Você está na página 1de 7

Nama

: Putu Vierda Lya Suandari

NIM

: 14120706037

Mata Kuliah : Manajemen Rumah Sakit


Dosen

: Sang Ketut Arta, SKM.M.Kes

1. Filosofi adanya rumah sakit dan penggeseran yang terjadi dalam menejemen
rumah sakit.
Menurut UU No 44 tahun 2009 pasal 1 ayat 1 tentang rumah sakit,
dimana

rumah

sakit

sebagai

institusi

pelayanan

kesehatan

yang

menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang


menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan lain-lain serta Bab II asas
dan tujuan pada pasal 2 dimana rumah sakit diselenggarakan berdasarkan
pancasila dan didasarkan pada nilai kemanusiaan etika. Dahulu pelayanan
rumah sakit didasari pada rasa kasih sayang antar sesame umat manusia, hati
nurani yang ingin menolong sesama yang menderita ( mother instinct ),
pelayanan yang penuh kasih tanpa pamrih, penyelenggaraan pelayanan rumah
sakit yang tidak untuk mencari keuntungan ( non for frofit ) tanpa pamrih, serta
sumber daya manusia yang terlibat dalam penyelenggaraan pelayanan rumah
sakit memiliki paradigma bahwa menolong sesama yang menderita adalah
kewajiban, serta melayani sesama berarti melayani Tuhan. Namun sekarang
terjadi pergeseran paradigma mengenai rumah sakit yang dahulu bersifat sosial
( non for frofit ) menjadi ekonomi ( for frofit ) karena terdapat nilai ekonomi
yang menganggap rumah sakit jaman sekarang sebagai produk jasa dan
menganggap sehat itu mahal, sehingga pergeseran paradigma rumah sakit yang
bersifat sosial ( non for frofit ) menjadi ekonomi ( for frofit ).
2. Mutu menjadi penting dalam pelayanan rumah sakit dalam konteks rumah sakit
sebagai produk jasa karena :
Jaman sekarang ini konsumen ( pasien ) lebih kritis dalam memilih rumah
sakit sebagai jasa yang akan digunakan, dengan kata lain apabila mutu
pelayanan rumah sakit yang ditawarkan kurang memuaskan maka konsumen

( pasien ) tidak akan memilih rumah sakit tersebut. Serta semakin banyaknya
berkembang dan bermunculannya rumah sakit swasta, mereka saling bersaing
dalam pemberian mutu kepada konsumen ( pasien ). tanpa menggunakan
strategi menejemen yang tepat salah satunya meningkatkan mutu dan menjaga
mutu pelayanan rumah sakit maka rumah sakit tersebut tidak akan laku sebagai
produk jasa.
3. Pengelolaan pelayanan rumah sakit dalam konteks JKN sesuai UU No 24 tahun
2011 tentang BPJS yaitu :
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui BPJS Kesehatan dengan pola
pembayaran INA-CBG dan Akreditasi Rumah Sakit versi 2012, secara tidak
langsung menuntut para pengelola rumah sakit mampu mengelola proses
pelayanan dan penggunaan sumber daya secara efektif, efisien dan produktif
dengan tetap berorientasi pada penanganan pasien, keselamatan pasien,
peningkatan kualitas pelayanan dan konsisten. Perkembangan teknologi dan
ilmu kesehatan mempengaruhi proses pelayanan di rumah sakit menuju kepada
peningkatan efektivitas, produktivitas dan mutu pelayanan.
INA-CBG menganut paradigma pembayaran prospektif atas layanan
kesehatan di fasilitas kesehatan rujukan atau tingkat lanjut. Hitungan akhir
untung atau rugi harus dilihat keseluruhan, bukan lagi per tindakan atau
layanan seperti paradigma tagihan per layanan (fee for service).
Dengan bergabung menjadi keanggotaan BPJS ini memiliki keuntungan
yaitu pasien tidak ditarif biaya apabila menggunakan layanan sesuai dengan
kelas yang terdaftar. Bagi peserta Askes, Jamkesmas, dan Jamsostek yang ingin
mendapatkan pelayanan di RSUA cukup membawa kartu kepesertaan BPJS
asli, menunjukkan KTP asli dan melampirkan fotokopiannya, dan membawa
surat tujukan dari PPK1 (Pusat Pelayanan Kesehatan tingkat 1). Bagi TNI/Polri
diharapkan membawa fotokopi kartu anggota.Jenis Pelayanan terbagi menjadi
da 2 (dua) jenis pelayanan yang akan diperoleh oleh Peserta JKN, yaitu berupa
pelayanan kesehatan (manfaat medis) serta akomodasi dan ambulans (manfaat

