Você está na página 1de 28

LAPORAN PENDAHULUAN

STATUS EPILEPTIKUS DENGAN VENTILATOR


DI RUANG ICU RSUD DR.SOETOMO SURABAYA

DISUSUN OLEH:
HUSNA ARDIANA
NIM 13152343061

PROGRAM PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2016
1

LAPORAN PENDAHULUAN
STATUS EPILEPTIKUS
1. KONSEP TEORI
1.1 Definisi
Pada konvensi Epilepsy Foundation of America (EFA), status epileptikus
didefinisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih rangkaian kejang
tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang yang
berlangsung lebih dari 30 menit. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika
seseorang mengalami kejang persisten atau seseorang yang tidak sadar kembali
selama lima menit atau lebih harus dipertimbangkan sebagai status epileptikus
(Franzon, 2011).
1.2 Etiologi
Status epileptikus tonik-klonik, banyak berasal dari insult akut pada otak
dengan suatu fokus serangan. Penyebab status epileptikus yang banyak diketahui
adalah, infark otak mendadak, anoksia otak, bermacam-macam gangguan
metabolisme, tumor otak, menghentikan kebiasaan minuman keras secara mendadak,
atau berhenti makan obat anti kejang. Jarang status epileptikus disebabkan oleh
penyakit degenerasi sel-sel otak, menghentikan penggunaan penenang dengan
mendadak, pasca anestesi dan cedera perinatal. Penderita yang sebelumnya tidak
mempunyai riwayat epilepsi, mungkin mempunyai riwayat trauma kepala, radang
otak, tumor, penyakit pembuluh darah otak. Kelainan-kelainan ini terutama yang
terdapat pada lobus frontalis, lebih sering menimbulkan status epileptikus,
dibandingkan dcngan lokasi lain pada otak. Penderita yang mempunyai riwayat
epilepsi, dcngan sendirinya mempunyai faktor pcncctus tertentu. Umumnya karena
tidak teratur makan obat atau menghentikan obat sekehendak hatinya. Faktor pencetus
lain yang harus diperhatikan adalah alkohol, keracunan kehamilan, uremia dan lainlain.

1.3 Klasifikasi
Klasifikasi status epileptikus adalah sebagai berikut (Turner, 2006) :
2

1) Overt generalized convulsive status epilepticus


Aktivitas kejang yang berkelanjutan dan intermiten tanpa ada kesadaran penuh.
a. Tonik klonik
b. Tonik
c. Klonik
d. Mioklonik
2) Subtle generalized convulsive status epilepticus diikuti dengan generalized
convulsive status epilepticus dengan atau tanpa aktivitas motorik.
3) Simple/partial status epilepticus (consciousness preserved)
a. Simple motor status epilepticus
b. Sensory status epilepticus
c. Aphasic status epilepticus
4) Nonconvulsive status epilepticus(consciousness impaired)
a. Petit mal status epilepticus
b. Complex partial status epilepticus.
1.4 Patofisiologi
Secara klinis dan berdasarkan EEG, status epileptikus dibagi menjadi lima
fase. Fase pertama terjadi mekanisme kompensasi, seperti peningkatan aliran darah
otak dan cardiac output, peningkatan oksigenase jaringan otak, peningkatan tekanan
darah, peningkatan laktat serum, peningkatan glukosa serum dan penurunan pH yang
diakibatkan asidosis laktat. Perubahan syaraf reversibel pada tahap ini. Setelah 30
menit, ada perubahan ke fase kedua, kemampuan tubuh beradaptasi berkurang dimana
tekanan darah , pH dan glukosa serum kembali normal. Kerusakan syaraf irreversibel
pada tahap ini. Pada fase ketiga aktivitas kejang berlanjut mengarah pada terjadinya
hipertermia (suhu meningkat), perburukan pernafasan dan peningkatan kerusakan
syaraf yang irreversibel.
Aktivitas kejang yang berlanjut diikuti oleh mioklonus selama tahap keempat,
ketika peningkatan pernafasan yang buruk memerlukan mekanisme ventilasi.
Keadaan ini diikuti oleh penghentian dari seluruh klinis aktivitas kejang pada tahap
kelima, tetapi kehilangan syaraf dan kehilangan otak berlanjut.

Kerusakan dan kematian syaraf tidak seragam pada status epileptikus, tetapi
maksimal pada lima area dari otak (lapisan ketiga, kelima, dan keenam dari korteks
serebri, serebellum, hipokampus, nukleus thalamikus dan amigdala). Hipokampus
mungkin paling sensitif akibat efek dari status epileptikus, dengan kehilangan syaraf
maksimal dalam zona Summer.
Mekanisme yang tetap dari kerusakan atau kehilangan syaraf begitu kompleks
dan melibatkan penurunan inhibisi aktivitas syaraf melalui reseptor GABA dan
meningkatkan pelepasan dari glutamat dan merangsang reseptor glutamat dengan
masuknya ion Natrium dan Kalsium dan kerusakan sel yang diperantarai kalsium.
Pada status epileptikus terjadi kegagalan mekanisme normal untuk mencegah
kejang. Kegagalan ini terjadi bila rangsangan bangkitan kejang (Neurotransmiter
eksitatori: glutamat, aspartat dan acetylcholine) melebihi kemampuan hambatan
intrinsik (GABA) atau mekanisme hambatan intrinsik tidak efektif.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah
fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan
patologik. Aktifitas kejang sebagian bergantung pada lokasi lepas muatan yang
berlebihan tersebut. Lesi di mesensefalon, talamus, dan korteks sereprum
kemungkinan besar bersifat epileptogenik, sedangkan lesi di serebelum dan batang
otak umumnya tidak memicu kejang. Lombardo MC. Gangguan kejang (Price, 2005).
Di tingkat membran sel, fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena
biokimiawi, termasuk yang berikut:5
1) Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan;
2) Neuron-neuron hipersensitif, ambang untuk melepaskan muatan menurun, apabila
terpicu akan melepaskan muatan secara berlebihan;
3) Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu
dalam polarisasi berubah) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau
defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA);
4) Ketidak seimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit,
yang mengganggu homeostasis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan pada
depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan
berlebihan neurotransmitter eksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang
sebagian disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan energi akibat hiperaktifitas
4

neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat; lepas muatan
listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aluran darah
otak meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di
cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin
mengalami deplesi selama aktifitas kejang.
Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti
histopatologik yang seringkali normal menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat
neurokimiawi bukan struktural. Belum ada faktor patologik yang secara konsisten
ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin dijumpai di
antara

kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka terhadap asetilkolin, suatu

neurotransmitter

fasilitatorik;

fokus-fokus

tersebut

lambat

mengikat

dan

menyingkirkan asetilkolin.
Semua kejang diinisiasi oleh mekanisme yang sama. Namun status epileptikus
melibatkan adanya kegagalan dalam pemutusan rantai kejang tersebut. Berbagai studi
eksperimen menemui kegagalan yang mungkin timbul dari kelangsungan kejang terus
menerus yang abnormal, eksitasi yang meningkat secara tajam atau pengerahan dan
penghambatan yang tidak efektif. Obat standar yang digunakan pada status epileptikus
lebih efektif apabila diberikan pada jam pertama berlangsungnya status. Davis LE,
King MK, Schultz JL. Fundamentals of neurological disease - an introductory text.
New york: Demos medical publishing; 2005.
Status epileptikus dapat menyebabkan cedera otak, khususnya struktur limbik
seperti hipokampus. Selama 30 menit pertama kejang, otak masih dapat
mempertahankan homeostasis melalui peningkatan aliran darah, glukosa darah, dan
pemanfaatan oksigen. Setelah 30 menit, kegagalan homeostasis dimulai dan mungkin
akan berperan dalam kerusakan otak. Hipertermi, rhabdomyolisis, hiperkalemia, dan
asidosis laktat meningkat sebagai hasil dari pembakaran otot spektrum luas yang
terjadi terus menerus. Setelah 30 menit, tanda-tanda dekompensasi lainnya meningkat,
yakni hipoksia, hipoglikemia, hipotensi, leukosistosis, dan cardiac output yang tidak
memadai.
Merujuk pada respon biokimiawi terhadap kejang, kejang itu sendiri saja
nampak cukup, untuk menyebabkan kerusakan otak. Berkurangnya aliran darah otak
(Cerebral Blood Flow), kurang dari 20 ml/100g/menit, memberikan banyak efek di
antaranya terinduksinya Nitrit Oksida Sintase (iNOS) di dalam astrosit dan mikroglia
5

- yang mungkin berhubungan dengan aktivasi N-methyl-D-Aspartate (NMDA)


receptor yang menyebabkan kematian sel yang cepat hingga 3-5 menit saja - yang
kemudian bereaksi dengan O2 radikal bebas yang

menghasilkan super-radical.

Aktifasi ini menyebabkan pelepasan asam amino eksitatorik aspartat dan glutamat.
Akibatnya, berlangsunglah sebuah mekanisme kerusakan yang dimediasi oleh
glutamat - glutamic-mediated excitotoxicity-khususnya di hipokampus. Sementara,
konsentrasi kalsium ekstraseluler normal pada neuron-neuron setidaknya 1000 kali
lebih besar daripada intraseluler. Selama kejang, receptor-gated calcium channel
terbuka mengikuti stimulasi reseptor NMDA. Peningkatan kalsium intraseluler yang
fluktuatif ini akan semakin meningkatkan keracunan sel. Akibatnya apabila kejang ini
terus menerus terjadi, kerusakan otak yang terjadi pun akan semakin besar. Hughes R.
Neurological emergencies. 4 ed. London: BMJ Publishing Group; 2003.
Status epileptikus dibagi menjadi 2 fase, yaitu:
1) Fase I (0-30 menit) - mekanisme terkompensasi. Pada fase ini terjadi:
a) Pelepasan adrenalin dan noradrenalin
b) Peningkatan cerebral blood flow dan metabolisme
c) Hipertensi, hiperpireksia
d) Hiperventilasi, takikardi, asidosis laktat
2) Fase II (> 30 menit) - mekanisme tidak terkompensasi. Pada fase ini terjadi:
a) Kegagalan autoregulasi serebral/edema otak
b) Depresi pernafasan
c) Disritmia jantung, hipotensi
d) Hipoglikemia, hiponatremia
e) Gagal ginjal, rhabdomyolisis, hipertermia dan DIC
Penyebab terjadinya status epileptikus antara lain infeksi, hipoglikemia,
hipoksemia, trauma, epilepsi, panas, dan tidak diketahui (30%)
6

1.5 Manifestasi Klinis


Epilepsi fokal dengan manifestasi kejang otot lokal sampai separuh tubuh,
gerakan adversif mata dan kepala, sering merupakan awal dari status epileptikus.
Keluarga penderita yang melihat kejadian ini akan dapat menceritakannya kembali
dengan jelas. Enam puluh sampai delapanpuluh persen status epileptikus dimulai
dengan gejala-gejala fokal. Kejang menjadi bilateral dan umum akibat penyebaran
lepas muatan listrik yang terus menerus dari fokus pada suatu hemisfer ke hemisfer
lain. Kejang tonik akan diikuti oleh sentakan otot atau kejang klonik. Proses ini
berlangsung terus, sambung-menyambung tanpa diselingi oleh fase sadar. Dalam
bentuk klinis seperti ini penderita berada dalam keadaan status epileptikus.
Pengenalan terhadap status epileptikus penting pada awal stadium untuk
mencegah keterlambatan penanganan. Status tonik-klonik umum (Generalized TonicClonic) merupakan bentuk status epileptikus yang paling sering dijumpai, hasil dari
survei ditemukan kira-kira 44 sampai 74 persen, tetapi bentuk yang lain dapat juga
terjadi.
1) Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum (Generalized tonic-clonic Status
Epileptikus)
Ini merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling sering dihadapi dan
potensial dalam mengakibatkan kerusakan. Kejang didahului dengan tonik-klonik
umum atau kejang parsial yang cepat berubah menjadi tonik klonik umum. Pada
status tonik-klonik umum, serangan berawal dengan serial kejang tonik-klonik
umum tanpa pemulihan kesadaran diantara serangan dan peningkatan frekuensi.

Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik yang
melibatkan otot-otot aksial dan pergerakan pernafasan yang terputus-putus. Pasien
menjadi sianosis selama fase ini, diikuti oleh hyperpnea retensi CO2. Adanya
takikardi dan peningkatan tekanan darah, hyperpireksia mungkin berkembang.
Hiperglikemia dan peningkatan laktat serum terjadi yang mengakibatkan
penurunan pH serum dan asidosis respiratorik dan metabolik. Aktivitas kejang
sampai lima kali pada jam pertama pada kasus yang tidak tertangani.
2) Status Epileptikus Klonik-Tonik-Klonik (Clonic-Tonic-Clonic Status Epileptikus)
Adakalanya status epileptikus dijumpai dengan aktivitas klonik umum
mendahului fase tonik dan diikuti oleh aktivitas klonik pada periode kedua.
3) Status Epileptikus Tonik (Tonic Status Epileptikus)
Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan kehilangan
kesadaran tanpa diikuti fase klonik. Tipe ini terjai pada ensefalopati kronik dan
merupakan gambaran dari Lenox-Gestaut Syndrome.

4) Status Epileptikus Mioklonik.


Biasanya terlihat pada pasien yang mengalami enselofati. Sentakan
mioklonus adalah menyeluruh tetapi sering asimetris dan semakin memburuknya
tingkat kesadaran. Tipe dari status epileptikus tidak biasanya pada enselofati
anoksia berat dengan prognosa yang buruk, tetapi dapat terjadi pada keadaan
toksisitas, metabolik, infeksi atau kondisi degeneratif.
5) Status Epileptikus Absens
8

Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada usia
pubertas atau dewasa. Adanya perubahan dalam tingkat kesadaran dan status
presen sebagai suatu keadaan mimpi (dreamy state) dengan respon yang lambat
seperti menyerupai slow motion movie dan mungkin bertahan dalam waktu
periode yang lama. Mungkin ada riwayat kejang umum primer atau kejang absens
pada masa anak-anak. Pada EEG terlihat aktivitas puncak 3 Hz monotonus
(monotonous 3 Hz spike) pada semua tempat. Respon terhadap status epileptikus
Benzodiazepin intravena didapati.
6) Status Epileptikus Non Konvulsif
Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens atau parsial
kompleks, karena gejalanya dapat sama. Pasien dengan status epileptikus nonkonvulsif ditandai dengan stupor atau biasanya koma.
Ketika

sadar, dijumpai

perubahan

kepribadian

dengan

paranoia,

delusional, cepat marah, halusinasi, tingkah laku impulsif (impulsive behavior),


retardasi psikomotor dan pada beberapa kasus dijumpai psikosis. Pada EEG
menunjukkan generalized spike wave discharges, tidak seperti 3 Hz spike wave
discharges dari status absens.
7) Status Epileptikus Parsial Sederhana
a

Status Somatomotorik
Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut, ibu jari dan jarijari pada satu tangan atau melibatkan jari-jari kaki dan kaki pada satu sisi dan
berkembang menjadi jacksonian march pada satu sisi dari tubuh. Kejang
mungkin menetap secara unilateral dan kesadaran tidak terganggu. Pada EEG
sering tetapi tidak selalu menunjukkan periodic lateralized epileptiform
discharges pada hemisfer yang berlawanan (PLED), dimana sering
berhubungan dengan proses destruktif yang pokok dalam otak. Variasi dari
status somatomotorik ditandai dengan adanya afasia yang intermitten atau
gangguan berbahasa (status afasik).

Status Somatosensorik
Jarang ditemui tetapi menyerupai status somatomotorik dengan gejala sensorik
unilateral yang berkepanjangan atau suatu sensory jacksonian march.
9

8) Status Epileptikus Parsial Kompleks


Dapat dianggap sebagai serial dari kejang kompleks parsial dari frekuensi
yang cukup untuk mencegah pemulihan diantara episode. Dapat terjadi
otomatisme, gangguan berbicara, dan keadaan kebingungan yang berkepanjangan.
Pada EEG terlihat aktivitas fokal pada lobus temporalis atau frontalis di satu sisi,
tetapi bangkitan epilepsi sering menyeluruh. Kondisi ini dapat dibedakan dari
status absens dengan EEG, tetapi mungkin sulit memisahkan status epileptikus
parsial kompleks dan status epileptikus non-konvulsif pada beberapa kasus.
1.6 Pemeriksaan Dan Diagnosis
Diagnosa dalam keadaan status epileptikus tidak sukar, akan tetapi
perawatannya memerlukan lebih banyak perhatian. Status epileptikus dapat timbul
karena berbagai sebab. Bilamana dokter dipanggil untuk menolong penderita, maka ia
tidak usah langsungmemberi obat untuk menghilangkan kejang umum yang hebat itu.
Dengan tenang harus menyelidiki dahulu penyakit yang mendasarinya.
1) Anamnesis:
a) Lama kejang, sifat kejang (fokal, umum, tonik/klonik)
b) Tingkat kesadaran diantara kejang
c) Riwayat kejang sebelumnya, riwayat kejang dalam keluarga
d) Panas, trauma kepala
e) Riwayat persalinan, tumbuh kembang
f) Penyakit yang sedang diderita dan RPD.
2) Pemeriksaan fisik : pemeriksaan neurologi lengkap meliputi:
a)

