Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
TAHUN 2015-2019
ii
I.
KATA PENGANTAR
Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RAN-PG) merupakan Rencana Aksi
Nasional untuk meningkatkan kualitas SDM Indonesia, bercirikan manusia Indonesia yang
cerdas, sehat, produktif dan memiliki daya saing tinggi. Untuk mewujudkan SDM Indonesia
yang berkualitas diperlukan kerjasama berbagai pemangku kepentingan baik pemerintah,
legislatif, dunia usaha, masyarakat madani dan keluarga sebagai ujung tombak terdepan.
Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RAN-PG) Tahun 2015 2019 merupakan
amanat Pasal 63 ayat (3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.
Disamping itu pelaksanaan RAN-PG menjadi bagian penting dari pelaksanaan Pasal 141
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, khususnya mengenai upaya
perbaikan gizi, Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015-2019 dan Peraturan Presiden Nomor 42
Tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi.
RAN-PG tahun 2015-2019 merupakan periode ke-empat (periode pertama tahun
2001-2005, kedua tahun 2006-2010, dan ketiga tahun 2011-2015). Pada periode tahun
2010-2015 pendekatan yang digunakan adalah 5 (lima) Pilar yaitu : (1) Perbaikan Gizi
Masyarkat, (2) Peningkatan Aksesibilitas Pangan yang Beragam, (3) Peningkatan
Pengawasan Mutu dan Keamanan Pangan, (4) Peningkatan Perilaku Hidup Bersih dan
Sehat, dan (5) Kelembagaan.
RAN-PG Tahun 2015-2019 menggunakan pendekatan multisektor yang melibatkan
20 (dua puluh) Kementerian/Lembaga dan 3 (tiga) Kementerian Koordinator. Di dalam
pelaksanaannya tetap menggunakan 5 (lima) pilar yaitu pada Pilar (1) Perbaikan Gizi
Masyarakat terdiri dari Kementerian/Lembaga : Kesehatan, Ketenagakerjaan,
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Desa dan Pembangunan Daerah
Tertinggal dan Transmigrasi, Sosial, dan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana
Nasional (BKKBN); Pilar (2) Peningkatan Aksesibilitas Pangan yang Beragam terdiri dari
Kementerian/Lembaga : Pertanian, Kelautan dan Perikanan, Perindustrian, Perdagangan,
Desa-Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transimigrasi, dan Kementerian Sosial; Pilar
(3) Peningkatan Pengawasan Mutu dan Keamanan Pangan terdiri dari
Kementerian/Lembaga, Pertanian, Kelautan dan Perikanan, Perindustrian, Perdagangan,
dan Badan Pengawasan Obat dan Makanan; Pilar (4) Peningkatan Perilaku Hidup Bersih
dan Sehat terdiri dari Kementerian/Lembaga : Kesehatan, Pendidikan dan Kebudayaan,
Agama, Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Pemuda dan Olahraga, dan Komunikasi
dan Informasi; Pilar (5) Kelembagaan, terdiri dari Kementerian/Lembaga : Perencanaan
Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kemenko Bidang
Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kemenko bidang Perekonomian, Kemenko
bidang Kemaritiman, Kementerian Dalam Negeri, Sekretariat Kabinet, dan Sekretariat
Negara.
Sebagai kelanjutan RAN-PG maka di daerah disusun Rencana Aksi Daerah Pangan
dan Gizi (RAD-PG) yang juga menggunakan pendekatan multisektor. Landasan hukum
RAD-PG di daerah bisa dalam bentuk Peraturan Daerah atau Peraturan Gubernur di
Propinsi dan Peraturan Daerah atau Peraturan Bupati/Walikota di Kabupaten/Kota.
Kami menyampaikan terima kasih kepada seluruh Kementerian/Lembaga yang telah
berpartisipasi dalam penyusunan RAN-PG Tahun 2015-2019 secara baik. Dokumen RANPG tahun 2015-2019 ini merupakan bagian dari pertanggungjawabkan dari Direktorat
Kesehatan dan Gizi Masyarakat, Bappenas dalam Kegiatan Koordinasi Strategis
Percepatan Perbaikan Gizi Tahun 2015. Kami menyadari dokumen ini belum sepenuhnya
sempurna sehingga sekiranya ada masukan akan kami jadikan bahan untuk perbaikan
selanjutnya. Semoga seluruh upaya kita ini bermanfaat untuk kesejahteraan bangsa
Indonesia.
Jakarta,
Desember 2015
iii
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................ii
DAFTAR ISI............................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR.....................................................................................................v
DAFTAR SINGKATAN...............................................................................................vi
GLOSSARY............................................................................................................. viii
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................1
1.1
Latar Belakang..............................................................................................1
1.2
Tujuan RAN-PG............................................................................................2
2.2.
Analisis Kausalitas..................................................................................10
2.3.
2.4.
Konteks Kebijakan...................................................................................16
2.5.
3.2.
3.3.
3.4.
3.5.
Penguatan RAN-PG................................................................................42
Kerangka Kelembagaan..........................................................................44
4.2.
4.3.
Anggaran Indikatif...................................................................................47
4.4.
4.5.
4.6.
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................50
LAMPIRAN............................................................................................................... 50
DAFTAR TABEL
Tabel 1
Tabel 2
Tabel 3
Tabel 4
Tabel 5
Tabel 6
Tabel 7
Tabel 8
Tabel 9
7
16
29
29
42
48
54
58
62
vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1
Gambar 2
Gambar 3
Gambar 4
4
5
7
8
Gambar 5
Gambar 6
Gambar 7
Gambar 8
9
9
11
11
Gambar 9
15
Gambar 10
Gambar 11
Gambar 12
26
27
37
vii
DAFTAR SINGKATAN
AEC
AIDS
AKG
APBD
APBN
API
APK
ASEAN
ASI
Bansos
Bappenas
BB
BB/U
BBLR
BKKBN
BKP
BOK
BOP
BPOM
BPS
CRF
CSR
DAK
Desa PAMAN
DFI
GDP
Gernas
HIV
HPK
IBI
IMD
IMT
ISPA
IRTP
IUGR/PJT
KB
KEK
Kemen PPPA
Kemen PU dan PR
Kemenaker
Kemendag
Kemendagri
Kemendikbud
Kemenkes
Kemenko PMK
Kebudayaan
&
viii
Kemenkominfo
Kemenperin
Kemenpora
Kemensos
Kementan
KIE
KKP
MP ASI
PAUD
Pergizi Pangan
Persagi
PHLN
PKH
PKK
PTM
PPH
Riskesdas
RPJMN
RPJPN
SDGs
SKPG
SUN
Susenas
TB
TB/U
UNICEF
WHO
WUS
ix
GLOSSARY
1000 Hari
Kehidupan
Pertama :
AKG
Anemia
ASI Eksklusif
BBLR
Diversifikasi Pangan
Double Burden
Malnutrition
Gizi kurang
Gizi Seimbang
IMT
Keamanan Pangan
Konsumsi Kalori
Konsumsi Pangan
Kurus
Overweight
Pangan
Pendek
Skor PPH
Status gizi
WUS
BAB I
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Pembangunan sumber daya manusia (SDM) merupakan hal mendasar yang
diamanatkan oleh konstitusi dalam pembangunan nasional. Oleh karena itu, pembangunan
SDM selalu menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional dari periode ke periode.
Selain itu. Salah satu aspek mendasar dalam membangun SDM Indonesia berkualitas dan
berdaya saing tinggi adalah pembangunan pangan dan gizi untuk meningkatkan kualitas
hidup, produktivitas dan kemandirian nasional.
Pembangunan pangan dan gizi merupakan rangkaian aktivitas pembangunan
multisektor, mulai dari aspek produksi pangan, distribusi, keterjangkauan, konsumsi sampai
pada aspek pemanfaatan yang mempengaruhi status gizi. Pembangunan pangan dan gizi
pada seluruh aspek tersebut memerlukan dukungan multisektor diantaranya Kementerian
Pertanian, Kementerian Kesehatan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan,
Kementerian Sosial, Kementerian Agama, Kementerian Pemuda dan Olahraga,
Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian
Ketenagakerjaan, Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, dan
Transimigrasi, Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional, dan Badan Pengawas
Obat dan Makanan.
Di dalam perencanaan, monitoring dan evaluasi memerlukan koordinasi dari
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan dan Pembangunan
Nasional, dan di dalam pelaksanaan memerlukan koordinasi dari Kementerian Koordinator
bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kementerian Koordinator bidang
Perekonomian, dan Kementerian Koordinator bidang Kemaritiman, dan di dalam
pelaksanaan di daerah memerlukan koordinasi dari Kementerian Dalam Negeri. Selain itu
kelembagaan juga melibatkan Sekretariat Kabinet dan Sekretariat Negara.
Indonesia saat ini mengalami beban gizi ganda (double burden malnutrition) yaitu
masih tingginya masalah kekurangan gizi dan kelebihan gizi pada semua siklus kehidupan.
Beban gizi ganda tersebut terutama berawal dari kekurangan dan kelebihan gizi pada fase
awal kehidupan yang memicu berbagai konsekuensi pada usia dewasa 1. Riskesdas tahun
2013 menunjukkan tidak adanya perbaikan status gizi dari berbagai upaya yang dilakukan
selama ini yang diindikasikan dengan peningkatan stunting pada anak balita dari 35,6
persen tahun 2010 menjadi 37,2 persen tahun 2013. Sementara itu gizi lebih (overweight)
tidak menunjukkan perbaikan yang bermakna meskipun menurun dari 12,2 persen tahun
2010 menjadi 11,9 persen tahun 2013.
Kekhawatiran terhadap perkembangan kualitas SDM yang diakibatkan oleh beban
gizi ganda diawali oleh masalah gizi pada usia dini terutama pada 1000 Hari Pertama
Kehidupan (HPK) sejak kehamilan sampai usia anak 2 tahun. Oleh karena itu fokus
perbaikan gizi ke depan diprioritaskan pada 1000 HPK tanpa meninggalkan siklus hidup
lainnya. Hal ini sejalan dengan komitmen global yang menekankan pentingnya negara
negara memperhatikan masalah gizi pada periode 1000 HPK tersebut.
Dalam rangka mengintegrasikan dan menyelaraskan perencanaan pangan dan gizi
secara multisektor dalam skala nasional dan daerah, maka diperlukan rencana aksi pangan
dan gizi di Pusat dan Daerah. Hal ini sejalan dengan pasal 63 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan yang mengamanatkan Pemerintah dan Pemerintah
Daerah menyusun Rencana Aksi Pangan dan Gizi setiap 5 (lima) Tahun. Penyusunan
Rencana Aksi Pangan dan Gizi di Pusat dan Daerah juga merupakan implementasi dari
percepatan perbaikan gizi sebagaimana termaktub dalam RPJMN 2015-2019.
1
Shrimpton & Rokx. 2012. The Double Burden of Malnutrition A Review of Global Evidence, Roger Shrimpton and
Claudia Rokx, World Bank, HNP Discussion Paper, November 2012
I.2
Tujuan RAN-PG
RAN-PG bertujuan untuk :
1. Mengintegrasikan dan menyelaraskan perencanaan pangan dan gizi nasional
melalui koordinasi program dan kegiatan multisektoral;
2. Meningkatkan pemahaman, peran dan komitmen Pemangku Kepentingan
Pangan dan Gizi untuk mencapai Kedaulatan Pangan serta Ketahanan Pangan
dan Gizi.
3. Memberikan panduan bagi Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam
melaksanakan rencana aksi Pangan dan Gizi dengan menggunakan pendekatan
multisektor; dan
4. Memberikan panduan bagi Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam
melaksanakan pemantauan dan evaluasi rencana aksi Pangan dan Gizi;
1.3.
BAB II
PERANAN PANGAN DAN GIZI DALAM PEMBANGUNAN
2.1.
Situasi Pangan
Situasi pangan sebagai indikasi posisi ketahanan pangan nasional dapat
diperlihatkan melalui empat indikator utama, yaitu produksi dan impor untuk
menggambarkan situasi ketersediaan, harga pangan sebagai indikasi kondisi distribusi dan
juga akses masyarakat terhadap pangan yang aman, serta tingkat konsumsi pangan aman
yang menunjukkan tingkat pemanfaatan pangan oleh masyarakat. Keempat indikator
tersebut sangat penting dan mempunyai keterkaitan di dalam menganalisa situsi pangan,
sehingga tidak dapat hanya merujuk kepada satu indikator untuk menyimpulkan kondisi
ketahanan pangan, baik secara nasional maupun daerah. Sebagai contoh, tingginya
produksi pangan di suatu daerah tidak serta merta dapat menunjukkan bahwa daerah
tersebut telah tahan pangan, karena indikator lain seperti harga dan tingkat konsumsi juga
harus diperhitungkan. Demikian juga untuk daerah yang bukan sentra produksi, sangat
memungkinkan daerah tersebut tahan pangan karena didukung dengan kelancaran
perdagangan antar daerah, harga pangan yang stabil, penduduk dapat mengkonsumsi
pangan beragam dan bergizi. Meskipun demikian, potensi kerentanan juga sangat tinggi
karena daerah tersebut sangat tergantung dengan pasokan pangan dari daerah sentra
produksi. Di sisi lain, tingginya produksi atau ketersediaan pangan disuatu daerah, jika tidak
memperhatikan faktor keamanan pangan, akan banyak menimbulkan masalah kesehatan,
bahkan dapat mempengaruhi status gizi masyarakat.
dengan skala besar sehingga diharapkan dapat menjamin pasokan sapi dan selanjutnya
daging sapi ke depan.
Konsumsi Pangan
Sebagai indikator terakhir dari situasi pangan nasional adalah keragaan konsumsi
pangan penduduk sebagai gambaran bagaimana pangan yang tersedia dapat diakses dan
dimanfaatkan oleh penduduk. Dalam sepuluh tahun terakhir pengeluaran untuk bahan
makanan penduduk masih sekitar 50 persen, dimana pada satu sisi dapat menjelaskan
bahwa secara nilai konsumsi pangan sangat penting bagi penduduk. Pada tahun 2014,
pengeluaran rata-rata per kapita dalam sebulan untuk bahan makanan mencapai 46,45
persen dengan proporsi pengeluaran untuk kelompok makanan bersumber padi-padian
sebesar 6,83 persen dan makanan jadi 12,56 persen. Dari keragaan tersebut terlihat bahwa
terjadi perubahan pola konsumsi dari sisi habit, yaitu meningkatnya konsumsi bahan
makanan jadi. Sementara dari sisi jenis pangan, konsumsi penduduk masih didominasi
dengan jenis pangan bersumber padi-padian, meskipun kecenderungannya terus menurun
dalam sepuluh tahun terakhir. Adapun konsumsi pangan bersumber ikan dan daging masih
relatif rendah, yaitu masing-masing 3,94 persen dan 1,93 persen.
