Você está na página 1de 4

ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA JAKARTA NOMOR

62/G/2015/PTUN-JKT TENTANG SENGKETA KEPENGURUSAN PARTAI GOLKAR


Hasil putusan Mahkamah Partai Golkar berturut-turut Nomor 01/PIGOLKAR/II/2015, Nomor 02/PI-GOLKAR/II/2015 dan Nomor 03/PI- GOLKAR/II/2015
ketiganya tertanggal 3 Maret 2015 yang dijadikan sebagai landasan dikeluarkannya SK
Menteri Hukum dan HAM tentang Pengesahan Perubahan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah
Tangga serta Komposisi dan Personalia DPP Partai Golkar yang mengesahkan pihak H.R
Agung Laksono sebagai Ketua Umum Partai Golkar. Pihak Ir. Aburizal Bakrie merasa
dirugikan dengan dikeluarkannya SK tersebut, pihaknya mengajukan gugatan ke Pengadilan
Tata Usaha Negara Jakarta. Penelitian ini mengkaji mengenai putusan Pengadilan Tata Usaha
Negara Jakarta tentang Sengketa Kepengurusan Partai Golkar.
Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian adalah pertama, pertimbangan
hukum majelis hakim sehingga membatalkan SK Menteri Hukum dan HAM RI Nomor
M.HH-01.AH.11.01 Tahun 2015 tanggal 23 Maret 2015 dan memberlakukan SK Menteri
Hukum dan HAM RI Nomor M.HH-21.AH.11.01 Tahun 2012 tanggal 04 September 2012
dan kedua, dampak hukum dan kekuatan hukum dari putusan PTUN Jakarta Nomor
62/G/2015/PTUN-JKT tentang Sengketa Kepengurusan Partai Golkar.
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan normatif.
Sumber data menggunakan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah studi pustaka dan studi dokumen.
Analisis data menggunakan analisis kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa: pertama,
pertimbangan hukum majelis hakim sehingga membatalkan SK Menteri Hukum dan HAM
Nomor M.HH- 01.AH.11.01 Tahun 2015 tanggal 23 Maret 2015 dan memberlakukan SK
Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M.HH-21.AH.11.01 Tahun 2012 tanggal 04 September
2012, yaitu guna menghindari kekosongan kepengurusan DPP Partai Golkar sebagai akibat
ditunda dan dibatalkannya surat keputusan obyek sengketa oleh Pengadilan serta guna
memberikan perlindungan hukum bagi Partai Golkar Hestika Dwi Ningrum untuk ikut serta
pada Pilkada serentak dan kedua, dampak hukum dan kekuatan hukum dari putusan PTUN
Jakarta Nomor 62/G/2015/PTUN-JKT yaitu membatalkan dan mewajibkan Menteri Hukum
dan HAM mencabut SK Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-01.AH.11.01
Tahun 2015, kekuatan putusan tersebut masih berlaku, sudah tepat dan benar. Majelis Kasasi
sependapat dengan dengan pertimbangan hukum tersebut
Putusan Sela
Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang diterbitkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara
sesungguhnya harus dianggap sah sampai dibatalkan atau dicabut oleh pejabat yang
berwenang atau berdasarkan perintah putusan pengadilan yang telah Berkekuatan Hukum
Tetap (BHT) Incracht Van Gewijsde. Ketentuan ini didasarkan pada postulat Vermoeden

Van Rechtmatigheid yang bermakna setiap KTUN selalu dianggap sah sampai dibatalkan.
Postulat ini lalu diturunkan dalam Pasal 33 ayat 2 UU No. 30 Tahun 2014 Tentang
Administrasi Pemerintahan dan diperkuat lagi berdasarkan Pasal 67 UU PTUN.
Dengan demikian, meski diduga SK Menkumham tentang pengesahan Agung Laksono
sebagai Ketua Partai Golkar itu cacat materil, tetapi SK tersebut haruslah dianggap sah
sampai kemudian dibatalkan oleh Menkumham sendiri atau oleh perintah Pengadilan yang
BHT .
Kendatipun