Tingkat Kesadaran

b)

Pupil

c)

Reflex fisiologis dan patologis

d)

Tanda tanda perdarahan

e)

Lateralisasi
10

Pemeriksaan fisik akan dipersulit oleh konvulsi umum, maka dari itu
anamnesa harus dilakukan secara mendalam.
3) Pemeriksaan Penunjang
Terdiri dari pemeriksaan laboratorium yaitu darah CBC, elektrolit, glukosa,
fungsi ginjal dengan urin analisis dan kultur, jika ada didugaan infeksi maka
dilakukan kultur darah, dan Imaging yaitu CT scan dan MRI untuk mengevaluasi
lesi struktural di otak, EEG untuk mengetahui aktivitas listrik otak dan dilakukan
secepat mungkin jika pasien mengalami gangguan mental. Pungsi lumbar dapat
kita lakukan jika ada dugaan infeksi CNS atau perdarahan subaraknoid.

Gambaran EEG status epileptikus Subtle generalized convulsive status


epilepticus with spike wave activity
1.7 Penatalaksanaan Dan Pengobatan
Status epileptikus tipe grandmal ini merupakan gawat darurat neurologic.
Harus diatasi secepat mungkin untuk menghindarkan kematian atau cedera saraf
permanen. Biasanya dilakukan 3 tahap tindakan :
1) Stabilisasi penderita.
2) Menghentikan kejang.
3) Menegakkan diagnosis.
Stabilisasi penderita
Tahap ini meliputi usaha-usaha mempertahankan dan memperbaiki fungsi vital
yang mungkin terganggu; membersihkan udara dan jalan pernafasan, serta
memberikan oksigen. Dalam keadaan tcrtcntu, tcrutama bila kejang sudah lama atau
ada hambatan saluran pemafasan, harus dilakukan intubasi. Tekanan darah
11

dipertahankan, diberikan garam fisiologis dan bila perlu diberi vasopressor. Darah
diambil untuk pemeriksaan darah lengkap, gula darah, elektrolit, ureum, kreatinin dan
bagi penderita epilepsi diperiksa kadar obat dalam scrum darahnya. Harus diperiksa
gas - gas darah arteri, untuk melacak adanya asidosis metabolik dan kemampuan
oksigenasi darah. Asidosis dikoreksi dengan bikarbonat intravena. Segera diberi 50 ml
glukosa 50% intravena, diikuti pemberian tiamin 100 milligram intramuskuler.
Menghentikan kejang
Usaha mengakhiri kejang dilakukan segera sesudah tahap stabilisasi selesai.
Tindakan ini dimulai dengan pemberian bolus diazepam, 2 mg/menit, masing-masing
10 mg. Pemberian bolus diazepam dilanjutkan sampai jumlah 50 mg, sementara itu
pernafasan dimonitor terus. Biasanya kejang sudah dapat diatasi. Bila pemberian
diazepam yang waktu paruhnya hanya sekitar 15 menit belum berhasil, diberikan
fenitoin yang bekerja lebih lama, mempunyai waktu paruh selama 24 jam. Fenitoin
diberikan secara intravena, 2 10 mg fenitoin dilarutkan dalam 1ml garam fisiologis
( 5mg/ml), dengan dosis fenitoin 18 mg/kg berat badan, dengan kecepatan kurang
dari 50 mg/menit. Efek samping aritmi jantung sering timbul pada pemberian fenitoin
yang terlalu cepat atau lebih dari 50 mg/menit, bukan karena jumlah fenitoin yang
diberikan. Diazepam dan fenitoin dapat menekan pernafasan, terutama bila pemberian
terlalu cepat. Oleh karena itu selama pemberian obat ini harus dilakukan monitoring
ECG dan pernafasan. Bila kejang masih terus berlangsung sesudah 20 menit
pemberian fenitoin, intubasi harus dilakukan. Selanjutnya diberi fenobarbital sampai
kejang berhenti atau dosis seluruhnya mencapai 20 mg/kg berat badan. Fenobarbital
juga diberikan per infus dengan kecepatan maksimum 100 mg/menit. Selama
pemberian fenobarbital harus diperhatikan kemungkinan gangguan pernafasan dan
turunnya tekanan darah. Apabila tahap pemberian fenobarbital belum berhasil
menghentikan kejang, maka ahli saraf harus memikirkan tindakan resusitasi otak
melalui anestesi dengan pemberian pentobarbital atau amobarbital. Takaran obat yang
diberikan disesuaikan sampai tercapai aktivitas otak yang dikenal dengan outburst
suppression pattern pada rekaman EEG. Dosis ini dipertahankan selama tiga jam,
agar otak mempunyai waktu yang cukup untuk membangkitkan homeostasis dan
melawan kejang berkelanjutan. Di tempat-tempat yang tidak mempunyai sarana
12

pemberian obat secara intravena atau tidak ada fasilitas resusitasi, dapat diberikan
pertolongan pertama dengan pemberian paraldehid ke dalam otot atau rektum.
Suntikan paraldehid masing-masing 5 mg ke dalam kedua otot bokong setiap 3 jam,
atau paraldehid 10% dalam larutan garam fisiologis, sebanyak 5 ml melalui rektum.
Menegakkan diagnosis
Dalam tahap ini bukan diagnosis epilepsi yang dicari, melainkan upaya untuk
mencari apa yang menjadi latar belakang timbulnya status epileptikus. Tahap ini
sedikit banyak tumpang tindih dengan tahap stabilisasi penderita. Selama dilakukan
usaha untuk mempertahankan dan memperbaiki fungsi vital, alloanamnesis dilakukan
untuk memperoleh keterangan mengenai riwayat penyakit sebelumnya. Adanya
kemungkinan riwayat epilepsi, penggunaan alkohol, obat penenang, trauma, radang
otak dan penyakit lain yang ada kaitannya dengan status epileptikus. Tahap ini sangat
penting untuk menentukan prognosis di samping keberhasilan tahap sebelumnya.
Status

