Você está na página 1de 91

PETUNJUK TEKNIS

PEMANFAATAN MODEL HIDROLOGI


DALAM PENGELOLAAN DAS
(PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAS DAN
PERHUTANAN SOSIAL NO. P.2/V-SET/2015)

DIREKTORAT JENDERAL BINA


A PENGELOLAAN DAS
DA DAN PERHUTANAN SOSIAL
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN
2015

KEMENTERIAN KEHUTANAN
DIREKTORAT JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAS DAN PERHUTANAN SOSIAL
JAKARTA

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL


BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN
SOSIAL
NOMOR : P. 2/V-SET/2015
TENTANG
PETUNJUK TEKNIS
PEMANFAATAN MODEL HIDROLOGI DALAM PENGELOLAAN DAERAH
ALIRAN SUNGAI (DAS)
DIREKTUR JENDERAL
BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN
SOSIAL

Menimbang : bahwa sebagai tindak lanjut ketentuan BAB II, BAB III dan
BAB IV Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012
tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai perlu
menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Bina Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial tentang
Petunjuk Teknis Pemanfaatan Model Hidrologi Dalam
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 19 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
2. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 472);
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5587);
4. Undang
i

4. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2014 tentang Konservasi


Tanah dan Air (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 299, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5608);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 76 tahun 2008 tentang
Rehabilitasi dan Reklamasi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 201, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4947);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 tentang
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 62, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5292);
7. Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2015 tentang
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 17);
8. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor:
P.60/Menhut-II/2013 tentang Tata Cara Penyusunan dan
Penetapan Rencana Pengelolaan DAS;
9. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor :
P.61/Menhut-II/2014 Tentang Monitoring Dan Evaluasi
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai;
10. Peraturan Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan
Perhutanan Sosial Nomor P.15/V-Set/2009 tentang
Pedoman Pembangunan Areal Model DAS Mikro.
MEMUTUSKAN
Menetapkan : PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PENGELOLAAN
DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL
TENTANG PETUNJUK TEKNIS PEMANFAATAN MODEL
HIDROLOGI DALAM PENGELOLAAN DAS
Pasal 1
Petunjuk Teknis Pemanfaatan Model Hidrologi dalam Pengelolaan
sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Direktur Jenderal ini.

ii

DAS

Pasal 2
Petunjuk Teknis Pemanfaatan Model Hidrologi Dalam Pengelolaan DAS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dijadikan acuan dalam melaksanakan
kegiatan perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi pengelolaan daerah
aliran sungai.
Pasal 3
Petunjuk Teknis ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal
g l : 20 Fe
Februari 2015
DIREKT
DIRE
TUR
R JEN
JJENDERAL,
E DERAL,
DIREKTUR

Dr. Ir. HI
H
LMAN N
NUG
U ROHO,
UG
ROHO M.P.
HILMAN
NUGROHO,
NIP. 19
9590615
90615 1
1986
03 1 004
19590615
198603

Tembusan:
1. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia di Jakarta;
2. Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan di Jakarta;
3. Inspektur Jenderal Kementerian Kehutanan di Jakarta;
4. Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan di Jakarta;
5. Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam di Jakarta;
6. Direktur Jenderal Planologi Kehutanan di Jakarta;
7. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan di Jakarta;
8. Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Kehutanan
di Jakarta;
9. Deputi Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim,
Kementerian Lingkungan Hidup di Jakarta;
10.Kepala Dinas Kehutanan Provinsi di Seluruh Indonesia;
11.Kepala Balai Pengelolaan DAS di Seluruh Indonesia.

iii

LAMPIRAN
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAS DAN PERHUTANAN
SOSIAL
NOMOR: P. 2/V-DAS/2015
TENTANG
PETUNJUK TEKNIS PEMANFAATAN MODEL HIDROLOGI DALAM PENGELOLAAN DAS

BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Dalam pengelolaan DAS, setiap stakeholder berperan sesuai dengan
tugas dan fungsinya masing-masing agar kondisi sumberdaya alam DAS
tetap lestari. Dengan demikian, keberhasilan Pengelolaan DAS sangat
ditentukan oleh banyak pihak yang melaksanakan tugas dan fungsinya
secara terintegrasi, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, monitoring
sampai dengan evaluasi.
Dalam melaksanakan keterpaduan yang dilakukan oleh para pihak akan
melalui proses yang sangat kompleks sehingga memerlukan sebuah model
yang mampu menyederhanakan dan mengkuantifikasikan hasil sebuah
proses. Mengingat DAS adalah suatu unit hidrologi sehingga pengelolaan
DAS memerlukan model hidrologi. Banyak model hidrologi yang tersedia
seperti ANSWERS (Areal Nonpoint Source Watershed Environment Response
Simulation), AGNPS (Agricultural Non-Point Source), WEPP (Water Erosion
Prediction Project), SWAT (Soil and Water Assessment Tool) dapat
digunakan untuk kepentingan pengelolaan DAS.
Asosiasi Dunia Konservasi Tanah dan Air (WASWC) telah
merekomendasikan kepada Negara-negara anggotanya untuk dapat
memanfaatkan dan mengembangkan SWAT dalam konservasi tanah dan air.
Model SWAT memungkinkan simulasi sejumlah proses fisik yang berbeda
pada suatu DAS. SWAT sebagai salah satu model hidrologi merupakan model
terdistribusi yang terhubung dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) dan
mengintegrasikan Sistem Pengambilan Keputusan Spasial (Spatial DSSDecision Support System) sehingga model SWAT berdayaguna tinggi. Model
SWAT dioperasikan pada interval waktu harian dan dirancang untuk
memprediksi dampak jangka panjang dari praktek pengelolaan lahan
terhadap sumberdaya air, sedimen dan hasil agrokimia pada DAS besar dan
komplek dengan berbagai skenario pengelolaan dan penggunaan lahan.
Model SWAT dapat mengidentifikasi, menilai dan mengevaluasi tingkat
permasalahan biofisik suatu DAS dan sebagai alat untuk memilih tindakan
1

