Você está na página 1de 19

Ismail Basbeth: Film Bagus Harus Punya Makna

Lebih Dalam

Ismail Basbeth (Foto : Serunai / Ayu Saras)


Lahir di Wonosobo, di sebuah desa adem ayem tanpa tuntutan keras
ritme hidup cepat a la perkotaan, tak lantas membuat Ismail Basbeth
lambat berkarya. Etos kerja sutradara kelahiran tahun 1985 tersebut di
bidang montase terbilang luar biasa. Terbukti selama sepuluh tahun
terakhir, sutradara yang memiliki latar belakang pendidikan Ilmu
Komunikasi tersebut telah merilis setidaknya 10 film pendek dan 3 film
panjang.
Basbeth tidak pernah secara khusus mengenyam pendidikan di bidang
perfilman. Latar belakang pendidikan di luar film itu yang justru
menjadikannya getol belajar dan berkarya. Karena aku nggak diajari
orang ya aku harus belajar sendiri toh, aku mencari bahan sendiri, ujian
sendiri, ujarnya.
Mungkin itu pula yang membuat karya-karya Basbeth sangat beragam
dan bisa
dibilang eksperimental. Basbeth menjadikan proses
pengkaryaannya
semacam
tantangan
untuk
terus
melakukan
eksperimentasi. Ibarat aliran musik kan banyak, aliran film juga banyak,
aku ingin eksplor menjadi itu semua dulu, tutur Basbeth.
Bukti dari eksperimentasi tersebut tampak dalam kurun waktu satu tahun
antara 2014-2015, Basbeth membuat 3 film panjang dengan genre yang
berbeda-beda. Another Trip to The Moon, Mencari Hilal, dan Talak 3. Dua
film yang disebutkan terakhir masuk ke jaringan bioskop nasional,
sedangkan Another Trip to The Moon wara-wiri diputar di beberapa festival
film internasional seperti di Rotterdam dan Moscow.
Selasa malam itu (21/6) saya diperkenankan untuk mampir ke rumahnya,
setelah menentukan jadwal yang tepat di tengah kesibukan Basbeth
mengisi sebuah workshop film untuk para siswa SMK. Bermodal aplikasi
GPS di gawai, saya mencari rumah Basbeth berdasarkan lokasi yang

dibagikan melalui aplikasi percakapan WhatsApp. Setelah sedikit berputarputar berkeliling, akhirnya saya menemukan rumah sutradara tersebut,
berlokasi di salah satu perumahan yang masuk wilayah administratif kota
Yogyakarta.
Sebagai seorang sutradara yang cukup terkenalatau mulai dikenal dan
menanjak karirnyabisa dibilang rumah Basbeth cukup sederhana,
dengan perabot ala kadarnya. Dari jendela depan rumah, tampak sebuah
televisi layar datar di ruang tengah, satu-satunya barang yang terlihat
cukup mencolok. Di ruang tengah itu istri dan anaknya tengah
menyaksikan saluran Baby TV, sembari riuh bermain dan bercengkerama.
Di teras rumah yang sekaligus menjadi ruang tamu, Basbeth duduk
bersama temannya, Suryo, yang setelah mengobrol lebih jauh baru
diketahui ternyata adalah kawan kuliahnya di Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta (UMY). Bersama Basbeth, Suryo juga ikut merintis Hide Project
Films, wadah Basbeth dan teman-temannya berkarya di dunia perfilman.
Lantaran melihat istrinya cukup sibuk, Basbeth membuat sendiri kopi
hitam untuk kami. Setelah cangkir-cangkir kopi tersedia, lalu dimulailah
obrolan panjang saya dengan Ismail Basbeth. Di tengah cara berbicara
Basbeth yang meledak-ledak, jenaka, dan terkadang sarkas a la gojek
gentho, kami berbincang mengenai pengetahuan film, industri film,
hingga pengelolaan kolektif sebagai wadah berkarya. Berikut adalah
ringkasan dari percakapan tersebut:
Kenapa memilih terjun ke dunia perfilman? Padahal dulu bukan
kuliah di bidang itu?
Aku tidak memilih film. Secara naf aku mengatakan film yang memilih
aku. Aku tidak pernah bercita-cita menjadi filmmaker sebelumnya. Dulu
malah suka band-band-an, inginnya menjadi musisi. Tapi pindah ke
Yogyakarta setelah selama satu tahun sempat kuliah di STSI (Sekolah
Tinggi Seni Indonesia, Bandung, sekarang menjadi Institut Seni Budaya
Indonesia atau ISBI. Red), aku main ke rumah temanku mau meminjam
buku karena aku di jurusan Komunikasi, untuk tahu komunikasi itu apa.
Dari situ saya bertemu seorang teman. Kita ngobrol, ternyata dia punya
rental VCD bajakan, dan kami mulai membicarakan film.
Boleh tahu siapa teman tersebut?
Namanya Darwin Nugraha. Yang di kemudian hari ternyata dia penggagas
salah satu komunitas film dan karyanya pernah meraih Piala Citra FFI
2008 sebagai film dokumenter terbaik. Dia menawarkan aku untuk belajar
film. Saya diberi uang Rp. 125.000 per bulan untuk menjaga rental. Mas
Darwin bilang emang sedikit, namun bonusnya kamu bisa belajar dan
main komputer. Waktu itu aku bahkan nggak bisa mainan komputer. Lalu
prosesnya berjalan, saya band-band-an sambil jaga rental.