epileptikus

merupakan

salah

satu

kondisi

neurologis

yang

membutuhkan anamnesa yang akurat, pemeriksaan fisik, prosedur diagnostik, dan


penanganan segera. Mungkin dan harus dirawat pada ruang intensif (ICU). Protokol
penatalaksanaan status epileptikus pada makalah ini diambil berdasarkan konsensus
Epilepsy Foundation of America (EFA). Lini pertama dalam penanganan status
epileptikus menggunakan Benzodiazepin. Benzodiazepin yang paling sering
digunakan adalah Diazepam (Valium), Lorazepam (Ativan), dan Midazolam (Versed).
Ketiga obat ini bekerja dengan peningkatan inhibisi dari g-aminobutyric acid
(GABA) oleh ikatan pada Benzodiazepin-GABA dan kompleks Reseptor-Barbiturat.
Berdasarkan penelitian Randomized Controlled Trials (RCT) pada 570 pasien yang
mengalami status epileptikus yang dibagi berdasarkan empat kelompok (pada tabel di
bawah), dimana Lorazepam 0,1 mg/kg merupakan obat terbanyak yang berhasil
menghentikan kejang sebanyak 65 persen.
Nama obat

Dosis (mg/kg)

Persentase

1. Lorazepam

0,1

65 %

2. Phenobarbitone

15

59 %
13

3. Diazepam + Fenitoin
4. Fenitoin

0.15 + 18

56 %

18

44 %

Lorazepam memiliki volume distribusi yang rendah dibandingkan dengan


Diazepam dan karenanya memiliki masa kerja yang panjang. Diazepam sangat larut
dalam lemak dan akan terdistribusi pada depot lemak tubuh. Pada 25 menit setelah
dosis awal, konsentrasi Diazepam plasma jatuh ke 20 persen dari konsentrasi
maksimal. Mula kerja dan kecepatan depresi pernafasan dan kardiovaskuler (sekitar
10 %) dari Lorazepam adalah sama.
Pemberian antikonvulsan masa kerja lama seharusnya dengan menggunakan
Benzodiazepin. Fenitoin diberikan dengan 18 sampai 20 mg/kg dengan kecepatan
tidak lebih dari 50 mg dengan infus atau bolus. Dosis selanjutnya 5-10 mg/kg jika
kejang berulang. Efek samping termasuk hipotensi (28-50 %), aritmia jantung (2%).
Fenitoin parenteral berisi Propilen glikol, Alkohol dan Natrium hidroksida dan
penyuntikan harus menggunakan jarum suntik yang besar diikuti dengan NaCl 0,9 %
untuk mencegah lokal iritasi : tromboplebitis dan purple glove syndrome. Larutan
dekstrosa tidak digunakan untuk mengencerkan fenitoin, karena akan terjadi
presipitasi yang mengakibatkan terbentuknya mikrokristal.

Status Epileptikus Refrakter


Pasien dengan kejang yang rekuren, atau berlanjut selama lebih dari 60 menit.
Walaupun dengan obat lini pertama pada 9-40 % kasus. Kejang berlanjut dengan
alasan yang cukup banyak seperti, dosisnya di bawah kadar terapi, hipoglikemia
rekuren, atau hipokalsemia persisten.
Kesalahan diagnosis kemungkinan lain-tremor, rigor dan serangan psikogenik
dapat meniru kejang epileptik. Mortalitas pada status epileptikus refrakter sangat
tinggi dibandingkan dengan yang berespon terhadap terapi lini pertama. Dalam
14

mengatasi status epileptikus refrakter, beberapa ahli menyarankan menggunakan


Valproat atau Phenobarbitone secara intravena. Sementara yang lain akan memberikan
medikasi dengan kandungan anestetik seperti Midazolam, Propofol, atau Tiofenton.
Penggunaan ini dimonitor oleg EEG, dan jika tidak ada kativitas kejang, maka dapat
ditapering. Dan jika berlanjut akan diulang dengan dosis awal.
Protokol Penatalaksanaan Status Epileptikus, (EFA, 1993)
Pada : awal menit
1) Bersihkan jalan nafas, jika ada sekresi berlebihan segera bersihkan (bila perlu
intubasi)
1) Periksa tekanan darah
2) Mulai pemberian Oksigen
3) Monitoring EKG dan pernafasan
4) Periksa secara teratur suhu tubuh
5) Anamnesa dan pemeriksaan neurologis
2) Kirim sampel serum untuk evaluasi elektrolit, Blood Urea Nitrogen, kadar
glukosa, hitung darah lengkap, toksisitas obat-obatan dan kadar antikonvulsan
darah; periksa AGDA (Analisa Gas Darah Arteri)
3) Infus NaCl 0,9% dengan tetesan lambat
4) Berikan 50 mL Glukosa IV jika didapatkan adanya hipoglikemia, dan Tiamin 100
mg IV atau IM untuk mengurangi kemungkinan terjadinya wernickes
encephalophaty
5) Lakukan rekaman EEG (bila ada)
6) Berikan Lorazepam (Ativan) 0,1 sampai 0,15 mg per kg (4 sampai 8 mg) intravena
dengan kecepatan 2 mg per menit atau Diazepam 0,2 mg/kg (5 sampai 10 mg).
Jika kejang tetap terjadi berikan Fosfenitoin (Cerebyx) 18 mg per kg intravena
dengan kecepatan 150 mg per menit, dengan tambahan 7 mg per kg jika kejang
15

berlanjut. Jika kejang berhenti, berikan Fosfenitoin secara intravena atau


intramuskular dengan 7 mg per kg per 12 jam. Dapat diberikan melalui oral atau
NGT jika pasien sadar dan dapat menelan.

