Você está na página 1de 74

RENCANA AKSI NASIONAL PANGAN DAN GIZI

TAHUN 2015-2019

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan


Pembangunan Nasional

ii

I.

KATA PENGANTAR

Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RAN-PG) merupakan Rencana Aksi
Nasional untuk meningkatkan kualitas SDM Indonesia, bercirikan manusia Indonesia yang
cerdas, sehat, produktif dan memiliki daya saing tinggi. Untuk mewujudkan SDM Indonesia
yang berkualitas diperlukan kerjasama berbagai pemangku kepentingan baik pemerintah,
legislatif, dunia usaha, masyarakat madani dan keluarga sebagai ujung tombak terdepan.
Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RAN-PG) Tahun 2015 2019 merupakan
amanat Pasal 63 ayat (3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.
Disamping itu pelaksanaan RAN-PG menjadi bagian penting dari pelaksanaan Pasal 141
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, khususnya mengenai upaya
perbaikan gizi, Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015-2019 dan Peraturan Presiden Nomor 42
Tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi.
RAN-PG tahun 2015-2019 merupakan periode ke-empat (periode pertama tahun
2001-2005, kedua tahun 2006-2010, dan ketiga tahun 2011-2015). Pada periode tahun
2010-2015 pendekatan yang digunakan adalah 5 (lima) Pilar yaitu : (1) Perbaikan Gizi
Masyarkat, (2) Peningkatan Aksesibilitas Pangan yang Beragam, (3) Peningkatan
Pengawasan Mutu dan Keamanan Pangan, (4) Peningkatan Perilaku Hidup Bersih dan
Sehat, dan (5) Kelembagaan.
RAN-PG Tahun 2015-2019 menggunakan pendekatan multisektor yang melibatkan
20 (dua puluh) Kementerian/Lembaga dan 3 (tiga) Kementerian Koordinator. Di dalam
pelaksanaannya tetap menggunakan 5 (lima) pilar yaitu pada Pilar (1) Perbaikan Gizi
Masyarakat terdiri dari Kementerian/Lembaga : Kesehatan, Ketenagakerjaan,
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Desa dan Pembangunan Daerah
Tertinggal dan Transmigrasi, Sosial, dan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana
Nasional (BKKBN); Pilar (2) Peningkatan Aksesibilitas Pangan yang Beragam terdiri dari
Kementerian/Lembaga : Pertanian, Kelautan dan Perikanan, Perindustrian, Perdagangan,
Desa-Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transimigrasi, dan Kementerian Sosial; Pilar
(3) Peningkatan Pengawasan Mutu dan Keamanan Pangan terdiri dari
Kementerian/Lembaga, Pertanian, Kelautan dan Perikanan, Perindustrian, Perdagangan,
dan Badan Pengawasan Obat dan Makanan; Pilar (4) Peningkatan Perilaku Hidup Bersih
dan Sehat terdiri dari Kementerian/Lembaga : Kesehatan, Pendidikan dan Kebudayaan,
Agama, Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Pemuda dan Olahraga, dan Komunikasi
dan Informasi; Pilar (5) Kelembagaan, terdiri dari Kementerian/Lembaga : Perencanaan
Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kemenko Bidang
Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kemenko bidang Perekonomian, Kemenko
bidang Kemaritiman, Kementerian Dalam Negeri, Sekretariat Kabinet, dan Sekretariat
Negara.
Sebagai kelanjutan RAN-PG maka di daerah disusun Rencana Aksi Daerah Pangan
dan Gizi (RAD-PG) yang juga menggunakan pendekatan multisektor. Landasan hukum
RAD-PG di daerah bisa dalam bentuk Peraturan Daerah atau Peraturan Gubernur di
Propinsi dan Peraturan Daerah atau Peraturan Bupati/Walikota di Kabupaten/Kota.
Kami menyampaikan terima kasih kepada seluruh Kementerian/Lembaga yang telah
berpartisipasi dalam penyusunan RAN-PG Tahun 2015-2019 secara baik. Dokumen RANPG tahun 2015-2019 ini merupakan bagian dari pertanggungjawabkan dari Direktorat
Kesehatan dan Gizi Masyarakat, Bappenas dalam Kegiatan Koordinasi Strategis
Percepatan Perbaikan Gizi Tahun 2015. Kami menyadari dokumen ini belum sepenuhnya
sempurna sehingga sekiranya ada masukan akan kami jadikan bahan untuk perbaikan
selanjutnya. Semoga seluruh upaya kita ini bermanfaat untuk kesejahteraan bangsa
Indonesia.
Jakarta,

Desember 2015

iii

Theresia Ronny Andayani


Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat

iv

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................ii
DAFTAR ISI............................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR.....................................................................................................v
DAFTAR SINGKATAN...............................................................................................vi
GLOSSARY............................................................................................................. viii
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................1
1.1

Latar Belakang..............................................................................................1

1.2

Tujuan RAN-PG............................................................................................2

BAB II PERANAN PANGAN DAN GIZI DALAM PEMBANGUNAN.............................3


2.1.

Situasi Pangan dan Gizi............................................................................3

2.2.

Analisis Kausalitas..................................................................................10

2.3.

Konsekuensi Pangan dan Gizi dalam Pembangunan..............................12

2.4.

Konteks Kebijakan...................................................................................16

2.5.

Tantangan dan Hambatan Kunci.............................................................21

BAB III RENCANA AKSI MULTI-SEKTOR................................................................25


3.1.

Faktor Determinan Pangan dan Gizi.......................................................28

3.2.

Goal, Outcome dan Logical Framework..................................................28

3.3.

Prinsip dan Pendekatan Kunci................................................................35

3.4.

Risiko dan Asumsi...................................................................................40

3.5.

Penguatan RAN-PG................................................................................42

BAB IV KERANGKA PELAKSANAAN RENCANA AKSI...........................................44


4.1.

Kerangka Kelembagaan..........................................................................44

4.2.

Manajemen Keuangan dan Pendanaan..................................................47

4.3.

Anggaran Indikatif...................................................................................47

4.4.

Strategi Pengembangan Kapasitas.........................................................47

4.5.

Strategi Advokasi dan Komunikasi..........................................................48

4.6.

Strategi Monitoring dan Evaluasi.............................................................49

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................50
LAMPIRAN............................................................................................................... 50

DAFTAR TABEL

Tabel 1
Tabel 2
Tabel 3
Tabel 4
Tabel 5
Tabel 6
Tabel 7
Tabel 8
Tabel 9

Pola Konsumsi Pangan Tahun 2014


Tren terakhir PTM/Penyakit Kronis dan Kelebihan Gizi di Indonesia
Indikator Outcome Perbaikan Gizi
Logical Framework RAN-PG Multi Sektor 2015-2019
Penguatan RAN-PG
Strategi Advokasi Dan Komunikasi
Ilustrasi Hubungan antara Gizi dan SDGs
Indikator Kinerja Utama/Output RAN-PG 2015-2019
Anggaran Indikatif yang Mendukung Program Perbaikan Pangan dan
Gizi Tahun 2015-2019

7
16
29
29
42
48
54
58
62

vi

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1
Gambar 2
Gambar 3
Gambar 4

Produksi Pangan Utama Nasional 2004-2014


Impor Pangan Utama, 2004-2013
Perkembangan Harga Pangan Bulanan
Tren Anak Balita Pendek, Kurang Gizi dan Kurus Tahun 2007-2013

4
5
7
8

Gambar 5
Gambar 6
Gambar 7
Gambar 8

dan Target RPJMN Tahun 2014


Prevalensi Balita Pendek dan Sangat Pendek (Stunting)
Persentase Anak Balita Pendek Berdasarkan Provinsi
Faktor Yang Mempengaruhi Status Gizi
Estimasi Provinsi Dengan Persentase Rumah Tangga Dengan

9
9
11
11

Gambar 9

Akses Sanitasi Yang Baik Dan Prevalensi Stunting Pada Balita


Dampak Jangka Pendek dan Jangka Panjang akibat Gangguan

15

Gambar 10
Gambar 11
Gambar 12

Gizi pada Masa Janin


Intervensi Gizi Spesifik Pada Target 1000 HPK
Kerangka Pendekatan Multi-Sektor
Contoh Peran Multi-Sektor Dalam Kerangka Perbaikan Gizi

26
27
37

vii

DAFTAR SINGKATAN
AEC
AIDS
AKG
APBD
APBN
API
APK
ASEAN
ASI
Bansos
Bappenas
BB
BB/U
BBLR
BKKBN
BKP
BOK
BOP
BPOM
BPS
CRF
CSR
DAK
Desa PAMAN
DFI
GDP
Gernas
HIV
HPK
IBI
IMD
IMT
ISPA
IRTP
IUGR/PJT
KB
KEK
Kemen PPPA
Kemen PU dan PR
Kemenaker
Kemendag
Kemendagri
Kemendikbud
Kemenkes
Kemenko PMK
Kebudayaan

: ASEAN Economic Community


: Acquired Immunodeficiency Syndrome
: Angka Kecukupan Gizi
: Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
: Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
: Annual Parasite Rate
: Angka Partisipasi Kasar
: Association of Southeast Asia Nation
: Air Susu Ibu
: Bantuan Sosial
: Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional
: Berat Badan
: Berat Badan terhadap Umur
: Bayi Berat Lahir Rendah
: Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
: Badan Ketahanan Pangan
: Biaya Operasional Kesehatan
: Biaya Operasional Pendidikan
: Badan Pengawas Obat dan Makanan
: Badan Pusat Statistik
: Common Results Framework
: Corporate Social Responsibility
: Dana Alokasi Khusus
: Desa Pangan Aman
: District Food Inspector
: Gross Domestic Product
: Gerakan Nasional
: Human Immunodeficiency Virus
: Hari Pertama Kehidupan
: Ikatan Bidan Indonesia
: Inisiasi Menyusui Dini
: Indeks Massa Tubuh
: Infeksi Saluran Pernafasan Akut
: Industri Rumah Tangga Pangan
: Intra Uterine Growth Restriction/ Pertumbuhan Janin Terhambat
: Keluarga Berencana
: Kurang Energi Kronis
: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
: Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
: Kementerian Ketenagakerjaan
: Kementerian Perdagangan
: Kementerian Dalam Negeri
: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
: Kementerian Kesehatan
: Kementerian Koordinator Bid Pembangunan Manusia

&

viii

Kemenkominfo
Kemenperin
Kemenpora
Kemensos
Kementan
KIE
KKP
MP ASI
PAUD
Pergizi Pangan
Persagi
PHLN
PKH
PKK
PTM
PPH
Riskesdas
RPJMN
RPJPN
SDGs
SKPG
SUN
Susenas
TB
TB/U
UNICEF
WHO
WUS

: Kementerian Komunikasi dan Informatika


: Kementerian Perindustrian
: Kementerian Pemuda dan Olahraga
: Kementerian Sosial
: Kementerian Pertanian
: Komunikasi Informasi Edukasi
: Kementerian Kelautan dan Perikanan
: Makanan Pendamping Air Susu Ibu
: Pendidikan Anak Usia Dini
: Perhimpunan Peminat Gizi dan Pangan Indonesia
: Persatuan Ahli Gizi Indonesia
: Pinjaman Hibah Luar Negeri
: Program Keluarga Harapan
: Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga
: Penyakit Tidak Menular
: Pola Pangan Harapan
: Riset Kesehatan Dasar
: Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
: Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
: Sustainable Development Goals
: Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi
: Scaling Up Nutrition
: Survei Sosial Ekonomi Nasional
: Tinggi Badan
: Tinggi Badan terhadap Umur
: United Nations Children's Fund
: World Health Organization
: Wanita Usia Subur

ix

GLOSSARY
1000 Hari
Kehidupan

Pertama :

270 hari masa kehamilan dan 730 hari pada kehidupan


pertama bayi (usia 2 tahun) merupakan masa yang sangat
menentukan kondisi kesehatan, produktivitas, dan
kesejahteraan di masa yang akan datang. Periode ini
sering disebut periode emas, dan Bank Dunia menyebutnya
sebagai window of opportunity

AKG

Angka Kecukupan Gizi, sejumlah zat gizi / energi yang


diperlukan oleh seseorang dalam suatu populasi untuk
hidup sehat.

Anemia

ASI Eksklusif

Rendahnya kadar hemoglobin dalam darah berada di


bawah normal atau standar yang telah ditetapkan (standar
bervariasi ditentukan oleh usia, jenis kelamin, dan kondisi
kehamilan).
ASI yang diberikan kepada bayi sejak dilahirkan selama 6
(enam) bulan, tanpa menambahkan dan / atau mengganti
dengan makanan atau minuman lain.

BBLR

Bayi lahir dengan berat badan rendah (kurang dari 2.500


gram).

Diversifikasi Pangan

Penganekaragaman pangan atau diversifikasi pangan


adalah upaya peningkatan konsumsi anekaragam pangan
dengan prinsip gizi seimbang.

Double Burden
Malnutrition

Beban ganda masalah gizi, merupakan kekurangan gizi dan


kelebihan gizi yang terjadi di semua siklus kehidupan.

Gizi kurang

Dikenal dengan istilah underweight, merupakan kegagalan


untuk mencapai pertumbuhan yang optimal, diukur
berdasarkan indikator BB/U (berat badan menurut umur).

Gizi Seimbang

Anjuran susunan makanan yang sesuai kebutuhan gizi


seseorang/kelompok orang untuk hidup sehat, cerdas dan
produktif, berdasarkan Prinsip Gizi Seimbang

IMT

Indeks Massa Tubuh, yaitu berat badan dalam kilogram


dibagi dengan kuadrat dari tinggi badan dalam meter
(kg/m2)

IUGR atau PJT

Keamanan Pangan

Intra Uterine Growth Restriction atau Pertumbuhan Janin


Terhambat merupakan retardasi pertumbuhan janin dalam
rahim yang ditandai dengan berat bayi lahir kurang dari 10
persentil dengan usia kehamilan normal (lebih dari 37
minggu).
Kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah
pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan
benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan
membahayakan
kesehatan
manusia
seta
tidak
bertentangan dengan agama, keyakinan dan budaya

Konsumsi Kalori

Konsumsi Pangan

Kurang Energi Kronis

Kurus

Overweight

Pangan

Pendek

Skor PPH

Status gizi

WUS

masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi.


Jumlah energi yang dikonsumsi penduduk/seseorang
dalam satuan kalori per kapita per hari
Jumlah makanan dan minuman yang dimakan atau
diminum penduduk/seseorang dalam satuan gram per
kapita per hari.
Suatu keadaan dimana jumlah energi yang dikeluarkan
sama dengan jumlah energi yang dikonsumsi namun
tubuh memiliki berat badan dan cadagan energi yang
rendah, ditandai dengan IMT <18,5 atau lingkar lengan
atas <23,5 cm.
Dikenal dengan wasting, kegagalan untuk mencapai
pertumbuhan yang optimal, diukur berdasarkan BB/TB
(berat badan menurut tinggi badan).
Kelebihan berat badan yang pada anak-anak ditandai
dengan z score BB/TB >2 (berat badan terhadap umur)
atau z score IMT/U >1 s.d. 2 (IMT terhadap umur) pada
anak dan IMT > 25 pada orang dewasa.
Segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk
pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan,
perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah
yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi
konsumsi manusia, termasuk Bahan Tambahan Pangan,
bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan
dalam
proses
penyiapan,
pengolahan,
dan/atau
pembuatan makanan atau minuman.
Dikenal dengan istilah stunting, merupakan kegagalan
untuk mencapai pertumbuhan yang optimal, diukur
berdasarkan indikator TB/U (tinggi badan menurut umur).
Susunan jumlah pangan menurut 9 (sembilan) kelompok
pangan yang didasarkan pada kontribusi energi yang
memenuhi kebutuhan gizi secara kuantitas, kualitas
maupun keragaman dengan mempertimbangkan aspek
sosial, ekonomi, budaya, agama dan cita rasa.
Keadaan tubuh yang diakibatkan oleh keseimbangan
antara asupan zat gizi dengan kebutuhan. Keseimbangan
tersebut dapat dilihat dari variabel pertumbuhan, yaitu
berat badan, tinggi badan/panjang badan, lingkar kepala,
lingkar lengan, dan panjang tungkai
Wanita Usia Subur yaitu wanita yang berada pada usia
reproduktif, usia 15-49 tahun.

BAB I
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Pembangunan sumber daya manusia (SDM) merupakan hal mendasar yang
diamanatkan oleh konstitusi dalam pembangunan nasional. Oleh karena itu, pembangunan
SDM selalu menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional dari periode ke periode.
Selain itu. Salah satu aspek mendasar dalam membangun SDM Indonesia berkualitas dan
berdaya saing tinggi adalah pembangunan pangan dan gizi untuk meningkatkan kualitas
hidup, produktivitas dan kemandirian nasional.
Pembangunan pangan dan gizi merupakan rangkaian aktivitas pembangunan
multisektor, mulai dari aspek produksi pangan, distribusi, keterjangkauan, konsumsi sampai
pada aspek pemanfaatan yang mempengaruhi status gizi. Pembangunan pangan dan gizi
pada seluruh aspek tersebut memerlukan dukungan multisektor diantaranya Kementerian
Pertanian, Kementerian Kesehatan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan,
Kementerian Sosial, Kementerian Agama, Kementerian Pemuda dan Olahraga,
Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian
Ketenagakerjaan, Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, dan
Transimigrasi, Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional, dan Badan Pengawas
Obat dan Makanan.
Di dalam perencanaan, monitoring dan evaluasi memerlukan koordinasi dari
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan dan Pembangunan
Nasional, dan di dalam pelaksanaan memerlukan koordinasi dari Kementerian Koordinator
bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kementerian Koordinator bidang
Perekonomian, dan Kementerian Koordinator bidang Kemaritiman, dan di dalam
pelaksanaan di daerah memerlukan koordinasi dari Kementerian Dalam Negeri. Selain itu
kelembagaan juga melibatkan Sekretariat Kabinet dan Sekretariat Negara.
Indonesia saat ini mengalami beban gizi ganda (double burden malnutrition) yaitu
masih tingginya masalah kekurangan gizi dan kelebihan gizi pada semua siklus kehidupan.
Beban gizi ganda tersebut terutama berawal dari kekurangan dan kelebihan gizi pada fase
awal kehidupan yang memicu berbagai konsekuensi pada usia dewasa 1. Riskesdas tahun
2013 menunjukkan tidak adanya perbaikan status gizi dari berbagai upaya yang dilakukan
selama ini yang diindikasikan dengan peningkatan stunting pada anak balita dari 35,6
persen tahun 2010 menjadi 37,2 persen tahun 2013. Sementara itu gizi lebih (overweight)
tidak menunjukkan perbaikan yang bermakna meskipun menurun dari 12,2 persen tahun
2010 menjadi 11,9 persen tahun 2013.
Kekhawatiran terhadap perkembangan kualitas SDM yang diakibatkan oleh beban
gizi ganda diawali oleh masalah gizi pada usia dini terutama pada 1000 Hari Pertama
Kehidupan (HPK) sejak kehamilan sampai usia anak 2 tahun. Oleh karena itu fokus
perbaikan gizi ke depan diprioritaskan pada 1000 HPK tanpa meninggalkan siklus hidup
lainnya. Hal ini sejalan dengan komitmen global yang menekankan pentingnya negara
negara memperhatikan masalah gizi pada periode 1000 HPK tersebut.
Dalam rangka mengintegrasikan dan menyelaraskan perencanaan pangan dan gizi
secara multisektor dalam skala nasional dan daerah, maka diperlukan rencana aksi pangan
dan gizi di Pusat dan Daerah. Hal ini sejalan dengan pasal 63 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan yang mengamanatkan Pemerintah dan Pemerintah
Daerah menyusun Rencana Aksi Pangan dan Gizi setiap 5 (lima) Tahun. Penyusunan
Rencana Aksi Pangan dan Gizi di Pusat dan Daerah juga merupakan implementasi dari
percepatan perbaikan gizi sebagaimana termaktub dalam RPJMN 2015-2019.
1

Shrimpton & Rokx. 2012. The Double Burden of Malnutrition A Review of Global Evidence, Roger Shrimpton and
Claudia Rokx, World Bank, HNP Discussion Paper, November 2012

I.2

Tujuan RAN-PG
RAN-PG bertujuan untuk :
1. Mengintegrasikan dan menyelaraskan perencanaan pangan dan gizi nasional
melalui koordinasi program dan kegiatan multisektoral;
2. Meningkatkan pemahaman, peran dan komitmen Pemangku Kepentingan
Pangan dan Gizi untuk mencapai Kedaulatan Pangan serta Ketahanan Pangan
dan Gizi.
3. Memberikan panduan bagi Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam
melaksanakan rencana aksi Pangan dan Gizi dengan menggunakan pendekatan
multisektor; dan
4. Memberikan panduan bagi Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam
melaksanakan pemantauan dan evaluasi rencana aksi Pangan dan Gizi;

1.3.

Dasar Hukum RAN-PG


a. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, khususnya Pasal 63
(ayat 3) yang menyebutkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyusun
rencana aksi Pangan dan Gizi setiap 5 (lima) tahun.
b. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
c. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
d. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2015 tentang Ketahanan Pangan dan
Gizi,
e. Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2013 tentang Gerakan Nasional
Percepatan Perbaikan Gizi.
f. Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015-2019.
g. Rencana Strategis Kementerian/Lembaga.

BAB II
PERANAN PANGAN DAN GIZI DALAM PEMBANGUNAN
2.1.

Situasi Pangan dan Gizi

Situasi Pangan
Situasi pangan sebagai indikasi posisi ketahanan pangan nasional dapat
diperlihatkan melalui empat indikator utama, yaitu produksi dan impor untuk
menggambarkan situasi ketersediaan, harga pangan sebagai indikasi kondisi distribusi dan
juga akses masyarakat terhadap pangan yang aman, serta tingkat konsumsi pangan aman
yang menunjukkan tingkat pemanfaatan pangan oleh masyarakat. Keempat indikator
tersebut sangat penting dan mempunyai keterkaitan di dalam menganalisa situsi pangan,
sehingga tidak dapat hanya merujuk kepada satu indikator untuk menyimpulkan kondisi
ketahanan pangan, baik secara nasional maupun daerah. Sebagai contoh, tingginya
produksi pangan di suatu daerah tidak serta merta dapat menunjukkan bahwa daerah
tersebut telah tahan pangan, karena indikator lain seperti harga dan tingkat konsumsi juga
harus diperhitungkan. Demikian juga untuk daerah yang bukan sentra produksi, sangat
memungkinkan daerah tersebut tahan pangan karena didukung dengan kelancaran
perdagangan antar daerah, harga pangan yang stabil, penduduk dapat mengkonsumsi
pangan beragam dan bergizi. Meskipun demikian, potensi kerentanan juga sangat tinggi
karena daerah tersebut sangat tergantung dengan pasokan pangan dari daerah sentra
produksi. Di sisi lain, tingginya produksi atau ketersediaan pangan disuatu daerah, jika tidak
memperhatikan faktor keamanan pangan, akan banyak menimbulkan masalah kesehatan,
bahkan dapat mempengaruhi status gizi masyarakat.

a. Ketersediaan bahan pangan


Ketersediaan pangan. Produksi pangan utama nasional dalam sepuluh tahun terakhir
secara umum menunjukkan trend yang meningkat, yang dapat dilihat dari produksi
padi/beras, jagung, daging, dan gula, sementara kedelai masih berfluktuasi (Gambar 1).
Meskipun demikian, pertumbuhan produksi pangan utama tersebut secara rata-rata
tahunannya pada periode tahun 2004-2014 masih berada di atas 2 (dua) persen. Bahkan
untuk padi mampu tumbuh rata-rata pertahunnya mencapai 3,05 persen dan jagung, lebih
tinggi, 7,04 persen. Kedelai tercatat tumbuh 2,74 persen, daging sapi 2,21 persen, dan gula
2,43 persen. Pertumbuhan positif tersebut setidaknya menunjukkan keberhasilan kinerja
produksi pangan nasional ditengah-tengah ancaman dampak negatif perubahan iklim dan
juga tantangan semakin terbatasnya lahan pertanian, khususnya sawah. Terlebih dengan
positifnya rata-rata pertumbuhan produksi padi dan kedelai dalam sepuluh tahun terakhir
secara bersamaan, menunjukkan upaya diversifikasi produksi, mengingat bagi petani kedua
komoditas tersebut lazimnya bersifat substitusi. Apabila padi meningkat, maka
kecenderungannya kedelai turun, dan sebaliknya. Hal ini bisa ditunjukkan pada tahun 20122014 dimana pertumbuhan kedua komoditas tersebut berbanding terbalik. Adapun faktor
utama yang dapat menjadi pendorong sifat substitusi kedua komoditas tersebut adalah
harga pasar, sehingga ketika harga beras lebih menarik bagi petani maka kecenderungan
yang terjadi adalah meningkatnya produksi padi/beras, demikian juga sebaliknya. Untuk itu,
Pemerintah sangat mempertimbangkan sifat hubungan kedua komoditas ketika melakukan
intervensi kebijakan peningkatan produksi pangan untuk keduanya.
Terlepas dari peningkatan produksi pangan dalam sepuluh tahun terakhir, tampak dari
keragaan yang ada, fluktuasi produksi ternyata perlu diperhatikan. Ketidakstabilan produksi
menunjukkan setidaknya tidak ada jaminan bahwa produksi dapat dengan mudah untuk
terus ditingkatkan dalam tahun-tahun ke depan. Bahkan diperkirakan tantangan peningkatan
produksi akan semakin meningkat dengan kondisi iklim yang sulit diperkirakan, lahan
produktif yang semakin terkonversi, dan menurunnya minat tenaga kerja maupun perhatian
pengambil kebijakan terhadap sektor pertanian pangan. Untuk itu, upaya peningkatan
produksi pangan, baik dalam sepuluh tahun terakhir maupun ke depan, akan difokuskan

kepada intensifikasi melalui peningkatan produktivitas tanaman dan ekstensifikasi melalui


perluasan lahan pertanian pangan.
Dalam upaya tersebut di atas, selain tentunya sektor teknis yang membidangi
peningkatan produksi, bagian penelitian dan pengembangan (litbang) bermain sebagai
faktor penting dalam mendukung terciptanya benih unggul adaptif terhadap kondisi iklim dan
terlaksananya Good Agricultural Practicies (GAP). Demikian pula dengan perluasan lahan,
litbang akan berfungsi dalam mengidentifikasi kesesuaian lahan dan juga langkah-langkah
peningkatan produktivitas/kesuburan lahan tersebut. Bagian lain yang menjadi pendorong
peningkatan produksi pangan dalam sepuluh tahun terakhir adalah penyuluhan pertanian
dalam rangka diseminasi hasil litbang dan program pemerintah lainnya. Adanya kebijakan
satu desa satu penyuluh, meskipun belum sepenuhnya terlaksana, setidaknya mampu
berperan dalam menggerakkan petani untuk dapat terus berproduksi secara tepat.
Sebaliknya, dengan keberadaan penyuluh di lapangan menjadikan Pemerintah dapat
dengan mudah dan cepat mendapatkan informasi kekinian di dalam pelaksanaan kebijakan
peningkatan produksi pangan di lapangan.
Gambar 1. Produksi Pangan Utama Nasional 2004-2014

Sumber : BPS dan Kementerian Pertanian diolah Bappenas


Kondisi ketersediaan pangan selanjutnya dapat terlihat dari keragaan impor pangan
secara nasional. Dalam sepuluh tahun terakhir (2004-2013) impor pangan utama
menunjukkan fluktuasi, yang setidaknya dapat menggambarkan tentang kebijakan impor
yang sangat situasional. Keberadaan impor dianggap sebagai langkah terakhir ketika
produksi pangan dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi. Di dalam
Gambar 2 terlihat bahwa impor beras tertinggi terjadi pada tahun 2011 yang mencapai 2,75
juta ton dan selanjutnya pada tahun 2012 yang mencapai 1,78 juta ton. Besarnya impor
beras pada tahun tersebut tidak terlepas dari menurunnya produksi padi/beras nasional
pada tahun 2011 serta merupakan langkah pengaman yang diambil Pemerintah untuk
menjaga stabilitas pasokan beras bagi masyarakat. Kebijakan impor beras selain diarahkan
untuk beras jenis medium yang dikonsumsi masyarakat secara umum, juga diarahkan untuk
beras jenis khusus yang diperuntukkan untuk kebutuhan terbatas, seperti restoran (beras
japonica) dan alasan kesehatan (beras basmati). Meskipun demikian, seperti telah
disampaikan sebelumnya, langkah untuk meminimalkan impor terus dilakukan dengan
upaya memproduksi jenis beras tertentu sebagai substitusi beras impor tersebut.