Dari dia jadi kenal banyak orang penting. Namun waktu itu aku mengenal
mereka sebagai bukan siapa-siapa juga, menganggap mereka itu
temannya temanku. Hingga 2006 aku gabung di Jogja-NETPAC Asian Film
Festival, aku yang masih bawang kothong di perfilman tiba-tiba
membicarakan Asia. Tapi aku disuruh ngurus program. Bajigur, program
itu apa, karena harusnya Darwin yang disuruh bantuin, namun
berhalangan sebab kampungnya kena bencana gempa. Pertama
dikenalkan ke Ifa (Isfansyah) Darwin bilangnya, ini ada bocah, goblok sih,
tapi mau belajar. Jadi awal Darwin pertama memperkenalkan aku itu
sebagai bukan siapa-siapa. Bablas sampai sekarang.
Tapi pada dasarnya suka film?
Dari kecil di Wonosobo, rumahku tepat berada di depan gedung bioskop.
Saking biasanya dengan film, aku jadi tidak bercita-cita menjadi
filmmaker. Setiap minggu saya nonton film bersama orang sekampung.
Tapi aku merasa nggak punya pengalaman yang istimewa. Hingga di
kemudian hari sadar, lha bajigur rumahku di depan bioskop kok, pantas
saja aku di film. Jadi, rumah embahku sebelahnya juga berdiri Bioskop
Dieng di daerah Seruni Desa. Itu bioskop yang sampai sekarang masih
bertahan dan tidak pernah mengalami fase mati.
Akhirnya sadar, faktor-faktor itu juga yang membuatku dekat dengan film.
Menonton film menjadi bagian hidup dari kecil. Namun kebiasaan lain
yang tak hilang sampai sekarang adalah membaca komik.
Apa komik favorit Basbeth?
Dragonball dan One Piece. Aku suka komik Jepang. Dulu sering sekali
menyewa di persewaan buku di Wonosobo. Hingga menjadi kebiasaan
jalan kaki sambil membaca komik. Mengenai frame, cerita, tata tutur, dan
visual mungkin komik menjadi influence terbesarku.
Dulu Basbeth kuliah di Komunikasi, adakah
terhadap dunia perfilman yang digeluti sekarang?

pengaruhnya

Aku kuliah Komunikasi di UMY penjurusannya di advertising. Ada dosen


namanya Zuhdan Azis, lulusan ISI (Institut Seni Indonesia, Yogyakarta.
Red). Pak Zuhdan ini mengajar Dasar-Dasar Audio Visual. Karena anak
iklan kan harusnya membuat iklan tho, namun di kelasnya dia malah
bilang wes, bikin film aja. Karena saat itu Pak Zuhdan juga suka film
karena masih tren. Jadi di kelasnya kita boleh memilih, nggak harus
membuat iklan. Akhirnya waktu itu aku membuat film bersama temanteman, termasuk Suryo, yang sekarang menjadi partner producer-ku.
Jadi sudah membuat film sejak kuliah?
Tapi sebelum 2008 itu fase coba-coba lho. Juga karena tren. Aku membuat
karya, namun aku anggap itu seperti karya anak SMA yang nggak jelas

tujuannya apa, gambarnya begitu beragam nggak konsisten. Masih


banyak mengcopy orang. Ada kira-kira 5 karya audio visual. Karya
pertama yang aku akui adalah Hide and Sleep (2008). Karena di situ
kesadaranku sudah tumbuh, aku sedikit tahu bagaimana feel, dan aku
mengerti mauku apa.
Bagaimana awal proses Ismail Basbeth menjadi sutradara?
Dulu kan aku mencari uang sebagai editor film, jadi sering melihat
sutradara yang bekerja dengan aku, kok sepertinya wangun. Bisa nyuruhnyuruh, lalu film jadi. Dan film dokumenter juga memiliki proses yang
menarik. Mungkin hal itu yang membuat karya-karyaku sangat berbedabeda. Nggak ada yang sama dan terlalu asik bereksperimen. Dan aku lupa
bagaimana prosesnya, nyemplung saja.
Setelah ikut JAFF (Jogja-NETPAC Asian Film Festival. Red), aku ketemu
almarhum Elida Tamalagi, pendiri ruang alternatif Kinoki . Aku mantap
ingin menjadi sutradara dan keluar dari JAFF. Rasanya ingin membuat
karya sendiri. Akhirnya saat itu 2007 saya pamit keluar dari JAFF. Dan
2008 saya sudah mulai syuting. Jadi bisa dibilang, aku memutuskan di film
itu tahun 2008
Padahal dari fase kuliah dari 2004, itu proses yang panjang, skripsi sudah
Bab 2, kan tinggal lulus aja toh. Aku tinggal sekolahku, dan fokus ke film.
Lulus 4 tahun kemudian, jadi selama 8 tahun aku kuliah di UMY. Disebut
milih, ya di 2008 aku memilih menjadi sutradara.
Adakah nilai-nilai
tersebut?

yang

bisa

dipetik

setelah

melalui

proses

Setelah membuat film-film panjang aku dapat kesimpulan. Oke karya apik
itu satu hal. Karena kita belajar, harus membuat sebuah karya yang
bagus, ada pengetahuannya. Yang kedua adalah laku. Karena sifat film
setelah seni adalah industri. Seperti koin, ya seni, ya industri. Makanya
aku harus sadar bagaimana industri berjalan. Karena laku juga penting.
Bagi produser artinya uang, bagi sutradara artinya resapan. Bisa diresapi
berapa orang. Kalau secara industri laku, berarti kamu punya energi untuk
membuat karya lagi.
Lalu kesimpulannya yang kami temukan setelah film Talak 3 adalah,
ternyata kita sebagai seniman, membuat karya yang bagus dan laku saja
nggak cukup. Ada faktor ketiga, yaitu migunani (berguna. Red). Kita harus
memikirkan itu. Migunani atau tidak kan urusannya sudah ke manusia.
Bukan mengenai film atau industri. Lha bagaimana membuat karya yang
besar dan berguna bagi orang lain, apabila untuk partner dan crewku
sendiri tidak bisa.
Kemudian itulah yang aku anggap sebagai kesimpulan. Jadi dari aku
membuat 10 film pendek sudah aku anggap lulus kuliah S1. Tiga film