Tabel 1. Pola Konsumsi Pangan Tahun 2014
2014
Proporsi Total
Kelompok Pangan
(Perhitungan
Energi
Sementara)
1170
59,48
Padi-padian
38
1,93
Umbi-umbian
183
9,30
Pangan hewani
244
12,40
Minyak dan lemak
38
1,93
Buah/biji berminyak
57
2,90
Kacang-kacangan
91
4,63
Gula
110
5,59
Sayur dan buah
36
1,83
Lain-lain
1967
100,00
Total Energi
55,9
Total Protein
81,8
SKOR PPH
Sumber: Kementerian Pertanian
Keragaan pengeluaran konsumsi rata-rata perkapita tersebut selanjutnya dapat
dikaitkan dengan analisa kondisi konsumsi pangan sumber energi. Adapun konsumsi
pangan bersumber padi-padian diperkirakan masih mencapai 59,48 persen dari total
konsumsi energi penduduk pada tahun 2014 sebagaimana diuraikan dalam Tabel 1. Hal ini
tidak terlepas dari kondisi dimana beras masih mendominasi konsumsi pangan masyarakat
sebagai sumber karbohidrat. Seperti terlihat dari proporsi konsumsi pangan bersumber
umbi-umbian yang hanya sebesar 1,93 persen. Kondisi yang lebih baik ditunjukkan dengan
keragaan konsumsi pangan bersumber pangan hewani dan dan bersumber sayur-buah
yang masing-masing dapat mencapai 9,30 persen dan 5,59 persen.
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam konsumsi pangan adalah konsumsi pangan
yang tidak aman akan berdampak buruk bagi kesehatan masyarakat, termasuk dapat
menyebabkan gangguan gizi kronis yang berlangsung lama atau kegagalan pertumbuhan
jangka panjang yang bersifat irreversible bagi individu dan masyarakat.
Situasi Gizi
Dalam RPJMN tahun 2010-2014 telah ditetapkan sasaran yang akan dicapai untuk
indikator gizi adalah prevalensi balita gizi kurang (underweight) berdasarkan berat badan
terhadap umur (BB/U) sekurang-kurangnya 15 persen dan prevalensi balita pendek
(stunting) yang dilihat dari indikator tinggi badan menurut umur (TB/U) sebesar 32 persen
(RPJMN 2010-2014). Namun hasil survei Riskesdas pada tahun 2013 memperlihatkan tren
yang kurang menggembirakan.
Gambar 4 memperlihatkan tren prevalensi balita gizi kurang dan gizi buruk (BB/U)
berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2007, 2010, dan 2013. Pada gambar terlihat sempat
terjadi sedikit penurunan prevalensi balita gizi kurang pada tahun 2010, namun pada tahun
2013 terjadi peningkatan menjadi 19,6 persen. Prevalensi balita gizi kurang pada tahun
2013 tersebut semakin jauh dari target RPJMN yang harus dicapai pada tahun 2014, yaitu
15 persen. Dengan demikian, penanganan gizi kurang pada balita masih harus terus
diupayakan untuk mencapai target RPJMN tahun 2019 yaitu 17 persen.
Gambar 4. Tren Anak Balita Pendek, Kurang Gizi, dan Kurus Tahun 2007-2013
dan Target RPJMN Tahun 2014
Victora CG, Adair L, Fall C, Hallal PC, Martorell R, Richter L, et al. Maternal and child undernutrition: consequences for
adult health and human capital. Lancet.2008;371:340-57.
Prevalensi balita pendek sebesar 37,2 persen terdiri dari 18,0 persen sangat pendek dan
19,2 persen pendek. Prevalensi balita sangat pendek mencapai setengah dari prevalensi
balita yang tergolong stunting. Untuk usia bayi di bawah dua tahun (baduta) diketahui
terdapat 32,9 persen yang mengalami stunting.Hasil tersebut memperlihatkan bahwa
Indonesia masih harus bekerja keras untuk mencapai target penurunan prevalensi baduta
stunting yang ditargetkan pada RPJMN 2015-2019, yaitu sebesar 28 persen.
Gambar 5. Prevalensi Balita Pendek dan Sangat Pendek (stunting)
37,2
36,8
Kep.Riau
DIY
DKI
Kaltim
Babel
Bali
Banten
Sulut
Jabar
Jatim
Sumsel
Jateng
Riau
Indonesia
Jambi
Kalbar
Gorontalo
Sumbar
Bengkulu
Papua
Maluku
Sulsel
Malut
Sulteng
Kalteng
Aceh
Sumut
Sultra
Lampung
Kalsel
Pabar
NTB
Sulbar
NTT
70,0
60,0
50,0
40,0
30,0
20,0
10,0
0,
Keterangan
= 2007;
= 2010; dan
= 2013
10
neonatal di Indonesia disebabkan oleh kekurangan suplementasi zat besi dan folat selama
dalam kandungan (Riskesdas, 2013). Kondisi ini diperburuk dengan cakupan ASI eksklusif
yang masih jauh dari target yang ditetapkan yaitu sebesar 38 persen dari 80 persen yang
ditargetkan. Padahal ASI eksklusif merupakan makanan terbaik bagi bayi untuk mencegah
terjadinya dampak yang lebih buruk pada masa yang akan datang.
Kondisi beban gizi ganda yang selama ini dikhawatirkan terlihat semakin nyata.
Selain kasus stunting yang meningkat, adanya potensi stunting berdasarkan kasus BBLR
dan rendahnya status gizi wanita usia subur dan ibu hamil, terdapat kecenderungan
peningkatan kasus obesitas dan berat badan lebih yang tinggi pada usia dewasa (>18
tahun). Riskesdas tahun 2007 dan 2013 menunjukkan terjadi peningkatan persentase
obesitas pada wanita dan laki-laki. Pada tahun 2007 terdapat 14,8 persen wanita
mengalami obesitas dan angka ini meningkat menjadi 32,9 persen pada tahun 2013. Pada
laki-laki dewasa, kasus obesitas meningkat dari 13,9 persen pada tahun 2007 menjadi 19,7
persen pada tahun 2013. Begitupun dengan kasus obesitas sentral yang meningkat dari
18,8 persen (Riskesdas, 2007) menjadi 26,6 persen (Riskesdas, 2013). Adanya beban gizi
ganda dapat meningkatkan risiko kesehatan, menurunkan produktivitas, dan berdampak
pada kapasitas pendidikan serta kesejahteraan ekonomi. Dengan demikian diperlukan
adanya upaya yang berfokus pada upaya preventif dengam memperbaiki status gizi wanita
usia subur dan mengupayakan perbaikan gizi terutama pada 1000 HPK dalam menghadapi
permasalahan tersebut.
2.2.
Analisis Kausalitas
Gambar 7 mengilustrasikan konsep terjadinya masalah gizi secara umum, dengan
penekanan pada balita. Kerangka tersebut memperlihatkan jalur terjadinya suatu keadaan
salah gizi/malnutrition. Dua faktor langsung yang mempengaruhi status gizi adalah
kecukupan konsumsi dan status kesehatan/kejadian infeksi. Keduanya saling
mempengaruhi dan berinteraksi, yaitu pada anak yang kekurangan gizi maka daya tahannya
akan turun sehingga akan mudah menderita penyakit infeksi, selanjutnya jatuh pada kondisi
malnutrition, sebaliknya seorang anak yang menderita penyakit infeksi akan mengalami
kekurangan asupan karena nafsu makan yang rendah dan meningkatnya kebutuhan zat gizi
akibat penyakit pada keadaan malnutrition. Tidak adekuatnya asupan makanan dan
terjadinya penyakit infeksi sangat dipengaruhi oleh pola asuh yang diberikan ibu atau
pengasuh anak. Pola asuh ibu atau pengasuh sangat dipengaruhi oleh pendidikan ibu
karena menentukan pemahaman ibu terhadap pola asuh anak yang baik. Dengan demikian
ada faktor-faktor lain diluar faktor kesehatan yang berpengaruh terhadap kedua faktor
penyebab langsung salah gizi, yang dikategorikan sebagai faktor penyebab tidak langsung
dan faktor dasar.
Faktor penyebab tidak langsung yang mempengaruhi status gizi, adalah: 1)
Ketahanan pangan keluarga yang menentukan kecukupan konsumsi setiap anggota
keluarga; 2) pola asuh yang menentukan kecukupan zat gizi yang antara lain terdiri dari
pemberian ASI eksklusif pada anak 0-6 bulan, pemberian makanan pendamping ASI pada
anak 6 bulan-2 tahun, dan penyiapan makanan secara higienis; serta 3) pemanfaatan
pelayanan kesehatan saat sakit dan akses terhadap lingkungan yang bersih. Kecukupan
konsumsi dipengaruhi oleh ketahanan pangan di tingkat keluarga dan pola asuh, sementara
itu penyakit infeksi dipengaruhi oleh pelayanan kesehatan seperti imunisasi, kualitas
lingkungan hidup, ketersediaan air bersih, sanitasi, dan perilaku hidup bersih dan sehat.
Sementara itu, faktor yang mendasari faktor langsung dipengaruhi oleh akar masalah,
adalah pendidikan, kelembagaan, politik dan ideologi, kebijakan ekonomi, sumber daya
lingkungan, teknologi, dan penduduk (UNICEF, 1991).
Gambar 7. Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi
11
Spears D. 2013. How much international variation in child height can sanitation explain? Water and Sanitation Policy
Research Working Paper No 6351. Washington: World Bank.
12
penyerapan zat gizi atau malabsorbsi. Selain penyakit infeksi, faktor yang secara langsung
mempengaruhi status gizi adalah kecukupan konsumsi.
Di dalam mengatasi masalah gizi maka perlu memperhatikan continum of care, mulai
dari 1000 Hari Pertama Kehidupan, anak balita, remaja, dewasa, sampai dengan usia lanjut.
Meskipun 1000 Hari Pertama Kehidupan merupakan fokus dari percepatan perbaikan gizi,
tetapi usia remaja menjadi satu faktor penting yang perlu diperhatikan, khususnya
kehamilan pada usia remaja. Kehamilan pada remaja penting diperhatikan oleh karena
konsekuensi yang mungkin terjadi.
Secara umum, sebagian besar perempuan selesai pertumbuhannya saat berusia
rata-rata 18 tahun, dalam hal ini proses pertumbuhan tinggi badan dan panggulnya serta
organ reproduksinya telah selesai. Sementara, menstruasi bukan menandakan selesainya
pertumbuhan, karena seorang anak yang sudah mengalami menstruasi masih bertumbuh
tinggi badannya dan tulang panggulnya sampai beberapa tahun setelah menstruasi
pertama. Oleh karena itu, seorang anak yang belum selesai pertumbuhannya dan
mengalami kehamilan, berarti dia dihadapkan pada situasi dimana terjadi persaingan untuk
pemenuhan kebutuhan gizi bagi pertumbuhan janinnya dan pertumbuhan dirinya sendiri
yang belum selesai. Akibatnya pertumbuhan dan perkembangan janinnya dan dirinya sendiri
terhambat, dengan berbagai risikonya. Kondisi ini dapat diperburuk bila remaja yang
menikah pada usia muda mempunyai status gizi kurang, sehingga risiko terhadap diri dan
bayinya semakin tinggi. Berbagai studi kohort yang dilakukan di berbagai negara
menunjukkan bahwa anak yang dilahirkan oleh ibu dengan usia yang terlalu muda (< 20
tahun) lebih berisiko mengalami BBLR, yang berisiko tumbuh menjadi anak yang pendek
pada usia dua tahun dan memiliki prestasi sekolah yang lebih buruk, dibandingkan dengan
anak yang dilahirkan oleh ibu dengan usia 20-24 tahun.
2.3.
13
pemenuhan gizi bagi penduduk dan selanjutnya dapat meningkatkan kualitas sumber daya
manusia secara lebih menyeluruh.
Dampak kekurangan pangan akan menimbulkan berbagai bentuk kekurangan gizi
yang selanjutnya menimbulkan kerentanan terjadinya penyakit menular. Kekurangan
pangan yang cukup lama terutama dalam 1000 Hari Pertama Kehidupan yang diikuti oleh
permasalahan pada faktor-faktor determinan masalah gizi, maka akan menimbulkan
masalah gizi diantaranya stunting yang kemudian rentan menyebabkan penyakit tidak
menular.
Konsumsi makanan yang lebih besar dari pada pengeluaran energi akan
menimbulkan kelebihan gizi yang menjadi salah satu pemicu berbagai penyakit tidak
menular. Sejak tahun 1990 sampai dengan saat ini prevalensi penyakit tidak menular terus
meningkat dari semula 37 persen (tahun 1990) dan menjadi 58 persen (tahun 2010). Oleh
karena itu selama 2 dekade terakhir ini pola penyakit berubah dan menyebabkan beban
kesehatan ganda. Di satu sisi terdapat permasalahan penyakit menular yang belum
tertangani dengan baik, seperti tinggi badan, malaria, dan HIV, kusta, filariasis, dan sindrom
pernafasan akut. Namun pada saat yang sama terjadi pergeseran peningkatan penyakit
tidak menular seperti penyakit jantung, diabetes, dan demensia. Oleh karena itu diperlukan
upaya untuk mengatur konsumsi pangan yang berlebihan melalui perilaku konsumsi gizi
seimbang.
Peran dan Dampak Gizi dalam Pembangunan
Fokus perbaikan gizi adalah 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) yang terdiri dari
270 hari masa kehamilan dan 730 hari yaitu sampai anak berusia 2 tahun. Periode ini sering
disebut periode emas, atau dikenal sebagai window of opportunity. Maknanya adalah
kesempatan untuk meningkatkan mutu SDM di masa yang akan datang ternyata sangat
sempit, yaitu 1000 hari.
Rentang 1000 hari pertama kehidupan merupakan periode yang sensitif, karena
akibat yang ditimbulkan terhadap bayi pada masa ini akan bersifat permanen dan tidak
dapat dikoreksi. Banyak yang berpendapat bahwa ukuran fisik, termasuk pendek dan
gemuk, dan risiko penyakit tidak menular sangat erat hubungannya dengan faktor genetik,
dengan demikian ada anggapan tidak banyak yang dapat dilakukan untuk memperbaikinya.
Namun berbagai bukti ilmiah dari banyak penelitian dan lembaga riset gizi dan kesehatan
terbaik di dunia telah mengubah paradigma tersebut. Diketahui bahwa faktor lingkungan
sejak konsepsi sampai usia 2 tahun merupakan penyebab terpenting ukuran tubuh pendek,
gemuk, dan penyakit degeneratif, dan indikator kualitas hidup lainnya (Hales, 2001).
