Você está na página 1de 12

ABNORMALITAS DALAM PSIKOLOGI ISLAM

Disusun sebagai Pemenuhan Nilai Ujian Akhir Semester


Mata Kuliah Islam dan Psikologi

Oleh:
Robby Cahyadi
1112070000090

Fakultas Psikologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2016
DAFTAR ISI
1

BAB 1: Pendahuluan .............................................................................................


1.1 Latar Belakang

......................................................................................

1.2 Rumusan Masalah

3
3

...............................................................................

BAB 2: Pembahasan .............................................................................................

2.1 Kesehatan Mental dalam Pandangan Psikologi Barat dan Psikologi Islam 5
2.1.1 Kesehatan Mental dalam Pandangan Psikologi Barat

................

2.1.2 Kesehatan Mental dalam Pandangan Psikologi Islam

................

2.2 Abnormalitas dalam Pandangan Psikologi Barat dan Psikologi Islam ..

2.2.1 Abnormalitas dalam Pandangan Psikologi Barat

.......................

2.2.2 Abnormalitas dalam Pandangan Psikologi Islam

.......................

BAB 3: Penutup ....................................................................................................

11

3.1 Kesimpulan .............................................................................................

11

3.2 Saran

....................................................................................................

11

12

Daftar Pustaka

BAB 1
2

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Terdapat perbedaan besar antara psikologi Islam dengan psikologi kontemporer
(barat), yakni psikologi Islam memiliki pedoman yang mutlak berupa al-Quran dan
hadits, yang membuat teori-teori maupun pandangan-pandangan yang dihasilkan dari
psikologi Islam cenderung bersifat baku, universal, dan mengarah pada kebenaran dan
kebaikan. Sedangkan dalam psikologi barat, berbagai teori dikemukakan oleh
berbagai tokoh yang berbeda tempat, budaya, maupun personalitas, dan dihasilkan
dari pengamatan laboratorial sehingga cenderung berbeda-beda bahkan menghasilkan
berbagai perbedaan yang kontradiktif, sehingga menimbulkan kesulitan untuk
menentukan teori mana yang paling baik untuk dipelajari dan diterapkan.
Perbedaan tersebut juga berdampak pada pandangan masing-masing perihal
abnormalitas, gangguan jiwa, kesehatan mental, dan topik terkait. Dalam psikologi
Islam, abnormalitas erat kaitannya dengan ketidakseimbangan antara ruh dan tubuh
yang dikaitkan dengan syariat Islam, aspek keimanan, ibadah, dan akhlak almazmumah. Hal tersebut menarik penulis untuk membuat tulisan ini sebagai
penjelasan pandangan psikologi Islam terhadap abnormalitas dan sedikit membahas
perbedaannya dengan pandangan psikologi barat. Penulis juga akan menyajikan
pembahasan mengenai kesehatan mental, karena erat kaitannya dengan abnormalitas.

1.2 Rumusan Masalah


Agar pembahasan mengenai abnormalitas dalam psikologi Islam ini menjadi
sistematik, terurut, dan tepat, penulis merumuskan permasalahan yang akan dibahas
sebagai berikut:

1.

Bagaimana pandangan terhadap kesehatan mental dalam psikologi barat dan


psikologi Islam?
3

2.

Bagaimana pandangan mengenai abnormalitas dalam psikologi barat dan


psikologi Islam?

BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Kesehatan Mental dalam Pandangan Psikologi Barat dan Psikologi Islam
2.1.1 Kesehatan Mental dalam Pandangan Psikologi Barat

Kesehatan mental merupakan cabang termuda dalam ilmu psikologi barat,


karena baru tumbuh pada akhir abad ke-19. Secara umum kesehatan mental
adalah ilmu yang mempelajari tentang perawatan kesehatan jiwa. Menurut
Alexander

Schneiders

(1965),

kesehatan

mental

adalah

ilmu

yang

mengembangkan dan menerapkan seperangkat prinsip praktis yang bertujuan


mencapai dan memelihara kesejahteraan psikologis, mencegah gangguan mental,
dan meningkatkan kemampuan menyesuaikan diri.
Marie Jahoda (1958) mengemukakan bahwa kesehatan mental tidak hanya
sebatas terhindarnya individu dari gangguan jiwa, tetapi juga melibatkan
beberapa karakteristik utama, yaitu memiliki sikap menuju pengembangan diri,
aktualisasi diri, memiliki integrasi diri, otonomi diri, persepsi mengenai realitas,
dan kemampuan untuk menguasai lingkungan. Serupa dengan WHO (World
Health Organization) yang merumuskn kriteria individu yang sehat mental dalam
sidang umum di Geneva, 1959 sebagai berikut:
a.