panjang yang beda-beda desain dan pencapaiannya aku anggap lulus


kuliah S2. Kini saatnya aku fokus di migunani atau tidak. Kalau tidak, ya
jadi cuma gini saja. Bayangkan saja, bikin film bagus, 10 tahun kemudian
masih sama aja, tidak memiliki impact apapun ke manusia atau ke
kemanusiaan.
Bagaimana kriteria film yang bagus menurut Basbeth?
Pertama dia punya cerita yang unik, turun menjadi karakter yang kuat dan
script yang bagus. Yang kedua, harus punya impresi. Setelah ide dan
cerita, ia harus memiliki impresi yang berkaitan erat dengan teknologi.
Teknologi visual dan audio juga kini sudah sangat luas, tidak seperti dulu.
Sebab itu teknologi sangat berpengaruh atas bagaimana sebuah cerita
jadi sebuah pengalaman, impresi yang diterima penonton jadi penting.
Ketiga, dia harus punya deeper meaning (makna lebih dalam. Red). Kalau
kamu nonton film, dan nggak punya deeper meaning, mungkin itu bukan
film bagus. Se-simple itu temuanku terhadap film sebagai medium.
Saat menjadi panelis di diskusi yang diselenggarakan Roemansa
Gilda beberapa waktu yang lalu Basbeth kerap membicarakan
istilah sosio-kapital untuk praktik kerja kolektif. Bisa dijelaskan
apa maksudnya?
Aku punya grup Hide Project Films, sebuah production house. Production
house kan dibuat memang untuk memproduksi karya. Jika ia sebuah
perusahaan, jelas orientasinya adalah untuk merespon pasar. Di sini kita
fokusnya alternatif, makanya kita tidak pernah menyebut diri kita
independen. Kita menyebutnya film alternatif. Artinya kalau semua
sedang membuat film sinetron, aku membuat film seni. Namun kalau
semua membuat film seni, aku membuat film sinetron.
Karena, satu kelompok, satu Negara, satu teritori, kalau tidak ada
pemikiran alternatif itu berarti mati negaranya, sakit. Di antara tujuh
partner kerja ini ada yang pemikirannya komersil, dan ada yang seniman
sekali, salah satunya aku. Jadi kalau ngomongin uang nggak sampai. Maka
di tahun 2013 aku bilang ke Suryo kayaknya sifat kita yang
mendedikasikan karya hanya untuk pengetahuan, hanya untuk karya,
harus diwadahi. Kalau tidak, bisa-bisa karir, partner, pertemanan, bisa
bubar.
Maka dibuatlah Bosan Berisik Lab. Kemudian 7 orang ini bergerak di
koridor yang berbeda. Aku, Charlie Meliala, Leilani Hermiasih. Fokusnya
adalah pada kerja-kerja kekaryaan, berangkat dari film. Tapi kemudian kita
lintas kerja disiplin. Pertama, seniman boleh membuat apa saja asal
tanggung jawabnya pada pengetahuan. Yang kedua, karyamu adalah
tanggung jawabmu pada peradaban. Jadi tidak ada urusannya pada
untung rugi. Tidak ada urusannya pada bagus jelek, laku nggak laku.
Inilah ruang eksperimentasimu.

Hide Project dan Bosan Berisik Lab kemudian kami buat menjadi institusi.
Supaya kalau kelak aku mati, mereka tetap hidup sebagai gagasan,
menjadi institusi yang memiliki bentuk dan prosedur.
Dari visi, kita sudah sama, namun misi kan langkah teknis, harus diakalin.
Maka dibuatlah kedua itu berdampingan. Bosan Berisik Lab untuk kerja
non-profit, Hide Project Films orientasinya profit. Tapi keduanya difokuskan
untuk kemanusiaan. Inilah contoh praktik sosio-kapital.
Lalu Mail meminjam buku dan pulpen untuk menggambarkan ilustrasi
bagan-bagan posisi Hide Project Films dan Bosan Berisik Lab.
Adakah kegalauan
kolektif?

menyejajarkan

sistem

industri

dengan

Makanya di sini harus aku yang buat. Another Trip to The Moon jelas
berangkatnya dari ranah kolektif, sebuah karya yang dimulai dari yang
aku suka. Meski tidak laku, namun banyak teman yang mau bergabung.
Sedangkan Mencari Hilal dan Talak 3 malah tanpa kontemplasi, namun
orang yang menonton suka. Sekarang sutradara mana yang dapat
membuat 3 film dalam satu tahun dengan genre yang berbeda-beda?
Kami ingin bekerja dengan orang-orang kreatif, ya dari Bosan Berisik Lab.
Atau orang yang arahnya ke film ada di Hide Project Films. Sangat lentur
jadinya, makanya fleksibilitas itu jadi penting.
Berarti Hide Project Films dan Bosan Berisik Lab sampai sekarang
dipegang bertujuh saja?
Makanya kita kalau becanda, kita kapal kecil sih, namun kita di samudera.
Kalian kapal gede, tapi di kali, makanya tubruk-tubrukan. Skillnya beda
dong, kita bertujuh tapi di samudera. Kita tidak pernah membicarakan
sebatas Jogja melainkan bicara mengenai sesuatu yang besar sekali,
orientasinya ke manusia. Caranya bekerja ya dengan menyadari bahwa
kita ini manusia.

Basbeth sekarang terbilang sudah cukup mapan. Dulu modal awal


bikin film dari mana?
Njaluk njaluk. Pertama di film Hide and Sleep itu aku suma ngedit tok, tapi
minta tolong teman-teman untuk kolektif. Film kedua aku punya uang Rp.
500.000, shooting-nya cuma di Prawirotaman yang kira-kira mencukupi
budget. Film ketiga, aku sudah lama tidak shooting karena aku kerja
hanya cukup menghidupi hidupku saja. Lalu ada teman menawari
shooting, katanya ada tabungan Rp. 1.500.000, akhirnya dia jadi
executive producer. Sejak film ketiga, setelahnya film didanai orang lain
semua.