Gambar 2. Impor Pangan Utama, 2004-2013

Sumber : BPS dan Kementerian Pertanian diolah Bappenas


Untuk komoditas pangan lainnya, impor jagung masih dilakukan, khususnya untuk
memenuhi kebutuhan pabrik pakan yang belum dapat sepenuhnya mampu dicukupi dari
kebutuhan dalam negeri. Meskipun secara kuantitatif total produksi nasional, jagung dalam
negeri diperkirakan dapat memenuhi seluruh kebutuhan dalam negeri, namun dengan
karakteristik produksi yang masih scatter dan relatif kecil menyebabkan kesulitan pabrik
pakan untuk mendapatkan pasokan jagung secara cukup dan kontinu dari petani. Kondisi
inilah yang menyebabkan impor jagung nasional masih cukup tinggi, terutama pada tahun
2011 yang menembus 3 juta ton. Kondisi yang relatif sama dengan impor jagung adalah
impor gula yang sebenarnya lebih merupakan gula rafinasi sebagai bahan baku pembuatan
gula konsumsi. Pabrik gula di dalam negeri cenderung mengimpor gula rafinasi mengingat
kemudahan prosesnya, dibandingkan harus menyerap tebu dari petani. Impor gula dalam
sepuluh tahun terakhir selalu berada di atas 1 juta ton, bahkan pada tahun 2007 dan 2012
telah mencapai 3 juta ton. Untuk mengantisipasi kondisi yang lebih buruk (impor gula yang
semakin tinggi), Pemerintah telah mendorong pabrik gula agar mempunyai perkebunan tebu
sendiri atau setidaknya dapat menyerap tebu petani. Dengan demikian, industri gula
diharapkan dapat memberikan multiplier effect bagi peningkatan sektor industri dan
sekaligus sektor pertanian dalam negeri.
Sementara untuk impor kedelai masih didominasi untuk memenuhi kebutuhan pabrik
tahu-tempe di dalam negeri. Dengan total impor berkisar 1-2 juta ton setiap tahunnya,
jumlah tersebut telah melebihi total produksi kedelai tahunan dalam negeri yang masih di
bawah 1 juta ton. Dengan alasan yang relatif sama dengan impor jagung, pabrik tahu-tempe
lebih memilih membeli kedelai impor dikarenakan pasokan yang lebih mencukupi dan
jaminan keberlanjutan. Hal tersebut sulit dipenuhi dari kedelai dalam negeri mengingat,
seperti telah dijelaskan pada bagian produksi pangan utama, produksi petani yang tidak
stabil dan scatter dalam jumlah yang relatif kecil.
Kondisi yang sedikit berbeda ditunjukkan dengan impor daging sapi. Meskipun setiap
tahun terus dilakukan impor, namun dengan jumlah yang relatif lebih kecil dibandingkan
produksi dalam negeri setidaknya terbuka peluang untuk terus menurunkan impor daging
sapi. Namun demikian, tantangan peningkatan produksi daging sapi dalam negeri masih
menghadapi kendala terutama dengan keberlanjutan produksi pada tahun-tahun ke depan.
Hal ini tidak terlepas dari kondisi di lapangan, dimana peningkatan produksi daging sapi
ternyata mendorong peternak untuk memotong sapi betina produktif yang sebenarnya
diharapkan dapat meningkatkan populasi sapi ke depan. Selain itu, kepemilikan peternak
yang skala kecil menyebabkan upaya peningkatan populasi sapi tidak berdampak signifikan.
Untuk mengurangi tantangan tersebut, maka langkah Pemerintah yang sedang dan akan
dilakukan adalah dengan melindungi sapi betina produktif serta membuka peternakan sapi

dengan skala besar sehingga diharapkan dapat menjamin pasokan sapi dan selanjutnya
daging sapi ke depan.

b. Distribusi dan Harga Pangan


Distribusi pangan berfungsi penting untuk menyalurkan bahan pangan secara adil dan
efisien kepada konsumen pangan atau masyarakat. Aspek distribusi pangan dituntut untuk
menjawab tantangan atas kesenjangan produksi dan konsumsi antar daerah dan antar
waktu. Perwujudan fungsi distribusi ini masih perlu terus ditingkatkan mengingat masih
adanya defisit bahan pangan di suatu daerah sedangkan surplus bahan pangan di daerah
lain. Pembangunan sistem dan infrastruktur transportasi dan logistik yang mendukung
distribusi pangan masih menjadi isu penting dalam aspek ini.
Selain itu, terjadinya gejolak harga bahan pangan masih terus menjadi tantangan berat
dari logistik bahan pangan. Selain kendala transportasi, faktor sosial budaya juga berperan
penting pada terjadinya gejolak harga bahan pangan. Dari tahun ke tahun, lonjakan
permintaan dan harga bahan pangan pada hari-hari besar nasional dan keagamaan masih
terjadi. Lonjakan permintaan dan harga pangan yang tinggi membuka peluang bagi
produsen pangan yang tidak bertanggung jawab untuk menyuplai pagan yang tidak aman
ke pasaran Efisiensi kelembagaan distribusi dan logistik pangan juga perlu terus mendapat
perhatian serius dari berbagai pihak. Insiden penimbunan bahan pangan dan permainan
spekulan memperparah isu distribusi pangan.
Harga pangan utama pada lima tahun terakhir (2010-2014) relatif stabil, kecuali untuk
daging sapi sebagaimana terlihat dalam Gambar 3. Harga tiga komoditas pangan, yaitu
beras, gula pasir, dan kedelai, masih berkisar Rp. 10 ribu sehingga fluktuasi harga tidak
terlihat. Hal ini sangat berbeda dengan perkembangan harga daging sapi yang terus
melonjak dari kisaran Rp. 60 ribu pada awal tahun 2010 menjadi lebih dari Rp. 100 ribu
pada tahun 2014. Situasi ini tentunya menjadi fokus Pemerintah, mengingat keragaman
produksi daging sapi dalam negeri yang jauh melebihi impor ternyata tidak menjamin
stabilitas harga di pasar dalam negeri. Dalam hal ini, tentunya dapat dipahami bahwa
dengan skala kecil ternyata posisi peternak dalam negeri tidak terlalu kuat untuk
mempengaruhi harga daging di pasar. Terlebih dengan adanya keberadaan Rumah Potong
Hewan yang menjadikan peternak tidak langsung bersinggungan dengan pasar daging,
menyebabkan sangat kecil korelasi antara pengaruh peternak dengan harga daging sapi.
Meskipun demikian, tingginya harga daging sapi dapat menjadi ancaman bagi
keberlanjutan sapi betina produktif seperti diuraikan pada bagian sebelumnya. Dalam
kondisi tersebut, peternak terdorong untuk memotong sapi betina produktifnya mengingat
insentif harga yang cukup besar.
Analisa situasi harga pangan dalam negeri juga menunjukkan bahwa kondisi harga
pangan sangat dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu pertama adalah ketersediaan
pasokan pangan, dimana pada saat panen raya kecenderungan harga menurun dan
sebaliknya ketika terjadi kekurangan pasokan mengakibatkan harga cenderung meningkat.
Adapun faktor kedua adalah kondisi psikologi pasar, dimana stabilitas harga pangan
menjadi terganggu ketika adanya kekhawatiran pedagang akan menurunnya pasokan
maupun tindakan ambil untung yang dilakukan pedagang. Hal ini biasanya terjadi ketika
perayaan hari besar keagamaan dimana harga pangan cenderung meningkat.

Gambar 3. Perkembangan Harga Pangan Bulanan, 2010-2014

Sumber : BPS, Kemendag, Kemenko Perekonomian, diolah Bappenas


Dari sisi pemerintah, sistem logistik pangan dilakukan melalui cadangan pangan
yang disediakan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah. Kemampuan pemerintah
untuk menjaga cadangan beras pemerintah menjadi intervensi langsung pemerintah dalam
upaya stabilisasi harga pangan.
c.

Konsumsi Pangan
Sebagai indikator terakhir dari situasi pangan nasional adalah keragaan konsumsi
pangan penduduk sebagai gambaran bagaimana pangan yang tersedia dapat diakses dan
dimanfaatkan oleh penduduk. Dalam sepuluh tahun terakhir pengeluaran untuk bahan
makanan penduduk masih sekitar 50 persen, dimana pada satu sisi dapat menjelaskan
bahwa secara nilai konsumsi pangan sangat penting bagi penduduk. Pada tahun 2014,
pengeluaran rata-rata per kapita dalam sebulan untuk bahan makanan mencapai 46,45
persen dengan proporsi pengeluaran untuk kelompok makanan bersumber padi-padian
sebesar 6,83 persen dan makanan jadi 12,56 persen. Dari keragaan tersebut terlihat bahwa
terjadi perubahan pola konsumsi dari sisi habit, yaitu meningkatnya konsumsi bahan
makanan jadi. Sementara dari sisi jenis pangan, konsumsi penduduk masih didominasi
dengan jenis pangan bersumber padi-padian, meskipun kecenderungannya terus menurun
dalam sepuluh tahun terakhir. Adapun konsumsi pangan bersumber ikan dan daging masih
relatif rendah, yaitu masing-masing 3,94 persen dan 1,93 persen.
Tabel 1. Pola Konsumsi Pangan Tahun 2014
2014
Proporsi Total
Kelompok Pangan
(Perhitungan
Energi
Sementara)
1170
59,48
Padi-padian
38
1,93
Umbi-umbian
183
9,30
Pangan hewani
244
12,40
Minyak dan lemak
38
1,93
Buah/biji berminyak
57
2,90
Kacang-kacangan
91
4,63
Gula
110
5,59
Sayur dan buah
36
1,83
Lain-lain
1967
100,00
Total Energi
55,9
Total Protein
81,8
SKOR PPH
Sumber: Kementerian Pertanian
Keragaan pengeluaran konsumsi rata-rata perkapita tersebut selanjutnya dapat
dikaitkan dengan analisa kondisi konsumsi pangan sumber energi. Adapun konsumsi
pangan bersumber padi-padian diperkirakan masih mencapai 59,48 persen dari total

konsumsi energi penduduk pada tahun 2014 sebagaimana diuraikan dalam Tabel 1. Hal ini
tidak terlepas dari kondisi dimana beras masih mendominasi konsumsi pangan masyarakat
sebagai sumber karbohidrat. Seperti terlihat dari proporsi konsumsi pangan bersumber
umbi-umbian yang hanya sebesar 1,93 persen. Kondisi yang lebih baik ditunjukkan dengan
keragaan konsumsi pangan bersumber pangan hewani dan dan bersumber sayur-buah
yang masing-masing dapat mencapai 9,30 persen dan 5,59 persen.
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam konsumsi pangan adalah konsumsi pangan
yang tidak aman akan berdampak buruk bagi kesehatan masyarakat, termasuk dapat
menyebabkan gangguan gizi kronis yang berlangsung lama atau kegagalan pertumbuhan
jangka panjang yang bersifat irreversible bagi individu dan masyarakat.
Situasi Gizi
Dalam RPJMN tahun 2010-2014 telah ditetapkan sasaran yang akan dicapai untuk
indikator gizi adalah prevalensi balita gizi kurang (underweight) berdasarkan berat badan
terhadap umur (BB/U) sekurang-kurangnya 15 persen dan prevalensi balita pendek
(stunting) yang dilihat dari indikator tinggi badan menurut umur (TB/U) sebesar 32 persen
(RPJMN 2010-2014). Namun hasil survei Riskesdas pada tahun 2013 memperlihatkan tren
yang kurang menggembirakan.
Gambar 4 memperlihatkan tren prevalensi balita gizi kurang dan gizi buruk (BB/U)
berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2007, 2010, dan 2013. Pada gambar terlihat sempat
terjadi sedikit penurunan prevalensi balita gizi kurang pada tahun 2010, namun pada tahun
2013 terjadi peningkatan menjadi 19,6 persen. Prevalensi balita gizi kurang pada tahun
2013 tersebut semakin jauh dari target RPJMN yang harus dicapai pada tahun 2014, yaitu
15 persen. Dengan demikian, penanganan gizi kurang pada balita masih harus terus
diupayakan untuk mencapai target RPJMN tahun 2019 yaitu 17 persen.
Gambar 4. Tren Anak Balita Pendek, Kurang Gizi, dan Kurus Tahun 2007-2013
dan Target RPJMN Tahun 2014

Sumber: Bappenas, Health Sector Review. 2014


Gizi kurang (underweight) pada anak saat ini tidak lagi menjadi indikator gizi yang
paling sesuai pada tingkat populasi, dan digantikan oleh stunting pada usia di bawah dua
tahun. Stunting terjadi akibat dari kekurangan gizi kronis yang telah berlangsung lama atau
kegagalan pertumbuhan pada masa lalu yang memiliki dampak jangka panjang yang
bersifat irreversible bagi individu dan masyarakat, diantaranya penurunan kemampuan
kognitif, menghambat pertumbuhan, menurunkan produktivitas dan kualitas kesehatan serta
meningkatkan risiko menderita penyakit degeneratif pada usia dewasa (UNICEF, 2013)2.
Melihat hasil survei Riskesdas tahun 2013, hampir dapat dipastikan target RPJMN
tahun 2014 untuk mengurangi prevalensi balita pendek menjadi 32 persen tidak tercapai.
Hasil survei Riskesdas terakhir memperlihatkan peningkatan prevalensi stunting
sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 5.
Prevalensi anak balita pendek secara nasional di tahun 2013 adalah 37,2 persen,
artinya terjadi peningkatan dibandingkan tahun 2010 (35,6 persen) dan 2007 (36,8 persen).
2

Victora CG, Adair L, Fall C, Hallal PC, Martorell R, Richter L, et al. Maternal and child undernutrition: consequences for
adult health and human capital. Lancet.2008;371:340-57.

Prevalensi balita pendek sebesar 37,2 persen terdiri dari 18,0 persen sangat pendek dan
19,2 persen pendek. Prevalensi balita sangat pendek mencapai setengah dari prevalensi
balita yang tergolong stunting. Untuk usia bayi di bawah dua tahun (baduta) diketahui
terdapat 32,9 persen yang mengalami stunting.Hasil tersebut memperlihatkan bahwa
Indonesia masih harus bekerja keras untuk mencapai target penurunan prevalensi baduta
stunting yang ditargetkan pada RPJMN 2015-2019, yaitu sebesar 28 persen.
Gambar 5. Prevalensi Balita Pendek dan Sangat Pendek (stunting)

Sumber: Riset Kesehatan Dasar, 2007, 2010, dan 2013


Pada tingkat nasional terlihat angka balita gizi kurang, kurus, dan pendek masih
tinggi, namun jika dilihat lebih rinci berdasarkan provinsi, ditemukan bahwa terdapat 20
provinsi dengan angka balita pendek yang berada di atas 37,2 persen. Jika mengacu pada
kategorisasi permasalahan stunting yang ditetapkan WHO, sejumlah 14 provinsi termasuk
dalam kategori berat, yaitu prevalensinya sebesar 30-39 persen dan 15 provinsi termasuk
dalam kategori serius, yaitu prevalensinya 40 persen (Riskesdas, 2013).
Gambar 6. Persentase Anak Balita Pendek Berdasarkan Provinsi

37,2

36,8

Kep.Riau
DIY
DKI
Kaltim
Babel
Bali
Banten
Sulut
Jabar
Jatim
Sumsel
Jateng
Riau
Indonesia
Jambi
Kalbar
Gorontalo
Sumbar
Bengkulu
Papua
Maluku
Sulsel
Malut
Sulteng
Kalteng
Aceh
Sumut
Sultra
Lampung
Kalsel
Pabar
NTB
Sulbar
NTT

70,0
60,0
50,0
40,0
30,0
20,0
10,0
0,

Keterangan

= 2007;

= 2010; dan

= 2013

Sumber: Riskesdas 2007, 2010, 2013


Diketahui pada tahun 2013 sejumlah 21,7 persen wanita usia subur di Indonesia
menderita anemia dan terjadi peningkatan persentase ibu hamil yang menderita anemia
sejak tahun 2007, yaitu 24,5 persen menjadi 37,1 persen pada tahun 2013 (Riskesdas).
Bukan hanya anemia, status gizi wanita usia subur, yang diketahui melalui indeks massa
tubuh (IMT) atau lingkar lengan atas (LiLA), juga memprihatinkan. Data Riskesdas
menunjukkan 14 persen wanita usia subur menderita kurang energi kronis (KEK). Apabila
sebagian besar wanita usia subur ini memasuki usia kehamilan dengan kondisi anemia dan
KEK maka janinnya akan mengalami hambatan pertumbuhan.
Tingginya prevalensi anemia pada ibu hamil dapat menjadi faktor penyebab
rendahnya penurunan angka kematian bayi, sebuah studi menyebutkan 20 persen kematian

10

neonatal di Indonesia disebabkan oleh kekurangan suplementasi zat besi dan folat selama
dalam kandungan (Riskesdas, 2013). Kondisi ini diperburuk dengan cakupan ASI eksklusif
yang masih jauh dari target yang ditetapkan yaitu sebesar 38 persen dari 80 persen yang
ditargetkan. Padahal ASI eksklusif merupakan makanan terbaik bagi bayi untuk mencegah
terjadinya dampak yang lebih buruk pada masa yang akan datang.
Kondisi beban gizi ganda yang selama ini dikhawatirkan terlihat semakin nyata.
Selain kasus stunting yang meningkat, adanya potensi stunting berdasarkan kasus BBLR
dan rendahnya status gizi wanita usia subur dan ibu hamil, terdapat kecenderungan
peningkatan kasus obesitas dan berat badan lebih yang tinggi pada usia dewasa (>18
tahun). Riskesdas tahun 2007 dan 2013 menunjukkan terjadi peningkatan persentase
obesitas pada wanita dan laki-laki. Pada tahun 2007 terdapat 14,8 persen wanita
mengalami obesitas dan angka ini meningkat menjadi 32,9 persen pada tahun 2013. Pada
laki-laki dewasa, kasus obesitas meningkat dari 13,9 persen pada tahun 2007 menjadi 19,7
persen pada tahun 2013. Begitupun dengan kasus obesitas sentral yang meningkat dari
18,8 persen (Riskesdas, 2007) menjadi 26,6 persen (Riskesdas, 2013). Adanya beban gizi
ganda dapat meningkatkan risiko kesehatan, menurunkan produktivitas, dan berdampak
pada kapasitas pendidikan serta kesejahteraan ekonomi. Dengan demikian diperlukan
adanya upaya yang berfokus pada upaya preventif dengam memperbaiki status gizi wanita
usia subur dan mengupayakan perbaikan gizi terutama pada 1000 HPK dalam menghadapi
permasalahan tersebut.
2.2.

Analisis Kausalitas
Gambar 7 mengilustrasikan konsep terjadinya masalah gizi secara umum, dengan
penekanan pada balita. Kerangka tersebut memperlihatkan jalur terjadinya suatu keadaan
salah gizi/malnutrition. Dua faktor langsung yang mempengaruhi status gizi adalah
kecukupan konsumsi dan status kesehatan/kejadian infeksi. Keduanya saling
mempengaruhi dan berinteraksi, yaitu pada anak yang kekurangan gizi maka daya tahannya
akan turun sehingga akan mudah menderita penyakit infeksi, selanjutnya jatuh pada kondisi
malnutrition, sebaliknya seorang anak yang menderita penyakit infeksi akan mengalami
kekurangan asupan karena nafsu makan yang rendah dan meningkatnya kebutuhan zat gizi
akibat penyakit pada keadaan malnutrition. Tidak adekuatnya asupan makanan dan
terjadinya penyakit infeksi sangat dipengaruhi oleh pola asuh yang diberikan ibu atau
pengasuh anak. Pola asuh ibu atau pengasuh sangat dipengaruhi oleh pendidikan ibu
karena menentukan pemahaman ibu terhadap pola asuh anak yang baik. Dengan demikian
ada faktor-faktor lain diluar faktor kesehatan yang berpengaruh terhadap kedua faktor
penyebab langsung salah gizi, yang dikategorikan sebagai faktor penyebab tidak langsung
dan faktor dasar.
Faktor penyebab tidak langsung yang mempengaruhi status gizi, adalah: 1)
Ketahanan pangan keluarga yang menentukan kecukupan konsumsi setiap anggota
keluarga; 2) pola asuh yang menentukan kecukupan zat gizi yang antara lain terdiri dari
pemberian ASI eksklusif pada anak 0-6 bulan, pemberian makanan pendamping ASI pada
anak 6 bulan-2 tahun, dan penyiapan makanan secara higienis; serta 3) pemanfaatan
pelayanan kesehatan saat sakit dan akses terhadap lingkungan yang bersih. Kecukupan
konsumsi dipengaruhi oleh ketahanan pangan di tingkat keluarga dan pola asuh, sementara
itu penyakit infeksi dipengaruhi oleh pelayanan kesehatan seperti imunisasi, kualitas
lingkungan hidup, ketersediaan air bersih, sanitasi, dan perilaku hidup bersih dan sehat.
Sementara itu, faktor yang mendasari faktor langsung dipengaruhi oleh akar masalah,
adalah pendidikan, kelembagaan, politik dan ideologi, kebijakan ekonomi, sumber daya
lingkungan, teknologi, dan penduduk (UNICEF, 1991).
Gambar 7. Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi

11

Sumber: Unicef, 1990


Di Indonesia sanitasi yang buruk merupakan isu penting yang berhubungan dengan
meningkatnya risiko penyakit infeksi yang dapat mengakibatkan stunting. Hasil Riskesdas
tahun 2013 menunjukkan terdapat 12,9 persen rumah tangga yang tidak memiliki fasilitas
buang air besar (BAB) dan melakukan BAB sembarangan dan perilaku ini berhubungan erat
dengan indeks kepemilikan, semakin rendah kuintil indeks kepemilikan proporsi rumah
tangga yang melakukan BAB sembarangan lebih tinggi (Riskesdas 2007). Spears3
melakukan perhitungan bahwa BAB di tempat terbuka dapat menjelaskan hingga 54 persen
variasi tinggi badan anak. Pentingnya mencuci tangan dan perilaku BAB yang benar
merupakan bagian dari praktik pola asuh yang baik yang juga penting. Analisis lebih lanjut
terhadap data Riskesdas disajikan dalam dokumen background study health sector review
(tahun 2014) yang menunjukkan adanya hubungan antara sanitasi yang buruk dengan
stunting (Gambar 8). Terdapat kecenderungan bahwa provinsi yang memiliki proporsi rumah
tangga dengan akses sanitasi yang lebih baik memiliki persentase stunting yang lebih
rendah (R2=66 persen).
Gambar 8. Estimasi Provinsi dengan Persentase Rumah Tangga dengan Akses
Sanitasi yang Baik dan Prevalensi Stunting pada Balita

Sumber: Bappenas, Nutrition Background Study,Health Sector Review, 2014


Penyakit infeksi sebagai salah satu faktor penyebab tidak langsung yang
mempengaruhi status gizi dan dapat mengakibatkan stunting, juga bisa disebabkan oleh
pangan yang tidak aman karena adanya cemaran dari bakteri atau zat pencemar lainnya
terhadap pangan. Keamanan pangan merupakan syarat penting yang harus melekat pada
pangan yang hendak dikonsumsi oleh semua masyarakat Indonesia. Walaupun pangan itu
menarik, nikmat, dan tinggi gizinya, jika tidak aman dikonsumsi, praktis tidak ada nilainya
sama sekali. Ada saling ketergantungan antara gizi dan keamanan pangan. Pangan yang
tidak aman kalau dipaksakan dikonsumsi akan menimbulkan gangguan kesehatan dan
bisaberakibat lebih jauh pada kematian. Salah satu contohnya adalah diare terus-menerus
karena mengkonsumsi pangan yang tidak aman, sehingga menyebabkan gangguan
3

Spears D. 2013. How much international variation in child height can sanitation explain? Water and Sanitation Policy
Research Working Paper No 6351. Washington: World Bank.

