka masih akan berdiri di hadapan-Nya dalam
penghakiman. Alkitab berkata Karena apa yang dapat mereka ketahui
tentang Allah nyata bagi mereka, sebab Allah telah menyatakannya
kepada mereka. Sebab apa yang tidak nampak dari pada-Nya, yaitu
kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat nampak kepada pikiran

dari karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat


berdalih. Sebab sekalipun mereka mengenal Allah, mereka tidak
memuliakan Dia sebagai Allah atau mengucap syukur kepada-Nya.
Sebaliknya pikiran mereka menjadi sia-sia dan hati mereka yang bodoh
menjadi gelap. Mereka berbuat seolah-olah mereka penuh hikmat, tetapi
mereka telah menjadi bodoh (Roma 1:19-22).
Adakah terdapat bukti untuk wujudnya kebenaran mutlak? Ya. Pertama
terdapat hati nurani manusia, iaitu sesuatu kepastian di dalam kita yang
berkata dunia ini seharusnya berada dalam keadaan tertentu dan
memberitahu kita beberapa perkara sebagai benar dan dan beberapa
perkara sebagai salah. Hati nurani kita memberitahu bahawa terdapat
sesuatu yang tidak betul dengan penderitaan, kelaparan,
pemerkosaan,kesakitan dan kejahatan. Hati nurani membuatkan kita
menyedari tentang cinta, kemurahan, belas kasihan dan kedamaian yang
merupakan hal-hal positif yang kita harus usahakan. Hal ini berlaku di
seluruh dunia dalam semua budaya di sepanjang waktu. Alkitab
menjelaskan peranan hati nurani manusia dalam Roma 2:14-16: Apabila
bangsa-bangsa lain yang tidak memiliki hukum Taurat oleh dorongan diri
sendiri melakukan apa yang dituntut hukum Taurat, maka, walaupun
mereka tidak memiliki hukum Taurat, mereka menjadi hukum Taurat bagi
diri mereka sendiri.Sebab dengan itu mereka menunjukkan, bahwa isi
hukum Taurat ada tertulis di dalam hati mereka dan suara hati mereka
turut bersaksi dan pikiran mereka saling menuduh atau saling
membela.Hal itu akan nampak pada hari, bilamana Allah, sesuai dengan
Injil yang kuberitakan, akan menghakimi segala sesuatu yang tersembunyi
dalam hati manusia, oleh Kristus Yesus.
Bukti kedua untuk kewujudan kebenaran mutlak adalah ilmu sains. Ilmu
sains adalah usaha mengejar pengetahuan, iaitu pengajian tentang apa
yang kita ketahui dan berusaha untuk mengetahui lebih banyak lagi. Oleh
kerana itu, semua kajian saintifik perlu didasarkan pada keyakinan
bahawa ada realiti objektif yang ada di dunia dan kenyataan ini boleh
ditemui dan dibuktikan. Tanpa kemutlakan, apakah yang ada untuk
dipelajari? Bagaimanakah kita boleh tahu bahawa penemuan-penemuan
ilmu pengetahuan adalah nyata? Bahkan, hukum-hukum sains sangat
didasarkan pada wujudnya kebenaran mutlak.
Bukti ketiga kewujudan kebenaran mutlak adalah agama. Semua agama di
dunia berusaha untuk memberi makna dan definisi hidup. Mereka lahir
dari keinginan manusia untuk sesuatu yang lebih daripada kewujudan
yang sederhana ini. Melalui agama, manusia mencari Tuhan, harapan
untuk masa depan, pengampunan dosa, keamanan di tengah-tengah
perjuangan dan jawapan ke atas soalan-soalan kita yang terdalam. Agama
adalah bukti bahawa manusia lebih daripada sekadar haiwan yang tinggi
perkembangan evolusinya. Ia adalah bukti untuk tujuan hidup yang lebih
tinggi dan adanya Pencipta yang bertujuan dan yang telah menanamkan
dalam diri manusia keinginan untuk mengenal Dia. Jikalau memang ada
Pencipta, maka Dia menjadi piawaian bagi kebenaran mutlak dan kuasaNya telah menetapkan kebenaran itu.
Mujurlah, ada Pencipta dan Dia telah menyatakan kebenaran-Nya kepada
kita melalui FirmanNya, iaitu Alkitab. Kita dapat mengetahui kebenaran
mutlak hanya melalui hubungan peribadi dengan Dia yang mengaku

sebagai Kebenaran iaitu Yesus Kristus. Yesus mengaku sebagai satusatunya jalan, kebenaran dan hidup dan tidak ada seorangpun yang dapat
datang kepada Tuhan kalau bukan melalui Dia (Yohanes 14: 6). Fakta
bahawa kebenaran mutlak memang wujud mengarahkan kita kepada
kebenaran bahawa ada Allah yang berdaulat Pencipta langit dan bumi dan
yang telah menyatakan diri-Nya kepada kita, supaya kita dapat mengenal
Dia secara peribadi melalui Anak-Nya Yesus Kristus. Inilah kebenaran yang
mutlak.
Islam datang untuk mengeluarkan manusia dari lalimnya berbagai agama
menuju keadilan Islam. Artinya, seorang muslim yang benar imannya tidak
pernah beranggapan apalagi berkeyakinan bahwa semua agama sama
baiknya dan sama benarnya. Ia yakin bahwa Allah taaala tuhan semesta
alam tidak mungkin membiarkan manusia dalam kebungungan memilih
jalan hidup yang benar untuk menghantarkan dirinya menuju keselamatan
di dunia dan akhirat.
Sedangkan orang yang berfaham pluralisme adalah manusia yang
bingung memilih jalan hidup sehingga untuk gampangnya ia katakan
bahwa semua agama sama baiknya dan sama benarnya. Andaikan kita
hidup tanpa petunjuk dari Yang Maha Benar mungkin kita juga akan
sependapat dengan logika berfikir seperti itu. Karena itu berarti bahwa
tidak ada fihak manapun di dalam masyarakat yang berhak meng-claim
bahwa agamanyalah yang memiliki monopoli kebenaran. Tetapi Allah
taaala bantah pandangan seperti ini melalui firman-Nya:

Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah


langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami
telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka
berpaling dari kebanggaan itu. (QS Al-Muminun ayat 71)
Ayat di atas secara jelas membantah pandangan yang mengatakan bahwa
kebenaran bersifat relatif sehingga dapat berjumlah banyak sesuai jumlah
hawa nafsu manusia. Bahkan melalui ayat ini Allah taaala menegaskan
betapa dahsyatnya dampak yang bisa timbul dari mengakui kebenaran
berbagai fihak secara sekaligus. Digambarkan bahwa langit dan bumi
bakal binasa karenanya. Sebab masing-masing pembela kebenaran
tersebut pasti akan mempertahankan otoritas kebenarannya tanpa bisa
menunjukkan dalil atau wahyu Ilahi yang membenarkannya.
Lalu atas dasar apa seorang muslim meng-claim kebenaran mutlak ajaran
Islam? Tentunya berdasarkan wahyu otentik kitab suci Al-Quran. Di
dalamnya Allah taaala jelas-jelas berfirman:

Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu
termasuk orang-orang yang ragu. (QS Al-Baqarah ayat 147)
Jelas bagi seorang mumin bahwa kebenaran haruslah yang bersumber
dari Allah taaala Rabbul aalamiin. Oleh karenanya kitapun meyakini
sepenuhnya tatkala Allah taaala berfirman:



Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam. (QS Ali
Imran ayat 19)



Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali
tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat
termasuk orang-orang yang rugi. (QS Ali Imran ayat 85)
Berdasarkan kedua ayat di atas ummat Islam menjadi mantap dalam
meyakini bahwa satu-satunya jalan keselamatan di dunia dan akhirat
hanyalah jalan Islam. Yaitu jalan yang telah ditempuh oleh Nabi
Muhammad shollallahu alaih wa sallam.
Bukan ummat Islam yang meng-claim kebenaran mutlak ajaran Islam,
melainkan Allah taaala sendiri yang meng-claim hal tersebut. Kita hanya
meyakini dan mentaati firman Allah taaala. Oleh karena itulah Nabi
shollallahu alaih wa sallam menjelaskan betapa berbedanya ganjaran
ukhrowi yang akan diterima seorang mumin dibandingkan seorang kafir
(non-muslim) akibat perbuatan baiknya di dunia.



Sesungguhnya Allah tidak menganiaya (mengurangi) seorang mu'min
hasanatnya, diberinya di dunia dan dibalas di akherat. Adapun orang kafir,
maka diberi itu sebagai ganti dari kebaikan yang dilakukannya di dunia,
sehingga jika kembali kepada Allah, tidak ada baginya suatu hasanat
untuk mendapatkan balasannya. (Muslim 5022)



Bersabda Rasulullah shollallahu alaih wa sallam: Seorang kafir jika
berbuat kebaikan di dunia, maka segera diberi balasannya di dunia.
Adapun orang mu'min jika berbuat kebajikan, maka tersimpan pahalanya
di akherat di samping rizqi yang diterimanya di dunia atas keta'atannya.
(Muslim 5023)

Selain Islam adalah Kebatilan


Bahkan dalam ayat lain jelas Allah taaala firmankan bahwa Allah taaala
Dia-lah hakikat Kebenaran itu sendiri, sedangkan semua seruan selain
Allah taaala hanya mengajak manusia kepada kebatilan.

(Kuasa Allah taaala) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya
Allah taaala, Dialah Al- Haq (Kebenaran) dan sesungguhnya apa saja yang

mereka seru selain Allah taaala, itulah yang batil, dan sesungguhnya
Allah taaala, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS Al-Hajj ayat
62)
Kebenaran itu relatif
Wartawan profesional mencari kebenaran fungsional, bukan kebenaran
filosofis
Jarar Siahaan, editor dan pemimpin redaksi di Koran Toba
Banyak yang berpendapat, khususnya kaum beragama, bahwa satusatunya kebenaran hakiki adalah Tuhan dan kitab suci mereka. Tapi, di
mata kaum Sophis dan ateis, kebanyakan kebenaran di dunia ini adalah
relatif, yaitu kebenaran yang belum tentu benar dan juga belum tentu
salah, termasuk Tuhan. Uraian teori-teori kebenaran bisa ditemukan dalam
ilmu filsafat.
Salah satu contoh sederhana bahwa kebenaran itu relatif, tidak mutlak,
adalah letak meja. Saya benar ketika mengatakan meja itu di sebelah
kanan, karena saya duduk di sisi kiri meja, dan anda pun benar saat
menyebut meja itu di sebelah kiri, sesuai dengan posisi duduk anda di
sisi kanan meja. Maka, di sini, ada dua kebenaran: meja itu di kanan dan
meja itu di kiri. Contoh lain, anda mungkin akan menyalahkan laki-laki
Papua karena memakai koteka, buah labu yang dikeringkan dan diukir,
sebagai celana dalam, atau mencibir pemuda-pemudi Bali karena
berciuman bibir dalam ritual adat omed-omedan yang digelar setelah hari
raya Nyepi. Bisa jadi anda akan menyebut orang Bali tidak beradat seperti
orang bule, padahal bagi umat Hindu di Pulau Dewata, festival ciuman
antara perjaka dan perawan itu adalah tradisi luhur untuk memuja Tuhan.
Jadi, sekali lagi, di sini nilai kebenaran menjadi relatif.
Berpaham bahwa kebenaran itu nisbi, selama hampir 20 tahun bekerja
sebagai wartawan, saya tidak pernah menakrifkan, apalagi mengklaim,
kebenaran. Saya percaya pada apa yang ditulis wartawan hebat Amerika
Serikat Bill Kovachyang oleh profesor di Universitas Harvard, Thomas E.
Patterson, disebut memiliki karier panjang dan terhormat sebagai
wartawandalam bukunya The Elements of Journalism:
Kebenaran adalah sebuah konsep yang paling membingungkan dalam
dunia jurnalisme.
Lukisan La Vrit Truth karya Jules Joseph Lefebvre (sumber gambar:
wikipedia.org)
Kebenaran jurnalisme dibentuk sedikit demi sedikit. Kovach mencontohkan
kasus Abner Louima, imigran Haiti yang tertangkap karena mengacau di
luar sebuah klub malam di Brooklyn, 1997. Cerita ini pertama kali terlihat
sebagai berita polisi yang singkat. Tiga hari kemudian penulis kolom Daily
News mewawancarai Louima di rumah sakit. Louima membeberkan bahwa
polisi dengan brutal menyodominya dengan pegangan torak pompa toilet.
Akibatnya, dua polisi yang terlibat dalam penangkapan Louima dicopot.
Kemudian, dalam wawancara kedua, Louima tanpa bukti yang kuat
menyebut apa yang dikatakan polisi yang menangkapnya: Ini adalah
masa Guliani [merujuk pada Walikota Rudolph Guliani, seorang Amerika
keturunan Itali]. Ini bukan masa Dinkins [merujuk pada mantan Walikota

David Dinkins, seorang Amerika keturunan Afrika]. Akibatnya, lebih


banyak lagi polisi yang dicopot. Segera setelah itu warga menggelar
protes di Brooklyn. Dalam hitungan hari New York Times menerbitkan
laporan mendalam yang mengisyaratkan bahwa turunnya angka
kejahatan di New York terkait dengan meningkatnya pelecehan dan
kebrutalan polisi terhadap tersangka. Setahun sesudahnya Louima
menarik kembali pernyataan masa Guliani yang pernah diucapkannya.
Lalu City Journal menerbitkan artikel yang menunjukkan bahwa terlepas
dari insiden kebrutalan polisi yang banyak mendapat sorotan, Departemen
Polisi New York memiliki catatan yang relatif baik dalam kasus ini.
Begitulah kebenaran dibentuk sedikit demi sedikit.
Kebenaran bisa dipandang dari kacamata yang berbeda-beda. Tiap-tiap
agama dan ideologi memiliki dasar pemikiran tentang kebenaran. Sejarah
pun sering direvisi.
Dalam berita pers, bukankah bias pandangan seorang wartawan, karena
latar belakang sosial, pendidikan, kewarganegaraan, suku, atau
agamanya, bisa membuat si wartawan menghasilkan penafsiran yang
berbeda akan kebenaran?
Bill Kovach berpendapat, masyarakat membutuhkan proses untuk
mendapatkan apa yang disebut kebenaran fungsional. Polisi melacak
dan menangkap tersangka berdasarkan kebenaran fungsional. Hakim
menjalankan peradilan juga berdasarkan kebenaran fungsional. Pabrikpabrik diatur, pajak dikumpulkan, dan hukum dibuat. Guru mengajarkan
sejarah, fisika, atau biologi kepada anak sekolah. Semua itu adalah
kebenaran fungsional. Namun, apa yang dianggap sebagai kebenaran ini
senantiasa bisa diralat. Seorang terdakwa bisa dibebaskan karena
kemudian tak terbukti salah. Hakim bisa keliru. Bahkan hukum-hukum ilmu
alam pun bisa direvisi.
Hal itu pula yang seyogianya dikerjakan, digali, dicari, dan diwartakan
jurnalis, yaitu kebenaran dalam tataran fungsional, bukan kebenaran
dalam tataran filosofis.
Ucapan politikus Kabupaten Samosir di surat kabar, misalnya, belum tentu
merupakan kebenaran mutlak. Kata-kata pejabat pemerintah pun tidak
tepat ditelan bulat-bulat sebagai kesahihan, apalagi aksioma, sehingga
tetap perlu dicurigai oleh pers.
Wartawan, dosen, pendeta, ustaz, dan bahkan hakim memang bukan
penentu kebenaran, tapi mereka bisa membantu publik untuk menemukan
kebenaran.
Dikatakan wartawan senior Goenawan Mohamad, pendiri majalah Tempo:
Tugas seorang jurnalis hanya mengetuk-ngetuk pintu-pintu kebenaran,
dan selebihnya biarkan publik yang memilih dan masuk ke ruang
kebenaran.
Paham kami, Koran Toba, juga demikian: tidak akan sekali-kali
memproklamasikan diri sebagai koran lokal dengan berita-berita yang
paling benar. Kami hanya menapak jejak-jejak embaran dari satu dusun ke
kampung lainnya, mencatat pengakuan dari mulut pelbagai pihak,
mendedahkan selubung propaganda penguasa, mengagak-agihkan

kontroversi politik lokal, serta menceritakan kabar baik dan sekaligus


kabar buruk yang kami lihat dan dengarkan selama berburu berita.
Kami mengisahkan kebenaran relatif, bukan kebenaran satu-satunya.
Karena itu, kami juga menyerukan kepada anda untuk membaca
kebenaran-kebenaran yang tercetak di koran lain. Masyarakat perlu
mengonsumsi banyak media, membandingkannya, menafakurkannya, dan
pada akhirnya memutuskan apakah kebenaran dalam berita pers patut
dipercayai ataukah hanya setara dengan ninna tu ninna ala lapo tuak.
Independensi dan Kode Etik Jurnalistik adalah acuan pokok kami dalam
bekerja. Dengan sikap independenlah kami melahirkan koran ini, bukan
dengan fulus semata. Silakan untuk tidak percaya: Koran Toba terbit tanpa
pemodal-luar sama sekali. Tidak ada kekuatan partai politik, aparat
pemerintah, atau pengusaha di belakang kami. Tidak ada penasihat dan
pembina dalam struktur keredaksian, karena kami bukan organisasi
masyarakat atau lembaga swadaya masyarakat. Undang-Undang Nomor
40 Tahun 1999 tentang Pers-lah yang melindungi dan menjamin
kebebasan kami dalam bekerja.
Kami, Koran Toba, koran kampung yang tidak kampungan, bukanlah pers
yang berlagak bak penyidik kepolisian atau kejaksaan. Kami tidak
memaksa narasumber untuk mengakui kesalahannya. Kami hanya
mengajukan pertanyaan, menyimak apa yang diceritakan, dan
menuliskannya apa adanya. Tugas kami bukan cuma mengkritik kealpaan
pejabat, melainkan juga membantu mereka menyampaikan pesan-pesan,
peraturan pemerintah, dan kebijakan pembangunan kepada masyarakat.
Independensi pers mengharuskan kami untuk mendengarkan semua
pihak, mulai tuntutan pengunjuk rasa hingga pembelaan diri pejabat yang
didemo. Dengan ideologi bahwa kebenaran itu relatif, bagi kami, tidak
sepantasnya pers mengagungkan hanya satu pihak dan menghancurkan
pihak yang lain. Bukanlah tugas jurnalis untuk meringkukkan pejabat yang
korupsi ke dalam bui. Tidak pula kami berambisi menjilati bupati hingga
berselemak bujuk dan puji.
(Artikel dikutip sebagian dari Koran Toba edisi cetak, Februari 2013)
Bisakah engkau mafhumi mengapa gambar pertama di atas disamarkan,
tetapi gambar kedua tidak?
Tidakkah pula engkau paham bahwa KEBENARAN itu RELATIF seperti
tampak pada foto pertamaputing perempuan ditutupi, tapi mengapa
puting lelaki tidak?
Karena kita manusialah yang menciptakan nilai-nilai dan batasan
kebenaran sesuai dengan sudut pandang, latar belakang pendidikan,
agama, budaya, dan kepentingan kita sendiri-sendiri.
Kebenaran tidak jatuh dari langit; kita yang membuatnya
Kebenaran ilmu pengetahuan tidak bersifat absolut. Kebenaran
ilmu pengetahuan dapat diterima selama tidak ada fakta yang menolak
kebenarannya. Kebenaran ilmu pengetahuan bersifat pragmatis. Ilmu
pengetahuan dipandang benar dan dianggap sebagai pengetahuan yang

sahih sepanjang tidak ditolak kebenarannya dan bermanfaat bagi


manusia. Ilmu pengetahuan juga tidak selalu memberikan jawaban yang
memuaskan terhadap masalah-masalah manusia. Ilmu pengetahuan
mempunyai berbagai keterbatasan dan keterbatasan inilah
yang memerlukan bantuan filsafat dalam memberikan jawaban.
Kebenaran filsafat diperoleh dengan melakukan perenungan kefilsafatan
dan bersumber dari rasio sehingga menghasilkan kebenaran yang bersifat
subyektif dan solipsistik, sehingga tidak mampu memberikan jawaban
yang memuaskan semua pihak. Untuk permasalahan-permasalahan
tertentu filsafat juga tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan,
maka manusia mencari jawaban yang pasti dengan berpaling
kepada agama. Kebenaran agama bersifat mutlak karena berasal dari
sesuatu yang mutlak dan memberi penyelesaian yang memuaskan bagi
banyak pihak. Agama memberi kepastian yang mantap terhadap
suatu bentuk kebenaran karena kebenaran agama didasarkan pada suatu
kepercayaan. Agama mengandung sistem credo atau tata kepercayaan
tentang sesuatu yang mutlak di luar manusia.
4. Apakah kebenaran itu satu atau banyak?
Kebenaran Itu Banyak atau Satu?
30 Agustus 2014 13:24:45 Dibaca : 133
..

Ilmu pengetahuan sebagai parameter Ada part 9

Hingga sampai ke tahap ini pertanyaan mendasar yang terlebih dahulu


akan kita ajukan adalah : apakah dalam memahami ilmu - kebenaran
manusia cukup berhenti di sebatas ilmu dan kebenaran berdasar logika ..
dan lalu menganggapnya sebagai bentuk ilmu-kebenaran yang tertinggi
dan terakhir (?)

Atau,apakah logika telah bisa menjawab semua problem keilmuankebenaran yang bersifat kompleks yang telah manusia temukan dalam
kehidupannya, dan apakah dengan logika semata manusia bisa
mewujudkan bentuk bangun kebenaran tunggal sebagaimana yang
menjadi keniscayaan bagi hukum hukum logika dasar dan sebagaimana di
dambakan oleh para pencari kebenaran sejati ?

Sampai ke tahapan logika kita akan melihat bagaimana cara manusia


dalam mencari dan lalu merumuskan beragam bentuk nilai yang mereka
temukan dari berbagai problem kehidupan - problem keilmuan yang
mereka temui,khususnya sebagai contoh bentuk nilai yang bersifat
mendasar yang manusia temukan adalah : benar-salah,baik- buruk.
tetapi pertanyaan berikutnya adalah : apakah seluruh manusia akan selalu
bersepakat bahwa sesuatu itu benar dan sesuatu itu baik misal (?) ..
atau,apakah seluruh manusia akan selalu memiliki pandangan yang sama

- seragam terhadap apa itu benar-baik seperti semua manusia sepakat


bahwa 2+2=4 ? .. pada kenyataannya ternyata tidak, nyatanya apa yang
benar bagi seseorang ternyata belum tentu bagi yang lain,demikian pula
apa yang dianggap baik bagi seseorang belum tentu baik pula menurut
yang lain.artinya dalam ranah logika manusia sudah terbiasa berbeda
pandangan-terpecah belah-terkotak kotak bahkan bisa saling berlawanan
satu sama lain,dan semua bisa sama sama berangkat dari logika nya
masing masing atau bisa sama sama mengatas namakan logika.contoh
nyata adalah dalam dunia filsafat yang ketika masing masing pemikirnya
berlogika tetapi dengan menggunakan sudut serta cara pandang yang
berbeda beda maka yang kemudian lahir adalah rumusan dan lalu mazhab
pemikiran yang berbeda beda.

