Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Orang yang mengangap sain tidak netral akan dibatasi oleh nilai dalam (1)
memilih obyek penelitian (2) cara meneliti dan (3) mengunaka hasil
penelitian.
Tatkala meneliti kerja jantung manusia,orang yang beraliran sain itu tidak
netral akan mengambil mungkin- jantung kelinci atau jantung hewan
lainya yang paling mirip dengan manusia. Orang yang beraliran sain netral
mungkin akan mengambil orang gelandangan untuk diambil jantungnya.
Orang yang beraliran sain volue bound, dalam epistimologi akan meneliti
jantung itu. Tidak dengan menyakiti kelinci itu .sementara orang yang
mengikuti sain volue free tidak akan memperdulikan obyek penelitian itu
menderita atau tidak. Orang yang beraliran sain netral akan mengunakan
hasil penelitian itu secara bebas, sedangkan sedangkan orang yang
bermadhap sain itu terikat akan mengunakan produk itu hanya untuk
kebaikan saja.
Ilmu merupakan pengetahuan yang didapat melelui Proses tertentu yang
dinamakan metode keilmuan. Metode inilah yang membedakan ilmu
dengan buah pikiran lainya. Atau dengan perkataan lain ilmu adalah
pengetahuan yang diperoleh melelui metode keilmuan metode menurut
senn sebagaimana dikutib jujun, merupakan produser atau cara
mengetahui sesuatu yang mempunyai lagkah-langkah yang sistematis.
Metodologi merupakan suatu kajian dalam mempelajari peraturanperaturan yang terdapat dalam metode ilmiah. Metode ioni secara filsafati
termasuk apa uyang diamakan epistimologi.Epistimologi dalah
pembahasan bagaimana kita mendapatkan pengetahuan: Apakah sumbersumber pengetahuan?Apakah manusia dimungkinkan untuk mendapatkan
pengetahuan? Sampai mana mungkin pengetahuan yang ditangkap
manusia.
Sebagaimana telah dinyatakan diatas, pengetahuan merupakan
kekuasaan yang pada dasarnya ditujukan untuk kemaslahatan manusia.
Masalahnya , seandainya seorang ilmuan dengan metode ilmunya
menemukan sesuatu yang menurutnya berbahaya bagi kemaslahatan
umat manusia apa yang harus ia lakukan? Haruskah ia
menyembunyikanya atau menyerahkan kepada manusia dan berpegang
pada prinsip kenetralan ilmu menghadapi masalah ini , majalah fortune
mengadakan angket yang yang ditujukan pada para ilmuan amerika
serikat. Hasilnya dari penelitian itu menunjuka mayoritas ilmuan
berkeyakinan tidak boleh menyembunyikanhasil penemuan apapun juga
dari masyarkat luas sewrta apapun juga bentuknya dari msyarakat luas
serta apapun juga akan menjadi konsekuensinya.
Kenetralan seorang ilmuan dalam hal ini disebabkan angapanya bahwa
ilmu pengetahuan merupakan rangkaian penemuan yang mengarah pada
penemuan selanjutnya. Kemajuan ilmu pengetahun tidak melelui loncatan
loncatan yang tidak berketentuan melainkan melalui proses kumulatif
yang teratur. Dengan demikian usaha menyembunyikan kegiatan kegiatan
kebenaran dalam kegiatan ilmiah merupakan kerugian bagi kemajuan ilmu
pengetahuan seterusnya , dalam penemuan ini ilmu itu bersifat netral. Dri
aspek inilah pengetahuan terbebas dari aspek-aspek yang mengikat.
Seoarang ilmuan tidak boleh memutar balikan penemuanya bikla
hipotesisnya yag dijunjung tingi yang disusun diatas kerangka pemikiran
yang terpengaruh preferensi moral ternyata hancur berantaklan karena
bertentangan dengan fakta-fakta pengujian. Disini hitam dikatakan hitam
dan putih dikatakan putih apapun juga konsekuensinya bagi obyek moral
yang mendorong dia untuk melekukan penelaahnya, penyimpangan dalam
Manusia jelas bukan kebenaran mutlak, karena ia tidak memenuhi syaratsyaratnya. Manusia bukan kebenaran mutlak karena ia makhluk ciptaan
yang terbatas, bersifat subjektif dan dikuasai oleh ruang dan waktu.
Bersifat subjektif artinya terhadap objek yang sama manusia mempunyai
sudut pandang atau pendapat yang berbeda-beda. Kalau misalnya ada
1000 orang yang dimintai pendapatnya akan sesuatu objek, akan ada
1000 macam pandangan yang berbeda-beda.
bersifat relatif, bukan absolut ( mutlak ). Dikuasai oleh ruang dan waktu
mempunyai implikasi bahwa ia tidak mahatahu ( artinya banyak hal yang
tidak diketahuinya), bisa salah dan selalu berubah berganti.
Jadi kebenaran mutlak yang sejati itu harus datang dari luar manusia.
Adapun manusia hanya bisa mempunyai kebenaran relatif. Tidak mungkin
ada kebenaran mutlak di level manusia atau yang di bawahnya.
Kebenaran mutlak harus datang dari level yang lebih tinggi, dari Allah. Jadi
kebenaran mutlak adalah kebenaran yang datang dari Allah yang
mahabesar.
Sikap 'sok mahatahu' seperti tersebut di atas telah kita saksikan sendiri
belum lama ini di senayan. Gaungnya sampai kemana-mana, bahkan
sampai di Kompasiana ini.
fizik akan menjadi tidak relevan dan perdagangan tidak mungkin dapat
dijalankan. Keadaan kacau-bilau akan berlaku! Syukurlah, dua ditambah
dua bersamaan dengan empat. Ada kebenaran mutlak dan ianya boleh
ditemui dan difahami.
Sama sekali tidak logik untuk membuat kenyataan bahawa tidak ada
kebenaran mutlak. Namun, pada hari ini, ramai orang memeluk
relativisme budaya yang menolak semua jenis kebenaran mutlak. Soalan
yang baik untuk ditanya terhadap orang-orang yang berkata, "Tidak ada
kebenaran mutlak" adalah ini: Adakah anda benar-benar yakin dengan
itu? Sekiranya mereka menjawab ya, mereka telah membuat satu
kenyataan mutlak yang mana jawaban mereka sendiri mengatakan
bahawa memang wujud perkara yang mutlak. Kenyataan yang mereka
katakan bahawa tidak ada kebenaran mutlak merupakan satu-satunya
kebenaran mutlak.
Di samping masalah pertentangan-sendiri, ada beberapa masalah logik
yang harus diatasi seseorang yang mahu mempercayai bahawa tidak ada
kebenaran mutlak. Salah satu daripadanya adalah semua manusia
mempunyai pengetahuan dan fikiran yang terhad dan oleh sebab itu
secara logik manusia tidak boleh membuat kenyataan-kenyataan negatif
yang mutlak. Secara logik seseorang tidak boleh mengatakan, "Tidak ada
Tuhan" (walaupun ramai berbuat demikian), kerana dalam rangka untuk
membuat kenyataan seperti itu, ia perlu mempunyai pengetahuan mutlak
seluruh alam semesta dari awal hingga akhir. Memandangkan itu tidak
mungkin berlaku, kenyataan yang paling masuk akal dapat dikatakan
sesiapapun juga adalah "Dengan keterbatasan pengetahuan yang saya
miliki, saya tidak percaya ada Tuhan."
Masalah lain dengan penyangkalan terhadap kebenaran mutlak adalah
kegagalan untuk hidup sesuai dengan apa yang kita ketahui sebagai benar
dalam hati nurani, dalam pengalaman dan dalam apa yang kita lihat di
dunia nyata. Jika tidak ada kebenaran mutlak, maka pada akhirnya tidak
ada yang benar atau salah tentang apa pun. Apa yang mungkin "benar"
bagi anda tidak bererti itu "benar" juga bagi saya. Manakala pada
permukaan relativisme ini kelihatan menarik, maksudnya adalah setiap
orang menetapkan peraturan sendiri untuk hidup mengikut dan
melakukan apa yang difikirnya benar. Tanpa dapat dielakkan pendirian
tentang apa yang benar milik seseorang pasti akan bertembung dengan
pendirian orang lain. Apakah yang akan berlaku sekiranya benar bagi
saya untuk tidak memperdulikan lampu isyarat jalanraya walaupun ianya
berwarna merah? Saya akan meletakkan banyak nyawa dalam bahaya.
Atau saya mungkin berpikir mencuri dari anda itu betul dan anda berpikir
itu salah. Jelas, tanpa piawaian tentang benar dan salah kita akan berada
dalam keadaan konflik. Jika tidak ada kebenaran mutlak, tidak ada piwaian
tentang benar dan salah yang kepadanya kita semua perlu
bertanggungjawab, maka kita tidak akan dapat diyakinkan tentang apa
pun. Orang akan bebas melakukan apa sahaja yang mereka ingin lakukan
seperti pembunuhan, memperkosa, mencuri, berbohong, menipu dan
tidak ada seorang pun dapat mengatakan perkara-perkara ini sebagai
suatu kesalahan. Kita tidak dapat mempunyai kerajaan, tidak ada undangundang, tidak ada keadilan, kerana tidak ada seorang pun yang dapat
mengatakan bahawa pihak majoriti mempunyai hak untuk membuat dan
sebagai Kebenaran iaitu Yesus Kristus. Yesus mengaku sebagai satusatunya jalan, kebenaran dan hidup dan tidak ada seorangpun yang dapat
datang kepada Tuhan kalau bukan melalui Dia (Yohanes 14: 6). Fakta
bahawa kebenaran mutlak memang wujud mengarahkan kita kepada
kebenaran bahawa ada Allah yang berdaulat Pencipta langit dan bumi dan
yang telah menyatakan diri-Nya kepada kita, supaya kita dapat mengenal
Dia secara peribadi melalui Anak-Nya Yesus Kristus. Inilah kebenaran yang
mutlak.
Islam datang untuk mengeluarkan manusia dari lalimnya berbagai agama
menuju keadilan Islam. Artinya, seorang muslim yang benar imannya tidak
pernah beranggapan apalagi berkeyakinan bahwa semua agama sama
baiknya dan sama benarnya. Ia yakin bahwa Allah taaala tuhan semesta
alam tidak mungkin membiarkan manusia dalam kebungungan memilih
jalan hidup yang benar untuk menghantarkan dirinya menuju keselamatan
di dunia dan akhirat.
Sedangkan orang yang berfaham pluralisme adalah manusia yang
bingung memilih jalan hidup sehingga untuk gampangnya ia katakan
bahwa semua agama sama baiknya dan sama benarnya. Andaikan kita
hidup tanpa petunjuk dari Yang Maha Benar mungkin kita juga akan
sependapat dengan logika berfikir seperti itu. Karena itu berarti bahwa
tidak ada fihak manapun di dalam masyarakat yang berhak meng-claim
bahwa agamanyalah yang memiliki monopoli kebenaran. Tetapi Allah
taaala bantah pandangan seperti ini melalui firman-Nya:
Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam. (QS Ali
Imran ayat 19)
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali
tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat
termasuk orang-orang yang rugi. (QS Ali Imran ayat 85)
Berdasarkan kedua ayat di atas ummat Islam menjadi mantap dalam
meyakini bahwa satu-satunya jalan keselamatan di dunia dan akhirat
hanyalah jalan Islam. Yaitu jalan yang telah ditempuh oleh Nabi
Muhammad shollallahu alaih wa sallam.
Bukan ummat Islam yang meng-claim kebenaran mutlak ajaran Islam,
melainkan Allah taaala sendiri yang meng-claim hal tersebut. Kita hanya
meyakini dan mentaati firman Allah taaala. Oleh karena itulah Nabi
shollallahu alaih wa sallam menjelaskan betapa berbedanya ganjaran
ukhrowi yang akan diterima seorang mumin dibandingkan seorang kafir
(non-muslim) akibat perbuatan baiknya di dunia.
