Você está na página 1de 15

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Menurut Morlok (1978), transportasi didefinisikan sebagai kegiatan


memindahkan atau mengangkut sesuatu dari suatu tempat ke tempat lain.
Pergerakan manusia atau distribusi barang tersebut membutuhkan moda
transportasi dan sistem jaringan sebagai media (prasarana) tempat moda
transportasi bergerak, yang meliputi: sistem jaringan jalan, kereta api, terminal
bis, bandara, dan pelabuhan laut, yang senantiasa berinteraksi dengan sistem
kegiatan. Sistem rekayasa manajemen lalu lintas yang baik dapat menciptakan
suatu sistem pergerakan yang aman, cepat, nyaman, murah, handal dan sesuai
dengan lingkungannya (Tamin, 2000).

2.1

PERLINTASAN KERETA API


Perlintasan kereta api adalah persilangan antara jalur kereta api dengan

jalan, baik jalan raya ataupun jalan setapak kecil lainnya. Perlintasan terdiri dari
perlintasan sebidang dan perlintasan tidak sebidang. Perlintasan tidak sebidang
adalah persilangan antara dua ruas jalan atau lebih yang tidak saling bertemu
dalam satu bidang tetapi salah satu ruas berada di atas atau di bawah ruas jalan
yang lain. Salah satunya adalah persilangan antara jalur kereta api dengan jalan
raya yang tidak pada satu bidang, misal dengan flyover atau underpass.
Sedangkan perlintasan sebidang adalah persilangan antara jalan raya bergabung
atau berpotongan dengan jalan rel kereta api pada ketinggian yang sama.
Berdasarkan Peraturan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, Pedoman
Teknis Perlintasan Sebidang Antara Jalan Raya dengan Jalan Kereta Api yang
dikeluarkan oleh Dinas Perhubungan tahun 2005 maupun Perencanaan Perlintasan
Jalan dengan Jalan Kereta Api oleh Departemen Pemukiman dan Prasarana
Wilayah tahun 2004, ada 2 ketentuan dalam perencanaan perlintasan sebidang
yaitu:

1. Ketentuan Umum
Dalam pedoman perlintasan jalan dengan jalur kereta api harus
memperhatikan aspek-aspek sebagai berikut:
a. Keselamatan lalu lintas, dimana kereta api mempunyai prioritas utama.
b. Pandangan bebas pemakai jalan.
c. Kepentingan pejalan kaki.
d. Drainase jalan.
e. Kepentingan penyandang cacat.
f. Desain yang ramah lingkungan.
2. Ketentuan Teknis
a. Geometrik pada perlintasan sebidang (sarana dan prasarana, klasifikasi,
fungsi jalan, potongan melintang dan daerah/ ruang bebas).
b. Pengaturan lalu lintas.
c. Tipe perkerasan pada perlintasan sebidang.

Persyaratan penyelenggaraan persilangan sebidang antara jalan dengan


kereta api mengacu kepada Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Darat
Nomor SK.770/KA.401/DRJD/2005 tentang Pedoman Teknis Perlintasan
Sebidang Antara Jalan dengan Jalur Kereta Api. Didalam peraturan tersebut serta
mengacu kepada peraturan perundangan yang lebih tinggi, maka perlintasan
antara jalan dengan jalur kereta api dibuat dengan prinsip tidak sebidang.
Pengecualian terhadap prinsip tidak sebidang tersebut dapat dilakukan dalam hal:
a. Selang waktu antara kereta api satu dengan kereta api berikutnya
(headway) yang melintas pada lokasi tersebut minimal 6 (enam) menit
pada waktu sibuk (peak hour) .
b. Jarak perlintasan yang satu dengan yang lainnya pada satu jalur kereta
api tidak kurang dari 800 meter.
c. Kecepatan kereta api yang melintasi perlintasan sebidang kurang dari
60 km/jam.
d. Tidak terletak pada lengkungan jalan kereta api atau tikungan jalan.
e. Jalan kereta api yang dilintasi adalah jalan kelas III.