12

penyerapan zat gizi atau malabsorbsi. Selain penyakit infeksi, faktor yang secara langsung
mempengaruhi status gizi adalah kecukupan konsumsi.
Di dalam mengatasi masalah gizi maka perlu memperhatikan continum of care, mulai
dari 1000 Hari Pertama Kehidupan, anak balita, remaja, dewasa, sampai dengan usia lanjut.
Meskipun 1000 Hari Pertama Kehidupan merupakan fokus dari percepatan perbaikan gizi,
tetapi usia remaja menjadi satu faktor penting yang perlu diperhatikan, khususnya
kehamilan pada usia remaja. Kehamilan pada remaja penting diperhatikan oleh karena
konsekuensi yang mungkin terjadi.
Secara umum, sebagian besar perempuan selesai pertumbuhannya saat berusia
rata-rata 18 tahun, dalam hal ini proses pertumbuhan tinggi badan dan panggulnya serta
organ reproduksinya telah selesai. Sementara, menstruasi bukan menandakan selesainya
pertumbuhan, karena seorang anak yang sudah mengalami menstruasi masih bertumbuh
tinggi badannya dan tulang panggulnya sampai beberapa tahun setelah menstruasi
pertama. Oleh karena itu, seorang anak yang belum selesai pertumbuhannya dan
mengalami kehamilan, berarti dia dihadapkan pada situasi dimana terjadi persaingan untuk
pemenuhan kebutuhan gizi bagi pertumbuhan janinnya dan pertumbuhan dirinya sendiri
yang belum selesai. Akibatnya pertumbuhan dan perkembangan janinnya dan dirinya sendiri
terhambat, dengan berbagai risikonya. Kondisi ini dapat diperburuk bila remaja yang
menikah pada usia muda mempunyai status gizi kurang, sehingga risiko terhadap diri dan
bayinya semakin tinggi. Berbagai studi kohort yang dilakukan di berbagai negara
menunjukkan bahwa anak yang dilahirkan oleh ibu dengan usia yang terlalu muda (< 20
tahun) lebih berisiko mengalami BBLR, yang berisiko tumbuh menjadi anak yang pendek
pada usia dua tahun dan memiliki prestasi sekolah yang lebih buruk, dibandingkan dengan
anak yang dilahirkan oleh ibu dengan usia 20-24 tahun.
2.3.

Konsekuensi Pangan dan Gizi dalam Pembangunan


Keberhasilan pembangunan pangan dan gizi selain meningkatkan kualitas
sumberdaya manusia juga akan memberikan sumbangan bagi pembangunan berkelanjutan
berikutnya. Adapun peran dan dampak pangan dan gizi dalam pembangunan diuraikan
sebagai berikut.
Peran dan Dampak Pangan dalam Pembangunan
Di dalam Undang-Undang Pangan disebutkan bahwa kedaulatan pangan merupakan
hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin
hak atas pangan bagi rakyat dan memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan
sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumberdaya lokal. Salah satu hak tersebut
adalah tekad untuk kemandirian pangan, yaitu membangun kemampuan negara dan bangsa
untuk memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri, dengan
memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal
secara bermartabat. Sedangkan ketahanan pangan adalah kondisi tepenuhinya pangan
bagi negara sampai dengan perseorangan yang tercermin dari tersedianya pangan yang
cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata dan terjangkau serta
tidak bertentangan dengan agama, keyakinan dan budaya masyarakat untuk dapat hidup
sehat, aktif dan produktif secara berkelanjutan.
Seperti diketahui bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling
utama, yang pemenuhannya tidak dapat ditunda dan tidak dapat disubstitusi dengan bahan
lain, dan merupakan salah satu hak asasi manusia. Pangan juga memiliki peranan penting
dalam menentukan kualitas sumber daya manusia. Untuk itu, pemerintah berupaya
mewujudkan ketahanan pangan yaitu dengan upaya peningkatan produksi pangan
beragam, yang selanjutnya dapat diakses secara mudah oleh penduduk, dan selanjutnya
dapat menjadi asupan konsumsi yang aman dan bergizi. Dengan ketersediaan pangan yang
cukup bagi penduduk, maka kebutuhan dasar akan pangan menjadi kunci utama dalam

13

pemenuhan gizi bagi penduduk dan selanjutnya dapat meningkatkan kualitas sumber daya
manusia secara lebih menyeluruh.
Dampak kekurangan pangan akan menimbulkan berbagai bentuk kekurangan gizi
yang selanjutnya menimbulkan kerentanan terjadinya penyakit menular. Kekurangan
pangan yang cukup lama terutama dalam 1000 Hari Pertama Kehidupan yang diikuti oleh
permasalahan pada faktor-faktor determinan masalah gizi, maka akan menimbulkan
masalah gizi diantaranya stunting yang kemudian rentan menyebabkan penyakit tidak
menular.
Konsumsi makanan yang lebih besar dari pada pengeluaran energi akan
menimbulkan kelebihan gizi yang menjadi salah satu pemicu berbagai penyakit tidak
menular. Sejak tahun 1990 sampai dengan saat ini prevalensi penyakit tidak menular terus
meningkat dari semula 37 persen (tahun 1990) dan menjadi 58 persen (tahun 2010). Oleh
karena itu selama 2 dekade terakhir ini pola penyakit berubah dan menyebabkan beban
kesehatan ganda. Di satu sisi terdapat permasalahan penyakit menular yang belum
tertangani dengan baik, seperti tinggi badan, malaria, dan HIV, kusta, filariasis, dan sindrom
pernafasan akut. Namun pada saat yang sama terjadi pergeseran peningkatan penyakit
tidak menular seperti penyakit jantung, diabetes, dan demensia. Oleh karena itu diperlukan
upaya untuk mengatur konsumsi pangan yang berlebihan melalui perilaku konsumsi gizi
seimbang.
Peran dan Dampak Gizi dalam Pembangunan
Fokus perbaikan gizi adalah 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) yang terdiri dari
270 hari masa kehamilan dan 730 hari yaitu sampai anak berusia 2 tahun. Periode ini sering
disebut periode emas, atau dikenal sebagai window of opportunity. Maknanya adalah
kesempatan untuk meningkatkan mutu SDM di masa yang akan datang ternyata sangat
sempit, yaitu 1000 hari.
Rentang 1000 hari pertama kehidupan merupakan periode yang sensitif, karena
akibat yang ditimbulkan terhadap bayi pada masa ini akan bersifat permanen dan tidak
dapat dikoreksi. Banyak yang berpendapat bahwa ukuran fisik, termasuk pendek dan
gemuk, dan risiko penyakit tidak menular sangat erat hubungannya dengan faktor genetik,
dengan demikian ada anggapan tidak banyak yang dapat dilakukan untuk memperbaikinya.
Namun berbagai bukti ilmiah dari banyak penelitian dan lembaga riset gizi dan kesehatan
terbaik di dunia telah mengubah paradigma tersebut. Diketahui bahwa faktor lingkungan
sejak konsepsi sampai usia 2 tahun merupakan penyebab terpenting ukuran tubuh pendek,
gemuk, dan penyakit degeneratif, dan indikator kualitas hidup lainnya (Hales, 2001).
Profesor David Barker menyimpulkan hipotesis The fetal origins of disease yang
menyatakan kondisi kurang gizi semasa janin dapat menyebabkan perubahan struktur dan
metabolisme tubuh secara permanen (Barker, 1998). Saat ini berkembang teori
developmental plasticity, yaitu janin sangat fleksibel atau plastis terhadap lingkungan,
termasuk lingkungan gizi. Perubahan tersebut merupakan interaksi antara gen dengan
lingkungan barunya. Lingkungan gizi yang buruk pada masa janin menyebabkan janin
mengalami reaksi penyesuaian yang dapat meliputi perlambatan pertumbuhan dengan
pengurangan jumlah dan pengembangan sel-sel tubuh pembentuk organ, seperti otak dan
organ lainnya. Saat bayi dilahirkan, sebagian besar perubahan tersebut bersifat menetap
dan selesai, kecuali beberapa fungsi, yaitu perkembangan otak dan imunitas yang berlanjut
sampai beberapa tahun pertama kehidupan bayi. Perubahan tersebut bersifat irreversible
atau permanen, sekali perubahan tersebut terjadi maka tidak dapat kembali ke keadaan
semula. Hasil reaksi penyesuaian tersebut diekspresikan pada usia selanjutnya dalam
bentuk tubuh pendek serta rendahnya kemampuan kognitif akibat pertumbuhan dan
perkembangan otak yang tidak optimal. Reaksi penyesuaian tersebut akan berakibat pada
salah gizi/malnutrition pada usia anak-anak yang cenderung meningkatkan risiko kelebihan
gizi dan obesitas pada usia dewasa dan berdampak pada meningkatnya risiko menderita
PTM seperti diabetes, penyakit jantung koroner, dan stroke pada usia dewasa (Hales, 2001)
(Bappenas, 2013).

14

Sebelumnya telah disebutkan adanya hubungan antara masalah gizi kurus, pendek,
atau pendek-kurus pada masa balita dengan tubuh pendek dan gemuk ketika dewasa.
Peningkatan risiko penyakit tidak menular bermula saat proses tumbuh kembang janin
hingga usia 2 tahun. Apabila lingkungan anak, termasuk lingkungan gizi, dan asupan
makan anak baik, maka anak akan tumbuh dengan normal hingga dewasa sesuai dengan
faktor keturunan atau gen yang sudah diprogram dalam sel. Namun apabila terdapat
gangguan, salah satunya akibat kurang gizi maka proses pertumbuhannya akan terganggu.
Akibatnya terjadi ketidaknormalan dalam bentuk tubuh pendek, meski faktor gen dalam sel
menunjukkan potensi untuk tumbuh normal (Barker, 2012). Penelitian terbaru menyimpulkan
pertumbuhan yang lambat pada bayi dan pertambahan berat badan yang cepat pada masa
anak-anak (mismatch) berdampak pada peningkatan risiko menderita PTM seperti diabetes
(WHO, 2003). Di Indonesia dan di negara berkembang lainnya, gangguan pertumbuhan
tidak hanya dikarenakan lingkungan gizi, namun juga dikarenakan faktor lingkungan lainnya.
Masalah gizi 1000 HPK diawali dengan perlambatan atau retardasi pertumbuhan
janin yang dikenal dengan pertumbuhan janin terhambat atau Intra Uterine Growth
Restriction (IUGR). Sejumlah 20 persen kasus IUGR dikarenakan pertambahan berat badan
saat kehamilan yang rendah dan lainnya dikarenakan status gizi ibu yang tidak memadai
saat memasuki usia kehamilan. Di negara berkembang, kurang gizi yang terjadi pada ibu
sebelum dan saat kehamilannya dapat mengakibatkan hambatan pertumbuhan janin yang
berdampak pada BBLR. Prevalensi BBLR di Indonesia masih tinggi, hasil Riskesdas
memperlihatkan hanya sedikit penurunan BBLR, yaitu 11,1 persen (tahun 2010)
dibandingkan 10,2 persen (tahun 2013). Sebagian besar kasus BBLR di negara
berkembang dikarenakan IUGR, berbeda dengan di negara maju yang lebih banyak
dikarenakan prematuritas. Sebagian kondisi IUGR berkaitan dengan status gizi ibu. Ibu
malnutrisi saat prahamil mengalami kesulitan untuk mencapai kenaikan berat badan ideal
yang harus dicapai, sebab ibu dengan status gizi lebih rendah harus mencapai kenaikan
berat badan yang lebih tinggi. Selain itu, ibu yang bertubuh pendek juga cenderung
melahirkan bayi BBLR. Dalam jangka pendek IUGR berakibat pada gangguan pertumbuhan
dan perkembangan otak. Dalam jangka panjang dapat berdampak pada menurunnya
kemampuan kognitif, tubuh yang pendek, dan peningkatan risiko penyakit degeneratif pada
usia dewasa. Lebih jauh lagi, ternyata orang dewasa yang bertubuh pendek saat berusia 2
tahun cenderung tumbuh sebagai orang dewasa yang pendek, dan apabila hal tersebut
terjadi pada wanita yang akan memasuki masa kehamilan, ditambah dengan lingkungan gizi
yang buruk, akan mengulang permasalahan yang sama, sebagaimana ditampilkan pada
Gambar 9. Gambar tersebut juga memperlihatkan penyebab terjadinya beban gizi ganda
(double burden) dimana terjadi kondisi kekurangan dan kelebihan gizi pada satu populasi,
yaitu kurang gizi pada fase awal kehidupan yang memicu kelebihan gizi pada usia dewasa.
Gambar 9. Dampak Jangka Pendek dan Jangka Panjang
Akibat Gangguan Gizi pada Masa Janin4

Modifikasi Achadi dari Gopalan. 2007 dan Kramer 1987.

15

Gambar 9 menunjukkan dampak jangka pendek dan jangka panjang yang berakibat
pada menurunnya kualitas SDM. Gangguan jangka pendek berupa gangguan tumbuh
kembang pada jangka panjang dapat menurunkan kualitas hidup dikarenakan penurunan
kemampuan kognitif, peningkatan risiko penyakit degeneratif, hingga malnutrisi
antargenerasi dikarenakan stunting. Dampak yang dirasakan tentu dapat mengakibatkan
konsekuensi ekonomi berupa kerugian akibat biaya kesehatan yang harus ditanggung dan
penurunan produktivitas masyarakat. Penelitian terakhir mengungkapkan adanya hubungan
antara stunting dengan kemampuan kognitif. Disebutkan bahwa anak yang pendek memiliki
IQ yang lebih rendah 5 10 poin dibandingkan dengan anak dengan status gizi baik.
Diketahui pada daerah endemis GAKI di Indonesia, anak yang stunting 9 kali lebih berisiko
memiliki IQ dibawah rata-rata (Puspitasari, 2011).
Nutrition Global Report menyebutkan bahwa hasil survei di 40 negara
memperlihatkan bahwa untuk setiap dolar, rupee, birr, atau peso yang diinvestasikan untuk
perbaikan gizi akan menghasilkan 16 kali senilai mata uang tersebut di masa yang akan
datang. Sedangkan untuk Indonesia sendiri untuk setiap USD 94.83 yang dikeluarkan bagi
setiap anak untuk mencegah stunting, akan menghasilkan keuntungan ekonomi sebesar
USD 4,522 pada masa yang akan datang, sehingga rasio keuntungan yang akan diperoleh
adalah 48 kali dari biaya yang dikerluakan (Hoddinott, 2013).
Gizi berperan penting dalam pembangunan dan sudah sepatutnya menjadi prioritas
agenda pembangunan pasca 2015. Tujuan pembangunan berkelanjutan Sustainable
Development Goals (SDGs) merupakan fokus pembangunan yang akan diusahakan
semaksimal mungkin untuk dicapai pada tahun 2030, investasi gizi dapat berkontribusi pada
pencapaian SDGs, begitupun sebaliknya jika SDGs tercapai maka akan berkontribusi
terhadap perbaikan gizi, sebagaimana terlihat pada lampiran.

16

Dampak Pangan dan Gizi Terhadap Penyakit


Pangan dan gizi memiliki dampak terhadap terjadinya berbagai penyakit baik
penyakit menular maupun penyakit tidak menular. Data Riskesdas 2007 dan 2013
menunjukkan telah terjadi peningkatan penyakit tidak menular dengan pengambilan data
penyakit dilakukan dengan metode wawancara, pengukuran, dan pemeriksaan klinis,
sebagaimana pada Tabel 2.
Tabel 2 Tren terakhir PTM/Penyakit Kronis dan Kelebihan Gizi di Indonesia
PTM dan Kelebihan Gizi
Riskesdas
Metode
(proporsi dan kelompok umur)
2007
2013
Stroke (per mil 15 tahun)
8.3
12.1
Wawancara
Hipertensi (18 tahun)
7.6
9.5
Wawancara
31.7
25.8
Pengukuran
klinis
Diabetes (persen 15 tahun)
1.1
2.1
Wawancara
5.7
6.9
Pengukuran
klinis
Pre-diabetes (persen 15 tahun)
10.2
36.3
Pengukuran
klinis
Kolesterol tinggi(persen 15 tahun)
35.9
Pengukuran
klinis
Low High Density Lipoproteins (persen 15
22.9
Pengukuran
tahun)
klinis
High Low Density Lipoproteins (persen 15
15.9
Pengukuran
tahun)
klinis
High triglycerides (persen 15 tahun)
11.9
Pengukuran
klinis
Overweight dan obesitas (persen18 tahun)
19.1
26.0
Pengukuran
Overweight dan obesitas (persen<5 tahun)
12.2
11.9
Pengukuran
Obesitas sentral (persen18 tahun)
18.8
26.6
Pengukuran
Sumber: Riskesdas 2007 dan 2010
Peningkatan penyakit tidak menular selama 5 (lima) tahun tersebut tidak lepas dari
peningkatan penyakit obesitas baik pada laki-laki maupun perempuan. Oleh karena itu
upaya yang perlu dilakukan antara lain peningkatan aktivitas fisik dan perilaku konsumsi gizi
seimbang. Pada saat yang sama kita juga masih mengalami beberapa penyakit menular
yang masih tinggi. Diketahui penyakit menular seperti tinggi badan, Human
Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS), diare,
malaria, dan pneumonia masih menjadi masalah, walaupun beban penyakit tersebut
menurun dari 56 persen pada tahun 1990 menjadi 33 persen pada tahun 2010.
Pada tahun 2013 insiden malaria adalah 1,9 per 1000 penduduk dan prevalensinya 6
kasus per 1000 penduduk. Angka insiden parasite tahunan (Annual Parasite Rate/API)
menurun menjadi 1,69 pada tahun 2012 dari 4,68 pada tahun 1990. Namun angka ini masih
belum mencapai target API pada RPJMN tahun 2014, yaitu 1,00. Hasil Riskesdas
memperlihatkan penurunan angka period prevalence diare dari 9,0 persen tahun 2007
menjadi 3,5 persen pada tahun 2013.
2.4.

Konteks Kebijakan
Komitmen Indonesia untuk memperbaiki permasalahan pangan dan gizi dituangkan
dalam berbagai kebijakan yang berorientasi pada ketahanan pangan dan gizi. Landasan
kebijakan program pangan dan gizi dalam jangka panjang dirumuskan dalam UndangUndang Nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
(RPJPN) tahun 2005-2025. Ketahanan pangan, kesehatan dan gizi termasuk dalam prioritas
pembangunan di antara sebelas prioritas pembangunan nasional. Pendekatan multisektor

17

dalam pembangunan pangan dan gizi meliputi produksi, pengolahan, distribusi, hingga
konsumsi pangan, dengan kandungan gizi yang cukup, seimbang, dan terjamin
keamanannya (Bappenas, 2013).
Tahapan RPJPN dilaksanakan selama lima tahunan yang perencanaannya
dirumuskan pada RPJMN. RPJMN tahun 2015-2019 yang ditetapkan dalam Peraturan
Presiden Nomor 2 Tahun 2015 telah dapat menjadi landasan yang kuat untuk melaksanakan
program pangan dan perbaikan gizi. Lebih operasional lagi, RPJMN diimplementasikan
dalam Rencana Strategis Kementerian Lembaga (Renstra K/L) yang dituangkan dalam
Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan di tingkat daerah dituangkan dalam Rencana Kerja
Pemerintah Daerah (RKPD).
Regulasi terkait pangan terdapat pada Undang-Undang Nomor 18 tahun 2012
tentang Pangan. Undang-Undang ini tidak hanya memperkuat ketahanan pangan, tetapi
juga fokus untuk memenuhi kecukupan dan kedaulatan pangan dalam rangka mencapai
ketahanan pangan dan gizi nasional yang lebih baik pada tingkat komunitas, rumah tangga,
dan individu. Upaya dan tanggung jawab pemerintah dalam perbaikan gizi dicantumkan
pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Undang-Undang tersebut
mendasari upaya perbaikan gizi yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan termasuk
diperlukan adanya upaya lintas sektor. Untuk mengimplementasikan Undang-Undang No 18
tahun 2012 telah diterbitkan Peraturan Pemerintah No 17 Tahun 2015 tentang Ketahanan
Pangan dan Gizi. Selain itu juga terdapat Peraturan Pemerintah No 28 Tahun 2004 tentang
Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan.
Peraturan Presiden No. 42 tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan
Perbaikan Gizi merupakan regulasi penting dalam perbaikan pangan dan gizi. Regulasi ini
sejalan dengan SUN Movement dan Indonesia telah menjadi anggota SUN Movement
sejak Desember 2011. Sebagai tindak lanjut untuk mengoperasionalisasikan Gerakan
Nasional Percepatan Perbaikan Gizi, telah dibentuk kelompok kerja (Pokja), dan disusun
mekanisme monitoring dan evaluasi. Operasionalisasi pelaksanaan kegiatan Pokja Gernas
1000 HPK dituangkan melalui Keputusan Menkokesra No 11 tahun 2014 yang anggotanya
ditetapkan melalui SK Deputi bidang Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan Bappenas No
37/DI/06/2014.
Dalam skala global terjadi perubahan ketahanan pangan menjadi ketahanan pangan
dan gizi. Dengan demikian pengertian ketahanan pangan dan gizi menjadi yaitu Keamanan
pangan akan terjadi ketika semua orang, pada semua waktu, memiliki akses fisik dan
ekonomi terhadap makanan yang bergizi, aman, dan mencukupi kebutuhan gizinya dan
preferensi makanan untuk hidup dengan aktif dan sehat (FAO, 1996).
Pada tataran program terdapat berbagai kebijakan yang digulirkan untuk mendukung
program gizi, untuk mencapai konsumsi yang adekuat terdapat beberapa program yang
telah digulirkan, program untuk mendukung konsumsi yang tepat dan peningkatan akses
terhadap pangan.
Kebijakan terkait Produksi Pangan
Peningkatan kapasitas produksi ditujukan untuk meningkatkan ketersediaan pangan.
Pemerintah saat ini lebih memprioritaskan penyediaan pangan berasal dari dalam negeri.
Salah satu upaya guna mendukung kebijakan tersebut antara lain dilakukan melalui
peningkatan kapasitas produksi pangan berbasis serealia sebagai sumber karbohidrat,
khusunya padi, jagung, serta pangan sumber protein seperti kedelai dan daging. Beberapa
strategi yang dilakukan guna mendukung kebijakan tersebut antara lain melalui
pengamanan lahan padi beririgasi teknis diiringi dengan perbaikan target dalam penyaluran
subsidi, dan perluasan sawah baru di luar Jawa. Peningkatan produksi padi juga dilakukan
melalui pemanfaatan lahan terlantar, marginal, kawasan transmigrasi, lahan berkas
pertambangan; pemanfaatan jaringan irigasi, revitalisasi penyuluhan, revitalisasi sistem
perbenihan yang mengoptimalkan penangkar benih lokal melalui pengembangan 1000 desa
berdaulat benih; pengembangan produksi pangan oleh swasta dan koperasi, terutama
BUMN.

18

Selain padi, pemerintah juga mengambil langkah untuk peningkatan kapasitas


produksi bahan pangan lainnya. Upaya tersebut diharapkan dapat diwujudkan melalui
strategi pengamanan produksi gula konsumsi melalui peningkatan produktivitas-rendemen
tebu, revitalisasi pabrik gula yang ada, pembangunan pabrik gula baru beserta perkebunan
tebunya. Kemudian, peningkatan produksi sapi dalam negeri, yang dilakukan melalui:
penambahan populasi bibit induk sapi dan inseminasi buatan; pengembangan kawasan
peternakan sapi; peningkatan kapasitas pusat-pusat perbibitan ternak dan penyediaan bibit,
memperkuat standar produksi dan kesehatan hewan; pengembangan produksi daging non
sapi dengan meningkatkan produktivitas melalui perbaikan bibit, pakan, dan kesehatan
hewan. Peningkatan produksi tanaman pangan lain (jagung, kedelai), komoditas
perkebunan dan hortikultura (cabe, bawang merah) berbasis sumber daya local melalui
peningkatan luas tanam termasuk di lahan kering 1 juta ha diluar Jawa Baliproduktivitas
yang adaptif terhadap kondisi iklim. Serta ektensifikasi dan intensifikasi usaha perikanan
untuk mendukung ketahanan pangan dan gizi melalui peningkatan produktivitas dan
pengembangan kawasan sentra produksi perikanan budidaya, peningkatan produksi
perikanan tangkap, pengembangan budidaya marikultur, pendayagunaan perairan umum
daratan, penguasaan dan inovasi teknologi intensif untuk pembesaran komoditas ikan
strategis, revitalisai tambak dan kolam, pengembangan teknologi yang memperhatikan daya
dukung lingkungan.
Selain itu, peningkatan produksi pangan yang aman ditujukan untuk meningkatkan
ketersediaan pangan yang aman bagi masyarakat. Untuk pangan olahan peningkatan
produksi pangan yang aman dilakukan melalui penerapan Cara Produksi Pangan yang Baik.
Khusus untuk industri pangan olahan skala Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) serta
pedagang pangan jajanan (baik di kantin sekolah maupun di pedagang kreatif lapangan)
yang masuk dalam kategori pangan siap saji, pembinaan dan pengawasannya dilakukan
oleh tenaga Penyuluh Keamanan Pangan (PKP) dan Pengawas Pangan Kabupaten/Kota
atau District Food Inspector (DFI) yang ada di masing-masing Pemerintah Daerah.
Kebijakan terkait Akses Pangan
Untuk meningkatkan akses pangan secara nasional, kebijakan yang telah
diimplementasikan adalah stabilisasi pasokan dan harga pangan, program
penganekaragaman pangan, pangan bersubsidi, serta stimulus bantuan langsung melalui
Program Keluarga Harapan (PKH). Selain itu, peningkatan akses pangan rumah tangga
dilakukan dengan berbagai kebijakan, yaitu melalui diversifikasi pangan dengan
mempromosikan sumber karbohidrat selain beras, menanam bahan makanan di
pekarangan melalui program Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) yang dilakukan di
6400 desa pada tahun 2013, dan pemberlakuan sistem kewaspadaan pangan dan gizi
(SKPG).
Diperlukan adanya upaya untuk mendorong pemerintah daerah untuk
memperbaharui atlas ketahanan dan kerawanan pangan di daerahnya, sehingga SKPG
berjalan sebagai sistem yang mampu mencegah terjadinya kerawanan pangan di masa
yang akan datang (Bappenas, 2014).
Program Keluarga Harapan merupakan program perlindungan sosial yang
memberikan bantuan tunai kepada Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) dan bagi anggota
keluarga RTSM diwajibkan melaksanakan persyaratan dan ketentuan yang telah ditetapkan.
Program ini secara internasional dikenal sebagai program conditional cash transfers
(CCT) atau Program Bantuan Tunai Bersyarat. Persyaratan tersebut dapat berupa kehadiran
di fasilitas pendidikan (misalnya bagi anak usia sekolah), ataupun kehadiran di fasilitas
kesehatan (misalnya bagi anak balita, atau bagi ibu hamil). Program ini dapat meningkatkan
akses terhadap makanan dan memaksa masyarakat untuk melakukan hal yang dapat
meningkatkan kualitas kehidupannya. Diketahui terdapat peningkatan penggunaan fasilitas
kesehatan oleh keluarga yang menerima PKH dibandingkan dengan sebelum menerima
PKH, namun hal ini tidak serta merta meningkatkan outcome gizi dan kesehatan,
dikarenakan kualitas pelayanan kesehatan yang masih tidak adekuat (World Bank, 2012)
dan program ini tidak berhubungan langsung dengan pilihan makanan yang dikonsumsi oleh