Sesungguhnya Allah tidak menganiaya (mengurangi) seorang mu'min
hasanatnya, diberinya di dunia dan dibalas di akherat. Adapun orang kafir,
maka diberi itu sebagai ganti dari kebaikan yang dilakukannya di dunia,
sehingga jika kembali kepada Allah, tidak ada baginya suatu hasanat
untuk mendapatkan balasannya. (Muslim 5022)
Bersabda Rasulullah shollallahu alaih wa sallam: Seorang kafir jika
berbuat kebaikan di dunia, maka segera diberi balasannya di dunia.
Adapun orang mu'min jika berbuat kebajikan, maka tersimpan pahalanya
di akherat di samping rizqi yang diterimanya di dunia atas keta'atannya.
(Muslim 5023)
mereka seru selain Allah taaala, itulah yang batil, dan sesungguhnya
Allah taaala, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS Al-Hajj ayat
62)
Kebenaran itu relatif
Wartawan profesional mencari kebenaran fungsional, bukan kebenaran
filosofis
Jarar Siahaan, editor dan pemimpin redaksi di Koran Toba
Banyak yang berpendapat, khususnya kaum beragama, bahwa satusatunya kebenaran hakiki adalah Tuhan dan kitab suci mereka. Tapi, di
mata kaum Sophis dan ateis, kebanyakan kebenaran di dunia ini adalah
relatif, yaitu kebenaran yang belum tentu benar dan juga belum tentu
salah, termasuk Tuhan. Uraian teori-teori kebenaran bisa ditemukan dalam
ilmu filsafat.
Salah satu contoh sederhana bahwa kebenaran itu relatif, tidak mutlak,
adalah letak meja. Saya benar ketika mengatakan meja itu di sebelah
kanan, karena saya duduk di sisi kiri meja, dan anda pun benar saat
menyebut meja itu di sebelah kiri, sesuai dengan posisi duduk anda di
sisi kanan meja. Maka, di sini, ada dua kebenaran: meja itu di kanan dan
meja itu di kiri. Contoh lain, anda mungkin akan menyalahkan laki-laki
Papua karena memakai koteka, buah labu yang dikeringkan dan diukir,
sebagai celana dalam, atau mencibir pemuda-pemudi Bali karena
berciuman bibir dalam ritual adat omed-omedan yang digelar setelah hari
raya Nyepi. Bisa jadi anda akan menyebut orang Bali tidak beradat seperti
orang bule, padahal bagi umat Hindu di Pulau Dewata, festival ciuman
antara perjaka dan perawan itu adalah tradisi luhur untuk memuja Tuhan.
Jadi, sekali lagi, di sini nilai kebenaran menjadi relatif.
Berpaham bahwa kebenaran itu nisbi, selama hampir 20 tahun bekerja
sebagai wartawan, saya tidak pernah menakrifkan, apalagi mengklaim,
kebenaran. Saya percaya pada apa yang ditulis wartawan hebat Amerika
Serikat Bill Kovachyang oleh profesor di Universitas Harvard, Thomas E.
Patterson, disebut memiliki karier panjang dan terhormat sebagai
wartawandalam bukunya The Elements of Journalism:
Kebenaran adalah sebuah konsep yang paling membingungkan dalam
dunia jurnalisme.
Lukisan La Vrit Truth karya Jules Joseph Lefebvre (sumber gambar:
wikipedia.org)
Kebenaran jurnalisme dibentuk sedikit demi sedikit. Kovach mencontohkan
kasus Abner Louima, imigran Haiti yang tertangkap karena mengacau di
luar sebuah klub malam di Brooklyn, 1997. Cerita ini pertama kali terlihat
sebagai berita polisi yang singkat. Tiga hari kemudian penulis kolom Daily
News mewawancarai Louima di rumah sakit. Louima membeberkan bahwa
polisi dengan brutal menyodominya dengan pegangan torak pompa toilet.
Akibatnya, dua polisi yang terlibat dalam penangkapan Louima dicopot.
Kemudian, dalam wawancara kedua, Louima tanpa bukti yang kuat
menyebut apa yang dikatakan polisi yang menangkapnya: Ini adalah
masa Guliani [merujuk pada Walikota Rudolph Guliani, seorang Amerika
keturunan Itali]. Ini bukan masa Dinkins [merujuk pada mantan Walikota
Atau,apakah logika telah bisa menjawab semua problem keilmuankebenaran yang bersifat kompleks yang telah manusia temukan dalam
kehidupannya, dan apakah dengan logika semata manusia bisa
mewujudkan bentuk bangun kebenaran tunggal sebagaimana yang
menjadi keniscayaan bagi hukum hukum logika dasar dan sebagaimana di
dambakan oleh para pencari kebenaran sejati ?
Dalam ranah filsafat sudah terbiasa bila hasil berlogika yang satu
menyangkal atau bahkan meruntuhkan hasil berlogika yang lain.kasuspermasalahan yang terjadi di dunia filsafat ini membuat kebenaran
didalamnya menjadi nampak banyak dan bersifat relative-bergantung
pada isi kepala yang berbeda beda-bergantung dari sudut pandang mana
manusia ingin melihatnya sehingga sulit mencari bentuk kebenaran
tunggal yang bersifat mutlak-hakiki dalam ranah filsafat.dan mengapa
disana kebenaran seperti bisa saling meruntuhkan satu sama lain ..
karena dalam ranah filsafat semua kebenaran yang diungkapkan pada
akhirnya akan nampak datar dan sederajat - tak ada bentuk atau yang
berposisi sebagai kebenaran tertinggi yang berfungsi sebagai hakim yang
bisa memilah secara keseluruhan mana yang hakikatnya benar dan mana
yang hakikatnya salah
Inilah masalah keilmuan yang bersifat mendasar dalam ranah logika yang
membuat manusia lalu mencari cari jalan untuk mencari bentuk
kebenaran tunggal - yang bersifat hakiki - kebenaran tertinggi yang
berfungsi sebagai hakim tunggal yang bersifat universal-menyeluruh
untuk menghakimi seluruh bentuk kebenaran yang dinyatakan manusia
dan menetapkan mana yang sebenarnya hakikatnya benar dan mana
yang hakikatnya salah
Kembali ke contoh kasus dalam dunia filsafat diatas (yang juga terjadi
secara umum),lalu bila demikian, apakah harus ada banyak kebenaran di
dunia ini yang dinyatakan secara berbeda beda oleh tiap individugolongan manusia yang bahkan satu sama lain bisa saling berlawanan
(?) .. sedang menurut hukum dasar logika non kontradiksi : dua hal yang
essensinya berlawanan mustahil keduanya pada saat bersamaan dan
dalam situasi sama harus dianggap sama benar.jadi menurut hukum dasar
logika yang benar itu hakikatnya harus ada satu demikian pula yang salah
walau jenis pernyataannya bisa saja berbeda beda
Sebagai contoh,bila ada dua pernyataan yang berbeda misal yang satu
menyatakan api itu panas dan yang lain menyatakan api itu dingin
maka menurut hukum dasar logika keduanya tak bisa dinyatakan sama
benar.nah bagaimana mencari yang sebenar benarnya benar dari
berbagai bentuk kebenaran yang dinyatakan secara berbeda beda..lalu
bagaimana membuat atau menentukan parameter-alat ukur nya untuk
menentukan mana yang hakikatnya benar dan mana yang hakikatnya
salah (?) .. untuk mencari yang hakikatnya benar itu manusia harus
mengacu kepada yang satu-yang kebenarannya bersifat mutlak. inilah
landasan keniscayaan adanya konsep kebenaran tunggal
Atau lebih jelasnya lagi : menurut hukum hukum logika dasar,apakah itu
hukum identitas, hukum tidak ada jalan tengah serta hukum non
kontradiksi semua akan mengarahkan kepada satu postulat dasar bahwa
kebenaran itu essensinya satu,tidak ada kebenaran yang didalamnya
memiliki dua essensi yang satu sama lain saling berlawanan dimana
keduanya akan berposisi saling melenyapkan satu sama lain. sehingga di
dunia ini bisa tegak sebuah kebenaran karena ia ber essensi tunggal-tak
ada yang sederajat yang bisa meruntuhkannya. walau yang tunggal itu
bisa dinyatakan dalam berbagai bentuk-jenis- ragam-ungkapan-bahasa
yang berbeda beda.sebagai contoh : bila saya mengatakan api memberi
kehangatan atau api asmara bukan berarti semua pernyataan
melenyapkan essensi api yang adalah panas tetapi melihat api dengan
cara lain,beda dengan bila saya mengatakan api itu dingin maka
pernyataan itu akan melawan essensinya.contoh lain, Tuhan itu
essensinya tunggal tetapi orang orang dari berbagai golongan berbeda
menyebutnya dengan berbagai nama yang berbeda;Alloh-Allah,-Yehova
tetapi itu tak mengubah essensiNya.tetapi bila ada yang menyatakan
bahwa Tuhan itu banyak maka itu berlawanan dengan essensi bahwa
Tuhan itu adalah harus satu
Hukum tidak ada jalan tengah menunjukkan bahwa tak ada jalan
tengah yang bisa merubah essensi sesuatu,tak ada jalan tengah antara
benar dengan salah yang bisa membuat kedudukan benar bisa berubah
menjadi salah dan salah bisa berubah menjadi benar,tak ada jalan
tengah antara lelaki dengan wanita,jantan dengan betina.tak adanya
jalan tengah itu membuat masing masing tetap pada essensinya sendiri
sendiri
Dengan kata lain mengacu kepada hukum hukum logika dasar itu maka
kebenaran mutlak-absolut yang beresseni tunggal itu mesti ada,dan
hukum dasar itu harus diberlakukan ketika kita berhadapan dengan
problem kebenaran yang bersifat kompleks - menyeluruh termasuk ketika
kita membahas masalah yang bersifat metafisik yang menyangkut Tuhan agama.dengan kata lain hukum dasar logika ini meniscayakan adanya
bentuk kebenaran hakiki-tunggal yang tentu harus selalu dicari
Sehingga bila anda masuk ke atau berada di ranah logika anda bisa
berada di dunia keragaman-pluralitas,tetapi bagi sang pencari kebenaran
sejati-yang sebenarnya-hakiki itu bukan keadaan yang mereka kehendaki
sebab yang mereka cari tentu bukan kebenaran yang banyak tapi bersifat
relative-temporer-spekulatif-tak pasti tapi bentuk bentuk kebenaran
tunggal yang pasti-hakiki
Tidakkah anda mulai berfikir bahwa manusia itu bisa sama persis dengan
para murid yang memberi jawaban yang berbeda beda terhadap
persoalan yang hakikatnya sama sehingga memerlukan kebenaran
tunggal-yang hakiki untuk mengadili mana yang hakikatnya benar dan
mana yang hakikatnya salah.masalahnya tentu apa - siapa - institusi mana
yang memiliki nya,apakah filsafat-sains misal, bisa membuat konsep
kebenaran tunggal yang bersifat hakiki untuk di posisikan sebagai hakim
tunggal yang bisa menghakimi keseluruhan (?)
Atau dari uraian singkat diatas anda telah memiliki gambaran tentang
bagaimana manusia memerlukan parameter yang satu - bentuk
kebenaran tunggal sebagai alat ukur untuk menilai semua keragaman
yang ada - yang berbeda beda,yang sudah tak bisa dihadapi dengan
parameter yang ada dalam atau yang diberikan baik oleh sains maupun
filsafat.contoh untuk masalah ini,bila manusia berhadapan dengan agamakepercayaan yang berbeda beda maka mereka akan bertanya mana yang
hakikatnya benar (?) .. maka fungsi ilmu hakikat adalah menuntun
manusia ke arah menemukan parameter tunggal yang bersifat hakiki itu.
Hanya Ada Satu Kebenaran
Sabtu, 21 September 2013 11:37:51 WIB
Kategori : Aktual
HANYA ADA SATU KEBENARAN (MENCARI KEBENARAN DALAM MASALAH
KHILAFIYAH YANG KONTRADIKTIF)
Oleh
Ustadz Fariq Qasim Anuz
Permasalahan ini penting untuk diketahui oleh setiap muslim, lebih-lebih
mereka yang berkiprah di bidang dakwah. Sebenarnya, pembahasan ini
memuat suatu kaidah yang sangat dikenal oleh ulama salaf, tetapi
menjadi asing di masa sekarang ini.