f. Terdapat kondisi lingkungan yang memungkinkan pandangan bagi


masinis kereta dari as perlintasan dan bagi pengemudi kendaraan
bermotor.
g. Jalan yang melintas adalah jalan Kelas III;
h. Permukaan jalan tidak boleh lebih tinggi atau lebih rendah dengan
kepala rel, dengan toleransi 0,5 cm.
i. Terdapat permukaan datar sepanjang 60 cm diukur dari sisi terluar jalan
rel.
j. Maksimum gradien untuk dilewati kendaraan dihitung dari titik
tertinggi di kepala rel adalah: 2 % diukur dari sisi terluar permukaan
datar untuk jarak 9,4 meter dan 10 % untuk 10 meter berikutnya
dihitung dari titik terluar sebagai gradien peralihan.
k. Lebar perlintasan untuk satu jalur maksimum 7 meter.
l. Sudut perpotongan antara jalan rel dengan jalan sekurang-kurangnya 90
derajat dan panjang jalan yang lurus minimal harus 150 meter dari as
jalan rel.

2.2

KARAKTERISTIK LALU LINTAS


Lalu lintas merupakan interaksi antara beberapa komponen yang

membentuk suatu sistem yang terdiri dari jalan, manusia, dan kendaraan. Untuk
keberhasilan pengoperasiannya, ketiga komponen ini harus kompatibel. Namun
dalam kenyataan sehari-hari hal ini tidak pernah terjadi, akibatnya sistem lalu
lintas jalan seringkali gagal. Kecelakaan, kemacetan, dan gangguan lalu lintas
merupakan contoh kegagalan sistem dan hampir semua kasus disebabkan oleh
ketidaksesuaian antar ketiga komponen, atau antar satu komponen dan lingkungan
dimana sistem beroperasi. Ada tiga karakteristik primer dalam teori arus lalu
lintas yang saling terkait, secara makroskopik dikenal dengan arus (flow),
kecepatan (speed), dan kerapatan (density), dimana ketiga variabel ini
menggambarkan kualitas tingkat pelayanan yang dialami oleh pengemudi
kendaraan.

2.2.1

Arus dan Volume Lalu Lintas


Arus lalu lintas (flow) adalah jumlah kendaraan yang melintasi satu titik

pengamatan pada penggal jalan tertentu pada periode waktu tertentu, diukur dalam
satuan kendaraan per satuan waktu. Sedangkan volume adalah jumlah kendaraan
yang melintasi suatu ruas jalan pada periode waktu tertentu, diukur dalam satuan
kendaraan per satuan waktu. Volume biasanya dihitung dalam kendaraan/hari atau
kendaraan/jam. Volume dapat juga dinyatakan dalam periode waktu yang lain.
Dalam pembahasannya volume dibagi menjadi :
1. Volume Harian (Daily Volumes)
Volume harian ini digunakan sebagai dasar untuk perencanaan jalan dan
observasi umum. Pengukuran volume harian dibedakan menjadi:
a. Average Annual Daily Traffic (AADT), dalam satuan vehicle per hour
(vph) rata-rata yakni volume yang diukur selama 24 jam dalam kurun
waktu 365 hari.
b. Average Annual Weekday Traffic (AAWT), dalam satuan vehicle per hour
(vph) rata-rata yakni volume yang diukur selama 24 jam pada hari kerja
selama satu bulan dalam kurun waktu 365 hari.
c. Average Daily Traffic (ADT), dalam satuan vehicle per hour (vph) ratarata yakni volume yang diukur selama 24 jam penuh dalam periode waktu
tertentu yang lebih kecil dari satu tahun, misal enam bulan, satu musim,
seminggu.
d. Average Weekday Traffic (AWT), dalam satuan vehicle per hour (vph)
rata-rata yakni volume yang diukur selama 24 jam pada hari kerja selama
satu bulan dalam kurun waktu kurang dari satu tahun.

2. Volume Jam-an (Hourly Volumes)


Volume Jam-an yakni suatu pengamatan terhadap arus lalu lintas untuk
menentukan jam puncak selama periode pagi dan sore yang biasanya terjadi
kesibukan akibat orang pergi dan pulang kerja. Dari pengamatan tersebut dapat
diketahui arus yang paling besar yang disebut sebagai jam puncak. Arus pada jam
puncak ini dipakai sebagai dasar untuk desain jalan raya dan analisis operasi lainnya.

3.