19

keluarga. Namun PKH dapat dimanfaatkan sebagai platform untuk menyampaikan pesan
gizi dan pangan (Bappenas, 2014).
Kebijakan Terkait Konsumsi
Program untuk mendukung konsumsi yang tepat diantaranya adalah diversifikasi
konsumsi pangan melalui penyediaan pangan beragam dan kampanye konsumsi pangan
beragam.
Hal yang juga penting di dalam konsumsi makanan adalah pemberdayaan
masyarakat di bidang keamanan pangan hingga tingkat rumah tangga dan pos pelayanan
terpadu (posyandu). Kegiatan ini dilakukan oleh Kader Keamanan Pangan Desa (KKPD)
yang berasal dari kelembagaan desa atau kader pendamping desa, seperti ibu PKK, karang
taruna, guru, Pemuda Sarjana Penggerak Pembangunan Perdesaaan (PSP3), dll, melalui
program Gerakan Keamanan Pangan Desa (GKPD). Para KKPD tersebut akan membina
komunitasnya agar mampu menjadi konsumen dan produsen cerdas yang secara mandiri
mampu memilih, menyiapkan / mengolah dan menyajikan pangan yang aman. Dengan
sumber daya yang terbatas, Badan POM menginisiasi pengembangan model desa Pangan
Aman (desa PAMAN) melalui program GKPD untuk dapat direplikasi oleh Kabupaten / Kota
atau desa-desa lainnya secara swadaya melalui program dan anggaran masing-masing
daerah / desa (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah dan Anggaran Pendapatan Belanja
Desa).
Kebijakan terkait perbaikan gizi
Kebijakan terkait perbaikan gizi sejalan dengan RPJMN 2015-2019, yaitu percepatan
perbaikan gizi yang dilaksanakan melalui strategi :
a. peningkatan surveilans gizi termasuk pemantauan pertumbuhan;
b. peningkatan akses dan mutu paket pelayanan kesehatan dan gizi dengan fokus
utama pada 1.000 hari pertama kehidupan, remaja, calon pengantin dan ibu hamil,
termasuk pemberian makanan tambahan, terutama untuk keluarga kelompok
termiskin dan wilayah DTPK;
c. peningkatan promosi perilaku masyarakat tentang kesehatan, gizi, sanitasi, hygiene,
dan pengasuhan;
d. peningkatan peran masyarakat dalam perbaikan gizi terutama untuk ibu hamil,
wanita usia subur, anak, dan balita di daerah DTPK termasuk melalui upaya
kesehatan berbasis masyarakat dan Pengembangan Anak Usia Dini Holistik
Integratif (Posyandu dan Pos PAUD);
e. penguatan pelaksanaan dan pengawasan regulasi dan standar gizi; dan
f. penguatan peran lintas sektor dalam rangka intervensi sensitif dan spesifik yang
didukung oleh peningkatan kapasitas pemerintah pusat, provinsi, dan
kabupaten/kota dalam pelaksanaan rencana aksi pangan dan gizi
Didalam pelaksanaan hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah upaya
menerapkan perilaku konsumsi sesuai dengan gizi seimbang termasuk pembatasan
konsumsi gula, garam dan lemak, penggunaan kartu menuju sehat (KMS), suplementasi
besi folat, promosi terkait kesehatan ibu dan bayi. PGS telah diimplementasikan di Indonesia
sejak tahun 1955 menggantikan slogan 4 Sehat 5 Sempurna yang telah diperkenalkan
sejak tahun 1952 yang saat ini tidak lagi relevan untuk digunakan. Gizi seimbang berisi 4
pilar prinsip yang harus dipenuhi agar rumah tersebut dapat berdiri, yaitu 1). Mengonsumsi
makanan beragam, kecuali untuk bayi baru lahir sampai berusia 6 bulan yang diberikan
adalah ASI saja; 2). Membiasakan perilaku hidup bersih; 3) Melakukan aktivitas fisik, untuk
menyeimbangkan antara pengeluaran energi dan pemasukan zat gizi kedalam tubuh; 4)
Mempertahankan dan memantau Berat Badan (BB) dalam batas normal. Meskipun gizi
seimbang telah diperkenalkan selama 20 tahun, namun masih banyak masalah dan kendala
yang ditemui dalam sosialisasi gizi seimbang sehingga harapan untuk merubah perilaku gizi
masyarakat ke arah perilaku gizi seimbang belum sepenuhya tercapai (Kemenkes, 2014).

20

Pemerintah memberikan buku yang disebut dengan Kartu Menuju Sehat (KMS) untuk
memantau pertumbuhan BERAT BADAN dan TINGGI BADAN anak, serta memuat informasi
terkait kesehatan ibu dan anak juga pemberian makan anak. Penggunaan KMS dipadukan
dengan program pemberdayaan masyarakat pada tingkat Rukun Tetangga (RT) atau Rukun
Warga (RW) yaitu Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu).
Kebijakan terkait Pelayanan Kesehatan
Untuk mencegah dan mengatasi penyakit infeksi terdapat beberapa program untuk
meningkatkan pelayanan kesehatan dengan peningkatan akses layanan kesehatan melalui
program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan peningkatan sanitasi melalui PHBS dan
sanitasi total berbasis masyarakat (STBM). Pada tahun 2014 pemerintah Indonesia mulai
menerapkan trobosan dalam upaya pemberian jaminan kesehatan, dimana mulai
diimplementasikan JKN yang merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional
(SJSN) yang diselenggarakan dengan menggunakan mekanisme asuransi kesehatan sosial
yang bersifat wajib (mandatory) berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004
tentang SJSN dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang
layak yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar
oleh Pemerintah5. Adanya JKN meningkatkan kunjungan ke fasilitas kesehatan secara
signifikan, pasien di rumah sakit pemerintah atau rumah sakit yang menerima pasien JKN
meningkat dibandingkan sebelum pemberlakukan JKN. Hal ini menunjukkan peningkatan
akses penggunaan fasilitas kesehatan, yang seharusnya dapat meningkatkan angka
pengobatan penyakit infeksi yang berhubungan langsung dengan status gizi.
Sementara itu untuk meningkatkan sanitasi terdapat berbagai kebijakan yang telah
dilakukan, diantaranya adalah edukasi kepada masyarakat terkait 10 pesan PHBS yang
berisi tentang anjuran untuk menerapkan hidup bersih dan sehat, terdapat sejumlah pesan
yang terkait dengan gizi, yaitu pemberian ASI eksklusif pada 0-6 bulan pertama, menimbang
balita setiap bulan, serta mengkonsumsi buah dan sayur. Selain itu terdapat pesan untuk
buang air besar di jamban, mencuci tangan, juga tidak merokok di dalam rumah yang terkait
dengan pola hidup bersih.
Upaya lainnya yang telah dimulai untuk meningkatkan sanitasi adalah program
STBM yang merupakan pendekatan untuk merubah perilaku higiene dan sanitasi melalui
pemberdayaan masyarakat dengan metode pemicuan. Pendekatan ini membutuhkan
adanya dukungan dari program lainnya untuk mengadakan sarana air bersih dan jamban,
dikarenakan pendanaan pada program ini tidak boleh digunakan untuk membangun sarana
dan prasarana. Partisipasi aktif dari masyarakat khususnya tokoh masyarakat untuk
menggerakkan warganya dan ketersediaan dana pendamping untuk membangun sarana
dan prasarana merupakan tantangan yang dihadapi.
Desentralisasi
Sejak tahun 1999 Indonesia menganut sistim desenteralisasi, sehingga terdapat
banyak urusan yang selama ini menjadi wewenang Pemerintah Pusat diserahkan kepada
Pemerintah Daerah. Desenteralisasi merupakan tantangan dan peluang sehingga
diperlukan advokasi untuk meningkatkan komitmen Pemerintah Daerah untuk perbaikan
pangan dan gizi. Selain itu, perhatian untuk meningkatkan kapasitas Pemerintah Daerah
sehingga daat memberikan dukungan teknis dan penduan bagi kabupaten/kota perlu makin
ditingkatkan (Bappenas, 2014).
Keberadaan Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi merupakan kesempatan untuk
meningkatkan komitmen Pemerintah Daerah dalam perbaikan pangan dan gizi. Disamping
itu, berbagai indikator kegiatan yang telah dituangkan dalam RAD-PG akan menjadi sarana
yang tepat untuk mengkoordinasikan seluruh kegiatan guna mencapai hasil perbaikan
pangan dan gizi yang lebih optimal.

Kemenkes RI. Diakses di http://www.jkn.kemkes.go.id/detailfaq.php?id=1

21

2.5.

Tantangan dan Hambatan Kunci


Usaha dalam melakukan perbaikan gizi, baik kekurangan maupun kelebihan gizi
telah dilakukan, yang salah satunya tercermin dari adanya RAN-PG tahun 2011-2015 dan
Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi dengan fokus pada 1000 Hari Pertama
Kehidupan (1000 HPK) yang dicanangkan oleh Presiden RI pada Oktober 2013. Namun
demikian
untuk mempercepat perbaikan gizi diperlukan
keterlibatan lintas
Kementerian/Lembaga dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan lainnya. Untuk
mencapai hal tersebut, diperlukan satu platform dari semua sektor dan pemangku
kepentingan lainnya, yaitu perbaikan kualitas sumber daya manusia, melalui perbaikan
masalah pangan, gizi dan kesehatan. Berikut adalah tantangan dan hambatan kunci,
langsung maupun tidak langsung, yang perlu diperhatikan untuk memperbaiki pelaksanaan
program perbaikan gizi pada periode yang akan datang.
Tantangan dan Hambatan Kunci yang terkait dengan Pelaksanaan Program Spesifik
dan Program Sensitif Secara Langsung
Program spesifik Gizi
1. Masalah gizi bersifat antar-generasi dan akibat yang ditimbulkannya bersifat
trans-generasi. Artinya status gizi pada umur tertentu dipengaruhi oleh status gizi pada
umur sebelumnya, artinya status gizi anak berusia 5 tahun dipengaruhi oleh status gizi
pada umur yang lebih muda, yang selanjutnya dipengaruhi oleh pertumbuhan dan
perkembangannya didalam kandungan. Pertumbuhan dan perkembangan bayi didalam
kandungan ibunya dipengaruhi oleh status gizi ibu sebelum dan selama masa
kehamilannya. Dengan demikian status gizi anak berusia 5 tahun merupakan hasil dari
proses pertumbuhan dan perkembangan sebelumnya, yang dipengaruhi oleh status gizi
ibu pra-hamil, selama hamil, dan usia dini bayi pasca lahir. Oleh karena itu, mengatasi
stunting pada anak balita, tidak cukup hanya pada periode setelah periode 1000 HPK,
tetapi harus secara komprehensif, termasuk remaja puteri sebagai calon ibu. Oleh
karena masalah gizi berkesinambungan dan lintas generasi, maka penaganannya tidak
bisa terfragmentasi, memerlukan sinergitas dan koordinasi yang memadai, yang selama
ini masih merupakan masalah di Indonesia.
2.

Indonesia sudah dihadapkan pada beban ganda masalah gizi, yaitu gizi kurang dan
stunting yang prevalensinya masih tinggi, dan gizi lebih yang prevalensinya semakin
tinggi. Beban ganda tersebut tidak hanya berimplikasi pada status gizi tetapi juga
terhadap penyakit. Penyebab kematian utama di Indonesia telah bergeser dari
penyakit infeksi ke penyakit tidak menular (PTM) seperti Hipertensi, Penyakit Jantung,
Stroke, dan Diabetes. Selain itu, masalah PTM tidak hanya pada kelompok sosialekonomi tinggi tetapi hampir tidak berbeda dengan kelompok sosial-ekonomi rendah.
Hal ini mengindikasikan bahwa masalah ini tidak hanya akibat dari masalah gaya
hidup, tetapi merupakan akibat dari salah gizi pada usia 1000 HPK dan prakehamilan. Oleh karenanya, penanganannya semakin kompleks.

3.

Masih rendahnya pengetahuan, dan kesadaran gizi masyarakat akan pentingnya


gizi, menyebabkan kurang adekuatnya pola asuh keluarga. Hal ini dikarenakan tidak
memadainya cakupan komunikasi dan edukasi gizi secara berkelanjutan untuk
mempromosikan perilaku gizi dan kesehatan yang benar. Kurangnya pengetahuan ibu
mengenai perawatan bayi dan anak balita yang baik, tercermin dari masih rendahnya
praktik pemberian ASI eksklusif untuk bayi 0-6 bulan (38 persen) dan masih kurang
adekuatnya pola pemberian MP-ASI pada bayi dan anak usia dini. Dipihak lain,
pendidikan dan penyuluhan kesehatan dan gizi perlu dilakukan secara konsisten dan
berkesinambungan yang memerlukan peran aktif berbagai pemangku kepentingan. Di
sisi lain, rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan pangan yang aman
perlu diperhatikan sehingga makanan yang dikonsumsi tidak menimbulkan potensi
penyakit.

22

4.

Rendahnya konsumsi buah dan sayur, tingginya konsumsi garam dan makanan
tinggi lemak serta rendahnya aktivitas fisik pada sebagian masyarakat, terutama di
perkotaan, yang meningkatkan angka berat badan lebih dan obesitas. Diketahui 93,5
persen masyarakat Indonesia kurang mengkonsumsi sayur dan buah. Sementara itu,
data Riskesdas tahun 2013 menunjukkan sebagian besar masyarakat berperilaku
konsumsi berisiko yaitu mengkonsumsi bumbu penyedap (77,3 persen), makanan dan
minuman manis (53,1 persen), dan makanan berlemak (40,7 persen).

5.

Masih kurang optimalnya akses terhadap sumber air minum dan air bersih, dan
lingkungan yang sehat. Penyakit infeksi merupakan salah satu penyhebab langsung
gizi kurang, selain asupan makanan yang tidak adekuat. Penyakit infeksi, terutama
pada anak-anak, sangat dipengaruhi oleh pola hidup bersih dan sehat, antara lain cuci
tangan dengan sabun dan air bersih mengalir, dan tidak buang air besar sembarangan.
Rendahnya sanitasi akibat keterbatasan fasilitas serta sarana prasarana untuk
mengakses air bersih dan perilaku buang air di sungai mengakibatkan kesehatan
lingkungan belum terpenuhi secara merata terutama di daerah perdesaan. Keadaan ini
menyebabkan masih tingginya prevalensi penyakit infeksi sehingga mendorong
timbulnya masalah gizi. Telah terbukti bahwa di Indonesia daerah-daerah yang sanitasi
dan lingkungannya kurang baik mempunyai prevalensi stunting pada balita yang lebih
tinggi.
Kondisi di atas juga berimbas pada kurang optimalnya akses masyarakat terhadap
pangan yang aman. Keterbatasan fasilitas serta sarana prasarana yang sesuai kaidah
keamanan pangan mengakibatkan pangan yang dihasilkan berisiko tidak aman, yang
akhirnya akan menyebabkan penyakit akibat pangan (foodborne diseases) yang bersifat
infeksius sebagai salah satu penyebab masalah gizi dan pembentuk sebuah siklus yang
mengakibatkan penurunan status kesehatan dan peningkatan kematian.

Program Sensitif Gizi


1. Kendala dalam diversifikasi konsumsi pangan terutama adalah masih rendahnya
pendapatan dan daya beli sebagian masyarakat. Selain itu masih terbatasnya
ragam komoditas pangan yang ditunjukkan dengan sumber karbohidrat masyarakat
yang masih didominasi oleh beras. Akses pangan yang rendah akibat menurunnya
daya beli masyarakat yang disebabkan oleh kemiskinan dan stabilitas harga
pangan yang seringkali terganggu baik oleh kondisi alam maupun pasar.
Keterjangkauan rumah tangga terhadap pangan ditentukan ole h daya beli
masyarakat, masih cukup besarnya jumlah penduduk yang tergolong miskin
memerlukan adanya kebijaksanaan harga dan sistem distribusi pangan yang efektif dan
efisien.
2. Kendala lainnya adalah masih melembaganya sikap dan kebiasaan konsumen,
yang belum mengutamakan kandungan gizi dalam memilih pangan yang dikonsumsi,
yang disebabkan oleh rendahnya pendidikan masyarakat terutama ibu atau
pengasuh anak dan usia menikah yang terlalu muda.
3. Sumber daya alam yang sesuai, terutama di Jawa, semakin terbatas dan produksi
skala kecil sehingga mengancam terpenuhinya ketersediaan pangan dan
berpotensi dilakukannya impor. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2006
menunjukkan luas baku lahan sawah untuk seluruh Indonesia menunjukan bahwa sekitar
41 persen terdapat di Jawa, dan sekitar 59 persen terdapat di luar Jawa, namun terjadi
penyusutan lahan pertanian dari sekitar 8,3 juta ha pada tahun 1990 menjadi sekitar 7,8
juta ha pada tahun 2005 (BPS 2005 dan 2010). Produksi pangan di Indonesia masih
didominasi oleh kelembagaan usaha tani skala kecil dan modal terbatas. Kemampuan
petani, nelayan, dan pelaku ekonomi masih terbatas untuk memanfaatkan sumber daya
alam secara optimal. Sumber daya alam tersebut, antara lain sumber daya alam lahan

23

kering, rawa dan pasang surut, serta sumber daya pantai dan sumber daya laut.
Rendahnya penguasaan teknologi pemuliaan dan makanan ternak serta iptek budi daya
perikanan laut dan darat menyebabkan biaya produksi pangan sumber protein masih
tinggi. Peningkatan produksi hortikultura dan kacang-kacangan terhambat oleh kurang
tersedianya bibit unggul dan masih rendahnya penguasaan budi daya tanaman kedelai.
Hal ini juga disebabkan oleh masih terbatasnya kemampuan petani untuk mencegah dan
memberantas hama penyakit secara biologis.Ketersediaan sumber makanan kaya
protein lainnya, seperti ikan, belum dipromosikan secara luas, demikian
pula dengan ketersediannya di tingkat masyarakat belum dilaksanakan
secara sistematis.
4. Kebijakan dan program terkait perbaikan gizi masih terfragmentasi akibat
kurangnya koordinasi dan belum dilaksanakannya pendekatan multi-sektor.
Banyak intervensi spesifik yang berdampak langsung, serta intervensi sensitif dan faktor
pemungkin di luar sektor gizi yang mendukung percepatan perbaikan gizi, namun setiap
sektor belum mengintegrasikan kegiatan masing-masing sehingga masih bersifat
sektoral. Hal ini salah satunya dikarenakan sangat terbatasnya forum yang memfasilitasi
koordinasi berkelanjutan dan terstruktur untuk peningkatan perbaikan gizi. Didalam the
Lancet (2013) ditekankan pentingnya pendekatan multisektor sebagai pendekatan yang
dianggap efektif untuk mengurangi permasalahan gizi. Pernyataan ini dikemukakan
berdasarkan pada hasil telaah secara mendalam dari pengalaman pelaksanaan program
penangulangan masalah gizi di banyak negara di dunia, sehingga merupakan pendapat
yang dapat dipertanggungjawabkan. Diketahui bahwa intervensi gizi spesifik saja tidak
dapat menyelesaikan masalah gizi tanpa adanya intervensi gizi sensitif dan dukungan
lingkungan yang menjadi faktor pemungkin tercapainya perbaikan gizi.
Tantangan dan Hambatan Kunci yang terkait dengan Pelaksanaan Program Spesifik
dan Sensitif Gizi secara Tidak Langsung
1. Desentralisasi menuntut peran daerah untuk menyelesaikan permasalahannya secara
lebih luas. Dalam kaitan tersebut, diperlukan komitmen daerah dalam melaksanakan
kebijakan termasuk kebijakan pusat sehingga pelaksanaan perbaikan pangan dan gizi
dapat dicapai lebih baik. Dalam hal RAD-PG, keberadaan RAD-PG Provinsi dan
Kab/kota merupakan kesempatan dan tantangan untuk melaksanakan pembangunan
pangan dan gizi.
2.

Kesenjangan antar wilayah yang tinggi. Indonesia merupakan negara yang sangat
luas dengan kekhasan dan pencapaian pembangunan yang sangat beragam. Hasil
Riskesdas tahun 2013 memperlihatkan adanya perbedaan yang sangat jauh antara
capaian gizi di perkotaan dan pedesaan, begitupun dengan distribusi jumlah penduduk
sangat rawan pangan. Prevalensi permasalahan pangan dan gizi yang ditemukan
antara daerah yang satu dan lainnya dapat berkali-kali lipat lebih tinggi. Adanya
perbedaan karakteristik demografis, geografis, serta sosio-ekonomi yang berbeda antar
wilayah satu dengan lainnya memerlukan adanya perlakuan atau penyesuaian
implementasi intervensi yang sesuai dengan karakteristik wilayah, tidak dapat dilakukan
penyamarataan intervensi yang dilakukan di Papua dan di Yogyakarta. Pendekatan
penyelesaian masalah dengan pendekatan lokal perlu menjadi perhatian. Adanya RAD
PG sampai tingkat kabupaten memungkinkan adanya pemecahan permasalahan
dengan pendekatan lokal.

3.

Adanya kesenjangan antara kebijakan yang ditetapkan, implementasi yang


dilaksanakan, dan masih belum kuatnya monitoring dan evaluasi terhadap
pelaksanaan program yang telah direncanakan. Indikator input dalam pelaksanaan
perbaikan gizi relatif tercapai, namun outcome yang ditemukan di lapangan adalah
sebaliknya, permasalahan gizi cenderung meningkat.

24

4.

Struktur wilayah Indonesia yang berupa kepulauan menggambarkan adanya


masalah untuk menyalurkan pangan secara efektif ke seluruh pelosok tanah air dan
pemantauan permasalahan gizi yang terjadi.
Biaya yang dikeluarkan untuk
mendistribusikan barang ke Jakarta dan kota besar lainnya tentu berbeda dengan biaya
ke Papua dan daerah lainnya, akses jalan dan transportasi yang sulit merupakan
permasalahan yang kerap ditemui. Di samping permasalahan jarak spasial, distribusi
pangan mencakup juga masalah ketepatan waktu karena adanya unsur musim dalam
produksi pangan. Dengan demikian meningkatkan ketahanan pangan pada tingkat
rumah tangga sesuai dengan keadaan dan pola pangan setempat yang berbasis lokal
perlu dilakukan.

25

BAB III
RENCANA AKSI MULTI-SEKTOR
3.1.