non medis). Ambulans hanya diberikan untuk pasien rujukan dari Fasilitas
Kesehatan dengan kondisi tertentu yang ditetapkan oleh BPJS Kesehatan.
Prosedur pelayanan dimana peserta yang memerlukan pelayanan kesehatan
pertama-tama harus memperoleh pelayanan kesehatan pada Fasilitas Kesehatan
tingkat pertama. Bila Peserta memerlukan pelayanan kesehatan tingkat
lanjutan, maka hal itu harus dilakukan melalui rujukan oleh Fasilitas Kesehatan
tingkat pertama, kecuali dalam keadaan kegawat daruratan medis.
4. Upaya yang harus dilakukan rumah sakit untuk mewujudkan patient safety
yaitu :
Tujuan dilakukannya kegiatan Patient Safety di rumah sakit adalah untuk
menciptakan budaya keselamatan pasien di rumah sakit, meningkatkan
akuntabilitas rumah sakit, menurunkan KTD di rumah sakit, terlaksananya
program-program pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan kejadian
tidak diharapkan. Mengingat masalah keselamatan pasien merupakan masalah
yang penting dalam sebuah rumah sakit, maka diperlukan standar keselamatan
pasien rumah sakit yang dapat digunakan sebagai acuan bagi rumah sakit di
Indonesia. Standar keselamatan pasien rumah sakit yang saat ini digunakan
mengacu pada Hospital Patient Safety Standards yang dikeluarkan oleh Join
Commision on Accreditation of Health Organization di Illinois pada tahun
2002 yang kemudian disesuaikan dengan situasi dan kondisi di Indonesia.
Penilaian keselamatan yang dipakai Indonesia saat ini dilakukan dengan
menggunakan instrumen Akreditasi Rumah Sakit yang dikeluarkan oleh
KARS. Departemen Kesehatan RI telah menerbitkan Panduan Nasional
Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Patient Safety) edisi kedua pada tahun 2008
yang terdiri dari dari 7 standar, yakni:
1. Hak pasien
2. Mendididik pasien dan keluarga
3. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan
4. Penggunaan metoda metoda peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi
dan program peningkatan keselamatan pasien

5. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien


6. Mendidik staf tentang keselamatan pasien
7. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien
Untuk mencapai ke tujuh standar di atas Panduan Nasional tersebut
menganjurkan Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit
yang terdiri dari:
1. Bangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien
2. Pimpin dan dukung staf
3. Integrasikan aktivitas pengelolaan risiko
4. Kembangkan sistem pelaporan
5. Libatkan dan berkomunikasi dengan pasien
6. Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien
7. Cegah cedera melalui implementasi sistem keselamatan pasien
Sebenarnya petugas kesehatan tidak bermaksud menyebabkan cedera
pasien,tetapi fakta tampak bahwa di bumi ini setiap hari ada pasien yang
mengalami KTD (Kejadian Tidak Diharapkan), baik yang tidak dapat dicegah
(non error) mau pun yang dapat dicegah (error), berasal dari berbagai proses
asuhan pasien. Solusi keselamatan pasien adalah sistem atau intervensi yang
dibuat, mampu mencegah atau mengurangi cedera pasien yang berasal dari
proses pelayanan kesehatan. Sembilan Solusi ini merupakan panduan yang
sangat bermanfaat membantu RS, memperbaiki proses asuhan pasien, guna
menghindari cedera maupun kematian yang dapat dicegah. Komite
Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) mendorong rumah sakit untuk
menerapkan Sembilan Solusi Life-Saving Keselamatan Pasien Rumah Sakit
yaitu :
1. Perhatikan Nama Obat, Rupa dan Ucapan Mirip (Look-Alike, SoundAlike Medication Names).
2. Pastikan Identifikasi Pasien.
3. Komunikasi Secara Benar saat Serah Terima / Pengoperan Pasien.
4. Pastikan Tindakan yang benar pada Sisi Tubuh yang benar.
5. Kendalikan Cairan Elektrolit Pekat (concentrated).