Dapat mnyesuaikan diri secara konstruktif pada kenyataan, meskipun kenyataan


itu buruk baginya;

b.

Memperoleh kepuasan dari hasil jerih payah usahanya sendiri;

c.

Merasa lebih puas memberi daripada menerima;

d.

Secara relatif terbebas dari rasa tegang dan cemas;

e.

Berhubungan dengan orang lain secara baik, mutuatif, dan saling memuaskan;

f.

Menerima kekecewaan dan menjadikannya pelajaran untuk masa depan;

g.

Mengatasi permusuhan secara kreatif dan konstruktif;

h.

Memiliki rasa kasih sayang yang besar.


Kesehatan mental sangat erat kaitannya dengan abnormalitas. Individu yang sehat

mental dipandang sebagai individu yang memiliki kepribadian atau kondisi psikologis
yang normal, sedangkan jika individu menunjukkan periaku yang tidak sehat secara
5

mental dianggap abnormal. Dapat disimpulkan bahwa individu yang sehat mental
adalah individu yang tebebas dari simptom-simptom negatif, mampu menyesuaikan
diri, memiliki religiusitas yang baik (tidak berdasarkan agama, lebih kepada hal-hal
metafisik horizontal), dan mampu mengembangkan dirinya.
Dalam psikologi barat, indikator kesehatan mental tersebut dirumuskan
berdasarkan normatif dan etika saja dan merupakan hasil penelitian empirik, serta
cenderung bersifat subjektif sehingga tidak terikat, dan mungkin tidak dapat berlaku
universal. Seseorang mungkin merasa puas terhadap hidupnya dan merasa tidak
memiliki gangguan dalam jiwanya meskipun terdapat kriteria kesehatan mental yang
tidak terpenuhi dalam dirinya. Selain itu juga cenderung tidak dapat lepas dari budaya
lokal, meskipun diklaim bahwa psikologi barat bersifat netral. Hal ini menimbulkan
kesulitan untuk menentukan apakah seseorang benar-benar sehat mentalnya atau
tidak, karena tidak ada ketentuan yang pasti. Selain itu psikologi barat hanya
menjelaskan kesehatan mental manusia selama hidup di dunia saja.

2.1.2 Kesehatan Mental dalam Pandangan Psikologi Islam


Jauh sebelum abad ke-19, Islam sebenarnya sudah menyampaikan
pembicaraan tentang hakikat jiwa, penyakit jiwa, dan kesehatan mental. Hal ini
telah disampaikan melalui ajaran agama dan syariat yang diwahyukan kepada
para nabi sejak Nabi Adam as. hingga Nabi Muhammad saw. Penjelasan
mengenai kesehatan mental dalam psikologi Islam kurang lebih sama dengan
yang telah dijelaskan sebelumnya, hanya saja lebih lengkap dalam aspek
metafisik, agama, dan akhirat. Islam memandang manusia terlahir dalam keadaan
yang fitrah, dan membawa sifat-sifat asma al-husna yang menjadi potensi bagi
manusia untuk mencapai tujuan hidup yang hakiki. Mental yang sehat dalam alQuran disebut sebagai an-nafs ak-muthmainnah (jiwa yang tenang), yang
tumbuh dari keimanan yang kuat sehingga mewujudkan pribadi yang seimbang
antara kecukupan kebutuhan ruh dan tubuhnya dengan cara yang sesuai syariat,
6

serta perilaku kesehariannya secara konsisten berada di jalan Allah swt. Hal ini
dapat dicapai jika individu memiliki imunitas jiwa akbitak kuatnya iman, serta
kondisi qalb yang sehat dah hidup (shahih).
Zakiah Daradjat (1984) terdorong untuk memaparkan pengertian kesehatan
mental yang beranjak dari absennya penjelasan aspek kehidupan manusia dunia
dan akhirat dalam psikologi barat. Menurutnya, kesehatan mental adalah
terwujudnya keserasian yang sesungguhnya antara fungsi-fungsi kejiwaan dan
terciptanya penyesuaian diri antara manusia dengan dirinya sendiri dan
lingkungannya, yang berlandaskan keimanan dan ketakwaan, serta bertujuan
untuk mencapai hidup yang bermakna dan bahagia di dunia dan akhirat.
Islam memiliki pengaruh yang kuat terhadap kesehatan mental manusia,
karena Islam turun dengan tujuan hidup yang jelas, bahwa manusia hidup di
dunia adalah mencapai kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan di dunia dan di
akhirat, yang kemudian tujuan tersebut diatur pencapaiannya dalam turunnya
agama Islam beserta ajarannya. Individu yang mengusahakan kesehatan
mentalnya berlandaskan ajaran agama akan membantunya memiliki pandangan
hidup yang kukuh, konsisten, berorientasi terhadap masa depan, optimis, sabar,
memiliki hubungan yang baik terhadap diri sendiri, sesama manusia, alam, dan
Tuhannya, serta menjaga perilaku agar tetap tertib.