Faktor Determinan Pangan dan Gizi


Determinan permasalahan pangan dan gizi berasal dari berbagai faktor yang
kompleks dan saling berhubungan. Upaya perbaikan gizi melalui intervensi spesifik yang
dilakukan secara langsung terhadap sasaran yang rawan akan efektif apabila cakupannya
ditingkatkan. Meningkatkan cakupan intervensi spesifik gizi hingga 90 persen diperkirakan
dapat menyelamatkan 900.000 jiwa di 34 negara dengan beban gizi tertinggi, termasuk
Indonesia (Lancet, 2013). Namun demikian perbaikan status gizi hanya melalui intervensi
spesifik gizi tidak cukup, karena lebih dari 70 persen perbaikan masalah gizi ditentukan oleh
program sensitif gizi. Dengan demikian sangat penting untuk melibatkan multi sektor dalam
melaksanakan percepatan perbaikan gizi. Pelibatan berbagai sektor tentu akan
meningkatkan pencapaian target indikator dibandingkan dengan bekerja sendiri. Intervensi
spesifik dan sensitif memegang peranan penting dan sebagian besar merupakan bagian
dari program kerja nasional di berbagai K/L dan perangkat daerah. Namun belum
sempurnanya desain program dan belum optimalnya kualitas pelayanan menyebabkan
rendahnya dampak pelaksanaan program yang berjalan terhadap perbaikan gizi. Dengan
demikian, diperlukan adanya pendekatan multi sektor (Lancet, 2013).
Pada tahun 2012, The World Health Assembly membuat resolusi 65.6 yang
mendorong rencana implementasi komperhensif (Comprehensive Implementation Plan)
untuk gizi ibu, bayi, dan anak yang terdiri dari enam target gizi global tahun 2025, yaitu: 1)
penurunan 40 persen anak pendek dan sangat pendek; 2) penurunan 50 persen anemia
pada wanita usia subur; 3) penurunan 30 persen bayi lahir dengan BBLR; 4) peningkatan
ASI eksklusif sampai paling sedikit 50 persen; 6) Menurunkan dan mempertahankan
wasting pada balita kurang dari 5 persen. Resolusi tersebut menargetkan fokus utama
perbaikan gizi pada usia renta yang berfokus pada 1000 HPK (ICN II, 2014).
Selanjutnya pada bulan November 2014 berlangsung International Conference on
Nutrition 2 (ICN2) di Roma (FAO, 2014). Pertemuan ini mendorong pelaksanaan
Comprehensive Implementation Plan (CIP) dan target gizi rencana aksi global WHO untuk
mencegah dan mengendalikan prevalensi penyakit tidak menular tahun 2013-2020 (yaitu
menghentikan kenaikan obesitas, kelebihan berat badan, dan diabetes, serta penurunan 30
persen konsumsi garam). Kerangka aksi ICN2 menyadari lambatnya kemajuan dalam
perbaikan gizi dan tantangan terbesar yang dihadapi adalah implementasi kebijakan yang
koheren dan koordinasi yang lebih baik dengan seluruh sektor terkait. Dari 60 rekomendasi,
7 diantaranya berhubungan dengan pembentukan lingkungan
yang memungkinkan
untuk
ASI
ASI eksklusif
eksklusif sampai
sampai
Pelayanan
6
bulan
dan
intervensi
efektif melalui
penyusunan
dan
revisi
rencana
aksi
nasional
gizi
yang
selaras
Pelayanan prakonsepsi:
prakonsepsi:
6
bulan
dan
Suplementasi
besiMenunda
cord
Suplementasi
besiMenunda
cord
Keluarga
berencana
melanjutkan
Pemberian
makan
Keluargakebijakan
berencana
melanjutkan
Pemberian
makan
folat
clamping
dengan
kementerian/lembaga
yang berdampak pada
gizi. Kurang
dari
separuh
folat
clamping
Menunda
usia
pemberian
ASI
gizi
seimbang
Menunda
usia Suplementasi
pemberian
ASI
gizi
seimbang
Ca
Iniasiasi
menyusu
dini
Suplementasi
Ca
Iniasiasi
menyusu
dini
(24) kehamilan
rekomendasi
berhubungan
dengan
sektor
kesehatan
atau
spesifik
gizi,
sedangkan
36
sampai
Suplementasi
kehamilan pertama
pertama
sampai 22 tahun
tahun
Suplementasi Vit
Vit
Suplementasi
Pemberian
Suplementasi energi
energi
Pemberian vitamin
vitamin K
K
Memperpanjang
jarak
Pemberian
MP
ASI
A
Memperpanjang lainnnya
jarak
rekomendasi
berhubungan
sektor
non-kesehatan,
yaitu
Pemberian MP
ASI16 (seperempat)
A
dan
protein
Suplementasi
vitamin
dan
protein yang
yang dengan
Suplementasi
vitamin
kelahiran
setelah
Fe
kelahiran
setelah usia
usia 66 bulan
bulan dan Suplementasi
Suplementasi
Fe
seimbang
A
seimbang dengan pangan
rekomendasi
berhubungan
(pertanian, Suplementasi
perdagangan,
keamanan
A
Memperhatikan
Memperhatikan kondisi
kondisi Suplementasi
Suplementasi Zn
Zn
yodium
Perawatan
metode
Suplementasi
yodium
Perawatan
metode
pangan),
dan denganBerhenti
perlindungan sosial
dan akuntabilitas Suplementasi
masing-masing
3 rekomendasi.
psikososial
psikososial
Suplementasi Fe
Fe
kangguru
Berhenti merokok
merokok
kangguru
Suplementasi
vit
Suplementasi(SDGs)
vit A
A
Seiring dengan akan dimulainya tujuan pembangunan berkelanjutan
yang termasuk
diantaranya tujuan gizi, Indonesia harus berusaha untuk mencapainya melalui upaya yang
lebih komprehensif.
Dalam melaksanakan rencana aksi maka intervensi spesifik difokuskan pada 1000
Hari Pertama Kehidupan
yaituUSIA
selama masa kehamilan sampai anak berusia 2 tahun.
WANITA
Remaja
Neonatal
Baduta
Balita
Namun demikian karenaSUBUR
status dan
gizi ibu pra-hamil
juga berpengaruh
terhadap perkembangan
Perempuan
Hamil wanita usia subur, termasuk remaja perempuan, perlu
dan pertumbuhan janin,Ibumaka
dimasukkan sebagai suatu hal yang sangat penting dalam Pencegahan
mempersiapkan
1000 HPK.
Pencegahan dan
dan penanganan
penanganan
Pada gambar 10 intervensi spesifik yang dapat dilakukan pada sasaran
prioritas.
penyakit
penyakit
Manajemen
Manajemen kekurangan
kekurangan gizi
gizi dan
dan

Pencegahan
Pencegahan
dan penanganan
penanganan
Gambar
10. dan
Intervensi
Gizi Spesifik pada Target
gizi
buruk:
gizi1000
buruk:HPK
penyakit
penyakit
Pencegahan
Pencegahan malaria
malaria pada
pada
wanita
wanita
Penanganan
Penanganan kecacingan
kecacingan pada
pada
ibu
ibu
Pencegahan
Pencegahan obesitas
obesitas

Terapi
Terapi Zn
Zn untuk
untuk penderita
penderita diare
diare
WASH
WASH
Pemberian
Pemberian makan
makan pada
pada diare
diare
Pencegahan
Pencegahan malaria
malaria
Pengobatan
Pengobatan kecacingan
kecacingan pada
pada
anak
anak
Pencegahan
Pencegahan obesitas
obesitas

26

Sumber : Lancet, 2013


Remaja perempuan sebagai calon ibu perlu mengetahui informasi yang adekuat
mengenai kesehatan reproduksi dan hubungannya dengan status gizi ibu, dan juga perlu
dipersiapkan secara psikologis mengenai kehamilan dan persiapannya, sehingga dapat
mempertimbangkan kapan sebaiknya hamil dan berapa jarak kelahiran anaknya yang
terbaik. Oleh karena pentingnya pengaruh status gizi ibu pra-hamil dan saat hamil, maka
intervensi yang perlu dilakukan adalah penyuluhan mengenai konsumsi energi protein yang
cukup, suplementasi zat gizi mikro yaitu tablet besi-folat dan kalsium, serta penghentian
atau perlindungan dari asap rokok. Perlindungan penyakit, seperti infeksi malaria dan
kecacingan, dan pencegahan obesitas saat hamil juga penting dilaksanakan. Bagi bayi baru
lahir, perlu diperkenalkan praktik inisiasi menyusu dini (IMD) dalam satu jam pertama pasca
lahir, dan pemberian vitamin K. Saat usia bayi dan anak-anak, intervensi spesifik yang perlu
dilakukan terdiri dari pemenuhan zat gizi dan pencegahan serta perlindungan penyakit.
Upaya terkait pemenuhan gizi yang dilakukan terdiri dari pemberian ASI eksklusif sampai 6
bulan, pemberian makanan pendamping ASI (MP ASI) yang sesuai, suplementasi vitamin A
setiap 6 bulan sejak anak umur 6 bulan sampai umur 60 bulan, serta multi mikronutrien
dalam bentuk bubuk tabur gizi (taburia). Sementara itu dalam pencegahan dan
penanggulangan penyakit, upaya yang dilakukan mencakup penanganan kurang gizi akut,
pemberian Zn dan pemberian makan yang benar bagi penderita diare, sanitasi dan akses
adekuat terhadap air bersih, pencegahan dan penanganan malaria, kecacingan, dan
obesitas pada anak (Lancet, 2013).
Gambar 11. Kerangka Pendekatan Multi-Sektor

PERBAIKAN KUALITAS SUMBER DAYA


MANUSIA

27

Sumber : Modifikasi Lancet 2013 Executive Summary of The Maternal and Child
Nutrition
Upaya perbaikan gizi melalui intervensi spesifik yang dilakukan secara langsung
terhadap sasaran yang rawan akan efektif apabila cakupannya ditingkatkan. Untuk
meningkatkan cakupan intervensi gizi diperlukan adanya dukungan dari sektor lainnya yang
dalam hal ini disebut sebagai intervensi sensitif. Permasalahan yang diselesaikan oleh
selain sektor kesehatan adalah permasalahan mendasar yang mempengaruhi penyebab
langsung kurang gizi, seperti kemiskinan, kerawanan pangan, akses terhadap pelayanan
kesehatan (jaminan sosial), sanitasi dan akses terhadap air bersih, pendidikan anak usia
dini, pemberdayaan perempuan, pendidikan di dalam kelas, dan perlindungan anak.
Untuk meningkatkan ketahanan pangan diperlukan upaya untuk menjamin
ketersediaan, keterjangkauan, dan pemenfaatan pangan oleh masyarakat, apabila salah
satu dari ketiga aspek tersebut tidak berfungsi, maka pemerintah perlu melakukan tindakan
intervensi. Upaya yang dilakukan untuk menjamin ketersediaan pangan dapat berupa
bantuan/subsidi saprodi, kebijakan harga pangan, kebijakan impor/ekspor, kebijakan
cadangan pangan pemerintah. Untuk meningkatkan keterjangkauan perlu dilakukan
intervensi dalam aspek distribusi berupa penyaluran pangan bersubsidi, penyaluran pangan
untuk keadaan darurat dan operasi pasar untuk pengendalian harga pangan. Sementara itu
dalam aspek konsumsi dapat dilakukan pemberian makanan tambahan untuk kelompok
rawan pangan/gizi buruk, pemberian bantuan tunai untuk meningkatkan kemampuan
mengakses pangan.
Kemampuan ekonomi merupakan salah satu faktor penting yang menggambarkan
daya beli masyarakat terhadap kebutuhannya, terutama kebutuhan pangan yang cukup dan
aman. Mengatasi kemiskinan artinya meningkatkan kemampuan masyarakat untuk
mengakses pangan yang aman, dan bergizi, namun selain itu juga diperlukan adanya pola
asuh dan pemberian makan yang tepat yang ditentukan oleh pengetahuan orang tua,
terutama ibu. Faktor lain yang harus diperhatikan adalah akses terhadap layanan
kesehatan yang salah satunya dilakukan melalui program jaminan kesehatan sosial, sanitasi
yang baik yang dapat menurunkan kejadian infeksi, dan lingkungan yang aman. Apabila hal
ini berjalan dengan baik dampaknya sensitif terhadap perbaikan gizi.

28

Selain itu terdapat faktor pemungkin yang mempengaruhi keberhasilan intervensi gizi
spesifik yang dilakukan. Diantaranya adalah evaluasi yang tepat dalam pelaksanaan
program, adanya strategi advokasi yang dilaksanakan dengan baik, koordinasi horizontal
dan vertikal yang kuat, akuntabilitas serta regulasi insentif dan peraturan perundangundangan, kepemimpinan, investasi untuk peningkatan kapasitas, serta mobilisasi sumber
daya lokal.
Permasalahan gizi merupakan persoalan multi-dimensi dan multi-sektor yang
membutuhkan solusi pendekatan multi-sektor dan tidak hanya oleh sektor kesehatan saja.
Apabila intervensi gizi spesifik dan sensitif dilaksanakan dengan baik oleh semua sektor
yang terlibat, ditambah dengan adanya dukungan faktor pemungkin, maka akan dicapai gizi
dan perkembangan optimal pada anak yang dapat menurunkan angka kesakitan dan
kematian bayi, meningkatkan perkembangan kognitif, sosio-emosional, meningkatkan
prestasi dan kapasitas belajar, sehingga anak tumbuh menjadi manusia yang berkualitas
pada usia dewasa, menurunkan risiko obesitas dan penyakit tidak menular, serta
meningkatkan kapasitas kerja dan produktivitas. Manfaat yang dicapai pada siklus
kehidupan tersebut muaranya adalah pada peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Pemerintah, dalam hal ini kementerian/lembaga bertanggung jawab untuk mencapai
indikator kinerja yang telah ditetapkan, namun dalam melaksanakan usaha untuk mencapai
target tersebut komponen non pemerintah, yaitu pelaku usaha, media, mitra pembangunan,
dan masyarakat harus turut mengambil peran. Adanya koordinasi dan kolaborasi yang baik
antara pemerintah dan non pemerintah dengan tujuan yang sama akan meningkatkan
kapasitas dan meningkatkan efektivitas pekerjaan yang dilakukan.
Untuk mencapai output yang ditetapkan perlu dilakukan intervensi melalui program
kesehatan maupun non kesehatan yang diejawantahkan melalui berbagai kegiatan.
Intervensi yang dilakukan mencakup intervensi gizi spesifik dan sensitif yang didukung oleh
faktor pemungkin.
3.2.

Goal, Outcome dan Logical Framework

Goal
Cita-cita yang ingin diwujudkan dengan adanya perbaikan pangan dan gizi dengan
pendekatan multi-sektor adalah terbentuknya sumber daya manusia yang cerdas, sehat,
produktif secara berkelanjutan, dan berdaya saing tinggi.
Outcome
Outcome yang ingin dicapai dari upaya perbaikan pangan dan gizi Error: Reference
source not foundsebagaimana target yang ditetapkan dalam RPJMN 2015-2019 khususnya
dalam bidang pangan dan gizi tercantum pada Tabel 3.

29

No
1
2
3
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16

Tabel 3 Indikator Outcome Perbaikan Gizi


Indikator
Status awal (2014)
Produksi padi (juta ton)
70,6
Produksi jagung (juta ton)
19,1
Produksi kedelai (juta ton)
0,9
Produksi gula (juta ton)
2,6
Produksi daging sapi (ribu ton)
452,7
Produksi ikan (juta ton) diluar rumput laut
12,4
Produksi garam (juta ton)
2,5
Skor PPH
81,8*
Tingkat konsumsi kalori (kkal/kapita/hari)
1967 Kkal
Konsumsi ikan (kg/kap/tahun)
38,0
Prevalensi anemia pada ibu hamil
37,1
(persen)
Persentase bayi dengan berat badan lahir
10,2
rendah (BBLR) (persen)
Persentase bayi dengan usia kurang dari
38,0
6 bulan yang mendapatkan ASI eksklusif
(persen)
Prevalensi kekurangan gizi (underweight)
19,6
pada anak balita (persen)
Prevalensi kurus (wasting) pada anak
12
balita (persen)
Prevalensi pendek dan sangat pendek
32,9
(stunting) pada anak baduta (bayi di
bawah 2 tahun) (persen)
Prevalensi berat badan lebih dan obesitas
15,4
pada penduduk usia >18 tahun (persen)
Ket= * 2014

Target (2019)
82,0
24,1
2,6
3,8
755,1
18,8
4,5
92,5
2150 Kkal
54,5
28
8
50
17
9,5
28
15,4

Untuk mencapai indikator tersebut diperlukan peran lintas sektor yang contoh
peranannya diperlihatkan oleh gambar 11, Sedangkan penjabaran lebih rinci terkait peran
lintas sektor ditampilkan pada Tabel 3 yang didalamnya terdapat alur pikir (logical
framework) dari peranan setiap stakeholder dan tabel 3 ini merupakan modifikasi dari
kegiatan yang tercantum pada RPJMN dan Rencana Strategis K/L. Sementara itu, untuk
mencapai outcome tersebut setiap sektor memiliki indikator kinerja utama key performance
indicator/KPI atau indikator output yang merupakan indikator kinerja setiap K/L yang
diantaranya bersumber dari RPJMN dan Renstra K/L. KPI untuk setiap K/L yang terlibat
dikelompokkan berdasarkan intervensi gizi spesifik dan sensitif yang tercantum pada Tabel 7
(lampiran).

29

Tabel 4 Logical Framework RAN-PG Multi Sektor 2015-2019


Impact
Peningkatan Kualitas SDM
Outcome
1.
Produksi padi mencapai 82,0 juta ton
2.
Produksi jagung mencapai 24,1 juta ton
3.
Produksi kedelai mencapai 2,6 juta ton
4.
Produksi gula mencapai 3,8 juta ton
5.
Produksi daging sapi mencapai 755,1 ribu ton
6.
Produksi ikan (diluar rumput laut) mencapai 18,8 juta ton
7.
Produksi garam mencapai 4,5 juta ton
8.
Skor pola pangan harapan (PPH) mencapai 92,5
9.
Konsumsi kalori mencapai 2150 kkal/kapita/hari
10.
Prevalensi anemia pada ibu hamil mencapai 28 persen
11.
Persentase bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) mencapai 8 persen
12.
Persentase bayi dengan usia kurang dari 6 bulan yang mendapatkan ASI eksklusif mencapai 50 persen
13.
Prevalensi kekurangan gizi (underweight) pada anak balita mencapai 17 persen
14.
Prevalensi kurus (wasting) pada anak balita mencapai 9,5 persen
15.
Prevalensi pendek dan sangat pendek (stunting) pada anak baduta (bayi di bawah 2 tahun) mencapai 28 persen
16.
Prevalensi berat badan lebih dan obesitas pada penduduk usia >18 tahun mencapai 15,4 persen.

Pelaksana
Kemenkes

Input
1) Promosi dan kampanye 1000 HPK, ASI eksklusif dan pedoman gizi seimbang, serta
pemantauan berat badan pada anak dan remaja
2) Pelatihan tenaga kesehatan dan kader posyandu tentang 1000 HPK, tumbuh kembang anak,
status gizi prahamil dan saat hamil, inisiasi menyusu dini, ASI eksklusif
3) Edukasi gizi saat pemeriksaan ANC, pelaksanaan kelas ibu hamil
4) Penyebaran media KIE gizi di fasilitas kesehatan dan sekolah
5) Pengawasan pemasaran susu formula
6) Pelatihan pemberian makan balita
7) Intensifikasi penggunaan informasi yang ada pada kartu menuju sehat
8) Standardisasi pengetahuan gizi bagi tenaga gizi.

Output
Peningkatan
pengetahuan
gizi
remaja, wanita usia
subur, dan ibu

30

Pelaksana
Kemendikbud

Kemenpora
Perguruan Tinggi
Masyarakat Madani

Lembaga Profesi
Pelaku usaha
Media
Kemenkes

Kementan

Input
1) Menambahkan kurikulum gizi seimbang dan pentingnya 1000 HPK serta ASI eksklusif dalam
pelajaran SD, SMP, dan SMA
2) Aktivasi program UKS, dokter kecil
3) Edukasi dan promosi terkait jajanan sehat
Memasyarakatkan olahraga
Menyelenggarakan penelitian dan penyebarluasan informasi mengenai 1000 HPK kepada
mahasiswa, terutama calon tenaga kesehatan
1) Aktif dalam mencari informasi tentang gizi remaja, wanita usia subur, dan kesehatan ibu
2) Berpartisipasi dalam kegiatan konseling dan edukasi gizi dan kesehatan
3) Menerapkan pola konsumsi gizi seimbang dalam kehidupan sehari-hari
4) Melakukan aktivitas fisik yang cukup
Standardisasi kapasitas tenaga kesehatan melalui akreditasi
1) Tidak mempromosikan penggunaan susu formula
2) Mempromosikan ASI eksklusif dan pola makan gizi seimbang
Menyediakan rubrik, segmen, dan/atau acara dengan konten kesehatan dan gizi, terutama
terkait konsep 1000 HPK
1) Suplementasi tablet besi-folat/ Multiple Micronutrient Supplementation (MMS) bagi ibu hamil
dan remaja putri
2) Suplementasi vitamin A pada anak
3) Fortifikasi garam beryodium
4) PMT pada ibu KEK
5) Pemantauan pertumbuhan dan perkembangan anak melalui penimbangan di Posyandu dan
pengisian kartu menuju sehat.

1) Promosi dan kampanye dalam rangka


meningkatkan pengetahuan dan kesadaran
masyarakat untuk mengonsumsi aneka ragam pangan sehingga terjadi diversifikasi
konsumsi pangan
2) Meningkatkan keterampilan dalam pengembangan olahan pangan lokal
3) Mengembangkan dan mendiseminasikan tekonologi tepat guna untuk pengolahan pangan
lokal.
4) Aktivasi Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi

Output

Konsumsi
energi
dan
zat
gizi
tercukupi, terutama
bagi
kelompok
rentan, yaitu remaja
putri, ibu hamil dan
menyusui,
dan
balita
serta
pemantauan
tumbuh
kembang
anak dan stimulasi

31

Pelaksana
Dunia usaha
Kemenkes

Kemenpora
BPOM
Kemendikbud
Mitra Pembangunan
(UNICEF, WHO)
Kemenkes

Input
1) Membuat produk bernilai gizi tinggi yang dapat diakses masyarakat secara ekonomi
2) Fortifikasi zat gizi pada produk, seperti terigu, minyak goreng, garam
1) Imunisasi dasar lengkap bagi bayi dan anak
2) Peningkatan sanitasi
3) Memasyarakatkan olah raga dengan promosi, edukasi, dan dukungan untuk melakukan
aktivitas fisik yang cukup sehingga mencapai keseimbangan energi.
1) Memasyarakatkan olah raga
2) Mengolahragakan masyarakat dengan menyediakan fasilitas yang mendukung aktivitas fisik
1) Pengawasan keamanan obat dan makanan
2) Regulasi pelabelan, promosi, serta iklan makanan
Pembenahan kantin sekolah dan aturan terkait jajan di luar sekolah

Output
Manajemen
pencegahan
penyakit

dan

Mendukung program pemerintah melalui penyediaan teknis

1) Surveilens dan skrining gizi


2) Melakukan penatalaksanaan kasus gizi buruk akut
Donor
Mendukung program pemerintah dengan mensgisi gap sumber daya
Masyarakat Madani
Mendukung program pemerintah dengan memperkuat komunitas dan masyarakat
Kementan
1) Peningkatan poduksi padi, jagung, kedelai, gula dan daging sapi
2) Model kawasan mandiri pangan
3) Penguatan sistem kewaspadaan pangan dan gizi
4) Model lumbung pangan masyarakat
5) Pemantauan distribus, harga, dan cadangan pangan
6) Optimalisasi pemanfaatan pekarangan, diantaranya melalui Program Kawasan Rumah
Pangan Lestari
7) Promosi dan kampanye terkait diversifikasi pangan
8) Peningkatan keterampilan dalam pengembangan olahan
9) Diseminasi tekonologi tepat guna untuk pengolahan pangan lokal
Mitra Pembangunan 1) Mendukung program pemerintah dengan memperkuat komunitas dan masyarakat
(FAO)
2) Mendukung pendanaan dan asistensi teknis untuk penanggulangan gizi buruk akut
BPOM
1) Pengembangan Desa Pangan Aman (PAMAN)
2) Peningkatan pemberdayaan kader keamanan pangan desa
3) Peningkatan kualitas manajemen keamanan pangan sekolah
4) Pembinaan dan pengawasan Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP)
5) Peningkatan kapasitas dan kompetensi tenaga Penyuluh Keamanan Pangan (PKP) dan

Penanggulangan
gizi buruk akut
Ketersediaan
pangan,
akses
ekonomi,
dan
pemanfaatan
pangan

32

Pelaksana
Kemensos
Kemendag
Kemenperin
Kemenaker
Kemen KKP
Kemendikbud
Dunia usaha

Kemensos
Kemenkes
Kemen PU dan PR
Daerah/Kemendagri
Mitra Pembangunan
(UNICEF,
UNDP
WHO)
BKKBN

Input
District Food Inspector (DFI)
1) Pelaksanaan program keluarga harapan
2) Pemberian stimulus Usaha Ekonomi Produktif Melalui Kelompok Usaha Bersama (KUBE)
1) Memantau stabilitas harga bahan pangan
2) Melakukan operasi pasar
3) Melakukan pengawasan terhadap promosi susu formula
1) Dukungan terhadap industri pangan dan makanan
2) Regulasi terkait fortifikasi
1) Pembinaan penyediaan ruang laktasi di perusahaan
1) Peningkatan produksi dan akses untuk memperoleh ikan
2) Peningkatan produksi ikan budi daya
3) Peningkatan produksi ikan tangkap
Menggalakkan kembali program kebun sekolah
1) Menggunakan teknologi pertanian untuk meningkatkan jumlah produksi
2) Memperluas distribusi hasil panen
3) Mendukung pemerintah dalam menstabilkan harga hingga tingkat konsumen
4) Tukar menukar pengalaman dalam sistem distribusi pangan dan gizi, termasuk penggunaan
teknologi
5) Menyalurkan dana CSR untuk intervensi pangan dan gizi
Bantuan tunai bersyarat melalui PKH.
1)
2)
1)
2)
1)
2)
1)
2)
1)
2)

Pelaksanaan program sanitasi total berbasis masyarakat (STBM)


Edukasi penerapan PHBS (terutama penggunaan jamban sehat dan penggunaan air bersih)
Pembangunan Saluran PAM ke rumah tangga
Pembangunan infrastruktur limbah.
Penerapan dan pengawasan terhadap aturan untuk tidak membuang sampah sembarangan
dan buang air di sungai
Mendorong daerah agar menjaga kebersihan sungai dan sumber air lainnya
Bekerjasama dan mendukung program pemerintah melalui dukungan dana dan asistensi
teknis
Melakukan sinergitas agenda perbaikan gizi nasional dan global.
Peningkatan kualitas ber-KB
Pembinaan keluarga sejahtera

Output

Peningkatan
cakupan kesehatan
dan gizi
Peningkatan
sanitasi dan akses
air bersih

Pelayanan
kesehatan

dan

33

Pelaksana

Input
3) Mengkampanyekan usia kehamilan >18 tahun
Kemenkes
1) Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan
2) Jumlah dan distribusi tenaga kesehatan serta fasilitas kesehatan yang memenuhi standar
tandar pelayanan minimal
Kemendikbud
1) Pelatihan gizi dan tumbuh kembang anak bagi guru
2) Program kecakapan hidup perempuan dan keayahbundaan
BKKBN
Pengasuhan tumbuh kembang balita dan anak
Kementerian Agama
1) Pembinaan UKS di satuan pendidikan agama (tingkat dasar)
2) Pendidikan persiapan perkawinan ditinjau dari aspek usia, kesehatan, dan budaya
Kemen PPPA
1) Pelaksanaan pemenuhan hak perempuan
2) Pelaksanaan pemenuhan hak kesehatan anak
3) Mengkampanyekan usia terbaik pernikahan >18 tahun
Kementerian
Desa 1) Fasilitasi peningkatan pembardayaan kesejahteraan keluarga (PKK) termasuk penguatan
Pembangunan
kelembagaan posyandu dalam pelayanan sosial dasar masyarakat
Daerah Tertinggal, &
Transmigrasi,
/Kemendagri
Mitra Pembangunan 1) Bekerjasama dan mendukung program pemerintah melalui dukungan dana dan asistensi
(UNICEF, ILO)
teknis
2) melakukan sinergitas agenda perbaikan gizi nasional dan global.
Mitra Pembangunan
1) Mendukung intensitas kerjasama nasional dan global
2) Memberikan bantuan teknis kepada pemerintah untuk intervensi gizi spesifik dan sensitif
Donor
Mendukung program pemerintah dengan mengisi gap sumber daya
Masyarakat Madani
Mendukung program pemerintah dengan memperkuat komunitas dan masyarakat
Bappenas
1) Pertemuan advokasi berjenjang, workshop
2) Mempublikasikan dan menyebarluaskan Policy brief kepada pengambil kebijakan
Kemenko
bidang 1) Koordinasi Kementerian/Lembaga
PMK, Perekonomian,
dan Kemaritiman
Bappenas
Koordinasi rutin Gernas 1000 HPK di tingkat pusat dan pemantauannya di tingkat daerah
Kemenko PMK
Koordinasi Gernas 1000 HPK
Kemendagri
1) Koordinasi dengan pemerintah daerah
2) Mendorong adanya penyusunan peraturan daerah yang memfokuskan 1000 HPK

Output
keluarga berencana

Pendidikan
dan
pemberdayaan
perempuan, serta
perkembangan
anak usia dini

Strategi Advokasi

Koordinasi
horizontal

vertikal

34

Pelaksana
Bappenas
DPR
Donor
Mitra Pembangunan
Pelaku Usaha
K/L
BPS
Bappenas

Input
1) Koordinasi perencanaan, monitoring dan evaluasi RAN-PG
2) Penyebarluasan konsep 1000 HPK
3) Memberikan apresiasi bagi daerah yang memfokuskan 1000 HPK
1) Memberikan dukungan penganggaran untuk pembangunan pangan dan gizi
2) Menjadikan konsep 1000 HPK sebagai arus utama dalam penyusunan regulasi
Mengisi kesenjangan dana yang tidak dapat disediakan oleh pemerintah
Bantuan teknis terkait perencanaan, implementasi kegiatan, dan monev
Penyaluran dana CSR untuk intervensi gizi, terutama 1000 HPK
1) Menindaklanjuti umpan balik atas hasil evaluasi internal dan eksternal;
2) Penyelenggaraan survei Riskesdas dan data rutin terkait indikator kinerja intervensi gizi
spesifik dan sensitif terkait
Penyelenggaraan survei terkait pangan dan gizi
1) Monitoring dan koordinasi K/L
2) Monitoring pelaksanaan RAD PG

Output
Investasi kapasitas,
mobilisasi

Monitoring
evalusi tepat

dan

35

3.3.

