Você está na página 1de 15

Nama Peserta: dr.

Amelia Muslimah Syahutami


Nama Wahana: RSAD Tk. III Robert Woltermonginsidi Manado
Topik: Bells Palsy
Tanggal (Kasus): 28 Mei 2016
Nama Pasien: Tn. R
No RM: 0-07-17-xx
Nama Pendamping:
Tanggal Presentasi: 9 Juni 2016
dr. Anton Rumambi, DK, M.Kes
Tempat Presentasi: Ruang Rapat Karumkit
Obyektif Presentasi:
Keilmuan
Keterampilan
Penyegaran
Tinjauan Pustaka
Manajemen
Masalah
Istimewa
Diagnostik
Neonatus

Bayi

Anak

Remaja

Dewasa

Lansia

Bumil

Deskripsi: Laki-laki usia 57 tahun dengan keluhan wajah mencong ke sebelah kiri sejak 1 hari,
keluhan disertai rasa baal pada bibir, dan rasa berat ketika ingin berbicara. Tidak ada demam,
gangguan pendengaran maupun kelemahan anggota gerak.

Tujuan: Mengetahui diagnosa dan tatalaksana yang tepat


Riset
Audit
Kasus
Bahan Bahasan: Tinjauan Pustaka
Email
Pos
Presentasi dan Diskusi
Cara Membahas: Diskusi
Data Pasien
Nama: Tn. R
No Registrasi: 0-07-17.xx
Nama Klinik: Unit Gawat Darurat
Telepon: Terdaftar Sejak: 28/05/2016
Data Utama dan Bahan Diskusi
1. Diagnosis / Gambaran Klinis
Bells Palsy / Pasien datang dengan keluhan wajah mencong ke sebelah kiri dirasakan
sejak 8 jam yang lalu. Di pagi hari saat bangun pagi, mulut penderita mencong ke kiri.
Keluhan disertai dengan rasa tebal dan kaku di wajah sebelah kanan dan terasa berat
ketika ingin bicara. Pasien masih dapat makan dan minum. Keluhan kelemahan satu sisi
pada anggota gerak disangkal. BAB dan BAK tidak ada kelainan. Pasien tidak ada
riwayat trauma kepala dan penyakit keganasan. Tidak ada keluhan nyeri di sekitar telinga
kiri. Riwayat keluar cairan dari telinga kiri tidak ada, tidak ada gangguan pendengaran.
Keluhan pusing berputar, gangguan pendengaran, rasa makanan berkurang, demam,
batuk, pilek tidak ada. Pasien memiliki riwayat tidur di lantai dan menggunakan kipas
angin saat malam hari sebelumnya.
2. Riwayat Pengobatan
Pasien biasa minum obat amlodipin 5 mg, namun tidak teratur minum obat.
3. Riwayat Kesehatan / Penyakit
Sebelumnya pasien tidak pernah sakit seperti ini.
4. Riwayat Keluarga
Dalam keluarga pasien tidak ada yang menderita sakit seperti ini.
Daftar Pustaka
a. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y, editor. Panduan praktis diagnosis dan
1

tatalaksana penyakit saraf. Jakarta : EGC ; 2009.


b. Duus P. Diagnostik Topik Neurologi. Jakarta: EGC. 1996; hal 112-18.
c. Harsono. Kapita selekta neurologi. Ed. 6. yogyakarta : Gadjah mada university press ;
2007.
Hasil Pembelajaran
1. Menegakkan diagnosis Bells Palsy
2. Memberikan penatalaksanaan yang tepat terhadap kasus Bells Palsy