pengelolaan dalam mengendalikan permasalahan tersebut. Dengan demikian


melalui penggunaan model SWAT dapat dikembangkan dan ditentukan
beberapa skenario pengelolaan dan penggunaan lahan yang terbaik.
1.2. Maksud dan Tujuan
Petunjuk Tenis Pemanfaatan Model Hidrologi dalam Pengelolaan DAS
dimaksudkan untuk menyediakan panduan teknis guna mengoperasikan
model hidrologi SWAT dalam pengelolaan DAS. Sedangkan tujuannya adalah
meningkatnya kapasitas sumber daya manusia dalam pengelolaan DAS
dengan alat bantu model hidrologi SWAT.
1.3. Ruang Lingkup dan Manfaat
Petunjuk teknis ini memuat: Parameter/Data yang Dibutuhkan dalam
Model SWAT, Operasionalisasi Model Hidrologi SWAT, Penyusunan Laporan
Hasil Penerapan Model Hirologi SWAT dalam Pengelolaan DAS, Aplikasi dan
Konsep Model SWAT dalam Perencanaan Pengelolaan DAS.
Operasional pemanfaatan model hidrologi SWAT perlu memperhatikan
beberapa hal sebagai berikut:
1. Tidak dapat dioperasikan dengan baik dalam DAS yang mengalami
kebocoran aliran keluar maupun masukan aliran ke dalam DAS yang diuji.
2. Akan menjadi lebih rinci apabila di dalam DAS terdapat bangunan waduk
atau bendungan, dan menjadi kompleks apabila dalam DAS terdapat
bendung sadap untuk irigasi atau penggunaan lainnya.
3. Tidak efektif atau bahkan tidak dapat dioperasikan dalam DAS yang
memiliki batuan induk kapur (karst) atau DAS yang memiliki areal
dominan gambut serta rawa.
Model SWAT dapat digunakan dalam pengelolaan DAS terkait dengan
perencanaan pengelolaan DAS, implementasi RTkRHL serta Monitoring dan
Evaluasi Kinerja DAS, karena SWAT mampu menghitung debit aliran sungai
dan produksi sedimen (sediment yield) harian, bulanan, dan tahunan untuk
setiap unit respon hidrologi (Hydrology Response Unit /HRU), sub DAS, dan
DAS. Setelah dilakukan kalibrasi dan validasi model, simulasi pengelolaan
dan penggunaan lahan (implementasi RTkRHL) dapat dilakukan untuk
mengetahui efektifitasnya, dan pada tahap selanjutnya kinerja pengelolaan
DAS dapat ditentukan standar dan kriterianya berdasarkan Permenhut No.
61 tahun 2014. Bahkan, pola debit aliran sungai dan produksi sedimen
sepanjang tahun di titik pengeluaran (outlet) DAS dapat digambarkan secara
baik apabila data iklim harian, tutupan lahan, dan sifat fisika kimia tanah
tersedia. Lebih jauh, hasil air (water yield) yang dapat dihitung oleh model
SWAT dapat digunakan untuk menduga apakah air yang keluar dari outlet

DAS akan melebihi kapasitas tampung sungai atau tidak sehingga genangan
atau banjir untuk dapat diperkirakan.
1.4. Beberapa Aplikasi SWAT
Model SWAT telah diaplikasikan secara luas di berbagai negara
terutama terkait dengan analisis hidrologi. Aplikasi tersebut antara lain
meliputi :
1. Kajian aliran permukaan, erosi dan sedimen.
2. Simulasi penggunaan dan pengelolaan lahan dalam kaitannya dengan
hasil air (kuantitas dan kualitas), hasil sedimen serta transportasi unsur
hara dan pestisida.
3. Simulasi distribusi air tanah dan air bawah tanah.
4. Perkiraan air tanah, recharge, tile-flow, dan tingkat air bawah tanah.
5. Penilaian kualitas air secara komprehensif.
6. Kajian pestisida dan pergerakannya dalam air.
7. Penilaian dampak perubahan iklim terhadap hidrologi dan polutan.
1.5. Pengertian
1. Daerah Aliran Sungai adalah suatu wilayah daratan yang merupakan
kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya yang
berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal
dari curah hujan ke danau atau laut secara alami, yang batas di darat
merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah
pengairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.
2. Pengelolaan DAS adalah upaya manusia dalam mengendalikan
hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dengan manusia di
dalam DAS dan segala aktifitasnya, dengan tujuan membina kelestarian
dan keserasian ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan sumberdaya
alam bagi manusia secara berkelanjutan.
3. Rencana Pengelolaan DAS terpadu adalah konsep pembangunan
yang mengakomodasikan berbagai peraturan perundangan-undangan
yang berlaku dan dijabarkan secara menyeluruh dan terpadu dalam
suatu rencana berjangka pendek, menengah maupun panjang yang
memuat perumusan masalah spesifik di dalam DAS, sasaran dan tujuan
pengelolaan, arahan kegiatan dalam pemanfaatan, peningkatan dan
pelestarian sumberdaya alam air, tanah dan vegetasi, pengembangan
sumberdaya manusia, arahan model pengelolaan DAS, serta sistem
monitoring dan evaluasi kegiatan pengelolaan DAS;
4. Model adalah penyederhanaan sistem yang digunakan untuk
menggambarkan sistem kehidupan nyata (real world) dengan suatu
3