demikian,

penerapan principat Vermoeden

Van

Rechtmatigheid terdapat

pengecualian dalam Pasal 67 ayat 2 dan ayat 4 UU No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah
diubah dengan UU No 9 Tahun 2004 Tentang PTUN. Bahwa penundaan KTUN dapat
dilakukan melalui putusan sela atau putusan akhir pokok perkara PTUN.
Begitu pun dengan UU Administrasi Pemerintahan juga mengatur mengenai penundaan
pelaksanaan KTUN. Bedanya, dalam UU Administrasi Pemerintahan, penundaan hanya dapat
dilakukan dengan permintaan pejabat TUN dan Perintah putusan pengadilan (Vide: Pasal 65
ayat 3 poin (b) UU Adminitrasi Pemerintahan).
In casu, Majelis Hakim PTUN Jakarta telah menunda SK Menkumham melalui putusan sela
karena dianggap terdapat keadaan mendesak yang sangat merugikan Kubu ARB. Oleh karena
itu putusan a quo harus dimaknai bahwa meskipun proses pemeriksaan perkara sedang
berlangsung untuk menentukan siapa yang dimenangkan PTUN Jakarta, maka pada dasarnya
telah mengembalikan keadaan yang sama sebelum diterbitkannya SK Menteri Hukum dan
HAM No: M.HH-01.AH.11. 01.
Implikasi Hukum
Putusan PTUN yang menunda pelaksanaan SK Menkumham tentang pengakuan Kubu Agung
Laksono menimbulkan tiga implikasi hukum. Pertama, untuk sementara SK Menkumham
pengesahan Agung Laksono tidak berlaku karena ditunda pelaksanaannya oleh pengadilan.
Pada

hakikatnya

ketentuan

penundaan

merupakan

pengecualian

terhadap

penggunaanmaxim Vermoeden Van Rechtmatigheid. Maka in concreto atas maxim tersebut,


SK Menkumham tidak sah, tidak memiliki kekuatan berlaku dan mengikat para pihak.
Kedua, putusan sela telah mengamputasi Agung Laksono sebagai pemilik tahta Partai Golkar,
sehingga terhitung sejak putusan sela tersebut dibacakan, maka Agung Lakosono tidak lagi

berstatus sebagai Ketua Umum Partai Golkar. Dengan demikian, Agung Laksono tidak dapat
mengambil kebijakan atau keputusan mengatasnamakan Partai Golkar.
Ketiga, kepengurusan Partai Golkar kembali direngkuh oleh Kubu ARB, karena pengurus
yang diakui sebelum keluarnya SK Menkumham pengesahan Agung laksono adalah Kubu
ARB hasil Munas di Riau. Kondisi demikian merupakan konsekuensi logis untuk menutupi
kekosongan hukum (recht vacuum) Ketua Partai Golkar pasca penundaan oleh Putusan Sela
PTUN Jakarta.
Maka untuk sementara, ARB yang memakai tahta Ketua dan menakhodai Partai Golkar. Arah
Kebijakan dan keputusan Golkar-pun untuk sementara berpindah ke ARB, termasuk
penentuan Fraksi di DPR dan penentuan Calon Kepala Daerah.
Namun Kubu ARB belum dapat tidur nyenyak menikmati mimpi-mimpi kekuasaannya.
Penundaan SK Menkumham masih dapat dicabut dalam Putusan Akhir PTUN jika Kubu
Agung Laksono memenangkan Pokok Perkara. Tetapi jika dalam putusan akhir PTUN
Jakarta kubu ARB yang menang dan putusan penundaan tersebut tidak dicabut maka
meskipun kubu Agung Laksono banding, penundaan SK Menkumham masih berlaku.
Selain itu, di tingkat banding Pengadilan Tinggi TUN juga bisa mencabut penundaan
keberlakuan SK Menkumham tersebut. Sehingga belum ada kepastian hukum sampai ada
Putusan yang BHT. Jalan Panjang penyelesaian sengketa masih harus dilalui di beberapa
tahapan pengadilan. Tapi setidaknya saat ini Kubu ARB masih bisa menggunakan tangan
kekuasaan Partai Golkar guna memuluskan fatsum politiknya.
Untuk menghindari terjadinya konflik yang berujung kepada kekerasan sebaiknya kedua
kubu tidak saling memberikan tafsiran subyektif atas putusan sela PTUN Jakarta. Miris
rasanya hukum dipermainkan berdasarkan libido kepentingannya masing-masing. Kubu
Agung Laksono harus berjiwa besar dan patuh pada putusan pengadilan. Demikian pula kubu
ARB jangan menganggap seolah sudah dimenangkan oleh pengadilan.
Sengketa ini sudah di tangan wakil Tuhan Hakim PTUN, sehingga akan terlihat elok jika
kubu ARB dan Agung Laksono tunduk, menghormati, dan patuh pada perintah Putusan
Pengadilan TUN.

Di atas segalanya, sudah seharusnya kedua kubu ini berizzah pada kaidah ushul
fiqhi hukmul hakim yarfaul khilaf. Bahwa putusan hakim merupakan hukum untuk
menyelesaikan perselisihan yang harus dihormati dan diterima oleh para pihak.

Você também pode gostar