Tapi ada film tertentu seperti 400 Words (2013), aku mau kawin, nggak
punya uang buat pre-wedding toh. Akhirnya aku bikin sendiri filmnya
dengan modal Rp. 500.000, eh sampai Festival Film Dokumenter di
Amsterdam.
Yang paling disuka Ismail jenis film seperti Another Trip to the
Moon, Mencari Hilal, atau Talak 3?
Yang paling seneng ngelakoninya aku belum nemu, karena
menyenangkan dan asik semua. Karena aku punya excuseku kan, aku
masih nyoba-nyoba. Namun kalau aku pribadi pengennya ada di Another
Trip to The Moon terus. Namun kan hidup tidak hanya harus mengikuti
keinginanku. Harus diatur makanya ada sistem itu.
Tiba-tiba anak Ismail menangis, minta keluar rumah. Hanya butuh
beberapa kalimat dari Mail saja dia sudah kembali bermain. Tampaknya
Mail dapat menguasai perannya sebagai ayah di sebuah keluarga kecil
bersama anaknya yang cukup rewel ini. Lalu kembali ia menghadapi
pertanyaan seputar film.
Pandangan Ismail Basbeth tentang tren film sekuel seperti Ada
Apa Dengan Cinta 2?
Kalau kamu mau tanya kayak gitu, kamu harus jelas tanya aku sebagai
apa dulu nih.
Sebagai sutradara?
Kalau sebagai sutradara. Melihat formula yang dipakai dalam film itu kan
sebenarnya tidak ada yang baru. Namun kalau membandingkan dengan
AADC sebelumnya, diingat-ingat coba, film ini lebih berani, sangat realis.
Berarti kan sutradara Riri Riza pengen ngomong, dulu itu gambarnya
cantik karena apa? Masih remaja (tokoh-tokohnya. Red), hidupnya masih
enak. Lah yang sekarang kan sudah dewasa, sudah dibikin realis
gambarnya. Kalau diamati kan caranya ambil gambar nggak aneh-aneh,
seakan menunjukkan bahwa film ini sebagai sekuel juga tumbuh dewasa.
Walaupun ini juga film remaja.
Namun kalau misal dibuat dengan cara sebelumnya, ya jadi wagu toh.
Ngapain dibikin sekuelnya, dan kita tahu Riri Riza kan sutradara bagus,
dia pasti cari mainan, dia orang yang gak mungkin bikin untuk sekedar
jualan, karena AADC jelas pasti laku di pasar. Sebagai sutradara aku
appreciate itu.

Bagaimana cara Mail dan teman-teman menghidupi tim?

Selama ini yang menghidupi kami adalah visi. Karena nggak ada duitnya
kok, ini kan cuma gagasan. Tapi pelan-pelan mulai menunjukkan bukti.
Orang-orang yang kami temui di perjalanan itu mengetahui gagasan ini.
Makanya memutuskan gabung dengan kita bukan karena ambisi mencari
project. Karena mereka tahu di Hide Project barang dagangannya nggak
ada, isinya karya semua.
Kita itu kalau ketemu ngumpul Hide Project pasti bahas ke karya.
Rampung project cari uang masing-masing. Ada yang di iklan, ada yang
bikin dokumenter, ya bagaimana pun caranya hidup.
Hide Project Films kan memang money making. Kalau cara menghidupi
Bosan Berisik Lab sebagai kolektif adalah, semua orang Bosan Berisik
memiliki saham di Hide Project. Kamu kerja atau nggak kerja di Hide
Project tetap dapat uang karena telah mendirikan dan bekerja dalam
ranah pengetahuan, dan masuk sebagai pemilik saham. Itulah sebabnya
kami tidak membiarkan ada investor lain masuk. Agar kita tidak
mengandalkan funding, meski mereka juga penting.
Seberapa penting pertemanan bagi kehidupan Mail?
Buatku harta yang kita nikmati setelah melewati ini semua ternyata
adalah pertemanan. Enak sekali rasanya. Aku menjalani banyak hal tapi
aku nggak kehilangan teman-temanku. Berarti kan komunikasinya beres
toh. Teman-temanku masih asik. Dari dulu juga nggak pernah tak kekang,
gak pernah punya aturan. Malah tiba-tiba memutuskan membuat kantor
bareng. Ingin merawat ruang bersama agar punya tempat untuk
berkumpul. Jadi kami menjalani ini lebih organik, step by step. Jangan
sampai ambisi dan visi itu membunuh kita.
Yang penting punya landasan dan alasan yang kuat, dan punya tujuan
yang terjelaskan, fokus. Jangan sampai kita pengen terkenal tapi
ngomongnya pengen jadi seniman. Karena jadi terkenal dan seniman itu
beda lho. Kamu bisa jadi seniman terkenal, kamu bisa jadi orang terkenal
yang bermain seni, tapi dua itu hal yang sangat berbeda. Nah mengenali
itu sejak dini penting. Seperti aku bilang nyamannya bikin film Another
Trip to The Moon, ya dikomunikasikan ke teman-teman, jadi mereka tahu
kalau Mail sukanya bikin film yang begini. Tetap ada kebersamaan.
Belakangan Basbeth dan kolega mulai banyak disorot media.
Apakah ini bisa disebut sebuah pencapaian?
Kami percaya exposure media itu penting. Namun jangan sampai hanya
mainan exposure aja. Intinya kalau seniman kan punya karya, bukan
cuma media. Lha sampai modhar, kalau nggak punya karya ya nggak jadi
apa-apa. Kamu akan dipandang sebagai social climber saja paling. Karena
bagaimana pun brengseknya aku, misal ada orang nggak suka aku,
namun kalau dia melihat karyaku bagus, dia harus mengakui. Karyaku
nggak ada hubungannya sama personalitasku. Image media itu

sebenarnya nggak begitu penting. Akhirnya kembali lagi ke karya.