1. Subyektif
Keluhan Utama: Wajah tampak mencong ke sebelah kiri
Terasa baal pada wajah sebelah kanan
Terasa berat ketika ingin berbicara, suara pelo minimal
Tidak ada riwayat trauma kepala dan penyakit keganasan.
Tidak ada keluhan nyeri di sekitar telinga kiri. Riwayat keluar cairan dari telinga kiri
tidak ada, tidak ada gangguan pendengaran.
Pasien memiliki riwayat tidur di lantai dan menggunakan kipas angin saat malam hari
sebelumnya.
BAB dan BAK tidak terganggu.
Panas badan, mual dan muntah disangkal
Tidak ada kelemahan pada satu sisi anggota gerak
Pasien belum pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya
2. Objektif
Hasil pemeriksaan fisik didapatkan:
Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum : tampak sakit sedang

Kesadaran

: Compos mentis

Tekanan Darah

: 130/90 mmHg

Nadi

: 80 x/menit, regular, isi cukup

Frekuensi Nafas : 20 x/ menit

Suhu

: 36,50 C

Status Internus
Kepala : Tidak ada kelainan
Limfonodi

: Tidak ditemukan pembesaran limfonodi


2

Jantung

: BJ I-II reguler, gallop(-), murmur (-)

Paru

: Suara napas vesikuler, rhonki-/-, whezzing -/-

Hepar

: Tidak teraba membesar

Lien

: Tidak teraba membesar

Ekstremitas

: Akral hangat, edema(-)

STATUS NEUROLOGIS
NERVI CRANIALIS
N.I ( Olfaktorius)

Daya penghidu

:Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

N II (Opticus)

Ketajaman penglihatan : Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Pengenalan warna

: Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Lapang pandang

: Sesuai dengan pemeriksa

Funduscopy

: Tidak dilakukan

N III,IV,VI (Oculamotorius,Trochlearis,Abducens)
KANAN

KIRI

Ptosis

(-)

(-)

Strabismus

(-)

(-)

Nistagmus

(-)

(-)

Exophtalmus

(-)

(-)

Enophtalmus

(-)

(-)

Gerakan bola mata:


Lateral

(+)

(+)

Medial

(+)

(+)

Atas lateral

(+)

(+)

Atas medial

(+)

(+)

Bawah lateral

(+)

(+)
3

Bawah medial

(+)

(+)

Atas

(+)

(+)

Bawah

(+)

(+)

Ukuran pupil

3 mm

3mm

Bentuk pupil

bulat

bulat

Isokor/anisokor

Posisi

Pupil

isokor
sentral

sentral

Rf cahaya langsung:

(+)

(+)

Rf cahaya tdk langsung:

(+)

(+)

Rf akomodasi/konvergensi:

(+)

(+)

N V (Trigeminus)

Menggigit

(+)

Membuka mulut

Simetris

Sensibilitas Atas

(+)

(+)

Tengah

(+)

(+)

Bawah

(+)

(+)

N VII (Facialis)
Pasif

Kerutan kulit dahi

: asimetris, kanan kerutan dahi tidak tampak jelas

Lipatan nasolabial

: asimetris, kanan lebih datar

Sudut mulut

: asimetris kanan lebih rendah

Aktif

Mengerutkan dahi

(-)

(+)

Mengerutkan alis

(+)

(+)

Menutup mata

(+)

(+)

Meringis

(+)

(+)

Menggembungkan pipi

(+)

(+)

Daya pengecapan lidah 2/3 depan : tidak dilakukan

Hiperlakrimasi

: tidak ditemukan

Lidah kering

: tidak ditemukan
4

N. VIII ( Acusticus )

Mendengarkan suara gesekan jari tangan : tidak dilakukan

Mendengar detik arloji

: tidak dilakukan

Tes Schawabach

: Tidak dilakukan

Tes Rinne

: Tidak dilakukan

Tes Weber

: Tidak dilakukan

N. IX ( Glossopharyngeus )

Arcus pharynk

: simetris

Posisi uvula

: Di tengah

Daya pengecapan lidah 1/3 belakang : tidak dilakukan

Refleks muntah

: tidak dilakukan

N.X ( Vagus )