Pada : 20 sampai 30 menit, jka kejang tetap berlangsung


1) Intubasi, masukkan kateter, periksa temperatur
2) Berikan Fenobarbital dengan dosis awal 20 mg per kg intravena dengan
kecepatan 100 mg per menit
Pada : 40 sampai 60 menit, jika kejang tetap berlangsung
Mulai infus Fenobarbital 5 mg per kg intravena (dosis inisial), kemudian bolus
intravena hingga kejang berhenti, monitoring EEG; lanjutkan infus Pentobarbital 1
mg per kg per jam; kecepatan infus lambat setiap 4 sampai 6 jam untuk
menetukan apakah kejang telah berhenti. Pertahankan tekanan darah stabil.
-atauBerikan Midazolam (Versed) 0,2 mg per kg, kemudian pada dosis 0,75 sampai 10
mg per kg per menit, titrasi dengan bantuan EEG.
-atauBerikan Propofol (Diprivan) 1 sampai 2 mg per kg per jam. Berikan dosis
pemeliharaan berdasarkan gambaran EEG.

16

17

1.8 Komplikasi
1) Asidosis
2) Hipoglikemia
3) Hiperkarbia
4) Hipertensi pulmonal

18

5) Edema paru
6) Hipertermia
7) Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)
8) Gagal ginjal akut
9) Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
10) Edema otak
11) Aspirasi Pneumonia
1.9 Prognosis
Tergantung pada:
1) Penyakit dasar
2) Kecepatan penanganan kejang
3) Komplikasi

2. KONSEP TEORI ASUHAN KEPERAWATAN


2.1 Pengkajian
a. Pengkajian kondisi/kesan umum
Kondisi umum klien nampak sakit berat
b. Pengkajian kesadaran
Setelah melakukan pengkajian kesan umum, kaji status mental pasien dengan
berbicara padanya. Kenalkan diri, dan tanya nama pasien. Perhatikan respon
pasien. Bila terjadi penurunan kesadaran, lakukan pengkajian selanjutnya.
c. Pengkajian kesadaran dengan metode AVPU meliputi :
1) Alert (A)

Klien tidak berespon terhadap lingkungan

sekelilingnya.
2) Respon velbal (V)

klien tidak berespon terhadap pertanyaan perawat.

3) Respon nyeri (P)

klien tidak berespon terhadap respon nyeri.


19

4) Tidak berespon (U) :

klien tidak berespon terhadap stimulus verbal dan

nyeri ketika dicubit dan ditepuk wajahnya.


d. Pengkajian Primer
Pengkajian primer adalah pengkajian cepat (30 detik) untuk mengidentifikasi
dengan segera masalah aktual dari kondisi life treatening (mengancam
kehidupan). Pengkajian berpedoman pada inspeksi, palpasi, perkusi dan
auskultasi jika hal memugkinkan.
Prioritas penilaian dilakukan berdasarkan :
1)

Airway (jalan nafas) dengan kontrol servikal

2)

Breathing dan ventilasi

3)

Circulation dengan kontrol perdarahan

4)

Disability

5)

Eksposur

1) Airway (jalan nafas) dengan kontrol servikal.


Ditujukan untuk mengkaji sumbatan total atau sebagian dan gangguan
servikal :
a)

Ada/tidaknya sumbatan jalan nafas

b)

Distres pernafasan

c)

Adanya kemungkinan fraktur cervical


Pada fase iktal, biasanya ditemukan klien mengatupkan giginya sehingga
menghalangi jalan napas, klien menggigit lidah, mulut berbusa, dan pada fase
posiktal, biasanya ditemukan perlukaan pada lidah dan gusi akibat gigitan
tersebut

2) Breathing
Pada fase iktal, pernapasan klien menurun/cepat, peningkatan sekresi mukus,
dan kulit tampak pucat bahkan sianosis. Pada fase post iktal, klien
mengalami apneu
3) Circulation
Pada fase iktal terjadi peningkatan nadi dan sianosis, klien biasanya dalam
keadaan tidak sadar.
4) Disability
20

Klien bisa sadar atau tidak tergantung pada jenis serangan atau karakteristik
dari epilepsi yang diderita. Biasanya pasien merasa bingung, dan tidak
teringat kejadian saat kejang
5) Exposure
Pakaian klien di buka untuk melakukan pemeriksaan thoraks, apakah ada
cedera tambahan akibat kejang
e. Pengkajian Sekunder

1) Epidemiologi
Biasanya dimulai pada masa kanak-kanak, lebih sering terjadi pada usia 2
tahun pertama. Pada anak usia 3 tahun lebih fator etiologi yang paling sering
di jumpai adalah penyakit epilepsi idiopatik.
Kebanyakan adalah anak laki-laki,Spasme infantil onset sebelum 1
tahun, puncaknya 3-7 bulan, sindroma west atipik onset sebelum 3 bulan.
Kejang neonatal familial benigna hari ke2 sampai 15 setelah lahir.Petit mal
terjadi pada anak-anak yang berumur 4-8 tahun.
2) Keluhan utama
Keluhan utama yang sering menjadi alasan pasien atau orang tua
membawa anaknya untuk meminta pertolongan kesehatan adalah kejang yang
berulang tanpa disertai atau disertai penurunan tingkat kesadaran.
3) Riwayat Penyakit Sekarang
Faktor riwayat penyakit sangat penting diketahui karena untuk
mengetahui pola kejang dari pasien. Disini harus ditanya dengan jelas tentang
gejala yang timbul seperti kapan mulai serangan,pada saat apa pasien kejang
atau setelah melakukan aktivitas apa misalnya setelah bermain,saat nonton tv
dan atau keadaan emosional. Waktu terjadinya kejang pagi hari sesaat setelah
bangun tidur.
Kejang generalisata terjadi setiap saat, siang, atau malam hari, dengan
interval antar episode selama beberapa menit, jam, minggu, bahkan tahun..
4) Riwayat Penyakit Dahulu
Pernah menderita infeksi otak, odem serebri, trauma kepala, hipokalsemia,
hipoglikemia
5) Riwayat Penyakit Keluarga
Ada keluarga dengan riwayat epilepsi.
21