Volume Per-sub Jam (subhourly volumes)


Volume per-sub jam yakni arus yang disurvei dalam periode waktu lebih kecil

dari satu jam. Adapun jenis kendaraan yang disurvei dalam penelitian ini dibagi
dalam 8 (delapan) moda angkutan :
1. Mobil penumpang.
2. Kendaraan roda tiga.
3. Sepeda motor.
4. Truk ringan (<5 ton).
5. Truk menengah (5 - 10 ton).
6. Truk besar (>10 ton).
7. Mikrobis.
8. Bis besar.

Perhitungan volume lalu lintas dan Lalu lintas Harian Rata-rata (LHR) untuk
tiap-tiap lokasi survey, masing-masing jenis kendaraan yang di data dikalikan
terhadap faktor Satuan Mobil Penumpang (SMP) nya. Faktor SMP dapat dilihat pada
tabel 2.1 berikut ini.

Tabel 2.1 Faktor Satuan Mobil Penumpang (SMP)


No

Jenis Kendaraan

Faktor SMP

Mobil Penumpang

1,0

Kendaraan roda tiga

0,8

Sepeda motor

0,2

Truk ringan (<5 ton)

1,5

Truk menengah (5-10 ton)

2,0

Truk besar (>10 ton)

2,5

Mikrobis

1,8

Bis besar

2,2

Sumber: Morlok (1999)

2.2.2 Kecepatan
Kecepatan adalah besaran yang menentukan jarak yang ditempuh
kendaraan dalam waktu tertentu. Pemakai jalan dapat menaikkan kecepatan untuk
memperpendek waktu perjalanan, atau memperpanjang waktu perjalanan
(Soedirdjo, 2002).

d
t

dengan:
= kecepatan (km/jam atau m/detik)
d = jarak tempuh (km atau m)
t = waktu tempuh (jam atau detik)

Menurut Soedirdjo (2002), kecepatan rata-rata dibedakan menjadi:


1. Kecepatan rata-rata waktu, t (Time Mean Speed)
Kecepatan rata-rata waktu adalah kecepatan rata-rata dari seluruh
kendaraan yang melewati suatu titik dari jalan selama periode waktu
tertentu.
n

ti
i 1

2. Kecepatan rata-rata ruang, s (Space Mean Speed)


Kecepatan rata-rata ruang adalah kecepatan dari seluruh kendaraan yang
menempati penggalan jalan selama periode waktu tertentu.
s

d
n

ti

n
i 1

10

2.2.3 Kerapatan
Kerapatan adalah parameter ketiga dari arah lalu lintas, dan didefinisikan
sebagai jumlah kendaraan yang menempati panjang ruas jalan tertentu atau lajur
yang umumnya diinyatakan sebagai jumlah kendaraan per kilometer. Atau jumlah
kendaraan per kilometer per lajur (jika pada ruas tersebut terdiri dari banyak
lajur).
k=

q
s

dengan:
k = kerapatan (kend/km)
q = volume lalu lintas (kend/jam)
s = space mean speed (km/jam)

2.2.4

Kapasitas Jalan
Kapasitas jalan didefinisikan sebagai jumlah kendaraan maksimum yang

dapat melewati suatu ruas jalan atau seluruh jalur jalan, selama jangka waktu
tertentu dan pada keadaan jalan (geometrik, pemisahan arah, komposisi lalu lintas,
lingkungan) yang tertentu pula. Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia
[MKJI, 1996] besarnya kapasitas dipengaruhi oleh kapasitas dasar, faktor
penyesuaian kapasitas akibat lebar jalur lalu lintas, faktor penyesuaian kapasitas
akibat pemisahan arah serta faktor penyesuaian kapasitas akibat hambatan
samping. Maka penentuan kapasitas pada kondisi sesungguhnya dapat dihitung
dengan rumus:
C = C0 x FCw x FCSP x FCSF x FCCS
dengan:
C

= kapasitas (smp/jam)

C0

= kapasitas dasar (smp/jam)