Makanya untuk aku, mainan social media ya secukupnya saja, untuk
memperkenalkan karya.
Kalau ada yang pengen jadi terkenal kayak aku ya mereka keliru, nggak
lihat dulunya aku. Lha sampai ngalamin puasa juga karena buat makan
susah, kawin nggak punya duit. Dan setelah melewati karya panjang pun,
lihat hidupku, biasa saja toh. Tidak ada sesuatu yang melonjak setelah
pemasukan finansial yang tiba-tiba. Karena tujuanku bukan itu.
Pernah membayangkan nggak jadi seterkenal ini?
Serius nih pertanyaannya itu? Bajigur. Hahahaha. Ya nggak lah, aku aja
sadar aku seterkenal ini setelah aku pulang ke desa. Tetanggaku kampung
teriak-teriak, woy kemarin masuk TV lho. Nah itu baru sadar kalau aku
terkenal. Hahaha.
Adakah harapan tertentu dari proses yang dialami Mail?
Aku berharap karya-karyaku setelah ini adalah karya yang lebih jelas
sikapnya. Kemarin kan terlalu eksperimentatif, terlalu berbeda, aku
kadang capek sendiri.
Aku ingin sesuai kebutuhan, ketika naluri kemanusiaanku terpanggil untuk
membicarakan sesuatu, dengan cara apapun akan aku buat. Yang kemarin
kan bentuk memimpin eksperimentasi, nilai di belakang. Sekarang ingin
aku balik itu. Karena aku sudah lulus, aku sekarang terjun ke masyarakat.
Aku harus hidup dengan masyarakatku dengan cara sekecil-kecilnya.
Misal aku bikin film panjang, orang-orang ketawa lihat di bioskop, namun
aku nggak tahu ada perusahaan di Papua yang membunuh orangorangnya, kan wagu jadinya. Setidaknya kalau kamu tidak melakukan
sesuatu jangan sampai kamu bilang tidak tahu dong. Jangan sampai
terlalu sibuk mikirin apa sih eksperimentasi apa sih teknik film bla bla bla.
Ya setidaknya tidak membohongi kesadaran kemanusiaan kita.
Bagaimana rutinitas keseharian Mail dari pagi sampai malam?
Sambil menyalakan rokok, Mail menjawab santai sembari mengingat
rutinitas kesehariannya.
Kalau rutinitas biasa, aku bangun siang, karena aku nggak bisa bangun
pagi. Satu jam dua jam setelah bangun itu aku harus ngopi karena aku
slow starter. Nggak bisa langsung on, dan bad mood kalau bangun. Nggak
bisa diganggu. Mainan hp. Ini hari-hari tanpa job ya.
Lalu siang anak-anakku tidur, istriku tidur, aku melakukan sesuatu, nonton
film atau ngapain. Sore nganterin belanja kebutuhan. Kalau istri keluar ya
aku yang jagain anak-anak. Karena istri kan juga punya aktivitas toh.

Setelah maghrib sering teman-teman main ke rumah untuk ngobrolngobrol.


Jadi kita kalau lagi pas nggak ada kerjaan, benar-benar dinikmati betul
fokusnya untuk keluarga. Bahkan nggak ngapa-ngapain ya sebisa
mungkin dengan keluarga. Karena pekerjaan kami menuntut hilangnya
itu. Kebalikannya, kalau lagi kerja, aku berangkat shooting anak-anakku
masih tidur, pulang shooting anakku sudah tidur, nggak pernah ketemu.
Namun kalau pagi kan tetap minta dibangunin istri karena nggak bisa
bangun pagi, kami sempatkan ngobrol.
Sekarang lagi ingin mencoba menulis, ini hal baru sambil produce dua film
pendek. Tapi tetap bersentuhan dengan shooting. Istilahnya melatih otot
sinema [tertawa]. Agar tetap berhubungan. Kan kinerja kolektif pun
begitu. Bergantian lah. Hari ini mendirect, besok produce. Kapan gantian,
kelompok kita yang tahu. Bisa saling belajar dan menjaga kualitas juga.
Penilaian Mail mengenai industri perfilman di Indonesia ini udah
sampai mana?
Industrinya sebenarnya bagus. Mungkin baru tahun ini di Indonesia ada 4
judul film dengan penonton di atas 1 juta orang, yang diatas 2 juta
penonton ada 2 film. Urutan ke lima, Talak 3, hanya 500.000. Jadi ada
yang menarik, ada terobosan-terobosan terbaru.
Tapi kalau ngomongin secara mendetil, aku belum bisa ngomong. Masih
banyak produser yang bekerja dengan cara lama, untuk menciptakan hal
baru. Ya nggak bisa, membuat terobosan ya cara, ide, bentuknya harus
baru, nggak bisa pakai cara lama. Banyak yang seperti itu.
Bagaimana cara Ismail mengajarkan pemahaman tentang film
kepada anak-anak di rumah? Apa sengaja tidak menyetelkan
tayangan televisi lokal?
Aku tuh nggak nonton TV selama bertahun-tahun, sampai aku menikah,
aku ngobrol sama istriku, sepertinya butuh menonton. Dia suka serial, aku
suka film. Ya sudah kita berlangganan. Karena kalau TV biasa, film hanya
ada di jam-jam tertentu. Kalau di TV kabel sewaktu-waktu bisa nonton
film. Dan kadang aku cuma nonton buat lucu-lucuan. Kadang nonton film
yang aku nggak ngejar di bioskop. Sampai kemudian punya anak,
orientasinya bergeser jadi untuk Baby TV. Aku kalau mau nonton film juga
nungguin anakku tidur dulu.
Aku punya TV besar juga baru beberapa bulan, hampir setahun. Itu juga
dari bayaran Mencari Hilal, jadi biar keliatan dan pantesnya saja.
Sutradara malu lah kalau TV nya masih TV tabung, [tertawa].
Kalau orangtuaku datang juga bisa lihat, kan seneng anaknya sudah bisa
beli barang. Selama ini jarang beli-beli, orang hidup ngirit-irit kok. Aku