6) Riwayat Persalinan
Prenatal : fetal distress,perdarahan pervagina,ketuban pecah dini, infeksi virus
TORCH.
Perinatal : Trauma persalinan, persalinan dengan vacuum, forcep, partus lama,
Seksio caesaria
Pasca natal: Asfeksia,hiperbilirubin,hipoglikemi
7) Pemeriksaan Fisik
B1: Breath
Dipnoe, sesak nafas, peningkatan frekuensi nafas sampai apnoe,slem banyak
karena hipersalivasi.
B2: Blood
Penurunan nadi, hipertensi, acral dingin, CT > dari 2 detik, sianosis, suhu
tubuh kadang tinggi bila pemicunya infeksi.
B3: Brain
Sakit kepala, migren, kejang berulang, penurunan kesadaran, gelisah,
gangguan sensori penglihatan (seperti melihat kilatan cahaya), dan sensori
penghidu (membau yang aneh)
B4: Blader
Inkontinensia urine, peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus spinkter.
B5: Bowe
Inkontinensia feses, nyeri perut, resistensi terhadap makanan mual muntah
B6: Bone
Kejang, peningkatan tonus otot, penurunan tonus otot,nyeri otot dan
punggung, gerakan involunter, kerusakan jaringan lunak dan gigi.
f.

Analisis Data

Data

Etiologi

Masalah Keperawatan

DS:
DO: pasien kejang (kaki
menendang- nendang,
ekstrimitas atas fleksi), gigi
geligi terkunci, lidah menjulur

perubahan aktivitas listrik di


otak
Keseimbangan terganggu
gerakan tidak terkontrol

Resiko cedera

DS: sesak,
DO:apnea, cianosis

gangguan nervus V, IX, X


lidah melemah
menutup saluran trakea
Adanya obstruksi

Bersihan jalan napas tidak


efektif

22

DS: terjadi aura (mendengar


bunyi yang melengking di
telinga, bau- bauan, melihat
sesuatu), halusinasi, perasaan
bingung, melayang2.
DO: penurunan respon terhadap
stimulus, terjadi salah persepsi

Terjadi depolarisasi berlebih


Gangguan persepsi sensori
Bangkitan listrik di bagian otak
serebrum
Menyebar ke nervus- nervus
Mempengaruhi aktivitas organ
sensori persepsi

DS: klien terlihat rendah diri


saat berinteraksi dengan orang
lain
DO:menarik diri

Stigma masyarakat yang buruk Isolasi sosial


tentang penyakit epilepsi atau
ayan
Klien merasa rendah diri
Menarik diri

DS: klien terlihat cemas,


gelisah.
DO: takikardi, frekuensi napas
cepat atau tidak teratur

Terjadi kejang epilepsi


Kurang pengetahuan tentang
kondisi penyakit
Bingung

DS: pasien mengeluh sesak


DO: RR meningkat dan tidak
teratur,

Terjadi bangkitan listrik di otak Ketidakefektifan pola napas


Menyebar ke daerah medula
oblongata
Mengganggu pusat respiratori
Mempengaruhi pola napas

DS: klien merasa lemas, klien


mengeluh cepat lelah saat
melakukan aktivitas
DO:takikardi, takipnea,

terjadi bangkitan listrik di otak Intoleransi aktivitas


menyebar ke MO
mengganggu pusat
kardiovaskular
takikardia
CO menurun
Suplai darah (O2) ke jaringan
menurun
metabolisme aerob menjadi
anaerob
ATP dari 38 menjadi 2
kelelahan
intoleransi aktifitas

Ansietas

DS: pasien menunjukkan


CO menurun
Resiko penurunan perfusi
kelelahan, diam, tidak banyak Suplai darah ke otak berkurang serebral
bergerak
Iskemia jaringan serebral (O2
DO: penurunan kesadaran,
tidak adekuat)
penurunan kemampuan persepsi
sensori, tidak ada reflek
2.2 Diagnosa Keperawatan
23

a. Resiko

cedera

b.d

aktivitas

kejang

yang

tidak

terkontrol

(gangguan

keseimbangan).
b. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah di
endotrakea, peningkatan sekresi saliva
c. Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk
penyakit epilepsi dalam masyarakat
d. Ketidakefektifan pola napas b.d dispnea dan apnea
e. Intoleransi aktivitas b.d penurunan kardiac output, takikardia
f. Gangguan persepsi sensori b.d gangguan pada nervus organ sensori persepsi
g. Ansietas b.d kurang pengetahuan mengenai penyakit
h. Resiko penurunan perfusi serebral b.d penurunan suplai oksigen ke otak
2.3 Intervensi dan rasional
1) Resiko cedera b.d

aktivitas

kejang

yang

tidak

terkontrol

(gangguan

keseimbangan).
Tujuan : Klien dapat mengidentifikasi faktor presipitasi serangan dan dapat
meminimalkan/menghindarinya, menciptakan keadaan yang aman untuk klien,
menghindari adanya cedera fisik, menghindari jatuh
Kriteria hasil : tidak terjadi cedera fisik pada klien, klien dalam kondisi aman,
tidak ada memar, tidak jatuh

Intervensi

Rasional

Observasi:
Identivikasi factor lingkungan yang
memungkinkan resiko terjadinya cedera