Denyut nadi

: teraba, reguler

Arcus faring

: simetris

Bersuara

: pelo minimal

Menelan

: tidak ada gangguan

N. XI ( Accesorius )

Memalingkan kepala

: normal

Sikap bahu

: simetris

Mengangkat bahu

: dapat dilakukan (simetris kanan dan kiri)

N.XII ( Hipoglossus )

Menjulurkan lidah

: deviasi ke kiri

Kekuatan lidah

: lemah pada lidah sebelah kiri

Atrofi lidah

: tidak ditemukan

Artikulasi

: kurang jelas

Tremor lidah

: tidak ditemukan

MOTORIK
Gerakan

bebas

bebas

bebas

bebas

Kekuatan

5555

5555
5555

Tonus

Trofi

5555

: normotonus pada keempat ekstremitas


: Eutrofi pada keempat ekstremitas

FUNGSI LUHUR

Fungsi bahasa

Fungsi orientasi

: Baik

Fungsi memori

: Baik

Fungsi emosi

: Baik

Fungsi kognisi

: Baik

: Baik

3. Assessment
Bell's palsy atau yang lebih sering disebut dengan Idiopathic Facial Paralysis (IFP)
adalah suatu paralisis Lower Motor Neuron (LMN) yang disebabkan kerusakan saraf
facialis yang menyebabkan kelemahan atau paralysis satu sisi wajah yang timbul akut
akibat lesi atau peradangan pada nervus fasialis yang penyebabnya tidak diketahui
(idiopatik).

Penyebab pasti kelumpuhan nervus fasialis perifer pada Bells palsy tidak diketahui
(idiopatik) tetapi diduga mekanisme inflamasi terjadi pada nervus fasialis yang melewati
kanalis fasialis sehingga menyebabkan kompresi dan demielinisasi pada akson dan
berkurangnya aliran darah pada neuron. Namun, penelitian terbaru menyebutkan adanya
infeksi virus diduga sebagai penyebab Bells palsy berdasarkan bukti serologis, di mana
ditemukan serologi positif untuk virus herpes simpleks (HSV) pada 20-79% pasien Bells
6

palsy.
PATOFISIOLOGI
Nervus fasialis merupakan saraf motorik yang mengontrol gerakan volunteer dari otototot wajah. Sarah ini juga terdiri dari komponenn sensorik. Serat sensorik mensarafi
sensari pengecapan dari dua pertiga depan liadah. Serat lain mengantarkan sensasi dari
kanalis auditorius eksternus. Serat autonon mengontrol sekresi dari kelenjar mandibula,
sublingual dan lakrimal.
Jalur sistem saraf pusat yang terlibat dalam pergerakan wajah mulai dari korteks kedua
hemisfer dan turun sepanjang serat piramidalis untuk membentuk sinaps pada intik
nucleus di batang otak. Nervus fasialis keluar dari nucleus pada dasar pons di batang otak.
Kemudian melewati meatus akustikus internus terus ke kanalis fasialis tulang petrosus
temporal bersama nervus akustikus. Saat melewati tulang petrosus tempolal, nervus
fasialis berbelok ke posterior untuk memberi cabang yang mengontrol fungsi kelenjar
lakrimal. Kemudian berjalan ke belakang dan lateral mengelilingi vestibulum telinga
tengah dan mengirim cabang ke otot strapedius yang mengatur reflex stapedius.
Kerusakan nervus fasialis di proksimal cabang ini menyebabkan hiperakusis
(hipersensitivitas yang nyeri terhadap suara keras).

Nervus fasialis mempunyai cabang yang menyuplai chorda timpani, yang mengontrol
sekersi kelenjar submandibula dan sublingual dan sensasi rasa dua pertiga depan lidah.
Nervus fasialis keluar dari tengkorak melalui foramen stilomastoideus dan kemudian
berjalan melalui kelenjar parotis, dimana berakhir di cabang temporal, zigomatikum,
buccal, mandibula dan servikal untuk mensuplai otot-otot ekspresi wajah dan penutupan
kelopak mata.