tujuan tertentu. Suatu model merupakan pengungkapan bentuk konsep


dari sistem yang sebenarnya;
5. Model Hidrologi adalah sebuah sajian sederhana dari sebuah sistem
hidrologi yang kompleks atau merupakan model yang menggambarkan
secara abstrak atau sederhana dari keadaan hidrologi yang mempunyai
kesamaan dengan keadaan hidrologi sebenarnya di lapang, dan model
utama hidrologi meliputi model fisik, analog dan digital (deterministik,
stokastik, parametrik).
6. SWAT (Soil and Water Assessment Tool) adalah model hidrologi berbasis fisika (physically based) yang membutuhkan informasi spesifik
tentang iklim, sifat-sifat tanah, topografi, vegetasi, dan praktek
pengelolaan lahan yang terjadi di dalam DAS - yang digunakan untuk
memprediksi dampak praktek pengelolaan lahan terhadap air, sedimen,
dan bahan kimia pertanian yang masuk ke sungai atau badan air pada
suatu DAS yang kompleks dengan tanah, penggunaan tanah dan
pengelolaannya yang bermacam-macam sepanjang waktu yang lama.
7. HRU (Hydrologic Respons Unit) atau unit respon hidrologi adalah
unit analisis terkecil dalam model SWAT yang dihasilkan dari tumpang
tindih antara peta tanah, tutupan lahan dan kelas lereng.
8. Air adalah semua air yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah
permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air
tanah, air hujan, dan air laut yang berada di darat.
9. Air Permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan
tanah.
10. Air Tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di
bawah permukaan tanah.
11. Tata Air DAS adalah hubungan kesatuan individu unsur-unsur
hidrologis yang meliputi hujan, aliran permukaan dan aliran sungai,
peresapan, aliran air tanah dan evapotranspirasi dan unsur lainnya yang
mempengaruhi neraca air suatu DAS.
12. Pemantauan Tata Air adalah pengamatan dan pengukuran potensi
sumberdaya air (kuntitas, kualitas, dan kontinuitas) pada suatu titik
pengukuran dalam suatu daerah tangkapan air atau DAS secara periodik
dan terus-menerus.
13. Aliran Air atau Limpasan (runoff) sinonim dengan aliran sungai
(stream flow), hasil air daerah tangkapan air (catchment yield), adalah
bagian dari air hujan (presipitasi) yang mengalir di atas permukaan
tanah (surface runoff) dan atau di dalam tanah (subsurface runoff)
menuju ke suatu sungai.

14. Debit Air (discharge, Q) adalah volume air (cairan) yang mengalir
melalui suatu penampang melintang sungai per satuan waktu, dalam
satuan m3/detik.
15. Volume Debit (Q) adalah total volume aliran (limpasan) yang keluar
dari daerah tangkapan air atau DAS/Sub DAS, dalam satuan mm atau
m3.
16. Debit Puncak atau Debit Banjir (qp, Qmaks) adalah besarnya
volume air (cairan) maksimum (terbesar) yang mengalir melalui suatu
penampang melintang suatu sungai per satuan waktu, dalam satuan
m3/detik.
17. Debit Minimum (Qmin) adalah besarnya volume air (cairan) minimum
(terendah) yang mengalir melalui suatu penampang melintang suatu
sungai per satuan waktu, dalam satuan m3/detik.
18. Aliran/Limpasan Permukaan (surface runoff) adalah bagian
limpasan yang melintas di atas permukaan tanah menuju saluran sungai.
19. Aliran/Limpasan Bawah Permukaan (subsurface runoff) adalah
bagian dari limpasan permukaan yang disebabkan oleh bagian air hujan
yang terinfiltrasi/meresap ke dalam tanah dan bergerak secara lateral
melalui horizon-horizon tanah bagian atas menuju sungai.
20. Aliran/Limpasan Permukaan Langsung (direct runoff) adalah
bagian limpasan permukaan memasuki sungai secara langsung setelah
curah hujan. Limpasan permukaan langsung merupakan sinonim dengan
hujan efektif (efektif rainfall).
21. Hasil Air (water yield) adalah total limpasan dari suatu daerah
pengaliran air (drainage basin) yang disalurkan melalui saluran air
permukaan dan akuifer (reservoir air tanah).
22. Hujan Lebih (rainfall excess) adalah kontribusi curah hujan terhadap
limpasan permukaan langsung.
23. Infiltrasi adalah proses masuknya air ke dalam permukaan tanah
dengan gaya gerak gravitasi dan kapiler dalam suatu aliran.
24. Laju infiltrasi aktual adalah laju air berpenetrasi ke permukaan tanah
pada setiap waktu dengan kombinasi gaya-gaya gravitasi, viskositas, dan
kapilaritas.
25. Kapasitas infiltrasi adalah laju maksimum presipitasi yang dapat
diserap oleh tanah pada kondisi tertentu.
26. Sistem adalah sekumpulan urutan antar hubungan dari unsur-unsur
yang dialihragamkan (transform), dalam referensi waktu yang diberikan,
dari unsur masukan yang terukur menjadi unsur keluaran yang terukur.
27. Model Matematik adalah sebuah sajian sistem dalam rangkaian
persamaan, dan kadang-kadang dengan ungkapan-ungkapan yang
menyajikan hubungan antar variabel dan parameter.
5