Barang- barang di sekitar pasien dapat


membahayakan saat terjadi kejang

Pantau status neurologis setiap 8 jam

Mengidentifikasi perkembangan atau


penyimpangan hasil yang diharapkan

Mandiri
Jauhkan benda- benda yang dapat
mengakibatkan terjadinya cedera pada
pasien saat terjadi kejang

Mengurangi terjadinya cedera seperti


akibat aktivitas kejang yang tidak
terkontrol

Pasang penghalang tempat tidur pasien

Penjagaan untuk keamanan, untuk


mencegah cidera atau jatuh

Letakkan pasien di tempat yang rendah

Area yang rendah dan datar dapat


24

dan datar

mencegah terjadinya cedera pada pasien

Tinggal bersama pasien dalam waktu


beberapa lama setelah kejang

Memberi penjagaan untuk keamanan


pasien untuk kemungkinan terjadi kejang
kembali

Menyiapkan kain lunak untuk mencegah Lidah berpotensi tergigit saat kejang
terjadinya tergigitnya lidah saat terjadi
karena menjulur keluar
kejang
Tanyakan pasien bila ada perasaan yang
tidak biasa yang dialami beberapa saat
sebelum kejang

Untuk mengidentifikasi manifestasi awal


sebelum terjadinya kejang pada pasien

Kolaborasi:
Berikan obat anti konvulsan sesuai advice Mengurangi aktivitas kejang yang
dokter
berkepanjangan, yang dapat mengurangi
suplai oksigen ke otak
Edukasi:
Anjurkan pasien untuk memberi tahu jika Sebagai informasi pada perawat untuk
merasa ada sesuatu yang tidak nyaman, segera melakukan tindakan sebelum
atau mengalami sesuatu yang tidak biasa terjadinya kejang berkelanjutan
sebagai permulaan terjadinya kejang.
Berikan informasi pada keluarga tentang Melibatkan keluarga untuk mengurangi
tindakan yang harus dilakukan selama
resiko cedera
pasien kejang
2) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah di
endotrakea, peningkatan sekresi saliva
Tujuan : jalan nafas menjadi efektif

25

Kriteria hasil : nafas normal (16-20 kali/ menit), tidak terjadi aspirasi, tidak ada dispnea
Intervensi

Rasional

Mandiri
Anjurkan klien untuk mengosongkan mulut menurunkan resiko aspirasi atau masuknya
dari benda / zat tertentu / gigi palsu atau alat sesuatu benda asing ke faring.
yang lain jika fase aura terjadi dan untuk
menghindari rahang mengatup jika kejang
terjadi tanpa ditandai gejala awal.
Letakkan pasien dalam posisi miring,
permukaan datar

meningkatkan aliran (drainase) sekret,


mencegah lidah jatuh dan menyumbat jalan
nafas
Tanggalkan pakaian pada daerah leher / dada untuk memfasilitasi usaha bernafas / ekspansi
dan abdomen
dada
Melakukan suction sesuai indikasi

Kolaborasi
Berikan oksigen sesuai program terapi

Mengeluarkan mukus yang berlebih,


menurunkan resiko aspirasi atau asfiksia.
Membantu memenuhi kebutuhan oksigen agar
tetap adekuat, dapat menurunkan hipoksia
serebral sebagai akibat dari sirkulasi yang
menurun atau oksigen sekunder terhadap
spasme vaskuler selama serangan kejang.

3) Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk
penyakit epilepsi dalam masyarakat
Tujuan: mengurangi rendah diri pasien
Kriteria hasil:
a) adanya interaksi pasien dengan lingkungan sekitar
b) menunjukkan adanya partisipasi pasien dalam lingkungan masyarakat
Intervensi

Rasional

Observasi:
Identifikasi dengan pasien, factor- factor yang Memberi informasi pada perawat tentang
berpengaruh pada perasaan isolasi sosial
factor yang menyebabkan isolasi sosial pasien
pasien
Mandiri
26

Memberikan dukungan psikologis dan


motivasi pada pasien

Dukungan psikologis dan motivasi dapat


membuat pasien lebih percaya diri

Kolaborasi:
Kolaborasi dengan tim psikiater

Konseling dapat membantu mengatasi


perasaan terhadap kesadaran diri sendiri.

Rujuk pasien/ orang terdekat pada kelompok Memberikan kesempatan untuk mendapatkan
penyokong, seperti yayasan epilepsi dan
informasi, dukungan ide-ide untuk mengatasi
sebagainya.
masalah dari orang lain yang telah
mempunyai pengalaman yang sama.
Edukasi:
Anjurkan keluarga untuk memberi motivasi
kepada pasien

Keluarga sebagai orang terdekat pasien,


sangat mempunyai pengaruh besar dalam
keadaan psikologis pasien

Memberi informasi pada keluarga dan teman Menghilangkan stigma buruk terhadap
dekat pasien bahwa penyakit epilepsi tidak
penderita epilepsi (bahwa penyakit epilepsi
menular
dapat menular).

DAFTAR PUSTAKA
BAG/SMF Ilmu Penyakit Saraf. 2006. Pedoman Diagnosis dan Terapi, Edisi III. Hal 64,
Surabaya : Rumah Sakit Dokter Soetomo.
Dr. Harsono, DSS. 2009. Kapita Selekta Neurologi, Edisi II. Hal 132, Yogyakarta : Gajah
Mada University Press.
Franzon

D.Status

Epileptikus

[online]

Available

from

peds.stanford.edu/8_status_epilepticus.pdf
Price SA, Wilson LM, editors. Patofisiologi. 6 ed. Jakarta: EGC; 2005. p. 1158-1161.
Priguna Sidharta, M.D., Ph. D.2008. Neurologi Klinik Dalam Praktek Umum. Hal 320 - 321,
Jakarta : PT Dian Rakyat.

27

Turner C. Epilepsy. In: Neurology Crash course. 2nd edition.Philadelphia:Mosby


Elsevier:2006.p.95-100

28

Você também pode gostar