Dahi menerima inervasi dari kedua hemisfer serebri. Lesi unilateral pada sistem saraf
pusat di atas inti nervus fasialis melibatkan badan sel atau serat saraf yang berhubungan
dengan inti fasial akan menyebabkan paralisis hanya pada setengah bagian bawah wajah
saja. Sebaliknya, lesi di inti fasial batang otak atau pada saraf itu sendiri akan
menyebabkan paralisis wajah bagian bawah dan juga dahi.
Paralisis nervus fasial ada yang tipe sentral dan tipe perifer. Pada tipe sentral melibatkan
jaras kortikolbulbar yang mengahantarkan impuls dari korteks serebri ke nukleus dari
saraf fasial. Lesi tipe sentral menyebabkan paralisis pada setengah otot-otot wajah bagian
bawah pada sisi yang berlawanan dari sisi lesi karena setengah otot-otot wajah bagian atas
dipersarafi secara bilateral oleh jaras kortikobulbar, sedangkan bagian bawahnya hanya
dipersarafi oleh jaras kortikobulbar kontralateral dari sisi wajah.
Bells palsy terjadi akibat adanya disfungsi dimanapun disepanjang bagian perifer nervus
facial dari level pons bagian distal. Terjadinya lesi perifer pada nervus fasial
menyebabkan terjadinya paralisis total pada daerah wajah sesisi lesi nya.
Bell palsy disebabkan oleh edema dan iskhemia yang menghasilkan tekanan saraf fasialis
yang berjalan sampai saluran tulang. Penyebab edema dan iskhemia masih diperdebatkan.
Di masa lalu, pada keadaan dingin (misalnya angin dingin, pengaruh keadaan udara
dingin, atau mengemudi dengan jendela yang terbuka) telah dipertimbangkan sebagai
satu-satunya pemicu pada Bell palsy. Bagaimanapun, kebanyakan penulis percaya bahwa
herpes simpleks virus (HSV) adalah penyebab yang hampir bisa dipastikan. Tapi
hubungan antara HSV dan Bell palsy sangat sulit karena HSV ada dimana mana.
ETIOLOGI
Bells palsy diyakini disebabkan oleh inflamasi saraf fasialis pada ganglion genikulatum,
yang menyebabkan kompresi, iskemia dan demielinasi. Ganglion ini terletak didalam
8

