Você está na página 1de 4

ANALISIS PENEGAKAN HUKUM KORUPSI DI INDONESIA DALAM

PERSPEKTIF SOSIOLOGI HUKUM


At his best, man is the noblest of all animals; separated from law and justice, he is
the worst. - Aristotle
Diselesaikan dalam rangka memenuhi tugas sosiologi hukum
Dosen: Suparman Marzuki Dr., S.H., M.Si.

Disusun oleh:
Krasnaya Maghfirani Muria
NIM. 15410078
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
TAHUN 2016

Bukan rahasia lagi bahwa orang-orang yang berdekatan dengan kekuasaan


dan/atau pemegang kekuasaan itu sendiri, serta orang-orang yang didukung
kekuatan politik dan ekonomi memiliki kecenderungan kebal terhadap hukum yang
berlaku, baik hukum formal mapun hukum materiil. Hal ini berkaitan dengan keadaan
di Indonesia yang pada faktanya masih menempatkan hukum sebagai objek tawarmenawar (bargaining position).
Pertimbangan politik dari pihak-pihak tertentu turut mempengaruhi penetapan
keputusan yang berlandaskan hukum, dimana ada kekhawatiran akan muncul
berbagai hal merugikan bagi pihak-pihak tersebut atas diambilnya keputusan yang
sesuai dengan hukum positif dan common sense di dalam masyarakat. Kedua hal ini
semkain memperjelas bahwa hukum di Indonesia tumpul ke atas dan tajam ke
bawah. Keadaan-keadaan ini juga berlaku pada penanganan kasus korupsi.
Dalam prakteknya, penangan kasus korupsi kelas teri lebih mudah dilakukan
karena tidak adanya kewenangan dari pihak-pihak yang terkait untuk dapat
mengcover tindakan yang dilakukannya. Selain itu, tim penyidikan dan jaksa
penuntut umum dalam melakukan pembuktian tidak menemui permasalah yang
terlalu berat karena skema tindakan korupsi yang dilakukan tidak terlalu rumit.
Tingkat teknologi yang digunakan dalam tindak pidana korupsi juga turut
menentukan mudah tidaknya tindakan tersebut dibuktikan. Tentu saja, dalam tindak
pidana korupsi kelas teri tidak menggunakan teknologi terlalu rumit karena skema
aliran dana dari perbuatan tersebut juga tidak ruyam.
Berbeda dengan penangan kasus korupsi kelas kakap. Tentu saja karena
nominal uang yang dikorupsi dalam jumlah fantastis, diperlukan pemikiran matang
dari pihak-pihak yang terkait untuk menghilangkan leterkaitan uang yang diterima
dengan tindak pidana yang dilakukan. Hal ini yang melahirkan skema aliran dana
yang sangat rumit. Para pihak yang terkait juga akan memaksimalkan keberadaan
teknologi yang semakin maju, sehingga memunculkan modus operandi korupsi yang
semakin bervariasi.
Berbagai faktor di atas akan memberikan tantangan kepada tim peyidikan dan
jaksa penuntut umum untuk melakukan pembuktian. Mereka dituntut untuk bekerja
lebih keras dalam melakukan pembuktian. Selain itu, fasilitas teknologi yang dimiliki
negara untuk menyokong dilakukannya pembuktian atas tindak pidana korupsi, tidak

jarang masih tertinggal beberapa langkah dari teknologi yang digunakan pelaku
korupsi. Selaian itu, pembuktian juga sering kali terhalangi oleh kewenangan serta
kekuatan ekonomi dan politik yang dimiliki oleh tersangka tindak pidana korupsi.
Dua keadaan yang saling bertolak belakang tersebut dapat dilihat dari
beberapa contoh kasus dugaan tindak pidan korupsi. Salah satu kasus tindak pidana
korupsi kelas teri yang mencapai putusan akhir dilakukan oleh seorang mantan
Kuwu, berinisial W (50) yang divonis satu tahun penjara dan hukuman tambahan
dendan Rp 50.000.000,00 subsider kurungan satu bulan, setelah menyelewengkan
uang negara sebesar Rp 960.000,00 dimana uang tersebut merupakan hasil
penjualan benih bibit dari bantuan pemerintah daerah.
Contoh kasus dugaan tindak pidana korupsi yang sampai sekarang belum
jelas proses pengadilannya adalah pengadaan minyak mentah impor yang dilakukan
Petral selaku anak perusahaan Pertamina. Sudah banyak bukti yang menunjukan
adanya indikasi kerugian negara triliunan rupiah dalam proses pengadaan minyak
mentah tersebut, tetapi sampai sekarang tidak ada satupun berkas di pengadilan
atas kasus ini. Lagi-lagi, hal ini disebut-sebut terjadi karena adanya back up dari
pemegang kekuasaan kepada para pihak yang diduga sebagai pemeran utama
dalam pengadaan minyak mentah ini.
Kedua contoh kasus tersebut dapat merepresentasikan ketimpangan dalam
penangan kasus korupsi. Oleh karenanya, negara harus segara memenuhi
kebutuhan-kebutuhan dalam melakukan pembuktian tindak pidana korupsi dan
menyiapkan sumber daya manusia yang mampu menggunakan fasilitas-fasilitas
tersebut secara tepat sasaran, agar hukum di Indonesia tidak hanyak tajam ke
bawah, tetapi juga tajam ke atas. Sehingga tercapai asas hukum equality before the
law.
Selain itu, negara juga tetap harus mengkaji faktor-faktor pendorong
dilakukannya korupsi. Pada dasarnya, korupsi dilakukan karena adanya dua alasan,
yang pertama, karena kebutuhan hidup yang mendesak; dan yang kedua, karena
gaya hidup yang konsumtif. Alasan yang pertama mengaharuskan Negara bercermin
pada reaita di dalam masyarakat. Banyak pegawai negara yang karena status
posisinya mendapat gaji yang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Tentu hal
ini dapat memberi desakan untuk melakukan korupsi. Namun, bukan berarti alasan

yang pertama dapat dijadikan alasan pemaaf bagi oknum yang melakukan.
Melainkan

sebagai

dorongan

bagi

negara

untuk

lebih

serius

dalam

mensejahterahkan rakyatnya.
Alasan yang kedua adalah korupsi yang didorong oleh gaya hidup konsumtif.
Biasanya alasan kedua inilah yang mendasari dilakukannya korupsi dalam skala
fantastis. Hal ini menjadi parameter bahwa Indonesia sudah mengalami pergeseran
nilai di dalam masyarakatnya. Pada awal berdirinya negara ini, Indonesia tidak
mengenal sifat konsumtif, Indonesia justru mengedepankan kesederhanaan. Oleh
karenanya, pemerintah juga harus fokus dalam memberikan fasilitas pendidikan
moral pada penerus bangsa, agar Indonesia tidak terus-menerus mengalami
penggerusan nilai moral. Hal ini merupakan langkah preventif atas terjadinya tindak
pidana korupsi.
Dari pembahasan singkat di atas, ada beberapa hal yangdapat dilakukan
pemerintah dalam menghadapi permasalah korupsi di Indonesia. Yang pertama,
penyediaan

fasilitas

teknologi

dan

sumber

daya

manusia

yang

mampu

menggunakan fasilitas-fasilitas tersebut secara tepat sasaran untuk memberantas


korupsi. Kedua, pemerintah lebih serius dalam mensejahterakan masyarakatnya
serta lebih fokus pada pendidikan moral bangsa sebagai langkah preventif terjadinya
korupsi.

Você também pode gostar