sampai sekarang nggak punya kamera. Aku dulu jadi editor nggak punya
laptop, nggak punya komputer. Jadi sudah biasa seperti itu. Sampai
akhirnya ibuku membelikan laptop. Ya sampai saat ini laptopku nggak
ganti, masih yang itu. Lahirnya berbagai karya ya dari laptop itu. Kan
yang penting bisa buat nulis dan internetan.
Bagaimana Ismail menghadapi kritik?
Kritik itu kan pengetahuan sendiri. Ada orang nonton karyamu, pulang ke
rumah, lalu menulis. Entah itu menulis baik atau buruk, senang atau tidak,
bagi aku itu sudah cukup. Kritik itu berdiri sendiri. Karena dalam kritik,
kritik jelek atau baik itu punya alasan. Kritik menempatkan karya pada
konteks tertentu, dalam wilayah pengetahuan. Menjembatani publik
memahami konteks karyanya.
Maka dari aku, ketika membuat karya tidak ada yang membicarakan, aku
malah takut. Namun kalau ada yang membicarakan, aku suka. Entah itu
bagus, jelek, suka atau tidak, aku tidak peduli. Malah aku seringkali
belajar, memperhatikan mereka, karena cukup menarik. Memang harus
tumbuh bersama-sama, antara pembuat, pengkritik, dan publik.
Film yang paling bagus, dan film yang paling jelek menurut Mail?
Film paling jelek kan banyak. Seperti kamu beli buku di toko buku, kan
kamu sudah terlanjur beli namun pengalaman membelinya jadi penting.
Karena aku selalu mengukur dari pengetahuan. Jadi karya jelek pun selalu
berguna bagi aku, jadi agak susah untuk jawab.
Bagus pun sama seperti itu, karya yang selalu berguna bagi aku. Tapi
kalau film yang ketika kamu nonton, atau melihat proses dan bertemu
dengan film itu lalu bajingan aku istirahat saja lah jadi sutradara!, itu
Siti, filmnya Edi Cahyono. Itu yang bajingaan, film apik banget.
Lalu film yang dari kecil aku nonton, sampai sekarang masih ingat adalah
Whats Eating Gilbert Grape. Sutradaranya saja aku tidak tahu, yang main
Johnny Depp dan Leonardo Di Caprio. Apiik banget.
Terakhir, ada tips nggak untuk para penonton film di Indonesia?
Jadilah penjelajah. Dengan begitu kalian mungkin akan mendapat sesuatu
dalam hidup kalian. Karena aku sebagai pembuat film berusaha menjadi
penjelajah. Bukan penakluk. Ya eksplorasi. Tontonan yang kamu nggak
paham, belum tentu kamu nggak paham. Dan tontonan yang kamu
paham, belum tentu kamu paham. Dalam menjadi penjelajah itu kamu
perlu merelakan dirimu untuk masuk ke dalam film. Di pemikiran
sutradara masing-masing. Dengan cara seperti itu kamu akan paham
sesuatu lebih dari sekedar cerita.

Berburu modal film ke negeri orang, ada apa


dengan negeri sendiri?
ini semakin banyak film buatan sineas lokal, yang menerima bantuan
pendanaan dari festival film di luar negeri atau organisasi internasional.
Film-film tersebut tidak jarang pula mendapat pengakuan dari berbagai
festival film dunia.
Sebut saja What They Don't Talk About When They Talk About Love (2013)
karya Mouly Surya, yang menerima kucuran dana sekitar Rp250 juta dari
Hubert Bals Fund, Festival Film Rotterdam. Modal sebanyak Rp300 juta
untuk pembuatan film pendek The Fox Exploits the Tiger's Might (2015)
yang disutradarai Lucky Kuswandi, berasal dari organisasi Hivos asal
Belanda. Sementara film besutan Joko Anwar, A Copy of My Mind (2016),
memperoleh bantuan pemodalan Rp130 juta dari Asian Project Market,
Busan, Korea Selatan.
Image copyright CineSurya Image caption What They Don't Talk About When
They Talk About Love, dibintangi Ayushita dan Nicholas Saputra.

Film kan bisa dikategorikan dua. Pertama, film yang ditujukan untuk
mass audience dan gampang dimengerti, itu (biasanya) dibiayai
perusahaan dan investor besar. Kedua, film yang dibuat untuk eksplorasi
estetika yang lebih untuk seni, budaya, yang disebut film arthouse (film
seni), itu dananya harus dicari lewat jalur lain, biasanya dari festival,
ungkap Joko Anwar kepada BBC Indonesia.
Film seni yang akhir-akhir ini ramai dibicarakan karena mendapat modal
dari festival adalah karya terbaru Mouly Surya, Marlina the Murderer in
Four Acts, yang masih dalam tahap praproduksi.

Image copyright BBC Indonesia Image caption Film terbaru Mouly Surya, Marlina
the Murderer in Four Acts, diundang ke Cinefondation's Atelier, Festival Film
Cannes 2016.

Marlina yang akhir tahun lalu memenangkan satu juta Yen atau setara
Rp115 juta dari program Talents Tokyo, Mei mendatang akan ikut serta
dalam program Cinefondations Atelier di Festival Film Cannes, Prancis,
untuk mencari calon investor dan mitra produksi.
Kepada BBC Indonesia, Mouly menyatakan dirinya harus mencari modal
pembuatan film ke festival luar negeri, karena di dalam negeri tidak ada
wadah yang mendanai film-film seperti Marlina... (Alasannya) ini bukan
film yang biasanya dibikin (kebanyakan) orang. Karena temanya,
kayaknya kok ngeri ya, kalau ngomongin ini.
Image copyright LoFi Flicks CJ Entertainment Image caption Film A Copy of My
Mind mendapatkan dana produksi $10.000 atau Rp130 juta dari CJ
Entertainment, Korea.

Marlina berkisah tentang seorang janda yang memenggal kepala seorang


perampok, sebagai metafora kekuatan perempuan.
Sementara, The Fox Exploits the Tigers Might bercerita seputar relasi
antara kekuasaan dan seks dengan bumbu homoseksualitas. A Copy of
My Mind bertutur tentang masih banyaknya korupsi dan politik kotor di
Indonesia.

Tabu membongkar stigma


Pilihan tema, diakui Humanist Institute for Cooperation atau Hivos, sebuah
organisasi internasional asal Belanda yang telah beberapa kali mendanai
film seni Indonesia, sebagai pertimbangan utama.
Program Development Manager OPEN Hivos Asia Tenggara, Tunggal
Pawestri mengungkapkan, Hivos fokus mendanai film-film seni yang
mengangkat isu penguatan perempuan, hak-hak dan kedaulatan atas
tubuh, hak seksual dan keberagaman. Hal-hal yang menjadi masalah
pokok di Indonesia. Tema-tema, yang sebelumnya disebut Mouly sebagai
isu yang ngeri.
Image copyright BBC Indonesia Image caption Menurut Tunggal Pawestri, Hivos
mendanai film seni yang mengangkat tema perempuan, hak kedaulatan atas
tubuh, dll.