kanalis fasialis pada persambungan labirin dan segmen timpani, dimana lengkungan saraf
secara tajam memasuki foramen stylomastoideus (Tiemstra dkk, 2007). Secara klinis,
Bells palsy telah didefinisikan idiopatik, dan penyebab proses inflamasi masih tidak
jelas. Beberapa teori telah diduga sebagai penyebab dari Bells palsy, antara lain iskemik
vaskular, imunologi, infeksi dan herediter telah diduga menjadi penyebabnya.
Beberapa mekanisme termasuk iskemia primer atau inflamasi saraf fasialis, menyebabkan
edema dan penjepitan saraf fasialis selama perjalanannya didalam kanal tulang temporal
dan menghasilkan kompresi dan kerusakan langsung atau iskemia sekunder terhadap
saraf. Teori ini merupakan latar belakang untuk dekompresi bedah pada pengobatan Bells
palsy (Kanerva 2008). Suatu hipotesa imunologis telah diperkenalkan oleh Mc. Govern
dkk, berdasarkan penelitian eksperimental pada hewan. Begitu juga Hughes dkk,
menemukan transformasi limfosit pada pasien Bells palsy dan menduga bahwa beberapa
penyebab Bells palsy merupakan hasil dari cell mediated immunity melawan antigen
saraf perifer. Hasil ini mendukung penelitian selanjutnya dengan steroid dan imunoterapi
lainnya.
Mekanisme lainnya adalah infeksi virus, yang secara langsung merusak fungsi saraf
melalui mekanisme inflamasi, yang kemungkinan terjadi pada seluruh perjalanan saraf
dan bukan oleh kompresi pada kanal tulang (Kanerva 2008). Suatu penelitian systematic
review berdasarkan Cochrane database, yang dilakukan terhadap beberapa penelitian
randomized yang berkualitas tinggi telah menyimpulkan bahwa antivirus tidak lebih
efektif daripada plasebo dalam menghasilkan penyembuhan lengkap pada pasien Bells
palsy. Karena tidak efektifnya antivirus dalam mengobati pasien Bells palsy sehingga
perlu dipertimbangkan adanya penyebab Bells palsy yang lain.
Adanya peran genetik juga telah dikemukakan sebagai penyebab Bells palsy, terutama
kasus Bells palsy yang rekuren ipsilateral atau kontralateral. Kebanyakan kasus yang
dijumpai adalah autosomal dominant inheritance (Garg dkk, 2012). Sejumlah penelitian
telah berusaha rnemberikan temuan objektif tentang dasar genetik dari BeIIs palsy, dan
kebanyakan terpusat pada sistem Human leucocyte antigen (HLA), yang memiliki
hubungan objektif yang kuat dengan berbagai penyakit autoimun
GEJALA KLINIK
Bells palsy adalah suatu gangguan saraf fasialis perifer akut, yang biasanya mengenai
hanya satu sisi wajah. Gambaran klinis bervariasi, tergantung lokasi lesi dari saraf fasialis
sepanjang perjalanannya menuju otot. Gejala dan tanda yang dihasilkan tidak hanya pada
serabut motorik termasuk ke otot stapedius, tetapi juga pada inervasi otonom kelenjar
lakrimal, submandibular, sensasi sebagian telinga, dan pengecapan pada du pertiga lidah
9

melalui korda timpani.

Pasien Bells palsy biasanya datang dengan paralisis wajah unilateral yang terjadi secara
tiba-tiba. Temuan klinis yang sering termasuk alis mata turun, dahi tidak berkerut, tidak
mampu menutup mata, dan bila diusahakan tampak bola mata berputar ke atas (Bell's
phenomen), sudut nasolabial tidak tampak, dan mulut tertarik ke sisi yang sehat. Gejala
lainnya adalah berkurangnya air mata, hiperakusis, dan atau

berkurangnya sensasi

pengecapan pada dua pertiga depan lidah. Beberapa literatur juga menyebutkan tentang
nyeri sebagai gejala tambahan yang sering dijumpai pada pasien BeIls palsy. Nyeri
postauricular dapat ditemukan pada hampir 50% pasien Bells palsy. Nyeri ini dapat
terjadi bersamaan dengan paralisis wajah (beberapa hari atau minggu) atau terjadi
sebelum onset paralisis
DIAGNOSIS
Anamnesis dan dan pemeriksaan fisik yang tepat merupakan kunci dalam mendiagnosis
Bells palsy
Anamnesis
Anamnesis yang lengkap mengenai onset, durasi, dan perjalanan penyakit, ada
tidaknya nyeri, dan gejala lain yang menyertai penting ditanyakan untuk
membedakannya dengan penyakit lain yang menyerupai. Pada Bells palsy
kelumpuhan yang terjadi sering unilateral pada satu sisi wajah dengan onset
mendadak (akut) dalam 1-2 hari dan dengan perjalanan penyakit yang progresif, dan
mencapai paralisis maksimal dalam 3 minggu atau kurang. keluhan khas pada pasien
Bells palsy adalah kelemahan atau paralisis komplit pada seluruh otot wajah sesisi
wajah sehingga pasien merasa wajahnya perot. Makanan dan air liur dapat terkumpul
pada sisi yang mengalami gangguan pada mulut dan dapat tumpah ke luar melalui
sudut mulut.