Prinsip dan Pendekatan Kunci

Pendekatan Multi Sektor


Apabila intervensi spesifik gizi, melalui upaya sektor kesehatan, ditingkatkan
cakupannya menjadi 90 persen dari populasi, tingkat stunting hanya akan turun sebesar 30
persen. Penurunan ini masih lebih rendah dari target yang ditetapkan WHO melalui
Comprehensive Implementation Plan (CIP) untuk tahun 2025. Meningkatkan intervensi
sensitif gizi melalui sektor lainnya sangat diperlukan untuk mencapai target ini. Meskipun
belum ada bukti yang menghitung estimasi secara tepat kontribusi intervensi gizi sensitif
terhadap pengurangan stunting, indikasi awal menunjukkan bahwa perlindungan sosial,
penguatan pertanian, serta perbaikan air dan sanitasi lingkungan berkontribusi terhadap
percepatan perbaikan gizi (Franzo, 2014).
International Conference on Nutrition 2 telah menyepakati diperlukannya aksi yang
terkoordinasi antar pelaku di semua sektor terkait yang harus didukung melalui koordinasi
lintas-sektor, kebijakan yang koheren, program dan inisiatif, untuk mengatasi beban gizi dan
mempromosikan sistem pangan berkelanjutan (FAO, 2014). Dalam rangka mengatasi
permasalahan gizi diketahui bahwa intervensi gizi spesifik yang sebagian besar
dilaksanakan oleh sektor kesehatan dan berpengaruh secara langsung merupakan yang
paling efektif (Bhutta, 2013). Keberlanjutan intervensi ini bergantung pada pelaksanaan
intervensi gizi sensitif, yang merupakan faktor mendasar yang mempengaruhi status gizi.
Intervensi sensitif dilaksanakan oleh sektor lain seperti pendidikan, pertanian, pekerjaan
umum/infrastruktur, dan kesejahteraan sosial (WHO, 2012). Gambar 11 mengilustrasikan
keterkaitan program spesifik dan sensitif gizi serta peran masing-masing sektor terkait. Pada
prinsipnya peran setiap sektor dikaitkan dengan upaya untuk mengatasi penyebab langsung
masalah gizi, yaitu konsumsi makanan yang adekuat serta pencegahan dan penanganan
infeksi. Selanjutnya ada tiga faktor yang mempengaruhi kedua faktor langsung tersebut
yaitu akses terhadap pangan, pola asuh serta akses terhadap air bersih, sanitasi lingkungan
yang baik, dan pelayanan kesehatan. Sementara peran sektor kesehatan terutama adalah
pada penyebab langsung, peran sektor non-kesehatan muncul pada ketiga faktor tidak
langsung tersebut.
Konsumsi Adekuat dan akses terhadap pangan yang aman. Selain sektor
kesehatan yang mendorong konsumsi yang adekuat pada tingkat rumah tangga dan
individu, diperlukan adanya dukungan dari akses dan keamanan pangan. Peran sektor
yang berpengaruh terhadap akses pangan adalah Kementerian Pertanian, Kementerian
Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Sosial, Kementerian
Ketenagakerjaan, Kementerian Desa, daerah tertinggal, dan transmigrasi. Sementara itu
untuk menjamin mutu dan keamanan pangan selain Badan POM dan Kementerian tersebut
diatas, juga memerlukan peran pelaku usaha. Untuk mecapai akses dan keamanan pangan
pada tingkat daerah diperlukan fasilitasi Kementerian Dalam Negeri sehingga kebijakan
pada tingkat daerah berorientasi pada ketahanan pangan dan gizi. Sementara itu untuk
mencapai adanya keseimbangan energi, selain konsumsi hal yang harus menjadi
perhaatian adalah aktivitas fisik yang memerlukan dukungan dari Kementerian Pemuda dan
dan Olahraga serta Kementerian Kesehatan.
Pola asuh. Untuk meningkatkan pola asuh diperlukan peran dari Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Kesehatan, Kementerian Agama, BKKBN,
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Komunikasi
dan Informasi, Kementerian Pemuda dan Olahraga.
Akses terhadap air bersih, sanitasi lingkungan yang baik, dan akses terhadap
pelayanan kesehatan. Ketersediaan air bersih dan sanitasi lingkungan yang baik
memerlukan peran Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian
Dalam Negeri, Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, Pemerintah Daerah, Swasta, dan Media
Gambar 12 menyajikan logical framework (logframe) RAN-PG Multi-sektor dengan
peran Kementerian dan Lembaga secara lebih rinci. Semua K/L terkait mempunyai goal
atau dampak program multi-sektor yang sama yaitu menghasilkan sumber daya manusia

36

Indonesia yang berkualitas. Semua kegiatan K/L ini diharapkan dapat mencapai semua
outcome yang telah ditentukan. Seluruh outcome akan dapat dicapai setidaknya apabila 1)
Terjadi peningkatan pengetahuan gizi dan kesehatan pada remaja, wanita usia subur dan
ibu; 2) Konsumsi makanan yang berpedoman pada gizi seimbang terutama pada kelompok
rentan yaitu kelompok 1000 HPK, remaja perempuan, ibu menyusui, dan Balita; 3)
Pemantauan dan stimulasi tumbuh kembang; 4) Pencegahan dan manajemen penyakit
infeksi; 5) Penanggulangan gizi buruk akut; 6) Ketersediaan pangan, akses ekonomi dan
pemanfaatan pangan yang adekuat; 7) Jaminan terhadap akses kesehatan dan sosial;
8)Peningkatan sanitasi dan air bersih; 9) Akses terhadap Pelayanan kesehatan dan KB; 10)
Pendidikan dan pemberdayaan perempuan, serta perkembangan anak usia dini; 11)
Peningkatan pemahaman dan pelaksanaan advokasi yang strategis; 12) Koordinasi vertikal
dan horizontal; 13) Akuntabilitas, regulasi insentif, peraturan perundang-undangan; 14)
investasi dan mobiliasi kapasitas; dan 15) Monitoring dan evaluasi tepat guna. Peran setiap
K/L dapat dijabarkan melalui pencapaian indikator output, seperti yang dicantumkan pada
indikator input didalam logframe RAN PG 2015-2019.
Pemihakan Upaya Multi-Sektor Kepada Kelompok Miskin dan Hampir Miskin
Situasi di Indonesia menunjukkan bahwa permasalahan gizi dan impikasinya
cenderung lebih besar pada kelompok miskin dan hampir miskin. Prevalensi stunting pada
Balita dan permasalahan gizi lainnya lebih tinggi pada kelompok miskin dan hampir miskin.
Penyakit tidak menular, yang muara utamanya adalah pada 1000 HPK menunjukkan bahwa
masalah pada kelompok miskin hampir sama dengan pada kelompok kaya, sehingga
anggapan bahwa PTM merupakan akibat gaya hidup semata menjadi gugur. Akibatnya
beban masalah gizi dan beban PTM pada kelompok miskin, baik pada tataran individu,
keluarga maupun negara menjadi lebih kompleks, karena produktivitas dan penghasilan
yang menurun terjadi bersamaan dengan beban pengeluaran yang tinggi untuk pelayanan
kesehatan.
Penyebab kemiskinan lekat dengan karakteristik lain yang mempengaruhi status gizi
dan kesehatan. Mereka yang miskin umumnya mempunyai pendidikan yang lebih rendah,
kurang terpapar dan atau kurang tepat memahami pesan-pesan kesehatan yang baik,
pangan yang aman, rendahnya akses terhadap air bersih dan lingkungan yang sehat,
rendahnya akses terhadap promosi dan pelayanan kesehatan serta keluarga berencana.
Oleh karena itu, agar upaya multi sektor dapat memberikan hasil yang optimal, upaya-upaya
tersebut perlu difokuskan pada kelompok miskin dan hampir miskin, dengan tidak
melupakan upaya untuk kelompok masyarakat lainnya.

Sektor
Kesehatan*

Peran
Penyuluhan
tentang
Konsumsi
adekuat
untuk setiap anggota
keluarga,
terutama
pada 1000 HPK
Memasyarakatkan olah
Kesehatan
dan
Kepemudaa raga
mengolahragakan
n dan olah
masyarakat,
raga
Sektor terkait Mutu dan Akses
pangan:
Produksi
cukup,
Pertanian*
penganekaragaman
pangan,
SKPG,
stabilitas harga pangan
Produksi dan distribusi
Kelautan
ikan untuk masyarakat
dan
perikanan*
Perdaganga ketersediaan pangan di
pasar
terdekat,
n*
stabilitas harga pangan
Bantuan sosial
Sosial
Ketenagaker Peningkatan ekonomi
keluarga dan daya beli
jaan
Peningkatan
akses
Desa,
terhadap pangan di
daerah
daerah
terpencil,
tertinggal,
perbatasan,
dan
dan
kepulauan
transmigrasi
Sektor terkait mutu dan keamanan
pangan:
Keamanan makanan,
Pengawas
Obat
dan
makanan*
Produksi
bahan
Pelaku
makanan bergizi dan
usaha*
aman
terkait
Perindustria Regulasi
Fortifiksi
maknan
n
Dalam negeri* Kebijakan
yang
berorientasi
pada
ketahanan pangan dan
kecukupan gizi

Status Gizi
37

Pencegahan & Penanganan


Penyakit Infeksi

Konsumsi adekuat

Akses Pangan
Sektor
Pendidikan*
Kesehatan*
BKKBN*
Agama
Pemberdayaan
perempuan dan
perlindungan
anak
Komunikasi dan
informasi
Pemuda
dan
olahraga
Swasta
Media
Pendidikan*

Perdagangan
Perindustrian
BPOM

Dalam negeri*

Pertanian

Pola Asuh

Peran
Peningkatan wawasan
dan
pengetahuan
tentang
pencegahan
dan
penanganan
penyakit infeksi, PHBS
termasuk olah raga,
tumbuh kembang anak,
ASI eksklusif, dan MP
ASI, dokter kecil, UKS,
dan kebun sekolah

Peningkatan pendidikan
perempuan
Kebijakan
terkait
pelabelan, promosi dan
iklan susu formula dan
makanan olahan untuk
bayi dan anak, regulasi
terkait
iklan
dan
pelabelan makanan
Pemberdayaan
perangkat dan lembaga
(Posyandu,
PKK,
UPGK) daerah
Stok
dan
distribusi
pangan dalam rumah
tangga,
program
kawasan rumah pangan
lestasi,

Peran
Wawasan

dan

pengetahuan

terkait pola

hidup bersih
dan sehat
Distribusi
Dalam
Sektor
Peran
dan suplai air
negeri*
Kesehatan*
Imunisasi,
bersih,
Pelaku
penyuluhan tentang
kebersihan
penanganan
dan usaha
sumber air
pencegahan penyakit
Penyediaan
Pekerjaan
infeksi
sarana serta
Umum
dan
terhadap
Kesehatan* Akses
fasilitas
Perumahan
pelayanan kesehatan,
Dalam
sumber
air
Rakyat*
negeri*
bersih
dan
Sosial
tempat
Dalam
Revitalisasi
buang air
negeri
posyandu; rekrutmen,
Gambar 12.
dan
Contoh
Peran
penempatan/distribusi
Multi-sektor
tenaga kesehatan
dalam
dan
Pendidikan Pendidikan
Kerangka
untuk
Kesehatan penyuluhan
Perbaikan
meningkatkan
Gizi
wawasan kesehatan
Sumber:
dan PHBS,
Keterangan
:
Endang
Kecukupan
dan
*) Peran
Utama dari setiap
Sektor
L.Achadi,
2015
pemerataan tenaga
kesehatan
Pelaku
Pelayanan kesehatan
usaha
swasta

Sanitasi dan air bersih,


pelayanan kesehatan

Sektor
Kesehatan*
Pendidikan
Media
Swasta

38

Sensitif Gender
Penyelesaian pendidikan hingga tingkat menengah oleh anak perempuan telah
terbukti menjadi salah satu kontributor terbesar untuk menurunkan stunting di Bangladesh,
Indonesia (Semba, 2008) dan Nepal (Crum, 2012). Meskipun mekanisme yang menjelaskan
hubungan ini belum jelas (Wachs, 2008), hal ini dapat terjadi dikarenakan perempuan yang
sekolah cenderung untuk tidak hamil pada usia remaja, sehingga tingkat kehamilan remaja
lebih rendah. Selain itu tingkat pendidikan anak perempuan juga berkontribusi meningkatkan
status gizi sebelum menikah, yang semuanya berkontribusi untuk meningkatkan berat lahir
(UNSCN, 2010). Produksi pangan lokal dan pengolahan, terutama oleh petani kecil dan
keluarga petani harus diperkuat dan memberikan perhatian khusus untuk pemberdayaan
perempuan, sesuai dengan rekomendasi ICN2 nomor 9. Usia legal untuk menikah bagi
perempuan juga perlu ditingkatkan menjadi 18 tahun.
Kesetaraan
Dengan menargetkan kegiatan penanggulangan kemiskinan dan mempertemukan
upaya untuk mengkolaborasikan berbagai sektor di rumah tangga termiskin dari kabupaten
termiskin akan berkontribusi untuk mengurangi kesenjangan. Hal ini dapat dicapai dengan
mengarahkan program-program yang ada untuk mengurangi jumlah keluarga miskin, seperti
program Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Generasi, PKH, dan
berbagai program terkait lainnya.
Keberlanjutan
Menerapkan produksi pangan yang berkelanjutan melalui pengelolaan sumber daya
alam dengan promosi diversifikasi tanaman, termasuk tanaman tradisional yang kurang
dimanfaatkan, memproduksi lebih banyak buah dan sayuran, dan memproduksi produk
hewan dengan tepat sesuai dengan yang diperlukan.
Sejalan dengan RPJMN dan Regulasi Pemerintah Lainnya
Berbagai aspek gizi dan komponen sektor lainnnya seperti pertanian, air dan
sanitasi,dan kebutuhan perlindungan sosial pada RAN-PG perlu mengacu pada apa yang
telah ditetapkan dalam RPJMN dan aturan pemerintah lainnya. Pelaksanaan aturan yang
ditetapkan harus fokus pada kelompok yang rentan dan termiskin, sehingga dapat
meningkatkan pencapaian target yang telah ditetapkan.
Scaling Up Rencana Aksi Integrasi Multi-Sektor
Pengembangan pendekatan multi-sektor yang terintegrasi untuk intervensi
diperlukan melalui pendekatan dari bawah ke atas (bottom up) yang dapat dilakukan oleh
badan perencana di kab/kota. Untuk pelaksanaan RAN-PG dapat dimulai di tingkat Provinsi
dan selanjutnya dilakkan di tingkat kab/kota. Untuk memperoleh hasil yang optimal bisa
menggunakan contoh kab/kota yang selama ini sudah melaksanakan RAD-PG dengan baik.
Selain itu juga dapat menggunakan pelaksanaan program 1000 HPK pada proyek yang
sedang berlangsung di 64 kabupaten di 11 provinsi.
Pelaksanaan program gizi spesifik dan sensitif di 64 kabupaten ini merupakan
langkah awal yang dapat direplikasi di kabupaten lainnya. Meski intervensi spesifik dan
sensitif yang dilakukan masih terbatas, namun pelaksanaan program yang melibatkan peran
multi sektor di 64 kabupaten tersebut merupakan proses pembelajaran yang dapat
dikembangkan dan disebarluaskan. Dengan demikian, kabupaten/kota yang akan
melaksanakan RAD-PG dapat mengacu kepada kegiatan yang telah dilakukan di 64 kab
tersebut.
Peningkatan Kapasitas
Membangun pendekatan desentralisasi memerlukan kapasitas pemerintahan daerah
untuk melaksanakan RAD-PG di daerah tersebut. Agar hal ini terwujud diperlukan kapasitas
pusat dan provinsi untuk mendukung kapasitas pemerintah kabupaten/kota melalui
pelatihan di berbagai tingkat untuk memahami dan mampu melaksanakan intervensi spesifik

39

dan sensitif. Selanjutnya peningkatan kapasitas juga diperlukan untuk terlaksananya


monitoring dan evaluasi secara baik termasuk adanya umpan balik.
Umpan Balik dari Hasil Evaluasi
Untuk memastikan bahwa perkembangan pendekatan terintegrasi mencapai tujuan,
monitoring secara berkala terhadap cakupan berbagai intervensi yang dilakukan sangat
penting. Sistem informasi rutin yang sudah ada perlu diperkuat dan dilakukan survei berkala
untuk mengetahui cakupan yang dicapai di tingkat kabupaten/kota. Kegiatan pengumpulan
data dan informasi harus dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota dan hasil yang
diperoleh disampaikan kepada perangkat daerah dan kecamatan di kab/kota tersebut
sebagai bahan umpan balik. Hal yang sama juga dilakukan di tingkat provinsi dan pusat,
umpan balik disampaikan kepada kabupaten oleh provinsi dan kepada provinsi kepada
pusat dan kepada multisektor lainnya. Seluruh hasil yang diperoleh tersebut dipergunakan
untuk perbaikan kegiatan berikutnya.
Akuntabilitas di Daerah
Pemerintah daerah harus memimpin pengembangan rencana multi-sektor
terintegrasi dan akuntabel/bertanggung jawab untuk memastikan bahwa intervensi
difokuskan bagi rumah tangga termiskin dari desa termiskin di lokasi termiskin. Pemerintah
daerah harus menyepakati target yang ingin dicapai dan melaporkan cakupan yang
diperoleh serta tantangan yang dihadapi. Untuk mewujudkan hal ini diperlukan sistem yang
lebih baik untuk menghasilkan, menganalisis, dan menggunakan data yang diperlukan.
Partisipasi Masyarakat
Gotong royong merupakan tradisi Indonesia yang perlu dibangun dan
dikembangkan. Di dalam RAN-PG, seluruh sektor perlu mengidentifikasi bentuk-bentuk
gotong royong yang ada di masyarakat dan menjadikannya sebagai kegiatan dalam pangan
dna gizi. Partisipasi masyarakat merupakan hal terpenting untuk memperluas cakupan
intervensi gizi baik di masyarakat, keluarga bahkan untuk mendukung lembaga pangan dan
gizi lain. Hal yang perlu dilakukan adalah meningkatkan peranan posyandu termasuk
dukungan dari PKK. Disamping posyandu, peran masyarakat seperti pada PAUD dan BKB,
sebagai komponen yang paling dekat dengan masyarakat perlu terus dikembangkan.
Kemitraan
Setiap provinsi dan kabupaten/kota harus membangun kesempatan untuk kemitraan
sehingga masyarakat, pemerintah, dan swasta dapat bekerjasama dan berkontribusi
terhadap pencapaian rencana aksi pangan dan gizi multi-sektor. Kemitraan dilakukan
dengan satu flatform, sehingga setiap pemangku kepentingan memiliki pemahaman yang
sama terhadap tujuan dari kegiatan yang dilakukan.
Pengurangan risiko bencana. Setiap kabupaten/kota harus mengikutsertakan
rencana multi-sektor pangan dan gizi, serta rencana kontigensi untuk mengatasi bencana
yang mungkin terjadi. Apabila terjadi bencana perlu mengacu pada pedoman mengatasi
masalah pangan dan gizi dalam situasi darurat. Kegiatan ini dapat dikoordinasikan Bappeda
dengan BNPD dan perangkat daerah terkait, sehingga pangan dan gizi kelompok rawan
dapat diberikan.
Menciptakan lingkungan yang memungkinkan untuk perubahan perilaku. Agar
pendekatan multi-sektor dapat dilaksanakan secara efektif, perlu diciptakan lingkungan yang
memungkinkan implementasinya mulai dari tingkat pusat untuk mendorong perubahan
perilaku pada tingkat masyarakat (R, Dobbs, 2014). Pendekatan sektoral memerlukan
perubahan perilaku oleh individu di tingkat masyarakat, dan ini dapat difasilitasi dengan
berbagai cara antara lain dengan mengendalikan iklan makanan. Selain itu dapat dilakukan
dengan memastikan pelabelan yang memadai pada semua produk makanan olahan untuk
memberikan pilihan kepada konsumen yang akan dilaksakan oleh Badan POM.

40

Penggunaan pajak dan/atau penghapusan subsidi juga dapat digunakan untuk mencegah
konsumsi makanan yang tidak sehat dan Kementerian Perdagangan, Pertanian, dan Industri
memiliki peran di sini.
3.4.

Risiko dan Asumsi


Untuk mencapai target yang telah ditetapkan, diperlukan pemenuhan kondisi
sehingga target yang ditetapkan dapat tercapai. Berikut ini merupakan asumsi yang harus
dipenuhi :
1.

Dana
Dana merupakan salah satu komponen perencanaan yang akan digunakan untuk
seluruh kegiatan yang diperlukan. Ketersediaan dana yang memadai mutlak diperlukan,
namun yang lebih penting adalah penggunaan dana yang efektif dan efisien yang nantinya
menentukan keberhasilan suatu program. Pada sektor pangan, untuk menerapkan
pengelolaan pertanian berbasis teknologi memerlukan modal yang tidak sedikit begitu juga
dengan perbaikan gizi dengan jumlah sasaran yang relatif besar. Dengan demikian,
diperlukan analisis atau studi lebih lanjut untuk mengetahui berapa jumlah dana yang
diperlukan untuk mencapai target ketersediaan pangan dan perbaikan gizi dalam jangka
waktu tertentu, jumlahnya akan berbeda untuk setiap daerah dengan beban gizi yang
beragam.
2.

Sumber Daya Manusia


Sumber daya manusia merupakan komponen yang akan melaksanakan program
dan kegiatan yang direncanakan. Untuk melaksanakan program dan kegiatan pangan dan
gizi yang bersifat pemberian layanan diperlukan tenaga dalam jumlah yang mencukupi dan
merata sesuai dengan kebutuhan setiap daerah. Pentingnya tenaga tidak saja dalam hal
pertanian yaitu penyuluh pertanian lapangan dan tenaga gizi dan kesehatan, tetapi juga
keberadaan tenaga penyuluh keluarga berencana, pemberdayaan masyarakat, serta tenaga
sosial lainnya sangatlah penting. Begitu pula dengan kader posyandu, fasilitator PNPM,
pendamping PKH, dan juga petani menjadi sumber daya manusia yang perlu diperhatikan
dan dipenuhi jumlahnya. Persoalan sumber daya manusia yang perlu ditingkatkan juga
adalah pengetahuan dan keterampilan tenaga, sehingga memiliki kompetensi sesuai
dengan yang dibutuhkan di masyarakat.
Disamping kebutuhan tenaga tersebut diatas, hal yang juga sangat penting adalah
merubah paradigma tenaga gizi dan kesehatan serta stakeholder yang berperan dalam
perbaikan pangan dan gizi untuk mengedepankan upaya promotif-preventif. Berdasarkan
kerangka pikir dan tujuan perbaikan pangan dan gizi terlihat bahwa aspek promotif-preventif
merupakan kunci keberhasilan. Misalnya untuk mencegah terjadinya anemia pada ibu
hamil, konsumsi pangan yang mengandung tinggi protein dan zat gizi besi sangatlah penting
disamping peningkatan cakupan suplementasi tablet tambah darah, begitupun untuk
meningkatkan cakupan ASI eksklusif, selain ibu juga perlu meningkatkan pengetahuan
bapak, dan anggota keluarga lainnya sehingga dapat memberikan dukungan bagi
pencapaian ASI eksklusif.
3.

Metodologi Intervensi
Pendekatan dan metode intervensi yang digunakan dalam menyelesaikan suatu
permasalahan menentukan keberhasilan pencapaian target suatu program. Secara umum,
pendekatan yang mulai diperkenalkan pada tahun 2013 untuk mengatasi permasalahan gizi
adalah intervensi yang berfokus pada kelompok rentan melalui program 1000 HPK.
Pendekatan ini memerlukan adanya upaya promotif-preventif untuk mengoptimalkan 1000
HPK yang dimulai dari mempersiapkan sejak usia remaja agar saat hamil memiliki status
gizi yang baik, memaksimalkan perbaikan gizi pada masa kehamilan sehingga melahirkan
bayi yang sehat dengan berat lahir cukup, mencukupi kebutuhan gizi ibu menyusui dan
pemberian ASI eksklusif hingga 6 bulan diteruskan pemberian ASI hingga 2 tahun serta
pemberian MP ASI kepada bayi mulai usia 6 bulan. Berbagai studi telah membuktikan

41

efektivitas pendektan ini (Lancet, 2013), namun efektivitas dan efisiensi dari metode
intervensi yang digunakan dalam program 1000 HPK belum dievaluasi secara menyeluruh di
Indonesia dikarenakan penerapannya relatif baru. Untuk mengetahui efektivitas dari metode
intervensi yang digunakan dapat dilakukan riset operasional dan monitoring dan evaluasi
yang tepat. Sehingga akan diketahui metode intervensi yang efektif untuk mengatasi
permasalahan tertentu di setiap daerah.
4.

Cakupan dan Keberlanjutan


Diketahui, untuk menurunkan angka stunting sebesar 1/5 dari angka saat ini dapat
dilakukan dengan mengimplementasikan 10 intervensi gizi spesifik dengan cakupan
sejumlah 90 persen (Lancet, 2013). Intervensi tersebut dilakukan oleh sektor kesehatan.
Rendahnya cakupan atas intervensi yang dilakukan, terutama untuk daerah dengan beban
permasalahan gizi tinggi dapat berakibat pada rendahnya pencapaian target perbaikan gizi.
Selain itu intervensi sensitif harus terus ditingkatkan sehingga masyarakat memperoleh
pelayanan sosial dasar secara cukup dan terjadi perbaikan pendapatan.
Hal yang juga sangat penting adalah keberlanjutan atau sustainabilitas suatu
program, pelaksanaan program secara intensif dan terus-menerus merupakan kunci
keberhasilan untuk meningkatkan perbaikan pangan dan gizi. Diperlukan adanya komitmen
dari pemeintah daerah untuk melanjutkan inisiatif maupun pilot project yang dilakukan oleh
pemerintah pusat maupun mitra pembangunan. Di sisi lain, pemerintah pusat maupun mitra
pembangunan yang melaksanakan proyek percontohan atau intervensi lainnya perlu
memikirkan exit strategy saat pendanaan selesai.
5.