Profesor David Barker menyimpulkan hipotesis The fetal origins of disease yang
menyatakan kondisi kurang gizi semasa janin dapat menyebabkan perubahan struktur dan
metabolisme tubuh secara permanen (Barker, 1998). Saat ini berkembang teori
developmental plasticity, yaitu janin sangat fleksibel atau plastis terhadap lingkungan,
termasuk lingkungan gizi. Perubahan tersebut merupakan interaksi antara gen dengan
lingkungan barunya. Lingkungan gizi yang buruk pada masa janin menyebabkan janin
mengalami reaksi penyesuaian yang dapat meliputi perlambatan pertumbuhan dengan
pengurangan jumlah dan pengembangan sel-sel tubuh pembentuk organ, seperti otak dan
organ lainnya. Saat bayi dilahirkan, sebagian besar perubahan tersebut bersifat menetap
dan selesai, kecuali beberapa fungsi, yaitu perkembangan otak dan imunitas yang berlanjut
sampai beberapa tahun pertama kehidupan bayi. Perubahan tersebut bersifat irreversible
atau permanen, sekali perubahan tersebut terjadi maka tidak dapat kembali ke keadaan
semula. Hasil reaksi penyesuaian tersebut diekspresikan pada usia selanjutnya dalam
bentuk tubuh pendek serta rendahnya kemampuan kognitif akibat pertumbuhan dan
perkembangan otak yang tidak optimal. Reaksi penyesuaian tersebut akan berakibat pada
salah gizi/malnutrition pada usia anak-anak yang cenderung meningkatkan risiko kelebihan
gizi dan obesitas pada usia dewasa dan berdampak pada meningkatnya risiko menderita
PTM seperti diabetes, penyakit jantung koroner, dan stroke pada usia dewasa (Hales, 2001)
(Bappenas, 2013).
14
Sebelumnya telah disebutkan adanya hubungan antara masalah gizi kurus, pendek,
atau pendek-kurus pada masa balita dengan tubuh pendek dan gemuk ketika dewasa.
Peningkatan risiko penyakit tidak menular bermula saat proses tumbuh kembang janin
hingga usia 2 tahun. Apabila lingkungan anak, termasuk lingkungan gizi, dan asupan
makan anak baik, maka anak akan tumbuh dengan normal hingga dewasa sesuai dengan
faktor keturunan atau gen yang sudah diprogram dalam sel. Namun apabila terdapat
gangguan, salah satunya akibat kurang gizi maka proses pertumbuhannya akan terganggu.
Akibatnya terjadi ketidaknormalan dalam bentuk tubuh pendek, meski faktor gen dalam sel
menunjukkan potensi untuk tumbuh normal (Barker, 2012). Penelitian terbaru menyimpulkan
pertumbuhan yang lambat pada bayi dan pertambahan berat badan yang cepat pada masa
anak-anak (mismatch) berdampak pada peningkatan risiko menderita PTM seperti diabetes
(WHO, 2003). Di Indonesia dan di negara berkembang lainnya, gangguan pertumbuhan
tidak hanya dikarenakan lingkungan gizi, namun juga dikarenakan faktor lingkungan lainnya.
Masalah gizi 1000 HPK diawali dengan perlambatan atau retardasi pertumbuhan
janin yang dikenal dengan pertumbuhan janin terhambat atau Intra Uterine Growth
Restriction (IUGR). Sejumlah 20 persen kasus IUGR dikarenakan pertambahan berat badan
saat kehamilan yang rendah dan lainnya dikarenakan status gizi ibu yang tidak memadai
saat memasuki usia kehamilan. Di negara berkembang, kurang gizi yang terjadi pada ibu
sebelum dan saat kehamilannya dapat mengakibatkan hambatan pertumbuhan janin yang
berdampak pada BBLR. Prevalensi BBLR di Indonesia masih tinggi, hasil Riskesdas
memperlihatkan hanya sedikit penurunan BBLR, yaitu 11,1 persen (tahun 2010)
dibandingkan 10,2 persen (tahun 2013). Sebagian besar kasus BBLR di negara
berkembang dikarenakan IUGR, berbeda dengan di negara maju yang lebih banyak
dikarenakan prematuritas. Sebagian kondisi IUGR berkaitan dengan status gizi ibu. Ibu
malnutrisi saat prahamil mengalami kesulitan untuk mencapai kenaikan berat badan ideal
yang harus dicapai, sebab ibu dengan status gizi lebih rendah harus mencapai kenaikan
berat badan yang lebih tinggi. Selain itu, ibu yang bertubuh pendek juga cenderung
melahirkan bayi BBLR. Dalam jangka pendek IUGR berakibat pada gangguan pertumbuhan
dan perkembangan otak. Dalam jangka panjang dapat berdampak pada menurunnya
kemampuan kognitif, tubuh yang pendek, dan peningkatan risiko penyakit degeneratif pada
usia dewasa. Lebih jauh lagi, ternyata orang dewasa yang bertubuh pendek saat berusia 2
tahun cenderung tumbuh sebagai orang dewasa yang pendek, dan apabila hal tersebut
terjadi pada wanita yang akan memasuki masa kehamilan, ditambah dengan lingkungan gizi
yang buruk, akan mengulang permasalahan yang sama, sebagaimana ditampilkan pada
Gambar 9. Gambar tersebut juga memperlihatkan penyebab terjadinya beban gizi ganda
(double burden) dimana terjadi kondisi kekurangan dan kelebihan gizi pada satu populasi,
yaitu kurang gizi pada fase awal kehidupan yang memicu kelebihan gizi pada usia dewasa.
Gambar 9. Dampak Jangka Pendek dan Jangka Panjang
Akibat Gangguan Gizi pada Masa Janin4
15
Gambar 9 menunjukkan dampak jangka pendek dan jangka panjang yang berakibat
pada menurunnya kualitas SDM. Gangguan jangka pendek berupa gangguan tumbuh
kembang pada jangka panjang dapat menurunkan kualitas hidup dikarenakan penurunan
kemampuan kognitif, peningkatan risiko penyakit degeneratif, hingga malnutrisi
antargenerasi dikarenakan stunting. Dampak yang dirasakan tentu dapat mengakibatkan
konsekuensi ekonomi berupa kerugian akibat biaya kesehatan yang harus ditanggung dan
penurunan produktivitas masyarakat. Penelitian terakhir mengungkapkan adanya hubungan
antara stunting dengan kemampuan kognitif. Disebutkan bahwa anak yang pendek memiliki
IQ yang lebih rendah 5 10 poin dibandingkan dengan anak dengan status gizi baik.
Diketahui pada daerah endemis GAKI di Indonesia, anak yang stunting 9 kali lebih berisiko
memiliki IQ dibawah rata-rata (Puspitasari, 2011).
Nutrition Global Report menyebutkan bahwa hasil survei di 40 negara
memperlihatkan bahwa untuk setiap dolar, rupee, birr, atau peso yang diinvestasikan untuk
perbaikan gizi akan menghasilkan 16 kali senilai mata uang tersebut di masa yang akan
datang. Sedangkan untuk Indonesia sendiri untuk setiap USD 94.83 yang dikeluarkan bagi
setiap anak untuk mencegah stunting, akan menghasilkan keuntungan ekonomi sebesar
USD 4,522 pada masa yang akan datang, sehingga rasio keuntungan yang akan diperoleh
adalah 48 kali dari biaya yang dikerluakan (Hoddinott, 2013).
Gizi berperan penting dalam pembangunan dan sudah sepatutnya menjadi prioritas
agenda pembangunan pasca 2015. Tujuan pembangunan berkelanjutan Sustainable
Development Goals (SDGs) merupakan fokus pembangunan yang akan diusahakan
semaksimal mungkin untuk dicapai pada tahun 2030, investasi gizi dapat berkontribusi pada
pencapaian SDGs, begitupun sebaliknya jika SDGs tercapai maka akan berkontribusi
terhadap perbaikan gizi, sebagaimana terlihat pada lampiran.
16
Konteks Kebijakan
Komitmen Indonesia untuk memperbaiki permasalahan pangan dan gizi dituangkan
dalam berbagai kebijakan yang berorientasi pada ketahanan pangan dan gizi. Landasan
kebijakan program pangan dan gizi dalam jangka panjang dirumuskan dalam UndangUndang Nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
(RPJPN) tahun 2005-2025. Ketahanan pangan, kesehatan dan gizi termasuk dalam prioritas
pembangunan di antara sebelas prioritas pembangunan nasional. Pendekatan multisektor
17
dalam pembangunan pangan dan gizi meliputi produksi, pengolahan, distribusi, hingga
konsumsi pangan, dengan kandungan gizi yang cukup, seimbang, dan terjamin
keamanannya (Bappenas, 2013).
Tahapan RPJPN dilaksanakan selama lima tahunan yang perencanaannya
dirumuskan pada RPJMN. RPJMN tahun 2015-2019 yang ditetapkan dalam Peraturan
Presiden Nomor 2 Tahun 2015 telah dapat menjadi landasan yang kuat untuk melaksanakan
program pangan dan perbaikan gizi. Lebih operasional lagi, RPJMN diimplementasikan
dalam Rencana Strategis Kementerian Lembaga (Renstra K/L) yang dituangkan dalam
Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan di tingkat daerah dituangkan dalam Rencana Kerja
Pemerintah Daerah (RKPD).
Regulasi terkait pangan terdapat pada Undang-Undang Nomor 18 tahun 2012
tentang Pangan. Undang-Undang ini tidak hanya memperkuat ketahanan pangan, tetapi
juga fokus untuk memenuhi kecukupan dan kedaulatan pangan dalam rangka mencapai
ketahanan pangan dan gizi nasional yang lebih baik pada tingkat komunitas, rumah tangga,
dan individu. Upaya dan tanggung jawab pemerintah dalam perbaikan gizi dicantumkan
pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Undang-Undang tersebut
mendasari upaya perbaikan gizi yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan termasuk
diperlukan adanya upaya lintas sektor. Untuk mengimplementasikan Undang-Undang No 18
tahun 2012 telah diterbitkan Peraturan Pemerintah No 17 Tahun 2015 tentang Ketahanan
Pangan dan Gizi. Selain itu juga terdapat Peraturan Pemerintah No 28 Tahun 2004 tentang
Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan.
Peraturan Presiden No. 42 tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan
Perbaikan Gizi merupakan regulasi penting dalam perbaikan pangan dan gizi. Regulasi ini
sejalan dengan SUN Movement dan Indonesia telah menjadi anggota SUN Movement
sejak Desember 2011. Sebagai tindak lanjut untuk mengoperasionalisasikan Gerakan
Nasional Percepatan Perbaikan Gizi, telah dibentuk kelompok kerja (Pokja), dan disusun
mekanisme monitoring dan evaluasi. Operasionalisasi pelaksanaan kegiatan Pokja Gernas
1000 HPK dituangkan melalui Keputusan Menkokesra No 11 tahun 2014 yang anggotanya
ditetapkan melalui SK Deputi bidang Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan Bappenas No
37/DI/06/2014.
Dalam skala global terjadi perubahan ketahanan pangan menjadi ketahanan pangan
dan gizi. Dengan demikian pengertian ketahanan pangan dan gizi menjadi yaitu Keamanan
pangan akan terjadi ketika semua orang, pada semua waktu, memiliki akses fisik dan
ekonomi terhadap makanan yang bergizi, aman, dan mencukupi kebutuhan gizinya dan
preferensi makanan untuk hidup dengan aktif dan sehat (FAO, 1996).
Pada tataran program terdapat berbagai kebijakan yang digulirkan untuk mendukung
program gizi, untuk mencapai konsumsi yang adekuat terdapat beberapa program yang
telah digulirkan, program untuk mendukung konsumsi yang tepat dan peningkatan akses
terhadap pangan.
Kebijakan terkait Produksi Pangan
Peningkatan kapasitas produksi ditujukan untuk meningkatkan ketersediaan pangan.
Pemerintah saat ini lebih memprioritaskan penyediaan pangan berasal dari dalam negeri.
Salah satu upaya guna mendukung kebijakan tersebut antara lain dilakukan melalui
peningkatan kapasitas produksi pangan berbasis serealia sebagai sumber karbohidrat,
khusunya padi, jagung, serta pangan sumber protein seperti kedelai dan daging. Beberapa
strategi yang dilakukan guna mendukung kebijakan tersebut antara lain melalui
pengamanan lahan padi beririgasi teknis diiringi dengan perbaikan target dalam penyaluran
subsidi, dan perluasan sawah baru di luar Jawa. Peningkatan produksi padi juga dilakukan
melalui pemanfaatan lahan terlantar, marginal, kawasan transmigrasi, lahan berkas
pertambangan; pemanfaatan jaringan irigasi, revitalisasi penyuluhan, revitalisasi sistem
perbenihan yang mengoptimalkan penangkar benih lokal melalui pengembangan 1000 desa
berdaulat benih; pengembangan produksi pangan oleh swasta dan koperasi, terutama
BUMN.
18
19
keluarga. Namun PKH dapat dimanfaatkan sebagai platform untuk menyampaikan pesan
gizi dan pangan (Bappenas, 2014).
Kebijakan Terkait Konsumsi
Program untuk mendukung konsumsi yang tepat diantaranya adalah diversifikasi
konsumsi pangan melalui penyediaan pangan beragam dan kampanye konsumsi pangan
beragam.
Hal yang juga penting di dalam konsumsi makanan adalah pemberdayaan
masyarakat di bidang keamanan pangan hingga tingkat rumah tangga dan pos pelayanan
terpadu (posyandu). Kegiatan ini dilakukan oleh Kader Keamanan Pangan Desa (KKPD)
yang berasal dari kelembagaan desa atau kader pendamping desa, seperti ibu PKK, karang
taruna, guru, Pemuda Sarjana Penggerak Pembangunan Perdesaaan (PSP3), dll, melalui
program Gerakan Keamanan Pangan Desa (GKPD). Para KKPD tersebut akan membina
komunitasnya agar mampu menjadi konsumen dan produsen cerdas yang secara mandiri
mampu memilih, menyiapkan / mengolah dan menyajikan pangan yang aman. Dengan
sumber daya yang terbatas, Badan POM menginisiasi pengembangan model desa Pangan
Aman (desa PAMAN) melalui program GKPD untuk dapat direplikasi oleh Kabupaten / Kota
atau desa-desa lainnya secara swadaya melalui program dan anggaran masing-masing
daerah / desa (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah dan Anggaran Pendapatan Belanja
Desa).