Pemeriksaan fisik
10

a. Lipatan wajah dan lipatan nasolabial menghilang, lipatan dahi juga menghilang sesisi,
dan sudut mulut jatuh/ mulut mencong ke sisi yang sehat.
b. Kelopak mata tidak dapat menutup sempurna, jika pasien diminta untuk menutup mata
maka mata akan berputar-putar ke atas (fenomena Bells).
c. Produksi airmata berkurang, iritasi pada mata karena berkurangnya lubrikasi dan
paparan langsung.
Dari hasil pemeriksaan neurologi, didapatkan gangguan fungsi saraf fasialis perifer
yang difus tanpa ada neuropati lainnya. Lesi SSP (supranuklear) juga dapat
menyebabkan paralisis saraf fasialis, hanya perbedaannya dari lesi perifer, tidak
dijumpainya paralisis dahi pada sisi yang terlibat dan dapat menutup mata dengan
baik (lagophtalmus tidak dijumpai) dan disertai dengan defisit neurologis lainnya,
sekurangkurangnya kelumpuhan ekstremitas pada sisi yang kontralateral.
Pemeriksaan telinga perlu dilakukan untuk menyingkirkan penyakit lain yang
mungkin bisa menyebabkan paralisis fasialis. Bila ditemukan adanya otitis rnedia
yang aktif dan massa di kelenjar parotid, kemungkinan paralisis fasialis dihubungkan
dengan kelainan- kelainan tersebut, dan bukan suatu Bells palsy
Umumnya pasien Bells palsy tidak membutuhkan pemeriksaan penunjang. Namun,
bila dijumpai indikasi tertentu, pemeriksaan lanjutan berikut dapat dianjurkan, seperti:
1. Imaging: Computed tomography (CT) atau Magnetic Resonance lmaging (MRI)
diindikasikan jika tanda fisiknya tidak khas, tidak ada perbaikan paralisis fasial
setelah 1 bulan, adanya kehilangan perdengaran, defisit saraf kranial multipel dan
tanda- tanda paralisis anggota gerak atau gangguan sensorik. Adanya riwayat suatu
kedutan pada wajah atau spasme yang mendahului kelumpuhan wajah diduga karena
iritasi tumor harus dilakukan juga imaging.
2. Tes pendengaran: jika diduga adanya kehilangan pendengaran, tes audiologi dapat
dilakukan untuk menyingkirkan neuroma akustikus.
3. Tes laboratorium perlu jika pasien memiliki tanda- tanda keterlibatan sistemik tanpa
perbaikan lebih dari empat minggu

Kriteria Diagnosis

Menurut Taverner (1954 ):


A. Paralisis dari semua kelompok otot ekspresi wajah pada satu sisi wajah
B. Onset yang tiba- tiba
C. Tidak adanya tanda- tanda penyakit susunan saraf pusat (SSP)
D. Tidak adanya tanda penyakit telinga dan penyakit cerebellopontine angle.
11

Menurut Ronthal dkk (2012):


A. Terdapat suatu keterlibatan saraf fasialis yang difus yang digambarkan dengan
paralisis dari otot- otot wajah, dengan atau tanpa kehilangan pengecapan pada dua
pertiga anterior lidah atau sekresi yang berubah dari kelenjar saliva dan lakrimal.
B. Onset akut, terjadi dalam 1 atau 2 hari, perjalanan penyakit progresif, mencapai
kelumpuhan klinIs/ paralisis maksimal dalam 3 minggu atau kurang dari hari pertama
kelemahan terlihat; dan penyembuhan yang dijumpai dalam 6 bulan.
Untuk menilai derajat paresis N. Facialis digunakan House Brackmann Classification
of Facial Function, yaitu :
a. Derajat 1 : fungsional normal
b. Derajat 2 : angkat alis baik, menutup mata komplit, mulut sedikit asimetris
c. Derajat 3 : angkat alis sedikit, menutup mata komplit dengan usaha, mulut
bergerak sedikit lemah dengan usaha maksimal
d. Derajat 4 : tidak dapat mengangkat alis, menutup mata inkomplit dengan usaha,
mulut bergerak asimetris dengan usaha maksimal
e. Derajat 5 : tidak dapat mengangkat alis, menutup mata inkomplit dengan usaha,
mulut sedikit bergerak
f. Derajat 6 : tidak bergerak sama sekali
TATALAKSANA
a. Non-Bedah / Konservatif
Non-Farmakologis
Tindakan fisioterapi yang direkomendasikan adalah terapi panas superfisial,
elektroterapi dengan menggunakan arus listrik, latihan dan pemijatan wajah disertai
kompres panas.
latihan otot wajah
Latihan wajah dapat bermanfaat pada pasien dengan Bell palsy. Mereka harus dilakukan
sambil berdiri di depan cermin dan termasuk mencoba mengangkat alis, membuka dan
menutup mata, meniup, dan bersiul. latihan ini dapat dilakukan beberapa kali sehari.