Koordinasi antara Pusat, Provinsi, dan Kabupaten


Adanya koordinasi yang dibangun antara pemerintah pusat, provinsi, dan
kabupaten/kota sangat menentukan efektivitas pelaksanaan program yang telah
direncanakan.
Koordinasi ini merupakan upaya untuk menyelaraskan rencana
pembangunan dan program yang di pusat dengan di propinsi dan kabupaten/kota. Pada
sistim desenteralisasi koordinasi di tingkat kabupaten/kota diharapkan lebih kuat karena
banyak kewenangan yang dimiliki dan dapat digunakan untuk perbaikan pangan dan gizi.
Dengan adanya koordinasi yang baik, diharapkan adanya keselarasan antara program dan
target yang ditetapkan di tingkat pusat, propinsi, dan kabupaten/kota.
6.

Kerjasama Lintas Sektor


Diketahui untuk menyelesaikan permasalahan pangan dan gizi diperlukan adanya
upaya dari berbagai sektor. Kerjasama lintas sektor sangat diperlukan untuk mengetahui
siapa saja yang berperan dan harus dilibatkan dan kapasitas yang dimiliki untuk untuk
mewujudkan perbaikan pangan dan gizi. Kerjasama lintas sektor juga akan meningkatkan
efektivitas pelaksanaan program karena satu sama lain dapat saling mengetahui dan
bermitra untuk melaksanakan suatu program. Kerjasama lintas sektor di pusat atau lintas
perangkat daerah di propinsi dan kabupaten/kota, dilaksanakan sesuai dengan kewenangan
masing-masing. Melalui kerjasama tersebut dapat dilakukan integrasi sehingga permasalah
pangan dan gizi pada suatu wilayah akan lebih cepat diatasi.
3.5.

Penguatan RAN-PG
RAN-PG merupakan perdoman yang disusun dan diimplementasikan oleh
kementerian/lembaga dan pemangku kepentingan lainnya di tingkat pusat yang selanjutnya
diterjemahkan dalam RAD-PG di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota. Penguatan RAN-PG
merupakan langkah-langkah yang ditempuh untuk melaksanakan RAN-PG. Tahapan
pelaksanaan perbaikan gizi dilakukan melalui beberapa tahapan yang tercantum pada
Tabel 5 Penguatan RAN-PG

42

Pelaksanaan di
Pusat

1.

2.

3.

4.

Provinsi

1.

2.

3.

Kegiatan
Memperkuat legal aspek RAN-PG Multi Sektor
Membentuk tim koordinasi di tingkat pusat yang terdiri dari lintas
sektor
Menetapkan dasar hukum RAN-PG Multi dan menetapkan SK
Bersama antara Menteri Perencanaan dan Pembangunan
Nasional dan Menteri Dalam Negeri
Perencanaan dan Penganggaran
Sosialisasi RAN-PG kepada Kementerian/Lembaga dan
pemangku kepentingan
Menjadikan Peraturan Presiden No. 42 Tahun 2013 sebagai
acuan untuk melaksanakan perbaikan gizi pada 1000 HPK
Penyusunan pedoman teknis:
Menyusun pedoman penyusunan RAD-PG
Menyusun pedoman teknis pencapaian indikator RAD-PG
Menyusun pedoman pembiayaan RAD-PG
Menyusun pedoman monitoring dan evaluasi RAD-PG
Menyusun pedoman insentif RAD-PG
Menyusun pedoman advokasi dan komunikasi untuk
pengarusutamaan RAD-PG pada RPJMD
Menyertakan program terkait intervensi gizi sensitif dan spesifik
dalam RKA K/L dan memastikan intervensi tersebut memperoleh
pendanaan yang memadai setiap tahunnya
Mengembangkan data based RAD-PG
Implementasi
Melaksanakan intervensi gizi sensitif dan spesifik oleh K/L dan
pemangku kepentingan
lainnya
dengan memperhatikan
pendekatan multisektor dan pendekatan lain yang tepat.
Membuat laporan tahunan pelaksanaan RAN-PG.
Monitoring dan Evaluasi
Pembuatan website dalam rangka monitoring dan evaluasi
Melakukan pencatatan atau pengumpulan data terkait target
indikator utama yang harus dicapai, dapat berupa data rutin
maupun survei.
Melaksanaan pertemuan atau forum dalam rangka koordinasi dan
evaluasi rutin litas sektor
Memperkuat legal aspek RAD-PG Multi Sektor
Membentuk tim koordinasi di tingkat provinsi yang terdiri dari lintas
sektor
Menetapkan dasar hukum RAD-PG melalui Peraturan Daerah
atau Peraturan Gubernur.
Perencanaan dan Penganggaran
Penyusunan RAD-PG di tingkat provinsi
Sosialisasi RAD-PG kepada pemangku kepentingan di tingkat
provinsi dan kabupaten/kota
Menyertakan program terkait intervensi gizi sensitif dan spesifik
dalam RKA K/L dan memastikan intervensi tersebut memperoleh
pendanaan yang memadai setiap tahunnya
Implementasi
Melaksanakan intervensi gizi sensitif dan spesifik oleh K/L dan
pemangku kepentingan
lainnya
dengan memperhatikan
pendekatan multisektor dan pendekatan lain yang tepat.

43

Pelaksanaan di

Kegiatan

Membuat laporan tahunan pelaksanaan RAD-PG di propinsi


berdasarkan hasil tingkat kabupaten/kota.
4. Monitoring dan Evaluasi
Pembuatan website di tingkat provinsi dalam rangka monitoring
dan evaluasi
Melakukan pencatatan atau pengumpulan data terkait target
indikator utama yang harus dicapai, dapat berupa data rutin
maupun survei.
Melaksanaan pertemuan atau forum dalam rangka koordinasi dan
evaluasi rutin litas sektor
Kabupaten/kota

1. Memperkuat legal aspek RAD-PG


Membentuk tim koordinasi di tingkat kab/kota yang terdiri dari
lintas sektor
2. Perencanaan dan Penganggaran
Sosialisasi RAD-PG kepada stakeholder di tingkat kabupaten
Menyertakan program terkait intervensi gizi sensitif dan spesifik
dan memastikan intervensi tersebut memperoleh pendanaan yang
memadai setiap tahunnya
3. Implementasi
Penyusunan pedoman laporan tahunan RAD-PG
Melaksanakan intervensi gizi sensitif dan spesifik oleh K/L dan
stakeholder lainnya dengan memperhatikan pendekatan
multisektor dan pendekatan lain yang tepat.
4. Monitoring dan Evaluasi
Pembuatan website dalam rangka monitoring dan evaluasi
Melakukan pencatatan atau pengumpulan data terkait target
indikator utama yang harus dicapai, dapat berupa data rutin
maupun survei.
Melaksanaan pertemuan atau forum dalam rangka koordinasi dan
evaluasi rutin litas sektor

BAB IV
KERANGKA PELAKSANAAN RENCANA AKSI
Kerangka pelaksanaan rencana aksi menjadi suatu hal yang penting karena
menyangkut siapa dan bagaimana kegiatan tersebut dilaksanakan. Pada kerangka
pelaksanaan diatur kerangka kelembagaan, manajemen keuangan dan aliran dana,
anggaran indikatif, strategi pengembangan kapasitas, strategi advokasi dan komunikasi, dan
strategi monitoring dan evaluasi.
4.1.

Kerangka Kelembagaan

Struktur Organisasi Tingkat Pusat


Dalam perencanaan Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi, maka koordinasi
dalam perencanaan, monitoring dan evaluasi adalah Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas. Sedangkan di dalam pelaksanaan, koordinator

44

disesuaikan dengan Kementerian/Lembaga, yang dikoordinasikan oleh : Kementerian


Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan; Kementerian Koordinator
Bidang Perekonomian; dan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman. Sedangkan
pelaksanaan di Daerah akan dikoordinasikan oleh Kementerian Dalam Negeri.
Selama ini berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2013 tentang Gerakan
Nasional Percepatan Perbaikan Gizi, telah terdapat organisasi Percepatan Perbaikan Gizi
dengan struktur :
Ketua
: Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan
Wakil Ketua I
: Menteri Dalam Negeri
Wakil Ketua II
: Menteri Kesehatan
Sekretaris
: Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan
Kebudayaan
Bappenas (merangkap anggota)
Anggota
:
1. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas
2. Menteri Pertanian
3. Menteri Kelautan danPerikanan
4. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
5. Menteri Perindustrian
6. Menteri Perdagangan
7. Menteri Sosial
8. Menteri Agama
9. Menteri Komunikasi dan Informatika
10. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
11. Sekretaris Kabinet
Di dalam organisasi RAN-PG tahun 2015-2019, selain Kementerian/Lembaga tersebut
juga melibatkan :
1. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
2. Badan Koordinasi Keluarga Berencanan Nasional
3. Badan Pengawas Obat dan Makanan
4. Kementerian Pemuda dan Olahraga
5. Kementerian Ketenagakerjaan
6. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi
7. Sekretariat Negara
Mengingat RAN-PG terdiri dari multi Kementerian/Lembaga, maka di dalam
pelaksanaannya dikoordinasikan oleh Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan
Manusia dan Kebudayaan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, dan
Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman. Sementara itu, keorganisasian Gerakan
Nasional 1000 HPK juga membentuk Tim Teknis dan Kelompok Kerja.
Struktur Organisasi Tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota
Pada tingkat Propinsi dibentuk Tim Pengarah dengan struktur organisasi
Penanggung Jawab : Gubernur
Ketua
: Sekretaris Daerah
Sekretaris
: Kepala Bappeda
Anggota
: Kepala Dinas teknis/Kepala Instansi menangani :
1. Kesehatan,
2. Pertanian/Ketahanan pangan,
3. Kelautan dan Perikanan,
4. Pendidikan,
5. Perindustrian,
6. Perdagangan,
7. Sosial,

45

8. Agama,
9. Tenaga Kerja
10.Komunikasi dan Informasi,
11.Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat,
12.Desa dan PDT dan Transimigrasi,
13.Pemuda dan olahraga
14.Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Aanak,
15.BKKBN
16.Badan pengawas Obat dan Makanan.
Di samping Tim Pengarah dibentuk Tim Teknis yang terdiri dari :
Ketua
: Kepala Bappeda
Sekretaris : Kepala Dinas Kesehatan dan Kepala Instansi Ketahanan Pangan
Sedangkan keanggotaan melibatkan seluruh Perangkat Daerah yang sesuai dan
dapat juga menambahkan pemangku kepentingan yang terkait dengan pangan dan gizi.
Struktur organisasi di Kabupaten/Kota dapat mengacu kepada struktur organisasi di
Provinsi. Struktur organisasi dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah.
Peran Sektor Swasta dan Lembaga Masyarakat
Selain sektor pemerintah, sektor non pemerintah atau swasta dan lembaga
masyarakat juga berperan untuk melaksanakan rencana aksi pangan dan gizi. Sektor
swasta yang dapat mengambil peran adalah perguruan tinggi, lembaga profesi, lembaga
swadaya masyarakat, pelaku usaha, organisasi PBB (UN system), donor, masyarakat
madani, dan media.
Perguruan tinggi dapat mendukung pencapaian target perbaikan pangan dan gizi
melalui pelaksanaan riset operasional dan penyebarluasan informasi pangan dan gizi terkini
kepada mahasiswa, terutama calon tenaga kesehatan, saat proses belajar di dalam kelas.
Sementara itu, lembaga profesi dapat melakukan standardisasi kompetensi tenaga gizi dan
kesehatan melalui akreditasi. Peran yang dapat diambil oleh mitra pembangunan adalah
untuk meningkatan pelaksanaan melalui pembentukan pilot proyek yang akan dijadikan
sebagai best practice untuk direplikasi. Selain itu mitra pembangunan juga dapat
memberikan bantuan teknis bagi peningkatan kualitas pelaksanaan. Di sisi lain, organisasi
kemasyarakatan dapat memperkuat mobilisasi, advokasi, dan komunikasi dan riset serta
analisis kebijakan juga pelaksanaan kegiatan di tingkat masyarakat dalam rangka
meningkatkan ketahanan pangan dan perbaikan gizi. Peranan pelaku usaha adalah dengan
melakukan pengembangan produk pangan bergizi yang dapat diakses masyarakat,
menjaga kualitas, distribusi ke berbagai daerah sehingga mudah dijangkau, riset,
pengembangan teknologi, komunikasi, serta mendorong perilaku hidup sehat bagi
karyawannya.
Kolaborasi antara sektor swasta dan pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan
ketersediaan makanan bergizi yang terjangkau masih sangat sedikit. Di satu sisi, di
perkotaan sangat mudah ditemui makanan bergizi untuk anak, namun bagi populasi di
pedesaan dengan kuintil kepemilikan rendah tidak ditemukan hal yang sama. Sektor swasta
sering kali tidak memilih lokasi dengan tingkat permintaan yang rendah sehingga tidak
menyediakan bahan makanan ke lokasi tersebut, sehingga mengakibatkan tidak adanya
makanan anak yang berkualitas bagi penduduk yang rentan tersebut. Selain rendahnya
permintaan, biaya yang dikeluarkan untuk distribusi sering kali lebih besar ditambah daya
beli maysrakatnya rendah, sehingga sektor swasta semakin tidak tertarik untuk
menyediakan makanan ke daerah tersebut, kalaupun dilakukan harganya sulit lagi
terjangkau.
Dengan demikian sektor swasta dapat berperan untuk menyediakan
kesempatan untuk membuat makanan bergizi yang terjangkau dan mendorong
karyawannya untuk menerapkan pola hidup sehat.

46

Instansi Pelaksana
Untuk mengimplementasikan rencana aksi ini, terdapat pelaksana dari pihak
pemerintah dan non pemerintah yang berada di setiap tingkat administrasi, yaitu di tingkat
pusat, provinsi, dan kabupaten, bahkan kecamatan, dan desa. Untuk pihak pemerintah,
terdapat K/L yang bekerja di tingkat pusat dan Perangkat Daerah (PD) di tingkat daerah.
Di dalam mempermudah pelaksanaan di lapangan Kementerian/Lembaga dan atau
Perangkat Daerah dapat dikelompokkan ke dalam pilar, yaitu :
1.
Perbaikan Gizi Masyarakat, melibatkan Kementerian Kesehatan, Kementerian
Ketenagakerjaan, BKKBN, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transimigrasi, dan
Kementerian Sosial;
2.
Peningkatan Aksesibilitas Pangan yang Beragam, melibatkan Kementerian
Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perindustrian,
Kementerian Perdagangan, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan
Transimigrasi, dan Kementerian Sosial
3.
Peningkatan Pengawasan Mutu dan Keamanan Pangan, melibatkan Badan
Pengawasan Obat dan Makanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan
Perikanan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Perdagangan.
4.
Peningkatan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat, melibatkan Kementerian Kesehatan,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Pemuda dan Olahraga, dan
Kementerian Komunikasi dan Informasi.
5.
Kelembagaan, melibatkan Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian Koordinator
Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kementerian Koordinator Bidang
Perekonomian, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Kementerian Dalam
Negeri, Sekretariat Kabinet, dan Sekretariat Negara.

47

4.2.

Manajemen Keuangan dan Pendanaan


Untuk menjalankan rencana aksi ini, setiap pelaksana memerlukan dukungan dan
pengelolaan dana yang dapat berasal dari berbagai sumber. Sumber pendanaan utama
berasal dari APBN dari pemerintah pusat dan APBD dari pemerintah daerah. Dana APBD
diatur secara mandiri oleh pemerintah daerah, untuk dana APBN pembiayaannya
diperuntukkan bagi belanja kegiatan di tingkat pusat dan dapat digunakan di provinsi dan
kabupaten dalam berbagai skema yang ada. Dana APBN yang dapat didistribusikan ke
daerah berbeda-beda sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sementara itu, untuk
K/L tertentu terdapat skema pendanaan khusus untuk digunakan di daerah yang belum
tentu dimiliki oleh K/L lainnya, seperti biaya operasional kesehatan (BOK) untuk
Kementerian Kesehatan, biaya operasional sekolah (BOS) untuk Kemeterian Pendidikan,
dan dana bantuan sosial (Bansos) di beberapa K/L. Selain bersumber dari dana APBN dan
APBD, terdapat sumber pendanaan lainnya yang berupa hibah yang berasal dari
masyarakat yang dapat berasal dari pelaku usaha berupa dana Corporate Social
Responsibility (CSR), philantrophy sesuai peraturan perundang-undangan.
4.3.

Anggaran Indikatif
Penting untuk mengetahui anggaran yang tersedia untuk pelaksanaan program,
dengan demikian dapat diketahui jumlah dana yang diperlukan dan ketersediaan dana
sehingga apabila terjadi kekurangan dana dapat diketahui lebih awal dan direncanakan
untuk mencari alternatif pendanaan dari sumber lainnya. Besar dana indikatif untuk program
dan kegiatan hendaknya dimiliki pusat dan daerah dan untuk pusat biasanya terdapat pada
RPJMN dan Renstra K/L.
4.4.

Strategi Pengembangan Kapasitas


Untuk melaksanakan program yang telah direncanakan, diperlukan adanya
peningkatan kapasitas organisasi, sumber daya manusia, dan panduan pelaksanaan
program atau kegaiatan. Strategi pengembangan kapasitas yang dapat dilakukan adalah
dengan cara berikut:
1. Pelatihan
Pelatihan merupakan upaya peningkatan kapasitas sumber daya manusia sehingga
program yang direncanakan dapat terlaksana sesuai dengan yang diharapkan.
Pelatihan yang diberikan harus menunjang kompetensi SDM untuk melaksanakan
perbaikan pangan dan gizi terutama pada 1000 HPK. Pelatihan dapat dilakukan melalui
dua bentuk, yaitu:
a. Pre service training
Kegiatan preservice training yang dilakukan meliputi pengembangan
kurikulum yang sesuai dengan isu strategis gizi bagi perguruan tinggi atau pusat
pelatihan tenaga kesehatan. Untuk memastikan hal ini salah satu yang dapat
dilakukan adalah menjadikan adanya isu strategis pangan dan atau gizi dalam
kurikulum rumpun ilmu kesehatan dan kurikulum ilmu pertanian yang bisa dijadikan
sebagai syarat akreditasi perguruan tinggi.
Pemerintah pusat, provinsi,
kabupatendan kota juga perlu bekerjasama dengan lembaga profesi, seperti
Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Persatuan
Dokter Gizi Medik Indonesia (PDGMI), Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI),
Persatuan Obsteri dan Ginekologi Indonnesia (POGI), Ikatan Ahli Kesehatan
Masyarakat Indonesia (IAKMI), Pergizi Pangan, dan organisasi penyuluh pertanian,
dan organisasi pertanian lainnya, untuk membuat kurikulum atau modul pelatihan
yang mendukung kompetensi untuk melaksanakan isu-isu 1000 HPK.
b. On the job/in service training
Dengan adanya kurikulum dan modul pelatihan, dapat dilakukan pelatihan
kepada tenaga yang terkait dengan 1000 HPK untuk mendukung berbagai
kompetensi terkait 1000 HPK, diantaranya adalah komunikasi konseling,
penyuluhan, dan praktik implementasi intervensi seperti inisiasi menyusu dini (IMD)

48

dan pembuatan MP ASI, STBM, penganekaragaman pangan, penyuluhan


pertanian, parenting, PAUD, kesehatan reproduksi. Diperlukan adanya pengelola
pelatihan ini di tingkat pusat dan daerah. Materi untuk on the jobtraining disediakan
oleh tim khusus yang dikoordinasikan oleh Pokja Pelatihan Gernas 1000 HPK dan
di tingkat daerah berkoordinasi dengan Bappeda dipimpin oleh bupati, wali kota dan
gubernur.
2. Pedoman teknis
Pemerintah sebagai regulator salah satu tugas utamanya adalah menetapkan standar,
termasuk standard untuk pelaksanaan program perbaikan pangan dan gizi multi sektor.
Setiap K/L memiliki panduan pelaksanaan program yang dituangkan dalam pedoman
maupun panduan teknis. Informasi mengenai pedoman yang digunakan sangat penting
untuk dijadikan panduan dalam pelaksanaan program merupakan pedoman teknis yang
dimiliki K/L dalam melaksanakan program.
4.5.

Strategi Advokasi dan Komunikasi


Advokasi adalah kombinasi dari desain dukungan individu dan sosial untuk
meningkatkan komitmen politik, dukungan kebijakan, penerimaan sosial, dan dukungan
sistem untuk tujuan program kesehatan tertentu (WHO, 1998). Advokasi merupakan strategi
untuk mempengaruhi para pengambil keputusan khususnya saat mereka menetapkan
peraturan, mengatur sumber daya dan mengambil keputusan-keputusan yang menyangkut
khalayak masyarakat6. Agar mencapai target yang telah ditetapkan, diperlukan pemenuhan
kondisi dan asumsi, sehingga target yang ditetapkan dapat tercapai. Untuk memenuhi
asumsi tersebut diperlukan adanya advokasi kepada stakeholder terkait dalam mencapai
komitmen pengambil kebijakan, dan stakeholder yang terlibat sehingga diperoleh
pendanaan, sumber daya manusia yang cukup, metode intervensi yang tepat, dan
peningkatan cakupan serta keberlanjutan intervensi yang dilakukan, koordinasi antar
pemerintah pusat dan daerah serta koordinasi lintas sektor berjalan dengan baik. Pada
Tabel 6 diperlihatkan strategi advokasi yang harus dilakukan terhadap stakeholder terkait.

Stakeholder
Pemerintah
pusat
Pemerintah
daerah
Masyarakat
DPR/DPRD
CSO
Mitra
Internasional
Masyarakat

Tabel 6 Strategi Advokasi dan Komunikasi


Frekuensi/tahun
Strategi
Policy brief, pertemuan advokasi berjenjang, work
Semesteran
shop
Policy brief, pertemuan advokasi, work shop

Semesteran

Policy brief, dengar pendapat


Policy brief, pertemuan advokasi
Seminar, round table discussion (RTD)

Semesteran
Semesteran
Semesteran

RTD

Semesteran

Media, konseling

Bulanan

4.6.

Strategi Monitoring dan Evaluasi


Untuk melaksanakan monitoring dan evaluasi perlu ditetapkan target atau output
yang ingin dicapai, siapa saja yang berperan, apa saja input dan proses yang harus
dilakukan. Secara garis besar informasi ini diperoleh dari logical framework yang tercantum
pada Tabel 4. Namun agar lebih terukur dipilih beberapa indikator kinerja utama untuk setiap
K/L yang akan terus dipantau pencapaiannya dalam kurun waktu tertentu. Indikator
diperoleh dengan memilih indikator kinerjanya yang berasal dari RPJMN maupun Renstra
6

Unicef. Panduan pelatihan advokasi berbasis komunikasi persuasif

49

K/L atau kegiatan lainnya yang relevan terhadap upaya perbaikan gizi dan berkaitan dengan
output dan outcome yang ingin dicapai. Indikator ini akan terus dipantau dan dievaluasi
sehingga dapat mendorong tercapainya output dan outcome dari RAN PG 2015-2019.

50

DAFTAR PUSTAKA
Bappenas RI. 1994. Tersedia di www.bappenas.go.id/index.php/download.../1729/
Bappenas RI. 2013. Kerangka Kebijakan Gerakan 1000 HPK. Bappenas RI
Bappenas RI. 2014. Nutrition Background Study for Health Sector Review. Bappenas RI
Bappenas RI. RPJMN 2015-2019, Bappenas RI
Barker DJP. 1998. Mothers, Babies and Health in Adult Life. Edinburgh: Churchill
Livingstone.
Barker DJP. 2012. Developmental Origins of Chronic Disease. Public Health 126:185-9
Bhutta ZA Das JK, Rizvi A, Gaffey MF, Walker N, Horton S, Webb P, Lartey A, Black RE.
2013. Lancet Nutrition Interventions Review Group; Maternal and Child Nutrition
Study Group. Evidence-based interventions for improvement of maternal and child
nutrition: what can be done and at what cost? Lancet. 382 (9890):452-77.
Black et al. 2008. Maternal and child undernutrition: global and regional exposures and
health consequences. The Lancet
Black RE et al. 2013. Maternal and child undernutrition and overweight in low income and
middle income countries. The Lancet
Crum J, Mason JM, Hutchinson P. 2012. Analysis of trends in nutrition of children and
women in Nepal. Kathmandu: UNICEF
Dobbs R, Sawers C, Thompson F, Manyika J, Woetzel J, Child P, McKena S, Spatharou A.
2014. Overcoming obesity: An initial economic analysis. London: McKinsey Global
Institute.
FAO. 1996. World Food Summit Rome Declaration of Food Security. Tersedia di
http://www.fao.org/docrep/003/w3613e/w3613e00.HTM
FAO. 1997. Agriculture food and nutrition for Africa - A resource book for teachers of
agriculture. Tersedia di http://www.fao.org/docrep/w0078e/w0078e04.htm
FAO/WHO. 2014. Republic of Indonesia: National Nutrition Strategy. 2nd International
Conference on Nutrition (ICN2). Tersedia di http://www.fao.org/3/a-at618e.pdf
FAO 2014. Second International Conference on Nutrition: Rome Declaration on Nutrition.
Rome: Food and Agriculture Organization.
Finkelstein EA, Chay J, Bajpal S. 2014. The economic burden of self-reported and
undiagnosed cardiovascular diseases and diabetes on Indonesian households. PLoS
ONE 9(6): e995572
Fanzo J, Curran S, Remans R, Mara V, Briseno JS, Cisewski D, Denning G, and Fracassi P.
2014. Simulating Potential of Nutrition-Sensitive Interventions. New York: Columbia
University, EarthInstitute, Center on Globalization and Sustainable Development..
Grantham-McGregor et al. 2007. Development potential in the first 5 years for children in
developing countries. The Lancet, 369:6070
Hales, C Nicholas and Barker, David JP. 2001. The Thrifty Phenotype Hypothesis. British
Medical Bulletin 2001;60.
Hoddinott et al. 2013, and additional country estimates made by the authors based on the
methodology in Hoddinott et al. 2013 dalam IFPRI. 2014. Global Nutrition Report.
IFPRI.

2014.
Global
Nutrition
Report.
Tersedia
http://globalnutritionreport.org/2014/11/13/global-nutrition-report-2014/

di

51

Institute for Health Matric. 2010. Global Burden of Disease Profil: Indonesia.
Bappenas RI. 2014. Health Sector Review. Bappenas RI.