28. Model Konseptual adalah sebuah sajian proses-proses hidrologi dalam


persamaan matematik dan membedakan antara fungsi produksi dan
fungsi penelusuran (routing).
29. Parameter adalah besaran yang menandai suatu sistem hidrologi yang
memiliki nilai tetap, tidak tergantung dari waktu.
30. Variabel adalah besaran yang menandai suatu sistem, yang dapat
diukur dan memiliki nilai berbeda pada waktu yang berbeda.
31. Model lumped adalah suatu model hidrologi yang besaran dari
variabel dan parameter yang diwakilinya tidak mempunyai variabilitas
ruang (spatial variability), misalnya masukan berupa hujan rata-rata
DAS.
32. Model distributed adalah suatu model hidrologi yang besaran dari
variabel dan parameter yang diwakilinya mengandung variabilitas ruang
dan waktu.
33. Erosi adalah pindahnya atau terangkutnya material tanah atau bagianbagian tanah dari satu tempat ke tempat lain oleh media alami
(air/angin).
34. Sedimentasi adalah proses perpindahan dan pengendapan erosi tanah,
khususnya hasil erosi permukaan dan erosi parit. Sedimentasi
menggambarkan material tersuspensi (suspended load) yang diangkut
oleh gerakan air dan atau diakumulasi sebagai material dasar (bed load).
Dari proses sedimentasi, hanya sebagian material aliran sedimen di
sungai yang diangkut keluar dari DAS, sedang yang lain mengendap di
lokasi tertentu di sungai selama menempuh perjalanannya.
35. Hasil Sedimen adalah besarnya sedimen yang keluar dari suatu
DAS/SubDAS.
36. Degradasi DAS adalah hilangnya nilai dengan waktu, termasuk
menurunnya potensi produksi lahan dan air yang diikuti tanda-tanda
perubahan watak hidrologi sistem sungai (kualitas, kuantitas,
kontinuitas), yang akhirnya membawa percepatan degradasi ekologi,
penurunan peluang ekonomi, dan peningkatan masalah sosial.
37. Banjir adalah debit aliran air sungai yang secara relatif lebih besar dari
biasanya akibat hujan yang turun di hulu atau disuatu tempat tertentu
secara terus menerus, sehingga air limpasan tidak dapat ditampung oleh
alur/palung sungai yang ada, maka air melimpah keluar dan
menggenangi daerah sekitarnya. Banjir bandang (flash flood) terjadi
pada aliran sungai yang kemiringan dasar sungainya curam.
38. Karakteristik DAS adalah gambaran spesifik mengenai DAS yang
dicirikan oleh parameter yang berkaitan dengan keadaan morfometri,
topografi, tanah, geologi, vegetasi, penggunaan lahan, hidrologi, dan
manusia.
6

39. Koefisien Limpasan (C) adalah bilangan yang menunjukkan


perbandingan (nisbah) antara besarnya limpasan terhadap besar curah
hujan penyebabnya, nilainya lebih besar dari 0 (nol) dan lebih kecil atau
sama dengan 1 (satu). Misalnya, nilai c = 20, artinya 20 persen dari
curah hujan menjadi limpasan.
40. Koefisien Regim Sungai (KRS) adalah bilangan yang menunjukkan
perbandingan antara nilai debit maksimum (Qmaks) dengan nilai debit
minimum (Qmin) pada suatu DAS/Sub DAS.
41. Lahan Kritis adalah lahan yang keadaan fisiknya sedemikian rupa
sehingga lahan tersebut tidak dapat berfungsi secara baik sesuai dengan
peruntukannya sebagai media produksi maupun pengatur tata air.
42. Sistem Informasi Geografi (SIG) adalah suatu sistem berbasis
komputer yang dapat digunakan untuk mengumpulkan, menyimpan,
menganalisis, dan memanipulasi informasi geografi.

BAB II. PARAMETER/DATA YANG DIBUTUHKAN DALAM MODEL SWAT

2.1. Tipologi Geofisik DAS


Berdasarkan karakteristik biofisik dan batuan geologi penyusun DAS
dan lingkungannya, maka DAS dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori:
1. DAS yang disusun dengan bahan induk batuan (beku, sedimen,
metamorf) yaitu:
a. Penyusun batuan geologi vulkanik seperti tufaan, andesitik, dan
basaltik, air mengalir secara kontinyu (parennial) (Sumatera, Jawa,
Bali, Sulawesi).
b. Penyusun batuan sedimen (sedimentary rocks) atau batuan beku
(igneous rock) yang berasal dari bahan non vulkanik atau vulkanik,
dengan topografi berbukit dan bergunung di bagian hulu tapi
langsung dataran landai dimana air sungai saat musim kemarau
sangat surut bahkan kering (intermittent), sungai berpindah-pindah
banyak batuan dan pasir kasar (braded) (Indonesia bagian timur).
c. Penyusun batuan kapur (karst area), banyak dijumpai sungai bawah
tanah sehingga batas DAS tidak jelas atau diindikasikan oleh sink
holes dan conicle karst (Jawa Tengah bagian Selatan, Kalimantan
Timur).
2. DAS yang disusun dari bahan induk bahan organik yaitu DAS yang
sangat luas dan landai serta didominasi oleh lahan gambut (Kalimantan,
Sumatera bagian timur).
Klasifikasi di atas tidak mempertimbangkan karakteristik sosial budaya
dan perkembangan ekonomi dalam DAS walaupun sosial dan budaya
masyarakat dalam DAS banyak ditentukan oleh karakteristik biofisik DAS
terutama kemampuan pasokannya (biocapacity) dimana daya dukung DAS
bisa ditentukan dan diukur. Karakteristik geofisik DAS tersebut sangat
menentukan tata air atau hidrologi terutama terkait dengan output DAS yaitu
debit air sungai di outlet. DAS yang terbangun di daerah kapur tidak
mempunyai outlet yang jelas, misalnya beberapa sungai yang ada di Gunung
Kidul hilang dan terputus, muncul outletnya di pantai Baron, patai selatan
Samudra Hindia. Sementara di sebagian Indonesia bagian Timur, banjir
selalu muncul saat musim hujan walaupun hulu DAS tertutup oleh vegetasi
berkayu yang rapat tapi topografi berbukit atau bergunung dengan lereng
yang terjal dan solum tanah dangkal. Di wilayah tersebut, saat musim
kemarau aliran air sungai sangat kecil bahkan tidak berair. Selanjutnya,
setiap tipologi geofisik DAS yang berbeda tentunya menghendaki
pengelolaan yang berbeda pula.
Secara umum berbagai model hidrologi termasuk model SWAT tidak
bisa diaplikasikan di DAS yang berbahan geologi kapur (karst area) seperti
Gunung Kidul dan Wonogiri atau sulit diaplikasikan di daerah yang
terpengaruh pasang surut air laut termasuk daerah atau lahan gambut.
8