Kaidah itu berbunyi : Kebenaran itu satu. Kaidah ini berlaku dalam
masalah-masalah ijtihadiyah yang diperselisihkan oleh ulama ahlus
sunnah wal jamaah.
Diharapkan risalah ini dapat menjadikan kita untuk mudah rujuk kepada
kebenaran dalam masalah khilafiyah ijtihadiyah dan membuang sikap
taklid buta serta tidak tabu untuk membicarakan masalah khilafiyah.
Kedua diharapkan dari risalah ini agar kita toleran dengan saudarasaudara kita yang mempunyai pendapat yang berbeda selama perbedaan
ini dalam hal ijtihadiyah bukan perbedaan aqidah atau yang bersifat
prinsip. Agar kita toleran dengan saudara-saudara kita yang mempunyai
pendapat berbeda selama kita semua tidak mengikuti hawa nafsu dan
sudah optimal berusaha untuk mencapai kepada kebenaran.
PERMASALAHAN IKHTILAF/ KHILAFIYAH
Perlu diketahui bahwa yang saya maksud dengan ikhtilaf di sini adalah
ikhtilaf tadladl, yaitu perbedaan pendapat yang saling menafikan
(bertentangan). Di dalam ikhtilaf seperti ini yang benar hanya satu.
Ada juga macam ikhtilaf yang lain, yaitu ikhtilaf tanawwu. Di dalam
ikhtilaf tanawwu semua pendapat benar, seperti :
1. Dua perkara atau perbuatan yang disyariatkan, seperti macam-macam
doa iftitah, bacaan sujud dan lainnya. Untuk bentuk seperti ini kadangkadang salah satunya ada yang lebih utama.
2. Dua lafadz yang berbeda tetapi mempunyai makna yang sama atau
mendekati. Contoh surat Al-Fatihah disebut juga dengan Ummul Kitab,
aqiqah sama dengan nasikah. Kata qadladalam firman Allah:
"Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah
selain Dia [al-Isra/17 : 23]
Ibnu Abbas berkata qadla berarti memerintahkan , Mujahid
mengatakan mewasiatkan , Rabi bin Anas mengatakan mewajibkan .
Kata-kata memerintahkan , mewasiatkan dan mewajibkan
mempunyai makna yang hampir sama.
3. Dua lafazh dengan makna berbeda, tetapi tidak saling menafikan
bahkan saling melengkapi atau mencakup semua di dalamnya. Contoh
kata an naiim dalam firman Allah :
"Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan
(yang kamu megah-megahkan di dunia itu)." [at-Takatsur/102 : 8]
Sebagian ahli tafsir mengatakan an naiim bermakna keamanan,
kesehatan, kecukupan dalam makanan dan minuman. Sebagian
mengatakan ringannya syariat dan sebagian lagi mengatakan nikmat
pendengaran dan penglihatan.
Dari sini jelas bahwa ikhtilaf tanawwu semuanya benar.
"Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantahbantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang
kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang
yang sabar" [al-Anfal/8 : 46]
Begitu pula Rasulullah shallallahu alaihi wasallam amat membenci
perselisihan. Apabila beliau mendengar ada di antara sahabatnya yang
berselisih, maka beliau marah dan segera menyelesaikannya sehingga
mereka kembali sadar akan kekeliruannya, lalu berdamai dan bersatu
dalam kebenaran.
Meskipun Allah menghendaki agar kita tidak berselisih (iradah syariyah)
tetapi Allah juga menghendaki (iradah kauniyah) sesuai dengan hikmahNya bahwa perselisihan itu akan selalu ada dan tidak bisa dihilangkan.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang
satu, tetapi mereka Senantiasa berselisih pendapat, Kecuali orang-orang
yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. dan untuk Itulah Allah menciptakan
mereka. kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan:
Sesungguhnya aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan
manusia (yang durhaka) semuanya". [Hud/11 : 118-119]
Memang di antara perselisihan antara ulama ada hal-hal yang sudah
dipastikan mana yang benar dan mana yang salah. Tetapi banyak sekali di
antara perselisihan tersebut terjadi dalam perkara-perkara ijtihadiyah
yang dapat diupayakan kesepakatan. Sudahkah kita berusaha semaksimal
mungkin untuk mencari kata sepakat ? Sudahkah kita berusaha
menghilangkan kebodohan dari masyarakat kita berupa taashub atau
fanatik, baik fanatik hizbi (kelompok) ataupun madzhab, juga kultus
individu ? Ataukah kita pura-pura bodoh akan kebenaran yang ada di
depan mata kita lalu menolaknya karena mengikuti hawa nafsu atau
berdalih dengan ucapan, Kebenaran itu banyak !
IJTIHAD SEORANG ULAMA MUNGKIN BENAR DAN MUNGKIN SALAH
Siapa saja yang mengakui bahwa semua pendapat para ulama mujtahid
dalam suatu masalah adalah benar dan setiap mujtahid itu benar, maka
berarti dia telah mengucapkan kaidah yang tidak memiliki dalil, baik dari
Al-Quran, As-Sunnah atau ijma para sahabat serta tidak dapat diterima
oleh akal sehat.
Rasulullah shallalahu alaihi wasallam bersabda : Apabila seorang hakim
memberi keputusan, lalu ia berijtihad, kemudian ia benar maka baginya
dua pahala, dan jika ia memberi keputusan, lalu ia berijtihad kemudian
salah, maka baginya satu pahala. [HR. Bukhari dan Muslim]
Syaikhul Islam menjelaskan bahwa tidaklah setiap orang yang berijtihad
dapat mencapai kebenaran. Tetapi selama ia berdalil dan bertaqwa
kepada Allah sesuai dengan kesanggupannya, maka itulah yang Allah
bebankan kepadanya. Allah tidak akan menghulumnya apabila ia salah.
Ancaman dan hukuman itu baru berlaku bagi orang yang meninggalkan
perintah dan melanggar larangan setelah tegak hujjah kepadanya [2].
Ijtihad yang salah ini tidak boleh diikuti apabila kita mengetahui mana
yang benar dan mana yang salah[3]. Karena kita dituntut untuk mengikuti
dalil, bukan mengikuti manusia.
Syaikhul Islam rahimahullah berkata, Tidak boleh bagi seseorang untuk
berhujjah dengan ucapan seseorang dalam masalah perselisihan, karena
sesungguhnya hujjah adalah nash dan ijma serta dalil yang diambil
istimbathnya dari hal tersebut. Pengutamaannya ditentukan dengan dalildalil syariat, bukan dengan sebagian ucapan ulama. Karena
sesungguhnya ucapan para ulama itu baru menjadi hujjah disebabkan
adanya dalil-dalil syariat. Ucapan para ulama tersebut tidak dapat
mengalahkan dalil-dalil syariat.[4]
Perlu diingat bahwa kita wajib menghormati dan mencintai para ulama [5]
meskipun ijtihad mereka ada yang salah, atau di antara ijtihad mereka ada
yang kita yakini sebagai perbuatan bidah (setelah diadakan penelitian
berdasarkan kaidah-kaidah ilmiyyah dan kriteria-kriteria secara ilmu
ushul). Tetapi tidak boleh kita menuduhnya sebagai ahli bidah kecuali
setelah jelas bagi kita bahwa hujjah telah ditegakkan atas mereka dan
mereka tetap megikuti hawa nafsunya.
Syaikh Ali Hasan berkata, Sedangkan orang yang melakukan bidah, bisa
jadi dia seorang mujtahid -sebagaimana telah dibicarakan-, maka orang
yang berijtihad seperti ini, meskipun salah tidak bisa dikatakan sebagai
ahli bidah. Sebaliknya bisa jadi ia jahil (bodoh). Maka ia tidak bisa
dikatakan ahli bidah karena kejahilannya. Meskipun demikian ia tetap
berdosa dikarenakan kesalahan dia meninggalkan kewajiban menuntut
ilmu, kecuali apabila Allah menghendaki. Dan bisa jadi juga ada sebabsebab lain yang menghalangi seseorang yang melakukan bidah untuk
dikatakan sebagai ahli bidah. Berbeda dengan orang yang terus menerus
melakukan bidahnya setelah nampak kebenaran olehnya, karena
mengikuti nenek moyang, dan adat istiadatnya. Maka orang seperti ini
Dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran
baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami
biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu [7] dan
Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk
tempat kembali [an-Nisa/4 : 115]
KEBENARAN ITU SATU
Berikut ini akan saya nukilkan tulisan dari para ulama dahulu dan
sekarang. Semoga Allah memberi manfaat bagi kita semua.
Ibnul Qasim berkata, Saya telah mendengar dari Malik dan Laits tentang
perselisihan para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, tidaklah
seperti yang dikatakan orang-orang, Dalam perselisihan tersebut terdapat
kelapangan. Tidak demikian yang ada adalah salah dan benar. [8]
Asyhab ,mengatakan bahwa Malik pernah ditanya tentang orang yang
mengambil sebuah hadist dari seorang yang tsiqat (terpercaya) dan orang
itu mendapatkannya dari sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam,
Apakah engkau berpendapat bahwa dalam perselisihan terdapat
kelapangan ? Imam Malik menjawab, Tidak demi Allah, sampai ia
mendapatkan bahwa kebenaran itu satu. Adakah dua perkataan yang
bertentangan keduanya benar ? yang hak dan yang benar itu hanya ada
satu. [9]
Imam Al Muzani, sahabat Imam Syafii berkata : Para sahabat Rasulullah
Shallallahu alaihi wasallam telah berselisih. Lalu sebagian mereka
menyalahkan yang lain dan mereka saling memperhatikan tiap perkataan
di antara mereka dan mengomentarinya. Jika sekiranya mereka
berpendapat semua perkataan mereka itu benar, tentu mereka tidak akan
melakukan demikian. Pernah Umar bin Khathab marah karena terjadi
perselisihan antara Ubay bin Kaab dengan Ibnu Masud mengenai hukum
salat dengan satu pakaian. Ubay mengatakan bahwa salat dengan satu
pakaian itu baik dan indah. Sedangkan Ibnu Masud megatakan bahwa hal
itu dilakukan karena sedikit pakaian. Kemudian Umar keluar dengan
marah dan berkata, Dua orang sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi
wasallam telah berselisih, yaitu diantara orang-orang yang
memperhatikan Rasul dan mengambil pendapat beliau. Ubay benar dan
Ibnu Masud tidak kurang (berusaha). Akan tetapi aku tidak mau
mendengar setelah ini ada orang-orang yang berselisih tentang hal itu.
Jika masih ada tentu aku akan melakukan ini dan itu. [10]
Imam Al Muzani mengatakan lagi : Katakanlah kepada orang-orang yang
membolehkan perselisihan dan berpendapat mengenai dua orang alim
yang berijtihad dalam suatu masalah. Salah seorang di antara mereka
menyatakan halal dan yang lainnya menyatakan haram. Dikatakan bahwa
ijtihad keduanya benar semua, Apakah engkau mengatakan ini dengan
dasar ushul (pokok) atau qiyas ? Apabila ia mengatakan dengan dasar
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),
dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat
tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya" [an Nisa/4 : 59]
Imam As Syatibi setelah menukil ringkasan ucapan Al Khathabi dalam
bukunya Al Muwafaqat 4/14 kenudian beliau mengomentarinya, Orang
yang berkata tadi telah mengikuti syahwatnya dan menjadikan pendapat
yang sesuai ( dengan dirinya ) sebagai hujjah. Dia telah mengambil
pendapat tadi sebagai jalan untuk mengikuti hawa nafsunya, bukan jalan
menuju taqwanya. Yang demikian itu jauh sekali untuk dikatakan
hal ini telah diperintahkan oleh imam-imam mereka sendiri semoga Allah
meridhai mereka. Bahkan mereka berpendapat bahwa madzhab-madzhab
imam radliallahu anhum tersebut sebagai syariat-syariat yang
bermacam-macam. Mereka mengatakan demikian, padahal mereka tahu
bahwa pertentangan dan kontradiksi itu tidak mungkin dipadukan kecuali
dengan menolak sebagian yang bertentangan dengan dalil dan menerima
yang lain sesuai dengan dalil. Tetapi hal ini tidak mereka lakukan! Dengan
ini mereka telah menisbatkan kepada syariat akan adanya kontradiksi. Ini
merupakan bukti satu-satunya bahwa pertentangan bukanlah dari Allah
Subhanahu wa Taala apabila mereka memperhatikan firman Allah :
"Maka Apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? kalau kiranya Al
Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan
yang banyak di dalamnya" [an Nisa/4 : 82]
Ayat di atas menyatakan dengan tegas bahwa pertentangan bukan dari
Allah. Maka tidaklah benar menjadikan pertentangan sebagai syariat yang
diikuti atau rahmat yang turun.