FCw

= faktor penyesuaian akibat lebar jalur lalu lintas

FCSP

= faktor penyesuaian akibat pemisahan

FCSF

= faktor penyesuaian akibat hambatan samping

FCCS

= faktor penyesuaian ukuran kota

11

Kapasitas Dasar ditentukan berdasarkan jenis jalan. Nilai kapasitas dasar


menurut MKJI 1997 adalah sebagai berikut:
1. Jalan empat-lajur terbagi atau jalan satu arah (C0 = 1650 smp/jam/lajur)
2. Jalan empat-lajur tak terbagi (C0 = 1500 smp/jam/lajur)
3. Jalan dua-lajur dua-arah (C0 = 2900 smp/jam/lajur)
Faktor penyesuai lebar jalan akan bernilai 1,00 untuk lebar lajur standar
(3,5 meter) atau lebar jalur standar (7 meter) untuk jalan dua-lajur dua-arah. Lebar
lajur yang kurang dari 3,5 meter akan berakibat pada berkurangnya kapasitas
(FCW < 1), sedangkan lebar lajur yang lebih dari 3,5 meter akan berakibat pada
bertambahnya kapasitas (FCW > 1). Besar - kecilnya

pengurangan kapasitas

tersebut tergantung pada jenis jalan

Tabel 2.2 Faktor Penyesuai Lebar Lajur FCW Jalan Perkotaan


Lebar Jalur

10

11

FCW

0,56

0,87

1,00

1,14

1,25

1,29

1,34

Sumber: Rekayasa Lalu Lintas (2005)

Faktor Penyesuai Pemisahan arah hanya untuk jalan tak terbagi. Secara
umum reduksi kapasitas akan meningkat bila pemisahan arah makin menjauh dari
50% - 50%. Pada jalan empat lajur reduksi kapasitas lebih kecil daripada jalan dua
arah untuk pemisahan arah yang sama.

Tabel 2.3 Faktor Penyesuai Pemisahan Arah FCSP Jalan Perkotaan


Pemisahan Arah SP % - % 50 50
FCSP

55 - 45

60 - 40

65 - 35

70 - 30

Dua Lajur

1,00

0,97

0,94

0,91

0,88

Empat Lajur

1,00

0,985

0,97

0,955

0,94

Sumber: Rekayasa Lalu Lintas (2005)

Faktor penyesuai hambatan samping ditentukan berdasarkan jenis jalan,


kelas hambatan samping, lebar bahu (atau jarak kerb ke penghalang) efektif.

12

Tabel 2.4 Faktor Penyesuai Hambatan Samping Jalan Perkotaan (FC SF)
untuk Ws = 1 meter
Kelas Hambatan Samping

VL

VH

FCSF

0,96

0,94

0,92

0,86

0,79

Sumber: Rekayasa Lalu Lintas (2005)

Faktor penyesuai ukuran kota (FCCS) ditentukan berdasarkan jumlah


penduduk di kota tempat ruas jalan yang bersangkutan berada. Manual Kapasitas
Jalan Indonesia [MKJI, 1997] menyarankan reduksi terhadap kapasitas dasar bagi
kota berpenduduk kurang dari 1 juta jiwa dan kenaikan terhadap kapasitas dasar
bagi kota berpenduduk lebih dari 3 juta jiwa.

Tabel 2.5 Faktor Penyesuai Ukuran Kota (FCCS)


Ukuran Kota (Juta Penduduk)

FCCS

<0,1

0,86

0,1 0,5

0,90

0,5 1,0

0,94

1,0 3,0

1,00

>3,0

1,04

Sumber: Rekayasa Lalu Lintas (2005)

2.2.5 Derajat Kejenuhan


Derajat kejenuhan didefinisikan sebagai rasio arus terhadap kapasitas,
digunakan sebagai faktor utama dalam penentuan tingkat kinerja simpang dan
segmen jalan. Nilai derajat kejenuhan menunjukkan apakah segmen jalan tersebut
mempunyai masalah kapasitas atau tidak.
DS =

q
C

(Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia)

13

dengan:
DS

= derajat kejenuhan

= kapasitas jalan (smp/jam)

= volume lalu lintas (smp/jam)