Parameter yang dibutuhkan model SWAT terdiri dari karakteristik DAS


(saluran sungai), iklim, tanah, tutupan dan pengelolaan lahan. Setiap
parameter tersebut terdiri dari nilai-nilai dan data spasialnya. Peta spasial
yang diinput ke dalam model SWAT sudah harus dalam proyeksi Universal
Transverse Mercator (UTM).
2.2. Karakteristik DAS (data karakteristik saluran sungai)
Parameter karakteristik DAS (saluran sungai) meliputi lebar
sungai/CH_W(2), kedalaman sungai (CH_D), kemiringan lereng/CH_S(2),
panjang lereng/CH_L(2), koefisien kekasaran saluran untuk saluran sungai
utama (Koefisien n Mannings/CH_N(2)) dan anak sungai (Koefisien n
Mannings/CH_N(1)) (Tabel 1), konduktivitas hidrolik efektif pada
saluran/CH_K(2) (Tabel 2), faktor erodibilitas saluran/CH_COV1, dan faktor
tutupan saluran/CH_COV2. Nilai CH_COV1 dan CH_COV2 ditentukan setelah
pengguna menentukan metode yang digunakan untuk penelusuran
sedimen/CH_EQN. Apabila metode yang dipilih adalah Simplified Bagnold
Equation maka nilai faktor erodibilitas saluran dan faktor tutupan saluran
seperti yang disajikan pada Tabel 3. Apabila metode lain yang dipilih, maka
nilai CH_COV1 dan CH_COV2 dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 1. Nilai koefisien Kekasaran Saluran untuk Sungai Utama dan Anak
Sungai Berdasarkan Chow (1959)
No

Nilai Kekasaran Manning


rata-rata
Kisaran

Karakteristik Saluran

Sudah dikeruk atau digali


a. terpelihara, lurus, seragam
b. terpelihara, berkelok, tidak seragam
c. tidak terpelihara dan banyak tanaman liar
2
Alami
a. sedikit tanaman dan berbatu
b. banyak pohon dan berbatu
Sumber: Neistch et al., 2011

0,025
0,035
0,075

0,016 - 0,033
0,023 - 0,05
0,04 - 0,14

0,05
0,1

0,025 - 0,065
0,05 - 0,15

Data lebar sungai, kedalaman sungai, kemiringan lereng, dan panjang


lereng akan dibangkitkan melalui peta Digital Elevation Model (DEM) yang
diinput oleh pengguna pada saat menjalankan model SWAT. Peta DEM
dapat diperoleh dari peta SRTM (Shuttle Radar Thematic Mapper) yang
dikeluarkan oleh Badan Geologi Amerika Serikat (USGS), peta ASTER,
ataupun dari peta kontur. Meski data-data tersebut dibangkitkan melalui
DEM, perlu adanya pengecekan lapang seperti lebar dan kedalaman sungai.
9

Hal ini sangat diperlukan dalam rangka memastikan bahwa hasil bangkitan
model tidak terlalu jauh dari kenyataan di lapangan.
Tabel 2. Konduktivitas Hidrolik Efektif/CH_K(2) di Saluran Utama
Kelompok Material
Dasar

Karakteristik Material
Dasar

Kecepatan kehilangan
sangat cepat

Kecepatan kehilangan
cepat
Kecepatan kehilangan
sedang

Tidak ada kerikil dan


pasir dengan ukuran
besar
Sedikit mengandung krikil
dan pasir
Campuran krikil dan
pasir dengan kandungan
liat - debu rendah
Campuran krikil dan
pasir dengan kandungan
liat - debu sedang
Campuran krikil dan
pasir dengan kandungan
liat - debu tinggi

No.

3
4

Kecepatan kehilangan
rendah

Kecepatan kehilangan
sangat rendah

Kecepatan
Kehilangan
(mm/jam)
> 127
51 -127
25 76
6 25
0,025 2,5

Tabel 3. Nilai CH_COV1 dan CH_COV2 untuk CH_EQN = Bagnold


Nilai
0

CH_COV1
Saluran yang tidak erosive

Saluran yang tidak resisten


hingga yang tererosi

CH_COV2
Ada vegetasi penutup saluran
sehingga saluran terlindungi dari
erosi
Tidak ada vegetasi penutup di
dalam saluran

Tabel 4. Nilai CH_COV1 dan CH_COV2 untuk CH_EQN lainnya


Vegetasi di
Tebing Saluran
Tidak ada vegetasi
Rumput
Pohon kecil
Pohon besar

CH_COV1
1,00
1,97
5,40
19,20

Vegetasi di
Saluran
Tidak ada vegetasi
Rumput
Pohon kecil
Pohon besar

CH_COV2
1,00
1,97
5,40
19,20

Informasi lainnya yang perlu disiapkan yaitu metode apa yang akan
digunakan untuk menghitung aliran permukaan, metode penelusuran aliran
sungai, faktor kompensasi evaporasi tanah, faktor kompensasi pengambilan
air tanah oleh tanaman, dan waktu tenggang terjadinya aliran permukaan
(SURLAG).

10

2.3. Iklim
Data iklim yang menjadi input dalam model SWAT adalah data harian
yang terdiri dari curah hujan (mm), temperatur udara maksimum dan
minimum (oC), radiasi sinar matahari (MJ/m2/hari), kelembaban udara (%)
dan kecepatan angin (m/dtk), kesemuanya dalam periode harian. Data
harian yang harus ada adalah curah hujan dan temperatur maksimum dan
minimum harian. Hal ini dikarenakan ketiga nilai tersebut sangat
berpengaruh pada debit yang dihasilkan model, tetapi bukan berarti
mengesampingkan pentingnya parameter iklim yang lain.
Apabila data telah terkumpul, tahap selanjutnya adalah menyusun
data-data tersebut ke dalam format yang diminta model SWAT, baik itu
dalam format teks ataupun database file, tergantung pada versi interface
GIS yang digunakan. Selain itu, data-data tersebut akan digunakan untuk
membangun pembangkit iklim (weather generator) (Tabel 5) yang berfungsi
untuk mengisi data-data yang hilang. Data pembangkit iklim diinput ke
dalam model melalui menu Edit SWAT Input. Informasi lain yang
dibutuhkan adalah daftar stasiun iklim yang di dalamnya terdiri dari nama
stasiun, titik koordinat dan elevasi setiap stasiun yang ada di lokasi kajian.
Contoh format data untuk data curah hujan dan temperatur disajikan pada
Gambar 1 dan Gambar 2.
Tabel 5. Data pada Pembangkit Iklim
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Data
TMPMX
TMPMN
TMPSTDMX
TMPSTDMN
PCPMM
PCPSTD
PCPSKW
PR_W1
PR_W2
PCPD
RAINHHMAX