Dalam

IRRI. Trends in Global Rice Consumption. Dapat diakses di http://irri.org/rice-today/trends-inglobal-rice-consumption


Kemenkes RI. 2007. Riset Kesehatan Dasar 2010. Kemenkes RI
Kemenkes RI. 2010. Riset Kesehatan Dasar 2010. Kemenkes RI
Kemenkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013. Kemenkes RI
Kemenkes RI. 2014. Pedoman Gizi Seimbang 2014. Tersedia di http://gizi.depkes.go.id/pgs2014-2
Kemenkes. 2015. Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia Sehat. Disampaikan pada
Rapat
Kerja
Kesehatan
Nasional.
http://www.depkes.go.id/resources/download/rakerkesnas-2015/MENKES
Kramer MS. 1987. Determinants of low birth weight: methodological assessment and metaanalysis.Bull World Health Organ. 65(5): 663737.
Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan
Gizi.
Potenza MV. 2009. The metabolic syndrome: definition, global impact, and pathophysiology.
Nutr Clin Pract.24(5):560Puspitasari FD, Sudargo T, Gamayanti IL. 2011. Hubungan antara status gizi dan faktor
sosiodemografi dengan kemampuan kognitif anak sekolah dasar di daerah endemis
gaki. Gizi Indon 2011, 34(1):52-60.
Scaling up Nutrition. Establishing Common Results Frameworks for Nutrition. Diakses
padahttp://scalingupnutrition.org/resources-archive/common-results-frameworks
Semba RD, de Pee S, Sun K, Sari M, Akhter N, Bloem MW, 2008. Effect of parental formal
education on risk of child stunting in Indonesia and Bangladesh: a cross-sectional
study The Lancet 371 (9609): 32232826
Shrimpton & Rokx. 2012. The Double Burden of Malnutrition A Review of Global Evidence,
Roger Shrimpton and Claudia Rokx, World Bank, HNP Discussion Paper, November
212
Shrimpton R and Rokx C. 2013. The Double Burden of Malnutrition in Indonesia. The World
Bank.
Sukirman, 2010. Food Security and Nutrition Nexus. Disampaikan pada Seminar ADB,
Manila.
SUN

2010. Scaling Up Nutrition: A Framework For Action, available


http://scalingupnutrition.org/wp-content/uploads/2013/05/SUN_Framework.pdf

at:

The Lancet. 2013. Executive summary of The Maternal and Child Nutrition
Undang-undang No 18 Tahun 2012tentang Pangan.
Unicef. 1990. Strategy for Improved Nutrition of Children and Women in Developing
Countries. Policy review paper E/ICEF/1990/1.6. Unicef: New York.
Unicef. 1991. Strategy for improved nutrition of children and women in developing countries.
Policy Review Peper. New York.
Unicef. 2013 The state of the worlds children 2013:Children with disabilities. New York:
United
Nations
Childrens
Fund.
Tersedia
di
http://www.unicef.org.uk/Documents/Publication-pdfs/sowc-2013-children-withdisabilities.pdf.

52

Unicef. Panduan pelatihan advokasi berbasis komunikasi persuasif


UNSCN 2010. Maternal Nutrition, Chapter Three in the Sixth Report on the World Nutrition
Situation. Geneva: UNSCN.
Victora CG, Adair L, Fall C, Hallal PC, Martorell R, Richter L, et al. Maternal and child
undernutrition: consequences for adult health and human capital. The Lancet.
2008;371:340-57.
Victoria et al. 2008.Maternal and child undernutrition: consequences for adult health and
human capital. The Lancet
Wachs TD. 2008 Mechanisms linking parental education and stunting. The Lancet. 371 :280281
Webb P. 2015. Nutrition and the Sustainable Development Goals: an opportunity for real
progress.UNSCN
WHO 2012. Population-based approaches to childhood obesity prevention. Geneva: WHO
WHO UNS SCN. 2010. 6th Report on the world nutrition situation.
WHO. 1998. Health Promotion Glossary. Geneva
WHO. 2003. Dalam WHO. 2006. Promoting Optimal Fetal Development Report of a
Technical Consultation. Geneva: World Health Organization.
World Bank 2006. Repositioning Nutrition as Central to Development: A strategy for large
scale action. Washington: The World Bank.
World Bank. 2012. PKH Conditional Cash transfers. Social Assistance Programme and
Public Expenditure Review 6.Jakarta: Word Bank.

53

Lampiran

54

Lampiran 1.
Agenda pembangunan dunia pada 15 tahun mendatang dilanjutkan melalui tujuan
pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals/SDGs) yang mencakup
pencapaian tujuan pembangunan dari berbagai sektor. Meski tujuan dan indikator SDGs
yang berkaitan langsung dengan sektor pangan dan gizi hanya bagian kecil dari tujuan
pembagunan berkelanjutan (SDGs), hal tersebut tidak serta merta menjadikan sektor
pangan dan gizi sebagai agenda pembangunan yang tidak menjadi prioritas utama.
Pemahaman yang lebih baik tentang kontribusi sektor gizi untuk mendorong tercapainya
seluruh tujuan SDGs dan kontribusi pencapaian SDGs terhadap gizi menjadi sangat penting.
Hal tersebut dijabarkan pada Tabel 8 berikut ini.
Tabel 7 Ilustrasi Hubungan antara Gizi dan SDGs (Webb, 2015)
Kontribusi Gizi terhadap
SDGs
Kontribusi SDGs terhadap Gizi
SDGs
Gizi yang baik menghasilkan 1. Mengakhiri segala
Pendapatan perkapita yang
pekerja dengan produktivitas
bentuk kemiskinan
meningkat dua kali lebih besar akan
dan kesehatan mental yang
dimanapun
menurunkan stunting sebesar 15
lebih baik serta usia sehat
persen. Hal ini terjadi dikarenakan
yang lebih panjang. Setiap
menurunnya keluarga miskin dan
cm pertambahan TB orang
peningkatan investasi pada bidang
dewasa berhubungan
gizi oleh karena berkurangnya
dengan 5 persen kenaikan
kerugian GDP.
gaji.
Gizi maternal yang baik
2. Mengakhiri
Gizi akan memberi keuntungan
menurunkan risiko
kelaparan,
besar, dari zero hunger sampai
melahirkan BBLR dan
mencapai
keamanan pangan. Pertanian
peningkatan pengasuhan
keamanan pangan berkelanjutan mendukung pola
anak. Pekerja dengan status
dan meningkatkan makan yang baik, pemasukan, dan
gizi yang baik akan
gizi
dan penggunaan sumber daya.
mendukung produktivitas
mempromosikan
pertanian dan peningkatan
pertanian
permintaan pangan,
berkelanjutan
peningkatan ketahanan
pangan dan menurunkan
kelaparan
Penyakit dan zat gizi
3. Memastikan hidup
Meningkatkan kesehatan, sejak
berinteraksi secara sinergis.
sehat dan
remaja puteri dan fokus pada 1000
Gizi yang baik mengurangi
mempromosikan
HPK (termasuk promosi ASI),
risiko kesakitan dan
kesejahteraan bagi mendukung gizi dan pertumbuhan
kematian dalam konteks
semua umur
anak yang akan menurunkan risiko
host disease secara
PJT di masa yang akan datang
signifikan , juga kesehatan
ibu dan pertumbuhan janin
Meningkatkan pertumbuhan
4. Memastikan
Akses informasi, pendidikan di
linear baduta sejumlah 1
kualitas pendidikan sekolah, dan pendidikan informal
standar deviasi
yang inklusif dan
akan meningkatkan kesehatan dan
menambahkan pencapaian
berkeadilan, serta
memperluas pilihan makanan untuk
di kelas. Menangani
mempromosikan
dikonsumsi, memaksimalkan
defisiensi zat besi, yodium
proses belajar
pertumbuhan, dan pendapatan

55

Kontribusi Gizi terhadap


SDGs
mendukung kapasitas
mental.
Meningkatkan gizi anak
perempuan, remaja, dan
wanita meningkatkan
kemampuan mereka untuk
berprestasi di sekolah dan di
tempat kerja
Peningkatan gizi
berhubungan dengan
peningkatan pengetahuan
dan perilaku yang
berhubungan dengan
higienitas dan sanitasi
makanan dan individu yang
akan meningkatkan
kebutuhan air bersih dan
sanitasi
Meningkatkan gizi dalam
segala bentuk dapat
meningkatkan permintaan
makanan, barang, jasa,
termasuk listrik dalam
konteks untuk lemari
pendingin dan alat
pengolahan makanan
Gizi menstimulasi
pertumbuhan ekonomi,
meningkatkan produktivitas
mental dan mental pekerja.
Mengatasi gizi kurang dapat
mencegah kerugian akibat
penurunan GNP sebesar 811 persen

SDGs
sepanjang hidup
5. Mencapai
kesetaraan gender
untuk semua anak
perempuan dan
perempuan
6. Memastikan
ketersediaan dan
keberlanjutan
manajemen air dan
sanitasi untuk
semua

7. Memastikan akses
energi yang
terjangkau, handal,
modern, dan
berkelanjutan untuk
semua

8. Mendorong
pertumbuhan
pekerja penuh
waktu dan produktif
yang berkelanjutan,
dan inklusif serta
pekerjaan yang
layak untuk semua

Meningkatkan gizi melalui


9. Membangun
dukungan pembelajaran dan
infrastuktur yang
potensi inovasi. Industri dan
kokoh, mendorong
pasar hanya akan
industrialisasi yang
berkembang jika
inklusif, dan
meningkatnya produksi dan
mendorong inovasi
pertumbuhan permintaan
pada sistem pangan
Meningkatkan gizi melalui 10.
Membangun
dukungan pembelajaran dan
infrastuktur yang
potensi inovasi. Industri dan
kokoh, mendorong

Kontribusi SDGs terhadap Gizi


keluarga
Kesetaraan gender dalam hal
pendidikan, status, dan pendapatan
meningkatkan gizi anak sejumlah
25 persen. Pendidikan anak
perempuan menunda usia
pernikahan dan kelahiran pertama
Penurunan BAB di tempat terbuka
dan peningkatan akses terhadap air
menghalangi kontaminasi bakteri
pada makanan dan mendorong
kebiasaan cuci tangan yang
berdampak terhadap gizi

Akses terhadap energi akan


mengurangi wanita yang mencari
dan menggunakan kayu bakar
sebagai sumber energi untuk
memasak, sehingga mengurangi
polusi udara di dalam ruangan dan
menurunkan penyakit yang
dikarenakan faktor gizi
Meningkatkan kesempatan kerja
merupakan kunci untuk
mengeluarkan rumah tangga dari
garis kemiskinan yang akan
meningkatkan kualitas dietnya.
GNP yang meningkat
memungkinkan pemerintah
menginvestasikan program yang
pro terhadap gizi
Inovasi dan teknologi yang produktif

Inovasi dan teknologi yang produktif

56

Kontribusi Gizi terhadap


SDGs
SDGs
pasar
hanya
akan
industrialisasi yang
berkembang
jika
inklusif, dan
meningkatnya produksi dan
mendorong inovasi
pertumbuhan
permintaan
pada sistem pangan
Menyelesaikan
masalah 11.
Mengurangi
stunting berdampak lebih
ketidaksetaraan di
untuk masyarakat miskin,
setiap negara
sehingga
mengurangi
ketidaksetaraan
gizi
mengurangi permasalahan
gizi pada usia selanjutnya
dan
ketidaksetaraan
pendapatan
Penurunan angka kematian 12.
Menciptakan
dan
kelahiran
yang
perkotaan dan
dikarenakan faktor gizi yang
pemukiman
baik
akan
mengurangi
penduduk yang
tekanan
populasi
pada
inklusif, aman,
sumber daya seiring dengan
teguh, dan
menurunnya fertilitas
berkelanjutan
Menurunnya kemiskinan dan 13. Memastikan
perbaikan gizi meningkatkan
keberlanjutan
permintaan atas pola diet
produksi
yang
berkualitas
dan
beragam

Penelitian tentang kualitas 14. Tindakan


zat gizi pada pangan dapat
mendesak untuk
meningkatkan
vilatitas
menghadapi
tanaman yang mendukung
perubahan iklim
penelitian tentang pertanian
dan dampakyang tahan terhadapiklim
dampaknya
Mengurangi
tekanan 15. Melestarikan dan
populasi atas sumber daya
memanfaatkan laut
alam yang timbul melalui gizi
dan sumber daya
yang lebih baik mendukung
laut secara
berkurangkanya
angka
berkelanjutan
kematian dan angka fertilitas
yang rendah
Permintaan konsumen yang 16. Melindungi,
semakin informatif untuk diet
memperbaiki, dan
yang
aman,
berkualitas
meningkatkan

Kontribusi SDGs terhadap Gizi

Mengurangi ketidaksetaraan gizi


memberikan produktifitas yang lebih
seimbang
dan
pertumbuhan
populasi.
Menurunnya
ketidaksetaraan
meningkatkan
dialogue dan keterikatan yang
seimbang

Permintaan masyarakat perkotaan


atas pola makan aman dan
berkualitas
mendukung
pertumbuhan pada produk jasa di
pedesaan dan meningkatkan gizi.
Limbah air dan polusi yang semakin
sedikit akan mendukung gizi di
wilayah perkotaan dan desa.
Ragam produk dan produktifitas
yang
lebih
mendukung
pola
konsumsi beragam, kualitas dan
keamaan
makanan
(termasuk
makanan pelengkap), dan semua
hal yang dibutuhkan untuk gizi yang
lebih baik
Penelitian
untuk
meningkatkan
ketahanan tanaman dan hewan
untuk pergeseran agroekologis
yang
berhubungan
dengan
perubahan iklim akan melindungan
kesediaan makanan dan ragam diet
Meningkatkan resilensi produksi
makanan
dan
sistem
pemasarannya dapat mengurangi
ketidakstabilan harga pangan yang
dapat merugikan masyarakat miskin

Ragam
produksi
berdasarkan
praktik berkelanjutan yang menuju
pada lebih rendahnya
harga

57

Kontribusi Gizi terhadap


SDGs
SDGs
tinggi,
dan
beragam,
keberlanjutan
mendorong perhatian pada
pemanfaatan
keberlanjutan produksi dan
ekosistem bumi
dampak dari pilihan produk
sistem pangan
Gerakan untuk memperkuat 17. Menciptakan
akuntabilitas
dan
masyarakat yang
pengelolaan
gizi
secara
tentram dan
global mendorong perhatian
inklusif, akses atas
pada
pentingnya
dialog
keadilan bagi
stakeholder yang inklusif dan
semua orang, dan
model lintas sektor untuk
membangun
kebijakan yang efektif
institusi yang efektif
dan akuntabel

Kontribusi SDGs terhadap Gizi


konsumen (permintaan beragam)
dan kemudian kualitas diet

Diskriminasi,
ketidaksetaraan,
kemiskinan,
dan
ketidakadilan
adalah kunci konflik, kerusakan,
dan malnutrisi. Ketentraman dan
keadilan adalah ketentuan untuk
membangun
institusi
yang
akuntabel dan dibutuhkan untuk
mencapai gizi baik untuk semua
orang.

58

Lampiran 2.
Tabel 8 Indikator Kinerja Utama/Output RAN-PG 2015-2019
No
I.

Key Performance Indicator


(Indikator Kinerja Utama/Output)

K/L

2015

2016

Target
2017

2018

2019

Frekuensi
Monitorin
Evaluasi
g

45%

Triwulana
n,
semestera
n

Spesifik

1.
Persentase
Puskesmas
yang
menyelenggarakan kegiatan kesehatan
remaja

Kemenkes

25%

30%

35%

40%

2.
Persentase
Puskesmas
yang
melaksanakan penjaringan peserta didik
kelas 1, kelas 7 dan kelas 10

Kemenkes

30%

40%

50%

55%

60%

Semester
an

3.
Kemenkes

10%

15%

20%

25%

30%

Bulanan,
triwulanan

Kemenkes

13%

50%

65%

80%

95%

Triwulana
n

Kemenkes

72%

74%

76%

78%

80%

Bulanan

yang

Kemenkes

78%

81%

84%

87%

90%

Triwulana
n

Persentase ibu hamil yang mendapatkan


TTD 90 tablet selama masa kehamilan

Kemenkes

82%

85%

90%

95%

98%

Bulanan

Kemenkes

70%

75%

80%

85%

90%

Bulanan,
triwulanan

Persentase
remaja
putri
yang
mendapatkan tablet tambah darah (TTD)
4.

5.

Persentase ibu hamil KEK yang


mendapat
pemberian
makanan
tambahan (PMT)
Persentase ibu hamil yang mendapatkan
pelayanan antenatal minimal empat kali
(K4)

6.
Persentase
Puskesmas
melaksanakan kelas ibu hamil
7.

8.
Persentase balita kurus yang mendapat

Tahunan,
tiga
tahunan
Tahunan,
tiga
tahunan
Tahunan,
tiga
tahunan
Tahunan,
tiga
tahunan
Tahunan,
tiga
tahunan
Tahunan,
tiga
tahunan
Tahunan,
tiga
tahunan
Tahunan,
tiga

59

No

9.
10.
11.

12.

Key Performance Indicator


(Indikator Kinerja Utama/Output)
makanan tambahan
Persentase anak usia 0-11 bulan yang
mendapat imunisasi dasar lengkap

Target

Frekuensi
tahunan

Kemenkes

91%

91.5%

92%

92.5%

93%

Bulanan

Persentase kab/kota yang mencapai


80% imunisasi dasar lengkap pada bayi

Kemenkes

75%

80%

85%

90%

95%

Bulanan

Persentase kab/kota yang mempunyai


kebijakan
kesiapsiagaan
dalam
penanggulangan kedaruratan kesehatan
masyarakat yang berpotensi wabah

Kemenkes

29%

46%

64%

82%

100%

Tahunan

Tahunan

Persentase bayi kurang dari 6 bulan


yang mendapat ASI Eksklusif

Kemenkes

39%

42%

44%

47%

50%

Semester
an

Semester
an,
Tahunan

K/L

Tahunan,
tiga
tahunan
Tahunan,
tiga
tahunan

60

II.
1.

Sensitif
Jumlah peserta olahraga massal,
tradisional, petualang, tantangan dan
wisata (orang)

8.000

8.000

8.000

8.000

8.000

Triwulana
n

BKKBN

50,2

55,5

60,5

65,5

70,5

Triwulana
n

BPOM

58%

63%

63%

63%

63%

Semester
an

Tahunan,
tiga
tahunan

2
(Dit. KP
dan Dit.
PPI)

14

20

26

32

Semester
an

Tahunan

2.
Persentase keluarga yang mempunyai
balita dan anak memahami dan
melaksanakan
pengasuhan
tumbuh
kembang balita dan anak
3.

4.

5.

6.

7.

Persentase
cakupan
pengawasan
sarana produksi Obat dan Makanan
Jumlah sosialisasi terkait Peningkatan
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat pada
media cetak dan elektronik lokal dan
nasional
a. Melalui radio nasional
b. Melalui televisi nasional
c. Melalui konten cetak
d. Melalui indografis
e. Melalui videografis
f. Melalui banner website
g. Melalui banner tabloit Komunika
h. Melalui artikel kesehatan di tabloit
Komunika
Koefisien
variasi
harga
barang
kebutuhan
pokok antar waktu
Koefisien
variasi
kebutuhan
pokok antar wilayah

harga

Kemenkominfo

Kemendag

< 9%

< 9%

< 9%

< 9%

< 9%

Kemendag

< 14,2%

< 14,2%

< 13,8%

< 13,8%

< 13,0%

Kemendag

1000

1000

1000

1000

1000

barang

Jumlah pembangunan/revitalisasi pasar

Tahunan,
tiga
tahunan
Tahunan,
Tiga
Tahunan

Kemenpora

Triwulana
n,
semestera
n
Triwulana
n,
semestera
n
Tahunan

Tahunan

Tahunan
Tahunan

61

II.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.

17.
18.
19.
20.

Sensitif
rakyat
Pengembangan
Industri
Pangan
(komoditi) : Pengolahan Ikan, Tepung,
Gula berbasis Tebu, dan Minyak Nabati
Jumlah pekerja anak yang ditarik dari
Bentuk Pekerja Terburuk Anak (BPTA)
Jumlah Desa Pangan Aman (PAMAN)
Jumlah pasar yang diintervensi menjadi
pasar aman dari bahan berbahaya
Jumlah
kab/kota
yang
sudah
menerapkan Peraturan Kepala BPOM
tentang IRTP
Rata-rata konsumsi ikan per kapita
nasional (Kg/Kap)
Jumlah
keluarga
miskin
yang
mendapatkan bantuan tunai bersyarat
PKH
Persentase Kab/kota yang memiliki
kebijakan perilaku hidup bersih dan
sehat (PHBS)
Jumlah sambungan rumah (SR) bagi
masyarakat
berpenghasilan
rendah
(MBR)
terfasilitasi
pengembangan
jaringan SPAM
Terbangunnya 9.665.920 SR SPAM
perdesaan berbasis masyarakat
Persentase sarana air minum yang
dilakukan pengawasan
Persentase kab/kota yang melaksanakan
kebijakan kawasan tanpa rokok minimal
50% sekolah
Persentase
puskesmas
yang

Kemenperin

Tahunan

Tahunan

Kemenaker

16000

16500

17000

17500

18000

Tahunan

Tahunan

BPOM

100

100

100

100

100

BPOM

77

108

139

170

201

BPOM

20

20

20

20

20

Semester
an
Semester
an

Tahunan
Tahunan

Semester
an

Tahunan

KKP

40,9

43,88

47,12

50,65

54,49

Tahunan

Tahunan,
tiga
tahunan

Kemensos

3.500.00
0

6.000.00
0

7.000.00
0

7.500.00
0

8.000.00
0

Triwulana
n

Tahunan

Kemenkes

40%

50%

60%

70%

80%

Semester
an

Tahunan,
tiga
tahunan

Kemen PU dan
PR

32.000

120.000

136.000

152.000

221.600

Semester
an

Tahunan,
tiga
tahunan

Kemen PU dan
PR

927.360

1.280.00
0

1.920.00
0

2.560.00
0

2.978.56
0

Kemenkes

35%

40%

45%

50%

Kemenkes

10%

20%

30

40

50

Tahunan

Kemenkes

10%

20%

30

40

50

Tahunan

Semester
an
Triwulana
n

Semester
an
Tahunan
Tahunan,
tiga
tahunan
Tahunan,

62

II.
21.
22.
23.
24.

25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.

Sensitif
melaksanakan
pengendalian
PTM
terpadu
Jumlah
kab/kota
yang
terlayani
infrastruktur tempat pemprosesan akhir
sampah (163 kab/kota)
Jumlah kab/kota yang terlayani Instalasi
Pengolahan Lumpur Tinja (222 kab/kota)
Pembinaan, fasilitasi, pengawasan dan
kampanye serta advokasi
Persentase Puskesmas yang melakukan
orientasi
Program
Perencanaan
Persalinan dan Pencegahan Komplikasi
(P4K)
Indeks kesehatan reproduksi remaja
(KRR) melalui generasi berencana
(genre)
Jumlah pelaksanaan kegiatan KIE
pelaksanaan kebijakan pemenuhan hak
anak atas kesehatan dan kesejahteraan
Jumlah
orang
dewasa
mengikuti
pendidikan keayahbundaan/keluarga
Persentase
sekolah
dasar
yang
melaksanakan UKS
Siswa yang mendapatkan program gizi
anak sekolah (progas) (piloting)
Persentase satuan pendidikan agama
dan keagamaan (pendidikan dasar) yang
melaksanakan UKS
Jumlah calon pengantin peserta kursus
bina pra-nikah
Pembinaan keluarga (Sakinah, Sukinah,
Hitasukaya, Kristiani)
Jumlah provinsi dan kabupaten/kota
yang terfasilitasi dalam peningkatan

tiga
tahunan
Kemen PU dan
PR

75

40

16

20

12

Tahunan

Tahunan

Kemen PU dan
PR
Kemen PU dan
PR

40

24

65

52

41

Tahunan

Tahunan

507
kab/kota

507
kab/kota

507
kab/kota

507
kab/kota

507
kab/kota

Tahunan

Tahunan

Kemenkes

77%

83%

88%

95%

100%

Semester
an

Tahunan,
tiga
tahunan

BKKBN

48,4

49

50

51

52

Triwulana
n

Tahunan

Kemen PPPA

Triwulana
n

Tahunan

Kemendikbud

25.500

970.900

1.890.70
0

3.014.90
0

4.343.50
0

Semester
an

Tahunan

Kemendikbud

38.448
siswa

Kemenag

30%

40%

50%

60%

70%

Semester
an

Tahunan

Kemenag

20%

40%

60%

70%

80%

Tahunan

Tahunan

34
Provinsi
34 Prov.
505

34
Provinsi
34 Prov.
505

34
Provinsi
34 Prov.
505

34
Provinsi
34 Prov.
505

34
Provinsi
34 Prov.
505

Tahunan

Tahunan

Semester
an

Tahunan

Kemendikbud

Kemenag
Kemen Desa,
Pembangunan

63

II.

34.
III.
35.

Sensitif
pembardayaan kesejahteraan keluarga
(PKK)
termasuk
penguatan
kelembagaan
posyandu
dalam
pelayanan sosial dasar masyarakat
Persentase Angka Partisipasi Kasar
(APK) PAUD usia 3-6 tahun
Enabling factor
Koordinasi lintas sektor melalui Pokja
Gernas 1000 HPK

36.

37.
38.

39.
40.

Koordinasi lintas sektor melalui Pokja


Gernas 1000 HPK
Jumlah Provinsi yang melaporkan
laporan tahunan pelaksanaan RAN PG
Multi Sektor
Pemantauan, evaluasi dan perumusan
kebijakan ketersediaan dan kerawanan
pangan
(Rekomendasi)
Jumlah advokasi yang dilakukan
Jumlah dunia usaha yang memanfaatkan
CSR-nya untuk program kesehatan

Daerah
Tertinggal dan
Transmigrasi

kab/kota

kab/kota

kab/kota

kab/kota

kab/kota

Kemendikbud

70.1%

72.1%

74.3%

76.4%

78.7%

Semester
an
Triwulana
n,
semestera
n
Triwulana
n,
semestera
n

Tahunan

Bappenas

Bappenas

30

30

34

34

34

Tahunan

Tahunan,
tiga
tahunan

Kementan

31

31

31

31

31

Semester
an

Tahunan

Triwulana
n

Tahunan

12

16

20

Semester
an

Tahunan

Kemenko PMK

Bappenas,
Kemenkes,
Kementan
Dunia usaha,
Kemenkes

Tahunan

Tahunan

Você também pode gostar