Dalam ranah filsafat sudah terbiasa bila hasil berlogika yang satu
menyangkal atau bahkan meruntuhkan hasil berlogika yang lain.kasuspermasalahan yang terjadi di dunia filsafat ini membuat kebenaran
didalamnya menjadi nampak banyak dan bersifat relative-bergantung
pada isi kepala yang berbeda beda-bergantung dari sudut pandang mana
manusia ingin melihatnya sehingga sulit mencari bentuk kebenaran
tunggal yang bersifat mutlak-hakiki dalam ranah filsafat.dan mengapa
disana kebenaran seperti bisa saling meruntuhkan satu sama lain ..
karena dalam ranah filsafat semua kebenaran yang diungkapkan pada
akhirnya akan nampak datar dan sederajat - tak ada bentuk atau yang
berposisi sebagai kebenaran tertinggi yang berfungsi sebagai hakim yang
bisa memilah secara keseluruhan mana yang hakikatnya benar dan mana
yang hakikatnya salah

Inilah masalah keilmuan yang bersifat mendasar dalam ranah logika yang
membuat manusia lalu mencari cari jalan untuk mencari bentuk
kebenaran tunggal - yang bersifat hakiki - kebenaran tertinggi yang
berfungsi sebagai hakim tunggal yang bersifat universal-menyeluruh
untuk menghakimi seluruh bentuk kebenaran yang dinyatakan manusia
dan menetapkan mana yang sebenarnya hakikatnya benar dan mana
yang hakikatnya salah

Kembali ke contoh kasus dalam dunia filsafat diatas (yang juga terjadi
secara umum),lalu bila demikian, apakah harus ada banyak kebenaran di
dunia ini yang dinyatakan secara berbeda beda oleh tiap individugolongan manusia yang bahkan satu sama lain bisa saling berlawanan
(?) .. sedang menurut hukum dasar logika non kontradiksi : dua hal yang
essensinya berlawanan mustahil keduanya pada saat bersamaan dan
dalam situasi sama harus dianggap sama benar.jadi menurut hukum dasar
logika yang benar itu hakikatnya harus ada satu demikian pula yang salah
walau jenis pernyataannya bisa saja berbeda beda

Sebagai contoh,bila ada dua pernyataan yang berbeda misal yang satu
menyatakan api itu panas dan yang lain menyatakan api itu dingin
maka menurut hukum dasar logika keduanya tak bisa dinyatakan sama
benar.nah bagaimana mencari yang sebenar benarnya benar dari
berbagai bentuk kebenaran yang dinyatakan secara berbeda beda..lalu
bagaimana membuat atau menentukan parameter-alat ukur nya untuk
menentukan mana yang hakikatnya benar dan mana yang hakikatnya
salah (?) .. untuk mencari yang hakikatnya benar itu manusia harus
mengacu kepada yang satu-yang kebenarannya bersifat mutlak. inilah
landasan keniscayaan adanya konsep kebenaran tunggal

Atau lebih jelasnya lagi : menurut hukum hukum logika dasar,apakah itu
hukum identitas, hukum tidak ada jalan tengah serta hukum non
kontradiksi semua akan mengarahkan kepada satu postulat dasar bahwa
kebenaran itu essensinya satu,tidak ada kebenaran yang didalamnya
memiliki dua essensi yang satu sama lain saling berlawanan dimana
keduanya akan berposisi saling melenyapkan satu sama lain. sehingga di
dunia ini bisa tegak sebuah kebenaran karena ia ber essensi tunggal-tak
ada yang sederajat yang bisa meruntuhkannya. walau yang tunggal itu
bisa dinyatakan dalam berbagai bentuk-jenis- ragam-ungkapan-bahasa
yang berbeda beda.sebagai contoh : bila saya mengatakan api memberi
kehangatan atau api asmara bukan berarti semua pernyataan
melenyapkan essensi api yang adalah panas tetapi melihat api dengan
cara lain,beda dengan bila saya mengatakan api itu dingin maka
pernyataan itu akan melawan essensinya.contoh lain, Tuhan itu
essensinya tunggal tetapi orang orang dari berbagai golongan berbeda
menyebutnya dengan berbagai nama yang berbeda;Alloh-Allah,-Yehova
tetapi itu tak mengubah essensiNya.tetapi bila ada yang menyatakan
bahwa Tuhan itu banyak maka itu berlawanan dengan essensi bahwa
Tuhan itu adalah harus satu

Hukum tidak ada jalan tengah menunjukkan bahwa tak ada jalan
tengah yang bisa merubah essensi sesuatu,tak ada jalan tengah antara
benar dengan salah yang bisa membuat kedudukan benar bisa berubah
menjadi salah dan salah bisa berubah menjadi benar,tak ada jalan
tengah antara lelaki dengan wanita,jantan dengan betina.tak adanya
jalan tengah itu membuat masing masing tetap pada essensinya sendiri
sendiri

Hukum hukum logika dasar itu meniscayakan adanya hakikat dari


kebenaran yang adalah satu-bersifat tetap-tak berubah ubah-mutlak.
(sehingga prinsip relatifisme itu berlawanan dengan hukum dasar logika)
dan hukum dasar ini berlaku universal - menyeluruh dan karenanya bisaa
digunakan untuk melihat serta menilai berbagai problem kebenaran yang
bersifat kompleks-universal seperti contoh masalah agama-kepercayaan
yang berbeda beda maka diantara semua yang di percaya yang berbeda
beda essensinya itu maka mustahil semua harus dianggap sama
benar.demikian pula hukum logika dasar itu harus digunakan pula ketika

kita berhadapan dengan problem kebenaran yang menjadi perselisihan


pandangan antara para filsuf-saintis-agamawan sehingga tidak
menyelesaikan persoalan diantara mereka kepada sudut pandangnya
masing masing semata

Dengan kata lain mengacu kepada hukum hukum logika dasar itu maka
kebenaran mutlak-absolut yang beresseni tunggal itu mesti ada,dan
hukum dasar itu harus diberlakukan ketika kita berhadapan dengan
problem kebenaran yang bersifat kompleks - menyeluruh termasuk ketika
kita membahas masalah yang bersifat metafisik yang menyangkut Tuhan agama.dengan kata lain hukum dasar logika ini meniscayakan adanya
bentuk kebenaran hakiki-tunggal yang tentu harus selalu dicari

Jadi konsep kebenaran tunggal-hakiki bukan merupakan ide-gagasan


manusiawi tetapi merupakan keniscayaan sebagai konsekuensi dari
adanya hukum hukum dasar logika dan sebagai konsekuensi dari adanya
akal fikiran,artinya dalam menelusur masalah kebenaran pada ujungnya
akal akan bertemu dengan problem keharusan adanya bentuk kebenaran
tunggal-hakiki.

Masalahnya adalah : apa-bagaimana jalan menuju kepada menegakkan


atau merealisasikan hukum dasar logika yang menyatakan bahwa
kebenaran hakiki-sebenarnya itu harus tunggal (?) .. lalu,apa-siapa yang
bisa menegakkan hukum dasar logika itu secara universal-menyeluruh
untuk menetapkan yang satu sebagai hakikatnya benar dan yang lain
sebagai hakikatnya salah,Tuhan ataukah manusia (?)

3.ilmu hakikat,jalan mencari kebenaran tunggal,sebagai realisasi


menegakkan hukum dasar logika

Karena filsafat hanya bisa berhenti di sebatas logika-kebenaran berdasar


logika dan ketika logika itu dihadapkan kepada beragam persoalan yang
bersifat kompleks termasuk kepada fakta bahwa logika manusia itu
ternyata bisa berbeda beda sebagaimana dalam filsafat ada logika kaum
materialist-idealis-empiris-rasionalis-eksistensialis dlsb. yang masing
masing melahirkan system berfikir dan konsep kebenaran sendiri sendiri.
sehingga konsekuensinya dalam dunia filsafat kebenaran menjadi seperti
banyak bisa sebanyak kepala filsuf yang memikirkannya.sehingga bila
mengacu kepada isi kepala manusia yang berbeda beda itu kita mungkin
akan bertanya : apakah kebenaran itu bersifat relative-bergantung kepada
isi kepala manusia yang merumuskannya (?)

Masalahnya dalam kehidupan kita sudah terbiasa berhadapan dengan hal


hal yang bersifat mutlak : tiap manusia yang lahir akan selalu terbagi
kepada dua jenis kelamin,lalu adanya hukum kehidupan yang bersifat
pasti : adanya siang-malam,kehidupan-kematian,yang muda akan selalu
menjadi tua. semua adalah hal hal yang bersifat mutlak-pasti.sehingga
bila mengacu kepada adanya hukum kehidupan pasti itu kita meyakini
bahwa ada sesuatu yang bersifat mutlak-pasti dalam kehidupan ini dan
karenanya mesti ada bentuk kebenaran yang bersifat mutlak-pasti pula
atau mesti ada bentuk kebenaran tunggal yang mengendalikan yang
bersifat mutlak-pasti itu

Sehingga bila anda masuk ke atau berada di ranah logika anda bisa
berada di dunia keragaman-pluralitas,tetapi bagi sang pencari kebenaran
sejati-yang sebenarnya-hakiki itu bukan keadaan yang mereka kehendaki
sebab yang mereka cari tentu bukan kebenaran yang banyak tapi bersifat
relative-temporer-spekulatif-tak pasti tapi bentuk bentuk kebenaran
tunggal yang pasti-hakiki

Ilmu hakikat adalah bentuk ilmu yang melahirkan pemahaman terhadap


makna kebenaran hakiki sebuah bentuk ilmu yang tak bisa dibuat serta
dikonsep oleh manusia tetapi harus dibuat dan di konsep langsung oleh
Tuhan mengapa (?) .. karena tentu saja pada prinsipnya tak ada seorang
pun yang bisa menetapkan hakikat dari segala suatu yang ada dan terjadi

Bila ontology dalam dunia filsafat adalah ilmu yang berusaha


menemukan hakikat atau landasan dasar dari segala suatu maka ilmu
hakikat yang di konsepsikan melalui agama bukan berusaha mencari
tetapi menyatakan-memberitahukan firman Tuhan perihal hakikat dari
segala suatu

Bagaimana perbedaan serta bentuk hubungan antara logika dengan


hakikat bisa di analogikan seperti hubungan antara para murid dengan
guru.ranah logika ibarat ranah para murid yang ketika dalam ujian diberi
pilihan jawaban oleh sang guru : pilih a-b-c-d atau e, ternyata mereka
memiliki jawaban yang berbeda beda.dan untuk menentukan mana yang
benar dan mana yang salah maka memerlukan peran sang guru yang
akan memberitahu kepada mereka mana jawaban yang benar dan mana
jawaban yang salah. pada seorang guru itulah terdapat kebenaran tunggal
yang bersifat mutlak yang menghakimi seluruh jawaban para murid yang
berbeda beda,dan bayangkan bila konsep sang guru tidak bersifat tunggal
dan tidak bersifat mutlak maka para murid tidak memiliki pijakan hakiki
untuk menentukan mana jawaban yang benar - mana jawaban yang salah

Tidakkah anda mulai berfikir bahwa manusia itu bisa sama persis dengan
para murid yang memberi jawaban yang berbeda beda terhadap
persoalan yang hakikatnya sama sehingga memerlukan kebenaran
tunggal-yang hakiki untuk mengadili mana yang hakikatnya benar dan
mana yang hakikatnya salah.masalahnya tentu apa - siapa - institusi mana
yang memiliki nya,apakah filsafat-sains misal, bisa membuat konsep
kebenaran tunggal yang bersifat hakiki untuk di posisikan sebagai hakim
tunggal yang bisa menghakimi keseluruhan (?)

Atau ibarat sebuah pergelaran ceritera sandiwara dimana ranah logika


adalah ranah tafsiran para penonton yang bisa berbeda beda sedangkan
ranah hakikat adalah bentuk kebenaran tunggal yang ada dalam visi sang
pembuat ceriteranya,sehingga bila kita ingin mengenal kebenaran hakiki
seputar isi ceritera sandiwara itu tentu kita tidak akan bersandar pada
tafsiran para penonton yang bersifat relative tetapi harus mengacu
kepada visi sang pembuat ceriteranya

Dalam dunia filsafat manusia - filsuf diberi permasalahan yang sama


tetapi jawaban mereka ternyata bisa berbeda beda dan semua bisa sama
sama memakai serta mengatas namakan logika.lalu siapa yang harus
mengadili mereka .. atau membiarkan kebenaran dalam filsafat untuk
selalu nampak banyak (?) .. dan secara umum dalam kehidupan umat
manusia sudah terbiasa terpecah belah kepada berbagai sudut pandang
yang berbeda beda dan masing masing memakai atau berdasar logikanya
sendiri sendiri

Semua yang dilukiskan diatas adalah latar belakang yang menunjukkan


bahwa untuk memperoleh pemahaman terhadap adanya bentuk
kebenaran yang bersifat tunggal-mutlak hakiki manusia perlu jalan.
apakah jalan itu bisa diberikan atau ditunjukkan oleh filsafat atau sains
(?) .. bisakah dari dunia sains - filsafat lahir konsep ilmu hakikat sebagai
parameter untuk menentukan mana yang hakikatnya benar dan mana
yang hakikatnya salah (?)

Masalahnya,sebagai contoh.metodologi empirisme yang digunakan


sebagai parameter dalam sains dan metodologi logika yang digunakan
dalam filsafat memang sudah biasa digunakan sebagai parameter - alat
ukur kebenaran dalam wilayah yang tentu saja sebatas yang masih bisa
dijangkau.metodologi empirisme tentu saja tak bisa digunakan sebagai
parameter ketika manusia sudah berhadapan dengan problem keilmuan
yang bersifat kompleks terutama yang sudah berkaitan dengan masalah
metafisika.

Demikian pula logika hanya bisa membuat parameter kebenaran yang


terbatas,dalam arti terbatas hanya bisa digunakan untuk memeriksa serta
menilai segala suatu yang masih bisa dijangkau dengan kemampuan
manusia berlogika,sedang dalam kehidupan kita mengetahui teramat
banyak Ada atau problem yang diluar kemampuan logika manusia
merumuskannya. walau ilmu logika kini dikembangkan dengan berbagai
aturan aturan baru yang semakin ketat semua itu tetap tak bisa
menjangkau hal hal yang tak bisa dijangkau oleh kemampuan manusia
berlogika.dan semua aturan ketat yang dibuat manusia dalam ranah
logika tidak pula bisa membuat manusia menjadi selalu sama-seragam
dalam menetapkan sesuatu sebagai benar atau salah,baik atau buruk,dan
tidak pula bisa membuat manusia bisa menggapai bentuk kebenaran
tunggal

Nah inilah jalan menuju pemahaman mengapa manusia harus mengenal


parameter kebenaran yang dibuat oleh Tuhan yang disebut sebagai
kebenaran hakiki-kebenaran yang bersifat mutlak-kebenaran yang
bersifat tunggal yang akan menilai-memeriksa serta mengadili berbagai
bentuk kebenaran yang dinyatakan secara berbeda beda - yang semua
mengatas namakan logika

Atau dari uraian singkat diatas anda telah memiliki gambaran tentang
bagaimana manusia memerlukan parameter yang satu - bentuk
kebenaran tunggal sebagai alat ukur untuk menilai semua keragaman
yang ada - yang berbeda beda,yang sudah tak bisa dihadapi dengan
parameter yang ada dalam atau yang diberikan baik oleh sains maupun
filsafat.contoh untuk masalah ini,bila manusia berhadapan dengan agamakepercayaan yang berbeda beda maka mereka akan bertanya mana yang
hakikatnya benar (?) .. maka fungsi ilmu hakikat adalah menuntun
manusia ke arah menemukan parameter tunggal yang bersifat hakiki itu.
Hanya Ada Satu Kebenaran
Sabtu, 21 September 2013 11:37:51 WIB
Kategori : Aktual
HANYA ADA SATU KEBENARAN (MENCARI KEBENARAN DALAM MASALAH
KHILAFIYAH YANG KONTRADIKTIF)
Oleh
Ustadz Fariq Qasim Anuz
Permasalahan ini penting untuk diketahui oleh setiap muslim, lebih-lebih
mereka yang berkiprah di bidang dakwah. Sebenarnya, pembahasan ini
memuat suatu kaidah yang sangat dikenal oleh ulama salaf, tetapi
menjadi asing di masa sekarang ini.

Kaidah itu berbunyi : Kebenaran itu satu. Kaidah ini berlaku dalam
masalah-masalah ijtihadiyah yang diperselisihkan oleh ulama ahlus
sunnah wal jamaah.
Diharapkan risalah ini dapat menjadikan kita untuk mudah rujuk kepada
kebenaran dalam masalah khilafiyah ijtihadiyah dan membuang sikap
taklid buta serta tidak tabu untuk membicarakan masalah khilafiyah.
Kedua diharapkan dari risalah ini agar kita toleran dengan saudarasaudara kita yang mempunyai pendapat yang berbeda selama perbedaan
ini dalam hal ijtihadiyah bukan perbedaan aqidah atau yang bersifat
prinsip. Agar kita toleran dengan saudara-saudara kita yang mempunyai
pendapat berbeda selama kita semua tidak mengikuti hawa nafsu dan
sudah optimal berusaha untuk mencapai kepada kebenaran.
PERMASALAHAN IKHTILAF/ KHILAFIYAH
Perlu diketahui bahwa yang saya maksud dengan ikhtilaf di sini adalah
ikhtilaf tadladl, yaitu perbedaan pendapat yang saling menafikan
(bertentangan). Di dalam ikhtilaf seperti ini yang benar hanya satu.
Ada juga macam ikhtilaf yang lain, yaitu ikhtilaf tanawwu. Di dalam
ikhtilaf tanawwu semua pendapat benar, seperti :
1. Dua perkara atau perbuatan yang disyariatkan, seperti macam-macam
doa iftitah, bacaan sujud dan lainnya. Untuk bentuk seperti ini kadangkadang salah satunya ada yang lebih utama.
2. Dua lafadz yang berbeda tetapi mempunyai makna yang sama atau
mendekati. Contoh surat Al-Fatihah disebut juga dengan Ummul Kitab,
aqiqah sama dengan nasikah. Kata qadladalam firman Allah:



"Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah
selain Dia [al-Isra/17 : 23]
Ibnu Abbas berkata qadla berarti memerintahkan , Mujahid
mengatakan mewasiatkan , Rabi bin Anas mengatakan mewajibkan .
Kata-kata memerintahkan , mewasiatkan dan mewajibkan
mempunyai makna yang hampir sama.
3. Dua lafazh dengan makna berbeda, tetapi tidak saling menafikan
bahkan saling melengkapi atau mencakup semua di dalamnya. Contoh
kata an naiim dalam firman Allah :

"Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan
(yang kamu megah-megahkan di dunia itu)." [at-Takatsur/102 : 8]
Sebagian ahli tafsir mengatakan an naiim bermakna keamanan,
kesehatan, kecukupan dalam makanan dan minuman. Sebagian
mengatakan ringannya syariat dan sebagian lagi mengatakan nikmat
pendengaran dan penglihatan.
Dari sini jelas bahwa ikhtilaf tanawwu semuanya benar.

Untuk ikhtilaf tanawwu, tidak boleh seseorang menyalahkan salah


satunya. Syaikhul Islam mengatakan, Hanya kejahilan dan kezhaliman
yang menjadikan seseorang mencela salah satunya atau lebih
mengutamakan salah satunya tanpa maksud yang baik, atau tanpa ilmu
atau tanpa keduanya. [1]
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh" [al-Ahzab/33 :
72]
Allah Subhanahu wa Ta'ala melarang kita berselisih dan mencela
perselisihan dalam ayat-ayatNya diantaranya :



"Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantahbantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang
kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang
yang sabar" [al-Anfal/8 : 46]
Begitu pula Rasulullah shallallahu alaihi wasallam amat membenci
perselisihan. Apabila beliau mendengar ada di antara sahabatnya yang
berselisih, maka beliau marah dan segera menyelesaikannya sehingga
mereka kembali sadar akan kekeliruannya, lalu berdamai dan bersatu
dalam kebenaran.
Meskipun Allah menghendaki agar kita tidak berselisih (iradah syariyah)
tetapi Allah juga menghendaki (iradah kauniyah) sesuai dengan hikmahNya bahwa perselisihan itu akan selalu ada dan tidak bisa dihilangkan.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :


"Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang
satu, tetapi mereka Senantiasa berselisih pendapat, Kecuali orang-orang
yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. dan untuk Itulah Allah menciptakan
mereka. kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan:
Sesungguhnya aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan
manusia (yang durhaka) semuanya". [Hud/11 : 118-119]
Memang di antara perselisihan antara ulama ada hal-hal yang sudah
dipastikan mana yang benar dan mana yang salah. Tetapi banyak sekali di
antara perselisihan tersebut terjadi dalam perkara-perkara ijtihadiyah
yang dapat diupayakan kesepakatan. Sudahkah kita berusaha semaksimal
mungkin untuk mencari kata sepakat ? Sudahkah kita berusaha
menghilangkan kebodohan dari masyarakat kita berupa taashub atau
fanatik, baik fanatik hizbi (kelompok) ataupun madzhab, juga kultus
individu ? Ataukah kita pura-pura bodoh akan kebenaran yang ada di

depan mata kita lalu menolaknya karena mengikuti hawa nafsu atau
berdalih dengan ucapan, Kebenaran itu banyak !
IJTIHAD SEORANG ULAMA MUNGKIN BENAR DAN MUNGKIN SALAH
Siapa saja yang mengakui bahwa semua pendapat para ulama mujtahid
dalam suatu masalah adalah benar dan setiap mujtahid itu benar, maka
berarti dia telah mengucapkan kaidah yang tidak memiliki dalil, baik dari
Al-Quran, As-Sunnah atau ijma para sahabat serta tidak dapat diterima
oleh akal sehat.
Rasulullah shallalahu alaihi wasallam bersabda : Apabila seorang hakim
memberi keputusan, lalu ia berijtihad, kemudian ia benar maka baginya
dua pahala, dan jika ia memberi keputusan, lalu ia berijtihad kemudian
salah, maka baginya satu pahala. [HR. Bukhari dan Muslim]
Syaikhul Islam menjelaskan bahwa tidaklah setiap orang yang berijtihad
dapat mencapai kebenaran. Tetapi selama ia berdalil dan bertaqwa
kepada Allah sesuai dengan kesanggupannya, maka itulah yang Allah
bebankan kepadanya. Allah tidak akan menghulumnya apabila ia salah.
Ancaman dan hukuman itu baru berlaku bagi orang yang meninggalkan
perintah dan melanggar larangan setelah tegak hujjah kepadanya [2].
Ijtihad yang salah ini tidak boleh diikuti apabila kita mengetahui mana
yang benar dan mana yang salah[3]. Karena kita dituntut untuk mengikuti
dalil, bukan mengikuti manusia.
Syaikhul Islam rahimahullah berkata, Tidak boleh bagi seseorang untuk
berhujjah dengan ucapan seseorang dalam masalah perselisihan, karena
sesungguhnya hujjah adalah nash dan ijma serta dalil yang diambil
istimbathnya dari hal tersebut. Pengutamaannya ditentukan dengan dalildalil syariat, bukan dengan sebagian ucapan ulama. Karena
sesungguhnya ucapan para ulama itu baru menjadi hujjah disebabkan
adanya dalil-dalil syariat. Ucapan para ulama tersebut tidak dapat
mengalahkan dalil-dalil syariat.[4]
Perlu diingat bahwa kita wajib menghormati dan mencintai para ulama [5]
meskipun ijtihad mereka ada yang salah, atau di antara ijtihad mereka ada
yang kita yakini sebagai perbuatan bidah (setelah diadakan penelitian
berdasarkan kaidah-kaidah ilmiyyah dan kriteria-kriteria secara ilmu
ushul). Tetapi tidak boleh kita menuduhnya sebagai ahli bidah kecuali
setelah jelas bagi kita bahwa hujjah telah ditegakkan atas mereka dan
mereka tetap megikuti hawa nafsunya.
Syaikh Ali Hasan berkata, Sedangkan orang yang melakukan bidah, bisa
jadi dia seorang mujtahid -sebagaimana telah dibicarakan-, maka orang
yang berijtihad seperti ini, meskipun salah tidak bisa dikatakan sebagai
ahli bidah. Sebaliknya bisa jadi ia jahil (bodoh). Maka ia tidak bisa
dikatakan ahli bidah karena kejahilannya. Meskipun demikian ia tetap
berdosa dikarenakan kesalahan dia meninggalkan kewajiban menuntut
ilmu, kecuali apabila Allah menghendaki. Dan bisa jadi juga ada sebabsebab lain yang menghalangi seseorang yang melakukan bidah untuk
dikatakan sebagai ahli bidah. Berbeda dengan orang yang terus menerus
melakukan bidahnya setelah nampak kebenaran olehnya, karena
mengikuti nenek moyang, dan adat istiadatnya. Maka orang seperti ini

pantas dan tepat untuk mendapatkan predikat sebagai ahli bidah,


dikarenakan penolakannya dan pengingkarannya. [6]
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:




Dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran
baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami
biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu [7] dan
Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk
tempat kembali [an-Nisa/4 : 115]
KEBENARAN ITU SATU
Berikut ini akan saya nukilkan tulisan dari para ulama dahulu dan
sekarang. Semoga Allah memberi manfaat bagi kita semua.
Ibnul Qasim berkata, Saya telah mendengar dari Malik dan Laits tentang
perselisihan para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, tidaklah
seperti yang dikatakan orang-orang, Dalam perselisihan tersebut terdapat
kelapangan. Tidak demikian yang ada adalah salah dan benar. [8]
Asyhab ,mengatakan bahwa Malik pernah ditanya tentang orang yang
mengambil sebuah hadist dari seorang yang tsiqat (terpercaya) dan orang
itu mendapatkannya dari sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam,
Apakah engkau berpendapat bahwa dalam perselisihan terdapat
kelapangan ? Imam Malik menjawab, Tidak demi Allah, sampai ia
mendapatkan bahwa kebenaran itu satu. Adakah dua perkataan yang
bertentangan keduanya benar ? yang hak dan yang benar itu hanya ada
satu. [9]
Imam Al Muzani, sahabat Imam Syafii berkata : Para sahabat Rasulullah
Shallallahu alaihi wasallam telah berselisih. Lalu sebagian mereka
menyalahkan yang lain dan mereka saling memperhatikan tiap perkataan
di antara mereka dan mengomentarinya. Jika sekiranya mereka
berpendapat semua perkataan mereka itu benar, tentu mereka tidak akan
melakukan demikian. Pernah Umar bin Khathab marah karena terjadi
perselisihan antara Ubay bin Kaab dengan Ibnu Masud mengenai hukum
salat dengan satu pakaian. Ubay mengatakan bahwa salat dengan satu
pakaian itu baik dan indah. Sedangkan Ibnu Masud megatakan bahwa hal
itu dilakukan karena sedikit pakaian. Kemudian Umar keluar dengan
marah dan berkata, Dua orang sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi
wasallam telah berselisih, yaitu diantara orang-orang yang
memperhatikan Rasul dan mengambil pendapat beliau. Ubay benar dan
Ibnu Masud tidak kurang (berusaha). Akan tetapi aku tidak mau
mendengar setelah ini ada orang-orang yang berselisih tentang hal itu.
Jika masih ada tentu aku akan melakukan ini dan itu. [10]
Imam Al Muzani mengatakan lagi : Katakanlah kepada orang-orang yang
membolehkan perselisihan dan berpendapat mengenai dua orang alim
yang berijtihad dalam suatu masalah. Salah seorang di antara mereka
menyatakan halal dan yang lainnya menyatakan haram. Dikatakan bahwa
ijtihad keduanya benar semua, Apakah engkau mengatakan ini dengan
dasar ushul (pokok) atau qiyas ? Apabila ia mengatakan dengan dasar

pokok, maka katakanlah kepadanya, Bagaimana mungkin dengan dasar


pokok padahal Al-Quran menolak perselisihan ? Dan apabila ia
mengatakan dengan dasar qiyas, maka katakanlah, Meangapa engkau
membolehkan padahal pokok telah menolak perselisihan. Hal ini tidak
bisa diterima oleh orang yang berakal, lebih-lebih seorang alim. [11]
Ibnu Abdil Bar (wafat 463 H) berkata : Sekiranya kebenaran itu terdapat di
dalam dua hal yang bertentangan, maka tidak mungkin orang-orang salaf
akan saling menyalahkan dalam ijtihad, keputusan dan fatwa-fatwa
mereka. Dan pemikiran juga enggan menerima ada satu pendapat dan
pendapat lain yang bertentangan dikatakan benar seluruhnya. Tepatlah
apa yang dikatakan di dalam syair :
"Penetapan dua hal yang bertentangan secara bersamaan dalam satu hal
Adalah seburuk-buruk kemustahilan yang datang".[12]
Syaikh Ali Hasan berkata, Maka perbedaan pendapat dalam perkara
apapun, apakah dia itu sunnah atau bidah, mungkar atau bukan, tidaklah
menjadikan seorang juru dakwah untuk diam dari menyampaikan
kebenaran. Yaitu dengan mengenal bidah sesuai dengan kaidah-kaidah
yang telah disebutkan sebelum ini dan menjelaskan kebenaran di
dalamnya. Apabila setelah pembahasan, penelitian, dan pengkajian yang
mendalam diperoleh hasil bahwa hal itu adalah bidah, maka wajib untuk
menamapakkan kebenaran dan menyingkap syubhat-syubhat orang yang
menyalahinya. [13]
Syaikh Ali Hasan menukil pula ucapan Imam Al-Khathabi dalam bukunya
Alamus Sunan bi Syarh Shahih Al Bukhary juz 3/2091-2092, Seorang
berkata, Sesungguhnya manusia ketika mereka berbeda pendapat dalam
hal minuman, mereka bersepakat atas haramnya khamr dan anggur dan
berbeda pendapat menegenai selainnya. Maka kita harus mengikuti apa
yang mereka sepakati tentang haramnya dan membolehkan apa-apa yang
selainnya (yang masih diperselisihkan, pent.). Hal ini merupakan
kesalahan fatal, padahal Allah Subhanahu wa Taala telah memerintahkan
ornag orang yang berselisih agar mereka mengembalikan kepada Allah
dan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.


Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),
dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat
tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya" [an Nisa/4 : 59]
Imam As Syatibi setelah menukil ringkasan ucapan Al Khathabi dalam
bukunya Al Muwafaqat 4/14 kenudian beliau mengomentarinya, Orang
yang berkata tadi telah mengikuti syahwatnya dan menjadikan pendapat
yang sesuai ( dengan dirinya ) sebagai hujjah. Dia telah mengambil
pendapat tadi sebagai jalan untuk mengikuti hawa nafsunya, bukan jalan
menuju taqwanya. Yang demikian itu jauh sekali untuk dikatakan

melaksanakan perintah Allah dan lebih tepat untuk dikatakan sebagai


orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilahnya.[14]
BEBERAPA ALASAN DAN JAWABANNYA
Ada beberapa alasan yang sering dijadikan pegangan oleh sebagian orang
yang tidak sependapat dengan kaidah kebenaran itu satu .
Alasan Pertama : Perbedaan Pendapat Umatku Adalah Rahmat.
Ucapan ini sering dibawakan oleh sebagian orang dan mereka
mengatakannya sebagai sabda Nabi Shallallahu alaihi wasallam.
Jawabannya : Jika engkau cinta kepada Nabi Muhammad Shallallahu alaihi
wasallam, tentu engkau tidak akan berdusta atas namanya. Apalagi beliau
telah bersabda : Barang siapa yang berdusta atas namaku dengan
sengaja maka hendaklah ia menempatkan tempat duduknya dari api
neraka.[15]
Seorang yang takut terjerumus kepada perbuatan dusta atas nama
Nabinya maka ia akan hati-hati dalam membawakan hadist, dengan
mencari keterangan terlebih dahulu dari ulama hadist. Apabila ulama
hadist pun berbeda pendapat tentang ke-shahih-an suatu hadist, maka ia
berusaha sesuai dengan kemampunnya untuk meneliti dan memilih mana
di antara mereka yang alasannya lebih kuat, bukan memilih pendapat
yang sesuai dengan hawa nafsunya. Apalagi kalau para ulama hadist telah
sepakat akan kelemahan atau kepalsuan suatu hadist maka kita harus
mengikuti kesepakatan mereka.
Di bawah ini saya nukilkan tulisan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al
Albani rahimahullah dalam Silsilah Al Ahadist Adl Dlaifah mengenai
hadist :
"Perbedaan pendapat ummatku adalah rahmat."
Hadist ini tidak ada asalnya. Para muhaddist sudah berusaha keras untuk
mendapatkan sanad hadist ini tetapi mereka tidak mendapatkannya.
Sampai beliau berkata, Al Munawi menukil dari as Subki bahwa ia
berkata, Hadist ini tidak dikenal oleh para muhaddist dan saya belum
mendapatkan baik dalam sanad shahih, dlaif atau maudlu. Syaikh
Zakaria Al Anshari menyetujui dalam taliq atas tafsir Al Baidawi 2/92/Qaaf
(masih dalam manuskrip, pent.)
Makna hadist ini pun diingkari oleh para ulama peneliti. Al Allamah Ibnu
Hazm berkata dalam kitabnya Al Ihkam fi Ushulil Ahkam juz V hal. 64
setelah beliau mengisyaratkan bahwasanya ucapan itu bukan hadist, ini
adalah ucapan yang paling rusak. Karena kalau perselisihan itu rahmat,
tentu kesepakatan itu sesuatu yang dibenci dan tidak ada seorang muslim
pun yang mengatakan demikian. Yang ada hanya kesepakatan atau
perselisihan, rahmat atau dibenci. Di tempat lain beliau mengatakan,
Batil atau Dusta.
Sesungguhnya di antara sebagian dampak buruk dari hadist ini bahwa
banyak dari kaum muslimin menyetujui perbedaan pendapat yang sangat
tajam di antara madzhab yang empat. Mereka tidak berupaya sama sekali
untuk kembali kepada Al Quran dan As Sunnah yang shahih sebagaimana

hal ini telah diperintahkan oleh imam-imam mereka sendiri semoga Allah
meridhai mereka. Bahkan mereka berpendapat bahwa madzhab-madzhab
imam radliallahu anhum tersebut sebagai syariat-syariat yang
bermacam-macam. Mereka mengatakan demikian, padahal mereka tahu
bahwa pertentangan dan kontradiksi itu tidak mungkin dipadukan kecuali
dengan menolak sebagian yang bertentangan dengan dalil dan menerima
yang lain sesuai dengan dalil. Tetapi hal ini tidak mereka lakukan! Dengan
ini mereka telah menisbatkan kepada syariat akan adanya kontradiksi. Ini
merupakan bukti satu-satunya bahwa pertentangan bukanlah dari Allah
Subhanahu wa Taala apabila mereka memperhatikan firman Allah :

"Maka Apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? kalau kiranya Al
Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan
yang banyak di dalamnya" [an Nisa/4 : 82]
Ayat di atas menyatakan dengan tegas bahwa pertentangan bukan dari
Allah. Maka tidaklah benar menjadikan pertentangan sebagai syariat yang
diikuti atau rahmat yang turun.
Disebabkan hadist (yang tidak ada asalnya) ini dan yang lainnya,
kebanyakan kaum muslimin setelah imam yang empat terus menerus
sampai hari ini bertentangan dalam banyak masalah, baik masalah aqidah
maupun muamalah. Seandainya mereka menganggap bahwa
pertentangan itu buruk, -sebagaimana ucapan Ibnu Masud [16] dan
selainnya radliallahu anhum dan begitu juga banyak terdapat dalam Al
Quran dan hadist-hadist nabi Shallallahu alaihi wasallam yang
menunjukkan betapa buruknya pertentangan itu tentu mereka akan
bersegera untuk mencapai kata sepakat. Hal ini mungkin terjadi dalam
banyak permasalahan karena Allah Subhanahu wa Taala telah
menjelaskan berupa dalil-dalil untuk mengetahui mana yang benar dan
mana yang salah, mana yang haq dan mana yang batil. Setelah itu baru
bertoleransi sebagian terhadap yang lainnya dalam hal-hal yang masih
diperselisihkan. ( maksudnya : setelah berusaha semaksimal mungkin
untuk mendapatkan kebenaran dan tidak didapat kepastian pendapat
mana yang benar dalam masalah-masalah yang diperselisihkan.
Sedangkan ucapan yang sebagian mereka lontarkan secara mutlak, kami
bekerjasama dalam hal yang kami sepakati dan saling bertoleransi dalam
hal yang kami perselisihkan. Maka ini adalah kesalahan yang nyata
sekali. [17]
Akan tetapi untuk apa berusaha mencari kata sepakat kalau mereka
berpendapat ikhtilaf itu rahmat dan madzhab yang berbeda-beda itu
sebagai syariat yang bermacam-macam ? dan kesimpulannya:
Sesungguhnya ikhtilaf itu tercela dalam syariat. Maka wajib berusaha
untuk menuntaskan darinya sebisa mungkin, dikarenakan pertentangan
itu merupakan salah satu sebab kelemahan ummat. Allah berfirman:



"Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantahbantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang

kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang


yang sabar." [al Anfal/8 : 46]
Sedangkan sikap ridha dengan pertentangan dan menamakannya sebagai
rahmah, maka hal ini menyalahi ayat-ayat Al Quran yang tegas-tegas
mencelanya. Ia tidak bersandar kecuali kepada hadist yang tidak ada
asalnya dari Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.
Sampai disini mungkin ada pertanyaan, yaitu : Kadang terjadi
pertentangan di antara para sahabat. Padahal mereka seutama-utama
manusia, apakah celaan di atas mengenai mereka? Ibnu Hazm
rahimahullah menjawabnya dalam Al Ihkam fi Ushulil Ahkam juz V/67-68,
ia berkata : Sama sekali tidak. Celaan di atas tidaklah mengenai sahabat
sedikitpun, dikarenakan mereka telah berjuang keras mencari jalan Allah
dan pendapat yang benar. Maka jika di antara mereka ada yang salah,
mereka mendapat satu pahala dikarenakan niatnya yang baik dalam
menghendaki kebenaran. Terhapuslah dosa mereka dalam kesalahannya,
karena mereka tidak bermaksud dan tidak sengaja serta tidak
meremehkan dalam mencari kebenaran. Sedangkan yang benar diantara
mereka mendapatkan dua pahala. Begitu pula untuk setiap muslim
sampai hari kiamat dalam hal-hal yang tidak diketahui dan belum sampai
kepadanya hujjah (dalil ).
Celaan dan ancaman tesebut, sebagaimana tertuang dalam nash, berlaku
atas orang yang meninggalkan kewajiban berpegang pada tali Allah -Al
Quran dan As Sunnah- setelah datang nash kepadanya dan setelah tegak
hujjah atasnya. Kemudian setelah itu ia tetap bergantung kepada fulan
dan fulan, taklid, sengaja untuk berselisih, mengajak kepada fanatik dan
kebanggaan jahiliyah, bermaksud untuk berpecah belah, berupaya dalam
pengakuannya untuk selalu mengembalikan (urusannya) kepada Al Quran
dan As Sunnah yang shahih dengan keinginannya saja. Tetapi jika
berselisih (antara nafsu dan nash), maka ia bergantung pada kejahilannya,
meninggalkan Al Quran dan Sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi
wasallam. Mereka itulah orang-orangyang selalu berselisih dan orangorang yang tercela.
Tingkatan yang lain adalah mereka yang mempunyai iman yang tipis dan
kurang ketaqwaannya. Mereka mencari perkara yang cocok dengan hawa
nafsu mereka dari tiap pendapat yang ada. Mereka mengambil rukhsah
(keringanan) dalam ucapan setiap ulama, taklid kepadanya. Bukan
mencari apa-apa yang diwajibkan oleh nash-nash dari Allah dan Rasulullah
Shallallahu alaihi wasallam.
Di akhir ucapannya, Ibnu Hazm mengisyaratkan tentang talfiq yang
dikenal oleh para ahli fiqh, yaitu mengambil pendapat seorang alim tanpa
dalil, melainkan mengikuti hawa nafsu atau rukhsah. Para ulama berbeda
pendapat tentang kebolehannya. Tetapi yang benar adalah haram
disebabkan beberapa alasan tertentu. Namun disini bukan tempatnya
untuk menjelaskan permasalahan itu.
Mereka yang membolehkan talfiq ini mengambil dalil dari hadist yang
tidak ada asalnya ini dan dengan alasan hadist ini pula seorang berkata.
Barang siapa bertaqlid kepada seorang alim, ia akan menemui Allah dalam
keadaan selamat.

Semua ini merupakan sebagian dampak buruk dari hadist-hadist dlaif


(termasuk di dalamnya hadist maudlu, pent.) [18]. Maka berjhati-hatilah
darinya apabila engkau mengharapkan keselamatan, Allah berfirman
dalam surat Asy Syuaara 88-89 :

"(yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna"

"Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih".
Syaikh Al Albani menjelaskan pula dalam bukunya Shifat Shalat Nabi
Shallallahu alaihi wasallam mengenai perbedaan pendapat para sahabat
dengan ikhtilaf di kalangan para sahabat dengan ikhtilaf di antara
muqallidin (orang-orang yang taqlid), dia berkata : Para sahabat berbeda
pendapat sebagai suatu keterpaksaan, tetapi mereka mengingkari
perselisihan dan menghindarinya ketika mereka mendapatkan jalan
keluarnya. Sedangkan muqallidin tidak sepakat dan tidak berusaha untuk
sepakat. Padahal besar kemungkinan kata sepakat itu bisa dicapai dalam
sebagian besar permasalahan yang ada. Akan tetapi mereka menyetujui
adanya perbedaan. Maka sungguh jauh berbeda antara keduanya. Ini dari
segi sebab.
Adapun dari segi pengaruhnya, meskipun para sahabat berbeda pendapat
dalam masalah-masalah furu tetapi mereka benar-benar menjaga
persatuan. Sangat jauh sekali dari hal-hal yang memecah belah persatuan
dan memporak-porandakan barisan. Umpamanya di antara mereka ada
yang berpendapat bahwa membaca basmalah disyariatkan dengan jahr
(dikeraskan) dan yang lainnya berpendapat tidak jahr. Di antara mereka
ada yang berpendapat bahwa bersentuhan dengan wanita membatalkan
wudlu, sebagian yang lain berpendapat tidak membatalkan wudlu.
Meskipun demikian mereka semua shalat di belakang imam yang satu.
Tidak seorang pun di antara mereka menolak shalat di belakang imam
dikarenakan ada perbedaan madzhab.[19]
Alasan Kedua : Perbuatan Atau Ucapan Seorang Sahabat Adalah Hujjah.
Banyak hadist-hadist dari Nabi Shallallahu alaihi wasallam yang dijadikan
dalil oleh mereka. Salah satu di antaranya adalah hadist sahih, tetapi
mereka salah dalam memahaminya. Sedangkan yang lainnya adalah
hadist-hadist maudlu.
Berikut ini adalah dalil yang mereka kemukakan, setelah itu saya nukilkan
komentar ulama sebagai penjelasan atas dalil tersebut.
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda : "Aku wasiatkan kepada
kalian agar bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat meskipun (yang
memerintahkan kalian ) seorang budak dari Habasyah (Ethiopia).
Sesungguhnya siapa yang hidup sesudahku di antara kalian, maka kelak ia
akan menjumpai perselisihan yang banyak. Maka haruslah kalian
mengikuti sunnahku (jalanku) dan sunnah para khalifah yang mendapat

petunjuk dan bimbingan. Berpegang teguhlah kalian dengannya, gigitlah


dengan gigi geraham atas sunnah tersebut.." [20]
Syaikh Salim bin Ied Al Hilali berkata (Darul Irtiyab hal.7) : "Ketahuilah
saudara-saudaraku seiman, semoga Allah membimbingmu kepada
kebenaran, bahwasanya athaf (kata penyambung dan dalam sabdanya,
Haruslah kalian mengikuti sunnahku dan sunnah para khulafaur rasyidin,
pent.) tidaklah berarti bahwa sunnah khulafaur rasyidin diikuti tanpa
mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Melainkan
mereka senantiasa mengikuti sunnah beliau Shallallahu alaihi wasallam
dalam setiap jejak langkahnya. Oleh karena itu mereka dijuluki sebagai
orang yang mendapatkan petunjuk dan bimbingan. Rasulullah Shallallahu
alaihi wasallam menisbahkan sunnah kepada mereka dikarenakan
merekalah yang paling berhak dan seutama-utama manusia yang
memahami sunnah tersebut. Pemahaman seperti ini mutawatir dari
ulama-ulama rabbani yang dirahmati ini, di antaranya adalah:[21]
1. Ibnu Hazm Al Andalusi rahimahullah dalam kitabnya Al Ihkam fi Ushulil
Ahkam juz 6 hal 76-78.
2. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kitabnya Majmu Al
Fatawa juz 1 hal. 282.
3. Al Qari rahimahullah dalam Mirqatil Mafatih juz 1 hal. 199.
4. Al Allamah Al Mubarakfury rahimahullah dalam Syarah At Tirmidzi
Tuhfatul Ahwadzi juz 3 hal. 50 dan juz 7 hal. 420. Begitu pula Imam
Syaukani dan Imam As Shanani rahimahullah berkata demikian.
Berkenaan dengan masalah ini ada hadist maudlu yang berbunyi:
"Sahabat-sahabatku seperti bintang, dengan siapa saja kalian mengikuti di
antara mereka, kalian mesti mendapat hidayah".
Berikut ini adalah petikan dari Syaikh Al Albani dalam Silsilah Hadist Ad
Dhaifah wal Mauduah juz 1 no. 58 dari halaman 144-145 : Hadist ini
diriwayatkan oleh Ibnu Abdil bar dalam Jamiul Ilmi 2/91 dan oleh Ibnu
Hazm dalam Al Ihkam 6/82 (kemudian beliau menjelaskan tentang sebab
maudlu-nya hadist ini, pent.). Sedangkan orang yang men-shahih-kan
hadist ini bersandar dengan ucapan As Syarani dalam Al Mizan 1/28,
Hadist ini meskipun ada pembicaraan (kelemahan) menurut para
muhaddist, tetapi hadist ini shahih menurut ahli kasyf. Ucapan ini bathil
dan sepantasnya tidak ditengok, karena cara men-shahih-kan hadist
dengan jalan al kasyf adalah bidah sufi yang amat dibenci.
Kemudian Syaikh Al Albani menjelaskan bahwa cara al kasyf itu
seandainya dibolehkan itupun sebatas sebagai pendapat yang bisa salah
dan bisa benar, belum lagi kalau hawa nafsu yang masuk, sehingga
banyak hadist-hadist palsu dan yang tidak ada asalnya menjadi shahih
menurut keinginan hawa nafsu mereka.
Adapun hadist-hadist maudlu yang semakna dengan hadist di atas
terdapat dalam Silsilah Dlaifah juz 1 no. 59-62 dan penjelasannya dari
halaman 146-153.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah telah menjelaskan tentang
kaidah ucapan seorang sahabat bukan sebagai hujjah dalam Majmu
Fatawa.

Beliau memberikan contoh yang banyak sekali mengenai pendapat


sahabat yang bertentangan dengan nash-nash yang jelas. Kemudian
beliau juga menjelaskan bahwa ucapan seorang yang sahabat sebagai
hujjah dapat berlaku apabila memenuhi dua persyaratan, yaitu :
Pertama : Tidak ada nash yang bertentangan dengan ucapan tersebut.
Kedua : Tidak ada sahabat lain yang mengingkarinya. [22]
Alasan Ketiga : Apa Yang Dinisbahkan Kepada Imam Malik Yang Berkata,
"Masing-masing mereka adalah benar".
Syaikh Al Albani rahimahullah berkata : Apabila seseorang berkata, "Apa
yang engkau katakan tentang perkataan Imam Malik bahwa kebenaran itu
satu, tidak berbilang, adalah bertentangan dengan apa yang terdapat di
dalam kitab Al Madkhal Al Fikhi tulisan Al Ustadz Az Zarqa (1/89), Abu
Jafar Al Manshur dan Ar Rasyid menginginkan memilih madzhab Imam
Malik dan kitabnya Al Muwaththa sebagai undang-undang peradilan bagi
Daulah Abbasiyah. Kemudian Imam Malik mencegah mereka berdua
melakukan hal yang demikian. Beliau berkata,Sesungguhnya para
sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam ini telah berselisih di dalam
masalah furu dan mereka tersebar di berbagai negeri dan masing-masing
mereka adalah benar."
Saya (Syaikh Al Albani) mengatakan : Kisah ini telah dikenal dan masyhur
dari Imam Malik rahimahullah. Tetapi kata-kata terakhir yang berbunyi,
Masing-masing mereka adalah benar, tidak saya ketahui asalnya
berdasarkan penelitian saya dari riwayat-riwayat dan sumber-sumber yang
saya dapatkan [23]. Kecuali satu riwayat yang dikeluarkan oleh Abu
Nuaim dalam Al Hilyah 6/332 dengan isnad yang terdapat didalamnya Al
Miqdam bin Daud. Ia adalah salah seorang yang disebutkan oleh Adz
Dzahabi dalam kitabnya Ad Dluafa. Itu pun dengan lafazh, Dan masing
masing menurut dirinya adalah benar. Ini menunjukkan bahwa riwayat
yang terdapat dalam Al Madkhal telah mengalami perubahan lafazh.
Bagaimana tidak, padahal ini bertentangan dengan apa yang diriwayatkan
oleh orang-orang tsiqat (terpercaya) dari Imam Malik bahwa kebenaran itu
satu tidak berbilang, sebagaimana telah diterangkan terdahulu. Hal ini
juga dipegang oleh setiap Imam dari para sahabat, tabiin serta imamimam mujtahid yang empat dan yang lainnya.[24]
PENUTUP.
Setelah kita membaca penjelasan mengenai kaidah kebenaran itu hanya
satu "Timbul pertanyaan, Bagaimana kita dapat mengetahui mana yang
benar dan mana yang salah? Dan bagaimana kita dapat mengamalkan
kebenaran tersebut?"
Jawabannya secara ringkas adalah :
Pertama : Ikhlas di dalam mencari kebenaran. Dengan modal ikhlash maka
syaithan tidak berdaya dalam upayanya menyesatkan manusia.
Kedua : Ilmu yang benar.
Imam Syafii rahimahullah (wafat tahun 204 H) berkata [25] Seluruh ilmu
selain Al Quran adalah melalaikan kecuali hadist dan ilmu fiqh dalam dien

ini. Ilmu itu adalah yang ada padanya ucapan haddatsana sedangkan
selain itu merupakan bisikan syaithan.
Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah berkata dalam kitab Ilamul
Muwaqqiin, Ilmu itu adalah firman Allah, sabda Rasulullah Shallallahu
alaihi wasallam dan Ucapan para sahabat.
Imam Al Auzai rahimahullah (wafat 158H) berkata : Haruslah engkau
mengikuti jejak orang-orang salaf meskipun manusia menentangmu. Dan
hati-hatilah engkau dari pemikiran-pemikiran manusia meskipun mereka
menghiasinya dengan kata-kata yang manis kepadamu.[26]. Syaikh Ali
Hasan mengatakan, Dengan sanad yang shahih [27]
Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam muqaddimah tafsirnya, Maka
yang semestinya dilakukan dalam menceritakan perbedaan pendapat,
yaitu engkau menguasai pendapat-pendapat yang ada. Lalu engkau
sebutkan yang benar dan engkau salahkan yang salah. Lalu engkau
sebutkan faedah khilaf dan buahnya agar perselisihan dan perbedaan
pendapat itu tidak berkepanjangan dalam hal-hal yang tidak bermanfaat,
sehingga engkau sibuk dengan hal tadi dan menyebabkan
terbengkalainya mana yang lebih penting dari yang penting. Sedangkan
orang-orang yang menceritakan perbedaan pendapat dalam satu masalah
padahal ia belum menguasai pendapat-pendapat ulama yang ada, maka
hal itu kurang, karena boleh jadi pendapat yang nanti ia tinggalkan adalah
pendapat yang benar. Atau seseorang yang hanya menceritakan
perbedaan pendapat yang ada, kemudian dibiarkannya saja tanpa
menyebutkan mana yang benar, maka hal itu pun kurang. Begitu pula
orang yang membenarkan pendapat yang salah dengan sengaja, berarti ia
telah berdusta. Apabila hal itu dilakukan dengan tidak sengaja yaitu
karena kejahilan maka dia telah berbuat kesalahan.[28]
Untuk dapat memiliki ilmu yang dalam haruslah sabar karena dibutuhkan
ilmu yang dalam haruslah sabar karena dibutuhkan waktu yang lama.
Imam Syafii rahimahullah berkata : "Saudaraku, engkau akan tidak
memperoleh ilmu kecuali memiliki enam perkara. Saya akan beritahu
kepadamu keenamnya dengan jelas, yaitu : kecerdasan, perhatian,
kesungguhan dan kecukupan (materi) dan didampingi oleh guru sera
menempuh waktu yang lama".
Ketiga : Mengendalikan hawa nafsu agar tunduk kepada kebenaran
Hal ini sangat sulit, terlebih bagi jiwa manusia yang selalu mengajak
kepada keburukan. Maka Allah Subhanahu wa Taala menjanjikan surga
bagi orang yang takut kepada-Nya dan menahan hawa nafsunya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :


"Dan Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan
menahan diri dari keinginan hawa nafsuny. Maka Sesungguhnya syurgalah
tempat tinggal(nya)". [an Naziat/79 : 40-41]
Ya Allah, tunjukkanlah kepada kami bahwa yang benar itu benar dan
berilah kami kemampuan untuk mengikutinya. Dan tunjukkanlah kepada

kami bahwa yang bathil itu bathil dan berilah kami kemampuan untuk
menjauhinya.
Semoga shalawat dan salam senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi
Muhammad Shallallahu alaihi wasallam , keluarga dan para sahabatnya.
Amin.
HANYA SATU JALAN KEBENARAN
Oleh : Abu Muhammad Abdul Muthi Al-Maidani
Islam adalah agama universal yang mencakup seluruh ajaran kebaikan.
Mulai dari keyakinan, ucapan maupun perbuatan diterangkan secara
lengkap dalam Islam. Keterangannya baik secara glob
al atau rinci terpampang dengan jelas dan gamblang. Itulah jalan-jalan
keselamatan yang bisa ditempuh oleh para pemeluk agama ini. Jalanjalan yang bisa menghantarkan pelintasnya ke jannah Allah k dan
menyelamatkannya dari adzab neraka. Allah k berfirman:

.



