Você está na página 1de 6

Agama Perbudakan vs.

Injil

Hendra Yohanes

Perikop Galatia 4:21-31 berisikan argumentasi rasul Paulus dalam


menyanggah ajaran para penyusup di jemaat Galatia. Bagian ini dapat
dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, pada ayat 22-23, Paulus
menjelaskan latar belakang sejarah bahwa Abraham memiliki dua putra,
seorang dari perempuan budak dan seorang dari perempuan merdeka.
Kedua, ayat 24-27 menunjukkan fakta historis ini ditafsirkan secara
alegoris menjadi dua macam agama: agama perbudakan (Yudaisme) dan
agama kemerdekaan (Kristen). Ketiga, dalam ayat 28-31, Paulus
mengaplikasikan alegori ini pada orang percaya.

Latar Belakang Historis


Di dalam konteks Yahudi dan jemaat Galatia, figur Abraham
dihargai sebagai bapa leluhur dan tokoh iman. Paulus dengan lihai
mengangkat kisah Abraham untuk menyanggah ekses berlebihan dari
kalangan yang mau membebani jemaat Galatia dengan berbagai macam
ritual PL. Paulus memberikan klarifikasi atas ulah para pembelok Injil,
seperti yang dikatakan di Galatia 2:4, Memang ada desakan dari
saudara-saudara palsu yang menyusup masuk, yaitu mereka yang

1Renungan ini disarikan dan dikembangkan dari dua tafsiran, yakni: John Stott,
The Message of Galatians: Only One Way (BST; Downers Grove: Inter-Varsity,
1986), 121-129; dan Scot McKnight, Galatians (NIVAC; Grand Rapids: Zondervan,
1995) 236-41.

menyelundup ke dalam untuk menghadang kebebasan kita yang kita


miliki di dalam Kristus Yesus ...
Dalam catatan Injil sendiri, Yohanes Pembaptis telah menegur
dengan keras orang Yahudi yang berbangga sebagai keturunan jasmani
dari Abraham (Mat. 3:9). Sejalan dengan itu, Paulus menunjukkan bahwa
keturunan sejati Abraham bukan dalam pengertian biologis. Sebaliknya,
yang dimaksudkan adalah anak-anak Abraham dalam pengertian rohani
sebagai milik dari Kristus yang adalah benih berkat Abraham bagi
bangsa-bangsa (3:16).
Abraham memiliki dua istri, yakni Hagar (perempuan budak yang
melahirkan Ismael) dan Sara (perempuan merdeka yang melahirkan
Ishak). Ismael dilahirkan dalam status perbudakan, sedangkan Ishak
dalam status kemerdekaan. Ismael dilahirkan secara natural, sedangkan
Ishak dilahirkan secara supranatural menurut janji Allah. Janji Allah ini
dikaitkan dengan iman oleh Paulus dalam surat Galatia.

Argumentasi Alegoris
Ayat 24 dimulai dengan perkataan, Ini adalah suatu kiasan ...
Peristiwa historis dalam keluarga Abraham ditafsirkan Paulus memiliki
makna spiritual lain yang menggambarkan dua macam perjanjian.
Perjanjian Lama disejajarkan dengan Hukum Taurat Musa, kovenan di
gunung Sinai, Hagar, Ismael yang diperanakkan menurut daging, anak
budak, Yerusalem bumiah, dan para lawan Paulus yang memaksakan
aturan justifikasi legalistik. Sedangkan, Perjanjian Baru diparalelkan
dengan justifikasi melalui iman kepada karya Allah dalam Kristus, Sara,

Ishak yang diperanakkan menurut janji, anak merdeka, Yerusalem


sorgawi, dan orang-orang percaya yang dianiaya. Dari kedua hal yang
dikontraskan ini, Paulus menyatakan bahwa tidak cukup hanya mengklaim
Abraham sebagai bapa kita. Pertanyaannya adalah siapa yang menjadi
ibu kita? Apakah Hagar sehingga kita seperti Ismael atau Sara sehingga
kita seperti Ishak?
Aplikasi Personal
Ayat 28 berbunyi, ... kamu sama seperti Ishak adalah anak-anak
janji. Kita bukan keturunan Abraham secara natural, melainkan secara
supranatural menurut janji Allah seperti Ishak adalah anak perjanjian.
Jika kita seperti Ishak, maka kita pun akan mendapatkan perlakuan seperti
yang diterima oleh Ishak. Ayat 29 menunjukkan bahwa kita sebagai
keturunan rohani akan dianiaya oleh keturunan menurut daging. Seperti
halnya Ishak dianiaya oleh Ismael (Kej. 21:9), begitu pula orang-orang
percaya akan diperlakukan demikian oleh kaum agamawi yang
mengagung-agungkan justifikasi melalui peraturan hukum Taurat. Yesus
sendiri ditolak, dimusuhi, bahkan dihakimi oleh bangsa Yahudi sendiri.
Musuh terberat Paulus adalah orang-orang Yahudi di dalam gereja yang
menuduhnya sebagai rasul palsu. Mungkin musuh yang menganiaya
pada masa kini adalah orang-orang yang mengaku sebagai gereja Tuhan,
tetapi dengan segala hierarki dan kemapanannya justru menyingkirkan
keistimewaan berita Injil, yakni dibenarkan hanya melalui iman dan bukan
oleh jasa baik diri sendiri.