Disebabkan hadist (yang tidak ada asalnya) ini dan yang lainnya,
kebanyakan kaum muslimin setelah imam yang empat terus menerus
sampai hari ini bertentangan dalam banyak masalah, baik masalah aqidah
maupun muamalah. Seandainya mereka menganggap bahwa
pertentangan itu buruk, -sebagaimana ucapan Ibnu Masud [16] dan
selainnya radliallahu anhum dan begitu juga banyak terdapat dalam Al
Quran dan hadist-hadist nabi Shallallahu alaihi wasallam yang
menunjukkan betapa buruknya pertentangan itu tentu mereka akan
bersegera untuk mencapai kata sepakat. Hal ini mungkin terjadi dalam
banyak permasalahan karena Allah Subhanahu wa Taala telah
menjelaskan berupa dalil-dalil untuk mengetahui mana yang benar dan
mana yang salah, mana yang haq dan mana yang batil. Setelah itu baru
bertoleransi sebagian terhadap yang lainnya dalam hal-hal yang masih
diperselisihkan. ( maksudnya : setelah berusaha semaksimal mungkin
untuk mendapatkan kebenaran dan tidak didapat kepastian pendapat
mana yang benar dalam masalah-masalah yang diperselisihkan.
Sedangkan ucapan yang sebagian mereka lontarkan secara mutlak, kami
bekerjasama dalam hal yang kami sepakati dan saling bertoleransi dalam
hal yang kami perselisihkan. Maka ini adalah kesalahan yang nyata
sekali. [17]
Akan tetapi untuk apa berusaha mencari kata sepakat kalau mereka
berpendapat ikhtilaf itu rahmat dan madzhab yang berbeda-beda itu
sebagai syariat yang bermacam-macam ? dan kesimpulannya:
Sesungguhnya ikhtilaf itu tercela dalam syariat. Maka wajib berusaha
untuk menuntaskan darinya sebisa mungkin, dikarenakan pertentangan
itu merupakan salah satu sebab kelemahan ummat. Allah berfirman:
"Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantahbantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang
ini. Ilmu itu adalah yang ada padanya ucapan haddatsana sedangkan
selain itu merupakan bisikan syaithan.
Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah berkata dalam kitab Ilamul
Muwaqqiin, Ilmu itu adalah firman Allah, sabda Rasulullah Shallallahu
alaihi wasallam dan Ucapan para sahabat.
Imam Al Auzai rahimahullah (wafat 158H) berkata : Haruslah engkau
mengikuti jejak orang-orang salaf meskipun manusia menentangmu. Dan
hati-hatilah engkau dari pemikiran-pemikiran manusia meskipun mereka
menghiasinya dengan kata-kata yang manis kepadamu.[26]. Syaikh Ali
Hasan mengatakan, Dengan sanad yang shahih [27]
Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam muqaddimah tafsirnya, Maka
yang semestinya dilakukan dalam menceritakan perbedaan pendapat,
yaitu engkau menguasai pendapat-pendapat yang ada. Lalu engkau
sebutkan yang benar dan engkau salahkan yang salah. Lalu engkau
sebutkan faedah khilaf dan buahnya agar perselisihan dan perbedaan
pendapat itu tidak berkepanjangan dalam hal-hal yang tidak bermanfaat,
sehingga engkau sibuk dengan hal tadi dan menyebabkan
terbengkalainya mana yang lebih penting dari yang penting. Sedangkan
orang-orang yang menceritakan perbedaan pendapat dalam satu masalah
padahal ia belum menguasai pendapat-pendapat ulama yang ada, maka
hal itu kurang, karena boleh jadi pendapat yang nanti ia tinggalkan adalah
pendapat yang benar. Atau seseorang yang hanya menceritakan
perbedaan pendapat yang ada, kemudian dibiarkannya saja tanpa
menyebutkan mana yang benar, maka hal itu pun kurang. Begitu pula
orang yang membenarkan pendapat yang salah dengan sengaja, berarti ia
telah berdusta. Apabila hal itu dilakukan dengan tidak sengaja yaitu
karena kejahilan maka dia telah berbuat kesalahan.[28]
Untuk dapat memiliki ilmu yang dalam haruslah sabar karena dibutuhkan
ilmu yang dalam haruslah sabar karena dibutuhkan waktu yang lama.
Imam Syafii rahimahullah berkata : "Saudaraku, engkau akan tidak
memperoleh ilmu kecuali memiliki enam perkara. Saya akan beritahu
kepadamu keenamnya dengan jelas, yaitu : kecerdasan, perhatian,
kesungguhan dan kecukupan (materi) dan didampingi oleh guru sera
menempuh waktu yang lama".
Ketiga : Mengendalikan hawa nafsu agar tunduk kepada kebenaran
Hal ini sangat sulit, terlebih bagi jiwa manusia yang selalu mengajak
kepada keburukan. Maka Allah Subhanahu wa Taala menjanjikan surga
bagi orang yang takut kepada-Nya dan menahan hawa nafsunya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Dan Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan
menahan diri dari keinginan hawa nafsuny. Maka Sesungguhnya syurgalah
tempat tinggal(nya)". [an Naziat/79 : 40-41]
Ya Allah, tunjukkanlah kepada kami bahwa yang benar itu benar dan
berilah kami kemampuan untuk mengikutinya. Dan tunjukkanlah kepada
kami bahwa yang bathil itu bathil dan berilah kami kemampuan untuk
menjauhinya.
Semoga shalawat dan salam senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi
Muhammad Shallallahu alaihi wasallam , keluarga dan para sahabatnya.
Amin.
HANYA SATU JALAN KEBENARAN
Oleh : Abu Muhammad Abdul Muthi Al-Maidani
Islam adalah agama universal yang mencakup seluruh ajaran kebaikan.
Mulai dari keyakinan, ucapan maupun perbuatan diterangkan secara
lengkap dalam Islam. Keterangannya baik secara glob
al atau rinci terpampang dengan jelas dan gamblang. Itulah jalan-jalan
keselamatan yang bisa ditempuh oleh para pemeluk agama ini. Jalanjalan yang bisa menghantarkan pelintasnya ke jannah Allah k dan
menyelamatkannya dari adzab neraka. Allah k berfirman:
.
Sungguh telah datang kepada kalian cahaya dari Allah dan kitab yang
menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang
mengikuti keridhaan-Nya ke jalan-jalan keselamatan dan Allah
mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya dengan seizin-Nya
serta menunjuki mereka ke jalan yang lurus. (Al-Ma`idah: 15-16)
Jalan keselamatan boleh berbilang namun kebenaran tetap hanya satu.
Karena setiap jalan keselamatan adalah bagian dari kebenaran yang satu.
Sehingga sebuah jalan tidak dihukumi sebagai jalan keselamatan kecuali
bila nilai kebenaran menjadi muatannya. Jika terjadi perselisihan dan
pertikaian mengenai sebuah jalan keselamatan maka kebenaran itu tetap
berjumlah satu. Kebenaran berada pada salah satu pendapat yang
dipegang oleh salah satu pihak. Tentunya tolak ukur kebenaran itu adalah
Al Qur`an dan As Sunnah dengan pemahaman Salaf. Allah k berfirman:
Kebenaran itu adalah dari Rabbmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu
termasuk orang-orang yang ragu. (Al-Baqarah: 147)
Kemudian Allah k berfirman:
Dan barang siapa menentang Rasul sesudah jelas baginya petunjuk, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin (shahabat g), Kami
biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami
masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat
kembali. (An-Nisa`: 115)
Lalu Allah k berfirman:
Maka tidak ada sesudah kebenaran itu melainkan kesesatan. (Yunus: 32)
Al-Imam Al-Qurthubi t berkata: Ayat ini menetapkan bahwa tidak ada
kedudukan ketiga antara al-haq dan al-bathil dalam permasalahan
mentauhidkan Allah k. Maka demikian pula perkaranya dalam
permasalahan-permasalahan yang setara. Yaitu dalam permasalahanpermasalahan ushul (prinsip), kebenaran berada pada salah satu pihak.
Barangkali ada yang mengatakan: Sesungguhnya dzahir ayat ini
menunjukkan bahwa yang selain (mentauhidkan) Allah adalah kesesatan.
Karena permulaan ayat berbunyi:
Maka (Dzat yang demikian) itulah Allah Rabb kalian yang sebenarnya;
sehingga tidak ada sesudah kebenaran itu melainkan kesesatan. (Yunus:
32)
Lalu kenapa memperluas pendalilan ini (yakni menggunakan ayat ini
untuk mengingkari bentuk kesesatan selain kesyirikan -ed)?
Jawabannya: Sesungguhnya para pendahulu kita yang baik telah berdalil
dengan keumuman ayat ini terhadap segala kebatilan. Oleh karena itu AlImam Malik t berdalil dengannya dalam mengharamkan permainan catur
sebagaimana pada riwayat Asyhab. Bentuk (pendalilan) itu sebagai
berikut: bahwa kekafiran adalah sesuatu yang menutupi al-haq. Maka
semua yang selain kebenaran berjalan di atas jalur ini. (Tafsir Al-Qurthubi,
8/336)
Dalam setiap pertikaian dan perselisihan, kebenaran hanya satu
sedangkan yang selainnya adalah keliru. Bahkan tak jarang mengandung
kebatilan dan kesesatan. Inilah sebab Allah k melarang setiap perselisihan
dan pertikaian. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah t pernah menerangkan: Ayatayat yang melarang setiap perselisihan dalam agama mengandung celaan
terhadapnya. Seluruhnya mempersaksikan dengan nyata bahwa al-haq di
sisi Allah k hanya satu, sedangkan yang selainnya merupakan kesalahan.
Kalau seandainya semua pendapat itu adalah benar, niscaya Allah k dan
Rasul-Nya tidak akan melarang dari kebenaran dan tidak pula akan
mencelanya. Sungguh Allah k telah mengabarkan bahwa perselisihan
bukan dari sisi-Nya. Yang bukan dari sisi Allah k tidak dianggap sebagai
kebenaran. Allah k berfirman:
Kalau kiranya Al Qur`an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka
mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya. (An-Nisa`: 82)
(Mukhtashar Ash-Shawaiqil Mursalah, hal. 594)
Dalil-dalil tentang Kebenaran Hanya Satu
Cukup banyak dalil akurat dari Al Qur`an, As Sunnah dan amalan shahabat
yang menunjukkan bahwa kebenaran dalam setiap permasalahan yang
diperselisihkan hanya satu. Adapun yang selainnya merupakan kesalahan.
Di antara dalil-dalil tersebut:
1. Allah k berfirman:
Dan bahwa ini adalah jalan-Ku yang lurus. Maka ikutilah dia dan
janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain. Karena jalan-jalan itu
mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian itu Allah wasiatkan
pada kalian agar kalian bertakwa. (Al-Anam: 153)
Ibnu Katsir t -ketika menafsirkan ayat ini- berkata: Firman Allah k:
Ikutilah (jalan-Ku) dan jangan kalian mengikuti jalan-jalan yang lain.
(Di sini) sungguh Allah k menyebutkan tentang jalan-Nya dengan bentuk
kata tunggal karena kebenaran itu hanya satu. Oleh sebab itu, Allah
menyebutkan tentang jalan-jalan yang lain dengan bentuk kata jamak
(banyak). Karena jalan-jalan yang lain terpisah-pisah dan bercabangcabang. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/256)
2. Allah k berfirman:
.
Dan (ingatlah kisah) Dawud dan Sulaiman di waktu keduanya
memberikan keputusan mengenai tanaman. Karena tanaman itu dirusak
oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan Kami menyaksikan
keputusan yang diberikan oleh mereka itu. Maka Kami telah memberikan
:
Sesungguhnya Bani Israil telah berpecah menjadi tujuh puluh dua
golongan dan akan berpecah umatku menjadi tujuh puluh tiga golongan.