Bekerja sama dengan rumah produksi Babibutafilm, Hivos-lah yang


memodali hampir 100% tiga film pendek ; The Fox Exploits the Tigers
Might, Sendiri Diana Sendiri (2015) karya Kamila Andini yang mengangkat
isu poligami dan opresi terhadap perempuan, dan Kisah Cinta yang Asu

(2015) buatan Yosep Anggi Noen, yang mengusung topik kemerdekaan


atas tubuh sendiri.
Ini adalah film-film dengan isu yang orang tabu untuk membicarakannya
secara terbuka".
Tunggal menuturkan pihaknya mengangkat topik-topik tersebut, karena
"jika ingin menghapuskan, misalnya kekerasan terhadap perempuan atau
kekerasan secara umum, kita harus berani membongkar stigma-stigma
dan ketabuan. Karena banyak hal yang dianggap sebagai perkara
domestik yang tak perlu dibicarakan, tetapi ini sebenarnya adalah
masalah sosial yang perlu dicari pemecahannya.
Dan ketika di setiap penghujung pemutaran film diikuti diskusi panjang
terkait topik, di saat itulah Hivos merasa filmnya mulai mencapai target
yang diinginkan.
Image copyright BBC Indonesia Image caption Film-film bertema politik dan 'isuisu kecil', menurut John Badalu, penting untuk membuat masyarakat semakin
kritis.

Itu pulalah yang menurut delegasi Festival Film Berlin untuk kawasan Asia
Tenggara, John Badalu, membuat peran film seni, menjadi semakin
penting. Pasalnya, selain menampilkan seni-budaya dan bereksperimen
secara estetika, film seni tidak jarang mengangkat isu yang kerap
termarjinalkan.
Isu-isu kecil dan politis ini perlu untuk dibina, biar kita berpikir lebih kritis,
tidak selalu satu pikiran. Ada banyak lho macam-macam orang. Jadi perlu
ditampung semua, agar masyarakat tahu. Dan ini pasti bisa menjadi hal
yang menguatkan bagi banyak pihak, kata John.

Perlu didanai pemerintah


Dengan peran-peran yang dapat diusung oleh film seni, baik Joko Anwar,
Mouly Surya dan John Badalu, sepakat bahwa perlu segera adanya wadah
pemerintah Indonesia yang mendanai film seni dan film (baik panjang
atau pendek) secara umum.
Menurut John Badalu, kebutuhan ini karena (industri film) kita masih
termasuk dalam kategori industri yang berkembang. Masih belum stabil.
Belum punya pasar sendiri. Sehingga memang perlu variasi tema dan
topik yang dibuat dalam film. Jadi pemerintah perlu lakukan itu.

Image copyright BBC Indonesia Image caption Joko Anwar menilai film seni
diperlukan untuk membuat industri film Indonesia semakin "sehat".

Joko Anwar bahkan menyebut, akan lebih sulit bagi industri film Indonesia
untuk menjadi sehat jika tidak ada badan yang mendanai film-film seni.
Selain perlunya film yang menjadi penggerak roda ekonomi (untuk mass
audience), diperlukan pula film yang mendobrak estetika, karena akan
selalu terjadi pembaharuan lewat cara-cara bercerita, yang membuat film
menjadi segar selalu dan tidak jalan di tempat.
Kalau film-film Indonesia tidak memiliki inovasi dalam bercerita, lamakelamaan akan ditinggal penonton, tegas Joko.
Image copyright Getty Image caption Film-film komersial (mass audience)
'penuhi' bioskop tanah air.

Pemerintah 'kerdilkan kekuatan film'


Mencari jawaban atas harapan sejumlah sineas dan orang film tersebut,
BBC Indonesia pun mendatangi Pusat Pengembangan Perfilman (Pusbang
Film), sebuah badan baru di bawah Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, yang diresmikan pada Januari 2016.
Kepala Pusbang Film, Maman Wijaya, menegaskan bahwa pada badan
yang dipimpinnya terdapat anggaran untuk membantu mendanai film,
termasuk film seni.
Maman menyebut, untuk tahun 2016, Pusbang Film telah menganggarkan
sekitar Rp21 miliar untuk fasilitasi pembuatan film, mulai dari tahap praproduksi hingga paska-produksi.
Program yang disebutnya akan berjalan pada April 2016, akan mendanai
lebih dari 20 film pendek dan satu film panjang dengan dana maksimal
untuk film panjang sebesar Rp1 miliar.
Image copyright BBC Indonesia Image caption Maman Wijaya : Dana diberikan
untuk film yang mempertontonkan revolusi mental.

Kepada BBC Indonesia, Maman menjelaskan film seperti apa yang akan
didanai Pusbang Film.
Film-film seni, misalnya yang harus memiliki revolusi mental. Atau yang
menunjukkan budaya kita. Misalnya yang punya semangat restorasi
sosial, sehingga nilai sosial terangkat kembali. Maksudnya nilai-nilai sosial
yang sudah bergeser, misalnya terkait kesetiakawanan sosial, kita geser
lagi.

Ketika ditanya, apakah ini berarti isu-isu terkait perempuan, kelompok


yang termajinalkan dan bernuansa politik, tidak bisa dibiayai pemerintah,
Maman menjawab,
Bukan tidak bisa, tetapi itu dengan sendirinya tidak terpilih oleh kita,
karena itu batasannya restorasi sosial atau yang menunjukkan revolusi
mental. Itu arahan pak Presiden.
Image copyright Hivos Babibutafilm Image caption Sendiri Diana Sendiri, atau
Following Diana, didanai hampir 100% oleh Hivos.