Efektivitas latihan belum telah dievaluasi secara resmi.


Farmakologis
Dalam penatalaksanaan Bells palsy pada pasien ini kita berikan kortikosteroid dan
antiviral. Tiemstra dkk7 mengatakan bahwa, kortikosteroid sangat bermanfaat dalam
mencegah degenerasi saraf, mengurangi sinkinesis, meringankan nyeri dan mempercepat
penyembuhan inflamasi pada saraf fasialis sedangkan Acyclovir diberikan untuk
menghambat replikasi DNA virus.
Dosis kortikosteroid 60 mg/hari dibagi dalam 4 dosis. Karena terdapat perbaikan pada
kontrol hari ketiga pengobatan, maka setelah hari kelima dosis kortikosteroid kita
turunkan menjadi 40 mg/hari dibagi dalam 4 dosis selama 5 hari berikutnya. Setelah 10
12

hari pemberian kortikosteroid, pada kontrol terdapat perbaikan yang cukup besar, maka
dosis kortikosteroid kita turunkan secara bertahap setiap 3 hari sampai mencapai dosis
minimal (1x5mg). Cara pemberian kortikosteroid ini berbeda pada masing-masing studi
menurut Tiemstra dkk Prednison pada dewasa dimulai dengan dosis 60 mg/hari selama 5
hari dan diturunkan menjadi 40 mg/hari selama 5 hari berikutnya. Menurut Engstrom dkk
Prednison dimulai dengan dosis 60 mg/hari selama 5 hari dan diturunkan 10 mg/hari
dalam 5 hari berikutnya (total pemberian prednison 10 hari).
Untuk antiviral dapat digunakan Acyclovir atau obat jenis lainnya seperti Valaciclovir,
Famciclovir dan Sorivudine yang mempunyai bioavailabilitas yang lebih baik dari
Acyclovir. Dosis Acyclovir diberikan 400 mg 5 kali sehari selama 10 hari atau
Valaciclovir 500 mg 2 kali sehari selama 5 hari. Jika penyebabnya diduga virus herpes
zoster, maka dosis Acyclovir di naikan menjadi 800 mg 5 kali sehari atau Valaciclovir 1
gram 2 kali sehari.11 Kombinasi penggunaan kortikosteroid dan Antiviral oral
memberikan hasil yang lebih baik daripada penggunaan kortikosteroid oral saja dan akan
lebih baik bila terapi diberikan dalam 72 jam pertama. Studi lain juga mengatakan bahwa
tidak terdapat perbedaan lama penyembuhan antara pemberian obat-obatan ini secara oral
atau intravena.
b. Bedah
Terapi pembedahan pada kasus Bells palsy masih kontroversi. Terapi dekompresi
saraf fasialis hanya dilakukan pada kelumpuhan yang komplit atau hasil pemeriksaan
elektroneurography (ENoG) menun jukan penurunan amplitudo lebih dari 90%.
Karena lokasi lesi saraf fasialis ini sering terdapat pada segmen labirin, maka pada
pembedahan digunakan pendekatan middle fossa subtemporal craniotomy sedangkan
bila lesi terdapat pada segmen mastoid dan timpani digunakan pendekatan
transmastoid.
KOMPLIKASI
-