2.2 Abnormalitas dalam Pandangan Psikologi Barat dan Psikologi Islam


2.2.1 Abnormalitas dalam Pandangan Psikologi Barat
Psikologi barat memiliki kesulitan dalam merumuskan konsep normal dan
abnormal tentang perilaku, karena tidak memiliki pedoman yang pasti dan haq,
serta dianggap bersifat relatif. Konsep normal dan abnormal dalam psikologi
barat didasarkan pada norma, statistik, pola kebiasaan, dan sikap hidup secara
umum masyarakat dunia, sehingga tidak ada kesepakatan yang mutlak.
7

Pribadi yang normal pada umumnya memiliki mental yang sehat, sedangkan
pribadi yang abnormal memiliki mental yang tidak sehat. Maka, mengacu pada
kriteria sehat mental pada pembahasan sebelumnya, individu yang abnormal
adalah yang tidak memiliki atau memenuhi kriteria tersebut. Dalam psikologi
barat, abnormalitas dikaitkan dengan simptom atau penyakit jiwa yang berat.
Pribadi abnormal memiliki atribut inferior dan superior. Keadaan inferior dapat
ditemui pada penderita psikosa, neurosa, dan psikopat, sedangkan keadaan
superior dapat ditemui pada penderita idiot savant. Dapat disimpulkan bahwa
individu dianggap abnormal jika memunculkan simptom-simptom negatif dalam
diri dan perilakunya, serta tidak mampu menyesuaikan diri dan mengembangkan
diri.
2.2.2 Abnormalitas dalam Pandangan Psikologi Islam
Perihal pembedaan antara pribadi yang normal dan abnormal dalam Islam
dilakukan dengan dasar al-Quran dan hadits. Berdasarkan kedua sumber
tersebut, perilaku manusia dapat diklasifikasikan menjadi perilaku normal,
abnormal, dan meragukan (butuh usaha pemahaman lebih lanjut, atau memang
dengan sengaja Allah tidak menjelaskannya secara rinci dan jelas). Hal tersebut
berdasarkan hadits Rasulullah saw. sebagai berikut:
Diriwayatkan dari Numan bin Basyir bahwa Rasulullah bersabda: Suatu
yang halal jelas dan suatu yang haram jelas. Sesuatu yang ada di antara
keduanya adalah meragukan, dan tidak banyak diketahui oleh banyak manusia.
(HR Darami).
Secara sederhana namun sangat mengakar, Islam mengaitkan abnormalitas
dengan akhaq al-mazmumah (sifat tercela). Menurut al-Ghazali, sifat tercela yang
dimiliki individu akan menjadi sumber penyakit hati dan penyakit jiwa (amradh
al-qulub), dan membawa manusia pada kebinasaan (al-muhlihat). Sifat tercela
akan menggiring manusia untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan rohaninya
seacra semaunya, sehingga menimbulkan ketidakseimbangan (itidal). Hanya
8