Mereka seluruhnya berada dalam api neraka kecuali golongan yang satu.
Para shahabat bertanya: Siapa golongan itu, wahai Rasulullah? Beliau
menjawab: (Dia adalah golongan yang memegang) ajaranku dan (faham)
shahabatku pada hari ini. (HR. At-Tirmidzi dan selainnya dari Abdullah bin
Amr ibnul Ash c)
Dalam sanad hadits ini terdapat Abdurrahman bin Ziyad Al-Ifriqi. Dia
seorang yang dhaif. Tetapi hadits ini dikuatkan oleh banyak hadits lain
yang semakna. Hadits-hadits tersebut diriwayatkan dari beberapa orang
shahabat, antara lain:
1. Abu Hurairah
2. Muawiyah bin Abi Sufyan
3. Anas bin Malik
4. Auf bin Malik
5. Ibnu Masud
6. Abu Umamah
7. Ali bin Abi Thalib
8. Saad bin Abi Waqqash
Semoga Allah k meridhai mereka semua.
Al-Imam Syathibi t memaparkan: Sabda beliau n Kecuali golongan yang
satu, secara nash memberikan penjelasan bahwa kebenaran hanya satu
dan tidak beraneka ragam. Sebab jika seandainya kebenaran menjadi
milik berbagai pihak niscaya beliau tidak akan mengatakan Kecuali
golongan yang satu. (Al-Itisham, 2/755)
5. Al-Imam Al-Muzani t berkata:
Para shahabat Rasulullah n telah berbeda pendapat. Sebagian mereka
menyalahkan yang lainnya. (Sebagian mereka) melihat kepada pendapatpendapat yang lain lalu mengomentarinya. Jika mereka berpandangan
bahwa seluruh pendapat mereka (ketika berselisih) adalah benar, niscaya
mereka tidak akan melakukan yang demikian.
Umar bin Al-Khaththab z pernah marah karena perselisihan Ubay bin Kab
z dengan Abdullah bin Masud z mengenai hukum shalat mengenakan
sehelai pakaian. Saat itu Ubay berkata: Sesungguhnya shalat dengan
mengenakan sehelai pakaian merupakan perkara yang baik lagi bagus.
Ibnu Masud berkata: Sungguh yang demikian itu (dibolehkan) bila jumlah
pakaiannya sedikit. Maka Umar keluar dalam keadaan marah dan
berkata: Dua orang shahabat Rasulullah n yang dipandang dan diambil
pendapatnya telah berselisih. Ubay telah benar dan Ibnu Masud tidak
lalai. Akan tetapi tidaklah aku mendengar seorang pun berselisih
mengenainya setelah (aku meninggalkan) tempatku ini melainkan aku
akan memperlakukannya demikian dan demikian. (Jami Bayanil Ilmi wa
Fadhlihi, 2/83-84)
Tidak Setiap Mujtahid Benar
Dalil-dalil di atas dengan tegas mematahkan kesesatan sebagian muslimin
yang berpandangan bahwa setiap mujtahid benar. Sebab pernyataan ini
adalah madzhab Mutazilah negeri Bashrah. Merekalah sumber dari
kebidahan ini. Mereka berpendapat demikian karena tidak paham tentang
makna-makna dan metode-metode fiqih yang mengantarkan kepada
kebenaran serta memisahkan dari kerancuan-kerancuan yang batil. (AlBahru Al-Muhith karya Az-Zarkasyi, 6/243)
Tidak ada seorang pun dari para ulama sunnah dan imam-imam Islam
yang menyuarakan bahwa setiap mujtahid benar. Adapun penisbahannya
kepada Al-Imam Asy-Syafii dan Al-Imam Malik merupakan isapan jempol
dan tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. (Al-Bahru Al-Muhith,
6/242 dan Shifatush-shalah karya Al-Albani hal.63-64)
Al-Imam Malik t berkata: Tidaklah (ada) kebenaran melainkan hanya satu.
(Mungkinkah -ed) dua pendapat yang saling bertentangan keduanya
benar? Tidaklah al-haq dan kebenaran melainkan hanya satu. (Jami
Bayanil Ilmi wa Fadhlihi, 2/82, 88, 89)
Hal yang hampir senada diucapkan pula oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah t (Majmu Al-Fatawa, 33/42), Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah t
(Mukhtashar Ash-Shawaiqil Mursalah, hal. 594), Ibnu Abdil Barr t (Jami
Bayanil Ilmi wa Fadhlihi, 2/88), dan para ulama yang lainnya.
Perselisihan Bukan Argumen untuk Mentolerir Suatu Pendapat
Berargumen dengan perselisihan dan perbedaan pendapat untuk
melegitimasi suatu pemikiran (dari tokoh tertentu) atau madzhab sebagai
sebuah kebenaran merupakan perkara yang tidak benar. Sikap ini tidak
(Jika demikian) sungguh aku sangat berani. Akan tetapi aku
mendengarnya dari Rasulullah n tidak hanya sekali, dua dan tiga kali.
Lalu beliau menyebutkan hitungan bilangannya berulang kali. (HR. Ahmad,
dengan sanad yang jayyid menurut penilaian Asy-Syaikh Muqbil t, lihat AlJamiush Shahih, 1/199-201)
2. Dari Abu Shalih, ia berkata: Aku mendengar Abu Said Al-Khudri z
mengatakan:
Tidak ada riba kecuali (riba) an-nasi`ah. (HR. Al-Bukhari no. 2178 dan
Muslim no. 1596)
3. Ibnu Abi Hatim meriwayatkan di dalam Manaqib Asy-Syafii (86-87): AlImam Ahmad pernah bertanya kepada Al-Imam As-Syafii rahimahumallah:
Apa pendapatmu tentang masalah yang demikian dan demikian? Lalu AlImam Asy-Syafii menjawab masalahnya. Al-Imam Ahmad berkata: Dari
mana engkau mengatakan itu? Apakah terdapat padanya sebuah hadits
atau ayat Al Qur`an? Al-Imam Asy-Syafii menjawab: Ya. Lantas beliau
mengutarakan sebuah hadits Nabi n mengenai masalah tersebut. (Zajrul
Mutahawin karya Hamd bin Ibrahim hal. 69)
Demikianlah tuntunan dari pendahulu kita yang baik. Namun sangat
disayangkan kini banyak kalangan mentolerir suatu pendapat karena
semata-mata yang mengucapkannya adalah seorang ulama atau kyai.
Mereka tidak bersikap ilmiah dengan mau melihat dalilnya. Terlebih lagi
mau berpikir tentang akurasi dalil dan pendalilannya. Inilah realita pahit
dan memilukan dalam kehidupan beragama kebanyakan kaum muslimin
belakangan ini. Bahkan penyakit ini berkembang pula di tengah para
santri kebanyakan pondok pesantren di dalam dan luar negeri. Tak kalah
serunya tatkala hal serupa ikut merebak di level para dai yang sedang
bergelut di kancah dakwah kecuali segelintir orang yang dirahmati oleh
Allah k. Wallahul mustaan.
Semoga pembahasan ini mengingatkan kita untuk kembali intropeksi diri
dengan satu pertanyaan: Dari golongan manakah kita dalam memegang
pendapat? Mudah-mudahan Allah k menjadikan kita selalu berada di
belakang dalil dalam beragama dan tidak dininabobokan oleh nama besar
sosok-sosok tertentu.
Penutup
Seluruh pembahasan di atas berlaku secara umum pada segala
permasalahan agama baik ushul (prinsip) maupun furu (cabang) tanpa
perbedaan. Karena masing-masing bagian memiliki kekokohan hubungan
yang sama erat dengan norma-norma syariat. (Mukhtashar Ash-Shawaiqil
Mursalah, hal. 594 dan Fathul Qadir karya Al-Imam Asy-Syaukani, 1/370)
Adapun perselisihan yang dimaksud dalam pembahasan di atas yaitu
perselisihan yang mengandung kontradiksi antara dua pendapat atau
lebih dan tidak bisa kompromikan. Yang bisa dikompromikan dengan
metode-metode yang dikenal di kalangan para ulama tidak termasuk
dalam cakupannya, karena tidak masuk dalam kategori perselisihan
dengan makna yang sesungguhnya. Perselisihan ini diistilahkan di
kalangan para ulama dengan nama ikhtilaf tadhadh. Di sana terdapat
perselisihan yang berangkat dari keragaman dalil. Ini pada hakekatnya
tidak dapat dikatakan sebagai perselisihan. Lebih tepat untuk dikatakan
sebagai keragaman aturan syariat Islam dalam masalah tersebut.
Perselisihan ini diistilahkan di kalangan para ulama dengan nama ikhtilaf
tanawwu.
Dari Ibnu Masud z, beliau berkata:
Dan barang siapa menentang Rasul sesudah jelas baginya petunjuk, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin (shahabat g), Kami
biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami
masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat
kembali. (An-Nisa`: 115)
Lalu Allah Subhanahu wa taala berfirman:
Maka tidak ada sesudah kebenaran itu melainkan kesesatan. (Yunus: 32)
Al-Imam Al-Qurthubi t berkata: Ayat ini menetapkan bahwa tidak ada
kedudukan ketiga antara al-haq dan al-bathil dalam permasalahan
mentauhidkan Allah Subhanahu wa taala . Maka demikian pula
perkaranya dalam permasalahan-permasalahan yang setara. Yaitu dalam
permasalahan-permasalahan ushul (prinsip), kebenaran berada pada salah
satu pihak.
Barangkali ada yang mengatakan: Sesungguhnya dzahir ayat ini
menunjukkan bahwa yang selain (mentauhidkan) Allah adalah kesesatan.
Karena permulaan ayat berbunyi:
Maka (Dzat yang demikian) itulah Allah Rabb kalian yang sebenarnya;
sehingga tidak ada sesudah kebenaran itu melainkan kesesatan. (Yunus:
32)
Lalu kenapa memperluas pendalilan ini (yakni menggunakan ayat ini
untuk mengingkari bentuk kesesatan selain kesyirikan -ed)?
Jawabannya: Sesungguhnya para pendahulu kita yang baik telah berdalil
dengan keumuman ayat ini terhadap segala kebatilan. Oleh karena itu AlImam Malik t berdalil dengannya dalam mengharamkan permainan catur
sebagaimana pada riwayat Asyhab. Bentuk (pendalilan) itu sebagai
berikut: bahwa kekafiran adalah sesuatu yang menutupi al-haq. Maka
semua yang selain kebenaran berjalan di atas jalur ini. (Tafsir Al-Qurthubi,
8/336)
Dalam setiap pertikaian dan perselisihan, kebenaran hanya satu
sedangkan yang selainnya adalah keliru. Bahkan tak jarang mengandung
kebatilan dan kesesatan. Inilah sebab Allah Subhanahu wa taala melarang
setiap perselisihan dan pertikaian. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah t pernah
menerangkan: Ayat-ayat yang melarang setiap perselisihan dalam agama
mengandung celaan terhadapnya. Seluruhnya mempersaksikan dengan
nyata bahwa al-haq di sisi Allah Subhanahu wa taala hanya satu,
sedangkan yang selainnya merupakan kesalahan. Kalau seandainya
semua pendapat itu adalah benar, niscaya Allah Subhanahu wa taala dan
Rasul-Nya tidak akan melarang dari kebenaran dan tidak pula akan
mencelanya. Sungguh Allah Subhanahu wa taala telah mengabarkan
bahwa perselisihan bukan dari sisi-Nya. Yang bukan dari sisi Allah
Subhanahu wa taala tidak dianggap sebagai kebenaran. Allah Subhanahu
wa taala berfirman:
Kalau kiranya Al Qur`an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka
mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya. (An-Nisa`: 82)
(Mukhtashar Ash-Shawaiqil Mursalah, hal. 594)
Dalil-dalil tentang Kebenaran Hanya Satu
Cukup banyak dalil akurat dari Al Qur`an, As Sunnah dan amalan shahabat
yang menunjukkan bahwa kebenaran dalam setiap permasalahan yang
diperselisihkan hanya satu. Adapun yang selainnya merupakan kesalahan.