12
13
14

SOLARAV
DEWPT
WNDAV

Definisi
Rata-Rata temperatur udara maksimum harian setiap bulan (C)
Rata-Rata temperatur udara minimum harian setiap bulan (C)
Standar deviasi temperatur udara maksimum harian setiap bulan
Standar deviasi temperatur udara maksimum harian setiap bulan
PCPMM: Rata rata curah hujan bulanan (mm)
Standar deviasi curah hujan harian setiap bulannya
PCPSKW: koefisien skewness curah hujan harian setiap bulan
Probabilitas hari basah yang mengikuti hari kering setiap bulannya
Probabilitas hari basah yang mengikui hari basah setiap bulannya
Rata-rata jumlah hari hujan setiap bulan
Curah hujan maksimum 30 menit pada periode awal pencatatan
setiap bulannya
Rata-rata radiasi matahari harian setiap bulannya (MJ/m2/day)
Rata-rata temperatur pada titik embun setiap bulannya (C)
Rata-rata kecepatan angin harian setiap bulannya (m/s)

11

(a)
(b)
Gambar 1. Data Curah Hujan (a) dan Daftar Stasiun Curah Hujan (b)

(a)
(b)
Gambar 2. Data Temperatur (a) dan Daftar Stasiun Temperatur (b)
Penyiapan data iklim juga dapat disesuaikan dengan metode prediksi
evapotranspirasi potensial yang akan dipilih pada saat simulasi
dijalankan (Tabel 6). Model SWAT menyediakan tiga model prediksi
evapotranspirasi potensial yaitu metode Penman Monteith, metode
Priestley-Taylor dan Metode Hargreaves.
Tabel 6. Data Iklim yang dibutuhkan berdasarkan metode Evapotranspirasi
No.
1.
2.
3.

Metode
Penman
Monteith
Priestley-Tay
Metode
Hargreaves

Temperatur
Maksimum

Temperatur
Minimum

12

Data
Kelembaban
Relatif

Radiasi
Matahari

Kecepatan
Angin

2.4. Tanah
Informasi tanah yang dibutuhkan model dibagi menjadi informasi
umum untuk setiap jenis tanah dan data untuk setiap lapisan tanah pada
masing-masing jenis tanah. Seluruh jenis data tersebut beserta metode
yang digunakan untuk memperoleh data disajikan secara ringkas pada Tabel
7.
Informasi umum dan data per lapisan tanah disiapkan pada
format Microsoft Database Access atau pengguna dapat langsung
menginput nilai-nilai tersebut ke dalam ArcSWAT. Selain itu, perlu
juga disiapkan peta spasialnya dimana atributnya hanya terdiri dari
identitas (Value) dan nama tanah (Name) saja. Setiap ID dan nama
tanah akan terhubung secara otomatis dengan database acces pada
saat pengguna menjalankan model SWAT.
Tabel 7. Data Input Tanah
No.
Data
Informasi Umum setiap Jenis Tanah
1.
Nama tanah
2.
Jumlah lapisan
3.
Kelompok hidrologi tanah
4.
5.

Sumber Data
Peta Tanah
Pengamatan profil tanah
Ditentukan berdasarkan informasi tekstur
atau laju infiltrasi minimum
Pengamatan profil tanah

Kedalaman perakaran maksimum


pada profil tanah (mm),
Kelas tekstur tanah

Pengkelasan berdasarkan kandungan


pasir, debu, dan liat

Data per Lapisan Tanah


6.
Ketebalan lapisan/horizon tanah
(mm)
7.
Bobot isi (g/cm3)
8.
Kadar air tersedia (mm H2O/mm
tanah)
9.
Kandungan bahan organik tanah
(%)
10.
Konduktivitas hidrolik jenuh
(mm/jam)
11.
Kandungan pasir, debu, liat (%)
12.
Kandungan bahan kasar (%),
13.
Nilai albedo tanah
14.
Nilai erodibilitas tanah

Pengamatan profil tanah


Hasil analisis laboratorium
Hasil analisis laboratorium
Hasil analisis laboratorium
Pengukuran di lapangan
Hasil analisis laboratorium
Pengamatan di lapangan
Hasil perhitungan dengan rumus
Hasil perhitungan dengan rumus