6. Pastikan Akurasi Pemberian Obat pada Pengalihan Pelayanan.


7. Hindari Salah Kateter dan Salah Sambung Slang (Tube).
8. Gunakan Alat Injeksi Sekali Pakai.
9. Tingkatkan Kebersihan Tangan (Hand hygiene) untuk Pencegahan lnfeksi
Nosokomial.
5. Analisa ketidak sesuaian Studi Kasus sebuah rumah sakit yang saya ketahui
berdasarkan aturan perundang-undangan terkait rumah sakit.
Instalasi radiologi merupakan salah satu pelayanan kesehatan penunjang
yang ada dirumah sakit, maka dari itu saya melakukan analisis tenaga kerja
radiografer di instalasi radiologi RSUD Kabupaten Badung Menurut Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1014/MENKES/SK/XI/2008
tentang standar pelayanan radiologi diagnostik di sarana pelayanan kesehatan.
1. Tenaga Kerja Radiografer Di Instalasi Radiologi RSUD Kabupaten
Badung Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor

1014/MENKES/SK/XI/2008

Tentang

Standar

Pelayanan

Radiologi Diagnostik Di Sarana Pelayanan Kesehatan


Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Badung merupakan Rumah
sakit yang masih tergolong kedalam Rumah Sakit Kelas B atau setara
yang Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1014/MENKES/SK/XI/2008 harus memiliki persyaratan sebagai berikut:

Di Instalasi Radiologi RSUD Kabupaten Badung memiliki


spesialis Radiologi sebanyak 2 orang, Radiografer lulusan minimal D
III Teknik Radiologi dan telah memiliki SIKR sebanyak 9 orang,
Tenaga administrasi dan petugas kamar gelap masing-masing 1
orang, serta memiliki Petugas Proteksi Radiasi Medik (PPR)
sebanyak 1 orang. Namun di instalasi radiologi RSUD Kabupaten
Badung tidak memiliki fisikawan medik minimal lulusan D IV atau
S1,

petugas elektro medik minimal lulusan D III ATEM, dan

perawat minimal lulusan D III Keprawatan yang memiliki SIP yang


seharusnya untuk rumah sakit kelas B perlu memiliki minimal
masing-masing 1 untuk petugas elektro medik dan petugas fisikawan
medis setra 2 orang perawat sesuai dengan kebutuhan yang
memenuhi standar pelayanan kesehatan menurut Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1014/MENKES/SK/XI/2008.
Untuk penjadwalan shift baik pagi, sore dan malam di atur
oleh Kepala Ruangan Radiologi yang disetujui oleh kepala instalasi
radiologi. Untuk shift pagi radiographer yang bertugas sebanyak 4
orang yang dibagi berdasarkan job disknya. Misalnya untuk pesawat
konvensional di handle oleh satu radiographer, pada CT-Scan di
handle oleh 1 radiografer dan di pesawat Flouroskopy di handle oleh
satu orang. Pada shift sore dijaga oleh 2 radiografer. Untuk shift sore
ini penggunaan pesawat fluoroscopy jarang digunakan jadi masingmasing radiographer meng-handle pesawat konvensional dan CT-

Scan secara bergantian. Dan yang terakhir untuk shift malam dijaga
oleh 1 radiogarafer saja.
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 1014/MENKES/SK/XI/2008 Tentang Standar Pelayanan
Radiologi Diagnostik Di Sarana Pelayanan Kesehatan, jumlah
radiografer sebaiknya dua orang masing-masing alat. Bila di hitung
kesediaan alat diagnostik di Instalasi Radiologi Kabupaten Badung
yang berjumlah 8 alat yang terdiri dari pesawat konvensional, CTScan, Panoramic dan pesawat flouroscopy, C-Arm, Mobile X-ray,
mammography dan USG. Sehingga dari jumlah tenaga radiografer
yang ada di Instalasi Radiologi RSUD Kabupaten Badung belum
memenuhi kriteria sesuai Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 1014/MENKES/SK/XI/2008 dengan kategori
Rumah Sakit Kelas B atau setara

Você também pode gostar