Kebijakan terkait perbaikan gizi
Kebijakan terkait perbaikan gizi sejalan dengan RPJMN 2015-2019, yaitu percepatan
perbaikan gizi yang dilaksanakan melalui strategi :
a. peningkatan surveilans gizi termasuk pemantauan pertumbuhan;
b. peningkatan akses dan mutu paket pelayanan kesehatan dan gizi dengan fokus
utama pada 1.000 hari pertama kehidupan, remaja, calon pengantin dan ibu hamil,
termasuk pemberian makanan tambahan, terutama untuk keluarga kelompok
termiskin dan wilayah DTPK;
c. peningkatan promosi perilaku masyarakat tentang kesehatan, gizi, sanitasi, hygiene,
dan pengasuhan;
d. peningkatan peran masyarakat dalam perbaikan gizi terutama untuk ibu hamil,
wanita usia subur, anak, dan balita di daerah DTPK termasuk melalui upaya
kesehatan berbasis masyarakat dan Pengembangan Anak Usia Dini Holistik
Integratif (Posyandu dan Pos PAUD);
e. penguatan pelaksanaan dan pengawasan regulasi dan standar gizi; dan
f. penguatan peran lintas sektor dalam rangka intervensi sensitif dan spesifik yang
didukung oleh peningkatan kapasitas pemerintah pusat, provinsi, dan
kabupaten/kota dalam pelaksanaan rencana aksi pangan dan gizi
Didalam pelaksanaan hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah upaya
menerapkan perilaku konsumsi sesuai dengan gizi seimbang termasuk pembatasan
konsumsi gula, garam dan lemak, penggunaan kartu menuju sehat (KMS), suplementasi
besi folat, promosi terkait kesehatan ibu dan bayi. PGS telah diimplementasikan di Indonesia
sejak tahun 1955 menggantikan slogan 4 Sehat 5 Sempurna yang telah diperkenalkan
sejak tahun 1952 yang saat ini tidak lagi relevan untuk digunakan. Gizi seimbang berisi 4
pilar prinsip yang harus dipenuhi agar rumah tersebut dapat berdiri, yaitu 1). Mengonsumsi
makanan beragam, kecuali untuk bayi baru lahir sampai berusia 6 bulan yang diberikan
adalah ASI saja; 2). Membiasakan perilaku hidup bersih; 3) Melakukan aktivitas fisik, untuk
menyeimbangkan antara pengeluaran energi dan pemasukan zat gizi kedalam tubuh; 4)
Mempertahankan dan memantau Berat Badan (BB) dalam batas normal. Meskipun gizi
seimbang telah diperkenalkan selama 20 tahun, namun masih banyak masalah dan kendala
yang ditemui dalam sosialisasi gizi seimbang sehingga harapan untuk merubah perilaku gizi
masyarakat ke arah perilaku gizi seimbang belum sepenuhya tercapai (Kemenkes, 2014).
20
Pemerintah memberikan buku yang disebut dengan Kartu Menuju Sehat (KMS) untuk
memantau pertumbuhan BERAT BADAN dan TINGGI BADAN anak, serta memuat informasi
terkait kesehatan ibu dan anak juga pemberian makan anak. Penggunaan KMS dipadukan
dengan program pemberdayaan masyarakat pada tingkat Rukun Tetangga (RT) atau Rukun
Warga (RW) yaitu Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu).
Kebijakan terkait Pelayanan Kesehatan
Untuk mencegah dan mengatasi penyakit infeksi terdapat beberapa program untuk
meningkatkan pelayanan kesehatan dengan peningkatan akses layanan kesehatan melalui
program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan peningkatan sanitasi melalui PHBS dan
sanitasi total berbasis masyarakat (STBM). Pada tahun 2014 pemerintah Indonesia mulai
menerapkan trobosan dalam upaya pemberian jaminan kesehatan, dimana mulai
diimplementasikan JKN yang merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional
(SJSN) yang diselenggarakan dengan menggunakan mekanisme asuransi kesehatan sosial
yang bersifat wajib (mandatory) berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004
tentang SJSN dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang
layak yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar
oleh Pemerintah5. Adanya JKN meningkatkan kunjungan ke fasilitas kesehatan secara
signifikan, pasien di rumah sakit pemerintah atau rumah sakit yang menerima pasien JKN
meningkat dibandingkan sebelum pemberlakukan JKN. Hal ini menunjukkan peningkatan
akses penggunaan fasilitas kesehatan, yang seharusnya dapat meningkatkan angka
pengobatan penyakit infeksi yang berhubungan langsung dengan status gizi.
Sementara itu untuk meningkatkan sanitasi terdapat berbagai kebijakan yang telah
dilakukan, diantaranya adalah edukasi kepada masyarakat terkait 10 pesan PHBS yang
berisi tentang anjuran untuk menerapkan hidup bersih dan sehat, terdapat sejumlah pesan
yang terkait dengan gizi, yaitu pemberian ASI eksklusif pada 0-6 bulan pertama, menimbang
balita setiap bulan, serta mengkonsumsi buah dan sayur. Selain itu terdapat pesan untuk
buang air besar di jamban, mencuci tangan, juga tidak merokok di dalam rumah yang terkait
dengan pola hidup bersih.
Upaya lainnya yang telah dimulai untuk meningkatkan sanitasi adalah program
STBM yang merupakan pendekatan untuk merubah perilaku higiene dan sanitasi melalui
pemberdayaan masyarakat dengan metode pemicuan. Pendekatan ini membutuhkan
adanya dukungan dari program lainnya untuk mengadakan sarana air bersih dan jamban,
dikarenakan pendanaan pada program ini tidak boleh digunakan untuk membangun sarana
dan prasarana. Partisipasi aktif dari masyarakat khususnya tokoh masyarakat untuk
menggerakkan warganya dan ketersediaan dana pendamping untuk membangun sarana
dan prasarana merupakan tantangan yang dihadapi.
Desentralisasi
Sejak tahun 1999 Indonesia menganut sistim desenteralisasi, sehingga terdapat
banyak urusan yang selama ini menjadi wewenang Pemerintah Pusat diserahkan kepada
Pemerintah Daerah. Desenteralisasi merupakan tantangan dan peluang sehingga
diperlukan advokasi untuk meningkatkan komitmen Pemerintah Daerah untuk perbaikan
pangan dan gizi. Selain itu, perhatian untuk meningkatkan kapasitas Pemerintah Daerah
sehingga daat memberikan dukungan teknis dan penduan bagi kabupaten/kota perlu makin
ditingkatkan (Bappenas, 2014).
Keberadaan Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi merupakan kesempatan untuk
meningkatkan komitmen Pemerintah Daerah dalam perbaikan pangan dan gizi. Disamping
itu, berbagai indikator kegiatan yang telah dituangkan dalam RAD-PG akan menjadi sarana
yang tepat untuk mengkoordinasikan seluruh kegiatan guna mencapai hasil perbaikan
pangan dan gizi yang lebih optimal.
21
2.5.
Indonesia sudah dihadapkan pada beban ganda masalah gizi, yaitu gizi kurang dan
stunting yang prevalensinya masih tinggi, dan gizi lebih yang prevalensinya semakin
tinggi. Beban ganda tersebut tidak hanya berimplikasi pada status gizi tetapi juga
terhadap penyakit. Penyebab kematian utama di Indonesia telah bergeser dari
penyakit infeksi ke penyakit tidak menular (PTM) seperti Hipertensi, Penyakit Jantung,
Stroke, dan Diabetes. Selain itu, masalah PTM tidak hanya pada kelompok sosialekonomi tinggi tetapi hampir tidak berbeda dengan kelompok sosial-ekonomi rendah.
Hal ini mengindikasikan bahwa masalah ini tidak hanya akibat dari masalah gaya
hidup, tetapi merupakan akibat dari salah gizi pada usia 1000 HPK dan prakehamilan. Oleh karenanya, penanganannya semakin kompleks.
3.
22
4.
Rendahnya konsumsi buah dan sayur, tingginya konsumsi garam dan makanan
tinggi lemak serta rendahnya aktivitas fisik pada sebagian masyarakat, terutama di
perkotaan, yang meningkatkan angka berat badan lebih dan obesitas. Diketahui 93,5
persen masyarakat Indonesia kurang mengkonsumsi sayur dan buah. Sementara itu,
data Riskesdas tahun 2013 menunjukkan sebagian besar masyarakat berperilaku
konsumsi berisiko yaitu mengkonsumsi bumbu penyedap (77,3 persen), makanan dan
minuman manis (53,1 persen), dan makanan berlemak (40,7 persen).
5.
Masih kurang optimalnya akses terhadap sumber air minum dan air bersih, dan
lingkungan yang sehat. Penyakit infeksi merupakan salah satu penyhebab langsung
gizi kurang, selain asupan makanan yang tidak adekuat. Penyakit infeksi, terutama
pada anak-anak, sangat dipengaruhi oleh pola hidup bersih dan sehat, antara lain cuci
tangan dengan sabun dan air bersih mengalir, dan tidak buang air besar sembarangan.
Rendahnya sanitasi akibat keterbatasan fasilitas serta sarana prasarana untuk
mengakses air bersih dan perilaku buang air di sungai mengakibatkan kesehatan
lingkungan belum terpenuhi secara merata terutama di daerah perdesaan. Keadaan ini
menyebabkan masih tingginya prevalensi penyakit infeksi sehingga mendorong
timbulnya masalah gizi. Telah terbukti bahwa di Indonesia daerah-daerah yang sanitasi
dan lingkungannya kurang baik mempunyai prevalensi stunting pada balita yang lebih
tinggi.
Kondisi di atas juga berimbas pada kurang optimalnya akses masyarakat terhadap
pangan yang aman. Keterbatasan fasilitas serta sarana prasarana yang sesuai kaidah
keamanan pangan mengakibatkan pangan yang dihasilkan berisiko tidak aman, yang
akhirnya akan menyebabkan penyakit akibat pangan (foodborne diseases) yang bersifat
infeksius sebagai salah satu penyebab masalah gizi dan pembentuk sebuah siklus yang
mengakibatkan penurunan status kesehatan dan peningkatan kematian.
23
kering, rawa dan pasang surut, serta sumber daya pantai dan sumber daya laut.
Rendahnya penguasaan teknologi pemuliaan dan makanan ternak serta iptek budi daya
perikanan laut dan darat menyebabkan biaya produksi pangan sumber protein masih
tinggi. Peningkatan produksi hortikultura dan kacang-kacangan terhambat oleh kurang
tersedianya bibit unggul dan masih rendahnya penguasaan budi daya tanaman kedelai.
Hal ini juga disebabkan oleh masih terbatasnya kemampuan petani untuk mencegah dan
memberantas hama penyakit secara biologis.Ketersediaan sumber makanan kaya
protein lainnya, seperti ikan, belum dipromosikan secara luas, demikian
pula dengan ketersediannya di tingkat masyarakat belum dilaksanakan
secara sistematis.
4. Kebijakan dan program terkait perbaikan gizi masih terfragmentasi akibat
kurangnya koordinasi dan belum dilaksanakannya pendekatan multi-sektor.
Banyak intervensi spesifik yang berdampak langsung, serta intervensi sensitif dan faktor
pemungkin di luar sektor gizi yang mendukung percepatan perbaikan gizi, namun setiap
sektor belum mengintegrasikan kegiatan masing-masing sehingga masih bersifat
sektoral. Hal ini salah satunya dikarenakan sangat terbatasnya forum yang memfasilitasi
koordinasi berkelanjutan dan terstruktur untuk peningkatan perbaikan gizi. Didalam the
Lancet (2013) ditekankan pentingnya pendekatan multisektor sebagai pendekatan yang
dianggap efektif untuk mengurangi permasalahan gizi. Pernyataan ini dikemukakan
berdasarkan pada hasil telaah secara mendalam dari pengalaman pelaksanaan program
penangulangan masalah gizi di banyak negara di dunia, sehingga merupakan pendapat
yang dapat dipertanggungjawabkan. Diketahui bahwa intervensi gizi spesifik saja tidak
dapat menyelesaikan masalah gizi tanpa adanya intervensi gizi sensitif dan dukungan
lingkungan yang menjadi faktor pemungkin tercapainya perbaikan gizi.
Tantangan dan Hambatan Kunci yang terkait dengan Pelaksanaan Program Spesifik
dan Sensitif Gizi secara Tidak Langsung
1. Desentralisasi menuntut peran daerah untuk menyelesaikan permasalahannya secara
lebih luas. Dalam kaitan tersebut, diperlukan komitmen daerah dalam melaksanakan
kebijakan termasuk kebijakan pusat sehingga pelaksanaan perbaikan pangan dan gizi
dapat dicapai lebih baik. Dalam hal RAD-PG, keberadaan RAD-PG Provinsi dan
Kab/kota merupakan kesempatan dan tantangan untuk melaksanakan pembangunan
pangan dan gizi.
2.
Kesenjangan antar wilayah yang tinggi. Indonesia merupakan negara yang sangat
luas dengan kekhasan dan pencapaian pembangunan yang sangat beragam. Hasil
Riskesdas tahun 2013 memperlihatkan adanya perbedaan yang sangat jauh antara
capaian gizi di perkotaan dan pedesaan, begitupun dengan distribusi jumlah penduduk
sangat rawan pangan. Prevalensi permasalahan pangan dan gizi yang ditemukan
antara daerah yang satu dan lainnya dapat berkali-kali lipat lebih tinggi. Adanya
perbedaan karakteristik demografis, geografis, serta sosio-ekonomi yang berbeda antar
wilayah satu dengan lainnya memerlukan adanya perlakuan atau penyesuaian
implementasi intervensi yang sesuai dengan karakteristik wilayah, tidak dapat dilakukan
penyamarataan intervensi yang dilakukan di Papua dan di Yogyakarta. Pendekatan
penyelesaian masalah dengan pendekatan lokal perlu menjadi perhatian. Adanya RAD
PG sampai tingkat kabupaten memungkinkan adanya pemecahan permasalahan
dengan pendekatan lokal.
3.
24
4.
25
BAB III
RENCANA AKSI MULTI-SEKTOR
3.1.
Pencegahan
Pencegahan
dan penanganan
penanganan
Gambar
10. dan
Intervensi
Gizi Spesifik pada Target
gizi
buruk:
gizi1000
buruk:HPK
penyakit
penyakit
Pencegahan
Pencegahan malaria
malaria pada
pada
wanita
wanita
Penanganan
Penanganan kecacingan
kecacingan pada
pada
ibu
ibu
Pencegahan
Pencegahan obesitas
obesitas
Terapi
Terapi Zn
Zn untuk
untuk penderita
penderita diare
diare
WASH
WASH
Pemberian
Pemberian makan
makan pada
pada diare
diare
Pencegahan
Pencegahan malaria
malaria
Pengobatan
Pengobatan kecacingan
kecacingan pada
pada
anak
anak
Pencegahan
Pencegahan obesitas
obesitas
26
27
Sumber : Modifikasi Lancet 2013 Executive Summary of The Maternal and Child
Nutrition
Upaya perbaikan gizi melalui intervensi spesifik yang dilakukan secara langsung
terhadap sasaran yang rawan akan efektif apabila cakupannya ditingkatkan. Untuk
meningkatkan cakupan intervensi gizi diperlukan adanya dukungan dari sektor lainnya yang
dalam hal ini disebut sebagai intervensi sensitif. Permasalahan yang diselesaikan oleh
selain sektor kesehatan adalah permasalahan mendasar yang mempengaruhi penyebab
langsung kurang gizi, seperti kemiskinan, kerawanan pangan, akses terhadap pelayanan
kesehatan (jaminan sosial), sanitasi dan akses terhadap air bersih, pendidikan anak usia
dini, pemberdayaan perempuan, pendidikan di dalam kelas, dan perlindungan anak.