Data-data pada Tabel 7 diperoleh dengan cara membuat satu profil


pewakil pada setiap satuan tanah terpilih untuk diamati sifat morfologinya
dan dilakukan pengambilan contoh tanah utuh dan contoh tanah terganggu.
Pengamatan yang dilakukan pada penampang profil tanah adalah jumlah
lapisan, kedalaman perakaran maksimum pada profil tanah, ketebalan
13

lapisan/horizon tanah, kandungan bahan kasar dan struktur tanah. Contoh


tanah utuh dan tanah terganggu diambil dari setiap lapisan/horison tanah.
Contoh tanah utuh diambil menggunakan ring sampler sedangkan contoh
tanah terganggu menggunakan plastik sampler yang kemudian dibawa ke
laboratorium untuk dianalisis. Hasil analisis contoh tanah utuh terdiri dari
bobot isi, kadar air tersedia, dan permeabilitas. Contoh tanah terganggu
digunakan untuk analisis tekstur, dan C-organik tanah.
Kandungan bahan organik tanah diperoleh dengan cara mengalikan Corganik yang diperoleh dari hasil analisis laboratorium dengan angka 1,724.
Nilai albedo tanah merupakan fungsi dari bahan organik dan dihitung dengan
persamaan:




dimana SALB adalah nilai albedo tanah dan ORGMAT adalah persentase
bahan organik. Konduktivitas hidrolik jenuh diukur di lapangan pada setiap
satuan tanah terpilih. Apabila tidak memungkinkan untuk dilakukan
pengukuran nilai tersebut, maka nilai tersebut dapat didekati dengan data
permeabilitas. Erodibilitas tanah merupakan fungsi dari struktur, bahan
organik, dan permeabilitas. Adapun persamaannya yaitu:
 
dimana K adalah erodibilitas tanah, M adalah parameter ukuran partikel
(%pasir sangat halus x (100 - %liat)), a adalah bahan organik (%), b adalah
kode struktur tanah (Tabel 8) dan c adalah kelas permeabilitas tanah
(cm/jam) (Tabel 9). Kelompok hidrologi tanah ditentukan berdasarkan
informasi tekstur tanah (Tabel 10) ataupun laju infiltrasi minimum (Tabel
11).
Tabel 8. Kode Struktur Tanah
Deskripsi Struktur
Granular sangat halus
Granular halus
Granular sedang atau kasar
Bersudut, datar, berbentuk prisma, atau masiv

Kode Struktur
1
2
3
4

Tabel 9. Kelas Permeabilitas Tanah


Nilai Permeabilitas
(mm/jam)
150
50 150
15 50
5 15
15
1

Deskripsi
Cepat
Sedang sampai cepat
Sedang
Lambat sampai sedang
Lambat
Sangat lambat

14

Kode Struktur
1
2
3
4
5
6

Tabel 10. Kelompok Hidrologi Tanah berdasarkan Kelas Tekstur Tanah


Kelompok
Hidrologi Tanah

Keterangan

Potensi aliran permukaan paling kecil: pasir dalam,


loess dalam, debu yang beragregat

Potensi aliran permukaan kecil: loess dangkal,


lempung berpasir,

Potensi aliran permukaan sedang: lempung berliat,


lempung berpasir dangkal, tanah berkadar bahan
organik rendah, dan tanah-tanah berkadar liat tinggi

Potensi aliran permukaan tinggi: tanah-tanah yang


mengembang secara nyata jika basah, liat berat,
plastis, dan tanah-tanah salin tertentu.

Tabel 11. Kelompok Hidrologi Tanah berdasarkan Laju Infiltrasi Minimum


Kelompok Hidrologi Tanah
(HSG)

Laju infiltrasi minimum


(mm/jam)

A
B
C
D

8 12
48
14
01

2.5. Tutupan dan Pengelolaan Lahan


Database SWAT untuk tutupan lahan sebenarnya menghendaki
informasi yang detil untuk setiap tutupan lahan yang ada di daerah studi,
mulai dari indeks luas daun, suhu optimum untuk pertumbuhan tanaman,
indeks panen, faktor C minimum untuk tutupan lahan/tanaman, bilangan
kurva hingga berapa banyak residu yang tersisa di permukaan lahan dan
beberapa parameter lainnya (dapat dilihat pada SWAT Input/Ouput
Documentation). Meski demikian, pengguna tidak perlu khawatir akan hal
tersebut, karena pengguna dapat mengganti beberapa parameter yang
penting terkait dengan tutupan dan pengelolaan lahan sehingga pengguna
tetap dapat menjalankan model. Hal itu akan memberikan hasil yang baik
apabila pengguna dapat memadankan secara tepat setiap jenis tutupan
lahan di daerah studi dengan tutupan lahan yang ada di dalam database
SWAT. Catatan penting yang perlu diingat yaitu ketika padanan tutupan
lahan sudah ditentukan maka semua nilai parameter default model
diasumsikan mendekati keadaan sebenarnya. Tentu akan lebih baik apabila

15

semua nilai default tersebut dapat digantikan dengan nilai yang diukur di
lapangan.
Beberapa parameter penting yang perlu diidentifikasi sesuai dengan
kondisi daerah studi yaitu nilai bilangan kurva/curve number (CN2),
koefisien kekasaran Manning untuk aliran permukaan/overland flow (OV_N),
faktor kompensasi evaporasi tanah (ESCO), faktor kompensasi pengambilan
air tanah oleh tanaman (EPCO), dan faktor tindakan konservasi tanah dan
air. Penentuan bilangan kurva dilakukan setelah pengguna menentukan
padanan nama untuk setiap tutupan lahan, kelompok hidrologi tanah dan
kandungan kelembaban tanah awal (Antecedent Moisture Condition/AMC).
Kandungan kelembaban tanah awal disajikan pada Tabel 12 dan
membutuhkan data hujan harian untuk menentukannya.
Langkah selanjutnya yaitu menentukan bilangan kurva untuk masingmasing jenis tutupan lahan yang ada di daerah studi berdasarkan Tabel 13.
Contoh penentuan yaitu: jenis tutupan lahan hutan dalam keadaan baik
dengan kelompok hidrologi tanah C dan AMC II maka bilangan kurvanya
adalah 70.
Tabel 12. Kandungan Kelembaban Tanah Awal (AMC)