Sungguh telah datang kepada kalian cahaya dari Allah dan kitab yang
menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang
mengikuti keridhaan-Nya ke jalan-jalan keselamatan dan Allah
mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya dengan seizin-Nya
serta menunjuki mereka ke jalan yang lurus. (Al-Ma`idah: 15-16)
Jalan keselamatan boleh berbilang namun kebenaran tetap hanya satu.
Karena setiap jalan keselamatan adalah bagian dari kebenaran yang satu.
Sehingga sebuah jalan tidak dihukumi sebagai jalan keselamatan kecuali
bila nilai kebenaran menjadi muatannya. Jika terjadi perselisihan dan
pertikaian mengenai sebuah jalan keselamatan maka kebenaran itu tetap
berjumlah satu. Kebenaran berada pada salah satu pendapat yang
dipegang oleh salah satu pihak. Tentunya tolak ukur kebenaran itu adalah
Al Qur`an dan As Sunnah dengan pemahaman Salaf. Allah k berfirman:


Kebenaran itu adalah dari Rabbmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu
termasuk orang-orang yang ragu. (Al-Baqarah: 147)
Kemudian Allah k berfirman:



Dan barang siapa menentang Rasul sesudah jelas baginya petunjuk, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin (shahabat g), Kami
biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami
masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat
kembali. (An-Nisa`: 115)
Lalu Allah k berfirman:

Maka tidak ada sesudah kebenaran itu melainkan kesesatan. (Yunus: 32)
Al-Imam Al-Qurthubi t berkata: Ayat ini menetapkan bahwa tidak ada
kedudukan ketiga antara al-haq dan al-bathil dalam permasalahan
mentauhidkan Allah k. Maka demikian pula perkaranya dalam
permasalahan-permasalahan yang setara. Yaitu dalam permasalahanpermasalahan ushul (prinsip), kebenaran berada pada salah satu pihak.
Barangkali ada yang mengatakan: Sesungguhnya dzahir ayat ini
menunjukkan bahwa yang selain (mentauhidkan) Allah adalah kesesatan.
Karena permulaan ayat berbunyi:

Maka (Dzat yang demikian) itulah Allah Rabb kalian yang sebenarnya;
sehingga tidak ada sesudah kebenaran itu melainkan kesesatan. (Yunus:
32)
Lalu kenapa memperluas pendalilan ini (yakni menggunakan ayat ini
untuk mengingkari bentuk kesesatan selain kesyirikan -ed)?
Jawabannya: Sesungguhnya para pendahulu kita yang baik telah berdalil
dengan keumuman ayat ini terhadap segala kebatilan. Oleh karena itu AlImam Malik t berdalil dengannya dalam mengharamkan permainan catur
sebagaimana pada riwayat Asyhab. Bentuk (pendalilan) itu sebagai
berikut: bahwa kekafiran adalah sesuatu yang menutupi al-haq. Maka
semua yang selain kebenaran berjalan di atas jalur ini. (Tafsir Al-Qurthubi,
8/336)
Dalam setiap pertikaian dan perselisihan, kebenaran hanya satu
sedangkan yang selainnya adalah keliru. Bahkan tak jarang mengandung
kebatilan dan kesesatan. Inilah sebab Allah k melarang setiap perselisihan
dan pertikaian. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah t pernah menerangkan: Ayatayat yang melarang setiap perselisihan dalam agama mengandung celaan
terhadapnya. Seluruhnya mempersaksikan dengan nyata bahwa al-haq di
sisi Allah k hanya satu, sedangkan yang selainnya merupakan kesalahan.
Kalau seandainya semua pendapat itu adalah benar, niscaya Allah k dan
Rasul-Nya tidak akan melarang dari kebenaran dan tidak pula akan
mencelanya. Sungguh Allah k telah mengabarkan bahwa perselisihan
bukan dari sisi-Nya. Yang bukan dari sisi Allah k tidak dianggap sebagai
kebenaran. Allah k berfirman:


Kalau kiranya Al Qur`an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka
mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya. (An-Nisa`: 82)
(Mukhtashar Ash-Shawaiqil Mursalah, hal. 594)
Dalil-dalil tentang Kebenaran Hanya Satu
Cukup banyak dalil akurat dari Al Qur`an, As Sunnah dan amalan shahabat
yang menunjukkan bahwa kebenaran dalam setiap permasalahan yang
diperselisihkan hanya satu. Adapun yang selainnya merupakan kesalahan.
Di antara dalil-dalil tersebut:
1. Allah k berfirman:




Dan bahwa ini adalah jalan-Ku yang lurus. Maka ikutilah dia dan
janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain. Karena jalan-jalan itu
mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian itu Allah wasiatkan
pada kalian agar kalian bertakwa. (Al-Anam: 153)
Ibnu Katsir t -ketika menafsirkan ayat ini- berkata: Firman Allah k:


Ikutilah (jalan-Ku) dan jangan kalian mengikuti jalan-jalan yang lain.
(Di sini) sungguh Allah k menyebutkan tentang jalan-Nya dengan bentuk
kata tunggal karena kebenaran itu hanya satu. Oleh sebab itu, Allah
menyebutkan tentang jalan-jalan yang lain dengan bentuk kata jamak
(banyak). Karena jalan-jalan yang lain terpisah-pisah dan bercabangcabang. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/256)
2. Allah k berfirman:
.


Dan (ingatlah kisah) Dawud dan Sulaiman di waktu keduanya
memberikan keputusan mengenai tanaman. Karena tanaman itu dirusak
oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan Kami menyaksikan
keputusan yang diberikan oleh mereka itu. Maka Kami telah memberikan

pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat). Dan


kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu. Dan
telah Kami tundukkan gunung-gunung serta burung-burung. Semuanya
bertasbih bersama Dawud. Dan Kamilah yang melakukannya. (AlAnbiya`: 78-79)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t menjelaskan -tentang dua ayat inisebagai berikut: Kedua nabi yang mulia ini telah sama-sama memberikan
keputusan dalam sebuah kasus yang membutuhkan vonis hukum. Maka
Allah k mengistimewakan salah seorang dari keduanya dengan
memahamkan (kepadanya) duduk permasalahan (yang dihadapi).
Bersamaan dengan itu Allah memuji masing-masing dari keduanya
dengan mendatangkan pengetahuan hukum dan ilmu kepadanya.
Demikian pula para ulama yang mujtahid g. Siapa yang benar dari mereka
mendapatkan dua pahala sedangkan yang salah mendapatkan satu
pahala. Masing-masing mereka taat kepada Allah sesuai dengan
kemampuannya. Allah tidak akan memberatkannya dengan sesuatu yang
dia tidak mampu mengilmuinya (Majmu Al-Fatawa, 33/41)
3. Rasulullah n bersabda:

Apabila seorang hakim menghukumi lalu berijtihad maka jika benar dia
mendapatkan dua pahala dan jika salah dia mendapatkan satu pahala.
(HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah z)
Al-Imam Al-Muzani t menandaskan: Perlu dipertanyakan kepada orang
yang membolehkan perbedaan pendapat dan menyangka bahwa dua
orang alim jika berijtihad pada sebuah kejadian yang satu berpendapat
(halal) sementara yang lain berpendapat (haram) masing-masing dari
keduanya meraih kebenaran: Apakah engkau mengatakan ini dengan
sebuah sumber (hukum) atau dengan qiyas? Bila dia menjawab: Dengan
sebuah sumber (hukum). Dipertegas kepadanya: Bagaimana bisa dari
sebuah sumber (hukum) sedangkan Al Qur`an menolak perbedaan
pendapat. Bila dia menjawab: Dengan qiyas. Dipertegas kepadanya:
Sumber-sumber (hukum) menolak perbedaan pendapat dan bagaimana
engkau bisa mengqiyas atas sumber-sumber (hukum) tersebut untuk
membolehkan perbedaan pendapat. Ini merupakan perkara yang tidak
bisa diterima oleh orang yang berakal terlebih lagi oleh seorang yang
berilmu. (Jami Bayanil Ilmi wa Fadhlihi, karya Ibnu Abdil Barr, 2/89)
4. Rasulullah n bersabda:


: .


:
Sesungguhnya Bani Israil telah berpecah menjadi tujuh puluh dua
golongan dan akan berpecah umatku menjadi tujuh puluh tiga golongan.
Mereka seluruhnya berada dalam api neraka kecuali golongan yang satu.
Para shahabat bertanya: Siapa golongan itu, wahai Rasulullah? Beliau
menjawab: (Dia adalah golongan yang memegang) ajaranku dan (faham)
shahabatku pada hari ini. (HR. At-Tirmidzi dan selainnya dari Abdullah bin
Amr ibnul Ash c)
Dalam sanad hadits ini terdapat Abdurrahman bin Ziyad Al-Ifriqi. Dia
seorang yang dhaif. Tetapi hadits ini dikuatkan oleh banyak hadits lain
yang semakna. Hadits-hadits tersebut diriwayatkan dari beberapa orang
shahabat, antara lain:
1. Abu Hurairah
2. Muawiyah bin Abi Sufyan
3. Anas bin Malik
4. Auf bin Malik

5. Ibnu Masud
6. Abu Umamah
7. Ali bin Abi Thalib
8. Saad bin Abi Waqqash
Semoga Allah k meridhai mereka semua.
Al-Imam Syathibi t memaparkan: Sabda beliau n Kecuali golongan yang
satu, secara nash memberikan penjelasan bahwa kebenaran hanya satu
dan tidak beraneka ragam. Sebab jika seandainya kebenaran menjadi
milik berbagai pihak niscaya beliau tidak akan mengatakan Kecuali
golongan yang satu. (Al-Itisham, 2/755)
5. Al-Imam Al-Muzani t berkata:
Para shahabat Rasulullah n telah berbeda pendapat. Sebagian mereka
menyalahkan yang lainnya. (Sebagian mereka) melihat kepada pendapatpendapat yang lain lalu mengomentarinya. Jika mereka berpandangan
bahwa seluruh pendapat mereka (ketika berselisih) adalah benar, niscaya
mereka tidak akan melakukan yang demikian.
Umar bin Al-Khaththab z pernah marah karena perselisihan Ubay bin Kab
z dengan Abdullah bin Masud z mengenai hukum shalat mengenakan
sehelai pakaian. Saat itu Ubay berkata: Sesungguhnya shalat dengan
mengenakan sehelai pakaian merupakan perkara yang baik lagi bagus.
Ibnu Masud berkata: Sungguh yang demikian itu (dibolehkan) bila jumlah
pakaiannya sedikit. Maka Umar keluar dalam keadaan marah dan
berkata: Dua orang shahabat Rasulullah n yang dipandang dan diambil
pendapatnya telah berselisih. Ubay telah benar dan Ibnu Masud tidak
lalai. Akan tetapi tidaklah aku mendengar seorang pun berselisih
mengenainya setelah (aku meninggalkan) tempatku ini melainkan aku
akan memperlakukannya demikian dan demikian. (Jami Bayanil Ilmi wa
Fadhlihi, 2/83-84)
Tidak Setiap Mujtahid Benar
Dalil-dalil di atas dengan tegas mematahkan kesesatan sebagian muslimin
yang berpandangan bahwa setiap mujtahid benar. Sebab pernyataan ini
adalah madzhab Mutazilah negeri Bashrah. Merekalah sumber dari
kebidahan ini. Mereka berpendapat demikian karena tidak paham tentang
makna-makna dan metode-metode fiqih yang mengantarkan kepada
kebenaran serta memisahkan dari kerancuan-kerancuan yang batil. (AlBahru Al-Muhith karya Az-Zarkasyi, 6/243)
Tidak ada seorang pun dari para ulama sunnah dan imam-imam Islam
yang menyuarakan bahwa setiap mujtahid benar. Adapun penisbahannya
kepada Al-Imam Asy-Syafii dan Al-Imam Malik merupakan isapan jempol
dan tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. (Al-Bahru Al-Muhith,
6/242 dan Shifatush-shalah karya Al-Albani hal.63-64)
Al-Imam Malik t berkata: Tidaklah (ada) kebenaran melainkan hanya satu.
(Mungkinkah -ed) dua pendapat yang saling bertentangan keduanya
benar? Tidaklah al-haq dan kebenaran melainkan hanya satu. (Jami
Bayanil Ilmi wa Fadhlihi, 2/82, 88, 89)
Hal yang hampir senada diucapkan pula oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah t (Majmu Al-Fatawa, 33/42), Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah t
(Mukhtashar Ash-Shawaiqil Mursalah, hal. 594), Ibnu Abdil Barr t (Jami
Bayanil Ilmi wa Fadhlihi, 2/88), dan para ulama yang lainnya.
Perselisihan Bukan Argumen untuk Mentolerir Suatu Pendapat
Berargumen dengan perselisihan dan perbedaan pendapat untuk
melegitimasi suatu pemikiran (dari tokoh tertentu) atau madzhab sebagai
sebuah kebenaran merupakan perkara yang tidak benar. Sikap ini tidak

memiliki akurasi hujjah. Sebab Al Qur`an dan As Sunnah tidak


mengajarkannya.
Al-Hafidz Abu Umar bin Abdil Barr t berkata: Perselisihan bukan hujjah
menurut seluruh ahli fiqih umat ini kecuali bagi orang yang tidak punya
mata hati dan pengetahuan. Maka pendapatnya bukan hujjah. (Jami
Bayanil Ilmi wa Fadhlihi, 2/229)
Kewajiban seorang muslim adalah mencari letak kebenaran dalam sebuah
perselisihan dan pertikaian. Tidak semua pendapat mengusung
kebenaran. Kebenaran hanya berada pada salah satu pihak yang
berselisih dan bertikai. Ini adalah pendapat Al-imam Malik, Ahmad dan
Asy-Syafii rahimahumullah. (Mukhtashar Ash-Shawaiqil Mursalah, hal.
594)
Pihak yang benar adalah yang pendapatnya berlandaskan Al Qur`an dan
As Sunnah beserta pemahaman Salaf. Sebuah kesalahan fatal bila seorang
muslim menganggap suatu perkara dibolehkan dengan alasan (di dalam
perkara tersebut terdapat) perselisihan di kalangan para ulama apalagi
yang selainnya. Ini merupakan kekeliruan terhadap syariat Islam. Namun
sangat disayangkan betapa banyak orang yang terjatuh di dalamnya.
Mereka bukan dari golongan orang awam saja akan tetapi juga melibatkan
orang-orang yang mengaku dirinya berilmu. Sebagian mereka dianggap
ulama atau paling tidak bergelar kyai maupun ustadz. Bahkan tak jarang
ahlul bidah berupaya melanggengkan berbagai kebidahannya dengan
alasan yang demikian. Wallahul mustaan.
Marilah kita menyimak penuturan ulama berikut ini:
Al-Imam Asy-Syathibi t berkata: Perkara ini telah melampaui kadar yang
cukup. Sehingga terjadi pembolehan sebuah perbuatan karena berpegang
pada kondisinya yang diperselisihkan di kalangan para ulama. Pembolehan
ini bukan bermakna untuk memelihara perselisihan, sebab hal ini memiliki
sisi pandang yang lain, akan tetapi tujuannya adalah yang selain itu (yakni
tujuannya tidak untuk memelihara perselisihan -red). Terkadang dalam
suatu permasalahan muncul fatwa yang melarang. Lalu dipertanyakan:
Kenapa engkau melarang? Padahal permasalahannya diperselisihkan.
Maka perselisihan dijadikan argumen untuk membolehkan, semata-mata
karena permasalahannya diperselisihkan. Bukan karena dalil yang
menyokong kebenaran madzhab yang membolehkan. Tidak pula karena
taqlid kepada orang yang lebih pantas diikuti daripada orang yang
mengatakan larangan. Itulah wujud kesalahan terhadap syariat, yaitu
menjadikan yang bukan pegangan sebagai pegangan dan yang bukan
hujjah sebagai hujjah. (Tahdzib Al-Muwafaqat, karya Muhammad bin
Husain Al-Jizani, hal. 334)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t berkata: Siapapun tidak boleh berhujjah
dengan pendapat seseorang dalam permasalahan-permasalahan yang
diperselisihkan. Hujjah itu hanya berupa nash (Al Qur`an dan As Sunnah),
ijma dan dalil yang disimpulkan dari itu (sedangkan) pendahuluannya
dikokohkan dengan dalil-dalil syari, tidak dengan pendapat-pendapat
sebagian ulama. Karena pendapat-pendapat ulama perlu diberi hujjah
dengan dalil-dalil syari, bukan untuk dijadikan sebagai hujjah atas dalildalil syari. (Majmu Al-Fatawa, 26/202-203)
Setiap Pendapat Menuntut Dalil
Menuntut dalil dari setiap pendapat merupakan kewajaran di kalangan
pecinta kebenaran. Tentunya tanpa memandang siapa yang menjadi
sasarannya. Sebab nilai kebenaran terletak pada dalil bukan dalam
kebesaran nama seseorang. Namun tidak berarti tanpa etika dan adab
yang layak dalam melakukannya. Inilah barangkali yang tidak dipahami

oleh para pembebek yang terperosok dalam kubangan pengkultusan


tokoh. Acapkali mereka memegang sebuah pendapat karena yang
mengucapkannya adalah seorang yang punya nama besar tanpa menoleh
dalilnya. Terkadang profil yang dimaksud bukan ulama yang faham agama
beserta dalil-dalilnya dengan benar.
Tapi keharusan berpijak kepada dalil tak bisa digugurkan walaupun pemilik
pendapat adalah seorang ulama dengan kriteria yang hampir mencapai
titik sempurna. Orang yang mempelajari sejarah hidup generasi terbaik
umat ini akan melihat bahwa mereka tak sungkan-sungkan untuk bertanya
tentang dalil sebuah pendapat kepada yang bersangkutan. Berikut
beberapa riwayat dalam masalah ini:
1. Dari Abu Ghalib, ia berkata: Kami bertanya (kepada Abu Umamah z):

:


Apakah dengan pendapatmu engkau mengatakan: Mereka (Khawarij)
adalah anjing-anjing neraka, atau sesuatu yang engkau dengar dari
Rasulullah n?



(Jika demikian) sungguh aku sangat berani. Akan tetapi aku
mendengarnya dari Rasulullah n tidak hanya sekali, dua dan tiga kali.
Lalu beliau menyebutkan hitungan bilangannya berulang kali. (HR. Ahmad,
dengan sanad yang jayyid menurut penilaian Asy-Syaikh Muqbil t, lihat AlJamiush Shahih, 1/199-201)
2. Dari Abu Shalih, ia berkata: Aku mendengar Abu Said Al-Khudri z
mengatakan:

Dinar dengan dinar, dan dirham dengan dirham (menukar/jual-belinya)


dengan timbangan yang sama (bobotnya). Barangsiapa yang menambahi
atau minta tambahan berarti dia telah berbuat riba.
Aku (Abu Shalih) berkata kepadanya (Abu Said): Sesungguhnya Ibnu
Abbas mengatakan yang selain ini. Abu Said Al-Khudri menjawab: Aku
telah bertemu Ibnu Abbas. Aku bertanya: Apakah yang engkau ucapkan
ini adalah sesuatu yang pernah engkau dengar dari Rasulullah n, atau
engkau mendapatkannya dalam Kitabullah k? Beliau (Ibnu Abbas red)
menjawab: Aku tidak mengatakan semua itu. Kalian lebih tahu tentang
Rasulullah n daripada aku. Akan tetapi Usamah telah memberitakan
kepadaku bahwa Rasulullah n bersabda:


Tidak ada riba kecuali (riba) an-nasi`ah. (HR. Al-Bukhari no. 2178 dan
Muslim no. 1596)
3. Ibnu Abi Hatim meriwayatkan di dalam Manaqib Asy-Syafii (86-87): AlImam Ahmad pernah bertanya kepada Al-Imam As-Syafii rahimahumallah:
Apa pendapatmu tentang masalah yang demikian dan demikian? Lalu AlImam Asy-Syafii menjawab masalahnya. Al-Imam Ahmad berkata: Dari
mana engkau mengatakan itu? Apakah terdapat padanya sebuah hadits
atau ayat Al Qur`an? Al-Imam Asy-Syafii menjawab: Ya. Lantas beliau
mengutarakan sebuah hadits Nabi n mengenai masalah tersebut. (Zajrul
Mutahawin karya Hamd bin Ibrahim hal. 69)
Demikianlah tuntunan dari pendahulu kita yang baik. Namun sangat
disayangkan kini banyak kalangan mentolerir suatu pendapat karena
semata-mata yang mengucapkannya adalah seorang ulama atau kyai.
Mereka tidak bersikap ilmiah dengan mau melihat dalilnya. Terlebih lagi
mau berpikir tentang akurasi dalil dan pendalilannya. Inilah realita pahit
dan memilukan dalam kehidupan beragama kebanyakan kaum muslimin
belakangan ini. Bahkan penyakit ini berkembang pula di tengah para

santri kebanyakan pondok pesantren di dalam dan luar negeri. Tak kalah
serunya tatkala hal serupa ikut merebak di level para dai yang sedang
bergelut di kancah dakwah kecuali segelintir orang yang dirahmati oleh
Allah k. Wallahul mustaan.
Semoga pembahasan ini mengingatkan kita untuk kembali intropeksi diri
dengan satu pertanyaan: Dari golongan manakah kita dalam memegang
pendapat? Mudah-mudahan Allah k menjadikan kita selalu berada di
belakang dalil dalam beragama dan tidak dininabobokan oleh nama besar
sosok-sosok tertentu.
Penutup
Seluruh pembahasan di atas berlaku secara umum pada segala
permasalahan agama baik ushul (prinsip) maupun furu (cabang) tanpa
perbedaan. Karena masing-masing bagian memiliki kekokohan hubungan
yang sama erat dengan norma-norma syariat. (Mukhtashar Ash-Shawaiqil
Mursalah, hal. 594 dan Fathul Qadir karya Al-Imam Asy-Syaukani, 1/370)
Adapun perselisihan yang dimaksud dalam pembahasan di atas yaitu
perselisihan yang mengandung kontradiksi antara dua pendapat atau
lebih dan tidak bisa kompromikan. Yang bisa dikompromikan dengan
metode-metode yang dikenal di kalangan para ulama tidak termasuk
dalam cakupannya, karena tidak masuk dalam kategori perselisihan
dengan makna yang sesungguhnya. Perselisihan ini diistilahkan di
kalangan para ulama dengan nama ikhtilaf tadhadh. Di sana terdapat
perselisihan yang berangkat dari keragaman dalil. Ini pada hakekatnya
tidak dapat dikatakan sebagai perselisihan. Lebih tepat untuk dikatakan
sebagai keragaman aturan syariat Islam dalam masalah tersebut.
Perselisihan ini diistilahkan di kalangan para ulama dengan nama ikhtilaf
tanawwu.
Dari Ibnu Masud z, beliau berkata:




Aku mendengar seseorang membaca satu ayat, padahal aku mendengar


Rasulullah n membaca berbeda dengan bacaannya. Maka aku memegang
tangannya dan membawanya menemui Rasulullah , lalu aku laporkan
perkara itu kepada beliau. Aku melihat rasa tidak suka pada wajah beliau
dan beliau bersabda: Kalian berdua telah benar dan janganlah berselisih,
karena orang-orang sebelum kalian berselisih sehingga mereka binasa.
(HR. Al-Bukhari no. 2410)
Demikianlah yang dapat kami tuliskan di sini. semoga bermanfaat bagi
penulis dan pembaca. Yang benar datangnya dari Allah k, sedangkan yang
salah datangnya dari kami dan setan. Karenanya kami mohon ampun
kepada Allah .Wallahu alam.
Jalan Kebenaran Hanya Satu
Posted by Admin pada 23/04/2009
Islam adalah agama universal yang mencakup seluruh ajaran kebaikan.
Mulai dari keyakinan, ucapan maupun perbuatan diterangkan secara
lengkap dalam Islam. Keterangannya baik secara global atau rinci
terpampang dengan jelas dan gamblang. Itulah jalan-jalan keselamatan
yang bisa ditempuh oleh para pemeluk agama ini. Jalan-jalan yang bisa
menghantarkan pelintasnya ke jannah Allah Subhanahu wa taala dan

menyelamatkannya dari adzab neraka. Allah Subhanahu wa taala


berfirman:

.