Untuk meningkatkan ketahanan pangan diperlukan upaya untuk menjamin
ketersediaan, keterjangkauan, dan pemenfaatan pangan oleh masyarakat, apabila salah
satu dari ketiga aspek tersebut tidak berfungsi, maka pemerintah perlu melakukan tindakan
intervensi. Upaya yang dilakukan untuk menjamin ketersediaan pangan dapat berupa
bantuan/subsidi saprodi, kebijakan harga pangan, kebijakan impor/ekspor, kebijakan
cadangan pangan pemerintah. Untuk meningkatkan keterjangkauan perlu dilakukan
intervensi dalam aspek distribusi berupa penyaluran pangan bersubsidi, penyaluran pangan
untuk keadaan darurat dan operasi pasar untuk pengendalian harga pangan. Sementara itu
dalam aspek konsumsi dapat dilakukan pemberian makanan tambahan untuk kelompok
rawan pangan/gizi buruk, pemberian bantuan tunai untuk meningkatkan kemampuan
mengakses pangan.
Kemampuan ekonomi merupakan salah satu faktor penting yang menggambarkan
daya beli masyarakat terhadap kebutuhannya, terutama kebutuhan pangan yang cukup dan
aman. Mengatasi kemiskinan artinya meningkatkan kemampuan masyarakat untuk
mengakses pangan yang aman, dan bergizi, namun selain itu juga diperlukan adanya pola
asuh dan pemberian makan yang tepat yang ditentukan oleh pengetahuan orang tua,
terutama ibu. Faktor lain yang harus diperhatikan adalah akses terhadap layanan
kesehatan yang salah satunya dilakukan melalui program jaminan kesehatan sosial, sanitasi
yang baik yang dapat menurunkan kejadian infeksi, dan lingkungan yang aman. Apabila hal
ini berjalan dengan baik dampaknya sensitif terhadap perbaikan gizi.
28
Selain itu terdapat faktor pemungkin yang mempengaruhi keberhasilan intervensi gizi
spesifik yang dilakukan. Diantaranya adalah evaluasi yang tepat dalam pelaksanaan
program, adanya strategi advokasi yang dilaksanakan dengan baik, koordinasi horizontal
dan vertikal yang kuat, akuntabilitas serta regulasi insentif dan peraturan perundangundangan, kepemimpinan, investasi untuk peningkatan kapasitas, serta mobilisasi sumber
daya lokal.
Permasalahan gizi merupakan persoalan multi-dimensi dan multi-sektor yang
membutuhkan solusi pendekatan multi-sektor dan tidak hanya oleh sektor kesehatan saja.
Apabila intervensi gizi spesifik dan sensitif dilaksanakan dengan baik oleh semua sektor
yang terlibat, ditambah dengan adanya dukungan faktor pemungkin, maka akan dicapai gizi
dan perkembangan optimal pada anak yang dapat menurunkan angka kesakitan dan
kematian bayi, meningkatkan perkembangan kognitif, sosio-emosional, meningkatkan
prestasi dan kapasitas belajar, sehingga anak tumbuh menjadi manusia yang berkualitas
pada usia dewasa, menurunkan risiko obesitas dan penyakit tidak menular, serta
meningkatkan kapasitas kerja dan produktivitas. Manfaat yang dicapai pada siklus
kehidupan tersebut muaranya adalah pada peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Pemerintah, dalam hal ini kementerian/lembaga bertanggung jawab untuk mencapai
indikator kinerja yang telah ditetapkan, namun dalam melaksanakan usaha untuk mencapai
target tersebut komponen non pemerintah, yaitu pelaku usaha, media, mitra pembangunan,
dan masyarakat harus turut mengambil peran. Adanya koordinasi dan kolaborasi yang baik
antara pemerintah dan non pemerintah dengan tujuan yang sama akan meningkatkan
kapasitas dan meningkatkan efektivitas pekerjaan yang dilakukan.
Untuk mencapai output yang ditetapkan perlu dilakukan intervensi melalui program
kesehatan maupun non kesehatan yang diejawantahkan melalui berbagai kegiatan.
Intervensi yang dilakukan mencakup intervensi gizi spesifik dan sensitif yang didukung oleh
faktor pemungkin.
3.2.
Goal
Cita-cita yang ingin diwujudkan dengan adanya perbaikan pangan dan gizi dengan
pendekatan multi-sektor adalah terbentuknya sumber daya manusia yang cerdas, sehat,
produktif secara berkelanjutan, dan berdaya saing tinggi.
Outcome
Outcome yang ingin dicapai dari upaya perbaikan pangan dan gizi Error: Reference
source not foundsebagaimana target yang ditetapkan dalam RPJMN 2015-2019 khususnya
dalam bidang pangan dan gizi tercantum pada Tabel 3.
29
No
1
2
3
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
Target (2019)
82,0
24,1
2,6
3,8
755,1
18,8
4,5
92,5
2150 Kkal
54,5
28
8
50
17
9,5
28
15,4
Untuk mencapai indikator tersebut diperlukan peran lintas sektor yang contoh
peranannya diperlihatkan oleh gambar 11, Sedangkan penjabaran lebih rinci terkait peran
lintas sektor ditampilkan pada Tabel 3 yang didalamnya terdapat alur pikir (logical
framework) dari peranan setiap stakeholder dan tabel 3 ini merupakan modifikasi dari
kegiatan yang tercantum pada RPJMN dan Rencana Strategis K/L. Sementara itu, untuk
mencapai outcome tersebut setiap sektor memiliki indikator kinerja utama key performance
indicator/KPI atau indikator output yang merupakan indikator kinerja setiap K/L yang
diantaranya bersumber dari RPJMN dan Renstra K/L. KPI untuk setiap K/L yang terlibat
dikelompokkan berdasarkan intervensi gizi spesifik dan sensitif yang tercantum pada Tabel 7
(lampiran).
29
Pelaksana
Kemenkes
Input
1) Promosi dan kampanye 1000 HPK, ASI eksklusif dan pedoman gizi seimbang, serta
pemantauan berat badan pada anak dan remaja
2) Pelatihan tenaga kesehatan dan kader posyandu tentang 1000 HPK, tumbuh kembang anak,
status gizi prahamil dan saat hamil, inisiasi menyusu dini, ASI eksklusif
3) Edukasi gizi saat pemeriksaan ANC, pelaksanaan kelas ibu hamil
4) Penyebaran media KIE gizi di fasilitas kesehatan dan sekolah
5) Pengawasan pemasaran susu formula
6) Pelatihan pemberian makan balita
7) Intensifikasi penggunaan informasi yang ada pada kartu menuju sehat
8) Standardisasi pengetahuan gizi bagi tenaga gizi.
Output
Peningkatan
pengetahuan
gizi
remaja, wanita usia
subur, dan ibu
30
Pelaksana
Kemendikbud
Kemenpora
Perguruan Tinggi
Masyarakat Madani
Lembaga Profesi
Pelaku usaha
Media
Kemenkes
Kementan
Input
1) Menambahkan kurikulum gizi seimbang dan pentingnya 1000 HPK serta ASI eksklusif dalam
pelajaran SD, SMP, dan SMA
2) Aktivasi program UKS, dokter kecil
3) Edukasi dan promosi terkait jajanan sehat
Memasyarakatkan olahraga
Menyelenggarakan penelitian dan penyebarluasan informasi mengenai 1000 HPK kepada
mahasiswa, terutama calon tenaga kesehatan
1) Aktif dalam mencari informasi tentang gizi remaja, wanita usia subur, dan kesehatan ibu
2) Berpartisipasi dalam kegiatan konseling dan edukasi gizi dan kesehatan
3) Menerapkan pola konsumsi gizi seimbang dalam kehidupan sehari-hari
4) Melakukan aktivitas fisik yang cukup
Standardisasi kapasitas tenaga kesehatan melalui akreditasi
1) Tidak mempromosikan penggunaan susu formula
2) Mempromosikan ASI eksklusif dan pola makan gizi seimbang
Menyediakan rubrik, segmen, dan/atau acara dengan konten kesehatan dan gizi, terutama
terkait konsep 1000 HPK
1) Suplementasi tablet besi-folat/ Multiple Micronutrient Supplementation (MMS) bagi ibu hamil
dan remaja putri
2) Suplementasi vitamin A pada anak
3) Fortifikasi garam beryodium
4) PMT pada ibu KEK
5) Pemantauan pertumbuhan dan perkembangan anak melalui penimbangan di Posyandu dan
pengisian kartu menuju sehat.
Output
Konsumsi
energi
dan
zat
gizi
tercukupi, terutama
bagi
kelompok
rentan, yaitu remaja
putri, ibu hamil dan
menyusui,
dan
balita
serta
pemantauan
tumbuh
kembang
anak dan stimulasi
31
Pelaksana
Dunia usaha
Kemenkes
Kemenpora
BPOM
Kemendikbud
Mitra Pembangunan
(UNICEF, WHO)
Kemenkes
Input
1) Membuat produk bernilai gizi tinggi yang dapat diakses masyarakat secara ekonomi
2) Fortifikasi zat gizi pada produk, seperti terigu, minyak goreng, garam
1) Imunisasi dasar lengkap bagi bayi dan anak
2) Peningkatan sanitasi
3) Memasyarakatkan olah raga dengan promosi, edukasi, dan dukungan untuk melakukan
aktivitas fisik yang cukup sehingga mencapai keseimbangan energi.
1) Memasyarakatkan olah raga
2) Mengolahragakan masyarakat dengan menyediakan fasilitas yang mendukung aktivitas fisik
1) Pengawasan keamanan obat dan makanan
2) Regulasi pelabelan, promosi, serta iklan makanan
Pembenahan kantin sekolah dan aturan terkait jajan di luar sekolah
Output
Manajemen
pencegahan
penyakit
dan
Penanggulangan
gizi buruk akut
Ketersediaan
pangan,
akses
ekonomi,
dan
pemanfaatan
pangan
32
Pelaksana
Kemensos
Kemendag
Kemenperin
Kemenaker
Kemen KKP
Kemendikbud
Dunia usaha
Kemensos
Kemenkes
Kemen PU dan PR
Daerah/Kemendagri
Mitra Pembangunan
(UNICEF,
UNDP
WHO)
BKKBN
Input
District Food Inspector (DFI)
1) Pelaksanaan program keluarga harapan
2) Pemberian stimulus Usaha Ekonomi Produktif Melalui Kelompok Usaha Bersama (KUBE)
1) Memantau stabilitas harga bahan pangan
2) Melakukan operasi pasar
3) Melakukan pengawasan terhadap promosi susu formula
1) Dukungan terhadap industri pangan dan makanan
2) Regulasi terkait fortifikasi
1) Pembinaan penyediaan ruang laktasi di perusahaan
1) Peningkatan produksi dan akses untuk memperoleh ikan
2) Peningkatan produksi ikan budi daya
3) Peningkatan produksi ikan tangkap
Menggalakkan kembali program kebun sekolah
1) Menggunakan teknologi pertanian untuk meningkatkan jumlah produksi
2) Memperluas distribusi hasil panen
3) Mendukung pemerintah dalam menstabilkan harga hingga tingkat konsumen
4) Tukar menukar pengalaman dalam sistem distribusi pangan dan gizi, termasuk penggunaan
teknologi
5) Menyalurkan dana CSR untuk intervensi pangan dan gizi
Bantuan tunai bersyarat melalui PKH.
1)
2)
1)
2)
1)
2)
1)
2)
1)
2)
Output
Peningkatan
cakupan kesehatan
dan gizi
Peningkatan
sanitasi dan akses
air bersih
Pelayanan
kesehatan
dan
33
Pelaksana
Input
3) Mengkampanyekan usia kehamilan >18 tahun
Kemenkes
1) Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan
2) Jumlah dan distribusi tenaga kesehatan serta fasilitas kesehatan yang memenuhi standar
tandar pelayanan minimal
Kemendikbud
1) Pelatihan gizi dan tumbuh kembang anak bagi guru
2) Program kecakapan hidup perempuan dan keayahbundaan
BKKBN
Pengasuhan tumbuh kembang balita dan anak
Kementerian Agama
1) Pembinaan UKS di satuan pendidikan agama (tingkat dasar)
2) Pendidikan persiapan perkawinan ditinjau dari aspek usia, kesehatan, dan budaya
Kemen PPPA
1) Pelaksanaan pemenuhan hak perempuan
2) Pelaksanaan pemenuhan hak kesehatan anak
3) Mengkampanyekan usia terbaik pernikahan >18 tahun
Kementerian
Desa 1) Fasilitasi peningkatan pembardayaan kesejahteraan keluarga (PKK) termasuk penguatan
Pembangunan
kelembagaan posyandu dalam pelayanan sosial dasar masyarakat
Daerah Tertinggal, &
Transmigrasi,
/Kemendagri
Mitra Pembangunan 1) Bekerjasama dan mendukung program pemerintah melalui dukungan dana dan asistensi
(UNICEF, ILO)
teknis
2) melakukan sinergitas agenda perbaikan gizi nasional dan global.
Mitra Pembangunan
1) Mendukung intensitas kerjasama nasional dan global
2) Memberikan bantuan teknis kepada pemerintah untuk intervensi gizi spesifik dan sensitif
Donor
Mendukung program pemerintah dengan mengisi gap sumber daya
Masyarakat Madani
Mendukung program pemerintah dengan memperkuat komunitas dan masyarakat
Bappenas
1) Pertemuan advokasi berjenjang, workshop
2) Mempublikasikan dan menyebarluaskan Policy brief kepada pengambil kebijakan
Kemenko
bidang 1) Koordinasi Kementerian/Lembaga
PMK, Perekonomian,
dan Kemaritiman
Bappenas
Koordinasi rutin Gernas 1000 HPK di tingkat pusat dan pemantauannya di tingkat daerah
Kemenko PMK
Koordinasi Gernas 1000 HPK
Kemendagri
1) Koordinasi dengan pemerintah daerah
2) Mendorong adanya penyusunan peraturan daerah yang memfokuskan 1000 HPK
Output
keluarga berencana
Pendidikan
dan
pemberdayaan
perempuan, serta
perkembangan
anak usia dini
Strategi Advokasi
Koordinasi
horizontal
vertikal
34
Pelaksana
Bappenas
DPR
Donor
Mitra Pembangunan
Pelaku Usaha
K/L
BPS
Bappenas
Input
1) Koordinasi perencanaan, monitoring dan evaluasi RAN-PG
2) Penyebarluasan konsep 1000 HPK
3) Memberikan apresiasi bagi daerah yang memfokuskan 1000 HPK
1) Memberikan dukungan penganggaran untuk pembangunan pangan dan gizi
2) Menjadikan konsep 1000 HPK sebagai arus utama dalam penyusunan regulasi
Mengisi kesenjangan dana yang tidak dapat disediakan oleh pemerintah
Bantuan teknis terkait perencanaan, implementasi kegiatan, dan monev
Penyaluran dana CSR untuk intervensi gizi, terutama 1000 HPK
1) Menindaklanjuti umpan balik atas hasil evaluasi internal dan eksternal;
2) Penyelenggaraan survei Riskesdas dan data rutin terkait indikator kinerja intervensi gizi
spesifik dan sensitif terkait
Penyelenggaraan survei terkait pangan dan gizi
1) Monitoring dan koordinasi K/L
2) Monitoring pelaksanaan RAD PG
Output
Investasi kapasitas,
mobilisasi
Monitoring
evalusi tepat
dan
35
3.3.