Iritasi dan ulserasi kornea karena pasien Bells palsy mengalami kesulitan menutup
salah satu mata yang mengalami lesi, sehingga harus selalu diberi lubrikasi dengan

airmata artificial.
Kelemahan permanen pada kelopak mata mungkin memerlukan tarsorhaphy.
Asimetri wajah dan kontraktur muskuler perlu dilakukan tindakan pembedahan
kosmetik atau pemberian injeksi toksin Botulinum.

PEMANTAUAN
-

Fungsi motorik otot wajah


Gangguan lakrimasi, gangguan hiperakusis, gangguan pengecapan
Komplikasi
13

PROGNOSIS
Prognosis Bells palsy tergantung pada jenis kelumpuhannya, usia pasien dan derajat
kelumpuhan. kelumpuhan parsial (inkomplit), mempunyai prognosis yang lebih baik.
Anak-anak juga mempunyai prognosis yang baik dibanding orang dewasa dan sekitar
96,3% pasien Bells palsy dengan House-Brackmann kurang dari Derajat II dapat sembuh
sempurna, sedangkan pada House-Brackmann lebih dari derajat IV sering terdapat
deformitas wajah yang permanen.15 Pada pasien ini, hari ketiga pengobatan sudah
terdapat perbaikan walaupun belum maksimal. Pada hari kesepuluh, kelumpuhan saraf
fasialisnya sudah mencapai House-Brackmann derajat II, lokasinya setinggi infra khorda
dan fungsi motorik yang terbaik meningkat menjadi 76%, setelah 3 minggu terapi
kelumpuhan saraf fasialisnya sudah tidak terlihat lagi (HB I) dan fungsi motorik otot
wajahnya sudah normal.
Diperlukan pemeriksaan untuk menentukan prognosis penyakit ini. Pemeriksaan tersebut
direkomendasikan pada kelumpuhan komplit atau bila tidak terdapat tanda-tanda
penyembuhan dalam 3 minggu dari onset penyakit. Menurut Yeo dkk ENoG merupakan
alat yang dapat membantu memperkirakan prognosis penyakit. Alat ini dapat mencatat
compound action potential dari otot fasialis setelah diberikan stimulasi elektrik
supramaksimal pada saraf fasialis bagian distal dari foramen stilomastoid.
Rekurensi pada kasus Bells palsy jarang dilaporkan terutama pada anak-anak. Chen dkk
melaporkan terdapat 6% kasus Bells palsy yang mengalami rekurensi. Rekurensi ini
dapat disebabkan oleh terserang virus kembali atau aktifnya virus yang indolen di dalam
saraf fasialis. Bila rekurensi terjadi pada sisi yang sama dengan sisi yang sebelumnya,
biasanya disebabkan oleh virus Herpes Simpleks. Rekurensi meningkat pada pasien
dengan riwayat Bells palsy dalam keluarga. Umumnya rekurensi terjadi setelah 6 bulan
dari onset penyakit.
4. Plan
Diagnosis :
Bells Palsy
Pengobatan :
o Metilprednisolone 3x8mg
o Mecobalamin 2x500 g/hari
Pendidikan :
a. Kompres hangat daerah sisi wajah yang sakit selama 20 menit
b. Massage wajah yang sakit ke arah atas dengan menggunakan tangan dari sisi
14

wajah yang sehat


c. Latihan tiup lilin, berkumur, makan dengan mengunyah disisi yang sakit,
minum dengan sedotan, mengunyah permen karet
d. Pencegahan terhadap terjadinya iritasi pada mata pasien. Anjuran untuk
menutup mata pada sisi yang sakit pada saat tidur dengan menggunakan tisu
atau penutup mata
Konsultasi :
.

15

Você também pode gostar