Di antara dalil-dalil tersebut:
1. Allah Subhanahu wa taala berfirman:
Dan bahwa ini adalah jalan-Ku yang lurus. Maka ikutilah dia dan
janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain. Karena jalan-jalan itu
mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian itu Allah wasiatkan
pada kalian agar kalian bertakwa. (Al-Anam: 153)
Dan (ingatlah kisah) Dawud dan Sulaiman di waktu keduanya
memberikan keputusan mengenai tanaman. Karena tanaman itu dirusak
oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan Kami menyaksikan
keputusan yang diberikan oleh mereka itu. Maka Kami telah memberikan
pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat). Dan
kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu. Dan
telah Kami tundukkan gunung-gunung serta burung-burung. Semuanya
bertasbih bersama Dawud. Dan Kamilah yang melakukannya. (AlAnbiya`: 78-79)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan -tentang dua ayat ini- sebagai
berikut: Kedua nabi yang mulia ini telah sama-sama memberikan
keputusan dalam sebuah kasus yang membutuhkan vonis hukum. Maka
Allah Subhanahu wa taala mengistimewakan salah seorang dari keduanya
dengan memahamkan (kepadanya) duduk permasalahan (yang dihadapi).
Bersamaan dengan itu Allah memuji masing-masing dari keduanya
dengan mendatangkan pengetahuan hukum dan ilmu kepadanya.
Demikian pula para ulama yang mujtahid g. Siapa yang benar dari mereka
mendapatkan dua pahala sedangkan yang salah mendapatkan satu
pahala. Masing-masing mereka taat kepada Allah sesuai dengan
kemampuannya. Allah tidak akan memberatkannya dengan sesuatu yang
dia tidak mampu mengilmuinya (Majmu Al-Fatawa, 33/41)
3. Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam bersabda:
Apabila seorang hakim menghukumi lalu berijtihad maka jika benar dia
mendapatkan dua pahala dan jika salah dia mendapatkan satu pahala.
(HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah z)
Al-Imam Al-Muzani menandaskan: Perlu dipertanyakan kepada orang
yang membolehkan perbedaan pendapat dan menyangka bahwa dua
orang alim jika berijtihad pada sebuah kejadian yang satu berpendapat
(halal) sementara yang lain berpendapat (haram) masing-masing dari
keduanya meraih kebenaran: Apakah engkau mengatakan ini dengan
sebuah sumber (hukum) atau dengan qiyas? Bila dia menjawab: Dengan
sebuah sumber (hukum). Dipertegas kepadanya: Bagaimana bisa dari
sebuah sumber (hukum) sedangkan Al Qur`an menolak perbedaan
pendapat. Bila dia menjawab: Dengan qiyas. Dipertegas kepadanya:
Sumber-sumber (hukum) menolak perbedaan pendapat dan bagaimana
engkau bisa mengqiyas atas sumber-sumber (hukum) tersebut untuk
membolehkan perbedaan pendapat. Ini merupakan perkara yang tidak
bisa diterima oleh orang yang berakal terlebih lagi oleh seorang yang
berilmu. (Jami Bayanil Ilmi wa Fadhlihi, karya Ibnu Abdil Barr, 2/89)
4. Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam bersabda:
: .
:
Sesungguhnya Bani Israil telah berpecah menjadi tujuh puluh dua
golongan dan akan berpecah umatku menjadi tujuh puluh tiga golongan.
Mereka seluruhnya berada dalam api neraka kecuali golongan yang satu.
Para shahabat bertanya: Siapa golongan itu, wahai Rasulullah? Beliau
menjawab: (Dia adalah golongan yang memegang) ajaranku dan (faham)
shahabatku pada hari ini. (HR. At-Tirmidzi dan selainnya dari Abdullah bin
Amr ibnul Ash c)
Dalam sanad hadits ini terdapat Abdurrahman bin Ziyad Al-Ifriqi. Dia
seorang yang dhaif. Tetapi hadits ini dikuatkan oleh banyak hadits lain
yang semakna. Hadits-hadits tersebut diriwayatkan dari beberapa orang
shahabat, antara lain:
1. Abu Hurairah
2. Muawiyah bin Abi Sufyan
3. Anas bin Malik
4. Auf bin Malik
5. Ibnu Masud
6. Abu Umamah
7. Ali bin Abi Thalib
8. Saad bin Abi Waqqash
Semoga Allah Subhanahu wa taala meridhai mereka semua.
Al-Imam Syathibi t memaparkan: Sabda beliau Kecuali golongan yang
satu, secara nash memberikan penjelasan bahwa kebenaran hanya satu
dan tidak beraneka ragam. Sebab jika seandainya kebenaran menjadi
milik berbagai pihak niscaya beliau tidak akan mengatakan Kecuali
golongan yang satu. (Al-Itisham, 2/755)
5. Al-Imam Al-Muzani berkata:
Al-Hafidz Abu Umar bin Abdil Barr t berkata: Perselisihan bukan hujjah
menurut seluruh ahli fiqih umat ini kecuali bagi orang yang tidak punya
mata hati dan pengetahuan. Maka pendapatnya bukan hujjah. (Jami
Bayanil Ilmi wa Fadhlihi, 2/229)
Kewajiban seorang muslim adalah mencari letak kebenaran dalam sebuah
perselisihan dan pertikaian. Tidak semua pendapat mengusung
kebenaran. Kebenaran hanya berada pada salah satu pihak yang
berselisih dan bertikai. Ini adalah pendapat Al-imam Malik, Ahmad dan
Asy-Syafii rahimahumullah. (Mukhtashar Ash-Shawaiqil Mursalah, hal.
594)
Pihak yang benar adalah yang pendapatnya berlandaskan Al Qur`an dan
As Sunnah beserta pemahaman Salaf. Sebuah kesalahan fatal bila seorang
muslim menganggap suatu perkara dibolehkan dengan alasan (di dalam
perkara tersebut terdapat) perselisihan di kalangan para ulama apalagi
yang selainnya. Ini merupakan kekeliruan terhadap syariat Islam. Namun
sangat disayangkan betapa banyak orang yang terjatuh di dalamnya.
Mereka bukan dari golongan orang awam saja akan tetapi juga melibatkan
orang-orang yang mengaku dirinya berilmu. Sebagian mereka dianggap
ulama atau paling tidak bergelar kyai maupun ustadz. Bahkan tak jarang
ahlul bidah berupaya melanggengkan berbagai kebidahannya dengan
alasan yang demikian. Wallahul mustaan.
Marilah kita menyimak penuturan ulama berikut ini:
-Al-Imam Asy-Syathibi berkata: Perkara ini telah melampaui kadar yang
cukup. Sehingga terjadi pembolehan sebuah perbuatan karena berpegang
pada kondisinya yang diperselisihkan di kalangan para ulama. Pembolehan
ini bukan bermakna untuk memelihara perselisihan, sebab hal ini memiliki
sisi pandang yang lain, akan tetapi tujuannya adalah yang selain itu (yakni
tujuannya tidak untuk memelihara perselisihan -red). Terkadang dalam
suatu permasalahan muncul fatwa yang melarang. Lalu dipertanyakan:
Kenapa engkau melarang? Padahal permasalahannya diperselisihkan.
Maka perselisihan dijadikan argumen untuk membolehkan, semata-mata
karena permasalahannya diperselisihkan. Bukan karena dalil yang
menyokong kebenaran madzhab yang membolehkan. Tidak pula karena
taqlid kepada orang yang lebih pantas diikuti daripada orang yang
mengatakan larangan. Itulah wujud kesalahan terhadap syariat, yaitu
menjadikan yang bukan pegangan sebagai pegangan dan yang bukan
hujjah sebagai hujjah. (Tahdzib Al-Muwafaqat, karya Muhammad bin
Husain Al-Jizani, hal. 334)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: Siapapun tidak boleh berhujjah
dengan pendapat seseorang dalam permasalahan-permasalahan yang
diperselisihkan. Hujjah itu hanya berupa nash (Al Qur`an dan As Sunnah),
ijma dan dalil yang disimpulkan dari itu (sedangkan) pendahuluannya
dikokohkan dengan dalil-dalil syari, tidak dengan pendapat-pendapat
sebagian ulama. Karena pendapat-pendapat ulama perlu diberi hujjah
dengan dalil-dalil syari, bukan untuk dijadikan sebagai hujjah atas dalildalil syari. (Majmu Al-Fatawa, 26/202-203)
Setiap Pendapat Menuntut Dalil
(Jika demikian) sungguh aku sangat berani. Akan tetapi aku
mendengarnya dari Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam tidak hanya
sekali, dua dan tiga kali. Lalu beliau menyebutkan hitungan bilangannya
berulang kali. (HR. Ahmad, dengan sanad yang jayyid menurut penilaian
Asy-Syaikh Muqbil t, lihat Al-Jamiush Shahih, 1/199-201)
2. Dari Abu Shalih, ia berkata: Aku mendengar Abu Said Al-Khudri z
mengatakan:
Tidak ada riba kecuali (riba) an-nasi`ah. (HR. Al-Bukhari no. 2178 dan
Muslim no. 1596)
3. Ibnu Abi Hatim meriwayatkan di dalam Manaqib Asy-Syafii (86-87): AlImam Ahmad pernah bertanya kepada Al-Imam As-Syafii rahimahumallah:
Apa pendapatmu tentang masalah yang demikian dan demikian? Lalu AlImam Asy-Syafii menjawab masalahnya. Al-Imam Ahmad berkata: Dari
mana engkau mengatakan itu? Apakah terdapat padanya sebuah hadits
atau ayat Al Qur`an? Al-Imam Asy-Syafii menjawab: Ya. Lantas beliau
mengutarakan sebuah hadits Nabi n mengenai masalah tersebut. (Zajrul
Mutahawin karya Hamd bin Ibrahim hal. 69)
Demikianlah tuntunan dari pendahulu kita yang baik. Namun sangat
disayangkan kini banyak kalangan mentolerir suatu pendapat karena
semata-mata yang mengucapkannya adalah seorang ulama atau kyai.
Mereka tidak bersikap ilmiah dengan mau melihat dalilnya. Terlebih lagi
mau berpikir tentang akurasi dalil dan pendalilannya. Inilah realita pahit
dan memilukan dalam kehidupan beragama kebanyakan kaum muslimin
belakangan ini. Bahkan penyakit ini berkembang pula di tengah para
santri kebanyakan pondok pesantren di dalam dan luar negeri. Tak kalah
serunya tatkala hal serupa ikut merebak di level para dai yang sedang
bergelut di kancah dakwah kecuali segelintir orang yang dirahmati oleh
Allah Subhanahu wa taala . Wallahul mustaan.
Semoga pembahasan ini mengingatkan kita untuk kembali intropeksi diri
dengan satu pertanyaan: Dari golongan manakah kita dalam memegang
pendapat? Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa taala menjadikan kita
selalu berada di belakang dalil dalam beragama dan tidak dininabobokan
oleh nama besar sosok-sosok tertentu.
Penutup
Seluruh pembahasan di atas berlaku secara umum pada segala
permasalahan agama baik ushul (prinsip) maupun furu (cabang) tanpa
perbedaan. Karena masing-masing bagian memiliki kekokohan hubungan
yang sama erat dengan norma-norma syariat. (Mukhtashar Ash-Shawaiqil
Mursalah, hal. 594 dan Fathul Qadir karya Al-Imam Asy-Syaukani, 1/370)
Adapun perselisihan yang dimaksud dalam pembahasan di atas yaitu
perselisihan yang mengandung kontradiksi antara dua pendapat atau
lebih dan tidak bisa kompromikan. Yang bisa dikompromikan dengan
metode-metode yang dikenal di kalangan para ulama tidak termasuk
dalam cakupannya, karena tidak masuk dalam kategori perselisihan
dengan makna yang sesungguhnya. Perselisihan ini diistilahkan di
kalangan para ulama dengan nama ikhtilaf tadhadh. Di sana terdapat
perselisihan yang berangkat dari keragaman dalil. Ini pada hakekatnya
tidak dapat dikatakan sebagai perselisihan. Lebih tepat untuk dikatakan
sebagai keragaman aturan syariat Islam dalam masalah tersebut.