36
Indonesia yang berkualitas. Semua kegiatan K/L ini diharapkan dapat mencapai semua
outcome yang telah ditentukan. Seluruh outcome akan dapat dicapai setidaknya apabila 1)
Terjadi peningkatan pengetahuan gizi dan kesehatan pada remaja, wanita usia subur dan
ibu; 2) Konsumsi makanan yang berpedoman pada gizi seimbang terutama pada kelompok
rentan yaitu kelompok 1000 HPK, remaja perempuan, ibu menyusui, dan Balita; 3)
Pemantauan dan stimulasi tumbuh kembang; 4) Pencegahan dan manajemen penyakit
infeksi; 5) Penanggulangan gizi buruk akut; 6) Ketersediaan pangan, akses ekonomi dan
pemanfaatan pangan yang adekuat; 7) Jaminan terhadap akses kesehatan dan sosial;
8)Peningkatan sanitasi dan air bersih; 9) Akses terhadap Pelayanan kesehatan dan KB; 10)
Pendidikan dan pemberdayaan perempuan, serta perkembangan anak usia dini; 11)
Peningkatan pemahaman dan pelaksanaan advokasi yang strategis; 12) Koordinasi vertikal
dan horizontal; 13) Akuntabilitas, regulasi insentif, peraturan perundang-undangan; 14)
investasi dan mobiliasi kapasitas; dan 15) Monitoring dan evaluasi tepat guna. Peran setiap
K/L dapat dijabarkan melalui pencapaian indikator output, seperti yang dicantumkan pada
indikator input didalam logframe RAN PG 2015-2019.
Pemihakan Upaya Multi-Sektor Kepada Kelompok Miskin dan Hampir Miskin
Situasi di Indonesia menunjukkan bahwa permasalahan gizi dan impikasinya
cenderung lebih besar pada kelompok miskin dan hampir miskin. Prevalensi stunting pada
Balita dan permasalahan gizi lainnya lebih tinggi pada kelompok miskin dan hampir miskin.
Penyakit tidak menular, yang muara utamanya adalah pada 1000 HPK menunjukkan bahwa
masalah pada kelompok miskin hampir sama dengan pada kelompok kaya, sehingga
anggapan bahwa PTM merupakan akibat gaya hidup semata menjadi gugur. Akibatnya
beban masalah gizi dan beban PTM pada kelompok miskin, baik pada tataran individu,
keluarga maupun negara menjadi lebih kompleks, karena produktivitas dan penghasilan
yang menurun terjadi bersamaan dengan beban pengeluaran yang tinggi untuk pelayanan
kesehatan.
Penyebab kemiskinan lekat dengan karakteristik lain yang mempengaruhi status gizi
dan kesehatan. Mereka yang miskin umumnya mempunyai pendidikan yang lebih rendah,
kurang terpapar dan atau kurang tepat memahami pesan-pesan kesehatan yang baik,
pangan yang aman, rendahnya akses terhadap air bersih dan lingkungan yang sehat,
rendahnya akses terhadap promosi dan pelayanan kesehatan serta keluarga berencana.
Oleh karena itu, agar upaya multi sektor dapat memberikan hasil yang optimal, upaya-upaya
tersebut perlu difokuskan pada kelompok miskin dan hampir miskin, dengan tidak
melupakan upaya untuk kelompok masyarakat lainnya.
Sektor
Kesehatan*
Peran
Penyuluhan
tentang
Konsumsi
adekuat
untuk setiap anggota
keluarga,
terutama
pada 1000 HPK
Memasyarakatkan olah
Kesehatan
dan
Kepemudaa raga
mengolahragakan
n dan olah
masyarakat,
raga
Sektor terkait Mutu dan Akses
pangan:
Produksi
cukup,
Pertanian*
penganekaragaman
pangan,
SKPG,
stabilitas harga pangan
Produksi dan distribusi
Kelautan
ikan untuk masyarakat
dan
perikanan*
Perdaganga ketersediaan pangan di
pasar
terdekat,
n*
stabilitas harga pangan
Bantuan sosial
Sosial
Ketenagaker Peningkatan ekonomi
keluarga dan daya beli
jaan
Peningkatan
akses
Desa,
terhadap pangan di
daerah
daerah
terpencil,
tertinggal,
perbatasan,
dan
dan
kepulauan
transmigrasi
Sektor terkait mutu dan keamanan
pangan:
Keamanan makanan,
Pengawas
Obat
dan
makanan*
Produksi
bahan
Pelaku
makanan bergizi dan
usaha*
aman
terkait
Perindustria Regulasi
Fortifiksi
maknan
n
Dalam negeri* Kebijakan
yang
berorientasi
pada
ketahanan pangan dan
kecukupan gizi
Status Gizi
37
Konsumsi adekuat
Akses Pangan
Sektor
Pendidikan*
Kesehatan*
BKKBN*
Agama
Pemberdayaan
perempuan dan
perlindungan
anak
Komunikasi dan
informasi
Pemuda
dan
olahraga
Swasta
Media
Pendidikan*
Perdagangan
Perindustrian
BPOM
Dalam negeri*
Pertanian
Pola Asuh
Peran
Peningkatan wawasan
dan
pengetahuan
tentang
pencegahan
dan
penanganan
penyakit infeksi, PHBS
termasuk olah raga,
tumbuh kembang anak,
ASI eksklusif, dan MP
ASI, dokter kecil, UKS,
dan kebun sekolah
Peningkatan pendidikan
perempuan
Kebijakan
terkait
pelabelan, promosi dan
iklan susu formula dan
makanan olahan untuk
bayi dan anak, regulasi
terkait
iklan
dan
pelabelan makanan
Pemberdayaan
perangkat dan lembaga
(Posyandu,
PKK,
UPGK) daerah
Stok
dan
distribusi
pangan dalam rumah
tangga,
program
kawasan rumah pangan
lestasi,
Peran
Wawasan
dan
pengetahuan
terkait pola
hidup bersih
dan sehat
Distribusi
Dalam
Sektor
Peran
dan suplai air
negeri*
Kesehatan*
Imunisasi,
bersih,
Pelaku
penyuluhan tentang
kebersihan
penanganan
dan usaha
sumber air
pencegahan penyakit
Penyediaan
Pekerjaan
infeksi
sarana serta
Umum
dan
terhadap
Kesehatan* Akses
fasilitas
Perumahan
pelayanan kesehatan,
Dalam
sumber
air
Rakyat*
negeri*
bersih
dan
Sosial
tempat
Dalam
Revitalisasi
buang air
negeri
posyandu; rekrutmen,
Gambar 12.
dan
Contoh
Peran
penempatan/distribusi
Multi-sektor
tenaga kesehatan
dalam
dan
Pendidikan Pendidikan
Kerangka
untuk
Kesehatan penyuluhan
Perbaikan
meningkatkan
Gizi
wawasan kesehatan
Sumber:
dan PHBS,
Keterangan
:
Endang
Kecukupan
dan
*) Peran
Utama dari setiap
Sektor
L.Achadi,
2015
pemerataan tenaga
kesehatan
Pelaku
Pelayanan kesehatan
usaha
swasta
Sektor
Kesehatan*
Pendidikan
Media
Swasta
38
Sensitif Gender
Penyelesaian pendidikan hingga tingkat menengah oleh anak perempuan telah
terbukti menjadi salah satu kontributor terbesar untuk menurunkan stunting di Bangladesh,
Indonesia (Semba, 2008) dan Nepal (Crum, 2012). Meskipun mekanisme yang menjelaskan
hubungan ini belum jelas (Wachs, 2008), hal ini dapat terjadi dikarenakan perempuan yang
sekolah cenderung untuk tidak hamil pada usia remaja, sehingga tingkat kehamilan remaja
lebih rendah. Selain itu tingkat pendidikan anak perempuan juga berkontribusi meningkatkan
status gizi sebelum menikah, yang semuanya berkontribusi untuk meningkatkan berat lahir
(UNSCN, 2010). Produksi pangan lokal dan pengolahan, terutama oleh petani kecil dan
keluarga petani harus diperkuat dan memberikan perhatian khusus untuk pemberdayaan
perempuan, sesuai dengan rekomendasi ICN2 nomor 9. Usia legal untuk menikah bagi
perempuan juga perlu ditingkatkan menjadi 18 tahun.
Kesetaraan
Dengan menargetkan kegiatan penanggulangan kemiskinan dan mempertemukan
upaya untuk mengkolaborasikan berbagai sektor di rumah tangga termiskin dari kabupaten
termiskin akan berkontribusi untuk mengurangi kesenjangan. Hal ini dapat dicapai dengan
mengarahkan program-program yang ada untuk mengurangi jumlah keluarga miskin, seperti
program Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Generasi, PKH, dan
berbagai program terkait lainnya.
Keberlanjutan
Menerapkan produksi pangan yang berkelanjutan melalui pengelolaan sumber daya
alam dengan promosi diversifikasi tanaman, termasuk tanaman tradisional yang kurang
dimanfaatkan, memproduksi lebih banyak buah dan sayuran, dan memproduksi produk
hewan dengan tepat sesuai dengan yang diperlukan.
Sejalan dengan RPJMN dan Regulasi Pemerintah Lainnya
Berbagai aspek gizi dan komponen sektor lainnnya seperti pertanian, air dan
sanitasi,dan kebutuhan perlindungan sosial pada RAN-PG perlu mengacu pada apa yang
telah ditetapkan dalam RPJMN dan aturan pemerintah lainnya. Pelaksanaan aturan yang
ditetapkan harus fokus pada kelompok yang rentan dan termiskin, sehingga dapat
meningkatkan pencapaian target yang telah ditetapkan.
Scaling Up Rencana Aksi Integrasi Multi-Sektor
Pengembangan pendekatan multi-sektor yang terintegrasi untuk intervensi
diperlukan melalui pendekatan dari bawah ke atas (bottom up) yang dapat dilakukan oleh
badan perencana di kab/kota. Untuk pelaksanaan RAN-PG dapat dimulai di tingkat Provinsi
dan selanjutnya dilakkan di tingkat kab/kota. Untuk memperoleh hasil yang optimal bisa
menggunakan contoh kab/kota yang selama ini sudah melaksanakan RAD-PG dengan baik.
Selain itu juga dapat menggunakan pelaksanaan program 1000 HPK pada proyek yang
sedang berlangsung di 64 kabupaten di 11 provinsi.
Pelaksanaan program gizi spesifik dan sensitif di 64 kabupaten ini merupakan
langkah awal yang dapat direplikasi di kabupaten lainnya. Meski intervensi spesifik dan
sensitif yang dilakukan masih terbatas, namun pelaksanaan program yang melibatkan peran
multi sektor di 64 kabupaten tersebut merupakan proses pembelajaran yang dapat
dikembangkan dan disebarluaskan. Dengan demikian, kabupaten/kota yang akan
melaksanakan RAD-PG dapat mengacu kepada kegiatan yang telah dilakukan di 64 kab
tersebut.
Peningkatan Kapasitas
Membangun pendekatan desentralisasi memerlukan kapasitas pemerintahan daerah
untuk melaksanakan RAD-PG di daerah tersebut. Agar hal ini terwujud diperlukan kapasitas
pusat dan provinsi untuk mendukung kapasitas pemerintah kabupaten/kota melalui
pelatihan di berbagai tingkat untuk memahami dan mampu melaksanakan intervensi spesifik
39
40
Penggunaan pajak dan/atau penghapusan subsidi juga dapat digunakan untuk mencegah
konsumsi makanan yang tidak sehat dan Kementerian Perdagangan, Pertanian, dan Industri
memiliki peran di sini.
3.4.
Dana
Dana merupakan salah satu komponen perencanaan yang akan digunakan untuk
seluruh kegiatan yang diperlukan. Ketersediaan dana yang memadai mutlak diperlukan,
namun yang lebih penting adalah penggunaan dana yang efektif dan efisien yang nantinya
menentukan keberhasilan suatu program. Pada sektor pangan, untuk menerapkan
pengelolaan pertanian berbasis teknologi memerlukan modal yang tidak sedikit begitu juga
dengan perbaikan gizi dengan jumlah sasaran yang relatif besar. Dengan demikian,
diperlukan analisis atau studi lebih lanjut untuk mengetahui berapa jumlah dana yang
diperlukan untuk mencapai target ketersediaan pangan dan perbaikan gizi dalam jangka
waktu tertentu, jumlahnya akan berbeda untuk setiap daerah dengan beban gizi yang
beragam.
2.
Metodologi Intervensi
Pendekatan dan metode intervensi yang digunakan dalam menyelesaikan suatu
permasalahan menentukan keberhasilan pencapaian target suatu program. Secara umum,
pendekatan yang mulai diperkenalkan pada tahun 2013 untuk mengatasi permasalahan gizi
adalah intervensi yang berfokus pada kelompok rentan melalui program 1000 HPK.
Pendekatan ini memerlukan adanya upaya promotif-preventif untuk mengoptimalkan 1000
HPK yang dimulai dari mempersiapkan sejak usia remaja agar saat hamil memiliki status
gizi yang baik, memaksimalkan perbaikan gizi pada masa kehamilan sehingga melahirkan
bayi yang sehat dengan berat lahir cukup, mencukupi kebutuhan gizi ibu menyusui dan
pemberian ASI eksklusif hingga 6 bulan diteruskan pemberian ASI hingga 2 tahun serta
pemberian MP ASI kepada bayi mulai usia 6 bulan. Berbagai studi telah membuktikan
41
efektivitas pendektan ini (Lancet, 2013), namun efektivitas dan efisiensi dari metode
intervensi yang digunakan dalam program 1000 HPK belum dievaluasi secara menyeluruh di
Indonesia dikarenakan penerapannya relatif baru. Untuk mengetahui efektivitas dari metode
intervensi yang digunakan dapat dilakukan riset operasional dan monitoring dan evaluasi
yang tepat. Sehingga akan diketahui metode intervensi yang efektif untuk mengatasi
permasalahan tertentu di setiap daerah.