Ayat 30 menunjukkan meskipun Ishak telah dipermalukan dan


dicemooh Ismael, tetapi Ishak-lah yang ditentukan untuk menerima
warisan sebagai anak dari perjanjian antara Allah dan Abraham. Ishak
melambangkan bahwa ahli waris janji Allah adalah keturunan spiritual
Abraham, baik orang Yahudi maupun non-Yahudi. Di satu sisi, orang
percaya mendapatkan penganiayaan. Namun, di lain sisi, orang percaya
yang akan menjadi pewaris dari janji Allah bersama-sama dengan Kristus
(bdk. Rm. 8:17).
Agama Ismael melambangkan agama natural, yang berbicara
tentang apa yang manusia dapat lakukan sendiri tanpa intervensi khusus
dari Allah. Sedangkan, agama Ishak melambangkan agama kasih
karunia, yang berbicara tentang apa yang telah Allah lakukan sebagai
inisiatif dan intervensi dari Allah sendiri melalui janji yang diberikan
secara supranatural. Agama Ismael berada dalam perbudakan, sebab
selalu mengarah pada pengandalan diri sendiri (self-reliance). Sebaliknya,
Ishak menikmati kemerdekaan melalui iman yang bergantung sepenuhnya
(total-dependence) kepada Kristus, Sang Penebus. Melalui perikop ini, kita
diingatkan kembali bahwa kita menerima warisan sorgawi sebagai anakanak Allah, bukan berdasarkan ikatan hukum Taurat di gunung Sinai yang
tidak mampu kita penuhi secara sempurna, melainkan hanya melalui iman
terhadap karya Kristus yang telah sempurna di bukit Golgota. Sungguh
anugerah Allah yang memberi kelegaan sejati!
Signifikansi Kontemporer

Dewasa ini, orang Kristen yang hidup nyaman seringkali


menganggap kesulitan kecil (seperti: penurunan pendapatan, penyakit
ringan, kegagalan memenuhi ambisi, kelelahan sepulang kerja, dsb.)
sebagai penderitaan. Tanpa sadar kita tidak peka akan sesama saudara
seiman yang sungguh-sunguh tengah mengalami penganiayaan akibat
iman kepada Kristus. Penganiayaan itu dapat berupa: tatapan mata yang
melotot, pengucilan sosial, komentar pedas, atau ancaman karier.
Sebagian bahkan harus melarikan diri dari tempat asal, agar tidak
dipenjara, disiksa, atau dibunuh karena berpegang teguh pada kebenaran
Injil.
Di dalam konteks metropolitan, roh zaman (Zeitgeist) merupakan
musuh dari kebenaran Injil, di antaranya ialah ideologi pluralisme dan
injil toleransi. Pluralisme jelas-jelas bertentangan dengan klaim absolut
Tuhan Yesus sebagai satu-satunya Jalan Keselamatan. Dengan
mengaburkan makna kasih yang Alkitabiah, sebagian orang Kristen secara
ironis lebih menekankan toleransi antar umat beragama jauh melebihi
semua upaya pemberitaan Injil. Geisler dan Turek menuliskan, We are
well aware of the dangers of religious intolerance and believe that we
should accept and respect people who have different religious beliefs. But
that doesnt mean that personally we ought to embrace the impossible
notion that all religious beliefs are true.2 Di tengah tantangan zaman
demikian, apakah kita akan merespons dengan tepat seperti Paulus telah
meng-counter ajaran yang bertentangan dengan Injil?

2Norman L. Geisler dan F. Turek, I Don't Have Enough Faith to Be an Atheist (Wheaton:
Crossway, 2004) 46.

Meskipun memberitakan kebenaran Injil berarti penolakan dan


penganiayaan dari dunia ini, sebagai anak-anak perjanjian, kita perlu
menerima risiko yang menyertai. Tuhan Yesus bersabda: Berbahagialah
orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang
empunya Kerajaan Sorga (Mat. 5:10). Paulus juga menasihatkan, Sebab
Allah memberikan kepada kita bukan roh ketakutan, melainkan roh yang
membangkitkan kekuatan, kasih dan ketertiban. ... ikutlah menderita bagi
Injil-Nya oleh kekuatan Allah (2Tim. 1:7-8). Marilah bersandar penuh
pada pertolongan Tuhan agar kita dianugerahkan kesungguhan hati dan
hikmat dari Roh Kudus untuk mewartakan berita Injil bagi jiwa-jiwa yang
terhilang meskipun ada penderitaan dan penganiayaan yang
menghadang. Amin.

Você também pode gostar