Keberadaan wadah yang semula diharapkan ini, disambut dingin oleh Joko
Anwar ketika Ia mengetahui hanya film 'tertentu' saja yang akan didanai
Pusbang Film.
Sama saja dengan yang selama ini terjadi, kementerian berikan (bantuan
ke) proyek yang mengangkat jargon-jargon nasionalisme, edukatif,
kearifan lokal. Ini pengerdilan terhadap kekuatan film. Karena film itu tidak
boleh dibatasi. Tidak boleh dibatasi tema, gaya, atau genre. Jadi, kalau
belum apa-apa sudah dibatasi, yang dijadikan batasan ini, sesuatu yang
sangat dekat dengan politik pemerintah yang sedang berkuasa.
Saya rasa (skema pemodalan) ini tak akan berkontribusi pada perfilman
nasional dan kebudayaan kita secara kuat.
Kondisi tersebut ironis, karena film-film seni lokal dengan tema, gaya dan
genre yang bebas dan ikut didanai asing, kerap mendapat apresiasi
dunia.
A Copy of My Mind terpilih untuk tayang di dua festival film terbesar
dunia, Festival Film Venesia dan Festival Film Toronto. What They Dont
Talk About When They Talk About Love menjadi film pertama Indonesia
yang berkompetisi di Festival Film Sundance.
Image caption The Fox Exploits the Tiger's Might didanai Hivos, sebuah
organisasi dari Belanda.

Tiga film pendek Hivos, juga. The Fox tayang di Festival Film Cannes,
Sendiri Diana Sendiri diputar di Festival Film Toronto, sementara Kisah
Cinta yang Asu dipertontonkan di hadapan penonton Festival Film Busan.
Kalau berharap ada organisasi (badan) di Indonesia seperti (festival) luar
negeri yang memberi dana untuk proyek film, tetapi dengan visi
berpikiran terbuka, kayaknya dalam waktu dekat masih mimpi ya.
Mustahil, tutup Joko.

Menggali Ilmu Film di Jerman


Lima sineas muda dari Indonesia lolos seleksi untuk mengikuti pelatihan
bagi insan perfilman dari seluruh dunia di ajang Berlinale Talents. DW
bertemu dengan Tuanmuda Chacha, Ahmad Aditya dan Gregorius Arya di
Berlin.

Bukan hal yang mudah untuk bisa mengikuti workshop Berlinale Talents
2015 . Ketua Berlinale Talents Christiane Trstrum mengatakan kepada
Berliner Zeitung, ada 2559 pelamar dari 117 negara dan hanya 300 orang
yang dipilih. Sejak dua hingga tiga tahun terakhir, negara-negara dengan
pelamar terbanyak antara lain adalah Peru, Brasil, Meksiko, Indonesia,
Filipina dan Thailand.
Tahun ini Indonesia diwakili oleh Arifin Putra dan Tara Basro (aktor),
Ahmad Aditya (sutradara), M. Rasidy Ariefiansyah atau Tuanmuda Chacha
(produser) dan Gregorius Arya (editor). DW bertemu dengan Adit,
Tuanmuda Chacha dan Greg di Berlin.
DW: Apa yang ingin diraih dengan mengikuti Berlinale Talents?
Tuanmuda Chacha: Workshop ini bagi saya adalah berkah karena saya
juga filmmaker. Saya tadinya bergulat di bidang tata suara dan sekarang
di bidang film producing. Semua ilmu yang sudah saya miliki akan
bertambah lagi di Berlinale. Saya pasti akan mendapat pengetahuan,
pengalaman dan sharing. Karena belajar itu tidak akan pernah berakhir
dan saya bisa belajar dari siapa saja.

Gregorius Arya: Bedanya dengan editor-editor dari negara lain di


Berlinale Talents, ada yang sangat mementingkan masalah teknis. Seperti
ada teman dari Spanyol, menurut dia editor itu harus tahu segala hal
yang berhubungan dengan teknis. Tapi dari yang saya pelajari dari editoreditor senior di Jakarta, cara menjadikan gambar menjadi cerita lebih
penting dibanding hal-hal teknis. Saya tidak berharap banyak dari ilmu
yang bisa saya peroleh dari workshop Berlinale. Saya berharap bisa
mendapat pandangan lain tentang bagimana cara berpikir editing untuk
membentuk cerita yang baik.
DW: Mengapa berkecimpung di dunia film?
Gregorius: Saya bukan editor dari Jakarta, yang mungkin hubungannya
lebih dekat dengan industri. Saya dari Jogja, yang lebih dekat dengan
teman-teman yang mau bikin film tanpa harus memikirkan apakah akan
menghasilkan uang atau tidak. Ada teman saya dari Jakarta yang bilang:
Gila ya anak Jogja masih punya energi seperti itu.
DW: Definisi film yang ideal?
Tuanmuda Chacha: Keberhasilan sebuah film tidak bisa dikaitkan
dengan besar kecilnya bujet pembuatannya. Film pendek saya yang
terakhir, sutradaranya Sidik Saleh, dibuatnya berdasarkan passion.
Ternyata bisa berbuat banyak dan menang di Venesia. Film yang sukses
itu bagi saya yang bisa diapresiasi orang banyak dan membawa
perubahan yang baik bagi filmmaker dan penontonnya.

Aditya dan Isfira Febiana saat ajang Berlinale 2014


DW: Apa yang ingin diubah dari dunia perfilman Indonesia?
Aditya: Kalau bisa mengubah sesuatu di dunia perfilman Indonesia, saya
ingin bisa mengubah masyarakatnya dulu. Bagaimana kita bisa
mengapresiasi film Indonesia. Mungkin masyarakat lebih percaya film-film
dari luar. Padahal kita juga berkompeten bikin film. Beberapa filmmaker
belum sadar akan cara membuat film Indonesia yang menarik. Kita terlalu

jauh mengambil referensi dari budaya lain. Padahal banyak sekali yang
bisa diangkat dari Indonesia.
Film pendek Ahmad Aditya "Sepatu Baru" diputar pada Berlinale 2014 dan
memenangkan Special Mention dari juri anak-anak untuk Film Pendek
Terbaik kategori Generation KPlus. Tuanmuda Chacha mengawali karirnya
di bidang tata suara sebelum berpindah ke dunia produser. Dua film
terakhirya diputar di festival film internasional di Clermont-Ferrand dan
Venesia. Sementara Gregorius Arya, selain menjadi editor film-film
panjang seperti "Ambilkan Bulan" dan "Rumah dan Musim Hujan", ia juga
mengajardi Jogja Film Academy.

Você também pode gostar