4.
Penguatan RAN-PG
RAN-PG merupakan perdoman yang disusun dan diimplementasikan oleh
kementerian/lembaga dan pemangku kepentingan lainnya di tingkat pusat yang selanjutnya
diterjemahkan dalam RAD-PG di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota. Penguatan RAN-PG
merupakan langkah-langkah yang ditempuh untuk melaksanakan RAN-PG. Tahapan
pelaksanaan perbaikan gizi dilakukan melalui beberapa tahapan yang tercantum pada
Tabel 5 Penguatan RAN-PG
42
Pelaksanaan di
Pusat
1.
2.
3.
4.
Provinsi
1.
2.
3.
Kegiatan
Memperkuat legal aspek RAN-PG Multi Sektor
Membentuk tim koordinasi di tingkat pusat yang terdiri dari lintas
sektor
Menetapkan dasar hukum RAN-PG Multi dan menetapkan SK
Bersama antara Menteri Perencanaan dan Pembangunan
Nasional dan Menteri Dalam Negeri
Perencanaan dan Penganggaran
Sosialisasi RAN-PG kepada Kementerian/Lembaga dan
pemangku kepentingan
Menjadikan Peraturan Presiden No. 42 Tahun 2013 sebagai
acuan untuk melaksanakan perbaikan gizi pada 1000 HPK
Penyusunan pedoman teknis:
Menyusun pedoman penyusunan RAD-PG
Menyusun pedoman teknis pencapaian indikator RAD-PG
Menyusun pedoman pembiayaan RAD-PG
Menyusun pedoman monitoring dan evaluasi RAD-PG
Menyusun pedoman insentif RAD-PG
Menyusun pedoman advokasi dan komunikasi untuk
pengarusutamaan RAD-PG pada RPJMD
Menyertakan program terkait intervensi gizi sensitif dan spesifik
dalam RKA K/L dan memastikan intervensi tersebut memperoleh
pendanaan yang memadai setiap tahunnya
Mengembangkan data based RAD-PG
Implementasi
Melaksanakan intervensi gizi sensitif dan spesifik oleh K/L dan
pemangku kepentingan
lainnya
dengan memperhatikan
pendekatan multisektor dan pendekatan lain yang tepat.
Membuat laporan tahunan pelaksanaan RAN-PG.
Monitoring dan Evaluasi
Pembuatan website dalam rangka monitoring dan evaluasi
Melakukan pencatatan atau pengumpulan data terkait target
indikator utama yang harus dicapai, dapat berupa data rutin
maupun survei.
Melaksanaan pertemuan atau forum dalam rangka koordinasi dan
evaluasi rutin litas sektor
Memperkuat legal aspek RAD-PG Multi Sektor
Membentuk tim koordinasi di tingkat provinsi yang terdiri dari lintas
sektor
Menetapkan dasar hukum RAD-PG melalui Peraturan Daerah
atau Peraturan Gubernur.
Perencanaan dan Penganggaran
Penyusunan RAD-PG di tingkat provinsi
Sosialisasi RAD-PG kepada pemangku kepentingan di tingkat
provinsi dan kabupaten/kota
Menyertakan program terkait intervensi gizi sensitif dan spesifik
dalam RKA K/L dan memastikan intervensi tersebut memperoleh
pendanaan yang memadai setiap tahunnya
Implementasi
Melaksanakan intervensi gizi sensitif dan spesifik oleh K/L dan
pemangku kepentingan
lainnya
dengan memperhatikan
pendekatan multisektor dan pendekatan lain yang tepat.
43
Pelaksanaan di
Kegiatan
BAB IV
KERANGKA PELAKSANAAN RENCANA AKSI
Kerangka pelaksanaan rencana aksi menjadi suatu hal yang penting karena
menyangkut siapa dan bagaimana kegiatan tersebut dilaksanakan. Pada kerangka
pelaksanaan diatur kerangka kelembagaan, manajemen keuangan dan aliran dana,
anggaran indikatif, strategi pengembangan kapasitas, strategi advokasi dan komunikasi, dan
strategi monitoring dan evaluasi.
4.1.
Kerangka Kelembagaan
44
45
8. Agama,
9. Tenaga Kerja
10.Komunikasi dan Informasi,
11.Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat,
12.Desa dan PDT dan Transimigrasi,
13.Pemuda dan olahraga
14.Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Aanak,
15.BKKBN
16.Badan pengawas Obat dan Makanan.
Di samping Tim Pengarah dibentuk Tim Teknis yang terdiri dari :
Ketua
: Kepala Bappeda
Sekretaris : Kepala Dinas Kesehatan dan Kepala Instansi Ketahanan Pangan
Sedangkan keanggotaan melibatkan seluruh Perangkat Daerah yang sesuai dan
dapat juga menambahkan pemangku kepentingan yang terkait dengan pangan dan gizi.
Struktur organisasi di Kabupaten/Kota dapat mengacu kepada struktur organisasi di
Provinsi. Struktur organisasi dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah.
Peran Sektor Swasta dan Lembaga Masyarakat
Selain sektor pemerintah, sektor non pemerintah atau swasta dan lembaga
masyarakat juga berperan untuk melaksanakan rencana aksi pangan dan gizi. Sektor
swasta yang dapat mengambil peran adalah perguruan tinggi, lembaga profesi, lembaga
swadaya masyarakat, pelaku usaha, organisasi PBB (UN system), donor, masyarakat
madani, dan media.
Perguruan tinggi dapat mendukung pencapaian target perbaikan pangan dan gizi
melalui pelaksanaan riset operasional dan penyebarluasan informasi pangan dan gizi terkini
kepada mahasiswa, terutama calon tenaga kesehatan, saat proses belajar di dalam kelas.
Sementara itu, lembaga profesi dapat melakukan standardisasi kompetensi tenaga gizi dan
kesehatan melalui akreditasi. Peran yang dapat diambil oleh mitra pembangunan adalah
untuk meningkatan pelaksanaan melalui pembentukan pilot proyek yang akan dijadikan
sebagai best practice untuk direplikasi. Selain itu mitra pembangunan juga dapat
memberikan bantuan teknis bagi peningkatan kualitas pelaksanaan. Di sisi lain, organisasi
kemasyarakatan dapat memperkuat mobilisasi, advokasi, dan komunikasi dan riset serta
analisis kebijakan juga pelaksanaan kegiatan di tingkat masyarakat dalam rangka
meningkatkan ketahanan pangan dan perbaikan gizi. Peranan pelaku usaha adalah dengan
melakukan pengembangan produk pangan bergizi yang dapat diakses masyarakat,
menjaga kualitas, distribusi ke berbagai daerah sehingga mudah dijangkau, riset,
pengembangan teknologi, komunikasi, serta mendorong perilaku hidup sehat bagi
karyawannya.
Kolaborasi antara sektor swasta dan pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan
ketersediaan makanan bergizi yang terjangkau masih sangat sedikit. Di satu sisi, di
perkotaan sangat mudah ditemui makanan bergizi untuk anak, namun bagi populasi di
pedesaan dengan kuintil kepemilikan rendah tidak ditemukan hal yang sama. Sektor swasta
sering kali tidak memilih lokasi dengan tingkat permintaan yang rendah sehingga tidak
menyediakan bahan makanan ke lokasi tersebut, sehingga mengakibatkan tidak adanya
makanan anak yang berkualitas bagi penduduk yang rentan tersebut. Selain rendahnya
permintaan, biaya yang dikeluarkan untuk distribusi sering kali lebih besar ditambah daya
beli maysrakatnya rendah, sehingga sektor swasta semakin tidak tertarik untuk
menyediakan makanan ke daerah tersebut, kalaupun dilakukan harganya sulit lagi
terjangkau.
Dengan demikian sektor swasta dapat berperan untuk menyediakan
kesempatan untuk membuat makanan bergizi yang terjangkau dan mendorong
karyawannya untuk menerapkan pola hidup sehat.
46
Instansi Pelaksana
Untuk mengimplementasikan rencana aksi ini, terdapat pelaksana dari pihak
pemerintah dan non pemerintah yang berada di setiap tingkat administrasi, yaitu di tingkat
pusat, provinsi, dan kabupaten, bahkan kecamatan, dan desa. Untuk pihak pemerintah,
terdapat K/L yang bekerja di tingkat pusat dan Perangkat Daerah (PD) di tingkat daerah.
Di dalam mempermudah pelaksanaan di lapangan Kementerian/Lembaga dan atau
Perangkat Daerah dapat dikelompokkan ke dalam pilar, yaitu :
1.
Perbaikan Gizi Masyarakat, melibatkan Kementerian Kesehatan, Kementerian
Ketenagakerjaan, BKKBN, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transimigrasi, dan
Kementerian Sosial;
2.
Peningkatan Aksesibilitas Pangan yang Beragam, melibatkan Kementerian
Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perindustrian,
Kementerian Perdagangan, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan
Transimigrasi, dan Kementerian Sosial
3.
Peningkatan Pengawasan Mutu dan Keamanan Pangan, melibatkan Badan
Pengawasan Obat dan Makanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan
Perikanan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Perdagangan.
4.
Peningkatan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat, melibatkan Kementerian Kesehatan,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Pemuda dan Olahraga, dan
Kementerian Komunikasi dan Informasi.
5.
Kelembagaan, melibatkan Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian Koordinator
Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kementerian Koordinator Bidang
Perekonomian, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Kementerian Dalam
Negeri, Sekretariat Kabinet, dan Sekretariat Negara.
47
4.2.
Anggaran Indikatif
Penting untuk mengetahui anggaran yang tersedia untuk pelaksanaan program,
dengan demikian dapat diketahui jumlah dana yang diperlukan dan ketersediaan dana
sehingga apabila terjadi kekurangan dana dapat diketahui lebih awal dan direncanakan
untuk mencari alternatif pendanaan dari sumber lainnya. Besar dana indikatif untuk program
dan kegiatan hendaknya dimiliki pusat dan daerah dan untuk pusat biasanya terdapat pada
RPJMN dan Renstra K/L.
4.4.
48
Stakeholder
Pemerintah
pusat
Pemerintah
daerah
Masyarakat
DPR/DPRD
CSO
Mitra
Internasional
Masyarakat
Semesteran
Semesteran
Semesteran
Semesteran
RTD
Semesteran
Media, konseling
Bulanan
4.6.
49
K/L atau kegiatan lainnya yang relevan terhadap upaya perbaikan gizi dan berkaitan dengan
output dan outcome yang ingin dicapai. Indikator ini akan terus dipantau dan dievaluasi
sehingga dapat mendorong tercapainya output dan outcome dari RAN PG 2015-2019.
50
DAFTAR PUSTAKA
Bappenas RI. 1994. Tersedia di www.bappenas.go.id/index.php/download.../1729/
Bappenas RI. 2013. Kerangka Kebijakan Gerakan 1000 HPK. Bappenas RI
Bappenas RI. 2014. Nutrition Background Study for Health Sector Review. Bappenas RI
Bappenas RI. RPJMN 2015-2019, Bappenas RI
Barker DJP. 1998. Mothers, Babies and Health in Adult Life. Edinburgh: Churchill
Livingstone.
Barker DJP. 2012. Developmental Origins of Chronic Disease. Public Health 126:185-9
Bhutta ZA Das JK, Rizvi A, Gaffey MF, Walker N, Horton S, Webb P, Lartey A, Black RE.
2013. Lancet Nutrition Interventions Review Group; Maternal and Child Nutrition
Study Group. Evidence-based interventions for improvement of maternal and child
nutrition: what can be done and at what cost? Lancet. 382 (9890):452-77.
Black et al. 2008. Maternal and child undernutrition: global and regional exposures and
health consequences. The Lancet
Black RE et al. 2013. Maternal and child undernutrition and overweight in low income and
middle income countries. The Lancet
Crum J, Mason JM, Hutchinson P. 2012. Analysis of trends in nutrition of children and
women in Nepal. Kathmandu: UNICEF
Dobbs R, Sawers C, Thompson F, Manyika J, Woetzel J, Child P, McKena S, Spatharou A.
2014. Overcoming obesity: An initial economic analysis. London: McKinsey Global
Institute.
FAO. 1996. World Food Summit Rome Declaration of Food Security. Tersedia di
http://www.fao.org/docrep/003/w3613e/w3613e00.HTM
FAO. 1997. Agriculture food and nutrition for Africa - A resource book for teachers of
agriculture. Tersedia di http://www.fao.org/docrep/w0078e/w0078e04.htm
FAO/WHO. 2014. Republic of Indonesia: National Nutrition Strategy. 2nd International
Conference on Nutrition (ICN2). Tersedia di http://www.fao.org/3/a-at618e.pdf
FAO 2014. Second International Conference on Nutrition: Rome Declaration on Nutrition.
Rome: Food and Agriculture Organization.
Finkelstein EA, Chay J, Bajpal S. 2014. The economic burden of self-reported and
undiagnosed cardiovascular diseases and diabetes on Indonesian households. PLoS
ONE 9(6): e995572
Fanzo J, Curran S, Remans R, Mara V, Briseno JS, Cisewski D, Denning G, and Fracassi P.
2014. Simulating Potential of Nutrition-Sensitive Interventions. New York: Columbia
University, EarthInstitute, Center on Globalization and Sustainable Development..
Grantham-McGregor et al. 2007. Development potential in the first 5 years for children in
developing countries. The Lancet, 369:6070
Hales, C Nicholas and Barker, David JP. 2001. The Thrifty Phenotype Hypothesis. British
Medical Bulletin 2001;60.
Hoddinott et al. 2013, and additional country estimates made by the authors based on the
methodology in Hoddinott et al. 2013 dalam IFPRI. 2014. Global Nutrition Report.
IFPRI.
2014.
Global
Nutrition
Report.
Tersedia
http://globalnutritionreport.org/2014/11/13/global-nutrition-report-2014/
di
51
Institute for Health Matric. 2010. Global Burden of Disease Profil: Indonesia.
Bappenas RI. 2014. Health Sector Review. Bappenas RI.
Dalam
at:
The Lancet. 2013. Executive summary of The Maternal and Child Nutrition
Undang-undang No 18 Tahun 2012tentang Pangan.
Unicef. 1990. Strategy for Improved Nutrition of Children and Women in Developing
Countries. Policy review paper E/ICEF/1990/1.6. Unicef: New York.
Unicef. 1991. Strategy for improved nutrition of children and women in developing countries.
Policy Review Peper. New York.
Unicef. 2013 The state of the worlds children 2013:Children with disabilities. New York:
United
Nations
Childrens
Fund.