Perselisihan ini diistilahkan di kalangan para ulama dengan nama ikhtilaf
tanawwu.
Dari Ibnu Masud z, beliau berkata:
umum. Ajaran-ajaran yang dimiliki bersama ini adalah dasar bagi semua
keselarasan.
5. Apakah saya menggunakan filsafat di dalam menjalankan profesi dokter?
KAIDAH DASAR MORAL DAN TEORI ETIKA DALAM MEMBINGKAI
TANGGUNGJAWAB PROFESI KEDOKTERAN
January 18, 2011 by fitrianingrum admin
Pendahuluan
Etika merupakan bagian filsafat yang meliputi hidup baik, menjadi orang
yang baik, berbuat baik dan menginginkan hal baik dalam hidup.[1] Etika,
sebagaimana metoda filsafat, mengandung permusyawaratan dan
argumen eksplisit untuk membenarkan tindakan tertentu (etika praktis).
Juga membahas asas-asas yang mengatur karakter manusia ideal atau
kode etik profesi tertentu (etika normatif).[2] Etika adalah pedoman
berbuat sesuatu dengan alasan tertentu. Alasan tersebut sesuai dengan
nilai tertentu dan pembenarannya. Etika penting karena masyarakat selalu
berubah, sehingga kita harus dapat memilih dan menyadari kemajemukan
(norma) yang ada (filsafat praksiologik). Jadi etika juga adalah alasan
untuk memilih nilai yang benar ditengah belantara norma (filsafat moral).
[3]
Perbedaan etika dengan moralitas, bahwa moralitas adalah pandangan
tentang kebaikan/kebenaran dalam masyarakat. Suatu hukum dasar dari
masyarakat yang paling hakiki dan amat kuat.[4] Juga suatu perbuatan
benar atas dasar suatu prinsip (maxim). Ia merujuk pada perilaku yang
sesuai dengan kebiasaan atau perjanjian rakyat yang telah diterima,
sesuai nilai dan pandangan hidup sejak masa kanak-kanak, tanpa
permusyawaratan.[5]
Ciri khusus moralitas :
Norma sangat penting (prinsipiil, kekuatannya lebih bernilai mengatasi
segala pertimbangan). Esensiil bagi kebahagiaan masyarakat. Esensiil
bagi tradisi budaya.
Makalah Penyegaran Etika Kedokteran, FKUI dalam rangka Modul EPC II,
Jakarta, 18 Februari 2003. Penulis adalah Ketua PDFI Pusat, Sekretaris
MKEK Pusat IDI, Ketua Bagian Ilmu Kedokteran Forensik & Medikolegal
FKUI/RSCM, Sekjen Jaringan Bioetika & Humaniora Kedokteran Indonesia.
Hukum universal (berlaku prinsip dimana saja, kapan saja, siapa saja).
Tatabahasa perintahnya universal.[6] Mengikat (ada kata-kata : harus).
Terjadi, harus terjadi dan dapat diaplikasikan secara universal.
Normal rasional (ada alasan masuk akal) dan obyektif (kebenarannya
melingkupi seluruh masyarakat). Dasarnya adalah penalaran, tidak
memihak, merupakan kebijakan akhir, prinsipnya benar, oleh pelaku
otonom, dapat dibenarkan.
Menyangkut (kebahagiaan) orang lain (misal : Golden Rule[7]). Memberi
perhatian pada orang lain (altruisme), kasih/simpati, harapan timbal balik,
perhatian berdasar maksud baik terhadap orang lain dan tindakan
penghasil kebaikan orang lain.
Karena tanpa permusyawaratan, maka semua orang mempunyai
moralitas. Contoh moralitas :
norma agama non-samawi. Norma yang ada pada kepercayaan dan atau
agama kuno seperti Hindu, Buddha, Kong Hu Cu, Kejawen. Isinya antara
lain ajaran agar manusia menjadi bijaksana atau mengerti (etika
kebijaksanaan). Itu sama dengan etis. Disini belum ada kewajiban.
Norma yang ada pada agama samawi. Orang harus berbuat baik dan adil,
bukan buruk atau zalim, sesuai perintah Allah (etika teonom). Disini sudah
ada unsur kewajiban (menuruti perintah tersebut).
Etika merupakan pemikiran atau refleksi atas moralitas. Dengan demikian
tidak semua orang beretika. Ia adalah refleksi[8] filosofis yang
sesungguhnya. Ia dimunculkan oleh para filsuf dan berlaku universal
karena tak memandang masyarakat tertentu saja. Dokter melanggar janji
datang tepat waktu, ia tidak etis. Bila meracuni pasiennya, ia tidak
bermoral.
Dalam etika isinya adalah alasan yang deskriptif (is) bercampur
preskriptif (ought). Isi etika juga merupakan pengecualian yang baik
terhadap prinsip-prinsip yang baik. Juga merupakan penentuan pemenang
nilai-nilai yang saling bersaing, penentu hirarki nilai yang tepat dan
terpertanggungjawabkan.
Bioetika.
Bioetika (F. Abel) adalah studi interdisipliner tentang problem yang
ditimbulkan oleh perkembangan di bidang biologi dan ilmu kedokteran,
pada skala mikro maupun makro, termasuk dampaknya terhadap
masyarakat luas serta sistem nilainya, kini dan masa mendatang.
Bioetika merupakan pandangan lebih luas dari etika kedokteran karena
begitu saling mempengaruhi antara manusia dan lingkungan hidup.
Bioetika merupakan genus, sedangkan etika kedokteran merupakan
spesies.
Unsur etika
Nilai :
Pra-moral : tidak/belum merujuk pada suatu norma konkrit perilaku
manusia; misal : kesehatan, kehidupan, integritas fisik, seksualitas.
Moral : mengharuskan manusia melakukan/merujuk sesuatu tindakan
konkrit pada suatu norma konkrit; misal : kesetiaan yakni utk menepati
janji, keadilan yakni kesediaan menghargai hak orang lain.
Norma = prinsip dasar :
Proposisi (dalil) pemindah nilai ke tingkat kehidupan konkrit, baik fungsi
positif atau negatif.
Ungkapan teknis pengalaman etis manusia
Generalisasi relevan tentang apa yang secara normal relevan.
Pembagian teori etika.
Ditinjau dari segi inti :
Etika kebijaksanaan :
Bioetika kedokteran merupakan salah satu etika khusus dan etika sosial
dalam kedokteran yang memenuhi kaidah praksiologik (praktis) dan
filsafat moral (normatif) yang berfungsi sebagai pedoman (das sollen)
maupun sikap kritis reflektif (das sein), yang bersumber pada 4 kaidah
dasar moral beserta kaidah turunannya. Kaidah dasar moral bersama
dengan teori etika dan sistematika etika yang memuat nilai-nilai dasar
etika merupakan landasan etika profesi luhur kedokteran. Pemahaman
awal kaidah dasar moral akan menimbulkan kesadaran moral, yang
dengan latihan dan paparan terhadap kasus-kasus kedokteran yang
sebelumnya dan berkembang di masa mendatang diharapkan akan
membekali kemampuan reflektif-analitik dokter, termasuk mahasiswa
kedokteran, yang dengan mekanisme pendidikan dalam rangka saling
mengingatkan terus menerus dan mencegah penyimpangan (amar maruf
nahi mungkar) antar anggota profesi pada akhirnya akan menumbuhkan
tangungjawab etis sesuai dengan moralitas profesi kedokteran.
Tanggungjawab etis yang merupakan suara hati seorang dokter akan
mempertahankan perilaku etis seluruh anggota profesi agar korps dokter
ke depan tetap merupakan profesi mulia dengan setiap anggotanya
masing-masing memiliki kesucian hati nurani.
Kepustakaan :
Beauchamp, T.L. & Childress, J.F (1994),. Principles of Biomedical Ethics.
Oxford University Press. Oxford.
Jonsen, A.R., Siegler, M, Winslade, W.J. (2002). Clinical Ethics. A Practical
Approach to Ethical Decisions in Clinical Medicine. McGraw-Hill. New York.
Lo, B. (1995). Resolving Ethical Dilemmas. A Guide for Clinicians. Williams
& Wilkins. Baltimore. .
Robert C. Solomon. (1984). Etika, Suatu Pengantar. Erlangga. Jakarta.
Robert Veatch. (1989) Medical Ethics. Jones & Bartlett Publisher. Boston.
Suseno, F.M. Mimeograf Kuliah Etika. Program Pascasarjana Filsafat UI.
2000.
von Magnis, F.M (1984). Etika Umum. Kanisius. Jakarta.
Websters New Dictionary of Synonyms. (1984). Springfield, MA : MerriamWebster.
[1] Robert C. Solomon. Etika, Suatu Pengantar. Erlangga. Jakarta, 1984. hal
2
[2] Websters New Dictionary of Synonyms. Springfield, MA : MerriamWebster, 1984, p. 547.
[3] Bandingkan batasan etika (Ki Hajar Dewantoro, 1962) : ilmu yang
mempelajari segala soal kebaikan (dan keburukan) di dalam hidup
manusia semuanya, teristimewa yang mengenai gerak-gerik pikiran dan
rasa yang dapat merupakan pertimbangan dan perasaan, sampai
mengenai tujuannya yang dapat merupakan perbuatan.
[4] Robert C. Solomon, loc.cit. hal 7.
[5] Websters New Dictionary, loc.cit.
[6] Misalnya jangan membunuh.
[7] Hukum Talmud orang Ibrani. Do unto others as you would have them
do unto you atau Apa yang menyakitkan bagi kamu, jangan lakukan
terhadap sesamamu. Robert M. Veatch. Medical Ethics, Jones & Bartlett
Publ. Boston, 1989. hal. 34, selanjutnya disingkat ME.
[8] Termasuk disini adalah didebat dan didukung sehingga terjadi
pengurangan, penambahn atau repetisi.
[9] Lihat sistematika pembahasan etik klinik menurut Jonsen dkk. Lihat
Jonsen, A.R., Siegler, M, Winslade, W.J. (2002). Clinical Ethics. A Practical
Approach to Ethical Decisions in Clinical Medicine. McGraw-Hill. New York.
[10] Jonsen dkk, ibid.
[11] Bertindaklah sedemikian rupa sehingga engkau mencapai jumlah
nikmat terbesar atau sedapat-dapatnya menghindari segala macam rasa
sakit. Frans von Magnis. Etika Umum, Kanisius, Jakarta. 1984 (selanjutnya
disingkat EU), hal. 82
[12] Hanya Allah Swt yang bebas berkehendak, sementara manusia tidak,
sehingga semua perintah Tuhan tidak perlu diuji lagi kemasuk-akalannya.
Teori teonom murni ini kadang-kadang menimbulkan irasionalisme. EU,
hal. 99.
[13] Setiap tindakan ditujukan utnuk mencapai kebahagiaan sebagai
tujuan primer pada diri tujuan itu sendiri (bukan sekunder mencapai
tujuan lain). EU, hal 84.
[14] Tekad untuk mengembangakn semua bakat manusia mencapai
kesempurnaan dengan condong berbuat baik, tidak semata-mata mencari
nikmat karena itu juga terjadi pada hewan.
[15] Mengikuti hokum alam seperti hewan/tumbuh2an, dengan menekan
semua tindakan biadab yang khas manusia.
[16] Mencapai kodrat yakni mengembang-sempurnakan semua
kemampuan manusia sekaligus bahagia dan memenuhi kehendak Tuhan.
Kodrat manusia sama sekali tidak terimbas keduniawian karena tujuan
akhir manusia adalah berada di sisi Tuhan. EU, hal. 100 101.
Kelemahannya ialah egoisme etis (subyektif).
[17] Refers an action done for the benefits of others. Jadi tindakan positif.
Harus dibedakan dengan benevolence (character trait or virtue of being
dispose to act ). Tom L. Beauchamp & James F. Childress. Principles of
Biomedical Ethics. Oxford University Press. Oxford. 1994 (selanjutnya
disingkat PBE), hal 260. Beneficence > luas daripada non-maleficence
karena mencakup prevensi penyebab kerugian dan penghilangan kondisi
perugi pasien.