Sungguh telah datang kepada kalian cahaya dari Allah dan kitab yang
menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang
mengikuti keridhaan-Nya ke jalan-jalan keselamatan dan Allah
mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya dengan seizin-Nya
serta menunjuki mereka ke jalan yang lurus. (Al-Ma`idah: 15-16)
Jalan keselamatan boleh berbilang namun kebenaran tetap hanya satu.
Karena setiap jalan keselamatan adalah bagian dari kebenaran yang satu.
Sehingga sebuah jalan tidak dihukumi sebagai jalan keselamatan kecuali
bila nilai kebenaran menjadi muatannya. Jika terjadi perselisihan dan
pertikaian mengenai sebuah jalan keselamatan maka kebenaran itu tetap
berjumlah satu. Kebenaran berada pada salah satu pendapat yang
dipegang oleh salah satu pihak. Tentunya tolak ukur kebenaran itu adalah
Al Qur`an dan As Sunnah dengan pemahaman Salaf. Allah Subhanahu wa
taala berfirman:


Kebenaran itu adalah dari Rabbmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu
termasuk orang-orang yang ragu. (Al-Baqarah: 147)
Kemudian Allah Subhanahu wa taala berfirman:



Dan barang siapa menentang Rasul sesudah jelas baginya petunjuk, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin (shahabat g), Kami
biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami
masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat
kembali. (An-Nisa`: 115)
Lalu Allah Subhanahu wa taala berfirman:

Maka tidak ada sesudah kebenaran itu melainkan kesesatan. (Yunus: 32)
Al-Imam Al-Qurthubi t berkata: Ayat ini menetapkan bahwa tidak ada
kedudukan ketiga antara al-haq dan al-bathil dalam permasalahan
mentauhidkan Allah Subhanahu wa taala . Maka demikian pula
perkaranya dalam permasalahan-permasalahan yang setara. Yaitu dalam
permasalahan-permasalahan ushul (prinsip), kebenaran berada pada salah
satu pihak.
Barangkali ada yang mengatakan: Sesungguhnya dzahir ayat ini
menunjukkan bahwa yang selain (mentauhidkan) Allah adalah kesesatan.
Karena permulaan ayat berbunyi:

Maka (Dzat yang demikian) itulah Allah Rabb kalian yang sebenarnya;
sehingga tidak ada sesudah kebenaran itu melainkan kesesatan. (Yunus:
32)
Lalu kenapa memperluas pendalilan ini (yakni menggunakan ayat ini
untuk mengingkari bentuk kesesatan selain kesyirikan -ed)?
Jawabannya: Sesungguhnya para pendahulu kita yang baik telah berdalil
dengan keumuman ayat ini terhadap segala kebatilan. Oleh karena itu AlImam Malik t berdalil dengannya dalam mengharamkan permainan catur
sebagaimana pada riwayat Asyhab. Bentuk (pendalilan) itu sebagai
berikut: bahwa kekafiran adalah sesuatu yang menutupi al-haq. Maka
semua yang selain kebenaran berjalan di atas jalur ini. (Tafsir Al-Qurthubi,
8/336)
Dalam setiap pertikaian dan perselisihan, kebenaran hanya satu
sedangkan yang selainnya adalah keliru. Bahkan tak jarang mengandung
kebatilan dan kesesatan. Inilah sebab Allah Subhanahu wa taala melarang
setiap perselisihan dan pertikaian. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah t pernah
menerangkan: Ayat-ayat yang melarang setiap perselisihan dalam agama
mengandung celaan terhadapnya. Seluruhnya mempersaksikan dengan
nyata bahwa al-haq di sisi Allah Subhanahu wa taala hanya satu,
sedangkan yang selainnya merupakan kesalahan. Kalau seandainya
semua pendapat itu adalah benar, niscaya Allah Subhanahu wa taala dan
Rasul-Nya tidak akan melarang dari kebenaran dan tidak pula akan
mencelanya. Sungguh Allah Subhanahu wa taala telah mengabarkan
bahwa perselisihan bukan dari sisi-Nya. Yang bukan dari sisi Allah
Subhanahu wa taala tidak dianggap sebagai kebenaran. Allah Subhanahu
wa taala berfirman:


Kalau kiranya Al Qur`an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka
mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya. (An-Nisa`: 82)
(Mukhtashar Ash-Shawaiqil Mursalah, hal. 594)
Dalil-dalil tentang Kebenaran Hanya Satu
Cukup banyak dalil akurat dari Al Qur`an, As Sunnah dan amalan shahabat
yang menunjukkan bahwa kebenaran dalam setiap permasalahan yang
diperselisihkan hanya satu. Adapun yang selainnya merupakan kesalahan.
Di antara dalil-dalil tersebut:
1. Allah Subhanahu wa taala berfirman:




Dan bahwa ini adalah jalan-Ku yang lurus. Maka ikutilah dia dan
janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain. Karena jalan-jalan itu
mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian itu Allah wasiatkan
pada kalian agar kalian bertakwa. (Al-Anam: 153)

Ibnu Katsir t -ketika menafsirkan ayat ini- berkata: Firman Allah


Subhanahu wa taala :


Ikutilah (jalan-Ku) dan jangan kalian mengikuti jalan-jalan yang lain.
(Di sini) sungguh Allah Subhanahu wa taala menyebutkan tentang jalanNya dengan bentuk kata tunggal karena kebenaran itu hanya satu. Oleh
sebab itu, Allah menyebutkan tentang jalan-jalan yang lain dengan bentuk
kata jamak (banyak). Karena jalan-jalan yang lain terpisah-pisah dan
bercabang-cabang. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/256)
2. Allah Subhanahu wa taala berfirman:
.


Dan (ingatlah kisah) Dawud dan Sulaiman di waktu keduanya
memberikan keputusan mengenai tanaman. Karena tanaman itu dirusak
oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan Kami menyaksikan
keputusan yang diberikan oleh mereka itu. Maka Kami telah memberikan
pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat). Dan
kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu. Dan
telah Kami tundukkan gunung-gunung serta burung-burung. Semuanya
bertasbih bersama Dawud. Dan Kamilah yang melakukannya. (AlAnbiya`: 78-79)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan -tentang dua ayat ini- sebagai
berikut: Kedua nabi yang mulia ini telah sama-sama memberikan
keputusan dalam sebuah kasus yang membutuhkan vonis hukum. Maka
Allah Subhanahu wa taala mengistimewakan salah seorang dari keduanya
dengan memahamkan (kepadanya) duduk permasalahan (yang dihadapi).
Bersamaan dengan itu Allah memuji masing-masing dari keduanya
dengan mendatangkan pengetahuan hukum dan ilmu kepadanya.
Demikian pula para ulama yang mujtahid g. Siapa yang benar dari mereka
mendapatkan dua pahala sedangkan yang salah mendapatkan satu
pahala. Masing-masing mereka taat kepada Allah sesuai dengan
kemampuannya. Allah tidak akan memberatkannya dengan sesuatu yang
dia tidak mampu mengilmuinya (Majmu Al-Fatawa, 33/41)
3. Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam bersabda:

Apabila seorang hakim menghukumi lalu berijtihad maka jika benar dia
mendapatkan dua pahala dan jika salah dia mendapatkan satu pahala.
(HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah z)
Al-Imam Al-Muzani menandaskan: Perlu dipertanyakan kepada orang
yang membolehkan perbedaan pendapat dan menyangka bahwa dua
orang alim jika berijtihad pada sebuah kejadian yang satu berpendapat
(halal) sementara yang lain berpendapat (haram) masing-masing dari
keduanya meraih kebenaran: Apakah engkau mengatakan ini dengan

sebuah sumber (hukum) atau dengan qiyas? Bila dia menjawab: Dengan
sebuah sumber (hukum). Dipertegas kepadanya: Bagaimana bisa dari
sebuah sumber (hukum) sedangkan Al Qur`an menolak perbedaan
pendapat. Bila dia menjawab: Dengan qiyas. Dipertegas kepadanya:
Sumber-sumber (hukum) menolak perbedaan pendapat dan bagaimana
engkau bisa mengqiyas atas sumber-sumber (hukum) tersebut untuk
membolehkan perbedaan pendapat. Ini merupakan perkara yang tidak
bisa diterima oleh orang yang berakal terlebih lagi oleh seorang yang
berilmu. (Jami Bayanil Ilmi wa Fadhlihi, karya Ibnu Abdil Barr, 2/89)
4. Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam bersabda:


: .


:
Sesungguhnya Bani Israil telah berpecah menjadi tujuh puluh dua
golongan dan akan berpecah umatku menjadi tujuh puluh tiga golongan.
Mereka seluruhnya berada dalam api neraka kecuali golongan yang satu.
Para shahabat bertanya: Siapa golongan itu, wahai Rasulullah? Beliau
menjawab: (Dia adalah golongan yang memegang) ajaranku dan (faham)
shahabatku pada hari ini. (HR. At-Tirmidzi dan selainnya dari Abdullah bin
Amr ibnul Ash c)
Dalam sanad hadits ini terdapat Abdurrahman bin Ziyad Al-Ifriqi. Dia
seorang yang dhaif. Tetapi hadits ini dikuatkan oleh banyak hadits lain
yang semakna. Hadits-hadits tersebut diriwayatkan dari beberapa orang
shahabat, antara lain:
1. Abu Hurairah
2. Muawiyah bin Abi Sufyan
3. Anas bin Malik
4. Auf bin Malik
5. Ibnu Masud
6. Abu Umamah
7. Ali bin Abi Thalib
8. Saad bin Abi Waqqash
Semoga Allah Subhanahu wa taala meridhai mereka semua.
Al-Imam Syathibi t memaparkan: Sabda beliau Kecuali golongan yang
satu, secara nash memberikan penjelasan bahwa kebenaran hanya satu
dan tidak beraneka ragam. Sebab jika seandainya kebenaran menjadi
milik berbagai pihak niscaya beliau tidak akan mengatakan Kecuali
golongan yang satu. (Al-Itisham, 2/755)
5. Al-Imam Al-Muzani berkata:

Para shahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam telah berbeda


pendapat. Sebagian mereka menyalahkan yang lainnya. (Sebagian
mereka) melihat kepada pendapat-pendapat yang lain lalu
mengomentarinya. Jika mereka berpandangan bahwa seluruh pendapat
mereka (ketika berselisih) adalah benar, niscaya mereka tidak akan
melakukan yang demikian.
Umar bin Al-Khaththab pernah marah karena perselisihan Ubay bin Kab z
dengan Abdullah bin Masud mengenai hukum shalat mengenakan sehelai
pakaian. Saat itu Ubay berkata: Sesungguhnya shalat dengan
mengenakan sehelai pakaian merupakan perkara yang baik lagi bagus.
Ibnu Masud berkata: Sungguh yang demikian itu (dibolehkan) bila jumlah
pakaiannya sedikit. Maka Umar keluar dalam keadaan marah dan
berkata: Dua orang shahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam
yang dipandang dan diambil pendapatnya telah berselisih. Ubay telah
benar dan Ibnu Masud tidak lalai. Akan tetapi tidaklah aku mendengar
seorang pun berselisih mengenainya setelah (aku meninggalkan)
tempatku ini melainkan aku akan memperlakukannya demikian dan
demikian. (Jami Bayanil Ilmi wa Fadhlihi, 2/83-84)
Tidak Setiap Mujtahid Benar
Dalil-dalil di atas dengan tegas mematahkan kesesatan sebagian muslimin
yang berpandangan bahwa setiap mujtahid benar. Sebab pernyataan ini
adalah madzhab Mutazilah negeri Bashrah. Merekalah sumber dari
kebidahan ini. Mereka berpendapat demikian karena tidak paham tentang
makna-makna dan metode-metode fiqih yang mengantarkan kepada
kebenaran serta memisahkan dari kerancuan-kerancuan yang batil. (AlBahru Al-Muhith karya Az-Zarkasyi, 6/243)
Tidak ada seorang pun dari para ulama sunnah dan imam-imam Islam
yang menyuarakan bahwa setiap mujtahid benar. Adapun penisbahannya
kepada Al-Imam Asy-Syafii dan Al-Imam Malik merupakan isapan jempol
dan tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. (Al-Bahru Al-Muhith,
6/242 dan Shifatush-shalah karya Al-Albani hal.63-64)
Al-Imam Malik t berkata: Tidaklah (ada) kebenaran melainkan hanya satu.
(Mungkinkah -ed) dua pendapat yang saling bertentangan keduanya
benar? Tidaklah al-haq dan kebenaran melainkan hanya satu. (Jami
Bayanil Ilmi wa Fadhlihi, 2/82, 88, 89)
Hal yang hampir senada diucapkan pula oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah t (Majmu Al-Fatawa, 33/42), Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah t
(Mukhtashar Ash-Shawaiqil Mursalah, hal. 594), Ibnu Abdil Barr t (Jami
Bayanil Ilmi wa Fadhlihi, 2/88), dan para ulama yang lainnya.
Perselisihan Bukan Argumen untuk Mentolerir Suatu Pendapat
Berargumen dengan perselisihan dan perbedaan pendapat untuk
melegitimasi suatu pemikiran (dari tokoh tertentu) atau madzhab sebagai
sebuah kebenaran merupakan perkara yang tidak benar. Sikap ini tidak
memiliki akurasi hujjah. Sebab Al Qur`an dan As Sunnah tidak
mengajarkannya.

Al-Hafidz Abu Umar bin Abdil Barr t berkata: Perselisihan bukan hujjah
menurut seluruh ahli fiqih umat ini kecuali bagi orang yang tidak punya
mata hati dan pengetahuan. Maka pendapatnya bukan hujjah. (Jami
Bayanil Ilmi wa Fadhlihi, 2/229)
Kewajiban seorang muslim adalah mencari letak kebenaran dalam sebuah
perselisihan dan pertikaian. Tidak semua pendapat mengusung
kebenaran. Kebenaran hanya berada pada salah satu pihak yang
berselisih dan bertikai. Ini adalah pendapat Al-imam Malik, Ahmad dan
Asy-Syafii rahimahumullah. (Mukhtashar Ash-Shawaiqil Mursalah, hal.
594)
Pihak yang benar adalah yang pendapatnya berlandaskan Al Qur`an dan
As Sunnah beserta pemahaman Salaf. Sebuah kesalahan fatal bila seorang
muslim menganggap suatu perkara dibolehkan dengan alasan (di dalam
perkara tersebut terdapat) perselisihan di kalangan para ulama apalagi
yang selainnya. Ini merupakan kekeliruan terhadap syariat Islam. Namun
sangat disayangkan betapa banyak orang yang terjatuh di dalamnya.
Mereka bukan dari golongan orang awam saja akan tetapi juga melibatkan
orang-orang yang mengaku dirinya berilmu. Sebagian mereka dianggap
ulama atau paling tidak bergelar kyai maupun ustadz. Bahkan tak jarang
ahlul bidah berupaya melanggengkan berbagai kebidahannya dengan
alasan yang demikian. Wallahul mustaan.
Marilah kita menyimak penuturan ulama berikut ini:
-Al-Imam Asy-Syathibi berkata: Perkara ini telah melampaui kadar yang
cukup. Sehingga terjadi pembolehan sebuah perbuatan karena berpegang
pada kondisinya yang diperselisihkan di kalangan para ulama. Pembolehan
ini bukan bermakna untuk memelihara perselisihan, sebab hal ini memiliki
sisi pandang yang lain, akan tetapi tujuannya adalah yang selain itu (yakni
tujuannya tidak untuk memelihara perselisihan -red). Terkadang dalam
suatu permasalahan muncul fatwa yang melarang. Lalu dipertanyakan:
Kenapa engkau melarang? Padahal permasalahannya diperselisihkan.
Maka perselisihan dijadikan argumen untuk membolehkan, semata-mata
karena permasalahannya diperselisihkan. Bukan karena dalil yang
menyokong kebenaran madzhab yang membolehkan. Tidak pula karena
taqlid kepada orang yang lebih pantas diikuti daripada orang yang
mengatakan larangan. Itulah wujud kesalahan terhadap syariat, yaitu
menjadikan yang bukan pegangan sebagai pegangan dan yang bukan
hujjah sebagai hujjah. (Tahdzib Al-Muwafaqat, karya Muhammad bin
Husain Al-Jizani, hal. 334)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: Siapapun tidak boleh berhujjah
dengan pendapat seseorang dalam permasalahan-permasalahan yang
diperselisihkan. Hujjah itu hanya berupa nash (Al Qur`an dan As Sunnah),
ijma dan dalil yang disimpulkan dari itu (sedangkan) pendahuluannya
dikokohkan dengan dalil-dalil syari, tidak dengan pendapat-pendapat
sebagian ulama. Karena pendapat-pendapat ulama perlu diberi hujjah
dengan dalil-dalil syari, bukan untuk dijadikan sebagai hujjah atas dalildalil syari. (Majmu Al-Fatawa, 26/202-203)
Setiap Pendapat Menuntut Dalil

Menuntut dalil dari setiap pendapat merupakan kewajaran di kalangan


pecinta kebenaran. Tentunya tanpa memandang siapa yang menjadi
sasarannya. Sebab nilai kebenaran terletak pada dalil bukan dalam
kebesaran nama seseorang. Namun tidak berarti tanpa etika dan adab
yang layak dalam melakukannya. Inilah barangkali yang tidak dipahami
oleh para pembebek yang terperosok dalam kubangan pengkultusan
tokoh. Acapkali mereka memegang sebuah pendapat karena yang
mengucapkannya adalah seorang yang punya nama besar tanpa menoleh
dalilnya. Terkadang profil yang dimaksud bukan ulama yang faham agama
beserta dalil-dalilnya dengan benar.
Tapi keharusan berpijak kepada dalil tak bisa digugurkan walaupun pemilik
pendapat adalah seorang ulama dengan kriteria yang hampir mencapai
titik sempurna. Orang yang mempelajari sejarah hidup generasi terbaik
umat ini akan melihat bahwa mereka tak sungkan-sungkan untuk bertanya
tentang dalil sebuah pendapat kepada yang bersangkutan. Berikut
beberapa riwayat dalam masalah ini:
1. Dari Abu Ghalib, ia berkata: Kami bertanya (kepada Abu Umamah ):

:


Apakah dengan pendapatmu engkau mengatakan: Mereka (Khawarij)
adalah anjing-anjing neraka, atau sesuatu yang engkau dengar dari
Rasulullah



(Jika demikian) sungguh aku sangat berani. Akan tetapi aku
mendengarnya dari Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam tidak hanya
sekali, dua dan tiga kali. Lalu beliau menyebutkan hitungan bilangannya
berulang kali. (HR. Ahmad, dengan sanad yang jayyid menurut penilaian
Asy-Syaikh Muqbil t, lihat Al-Jamiush Shahih, 1/199-201)
2. Dari Abu Shalih, ia berkata: Aku mendengar Abu Said Al-Khudri z
mengatakan:

Dinar dengan dinar, dan dirham dengan dirham (menukar/jual-belinya)


dengan timbangan yang sama (bobotnya). Barangsiapa yang menambahi
atau minta tambahan berarti dia telah berbuat riba.
Aku (Abu Shalih) berkata kepadanya (Abu Said): Sesungguhnya Ibnu
Abbas mengatakan yang selain ini. Abu Said Al-Khudri menjawab: Aku
telah bertemu Ibnu Abbas. Aku bertanya: Apakah yang engkau ucapkan
ini adalah sesuatu yang pernah engkau dengar dari Rasulullah Shallallahu
alaihi wassalam , atau engkau mendapatkannya dalam Kitabullah k?
Beliau (Ibnu Abbas red) menjawab: Aku tidak mengatakan semua itu.
Kalian lebih tahu tentang Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam daripada
aku. Akan tetapi Usamah telah memberitakan kepadaku bahwa Rasulullah
Shallallahu alaihi wassalam bersabda:

Tidak ada riba kecuali (riba) an-nasi`ah. (HR. Al-Bukhari no. 2178 dan
Muslim no. 1596)
3. Ibnu Abi Hatim meriwayatkan di dalam Manaqib Asy-Syafii (86-87): AlImam Ahmad pernah bertanya kepada Al-Imam As-Syafii rahimahumallah:
Apa pendapatmu tentang masalah yang demikian dan demikian? Lalu AlImam Asy-Syafii menjawab masalahnya. Al-Imam Ahmad berkata: Dari
mana engkau mengatakan itu? Apakah terdapat padanya sebuah hadits
atau ayat Al Qur`an? Al-Imam Asy-Syafii menjawab: Ya. Lantas beliau
mengutarakan sebuah hadits Nabi n mengenai masalah tersebut. (Zajrul
Mutahawin karya Hamd bin Ibrahim hal. 69)
Demikianlah tuntunan dari pendahulu kita yang baik. Namun sangat
disayangkan kini banyak kalangan mentolerir suatu pendapat karena
semata-mata yang mengucapkannya adalah seorang ulama atau kyai.
Mereka tidak bersikap ilmiah dengan mau melihat dalilnya. Terlebih lagi
mau berpikir tentang akurasi dalil dan pendalilannya. Inilah realita pahit
dan memilukan dalam kehidupan beragama kebanyakan kaum muslimin
belakangan ini. Bahkan penyakit ini berkembang pula di tengah para
santri kebanyakan pondok pesantren di dalam dan luar negeri. Tak kalah
serunya tatkala hal serupa ikut merebak di level para dai yang sedang
bergelut di kancah dakwah kecuali segelintir orang yang dirahmati oleh
Allah Subhanahu wa taala . Wallahul mustaan.
Semoga pembahasan ini mengingatkan kita untuk kembali intropeksi diri
dengan satu pertanyaan: Dari golongan manakah kita dalam memegang
pendapat? Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa taala menjadikan kita
selalu berada di belakang dalil dalam beragama dan tidak dininabobokan
oleh nama besar sosok-sosok tertentu.
Penutup
Seluruh pembahasan di atas berlaku secara umum pada segala
permasalahan agama baik ushul (prinsip) maupun furu (cabang) tanpa
perbedaan. Karena masing-masing bagian memiliki kekokohan hubungan
yang sama erat dengan norma-norma syariat. (Mukhtashar Ash-Shawaiqil
Mursalah, hal. 594 dan Fathul Qadir karya Al-Imam Asy-Syaukani, 1/370)
Adapun perselisihan yang dimaksud dalam pembahasan di atas yaitu
perselisihan yang mengandung kontradiksi antara dua pendapat atau
lebih dan tidak bisa kompromikan. Yang bisa dikompromikan dengan
metode-metode yang dikenal di kalangan para ulama tidak termasuk
dalam cakupannya, karena tidak masuk dalam kategori perselisihan
dengan makna yang sesungguhnya. Perselisihan ini diistilahkan di
kalangan para ulama dengan nama ikhtilaf tadhadh. Di sana terdapat
perselisihan yang berangkat dari keragaman dalil. Ini pada hakekatnya
tidak dapat dikatakan sebagai perselisihan. Lebih tepat untuk dikatakan
sebagai keragaman aturan syariat Islam dalam masalah tersebut.
Perselisihan ini diistilahkan di kalangan para ulama dengan nama ikhtilaf
tanawwu.
Dari Ibnu Masud z, beliau berkata:

Aku mendengar seseorang membaca satu ayat, padahal aku mendengar


Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam membaca berbeda dengan
bacaannya. Maka aku memegang tangannya dan membawanya menemui
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam , lalu aku laporkan perkara itu
kepada beliau. Aku melihat rasa tidak suka pada wajah beliau dan beliau
bersabda: Kalian berdua telah benar dan janganlah berselisih, karena
orang-orang sebelum kalian berselisih sehingga mereka binasa. (HR. AlBukhari no. 2410)
Demikianlah yang dapat kami tuliskan di sini. semoga bermanfaat bagi
penulis dan pembaca. Yang benar datangnya dari Allah Subhanahu wa
taala , sedangkan yang salah datangnya dari kami dan setan. Karenanya
kami mohon ampun kepada Allah Subhanahu wa taala .Wallahu alam.
Percaya pada Satu Kebenaran atau Banyak Kebenaran
Yang Mulia Dalai Lama Keempat Belas
Hamburg, Jerman, 21 Juli 2007
dicatat dan disunting sedikit oleh Alexander Bazin
Beberapa agama percaya pada satu kebenaran dan sebagian lain percaya
bahwa ada sejumlah kebenaran. Bagaimana kita mendamaikan perbedaan
itu?
Sebagai contoh, sebagian orang sungguh percaya bahwa agama mereka
adalah agama yang semata-mata benar dan paripurna, sementara agama
lain salah. Namun, agama adalah perkara pribadi, perorangan. Jadi bagi
siapa saja, apa yang ia percayai dan ikuti, kenyataannya, adalah satusatunya agama baginya. Tapi meskipun bagi teman-teman saya yang
percaya bahwa terdapat hanya satu agama sejati bagi setiap orang,
kenyataannya ada beberapa agama di dunia dan beberapa kebenaran.
Kita perlu menerima kenyataan. Oleh karena itu, dengan
mempertimbangkan adanya sejumlah kelompok orang dan lingkungan,
keberadaan beberapa agama sepenuhnya baik-baik saja.
Bagi mereka yang merasa bahwa hanya ada satu kebenaran, satu agama,
lanjutkan dan pertahankan agama itu. Tapi tolong hormati agama-agama
lain karena semua agama itu memberikan manfaat mendalam bagi
saudara dan saudari saya. Oleh karena itu, saya mengagumi, menghargai,
dan menghormati semua agamaKristen, Islam, Yahudi, Hindu.
Beberapa orang Kristen menggambarkan saya sebagai seorang Kristen
yang baik. Saya menganggap sejumlah orang Kristen sebagai pengikut
Buddha yang baik. Saya menerima semua laku utama dalam ajaran
Kristenpengampunan, welas asih, derma, dan seterusnya. Saya
menganggap sebab dan akibat sebagai dasar agama, sementara orang
Kristen menganggap Tuhan sebagai dasarnya. Saya memberitahu mereka
bahwa ajaran tentang kemunculan yang bertalian dan kehampaan adalah
urusan kami sendiri, bukan perkara Anda. Anda tidak perlu
mempertimbangkan hal itu. Tapi ajaran-ajaran lain, seperti yang
berkenaan dengan cinta dan welas asih, dipegang oleh kita semua secara

umum. Ajaran-ajaran yang dimiliki bersama ini adalah dasar bagi semua
keselarasan.
5. Apakah saya menggunakan filsafat di dalam menjalankan profesi dokter?
KAIDAH DASAR MORAL DAN TEORI ETIKA DALAM MEMBINGKAI
TANGGUNGJAWAB PROFESI KEDOKTERAN
January 18, 2011 by fitrianingrum admin
Pendahuluan
Etika merupakan bagian filsafat yang meliputi hidup baik, menjadi orang
yang baik, berbuat baik dan menginginkan hal baik dalam hidup.[1] Etika,
sebagaimana metoda filsafat, mengandung permusyawaratan dan
argumen eksplisit untuk membenarkan tindakan tertentu (etika praktis).
Juga membahas asas-asas yang mengatur karakter manusia ideal atau
kode etik profesi tertentu (etika normatif).[2] Etika adalah pedoman
berbuat sesuatu dengan alasan tertentu. Alasan tersebut sesuai dengan
nilai tertentu dan pembenarannya. Etika penting karena masyarakat selalu
berubah, sehingga kita harus dapat memilih dan menyadari kemajemukan
(norma) yang ada (filsafat praksiologik). Jadi etika juga adalah alasan
untuk memilih nilai yang benar ditengah belantara norma (filsafat moral).
[3]
Perbedaan etika dengan moralitas, bahwa moralitas adalah pandangan
tentang kebaikan/kebenaran dalam masyarakat. Suatu hukum dasar dari
masyarakat yang paling hakiki dan amat kuat.[4] Juga suatu perbuatan
benar atas dasar suatu prinsip (maxim). Ia merujuk pada perilaku yang
sesuai dengan kebiasaan atau perjanjian rakyat yang telah diterima,
sesuai nilai dan pandangan hidup sejak masa kanak-kanak, tanpa
permusyawaratan.[5]
Ciri khusus moralitas :
Norma sangat penting (prinsipiil, kekuatannya lebih bernilai mengatasi
segala pertimbangan). Esensiil bagi kebahagiaan masyarakat. Esensiil
bagi tradisi budaya.
Makalah Penyegaran Etika Kedokteran, FKUI dalam rangka Modul EPC II,
Jakarta, 18 Februari 2003. Penulis adalah Ketua PDFI Pusat, Sekretaris
MKEK Pusat IDI, Ketua Bagian Ilmu Kedokteran Forensik & Medikolegal
FKUI/RSCM, Sekjen Jaringan Bioetika & Humaniora Kedokteran Indonesia.
Hukum universal (berlaku prinsip dimana saja, kapan saja, siapa saja).
Tatabahasa perintahnya universal.[6] Mengikat (ada kata-kata : harus).
Terjadi, harus terjadi dan dapat diaplikasikan secara universal.
Normal rasional (ada alasan masuk akal) dan obyektif (kebenarannya
melingkupi seluruh masyarakat). Dasarnya adalah penalaran, tidak
memihak, merupakan kebijakan akhir, prinsipnya benar, oleh pelaku
otonom, dapat dibenarkan.
Menyangkut (kebahagiaan) orang lain (misal : Golden Rule[7]). Memberi
perhatian pada orang lain (altruisme), kasih/simpati, harapan timbal balik,
perhatian berdasar maksud baik terhadap orang lain dan tindakan
penghasil kebaikan orang lain.
Karena tanpa permusyawaratan, maka semua orang mempunyai
moralitas. Contoh moralitas :

norma agama non-samawi. Norma yang ada pada kepercayaan dan atau
agama kuno seperti Hindu, Buddha, Kong Hu Cu, Kejawen. Isinya antara
lain ajaran agar manusia menjadi bijaksana atau mengerti (etika
kebijaksanaan). Itu sama dengan etis. Disini belum ada kewajiban.
Norma yang ada pada agama samawi. Orang harus berbuat baik dan adil,
bukan buruk atau zalim, sesuai perintah Allah (etika teonom). Disini sudah
ada unsur kewajiban (menuruti perintah tersebut).
Etika merupakan pemikiran atau refleksi atas moralitas. Dengan demikian
tidak semua orang beretika. Ia adalah refleksi[8] filosofis yang
sesungguhnya. Ia dimunculkan oleh para filsuf dan berlaku universal
karena tak memandang masyarakat tertentu saja. Dokter melanggar janji
datang tepat waktu, ia tidak etis. Bila meracuni pasiennya, ia tidak
bermoral.
Dalam etika isinya adalah alasan yang deskriptif (is) bercampur
preskriptif (ought). Isi etika juga merupakan pengecualian yang baik
terhadap prinsip-prinsip yang baik. Juga merupakan penentuan pemenang
nilai-nilai yang saling bersaing, penentu hirarki nilai yang tepat dan
terpertanggungjawabkan.

Bioetika.
Bioetika (F. Abel) adalah studi interdisipliner tentang problem yang
ditimbulkan oleh perkembangan di bidang biologi dan ilmu kedokteran,
pada skala mikro maupun makro, termasuk dampaknya terhadap
masyarakat luas serta sistem nilainya, kini dan masa mendatang.
Bioetika merupakan pandangan lebih luas dari etika kedokteran karena
begitu saling mempengaruhi antara manusia dan lingkungan hidup.
Bioetika merupakan genus, sedangkan etika kedokteran merupakan
spesies.
Unsur etika
Nilai :
Pra-moral : tidak/belum merujuk pada suatu norma konkrit perilaku
manusia; misal : kesehatan, kehidupan, integritas fisik, seksualitas.
Moral : mengharuskan manusia melakukan/merujuk sesuatu tindakan
konkrit pada suatu norma konkrit; misal : kesetiaan yakni utk menepati
janji, keadilan yakni kesediaan menghargai hak orang lain.
Norma = prinsip dasar :
Proposisi (dalil) pemindah nilai ke tingkat kehidupan konkrit, baik fungsi
positif atau negatif.
Ungkapan teknis pengalaman etis manusia
Generalisasi relevan tentang apa yang secara normal relevan.
Pembagian teori etika.
Ditinjau dari segi inti :
Etika kebijaksanaan :

Dasar agama/kepercayaan : moralitas agama non-samawi.


Dasar filsafat : etika kebahagian (Yunani).
Etika kewajiban :
Dasar agama : moralitas agama samawi (etika teonom)
Dasar filsafat : Immanuel Kant (etika otonom).
Ditinjau dari segi metodologisnya :
Etika Substantif
Dasarnya etika kebijaksanaan atau etika kewajiban.
Etika Prosedural :
Dasar Keadilan : contoh John Rawls
Dasar Komunikasional : contoh Juergen Habermas
Ditinjau dari segi subyek pelaksananya :
Etika maksim (prinsip subyektif bertindak, sikap dasar hati nurani ketika
bersikap-tindak-perilaku-konkrit).
Misalnya etika kebijaksanaan. Bisa dilihat konteksnya, keterarahan pada
maksim tertentu yang merangkai dalam satu jalinan makna (seperti
tanggungjawab), dapat memperlihatkan watak seseorang dan dapat
membedakan antara legalitas dan moralitas.
Etika norma-norma
Dasarnya ialah peraturan-peraturan (hukum) sehingga tak bisa
membedakan legalitas moralitas.

Teori hidup baik (bermakna)


Teori ini mendasari nilai-nilai kenapa manusia berbuat sesuatu yang
dipandang etis. Hidup baik dapat menurut pasien (masuk dalam patients
preferences dan quality of life[9]) namun dalam hal ini ditujukan pada
diri dokter sebagai mahluk otentik yang eksis dalam dirinya di tengah
perubahan cepat masyarakat dan ilmu-pengetahuan-teknologi kedokteran
di dunia (relevan mendasari contextual features)[10]. Hidup baik atau
bermakna bila terdapat :
Mencapai rasa nikmat (hedonisme egois bagian dari egoisme etis)[11]
Cinta menyatu ke Illahi (Plato, sufisme Islam, Kejawen) atau Cinta kepada
Tuhan (Agustinus)[12]
Kebahagiaan (eudemonia bagian dari egoisme etis)[13]
Kebajikan/keutamaan (virtue) Aristoteles[14]
Hindari perasaan sakit (Epikurus).
Rela menyatukan diri dengan (hukum) alam sebagai sunatullah (Stoa).[15]
Mengikuti hukum kodrat (cinta kepada Tuhan plus keutamaan Aquinas)
[16]
Not having, but being (Erich Fromm).
Kebebasan/otonomi subyek sebagai sumber moralitas (Kant)
10. Pandangan dunia/lebenswelt (Habermas)
Kaidah dasar Moral

Tindakan berbuat baik (beneficence)[17]


General beneficence[18] :
melindungi & mempertahankan hak yang lain
mencegah terjadi kerugian pada yang lain,
menghilangkan kondisi penyebab kerugian pada yang lain,
Specific beneficence[19] :
menolong orang cacat,
menyelamatkan orang dari bahaya.
Mengutamakan kepentingan pasien[20]
Memandang pasien/keluarga/sesuatu tak hanya sejauh menguntungkan
dokter/rumah sakit/pihak lain[21]
Maksimalisasi akibat baik[22] (termasuk jumlahnya > akibat-buruk)[23]
Menjamin nilai pokok : apa saja yang ada, pantas (elok) kita bersikap baik
terhadapnya (apalagi ada yg hidup).[24]
2. Tidak merugikan atau nonmaleficence /primum non nocere[25]
Sisi komplementer beneficence dari sudut pandang pasien, seperti :
Tidak boleh berbuat jahat (evil) atau membuat derita (harm) pasien[26]
Minimalisasi akibat buruk[27]
Kewajiban dokter untuk menganut ini berdasarkan hal-hal :

Pasien dalam keadaan amat berbahaya atau berisiko hilangnya


sesuatu yang penting

Dokter sanggup mencegah bahaya atau kehilangan tersebut

Tindakan kedokteran tadi terbukti efektif

Manfaat bagi pasien > kerugian dokter (hanya mengalami risiko


minimal).
Norma tunggal, isinya larangan.[28]
3. Keadilan
Treat similar cases in a similar way = justice within morality.[29]
Memberi perlakuan sama untuk setiap orang (keadilan sebagai fairness)
[30] yakni :
Memberi sumbangan relatif sama terhadap kebahagiaan diukur dari
kebutuhan mereka (kesamaan sumbangan sesuai kebutuhan pasien yang
memerlukan/membahagiakannya)[31]
Menuntut pengorbanan relatif sama, diukur dengan kemampuan mereka
(kesamaan beban sesuai dengan kemampuan pasien).
Tujuan : Menjamin nilai tak berhingga setiap pasien sebagai mahluk
berakal budi (bermartabat)[32], khususnya : yang-hak dan yang-baik[33]
Jenis keadilan :
Komparatif (perbandingan antar kebutuhan penerima) [34]
Distributif (membagi sumber) : kebajikan membagikan sumber-sumber
kenikmatan dan beban bersama[35], dengan cara rata/merata, sesuai
keselarasan sifat dan tingkat perbedaan jasmani-rohani; secara material
kepada[36] :
Setiap orang andil yang sama
Setiap orang sesuai dengan kebutuhannya
Setiap orang sesuai upayanya.
Setiap orang sesuai kontribusinya

Setiap orang sesuai jasanya


Setiap orang sesuai bursa pasar bebas
Sosial : kebajikan melaksanakan dan memberikan kemakmuran dan
kesejahteraan bersama[37] :
Utilitarian : memaksimalkan kemanfaatan publik dengan strategi
menekankan efisiensi social dan memaksimalkan nikmat/keuntungan bagi
pasien.[38]
Libertarian : menekankan hak kemerdekaan social ekonomi
(mementingkan prosedur adil > hasil substantif/materiil).[39]
Komunitarian : mementingkan tradisi komunitas tertentu[40]
Egalitarian : kesamaan akses terhadap nikmat dalam hidup yang
dianggap bernilai oleh setiap individu rasional (sering menerapkan criteria
material kebutuhan dan kesamaan).[41]
Hukum (umum) :
Tukar menukar : kebajikan memberikan / mengembalikan hak-hak kepada
yang berhak.
pembagian sesuai dengan hukum (pengaturan untuk kedamaian hidup
bersama) mencapai kesejahteraan umum.[42]
4. Otonomi (self-determination)[43]
Pandangan Kant : otonomi kehendak = otonomi moral yakni : kebebasan
bertindak, memutuskan (memilih) dan menentukan diri sendiri sesuai
dengan kesadaran terbaik bagi dirinya yang ditentukan sendiri tanpa
hambatan, paksaan atau campur-tangan pihak luar (heteronomi), suatu
motivasi dari dalam berdasar prinsip rasional atau self-legislation dari
manusia.[44]
Pandangan J. Stuart Mill : otonomi tindakan/pemikiran = otonomi individu,
yakni kemampuan melakukan pemikiran dan tindakan (merealisasikan
keputusan dan kemampuan melaksanakannya), hak penentuan diri dari
sisi pandang pribadi.[45]
Menghendaki, menyetujui, membenarkan, mendukung, membela,
membiarkan pasien demi dirinya sendiri = otonom (sebagai mahluk
bermartabat).[46]
Didewa-dewakan di Anglo-American yang individualismenya tinggi[47].
Kaidah ikutannya ialah : Tell the truth, hormatilah hak privasi liyan,
lindungi informasi konfidensial, mintalah consent untuk intervensi diri
pasien; bila ditanya, bantulah membuat keputusan penting.
Erat terkait dengan doktrin informed-consent[48], kompetensi (termasuk
untuk kepentingan peradilan), penggunaan teknologi baru, dampak yang
dimaksudkan (intended) atau dampak tak laik-bayang (foreseen effects),
letting die.
Pada etika teonom, yang mewajibkan adanya perintah Tuhan, ada nilai
dasar moral utama yakni : ketuhanan (tidak diakui/dieksplisitkan bagi
penganut pandangan sekuler)
Dasar dan sekaligus tujuan seluruh etika (bagi pandangan teologis/nonsekuler)
Menempatkan EK sebagai tuntutan (postulat) kodrat. Melanggar EK =
memperkosa kodrat manusia.
Menuju nilai kebenaran kedokteran yakni pengakuan :
Adanya Tuhan : perintah menjalankan EK adalah perintah Tuhan
/habbluminnallah.
Adanya kebebasan kehendak

Adanya keabadian jiwa


Selain 4 prinsip atau kaidah dasar moral tersebut, dikenal prinsip
turunannya[49] dengan nilai-nilai seperti :
Berani berkata benar/kejujuran (veracity) : truth telling[50]
Kesetiaan (fidelity) : keep promise
Privacy (dari otonomi dan beneficence)[51]
Konfidensialitas.[52]
Menghormati kontrak (perjanjian)
Ketulusan (honesty) : tidak menyesatkan informasi kepada pasien atau
pihak ketiga seperti perusahaan asuransi, pemerintah, dll.
Menghindari membunuh
Derajat ketegaran kaidah dasar moral
KDM dapat merupakan suatu hal tersendiri (disebut tegar), namun dapat
saling bertukar sehingga dapat pula merupakan suatu kesinambungan
(tidak tegar). Ketegaran tersebut bergantung pada :
Legalisme (prinsip moral tergantung pada hukum/nilai utama lainnya)
Absolut
Prima facie (prinsip harus dipatuhi, namun dapat bertukar sejauh ada
kepentingannya seperti prinsip lain yang lebih kuat atau ada alasan kuat
untuk pengecualiannya[53])
Relatif
Antinomianisme (prinsip moral tidak tergantung pada hukum/nilai utama
lainnya)
Keberlakuan etika kedokteran sebagai norma :
Bersyarat (hipotetis) = teleologis[54]
betul tidaknya tindakan bergantung pada akibat-akibatnya.[55]
bila akibat baik : wajib;
bila buruk
: haram.
hendak dicapai tujuan kedokteran tertentu namun tetap dalam bingkai
mempertahankan martabat kemanusiaan (bukan tujuan asal-asalan).
dasar : pengalaman (efektif efisien).
Kelemahan : menghilangkan dasar pembawa kepastian etis, tidak
berketegasan, pemicu tujuan menghalalkan cara.
Tidak bersyarat (kategoris) = deontologis [56]
Tidak bergantung pada tujuan tertentu
Betul tidaknya tindakan bergantung pada perbuatan/cara bertindak itu
sendiri, bukan pada akibat tindakan.[57]
Dasar : kewajiban/keharusan mutlak/absolut atau kewajiban demi
kewajiban.[58]
Kelemahan : pemicu fanatisme buta, tidak luwes dalam perkembangan
jaman, tidak mampu memecahkan dilema etis.
Doktrin Efek Ganda
Efek buruk terkadang secara moral dapat diterima ketika akan
memunculkan efek baik. Namun memerlukan sederet alasan tertentu. Hal
ini berguna untuk etika teleologis.

Contoh : Anakku perlu sekolah, istriku perlu bersolek, suamiku perlu


berkarir. Semua perlu duit. Sementara mencapai fitrah tadi, bolehkah
melanggar EK (pasien diobyekin)?
Jawaban : Azas Akibat Rangkap / Prinsip Ganda sebagai patokan yang
tak boleh dilanggar, yakni :
akibat buruk tersebut tidak diinginkan (bukan maksud / tujuan yang
pokok);
perbuatan itu sendiri secara intrinsik tak boleh bersifat buruk/jahat
(karena berbuat buruk manapun tak pernah ditolerir).
akibat baik tak boleh diperoleh dari sebab yang buruk/jahat (akibat buruk
tak boleh menjadi sarana mencapai efek baik), karena dengan sendirinya
yang buruk dikehendaki secara langsung demi ke yang baik. Tujuan baik
tidak membenarkan cara-cara (sarana) jahat.
Alasan kuat (proporsional) bahwa akibat baiknya lebih kuat/penting
daripada akibat buruk (harus melewati permenungan lebih dulu) bila tak
ada cara lain yang lebih tepat. Manfaat > mudharatnya.
Kriteria Proporsionalias Richard Mc Cormik (proporsional tak sama dengan
aritmetika) :
Nilai berperanan minimal sama penting dengan nilai yang telah
dikorbankan.
Tak ada cara yang kurang/tidak merugikan untuk mencapai efek baik
dimaksud.
Cara mencapai nilai termaksud tidak boleh merusak nilai awal di kemudian
hari.
Kesadaran moral dan tanggungjawab
Kesadaran moral atau kesadaran akan kewajiban mutlak dan tanpa syarat
adalah suara hati (insan kamil) yang muncul/tampak atau menyatakan diri
secara unik/khas dokter sebagai orang per orang. Melalui jembatan
rasionalitas (kemasuk-akalan), suara hati dokter dapat berubah menjadi
tanggungjawab.
Unsur kesadaran moral dokter adalah sebagai berikut [59]:
Kewajiban mutlak yang membebani dokter
Pelaksanaan kewajiban mengikat setiap dokter
Kewajiban tersebut masuk akal dan layak disetujui
Mengambil keputusan melaksanakan kewajiban tadi atau tidak adalah
tanggung jawab dokter tersebut
Dokter tadi sekaligus kemudian menentukan nilai dirinya sendiri
Struktur kesadaran moral dokter ialah :
Kewajiban moral bersifat mutlak
Rasionalitas
Tanggungjawab subyektif dokter tersebut
Dengan demikian, ketika suara hati dokter mempertimbangkan suatu
pernyataan moral (atas dasar kenyataan obyektif yang disuarakan dalam
hati/internalisasi sebagai omongan saya atau orang pertama)
tertentu[60] dengan memutuskan secara benar (= bertindak etis) atau
keliru (= ada kemungkinan bertindak tidak etis, tergantung situasinya),
disitu otomatis melekat tanggungjawab dari dokter tersebut. Demikian

pula ketika suara hati dokter tadi menilai perilaku (professional


conduct/misconduct) sejawat lainnya sebagai baik-buruk, jahat-suci,
bertanggungjawab-biadab, pantas-layak ditegur, dll sebagai penilaian
moral tertentu, cocok atau tidak dengan nilai-nilai yang dianutnya
(termasuk nilai umum profesi).[61]
Norma dalam etika kedokteran (EK) :
Merupakan norma moral yang hirarkinya lebih tinggi dari norma hukum
dan norma sopan santun (pergaulan)[62]
Fakta fundamental hidup bersusila :
Etika mewajibkan dokter secara mutlak, namun sekaligus tidak memaksa.
Jadi dokter tetap bebas,. Bisa menaati atau masa bodoh. Bila melanggar :
insan kamil (kesadaran moral = suara hati)nya akan menegur sehingga
timbul rasa bersalah, menyesal, tidak tenang.
Sifat EK :
Etika khusus (tidak sepenuhnya sama dengan etika umum)
Etika sosial (kewajiban terhadap manusia lain / pasien).
Etika individual (kewajiban terhadap diri sendiri = selfimposed,
zelfoplegging)
Etika normatif (mengacu ke deontologis, kewajiban ke arah norma-norma
yang seringkali mendasar dan mengandung 4 sisi kewajiban = gesinnung
yakni diri sendiri, umum, teman sejawat dan pasien/klien & masyarakat
khusus lainnya)
Etika profesi (biasa):
bagian etika sosial tentang kewajiban & tanggungjawab profesi
bagian etika khusus yang mempertanyakan nilai-nilai, normanorma/kewajiban-kewajiban dan keutamaan-keutamaan moral
Sebagian isinya dilindungi hukum, misal hak kebebasan untuk menyimpan
rahasia pasien/rahasia jabatan (verschoningsrecht)
Hanya bisa dirumuskan berdasarkan pengetahuan & pengalaman profesi
kedokteran.
Untuk menjawab masalah yang dihadapi (bukan etika apriori); karena
telah berabad-abad, yang-baik & yang-buruk tadi dituangkan dalam kode
etik (sebagai kumpulan norma atau moralitas profesi)
Isi : 2 norma pokok :
sikap bertanggungjawab atas hasil pekerjaan dan dampak praktek profesi
bagi orang lain;
bersikap adil dan menghormati Hak Asasi Manusia (HAM).
Etika profesi luhur/mulia :
Isi : 2 norma etika profesi biasa ditambah dengan :
Bebas pamrih (kepentingan pribadi dokter < kepentingan pasien) =
altruisme.
Ada idealisme : tekad untuk mempertahankan cita-cita luhur/etos profesi
= lesprit de corpse pour officium nobile
7. Ruang lingkup kesadaran etis : prihatin terhadap krisis moral akibat
pengaruh teknologisasi dan komersialisasi dunia kedokteran.
Kesimpulan :

Bioetika kedokteran merupakan salah satu etika khusus dan etika sosial
dalam kedokteran yang memenuhi kaidah praksiologik (praktis) dan
filsafat moral (normatif) yang berfungsi sebagai pedoman (das sollen)
maupun sikap kritis reflektif (das sein), yang bersumber pada 4 kaidah
dasar moral beserta kaidah turunannya. Kaidah dasar moral bersama
dengan teori etika dan sistematika etika yang memuat nilai-nilai dasar
etika merupakan landasan etika profesi luhur kedokteran. Pemahaman
awal kaidah dasar moral akan menimbulkan kesadaran moral, yang
dengan latihan dan paparan terhadap kasus-kasus kedokteran yang
sebelumnya dan berkembang di masa mendatang diharapkan akan
membekali kemampuan reflektif-analitik dokter, termasuk mahasiswa
kedokteran, yang dengan mekanisme pendidikan dalam rangka saling
mengingatkan terus menerus dan mencegah penyimpangan (amar maruf
nahi mungkar) antar anggota profesi pada akhirnya akan menumbuhkan
tangungjawab etis sesuai dengan moralitas profesi kedokteran.
Tanggungjawab etis yang merupakan suara hati seorang dokter akan
mempertahankan perilaku etis seluruh anggota profesi agar korps dokter
ke depan tetap merupakan profesi mulia dengan setiap anggotanya
masing-masing memiliki kesucian hati nurani.
Kepustakaan :
Beauchamp, T.L. & Childress, J.F (1994),. Principles of Biomedical Ethics.
Oxford University Press. Oxford.
Jonsen, A.R., Siegler, M, Winslade, W.J. (2002). Clinical Ethics. A Practical
Approach to Ethical Decisions in Clinical Medicine. McGraw-Hill. New York.
Lo, B. (1995). Resolving Ethical Dilemmas. A Guide for Clinicians. Williams
& Wilkins. Baltimore. .
Robert C. Solomon. (1984). Etika, Suatu Pengantar. Erlangga. Jakarta.
Robert Veatch. (1989) Medical Ethics. Jones & Bartlett Publisher. Boston.
Suseno, F.M. Mimeograf Kuliah Etika. Program Pascasarjana Filsafat UI.
2000.
von Magnis, F.M (1984). Etika Umum. Kanisius. Jakarta.
Websters New Dictionary of Synonyms. (1984). Springfield, MA : MerriamWebster.
[1] Robert C. Solomon. Etika, Suatu Pengantar. Erlangga. Jakarta, 1984. hal
2
[2] Websters New Dictionary of Synonyms. Springfield, MA : MerriamWebster, 1984, p. 547.
[3] Bandingkan batasan etika (Ki Hajar Dewantoro, 1962) : ilmu yang
mempelajari segala soal kebaikan (dan keburukan) di dalam hidup
manusia semuanya, teristimewa yang mengenai gerak-gerik pikiran dan
rasa yang dapat merupakan pertimbangan dan perasaan, sampai
mengenai tujuannya yang dapat merupakan perbuatan.
[4] Robert C. Solomon, loc.cit. hal 7.
[5] Websters New Dictionary, loc.cit.
[6] Misalnya jangan membunuh.