Tersedia
di
http://www.unicef.org.uk/Documents/Publication-pdfs/sowc-2013-children-withdisabilities.pdf.
52
53
Lampiran
54
Lampiran 1.
Agenda pembangunan dunia pada 15 tahun mendatang dilanjutkan melalui tujuan
pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals/SDGs) yang mencakup
pencapaian tujuan pembangunan dari berbagai sektor. Meski tujuan dan indikator SDGs
yang berkaitan langsung dengan sektor pangan dan gizi hanya bagian kecil dari tujuan
pembagunan berkelanjutan (SDGs), hal tersebut tidak serta merta menjadikan sektor
pangan dan gizi sebagai agenda pembangunan yang tidak menjadi prioritas utama.
Pemahaman yang lebih baik tentang kontribusi sektor gizi untuk mendorong tercapainya
seluruh tujuan SDGs dan kontribusi pencapaian SDGs terhadap gizi menjadi sangat penting.
Hal tersebut dijabarkan pada Tabel 8 berikut ini.
Tabel 7 Ilustrasi Hubungan antara Gizi dan SDGs (Webb, 2015)
Kontribusi Gizi terhadap
SDGs
Kontribusi SDGs terhadap Gizi
SDGs
Gizi yang baik menghasilkan 1. Mengakhiri segala
Pendapatan perkapita yang
pekerja dengan produktivitas
bentuk kemiskinan
meningkat dua kali lebih besar akan
dan kesehatan mental yang
dimanapun
menurunkan stunting sebesar 15
lebih baik serta usia sehat
persen. Hal ini terjadi dikarenakan
yang lebih panjang. Setiap
menurunnya keluarga miskin dan
cm pertambahan TB orang
peningkatan investasi pada bidang
dewasa berhubungan
gizi oleh karena berkurangnya
dengan 5 persen kenaikan
kerugian GDP.
gaji.
Gizi maternal yang baik
2. Mengakhiri
Gizi akan memberi keuntungan
menurunkan risiko
kelaparan,
besar, dari zero hunger sampai
melahirkan BBLR dan
mencapai
keamanan pangan. Pertanian
peningkatan pengasuhan
keamanan pangan berkelanjutan mendukung pola
anak. Pekerja dengan status
dan meningkatkan makan yang baik, pemasukan, dan
gizi yang baik akan
gizi
dan penggunaan sumber daya.
mendukung produktivitas
mempromosikan
pertanian dan peningkatan
pertanian
permintaan pangan,
berkelanjutan
peningkatan ketahanan
pangan dan menurunkan
kelaparan
Penyakit dan zat gizi
3. Memastikan hidup
Meningkatkan kesehatan, sejak
berinteraksi secara sinergis.
sehat dan
remaja puteri dan fokus pada 1000
Gizi yang baik mengurangi
mempromosikan
HPK (termasuk promosi ASI),
risiko kesakitan dan
kesejahteraan bagi mendukung gizi dan pertumbuhan
kematian dalam konteks
semua umur
anak yang akan menurunkan risiko
host disease secara
PJT di masa yang akan datang
signifikan , juga kesehatan
ibu dan pertumbuhan janin
Meningkatkan pertumbuhan
4. Memastikan
Akses informasi, pendidikan di
linear baduta sejumlah 1
kualitas pendidikan sekolah, dan pendidikan informal
standar deviasi
yang inklusif dan
akan meningkatkan kesehatan dan
menambahkan pencapaian
berkeadilan, serta
memperluas pilihan makanan untuk
di kelas. Menangani
mempromosikan
dikonsumsi, memaksimalkan
defisiensi zat besi, yodium
proses belajar
pertumbuhan, dan pendapatan
55
SDGs
sepanjang hidup
5. Mencapai
kesetaraan gender
untuk semua anak
perempuan dan
perempuan
6. Memastikan
ketersediaan dan
keberlanjutan
manajemen air dan
sanitasi untuk
semua
7. Memastikan akses
energi yang
terjangkau, handal,
modern, dan
berkelanjutan untuk
semua
8. Mendorong
pertumbuhan
pekerja penuh
waktu dan produktif
yang berkelanjutan,
dan inklusif serta
pekerjaan yang
layak untuk semua
56
Ragam
produksi
berdasarkan
praktik berkelanjutan yang menuju
pada lebih rendahnya
harga
57
Diskriminasi,
ketidaksetaraan,
kemiskinan,
dan
ketidakadilan
adalah kunci konflik, kerusakan,
dan malnutrisi. Ketentraman dan
keadilan adalah ketentuan untuk
membangun
institusi
yang
akuntabel dan dibutuhkan untuk
mencapai gizi baik untuk semua
orang.
58
Lampiran 2.
Tabel 8 Indikator Kinerja Utama/Output RAN-PG 2015-2019
No
I.
K/L
2015
2016
Target
2017
2018
2019
Frekuensi
Monitorin
Evaluasi
g
45%
Triwulana
n,
semestera
n
Spesifik
1.
Persentase
Puskesmas
yang
menyelenggarakan kegiatan kesehatan
remaja
Kemenkes
25%
30%
35%
40%
2.
Persentase
Puskesmas
yang
melaksanakan penjaringan peserta didik
kelas 1, kelas 7 dan kelas 10
Kemenkes
30%
40%
50%
55%
60%
Semester
an
3.
Kemenkes
10%
15%
20%
25%
30%
Bulanan,
triwulanan
Kemenkes
13%
50%
65%
80%
95%
Triwulana
n
Kemenkes
72%
74%
76%
78%
80%
Bulanan
yang
Kemenkes
78%
81%
84%
87%
90%
Triwulana
n
Kemenkes
82%
85%
90%
95%
98%
Bulanan
Kemenkes
70%
75%
80%
85%
90%
Bulanan,
triwulanan
Persentase
remaja
putri
yang
mendapatkan tablet tambah darah (TTD)
4.
5.
6.
Persentase
Puskesmas
melaksanakan kelas ibu hamil
7.
8.
Persentase balita kurus yang mendapat
Tahunan,
tiga
tahunan
Tahunan,
tiga
tahunan
Tahunan,
tiga
tahunan
Tahunan,
tiga
tahunan
Tahunan,
tiga
tahunan
Tahunan,
tiga
tahunan
Tahunan,
tiga
tahunan
Tahunan,
tiga
59
No
9.
10.
11.
12.
Target
Frekuensi
tahunan
Kemenkes
91%
91.5%
92%
92.5%
93%
Bulanan
Kemenkes
75%
80%
85%
90%
95%
Bulanan
Kemenkes
29%
46%
64%
82%
100%
Tahunan
Tahunan
Kemenkes
39%
42%
44%
47%
50%
Semester
an
Semester
an,
Tahunan
K/L
Tahunan,
tiga
tahunan
Tahunan,
tiga
tahunan
60
II.
1.
Sensitif
Jumlah peserta olahraga massal,
tradisional, petualang, tantangan dan
wisata (orang)
8.000
8.000
8.000
8.000
8.000
Triwulana
n
BKKBN
50,2
55,5
60,5
65,5
70,5
Triwulana
n
BPOM
58%
63%
63%
63%
63%
Semester
an
Tahunan,
tiga
tahunan
2
(Dit. KP
dan Dit.
PPI)
14
20
26
32
Semester
an
Tahunan
2.
Persentase keluarga yang mempunyai
balita dan anak memahami dan
melaksanakan
pengasuhan
tumbuh
kembang balita dan anak
3.
4.
5.
6.
7.
Persentase
cakupan
pengawasan
sarana produksi Obat dan Makanan
Jumlah sosialisasi terkait Peningkatan
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat pada
media cetak dan elektronik lokal dan
nasional
a. Melalui radio nasional
b. Melalui televisi nasional
c. Melalui konten cetak
d. Melalui indografis
e. Melalui videografis
f. Melalui banner website
g. Melalui banner tabloit Komunika
h. Melalui artikel kesehatan di tabloit
Komunika
Koefisien
variasi
harga
barang
kebutuhan
pokok antar waktu
Koefisien
variasi
kebutuhan
pokok antar wilayah
harga
Kemenkominfo
Kemendag
< 9%
< 9%
< 9%
< 9%
< 9%
Kemendag
< 14,2%
< 14,2%
< 13,8%
< 13,8%
< 13,0%
Kemendag
1000
1000
1000
1000
1000
barang
Tahunan,
tiga
tahunan
Tahunan,
Tiga
Tahunan
Kemenpora
Triwulana
n,
semestera
n
Triwulana
n,
semestera
n
Tahunan
Tahunan
Tahunan
Tahunan
61
II.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
Sensitif
rakyat
Pengembangan
Industri
Pangan
(komoditi) : Pengolahan Ikan, Tepung,
Gula berbasis Tebu, dan Minyak Nabati
Jumlah pekerja anak yang ditarik dari
Bentuk Pekerja Terburuk Anak (BPTA)
Jumlah Desa Pangan Aman (PAMAN)
Jumlah pasar yang diintervensi menjadi
pasar aman dari bahan berbahaya
Jumlah
kab/kota
yang
sudah
menerapkan Peraturan Kepala BPOM
tentang IRTP
Rata-rata konsumsi ikan per kapita
nasional (Kg/Kap)
Jumlah
keluarga
miskin
yang
mendapatkan bantuan tunai bersyarat
PKH
Persentase Kab/kota yang memiliki
kebijakan perilaku hidup bersih dan
sehat (PHBS)
Jumlah sambungan rumah (SR) bagi
masyarakat
berpenghasilan
rendah
(MBR)
terfasilitasi
pengembangan
jaringan SPAM
Terbangunnya 9.665.920 SR SPAM
perdesaan berbasis masyarakat
Persentase sarana air minum yang
dilakukan pengawasan
Persentase kab/kota yang melaksanakan
kebijakan kawasan tanpa rokok minimal
50% sekolah
Persentase
puskesmas
yang
Kemenperin
Tahunan
Tahunan
Kemenaker
16000
16500
17000
17500
18000
Tahunan
Tahunan
BPOM
100
100
100
100
100
BPOM
77
108
139
170
201
BPOM
20
20
20
20
20
Semester
an
Semester
an
Tahunan
Tahunan
Semester
an
Tahunan
KKP
40,9
43,88
47,12
50,65
54,49
Tahunan
Tahunan,
tiga
tahunan
Kemensos
3.500.00
0
6.000.00
0
7.000.00
0
7.500.00
0
8.000.00
0
Triwulana
n
Tahunan
Kemenkes
40%
50%
60%
70%
80%
Semester
an
Tahunan,
tiga
tahunan
Kemen PU dan
PR
32.000
120.000
136.000
152.000
221.600
Semester
an
Tahunan,
tiga
tahunan
Kemen PU dan
PR
927.360
1.280.00
0
1.920.00
0
2.560.00
0
2.978.56
0
Kemenkes
35%
40%
45%
50%
Kemenkes
10%
20%
30
40
50
Tahunan
Kemenkes
10%
20%
30
40
50
Tahunan
Semester
an
Triwulana
n
Semester
an
Tahunan
Tahunan,
tiga
tahunan
Tahunan,
62
II.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
Sensitif
melaksanakan
pengendalian
PTM
terpadu
Jumlah
kab/kota
yang
terlayani
infrastruktur tempat pemprosesan akhir
sampah (163 kab/kota)
Jumlah kab/kota yang terlayani Instalasi
Pengolahan Lumpur Tinja (222 kab/kota)
Pembinaan, fasilitasi, pengawasan dan
kampanye serta advokasi
Persentase Puskesmas yang melakukan
orientasi
Program
Perencanaan
Persalinan dan Pencegahan Komplikasi
(P4K)
Indeks kesehatan reproduksi remaja
(KRR) melalui generasi berencana
(genre)
Jumlah pelaksanaan kegiatan KIE
pelaksanaan kebijakan pemenuhan hak
anak atas kesehatan dan kesejahteraan
Jumlah
orang
dewasa
mengikuti
pendidikan keayahbundaan/keluarga
Persentase
sekolah
dasar
yang
melaksanakan UKS
Siswa yang mendapatkan program gizi
anak sekolah (progas) (piloting)
Persentase satuan pendidikan agama
dan keagamaan (pendidikan dasar) yang
melaksanakan UKS
Jumlah calon pengantin peserta kursus
bina pra-nikah
Pembinaan keluarga (Sakinah, Sukinah,
Hitasukaya, Kristiani)
Jumlah provinsi dan kabupaten/kota
yang terfasilitasi dalam peningkatan
tiga
tahunan
Kemen PU dan
PR
75
40
16
20
12
Tahunan
Tahunan
Kemen PU dan
PR
Kemen PU dan
PR
40
24
65
52
41
Tahunan
Tahunan
507
kab/kota
507
kab/kota
507
kab/kota
507
kab/kota
507
kab/kota
Tahunan
Tahunan
Kemenkes
77%
83%
88%
95%
100%
Semester
an
Tahunan,
tiga
tahunan
BKKBN
48,4
49
50
51
52
Triwulana
n
Tahunan
Kemen PPPA
Triwulana
n
Tahunan
Kemendikbud
25.500
970.900
1.890.70
0
3.014.90
0
4.343.50
0
Semester
an
Tahunan
Kemendikbud
38.448
siswa
Kemenag
30%
40%
50%
60%
70%
Semester
an
Tahunan
Kemenag
20%
40%
60%
70%
80%
Tahunan
Tahunan
34
Provinsi
34 Prov.
505
34
Provinsi
34 Prov.
505
34
Provinsi
34 Prov.
505
34
Provinsi
34 Prov.
505
34
Provinsi
34 Prov.
505
Tahunan
Tahunan
Semester
an
Tahunan
Kemendikbud
Kemenag
Kemen Desa,
Pembangunan
63
II.
34.
III.
35.
Sensitif
pembardayaan kesejahteraan keluarga
(PKK)
termasuk
penguatan
kelembagaan
posyandu
dalam
pelayanan sosial dasar masyarakat
Persentase Angka Partisipasi Kasar
(APK) PAUD usia 3-6 tahun
Enabling factor
Koordinasi lintas sektor melalui Pokja
Gernas 1000 HPK
36.
37.
38.
39.
40.
Daerah
Tertinggal dan
Transmigrasi
kab/kota
kab/kota
kab/kota
kab/kota
kab/kota
Kemendikbud
70.1%
72.1%
74.3%
76.4%
78.7%
Semester
an
Triwulana
n,
semestera
n
Triwulana
n,
semestera
n
Tahunan
Bappenas
Bappenas
30
30
34
34
34
Tahunan
Tahunan,
tiga
tahunan
Kementan
31
31
31
31
31
Semester
an
Tahunan
Triwulana
n
Tahunan
12
16
20
Semester
an
Tahunan
Kemenko PMK
Bappenas,
Kemenkes,
Kementan
Dunia usaha,
Kemenkes
Tahunan
Tahunan