2.2.6 Tundaan
Tundaan adalah waktu yang hilang dimana lalu lintas terganggu oleh
beberapa elemen. Tundaan akibat henti (stopped delay) adalah tundaan yang
terjadi pada kendaraan dengan kendaraan tersebut berada dalam kondisi benarbenar berhenti pada kondisi mesin hidup (stasioner). Kondisi ini bila berlangsung
lama akan mengakibatkan suatu kemacetan (kongestion). Penundaan menentukan
waktu yang tidak produktif. Bila dinilai dengan uang, maka hal ini menunjukkan
jumlah biaya yang harus dibayar masyarakat karena memiliki jalan yang tidak
memadai [Hobbs, 1979].
Tundaan dalam MKJI disebutkan merupakan waktu tempuh tambahan
yang diperlukan untuk melalui simpang apabila dibandingkan lintasan tanpa
melalui simpang. Tundaan terdiri dari tundaan lalu lintas dan tundaan geometrik.
Tundaan lalu lintas (vehicle interaction delay) adalah waktu menunggu yang
disebabkan oleh interaksi lalu lintas dengan gerakan lalu lintas yang bertentangan.
Tundaan geometrik (geometrik delay) adalah disebabkan oleh keterlambatan dan
percepatan kendaraan yang membelok pada simpang atau yang terhenti oleh
lampu merah. Total tundaan yang diperhitungkan termasuk geometrik delay dan
vehicle interaction delay.
Penundaan karena berhenti menimbulkan selisih waktu antara kecepatan
perjalanan (journey speed) dan kecepatan bergerak (running speed). Tundaan
dapat dirumuskan sebagai berikut:
ts = t2 t1
dengan:
ts

= tundaan (detik)

t2

= waktu tempuh saat palang ditutup (detik)

t1

= waktu tempuh saat palang dibuka (detik)

14

Menurut Priyanto dan Prayogo (1999) menyebutkan dalam melakukan


pengamatan dari kondisi antrian kendaraan, akan terlihat bahwa pengemudi
kendaraan akan menghentikan kendaraannya dengan suatu jarak yang bervariasi
dari stop line sampai kendaraan terakhir dari antrian. Panjang antrian diukur
dimulai saat pintu lintasan ditutup sampai lintasan dibuka, untuk menghitung
panjang antrian adalah sebagai berikut:
NQ = n/n
dengan:
NQ

= jumlah antrian rata-rata (smp)

= jumlah keseluruhan kendaraan dalam antrian (smp)

= jumlah lintasan ditutup

2.2.7 Biaya Tundaan Lalu Lintas


Biaya tundaan lalu lintas adalah biaya perjalanan yang terjadi sebagai
akibat adanya tambahan waktu perjalan dari kondisi normal. Dari hasil studi
Suratmaja tentang analisis perjalanan, rumus biaya perjalanan akibat tundaan lalu
lintas yaitu:
D = Q x (t x (BOK + NW))
dengan:
D

= Biaya perjalan (Rp)

= volume kendaraan pada waktu puncak (kendaraan)

= waktu tempuh perjalanan (jam)

BOK = Biaya Operasional Kendaraan (Rp/km/kendaraan)


NW

= Nilai waktu (Rp/jam)

2.2.8 Tingkat Pelayanan Jalan


Tingkat pelayanan jalan atau Level Of Service (LOS) menunjukkan kondisi
ruas jalan secara keseluruhan. Tingkat pelayanan ditentukan berdasarkan nilai
kuantitatif seperti V/C, kecepatan (waktu kejenuhan), serta penilaian kualitatif, seperti
kebebasan pengemudi dalam bergerak/memilih kecepatan, derajat hambatan lalu
lintas, keamanan dan kenyamanan. Secara umum, LOS dibedakan atas 6 tingkatan,