[7] Hukum Talmud orang Ibrani. Do unto others as you would have them
do unto you atau Apa yang menyakitkan bagi kamu, jangan lakukan
terhadap sesamamu. Robert M. Veatch. Medical Ethics, Jones & Bartlett
Publ. Boston, 1989. hal. 34, selanjutnya disingkat ME.
[8] Termasuk disini adalah didebat dan didukung sehingga terjadi
pengurangan, penambahn atau repetisi.
[9] Lihat sistematika pembahasan etik klinik menurut Jonsen dkk. Lihat
Jonsen, A.R., Siegler, M, Winslade, W.J. (2002). Clinical Ethics. A Practical
Approach to Ethical Decisions in Clinical Medicine. McGraw-Hill. New York.
[10] Jonsen dkk, ibid.
[11] Bertindaklah sedemikian rupa sehingga engkau mencapai jumlah
nikmat terbesar atau sedapat-dapatnya menghindari segala macam rasa
sakit. Frans von Magnis. Etika Umum, Kanisius, Jakarta. 1984 (selanjutnya
disingkat EU), hal. 82
[12] Hanya Allah Swt yang bebas berkehendak, sementara manusia tidak,
sehingga semua perintah Tuhan tidak perlu diuji lagi kemasuk-akalannya.
Teori teonom murni ini kadang-kadang menimbulkan irasionalisme. EU,
hal. 99.
[13] Setiap tindakan ditujukan utnuk mencapai kebahagiaan sebagai
tujuan primer pada diri tujuan itu sendiri (bukan sekunder mencapai
tujuan lain). EU, hal 84.
[14] Tekad untuk mengembangakn semua bakat manusia mencapai
kesempurnaan dengan condong berbuat baik, tidak semata-mata mencari
nikmat karena itu juga terjadi pada hewan.
[15] Mengikuti hokum alam seperti hewan/tumbuh2an, dengan menekan
semua tindakan biadab yang khas manusia.
[16] Mencapai kodrat yakni mengembang-sempurnakan semua
kemampuan manusia sekaligus bahagia dan memenuhi kehendak Tuhan.
Kodrat manusia sama sekali tidak terimbas keduniawian karena tujuan
akhir manusia adalah berada di sisi Tuhan. EU, hal. 100 101.
Kelemahannya ialah egoisme etis (subyektif).
[17] Refers an action done for the benefits of others. Jadi tindakan positif.
Harus dibedakan dengan benevolence (character trait or virtue of being
dispose to act ). Tom L. Beauchamp & James F. Childress. Principles of
Biomedical Ethics. Oxford University Press. Oxford. 1994 (selanjutnya
disingkat PBE), hal 260. Beneficence > luas daripada non-maleficence
karena mencakup prevensi penyebab kerugian dan penghilangan kondisi
perugi pasien.
[18] Berbuat baik kepada siapapun termasuk yang tidak kita kenal
(impartially), merupakan etika normative. PBE hal. 263 265. Contoh :
zakat 2,5%

[19] Bermoral bila tindakan baik ditujukan pada pihak khusus yang kita
kenal : pasien, anak-anak, teman-teman. PBE, hal. 263. Hal ini
menimbulkan kewajiban mutlak profesi, khususnya secara psikologis.
[20] Setiap tindakan ditujukan demi memajukan kepentingan penting dan
sah pasien. Dasar utama dari altruisme (pengorbanan diri demi
melindungi, menyelamatkan pasien) dan roh profesionalisme (janji
atau wajib menyejahterakan pasien dan membuat diri terpercaya. Misal
memilihkan keputusan terbaik pada pasien yang tidak otonom ( kurang
mampu memutuskan bagi dirinya), seperti anak, gangguan jiwa, gawat).
Positive beneficence mempersyaratkan indicator tunggal : keuntungan
pasien (mahluk individu). Beda dengan utility : boleh ada kerugian, asal
seimbang dengan keuntungan (konteks mahluk social). Utilitarianisme
memperluas beneficence menjadi : boleh pandang bulu (impartial
obedience) asal bermanfaat atau boleh menghukum bila seseorang
melanggar aturan.
[21] Istilah beneficence lainya : bermurah hati; kewajiban atau tugas
untuk menyebarkan kebaikan, meningkatkan minat yg benar dari
seseorang, dan mencegah atau mengatasi keburukan. Dokter berlaku
profesional, bersikap jujur dan luhur pribadi (integrity), menghormati
pasien, peduli pada kesejahteraan pasien, kasih sayang, dedikatif
memperthankan kompetensi pengetahuan dan ketrampilan teknisnya.
[22] Dasarnya adalah uraian William Frankena. Apapun situasinya (dalam
etika situasi ketika menghadapi kasus individual konkrit yang sering tidak
menjamin keberlakuan etika umum-abstrak yang memakai kaidah
deontologi peraturan), diupayakan memunculkan akibat baik, apapun
bentuknya (hal ini pada akhirnya dikenal sebagai utilitarianisme). EU, hal
102 103. Sejalan dengan kewajiban beneficence : one ought to do or
promote good, selain prevent evil/harm dan remove evil/harm. PBE, hal.
190.
[23] Prinsip utilitarian. Banyak berguna untuk penelitian teknik/obat baru.
Lihat kriteria proporsionalitas atau asas ganda.
[24] Pasien sebagaimana flora dan fauna serta benda (alam keseluruhan
non manusia) merupakan suatu being (ada), yang dengan adanya saja
patut dihormati dengan sikap baik. EU, hal. 108. Dasar hubungan dokterpasien sebagai fiduciary relationship akibat keterbatasan diri pasien.(misal
akalnya belum/tidak berfungsi baik, pada kasus anak-anak, orang
gawat/tidak sadar, jompo, dll).
[25] Berupa indicator tunggal : menghilangkan derita dengan aturan :
larangan untuk berbuat sesuatu, dipatuhi secara imparsial (tanpa pandang
bulu), memberikan dasar alasan perilaku melarang tertentu.
[26] Kewajiban nonmaleficence : One ought not to inflict evil or harm.
PBE, hal 192. Tidak melakukan malpraktek etik baik sengaja ataupun
tidak, seperti dokter tak mempertahakan kemampuan ekspertisnya atau
menganggap pasien sebagai komoditi.Tindakan nomaleficence antara lain
menghentikan pengobatan yang sia-sia/, atau pengobatan luar biasa
(tidak menawarkan harapan layak dari nikmat/keuntungan) yakni
pengobatan yang tak bias diperoleh atau digunakan tanpa pengeluaran

amat banyak, nyeri berlebihan, atau ketidaknyamanan lainnya. Juga


membiarkan mati (letting die), bunuh diri dibantu dokter, euthanasia,
sengaja malpraktek etis.
[27] Tidak menambah kerentanan pasien dalam hal dependensi, minimnya
inisiatif, hilangnya persistensi dan turunnya kapasitas mentalnya.Dokter
tidak boleh inkompeten dalam ketrampilan teknis medis dan komunikasi.
Mencegah perlakuan buruk pada orang lain.
[28] Misalnya 10 perintah Tuhan yang sebenarnya sifatnya larangan
berbuat jahat/membuat derita orang lain seperti Jangan membunuh, dll.
Terhadap pasien : jangan membunuh, jangan menyebabkan nyeri atau
menderita, jangan menahan (membuat inkapasitas), jangan mengawali
menyerang, jangan menghalangi nikmat untuk hidupnya. PBE, hal. 194.
[29] Ketidakadilan = memperlakukan berbeda (satu baik, satu buruk) pada
orang dengan situasi-kondisi yang mirip sama. Keadilan = kewajiban
prima facie untuk memberi perlakuan sama terhadap orang lain,
khususnya dengan memperhatikan kemampuan dan kebutuhan orang lain
tersebut dalam mencapai harkat kebahagiaan dirinya. Ketidakadilan hanya
dibenarkan bila berdasarkan beneficence atau jangka panjang secara
utilitarian menghasilkan keadilan yang lebih besar. EU, hal. 104 105.
[30] John Locke menyebut the just society sebagai jaminan bahwa tak ada
individu dibawahkan dan terpuruk (subordination or subjection). Aspek
fairness ialah penyama-rataan, kesetaraan (equality, the just person is one
who treats all person as equal), accessibility to health care. Ian Kerriidge,
Michael Lowe & Hohn McPhee. Ethics and Law for the Health Professions.
Social Science Press, Australia, 2003, hal. 77.
[31] Keadilan = tidak menuntut semua orang sama-sama bahagia, namun
menciptakan syarat-syarat (situasi-kondisi) agar orang lain dapat bahagia.
Contoh : syarat penghentian alat Bantu napas/jantung untuk mencegah
futility (kesia-siaan medik)
[32] Manusia satu-satunya mahluk berakal budi, bukan mesin biologis atau
suatu shell berisi penuh artificial intelligent. Berakal budi artinya otonom,
berkehendak bebas secara sadar, tanpa tekanan apapun.
[33] Keadilan hanya berlaku bagi manusia sebagai mahluk berakal budi
(bermartabat), beda dengan beneficence yang berlaku terhadap apa saja
(termasuk hewan, tumbuh-tumbuhan dan benda). Keadilan dan
beneficence merupakan dua sejoli yang saling komplementer dan saling
membatasi dalam fungsinya (bila satu muncul, yang lain menjadi
syaratnya). EU, hal. 106 107.
[34] Kebutuhan penerima dianggap petunjuk imparsial. Keadilan bukan
atas dasar selera (favouritism) atau diskriminasi. Disini jelas tidak adanya
penyamarataan buta. Contoh : triage dalam kegawatan, dimana orang
yang gawat karena kebutuhannya untuk diselamatkan nyawanya atau
dihindarkan cacatnya, walau datangnya belakangan, toh ditolong lebih
dahulu (tidak urut nomor/sesuai kaidah fairness semata-mata, karena ini
menjadi penyamarataan buta).

[35] Mempertimbangkan cost benefit ratio pengobatan = membagikan


yang-baik dan yang-buruk = berlaku adil.
[36] PBE, hal 330.
[37] Melatarbelakangi teori pendukung keadilan distributive, PBE , hal 324
[38] Contoh : menetapkan alokasi anggaran kesehatan dengan prioritas
tertentu seperti QALY (quality adjusted life-years), berdasarkan usia, dll.
Contoh lain : penetapan perlakuan pasien pada kelangkaan sumbersumber (meliputi tahap-tahap standar substansi dan aturan prosedural,
skrining awal resipien potensial, factor konstituen, prospek sukses, seleksi
final pasien, pemanfaatan medik, mekanisme impersonal kesempatan dan
antri, kemanfaatan social dll).
[39] Pokok utama adalah kebebasan memilih (individual) dan privatisasi
(kepemilikan) melalui jaminan berlangsungnya prosedur adil (dalam
pemerolehan, pemindahan dan pembayaran ganti rugi). Lihar Robert
Nozick, PBE, 336 337.
[40] Mementingkan nilai dan standar tradisional yang-baik masyarakat,
pluralitas dan solidaritas (kebajikan kepedulian individual bersama
moralitas sosial).
[41] Adalah rasional dan dipilih oleh siapapun, bahwa adil = prinsip
memaksimalkan batas (plafon) minimum nikmat primer demi menjamin
kepentingan vital pada situasi yang memburuk. Implikasi teori John Rawls.
Kesamaan fair terhadap peluang sehat namun mengatasi ketidaksamaan
genetis/kodrati. Misal alokasi dana puskesmas lebih besar untuk
menyehatkan masyarakat miskin/paling tertinggal supaya sama peluang
sehatnya dengan masyarakat kaya = adil. Kepemilikan utama primer
seperti jender, ras, IQ, keturunan, asal muasal kebangsaan, status social
tak bias menjadi factor alas an pembagi. Kepada setiap orang sesuai
dengan jenis kelaminnya , jelas tidak adil. PBE, hal. 340 341.
[42] Criminal justice (penjatuhan sanksi pidana bagi terpidana) dan
rectificatory justice (pemberian kompensasi pelanggaran
transaksi/kontrak, melalui hokum perdata). PBE , hal 327.
[43] Kepustakaan lain menyebut kaidah ini lebih luas sebagai preferences
of patients yang melihat pasien sebagai sosok manusia otentik dengan
rasionalitas tertentu Lihat Jonsen, A.R., Siegler, M, Winslade, W.J. (2002).
Clinical Ethics. A Practical Approach to Ethical Decisions in Clinical
Medicine. McGraw-Hill. New York.
[44] Ciri khusus ialah kesukarelaan, tanpa paksaan atau manipulasi.
[45] Ciri khusus ialah memahami perspektif pasien, menolong ia
bermusyawarah, mencoba mempersuasi pasien, negosiasi rencana terapi
timbal balik, terpaut dalam diskusi dengan pasien, mempersilahkan pasien
memutuskan.
[46] Pembuatan testamen/wasiat : jangan coba resusitasi (DNAR), jangan
resusitasi (do not resusitate)

[47] Prinsip ini oleh Engelhardt dianggap lebih didahulukan dibandingkan


sikap berbuat baik. Robert Veatch. Medical Ethics. hal 37.
[48] Beberapa pengertian : persetujuan terhadap anjuran dokter,
kekuasaan menolak intervensi, kekuasaan memilih diantara alternatifalternatif dan saling andil dalam pembuatan keputusan (shared decision
making). Penolakan informed consent pada : pasien tidak memahami
informasi, tidak mau memutuskan, memilih keputusan berlawanan dengan
kepentingan terbaiknya. Perkecualian : dibawah pengampuan, implied
consent pada gawat darurat, therapeutic privilege (menahan informasi
demi mencegah perburukan pasien), waiver (menyerahkan hak ke dokter).
[49] Beauchamp & Childress (1994),. Principles of Medical Ethics.
[50] Derivat otonomi. Misal : mencegah penyesatan terhadap pasien
[51] Selain melindungi hal-hal yang bersifat pribadi yang unik/otentik dari
pasien, juga lebih mengutamakan/memenangkan pasien dalam menjaga
rahasianya atau ketika berkonflik akan membuka informasi dirinya kepada
pihak lain.
[52] Menghormati privasi pasien. Ciri lain : menyembunyikan identitas
pada presentasi kasus, tidak bergosip, membuka sebagian rahasia kepada
orang yang peduli seperti anggota keluarga, sahabat/kerabat, pers;
membiarkan informasi peka pada catatan medik, membuka demi pihak
ketiga, peringatan kepada partner (kewajiban atau harus minta ijin
terlebih dahulu). dll
[53] Bernard Lo. Resolving Ethical Dilemmas. A Guide for Clinicians.
Williams & Wilkins. Baltimore. 1995. hal. 20
[54] (telos /Y= tujuan)
[55] Contoh : tujuan menyelamatkan nyawa ibu hamil gawat dengan
melakukan terminasi kehamilan janinnya.
[56] (deon /Y = yang diwajibkan)
[57] Contoh : dokter harus menghormati manusia sejak saat pembuahan.
[58] Tradisi etika kewajiban Kantian. Bandingkan dengan istilah
Driyarkara : ikatan yang membebaskan (kewajiban tadi bila dikerjakan,
dokter akan merasa lega/plong dan terbebas dari beban apapun).
[59] Frans Magnis Suseno. Etika Umum. Kanisius. Jakarta, hal 22 24.
[60] Pernyataan moral adalah obyek etika yang berisi evaluasi kesesuaian
norma tadi dengan norma moral. Pernyataan moral umumnya berisi
pernyataan kewajiban. EU, hal 15.
[61] Penilaian perilaku manusia tertentu sebagai baik-buruk masuk dalam
obyek etika sebagai penilaian moral. EU, hal . 15.

[62] Etika sebagai hokum alam/kodrat merupakan puncak segitiga


tatanan hokum (Hans Kelsen), karena merupakan sumber material hokum.
Tradisi Hippocrates yang ribuan tahun silam merupakan sumber hukum
kedokteran. Hukum kedokteran yang bertentangan dengan etika akan
kehilangan nilai-nilai hukumnya (cacat moral). Pandangan etikolegal
memberi legitimasi dokter berhak membahas hokum kedokteran
kontemporer.
Sumber : Agus Purwadianto
Humanisme dan etika dalam praktek kedokteran
Merawat orang sakit pada level fundamental berakar pada jiwa manusia
dan humanisme. Misalnya seorang ibu yang merawat anak atau bayinya
yang sedang sakit, kenalan/keluarga sekitarnya menawarkan bantuan
berupa saran/nasihat dimanapun diinginkan, sementara seorang wanita
tua di antara para warga merespon permintaan bantuan ibu tadi. Mereka
semua tidak memiliki motif yang berkaitan dengan uang dalam
memberikan bantuan, tapi dilandasi atas dasar belas kasih.
Pada level yang berbeda, sejak jaman dahulu orang-orang suci, pendeta,
tabib dan dukun telah merawat orang-orang sakit karena adanya
keyakinan bahwa penyakit adalah manifestasi dari pengaruh iblis yang
dilakukan dengan perantaraan tuhan atau makhluk supernatural atau
manusia lain. Motif mereka dalam menyembuhkan orang sakit mungkin
tidak sepenuhnya untuk kepentingan orang sakit tersebut karena mereka
memperoleh keuntungan dalam tatanan sosial atas bantuan tersebut,
disamping adanya kekuasaan dan otoritas yang diberikan pada mereka
dalam masyarakat.
Saat hal tersebut dikaitkan dengan profesi dokter, kita diyakinkan bahwa
masalah sosialnya berakar pada sikap humanisme, belas kasih terhadap
penderitaan pasien, dan keinginan untuk memberikan pelayanan
kesehatan. Dokter praktek dan spesialis saat ini memiliki hubungan
dokter-pasien one-to-one yang unik dan sangat pribadi, melibatkan
kepatuhan, ketergantungan, dan kepercayaan yang utuh dari pasien
terhadap otoritas, pengetahuan dan keterampilan dokternya. Dengan
otoritas tersebut terciptalah unsur kewajiban sosial untuk melayani
dengan belas kasih kepada mereka yang percaya dan bergantung kepada
kita.
Tetapi martabat dan status profesi dokter dulunya tidak setinggi seperti
yang kita lihat sekarang. Misalnya pada jaman India kuno, hanya dokter
kerajaan yang memiliki status yang tinggi. Dokter pada jaman itu
dianggap tidak berdarah murni dan tidak pernah diundang pada acaraacara sesajian untuk dewa-dewa. Kasta Brahmana tidak seharusnya
menerima makanan dari seorang dokter karena dianggap najis/kotor (Rao
& Radhalaksmi,1960). Pada masa kekaisaran Roma, dokter adalah pekerja
berat, orang liar, orang asing, dan pengobatan dianggap sebagai
pekerjaan rendah. Di Inggris abad ke-18, dokter bedah dan ahli obatobatan dianggap seperti pedagang dan termasuk kelas pinggiran. Bahkan
sekurangnya di abad 19, dokter di Perancis sangat miskin dan statusnya
juga rendah (Starr, 1949).
Namun, dengan perkembangan dan kemajuan ilmu kedokteran dan
kemampuan para dokter mempengaruhi perjalanan penyakit secara
radikal, bermula di akhir abad ke-19, secara perlahan kedokteran berubah
statusnya dari sekedar tukang/pekerja berat menjadi sebuah profesi dan

bersamaan dengan itu kekuasaan dan martabat profesi dokter juga


meningkat seterusnya hingga di abad 20 ini.
Dengan tercapainya status profesi itu, segala yang menjadi karakter
sebuah profesi juga didapatkan. Kedokteran memiliki otonomi, mengontrol
semua yang ingin memasuki profesi ini, menetapkan standar kompetensi
melalui pelatihan termasuk teori, bukan hanya keterampilan seperti pada
pekerjaan tukang. Profesi kedokteran selanjutnya menyusun lembaga
profesi struktural (asosiasi, publikasi, sekolah kedokteran yang dapat
dikontrol) dan bertujuan memberikan pelayanan yang humanistik kepada
masyarakat untuk kepentingan mereka.
Prinsip-prinsip etika telah menjadi bagian yang mendasar sejak masa awal
dan berkaitan dengan kewajiban dan tanggung-jawab seorang dokter.
Namun harus dicatat, bahwa semua pernyataan tentang etika dapat
disesuaikan secara profesional dengan dunia medis. Dan tidak satupun
yang berkenaan dengan aspek humanistik.
Pola praktek dokter pada awal abad delapanbelas bersifat biaya
pelayanan tunggal yaitu seorang dokter memberikan pelayanan medis
dan untuk itu dia dibayar, baik berupa uang maupun berupa hasil-hasil
pertanian seperti yang masih terdapat di negara-negara berkembang di
beberapa daerah dan desa yang miskin. Ini adalah masa dokter pedesaan
atau dokter kuno atau dokter keluarga yang mengetahui dengan baik
keluarga tersebut, berkeliling ke rumah-rumah, dan bertindak sebagai
teman dan penuntun yang dapat dipercaya, di samping merawat orangorang sakit dalam keluarga itu.
Perkembangan kota-kota besar dan rumah-rumah sakit di abad 18 dan 19
membuat dokter-dokter desa perlahan menghilang dan semakin banyak
dokter menetap di daerah kota untuk berpraktek. Hilangnya dokter
pedesaan atau dokter keluarga memulai timbulnya pelayanan
dehumanisasi di rumah-rumah sakit.
Dalam dekade terakhir abad 20, pola praktek di negara-negara industri
berubah sama sekali dengan ekonomi berorientasi pasar. Dari praktek
mandiri, sekarang kebanyakan dokter praktek berkelompok di bawah
persetujuan formal penggunaan fasilitas dan peralatan medis bersamasama dan pendapatan didistrubusikan sesuai perjanjian awal dengan
melibatkan personalia kesehatan.
Kalangan bisnis melihat pasar besar dalam lapangan kesehatan, hasilnya
adalah meningkatnya komersialisasi layanan medis dan bertumbuhnya
industri medis yang kompleks. Kedokteran tidak lagi merupakan industri
rakyat seperti saat dokter berpraktek mandiri. Manager di bidang
kesehatan ini ekonom dan CEO (pejabat eksekutif), yang semakin sering
memutuskan jenis praktek pelayanan dan jenis organisasi dibandingkan
para dokter. Harga-harga obat melambung dan penggunaan peralatan
medis yang canggih berkonsekuensi dengan pembayaran yang tinggi.
Telah dikatakan, semakin dokter bergantung pada teknologi semata,
semakin mereka kehilangan rasa kemanusiaannya, yang berujung pada
pelayanan dehumanisasi. Hal tersebut ditambah dengan ketakutan akan
tuntutan malapraktek, dokter membayar asuransi untuk dirinya, yang
tentu berdampak pada pasien sehingga biaya layanan kesehatan semakin
tinggi.
Perubahan ini mewarnai sikap dan tingkah laku profesi yang menekankan
pada aspek finansial dan teknologi dalam terapi dan merusak panggilan
altruistik dan humanistik sang dokter.
Lagi menurut Profesor Tu, seorang dokter di Myanmar menelaah sebuah
film bergenre kedokteran, berjudul Patch Adam. Dia tertarik pada kritik

sang pemain, yang berperan sebagai dr. Hunter Adam: Anda bahkan
tidak melihat kepada pasien saat Anda berbicara pada mereka dan saat
dia berbicara melawan Badan Medis: Kematian bukanlah musuh, saudarasaudara, tapi sebuah kelalaian. Anda menangani penyakit, hasilnya kalah
atau menang. Anda menangani pasien, anda akan menang bagaimanapun
hasil akhirnya.
Keadaan ini pun sudah terlihat di negara kita. Ada berapa banyak dokter
yang betul-betul menangani pasiennya dengan rasa belas kasih? Saya
tidak menyatakan bahwa tidak ada dokter yang memiliki rasa belas kasih
karena saya mengenal beberapa dokter yang betul-betul menangani
pasiennya dengan hati.
Tapi, pemandangan seperti itu sangat jarang kita rasakan. Banyak dokter
melayani pasiennya dengan senyum, ramah, sopan dan penuh tatakrama,
tapi yang kita bicarakan dalam kaitannya dengan humanisme adalah
dokter melayani pasiennya dengan melihat ke dalam perasaan pasiennya.
Menampakkan pengertian akan derita pasiennya dan tidak semata-mata
memburu apa yang menjadi diagnosis agar pengobatannya tepat dan
pasien ini segera menyingkir dari kehidupannya yang cukup sibuk.
Anda keliru jika menyangka pasien tidak membutuhkan sentuhan
humanisme, dan tepat jika menduga bahwa mereka akan lebih nyaman
dengan dokter yang menatap mereka saat melakukan anamnesis dan
memperlihatkan sikap menerima dan mengerti akan segala keluhannya.
Itu tidak sulit dilakukan. Tempatkan saja diri Anda pada posisi mereka. Lalu
nilai, situasi mana yang lebih Anda sukai, ditangani oleh dokter yang
berwajah dingin yang sibuk meneliti penyakit Anda atau oleh dokter yang
menunjukkan perasaan kasih akan tiap keluhan Anda.
Humanisme dan etika dalam pelayanan kesehatan
Sejak jaman dulu, pemegang kekuasaan bertanggung-jawab terhadap
kesehatan rakyatnya. Raja pada jaman Indis kuno membangun tempat
untuk orang-orang sakit dan cacat, bahkan tempat khusus semacam
rumah sakit untuk kebidanan dan bedah. Kerajaan Romawi mengatur
tempat layanan kesehatan untuk orang-orang miskin yang akan dikunjungi
oleh dokter-dokter umum untuk memberikan pemeriksaan kesehatan yang
dibutuhkan.
Pada saat Abad Kegelapan baru saja terangkat dari Eropa, kedokteran di
negara-negara Arab sangat berkembang. Terdapat rumah-rumah sakit
yang besar di Damascus, Kordoba, dan Kairo yang memperhatikan segala
aspek dari layanan kesehatan termasuk aspek humanistik seperti sisi
spiritualnya (memperdengarkan Al-Quran sepanjang saat tanpa henti),
aspek-aspek estetika (seperti memainkan musik lembut di malam hari
untuk membantu mereka yang sulit tidur), dan aspek-aspek yang dapat
meningkatkan semangat mereka (seperti membacakan kisah-kisah yang
menggugah jiwa pasien). Bahkan pasien diberikan sejumlah uang yang
dapat menutupi kekurangan semasa sakit, hingga mereka mampu kembali
bekerja (Guthrie, 1958). Ini adalah pendekatan yang betul-betul
manusiawi.
Pelayanan kesehatan di Eropa, khususnya Inggris relatif terlambat. Butuh
terjadinya suatu epidemi (kolera) untuk terbentuknya Badan Kesehatan
sebagai badan resmi walaupun sebelumnya negara telah megambil alih
langkah darurat jika terjadi penyakit epidemik. Perkembangan spektakuler
di dunia medis pada masa-masa setelahnya mengubah pola tingkah
dokter dan pelayanan kesehatan. Teknologi tersebut membutuhkan biaya
yang mahal sehingga tidak mampu digapai oleh masyarakat miskin.