individu dengan keimanan yang kuat saja yang mampu menjaga dirinya dari sifatsifat tercela. Keimanan memberikan imunitas jiwa yang menahan individu dari
dominasi syahwat dan hawa nafsunya.
Perilaku abnormal dalam Islam disebabkan oleh perbuatan dosa akibat sifat
tercela. Perbuatan dosa itu sendiri disebabkan oleh faktor internal (rusaknya qalb,
hawa nafsu, dan orientasi hidup yang materialis (hubb dunyaa) dan faktor
eksternal (godaan setan dan makanan/minuman yang syubhat dan haram). Jika
individu telah melakukan perilaku dosa, hal ini akan berdampak pada munculnya
aspek abnormalitas, yaitu gejala simptomatis (perasaan bimbang, resah, rasa
bersalah, stres), masalah penyesuaian diri (individu merasa tidak nyaman jika
orang lain tahu dosa dan perasaannya, sehingga menimbulkan permasalahan
dalam relasi sosial), dan permasaahan religiusitas (jauh dari Allah). Berbeda
dengan aspek abnormalitas psikologi barat, psikologi Islam tidak membahas
pengembangan diri karena menurut al-Ghazali, pengembangan diri hanya dapat
dilakukan jika mental sudah sehat (jiwa/qalb sudah bersih, atau setidaknya
terbebas dari simptom-simptom negatif).
Al-Ghazali menjelaskan bahwa individu yang sakit jiwanya (abnormal)
adalah yang berakhlak buruk, sedangkan individu yang sehat jiwanya adalah yang
berakhlak baik. Akhlak yang buruk seperti tunduk pada hawa nafsu, berlebihan
dalam berbicara, marah, iri, dengki, cinta dunia, riya, sombong, dan menipu
dipandang sebagai gangguan jiwa yang akan membawa pada ketidaktentraman
jiwal. Hasan Muhammad asy-Syarqowi mengungkapkan penyakit hati yang dapat
memicu perilaku abnormal pada diri individu, yaitu:
a.

Riya (pamer);

b.

Marah yang tidak terkendali;

c.

Lupa dan lalai;

d.

Was-was (obsesi);
9

e.

Pesimis dan apatis;

f.

Tamak;

g.

Terpedaya oleh kesenangan duniawi;

h.

Ujub (terlalu membanggakan diri);

i.

Dendam dan dengki.


Perilaku abnormal dalam Islam dapat disembuhkan dengan cara tazkiyat al-nafs

(penyucian jiwa) seperti yang dikemukakan al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulum al-Din,
yang secara garis besar mirip seperti taubat al-nasuha.

BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam Psikologi Islam, perilaku atau kondisi kejiwaan normal dan abnormal
distandarkan pada al-Quran dan hadits. Berdasarkan pedoman tersebut, perilaku
manusia diklasifikasikan menjadi perilaku normal, abnormal, dan meragukan
(membutuhkan kajian hukum lebih lanjut, atau memang secara sengaja tidak
10

dijelaskan secara rinci oleh Allah). Perilaku abnormal pada individu disebabkan oleh
kondisi tidak seimbang (itidal) antara ruh dan tubuh, yang akarnya berasal dari sifatsifat tercela pada individu, sehingga menimbulkan dosa dan menjauhkan individu dari
fitrahnya. Kondisi ini menimbulkan berbagai hambatan dan gangguan pada diri
individu baik internal maupun eksternal yang berpusat di qalb, semisal rasa bersalah,
kecemasan, dan ketidakmampuan menyesuaikan diri, yang berakumulasi menjadi
gangguan mental.

3.2 Saran
Penulis berharap pembuatan tulisan serupa selanjutnya dapat lebih memperkaya
referensi, karena pembahasan mengenai kesehatan mental dalam Psikologi Islam
sangatlah luas, termasuk juga lebih banyak menyertakan ayat-ayat al-Quran dan
hadits yang mendukung, maupun pendapat para tokoh Psikologi Islam atau
pembahasan terkait oleh ilmuwan Islam. Penjelasan terperinci mengenai perilaku
abnormal, baik dalam psikologi barat maupun psikologi Islam dalam tulisan ini juga
masih sangat kurang. Selain itu, akan menjadi lebih baik jika penulis selanjutnya
memaparkan perbedaan mengenai pembahasan abnormalitas dalam psikologi Islam
dan psikologi kontemporer (barat) secara lebih lengkap.

DAFTAR PUSTAKA

Jaelani, A. F. Penyucian Jiwa (Tazkiyat an-Nafs) & Kesehatan Mental. Amzah.


2000
Najati, M. Utsman. Psikologi dalam Al-Quran (Terapi Qurani dalam
Penyembuhan Gangguan Kejiwaan). Pustaka Setia: Bandung, 2005
Taufiq, Muhammad Izzuddin. Panduan Lengkap & Praktis Psikologi Islam.
Gema Insani: Jakarta, 2006
11

Hidayati, H. N.; Yudiantoro, Andri. Psikologi Agama. UIN Jakarta Press: Jakarta,
2007
Mujib, Abdul. Kepribadian dalam Psikologi Islam. Rajagrafindo Persada:
Jakarta, 2007

12

Você também pode gostar