15

mulai dari LOS A dengan tingkat pelayanan terbaik sampai LOS F dengan tingkat
pelayanan terburuk. Penjelasan mengenai karakteristik tiap-tiap tingkatan pelayanan
jalan dapat dikemukakan sebagai berikut :
1. Tingkat Pelayanan A
Arus lalu lintas bebas antara satu kendaraan dengan kendaraan lain, volume
lalu lintas rendah, kecepatan operasi tingkat dan sepenuhnya ditentukan oleh
pengemudi, bebas bermanuver dan menentukan lajur kendaraan.
2. Tingkat Pelayanan B.
Arus lalu lintas stabil, kecepatan kendaraan sedikit mulai dibatasi oleh
kenderaan lain tapi secara umum, kenderaan masih memiliki kebebasan untuk
menentukan kecepatan, bermanuver, dan lajur kendaraan itu sendiri.
3. Tingkat Pelayanan C
Arus stabil, kecepatan serta kebebasan bermanuver dan merubah lajur dibatasi
oleh kendaraan lain tapi masih berada pada tingkat kecepatan lain, tapi masih
berada pada tingkat kecepatan yang memuaskan, biasa dipakai untuk
mendesain jalan perkotaan.
4. Tingkat Pelayanan D
Arus mendekati tidak stabil, kecepatan menurun cepat akibat volume yang
berfluktuasi dan hambatan sewaktu-waktu, kebebasan bermanuver dan
kenyamanan rendah, bisa ditoleransi tapi waktu waktu stabil.
5. Tingkat Pelayanan E
Arus tidak stabil, kecepatan rendah dan berubah-berubah, volume mendekati
atau dengan kapasitasnya, terjadi hentian sewaktu-waktu.
6. Tingkat Pelayanan F
Arus yang terhambat, kecepatan rendah, volume lebih besar dari kapasitas,
lalu lintas terhenti sehingga menimbulkan antrian kendaraan yang panjang.

Highway Capacity Manual (1985) memberikan pembagian tingkat pelayanan


berdasarkan Kecepatan rata rata dan Tundaan kendaraan. Pembagian tingkat
pelayanan ini dimuat pada tabel 2.6.

16

Tabel 2.6 Tingkat Pelayanan untuk Intersection dan Jalan Arteri


Kecepatan Perjalanan Rata-rata

Tingkat
Pelayanan

Kelas I

Tundaan

Kelas II

Kendaraan

Mill/jam

Km/jam

Mill/jam

Km/jam

35

56

30

45

<5

28

45

24

38

5 15

22

33

18

29

15,1 25

18

29

14

22

25,1 40

13

21

10

16

40,1 60

13

21

<10

<16

>60

Sumber: Highway Capacity Manual (1985)

2.3

MODEL PERHITUNGAN
1. Metode Greenshild, Greenberg dan Underwood
Hubungan karakteristik arus lalu lintas dapat digolongkan dalam tiga

model yaitu Greenshild, Greenberg dan Underwood. Adapun rumus hubungan


karakterstik lalu lintas yaitu:

Tabel 2.7 Model Karakteristik Lalu Lintas


Rumus
Greenshild

Kecepatan - Kerapatan
us = uf -

uf
k
kj

Arus - Kecepatan
q = kj . us -

Greenberg

us = m In(c) - m In(k)

Underwood

In(Us) = In (Uf) +

1
k
k

kj 2
u
s
uf

Arus - Kerapatan
q = uf . k -

Uf 2
k
kj

q = S . c.exp(
m

q = m- k . In(k)

q = uf . e ( q/us)/kc

q = k.uf . e k/kc

Sumber: May (1990), Putranto (2008) dan Soedirdjo (2002)

17

2. Metode Gelombang Kejut


Gelombang kejut didefinisikan sebagai batas kondisi berbasis ruang dan
waktu yang ditandai dengan diskontinuitas antara arus padat dan tidak padat
(May, 1990).

AB

qA qB
qA

kA kB
kB kA

BC

qB qC
qC

kB kC
kB kC

AC

qA qC
kA kC

dengan:
AB = gelombang kejut saat nilai kerapatan arus pada kondisi volume
kendaraan sama dengan volume kebutuhan (q = qA) berangsurangsur menjadi kerapatan macet (kB).
BC = gelombang kejut dari kendaraan yang mengalami kondisi berhenti
saat pintu ditutup mulai bergerak disusul oleh kendaraan di
belakangnya.
AC = gelombang kejut gerak maju baru.
Panjang antrian
QM =

r r. BC AB

3600 BC AB

Waktu Pelepasan Antrian

t4 t2

r AB
BC AB

BC
1

AC

3. Model Analisis Antrian (Queueing Analysis)


Dari hasil studi Setyaningsih (2007), merumuskan persamaan matematis
untuk kondisi jalan dengan kondisi arus menerus yang secara prinsip dapat
disamakan dengan kasus bottleneck pada kasus perlintasan kereta api ini.

18

Durasi antrian:

tq

VS VB
VS VA

Jumlah kendaraan yang mengalami tundaan:


N = VA.tq
Waktu rata-rata kendaraan tertunda:
Tr =

r VA
1
2 VB

19

Você também pode gostar