Ditambah lagi dengan dokter-dokter yang terlatih di rumah sakit yang


sangat sedikit dibekali dengan kemampuan untuk menghadapi masalah
kesehatan dalam masyarakat dan perkembangan baru dalam pelayanan
kesehatan. Sekarang ini, dikembangkan filosofi baru mengenai pelayanan
kesehatan berbasis persamaan dan keadilan sosial yang berakhir pada
gerakan Pelayanan Kesehatan Primer dan Kesehatan untuk Semua (World
Health Organisation, 1981)
Seperti telah disebutkan sebelumnya, dalam era pasar ekonomi,
kedokteran telah menjadi bisnis besar hingga di negara-negara
berkembang. Karena bisnis bersifat mengejar keuntungan, biaya
pelayanan kesehatan akhirnya meningkat. Dan akibatnya pelayanan
terhadap masyarakat miskin terabaikan. Idealnya, dokter mampu
melakukan praktek hingga menyentuh seluruh lapisan masyarakat, agar
nilai-nilai humanisme tetap terjaga. Tentu, secara pribadi hal tersebut sulit
dilaksanakan. Tapi, jika penentu kebijakan terutama dalam bidang
kesehatan memperhatikan masalah ini dan berangkat dengan keikhlasan
untuk berbuat demi kemanusiaan, maka teknologi yang tercanggih
sekalipun dapat dimanfaatkan oleh masyarakat banyak.
Humaniora dan etika dalam pendidikan kedokteran
Lantas, apa yang bisa menjadikan seorang dokter memiliki kemampuan
teknis sekaligus sikap humanistik dalam perilaku profesinya? Apakah itu
bagian dari pelatihan dan pendidikan mahasiswa kedokteran dengan
melihat contoh dari para dosennya? Mari kita lihat bagaimana humanisme
dalam pendidikan kedokteran.
Baik di dunia barat maupun dalam budaya timur, pelatihan untuk menjadi
seorang dokter bermula dari sistem magang, yaitu suatu sistem pelatihan
yang bersifat desentralisasi di mana murid dan gurunya terikat dalam
suatu hubungan pribadi. Sejak jaman dulu, murid kedokteran di India
misalnya, tinggal di rumah gurunya dan bahkan menjadi anggota keluarga
yang ikut mengerjakan segala pekerjaan rumah sang guru. Karena kontak
yang sangat dekat dengan gurunya, seorang murid tidak hanya belajar
dari guru, tapi menyerap filosofi, sikap, tingkah laku moral, nilai-nilai dan
metode hidupnya serta cara guru menghadapi pasiennya, singkatnya
bedside manner sang guru tadi.
Karena kebutuhan akan dokter dan ahli bedah semakin meningkat,
perubahan sistem pelatihan mengalami perubahan. Kerajaan Romawi
mengambil alih pelatihan dokter dengan menunjuk guru-gurunya. Di
negara-negara Islam, pendidikan kedokteran telah berjalan dengan baik.
Mereka ditempatkan di rumah sakit untuk pendidikan kedokteran. Warga
yang kaya membangun rumah-rumah sakit yang mempekerjakan dokterdokter handal yang bertanggung-jawab dalam penanganan pasien
sekaligus mengajar murid-murid kedokteran.
Sekolah-sekolah kedokteran di Eropa pada abad 9 hingga 13 menjadikan
pendidikan kedokteran sebagai basis dan memberikan gelar dokter
setelah melalui suatu pendidikan dan ujian tertentu. Fakultas kedokteran
ini tidak hanya melatih para dokter tetapi juga mengontrol tindakan
mereka. Dengan semakin banyaknya mahasiswa yang dilatih di rumah
sakit, keadaan pasien yang sebenarnya terabaikan. Metode pengajaran
klinis dengan jumlah mahasiswa yang besar berdampak buruk pada
pasien. Dan metode ini diadaptasi oleh semua sentra pendidikan
kedokteran di dunia.
Sekarang kita mungkin dapat melihatnya di rumah-rumah sakit, beberapa
pasien mengeluh jika terlalu banyak disentuh oleh mahasiswa (ko-ass).

Mereka menghindar untuk dirawat di rumah sakit pendidikan karena


merasa dijadikan orang coba oleh para ko-ass, terurama pasien-pasien
dari golongan menengah ke atas. Sebetulnya keadaan ini dapat kita
hindari bersama. Pasien tentu tidak akan mengeluh jika tidak merasa
dirinya hanya dijadikan objek pembelajaran. Caranya tentu dengan
menanamkan kepercayaan kepada pasien dan masyarakat umumnya. Dan
itu dapat dimulai dari Anda, sebagai calon dokter.
Sebagai mahasiswa, Anda harus betul-betul memahami semua yang Anda
pelajari selama proses pendidikan dan menguasai seluruh kompetensi
yang sudah ditetapkan. Jika kelak Anda dipercayakan untuk memegang
pasien pada saat kepanitraan klinik dan dapat menunjukkan bahwa
sebagai mahasiswa kedokteran Anda cukup handal, maka pasien akan
dengan senang hati mempercayakan penanganan penyakitnya pada Anda
. Apalagi jika dibarengi dengan tindakan yang etis dan penuh sentuhan
manusiawi, tidak akan ada pasien yang menolak Anda. Kita harus benarbenar tulus menghadapi mereka, mendengar keluhan mereka dengan
sabar, memperhatikan apa yang menjadi persoalan sesungguhnya bagi
mereka. Ingatlah pepatah bijak orang tua kita bahwa apa yang dilakukan
dari hati sampainya ke hati juga.
Dengan begitu, Anda dapat melalui proses pendidikan kedokteran dengan
baik karena sebenarnyalah hubungan yang terjadi antara Anda dengan
pasien tadi adalah hubungan kerjasama. Anda, sebagai mahasiswa,
membutuhkan mereka. Maka buatlah mereka pun membutuhkan Anda.
Dalam pendidikan tentang bioetik dan humaniora ini, Anda akan banyak
dibekali dengan pengetahuan tentang etika terutama saat Anda telah
menjadi dokter. Namun sebenarnya, prinsip-prinsip etika telah tertuang
secara lengkap dalam Islam, yaitu dalam ilmu tentang akhlak. Bahkan
ilmu ini tidak terbatas kepada profesi dokter saja, tapi memayungi semua
insan yang mengaku sebagai muslim. Jadi, saat sekarang pun prinsipprinsip etika sudah harus kita jalankan karena akhlak -yang sumbernya
jelas dari Allah SWT- berimplikasi pada akhirat yang mengikat muslim
yang berakal dan dewasa, yaitu kita semua.
Selama masa pendidikan, Anda akan berhubungan dengan dosen, sesama
mahasiswa, pegawai di lingkungan Anda, dan orang-orang dalam
lingkungan kampus. Sekarang ini adalah masa yang tepat bagi Anda untuk
melatih diri bagaimana bersikap menjadi dokter yang baik.
Selama masa pendidikan, Anda akan berhubungan dengan dosen, sesama
mahasiswa, pegawai di lingkungan Anda, dan orang-orang dalam
lingkungan kampus. Sekarang ini adalah masa yang tepat bagi Anda untuk
melatih diri bagaimana bersikap menjadi dokter yang baik. Betul bahwa
setiap orang memiliki karakter yang berbeda, tapi sikap dan perilaku yang
baik bukannya tidak dapat diamalkan. Sebagai contoh, dalam berdiskusi
dengan teman-teman Anda, seringkali terjadi benturan pendapat.
Walaupun Anda yakin bahwa pendapat Andalah yang benar, dan didukung
oleh beberapa teman yang lain, sangat tidak bijak jika Anda langsung
menyalahkan dan mematahkan pendapat teman Anda. Apalagi jika yang
Anda serang adalah pribadinya, bukan opininya.
Belum lagi jika menghadapi persoalan yang berbeda, adanya beban tugas
dari dosen yang tidak habis-habis (walaupun alasan bahwa hal tersebut
untuk kepentingan mahasiswa sendiri kadang sulit diterima), dan waktu
yang terasa sangat menghimpit, tentu akan sulit bagi kita untuk tetap
bersikap stabil. Masalahnya, kita tidak punya pilihan selain
menghadapinya. Kita menerima pengakuan sebagai pribadi dewasa, jadi
sudah seharusnya kita menyadari konsekuensi dari suatu pilihan. Anda

memilih untuk menjadi dokter, berarti sedikit banyaknya Anda tahu


seperti apa profesi ini.
Dari segi keterampilan, kompetensi yang dikehendaki dijelaskan oleh
masing-masing sub divisi pendidikan kedokteran. Dengan sistem integrasi
yang baru diterapkan, Anda diharapkan memiliki keterampiln klinis yang
lebih terarah. Keaktifan dari Anda sebagai mahasiswa diharapkan karena
pembelajaran ini memang dipusatkan pada Anda (student-centered
learning). Para pendidik di bidang kedokteran sepakat bahwa tujuan
pembelajaran yang baru ini adalah mengarahkan pendidikan kedokteran
kepada pengalaman berbasis komunitas, model yang berpusat pada
pembelajar sehingga memungkinkan dokter untuk menjadi pembelajar
sepanjang hayat sekaligus berpraktek dengan berbekal pengetahuan dan
keterampilan yang memasukkan aspek-aspek psikososial dan biologi
dalam pelayanan kesehatan.
Humanisme dan etika dalam penelitian dan pengembangan ilmu
kedokteran
Kesadaran sosial, tanggung jawab sosial dan akuntabilitas sosial telah
menjadi ciri profesi dokter, dan karakteristik ini dapat diterapkan juga
kepada para peneliti di bidang kedokteran. Etika dan humanisme dapat
diaplikasikan ke dalam seluruh spektrum kegiatan penelitian, mulai dari
pemilihan topik penelitian, hingga pada cara penelitian yang dilakukan
dan pada aplikasi hasil penelitian dan pengembangan.
Misalnya dalam memilih topik penelitian, harus disadari bahwa peneliti
memiliki tanggung jawab sosial untuk mencoba mencari solusi dari
masalah-masalah yang paling banyak menyebabkan munculnya penyakit
dan penderitaan dalam masyarakat.
Dalam melakukan percobaan yang melibatkan manusia sebagai relawan,
peneliti haruslah dibawah kontrol etis yang ketat. Dan seperti halnya
seorang dokter harus memiliki perilaku medis yang baik dengan hubungan
manusiawi dengan pasiennya, begitu juga seharusnya seorang peneliti.
Tanggung jawab dan akuntabilitas sosial dalam penelitian dimaksudkan
agar penelitian tersebut dilakukan bukan hanya untuk kepentingannya
saja. Peneliti diwajibkan melihat kegunaan hasil penelitiannya. Jadi
hasilnya tidak hanya berakhir di kertas jurnal saja, tapi harus mencapai ke
penentu kebijakan, pembuat keputusan dalam pelayanan kesehatan, dan
para profesi di bidang kesehatan serta para konsumen.
PEMAHAMAN FILSAFAT ILMU
Posted on December 24, 2012 by robihabsyi
Menjadi seorang filsuf tidak lah semudah yang dibayangkan. Kecil
kemungkinan anak seusia seperti saya (remaja) dapat menerapkan dirinya
menjadi sosok filsuf. Kebanyakan, orang yang berfilsafat adalah orang
dewasa yang usianya minimal 40 tahun. Itu dikarenakan, pada usia
tersebutlah adanya kata kematangan dalam berbagai aspek kehidupan.
Tidak dipungkiri bahwa pada usia tersebut, mereka telah banyak
memakan garam kehidupan. Berbicara tentang ilmu pastilah bermacammacam. Berdasar nalar ilmu dibagi dua. Yakni, ilmu irrasional yang
membahas sesuatu yang tidak bisa ditangkap dengan logika ataupun
mistik ex:santet. Sedang yang kedua adalah ilmu rasional, yakni sesuatu
yang bisa dipikirkan dengan nalar kita ex: bidang kedokteran dapat diteliti
dan diamalkan. Atau lebih tepatnya, Ilmu adalah kumpulan pengetahuan
rasional yang terstruktur (ada kurikulum) sistematik konsisten (tidak ada

kontradiksi), koheren yang didapat dengan metode ilmiah ex: ilmu,


agama, seni. Dengan mengkaji pada substansi masing-masing, pohon ilmu
(ex: akar batang cabang ranting dst), netral (paham ilmu kebenaran
hanya satu, mencari ilmu sama halnya dengan mencari kebenaran), kaitan
ilmu dengan berbagai kehidupan di masyarakat (ex: moral, sosial, agama,
budaya). Ilmu itu sangan ampuh (luar biasa) yang diibaratkan sebuah
benda tajam. Kita harus mengetahui untuk apa benda tajam tersebut,
apakan untuk aji-ajian atau untuk apa setelah lulus dari kedokteran, atau
bagaimana untuk mempelajari,dll. Seorang dokter memiliki prinsip
mengobati orang sakit, tentang pembayaran adalah nomer dua. Harus
diketahui bahwa tidak semua dokter itu kaya. Kalaupun tujuan utamanya
adalah keinginan untuk menjadi kaya, maka jangan pernah memilih
jurusan kedokteran. Pilihlah jurusan ekonomi, seperti yang kita ketahui
terdapat prinsip ekonomi yang sudah umum dipahami, sedikit saja
pengorbanan usaha guna mencapai hasil yang maksimal. Seorang dokter
mengenai kekayaan adalah urusan belakang.
Filsafat ilmu kedokteran berhubungan dengan etika kedokteran.
Dokter adalah profesi yang paling dihargai karena dokter adalah profesi
yang paling dekat dengan pasien. Dokter bukan mengurusi urusan
manusia tapi dokter mengurusi manusianya. Menjadi orang yang
berfilsafah kita harus mengetahui ilmu itu digunakan untuk apa saja. Ilmu
itu ampuh, jadi penggunaannya haruslah baik. Lantas bagaimana cara
mempelajarinya? Caranya ya pasti belajar, bukan malah gak tidur atau
pun begadang gak jelas. Dikatakan berhubungan dengan etik karena
setiap tindakan dokter itu menyangkut etik. Ketika seorang dokter
bertanya mengenai sakit seorang pasien, pastilah etika itu harus ada.
Dengan penuh emphaty ikut merasakan apa yang dirasakan oleh pasien.
Secara garis besar, filsafat itu ibunya. Sedang etika adalah salah satu
anaknya.
Orang berfilsafat itu adalah orang yang berpikir, secara tidak langsung
berartikan pasti menggunakan aktifis berpikir. Ex: orang berfilsafat
memikirkan bagaimana mendapat ilmu kedokteran? Maka kita harus
belajar Kemudian untuk apa kita mendapat ilmu itu? dll. Filsafat itu
sendiri memiliki ciri-ciri. Yakni, mendasar (vertikal sampai akar),
menyeluruh (secara keseluruhan) dan abstraksi. Orang filsafat pasti
berpikir, sedang orang berpikir belum tentu berfilsafat. Seperti halnya
pada kasus seorang siswa yang hendak menghadapi ujian. Di memikirkan
ujian, dia berpikir besok pagi harus apa yah besok ujian nih? Oh, ngajak
teman belajar bareng, dll. Filosofi atau orang yang berfilsafat adalah orang
yang cinta pada kebijaksanaan dan kearifan. Dengan menggunakan pola
pikir yang radikal (mendasar), komprehensif (menyeluruh) dan abstraksi
(sintesis, sinopsis) (refleksi, tafakur, kontemplasi). Dan menggunakan
aktifitas berpikir, yakni belajar ex: ilmu (Ontologi Epistemologi
Aksiologi), memutuskan ex: Identifikasi Analisis Sintesis dan Hasil
dengan kearifan.
Filsafat pula bermacam-macam penjabarannya. Mengenai
filsafatperkawinan, harus berpikir secara menyeluruh, tidak berpikir
dengan cara sepotong-potong. Seperti gak asal-asal kumpul suami istri
dan kerja. Bukan seperti itu filsafat yang dimaksud, seharusnya kan
bagaiman supaya menjadi keluarga yang sakinnah mawaddah
warokhmah. Orang yang tahu akan filsafat perkawinan, maka tidak ada

yang namanya kawin cerai. Kalau orang tahu akan filsafat pancasila, maka
tidak akan ada korupsi yang melanda. Kalau tidak tahu apa itu filsafat
hidup, maka orang tersebut tidak mungkin bisa hidup. Orang tersebut
akan seperti robot yang makan, belajar, dll. Sedang orang yang
mengetahui, dia akan berpikir untuk apa dia hidup? Bagaimana dia bisa
hidup? Bagaiman menjalani hidup ini? Setelah hidup harus giman? Apa
yang akan terjadi ketika sudah tiada? dll. Dan orang yang tahu tentang
filsafat kedokteran, maka dokter tersebut dapat lebih mantep atau pun
pas dihati, dokter tersebut lebih arif dalam perilaku. Dokter itu melakukan
promotif, prefentif, kuratif ataupun treatment, rehabilitatif. Orang yang
tahu akan filsafat ekonomi, gak bakal jadi komunisme. Ekonomi penjual
dan pembeli sama-sama untung, bukan malah kapitalis maupun imperalis.
Begitu pula filsafah pemerintahan atau politik. Pemimpin itu adalah
memimpin, membina rakyatnya bukan berkuasa dan menurut
kehendaknya sendiri.
Kita jarang atau bahkan tidak pernah berpikir bagaimana hidup ini? Untuk
apa hidup ini? Kemudian agamalah yang akan menjawab itu semua. Orang
berfilsafat itu mikir saya itu dari man, untuk apa saya hidup di dunia, dll.
Filsafat itu menyeluruh. Orang yang berfilsafat itu takaruf merenung. Ex:
ada beberapa orang dititah untuk menebak bentuk gajah. Orang pertama
berkata bahwa gaja itu seperti pipa karena orang pertama meraba belalai
gajah. Orang kedua bilang gajah itu keras, karena orang kedua meraba
gading gajah. Orang ketiga berkata bahwa gajah itu bulat, dst. Sementara
orang yang berfilsafah akan melihatnya secara menyeluruh, dia pasti akan
menjawab kalau gajah itu ya seperti itu, dia punya kaki, dll.
Filsafah itu ada filsafah hidup, perkawinan, bahkan ilmu. Apabila ilmu
difilsafahi maka akan timbul pertanyaan apa itu ilmu? untuk apa ilmu itu?
darimana datangnya ilmu itu? bagaimana saya mendapatkannya? Orang
tersebut tidak akan asal praktek anatomi, dll. Pembeda antara ilmuwan
(orang yang ahli dibidangnya) dengan filsafah adalah apabila ilmu tertuju
pada apa yang dipikirkan ex: hukum maka UU. Lain halny dengan filsafah
yang dilihat mendasar, keseluruhan, abstraksi. Semua ilmu dapat diperes
atau dirangkum jadi tiga,
Ontologi, substansi bahan ilmu yang dipelajari itu apa ex: hukum maka
keadilan, ekonomi maka perdagangan, dll. Mengkaji tentang materi atau
ilmu apa yang dikaji? Ex: medis kesehatan yakni mempertahankan
kesehatan, bagaimana wujud hakiki materi atau ilmu tersebut?, yakni
anatomi, faal tubuh, biokimia, bagaimana hubungan (kontelasi) antara
ilmu yang dikaji dengan ilmu lain ex: health economic, kedokteran
foreignsick. Jadi, di dalam ilmu tersebut terdapat interaksi antara bidang
keilmuan ex:
Ilmu kedokteran dengan :
ilmu hukum, ekonomi, sosial-politik, psikologi
ilmu biologi, farmasi, fisika, pertanian, teknik dll.
Ilmu adalah Kumpulan Pengetahuan yang terstruktur secara sistematik,
konsisten, rasional dengan menggunakan Metode Ilmiah. Berdasarkan
jenisnya ilmu pengetahuan dibagi dua,
Eksakta (Pasti/ Alam)
Non Eksakta (Sosial)

Perkembangan ilmu pengetahuan (pohon ilmu pengetahuan) dapat


dipelajari sebagai berikut:
Akar
: Pre Medik (Fisika, Kimia, Biologi & Humaniora)
Batang
: Pre Klinik & Para Klinik
Cabang
: Klinik : Non Bedah Penunjang Bedah
Ranting
: Non Bedah (Ilmu Penyakit Dalam, Anak, Saraf & Jiwa)
Penunjang ( Radiologi, Anatesi)
Bedah ( Bedah umum, Obst/ Gin, THT, Mata & MF (Spesialis I)
Anak Ranting
: (Spesials II) ( Konsultan) IP Dalam (Kardiolog,
Gastroenterolog, Nephrolog dll) Bedah (Bedah Tulang, Bedah anak,
Kardiovaskuler, Urologi dll.)
Cucu Ranting ?
Atau secara mudahnya, anatomi ibarat batang pohon, yang menjadi akar
adalah filsuf dan etika, rantingnya kedokteran bedah dan anak rantingnya
adalah dokter bedah anak. Jadi dapat disimpulkan bahwa ilmu itu
berkembang dari pucuk sampai ranting. Ilmu juga dibagi menjadi dua
yakni ilmu alam (yakni, terapan ataupun terdapat prakteknya ex:
soundsystem dan teori murni akademis ex: suara), dan ilmu hayat.
Epistemologi mempelajari bagaimana cara mendapat ilmu? Pasti dengan
belajar, hal-hal apa yang harus diperhatikan supaya didapatkan ilmu yang
benar? apa kebenaran itu? Kita kenal dengan EBM (Evidence Based
Medicine) ex: kunir putih harus diteliti terlebih dahulu yang konon dikata
dapat mengobati hypertention sehingga tidak bisa manusia langsung
menjadi bahan percobaan, kiat & sarana apa yang membantu untuk
mendapatkan ilmu? Setiap perubahan zaman pasti teknologi semakin
tinggi, maka terdapat perkembangan budaya berpikir. Berawal dari mistik,
ex: jikalau gempa datang merupakan pertanda bahwa dewa sedang
marah. Kemudian ontologik-rasional-bidang (disiplin) ilmu pengetahuan,
ex: ketika hujan turun maka muncul pertanyaan hujan itu bagaimana? Dan
perlu untuk diobservasi. Dan yang akhirnya pada fungsionalisasi-terapan
(teknologi). Secara kronologinya proses pencarian ilmu pengetahuan dari
mistik lalu kebetulan kemudian menjadi otoritas dan tradisi berlanjut trial
& error yang didalamnya termakna akal sehat (common sense), seni
terapan dan tanpa konsep (teori) dasar. Kemudian rasionalisme, observasi
fenomena alam, analisis dengan argumen (rasional), tanpa eksperimen
(hipotesis), metode deduktif, empirisme yang mengandung didalamnya
kebenaran (ilmu) didapat dengan pengalaman, analisis (tanpa konsep
dasar) dan metode induktif. Berlanjut menjadi hipotesis dan eksperimen,
metode deduktif dan induktif yang tanpa konsep (teori) dasar. Perlu untuk
diketahui bahwa modal dasar manusia diantaranya, panca Indera, naluri
(instinct), akal, imajinasi dan hati nurani (moral). Ada beberapa metode
yang digunakan diantaranya, rasionalisme, empirisme, intuisi (ilham),
wahyu (Nabi) yang bertujuan menangkap hakikat realitas (kebenaran).
Suatu metode ilmiah adalah suatu prosedur yang mencakup tindakan,
pikiran, pola kerja, cara kerja teknis dan langkah-langkah untuk
memperoleh pengetahuan baru ataumengembangkan pengetahuan yang
telah ada secara valid dan relibel. Dan semua tahap itu memiliki kategori
atau pun bobot masing-masing untuk dicapai seperti bobot ilmiah
penelitian pada skripsi SI aksiologi (KTI), tesis S2 epistemologi dan
disertasi s3 ontologi (KTI)

Aksiologi, yakni kenapa suatu ilmu itu digunakan atau untuk apa ilmu itu
digunakan? Bagaimana keterkaitan dengan moralitas, HAM dan agama,
budaya teknologi serta materialisme dan konsumerisme yang memiliki
dampak tertentu, yakni:
Positif, manfaat membantu, memperlancar untuk memenuhi kebutuhan
hidup (transportasi, informasi, komunikasi, pembangunan, fisik, pertanian,
pendidikan dll.)
Negatif, malapetaka, kehancuran (perang), dehumanisasi (rekayasa
reproduksi)
Reference: www.umy.ac.id (Prof.Dr. dr. Soewito, Sp.THT-KL)

Você também pode gostar