[18] Berbuat baik kepada siapapun termasuk yang tidak kita kenal
(impartially), merupakan etika normative. PBE hal. 263 265. Contoh :
zakat 2,5%
[19] Bermoral bila tindakan baik ditujukan pada pihak khusus yang kita
kenal : pasien, anak-anak, teman-teman. PBE, hal. 263. Hal ini
menimbulkan kewajiban mutlak profesi, khususnya secara psikologis.
[20] Setiap tindakan ditujukan demi memajukan kepentingan penting dan
sah pasien. Dasar utama dari altruisme (pengorbanan diri demi
melindungi, menyelamatkan pasien) dan roh profesionalisme (janji
atau wajib menyejahterakan pasien dan membuat diri terpercaya. Misal
memilihkan keputusan terbaik pada pasien yang tidak otonom ( kurang
mampu memutuskan bagi dirinya), seperti anak, gangguan jiwa, gawat).
Positive beneficence mempersyaratkan indicator tunggal : keuntungan
pasien (mahluk individu). Beda dengan utility : boleh ada kerugian, asal
seimbang dengan keuntungan (konteks mahluk social). Utilitarianisme
memperluas beneficence menjadi : boleh pandang bulu (impartial
obedience) asal bermanfaat atau boleh menghukum bila seseorang
melanggar aturan.
[21] Istilah beneficence lainya : bermurah hati; kewajiban atau tugas
untuk menyebarkan kebaikan, meningkatkan minat yg benar dari
seseorang, dan mencegah atau mengatasi keburukan. Dokter berlaku
profesional, bersikap jujur dan luhur pribadi (integrity), menghormati
pasien, peduli pada kesejahteraan pasien, kasih sayang, dedikatif
memperthankan kompetensi pengetahuan dan ketrampilan teknisnya.
[22] Dasarnya adalah uraian William Frankena. Apapun situasinya (dalam
etika situasi ketika menghadapi kasus individual konkrit yang sering tidak
menjamin keberlakuan etika umum-abstrak yang memakai kaidah
deontologi peraturan), diupayakan memunculkan akibat baik, apapun
bentuknya (hal ini pada akhirnya dikenal sebagai utilitarianisme). EU, hal
102 103. Sejalan dengan kewajiban beneficence : one ought to do or
promote good, selain prevent evil/harm dan remove evil/harm. PBE, hal.
190.
[23] Prinsip utilitarian. Banyak berguna untuk penelitian teknik/obat baru.
Lihat kriteria proporsionalitas atau asas ganda.
[24] Pasien sebagaimana flora dan fauna serta benda (alam keseluruhan
non manusia) merupakan suatu being (ada), yang dengan adanya saja
patut dihormati dengan sikap baik. EU, hal. 108. Dasar hubungan dokterpasien sebagai fiduciary relationship akibat keterbatasan diri pasien.(misal
akalnya belum/tidak berfungsi baik, pada kasus anak-anak, orang
gawat/tidak sadar, jompo, dll).
[25] Berupa indicator tunggal : menghilangkan derita dengan aturan :
larangan untuk berbuat sesuatu, dipatuhi secara imparsial (tanpa pandang
bulu), memberikan dasar alasan perilaku melarang tertentu.
[26] Kewajiban nonmaleficence : One ought not to inflict evil or harm.
PBE, hal 192. Tidak melakukan malpraktek etik baik sengaja ataupun
tidak, seperti dokter tak mempertahakan kemampuan ekspertisnya atau
menganggap pasien sebagai komoditi.Tindakan nomaleficence antara lain
menghentikan pengobatan yang sia-sia/, atau pengobatan luar biasa
(tidak menawarkan harapan layak dari nikmat/keuntungan) yakni
pengobatan yang tak bias diperoleh atau digunakan tanpa pengeluaran
sang pemain, yang berperan sebagai dr. Hunter Adam: Anda bahkan
tidak melihat kepada pasien saat Anda berbicara pada mereka dan saat
dia berbicara melawan Badan Medis: Kematian bukanlah musuh, saudarasaudara, tapi sebuah kelalaian. Anda menangani penyakit, hasilnya kalah
atau menang. Anda menangani pasien, anda akan menang bagaimanapun
hasil akhirnya.
Keadaan ini pun sudah terlihat di negara kita. Ada berapa banyak dokter
yang betul-betul menangani pasiennya dengan rasa belas kasih? Saya
tidak menyatakan bahwa tidak ada dokter yang memiliki rasa belas kasih
karena saya mengenal beberapa dokter yang betul-betul menangani
pasiennya dengan hati.
Tapi, pemandangan seperti itu sangat jarang kita rasakan. Banyak dokter
melayani pasiennya dengan senyum, ramah, sopan dan penuh tatakrama,
tapi yang kita bicarakan dalam kaitannya dengan humanisme adalah
dokter melayani pasiennya dengan melihat ke dalam perasaan pasiennya.
Menampakkan pengertian akan derita pasiennya dan tidak semata-mata
memburu apa yang menjadi diagnosis agar pengobatannya tepat dan
pasien ini segera menyingkir dari kehidupannya yang cukup sibuk.
Anda keliru jika menyangka pasien tidak membutuhkan sentuhan
humanisme, dan tepat jika menduga bahwa mereka akan lebih nyaman
dengan dokter yang menatap mereka saat melakukan anamnesis dan
memperlihatkan sikap menerima dan mengerti akan segala keluhannya.
Itu tidak sulit dilakukan. Tempatkan saja diri Anda pada posisi mereka. Lalu
nilai, situasi mana yang lebih Anda sukai, ditangani oleh dokter yang
berwajah dingin yang sibuk meneliti penyakit Anda atau oleh dokter yang
menunjukkan perasaan kasih akan tiap keluhan Anda.
Humanisme dan etika dalam pelayanan kesehatan
Sejak jaman dulu, pemegang kekuasaan bertanggung-jawab terhadap
kesehatan rakyatnya. Raja pada jaman Indis kuno membangun tempat
untuk orang-orang sakit dan cacat, bahkan tempat khusus semacam
rumah sakit untuk kebidanan dan bedah. Kerajaan Romawi mengatur
tempat layanan kesehatan untuk orang-orang miskin yang akan dikunjungi
oleh dokter-dokter umum untuk memberikan pemeriksaan kesehatan yang
dibutuhkan.
Pada saat Abad Kegelapan baru saja terangkat dari Eropa, kedokteran di
negara-negara Arab sangat berkembang. Terdapat rumah-rumah sakit
yang besar di Damascus, Kordoba, dan Kairo yang memperhatikan segala
aspek dari layanan kesehatan termasuk aspek humanistik seperti sisi
spiritualnya (memperdengarkan Al-Quran sepanjang saat tanpa henti),
aspek-aspek estetika (seperti memainkan musik lembut di malam hari
untuk membantu mereka yang sulit tidur), dan aspek-aspek yang dapat
meningkatkan semangat mereka (seperti membacakan kisah-kisah yang
menggugah jiwa pasien). Bahkan pasien diberikan sejumlah uang yang
dapat menutupi kekurangan semasa sakit, hingga mereka mampu kembali
bekerja (Guthrie, 1958). Ini adalah pendekatan yang betul-betul
manusiawi.
Pelayanan kesehatan di Eropa, khususnya Inggris relatif terlambat. Butuh
terjadinya suatu epidemi (kolera) untuk terbentuknya Badan Kesehatan
sebagai badan resmi walaupun sebelumnya negara telah megambil alih
langkah darurat jika terjadi penyakit epidemik. Perkembangan spektakuler
di dunia medis pada masa-masa setelahnya mengubah pola tingkah
dokter dan pelayanan kesehatan. Teknologi tersebut membutuhkan biaya
yang mahal sehingga tidak mampu digapai oleh masyarakat miskin.
yang namanya kawin cerai. Kalau orang tahu akan filsafat pancasila, maka
tidak akan ada korupsi yang melanda. Kalau tidak tahu apa itu filsafat
hidup, maka orang tersebut tidak mungkin bisa hidup. Orang tersebut
akan seperti robot yang makan, belajar, dll. Sedang orang yang
mengetahui, dia akan berpikir untuk apa dia hidup? Bagaimana dia bisa
hidup? Bagaiman menjalani hidup ini? Setelah hidup harus giman? Apa
yang akan terjadi ketika sudah tiada? dll. Dan orang yang tahu tentang
filsafat kedokteran, maka dokter tersebut dapat lebih mantep atau pun
pas dihati, dokter tersebut lebih arif dalam perilaku. Dokter itu melakukan
promotif, prefentif, kuratif ataupun treatment, rehabilitatif. Orang yang
tahu akan filsafat ekonomi, gak bakal jadi komunisme. Ekonomi penjual
dan pembeli sama-sama untung, bukan malah kapitalis maupun imperalis.
Begitu pula filsafah pemerintahan atau politik. Pemimpin itu adalah
memimpin, membina rakyatnya bukan berkuasa dan menurut
kehendaknya sendiri.
Kita jarang atau bahkan tidak pernah berpikir bagaimana hidup ini? Untuk
apa hidup ini? Kemudian agamalah yang akan menjawab itu semua. Orang
berfilsafat itu mikir saya itu dari man, untuk apa saya hidup di dunia, dll.
Filsafat itu menyeluruh. Orang yang berfilsafat itu takaruf merenung. Ex:
ada beberapa orang dititah untuk menebak bentuk gajah. Orang pertama
berkata bahwa gaja itu seperti pipa karena orang pertama meraba belalai
gajah. Orang kedua bilang gajah itu keras, karena orang kedua meraba
gading gajah. Orang ketiga berkata bahwa gajah itu bulat, dst. Sementara
orang yang berfilsafah akan melihatnya secara menyeluruh, dia pasti akan
menjawab kalau gajah itu ya seperti itu, dia punya kaki, dll.
Filsafah itu ada filsafah hidup, perkawinan, bahkan ilmu. Apabila ilmu
difilsafahi maka akan timbul pertanyaan apa itu ilmu? untuk apa ilmu itu?
darimana datangnya ilmu itu? bagaimana saya mendapatkannya? Orang
tersebut tidak akan asal praktek anatomi, dll. Pembeda antara ilmuwan
(orang yang ahli dibidangnya) dengan filsafah adalah apabila ilmu tertuju
pada apa yang dipikirkan ex: hukum maka UU. Lain halny dengan filsafah
yang dilihat mendasar, keseluruhan, abstraksi. Semua ilmu dapat diperes
atau dirangkum jadi tiga,
Ontologi, substansi bahan ilmu yang dipelajari itu apa ex: hukum maka
keadilan, ekonomi maka perdagangan, dll. Mengkaji tentang materi atau
ilmu apa yang dikaji? Ex: medis kesehatan yakni mempertahankan
kesehatan, bagaimana wujud hakiki materi atau ilmu tersebut?, yakni
anatomi, faal tubuh, biokimia, bagaimana hubungan (kontelasi) antara
ilmu yang dikaji dengan ilmu lain ex: health economic, kedokteran
foreignsick. Jadi, di dalam ilmu tersebut terdapat interaksi antara bidang
keilmuan ex:
Ilmu kedokteran dengan :
ilmu hukum, ekonomi, sosial-politik, psikologi
ilmu biologi, farmasi, fisika, pertanian, teknik dll.
Ilmu adalah Kumpulan Pengetahuan yang terstruktur secara sistematik,
konsisten, rasional dengan menggunakan Metode Ilmiah. Berdasarkan
jenisnya ilmu pengetahuan dibagi dua,
Eksakta (Pasti/ Alam)
Non Eksakta (Sosial)
Aksiologi, yakni kenapa suatu ilmu itu digunakan atau untuk apa ilmu itu
digunakan? Bagaimana keterkaitan dengan moralitas, HAM dan agama,
budaya teknologi serta materialisme dan konsumerisme yang memiliki
dampak tertentu, yakni:
Positif, manfaat membantu, memperlancar untuk memenuhi kebutuhan
hidup (transportasi, informasi, komunikasi, pembangunan, fisik, pertanian,
pendidikan dll.)
Negatif, malapetaka, kehancuran (perang), dehumanisasi (rekayasa
reproduksi)
Reference: www.umy.ac.id (Prof.Dr. dr. Soewito, Sp.THT-KL)