Kondisi

Deskripsi Umum

Tanah dalam keadaan kering tapi


tidak sampai pada titik layu, telah
pernah ditanami dengan hasil
memuaskan

II

Keadaan rata-rata

III

Hujan lebat atau hujan ringan dan


temperatur rendah telah terjadi
dalam 5 hari terakhir, tanah jenuh

Total Jumlah Curah Hujan


5 Hari Sebelumnya (mm)
Musim
Dorman

Musim
Tumbuh

< 13

< 35

13 28

35 53

> 28

> 53

Koefisien kekasaran Manning untuk aliran permukaan (OV_N)


ditentukan berdasarkan karakteristik permukaan lahan (Tabel 14). Faktor
kompensasi evaporasi tanah (ESCO) dan faktor kompensasi pengambilan air
tanah oleh tanaman (EPCO) ditentukan oleh penggunan berdasarkan
kemungkinan pengambilan air dari lapisan tanah yang paling dalam yang
akan memberikan kontribusi terhadap proses evaporasi dan transpirasi. Nilai
ESCO dan EPCO berada pada kisaran 0,01 1,00, semakin rendah nilai
ESCO maka model semakin mungkin untuk mengambil air dari lapisan tanah
16

yang paling bawah untuk memenuhi kebutuhan evaporasi. Apabila nilai


EPCO mendekati 1 maka model memungkinkan tanaman untuk mengekstrak
air dari lapisan tanah yang paling bawah.
Tabel 13. Bilangan Kurva Aliran Permukaan untuk Berbagai Komplek Tanah
Penutup Tanah (AMC II dan Ia = 0,2 S)
a. Bilangan kurva aliran permukaan untuk lahan pertanian budidaya
Penggunaan
Lahan
Lahan bera

Tanaman
dalam baris

Tidak ada penutup


tanah
Adanya residu tanaman
di permukaan*
Baris lurus
Baris lurus dengan
residu
Kontur
Kontur dengan residu
Kontur dan teras

Padipadian/bijibijian kecil

Kontur dan teras


dengan residu
Baris lurus
Baris lurus dengan
residu
Kontur
Kontur dengan residu
Kontur dan teras

Leguminosa
ditanam rapat
atau pergiliran
tanaman

Kelompok Hidrologi
Tanah
A
B
C
D
77
86
91
94

Buruk

76

85

90

93

Baik
Buruk
Baik
Buruk
Baik
Buruk
Baik
Buruk
Baik
Buruk
Baik
Buruk
Baik
Buruk
Baik
Buruk
Baik
Buruk
Baik
Buruk
Baik
Buruk
Baik
Buruk
Baik
Buruk
Baik
Buruk
Baik
Buruk
Baik

74
72
67
71
64
70
65
69
64
66
62
65
61
65
63
64
60
63
61
62
60
61
59
60
58
66
58
64
55
63
51

83
81
78
80
75
79
75
78
74
74
71
73
70
76
75
75
72
74
73
73
72
72
70
71
69
77
72
75
69
73
67

88
88
85
87
82
84
82
83
81
80
78
79
77
84
83
83
80
82
81
81
80
79
78
78
77
85
81
83
78
80
76

90
91
89
90
86
88
86
87
85
82
81
81
80
88
87
86
84
85
84
84
83
82
81
81
80
89
85
85
83
83
80

Perlakuan atau
Praktek Pengelolaan

Kontur dan teras


dengan residu
Baris lurus
Kontur
Kontur dan teras

Kondisi
Hidrologi

*penutupan oleh residu hanya diaplikasikan apabila jumlah residu minimal 5% pada
permukaan tanah, sepanjang tahun.

17

b. Bilangan kurva aliran permukaan untuk lahan pertanian lainnya


Tutupan Lahan
Tipe Tutupan
Kondisi Hidrologi
Buruk
Padang rumput penggembalaan1
Sedang
Baik
Padang rumput yang dipotong
Brush-brush-weed-grass mixture
Buruk
with brush the major element2
Sedang
Baik
Hutan kombinasi dengan
Buruk
rumput (anggrek atau pohonSedang
pohonan)
Baik
Hutan3
Buruk
Sedang
Baik
Perumahan petani atau daerah
pedesaan
1

Kelompok Hidrologi Tanah


A
B
C
D
68
79
86
89
49
69
79
84
39
61
74
80
30
58
71
78
48
67
77
83
35
56
70
77
30
48
65
73
57
73
82
86
43
65
76
82
32
58
72
79
45
66
77
83
36
60
73
79
30
55
70
77
59
74
82
86

Buruk: penutup tanah < 50% atau dipanen seluruhnya tanpa menyisakan
mulsa; Sedang: penutup tanah 50 75% dan tidak dipanen secara berlebih;
Baik: penutup tanah > 75%, dipanen pada saat tertentu saja
Buruk: penutup tanah < 50%; Sedang: penutup tanah 50 75%; Baik:
penutup tanah > 75%
Buruk: adanya serasah, pohon-pohon kecil, dan rumput yang rusak karena
panen berlebih atau pembakaran regular; Sedang: pohon-pohon terbakar, dan
beberapa serasah hutan menutupi tanah; Baik: pohon dilindungi dari
pemanenan dan serasah dan rumput menutupi tanah dengan baik.

Faktor tindakan konservasi tanah dan air (PUSLE) ditentukan nilainya


berdasarkan jenis konservasi yang diterapkan di lahan. Nilai-nilai tersebut
dapat dilihat pada Tabel 15 dan Tabel 16. Data-data tersebut dimasukkan ke
dalam model melalui menu SWAT Edit Input yang ada di dalam menu
SWAT. Selain itu, perlu juga disiapkan peta spasialnya dimana
informasi minimal yang harus ada di dalam atributnya yaitu identitas
(ID) dan nama setiap jenis penggunaan/penutupan lahan (SWAT_ID)
saja. Setiap ID dan nama penggunaan/penutupan lahan akan
terhubung secara otomatis dengan database acces pada saat
pengguna menjalankan model SWAT.

18

Lanjutan Tabel 13..


c. Bilangan kurva aliran permukaan untuk daerah urban#
(sumber: SCS Engineering Divison, 1986)

Kelompok Hidrologi
Tanah

Tutupan
Kondisi
Hidrologi

Tipe Tutupan Lahan


Daerah urban yang terbangun
Lahan terbuka (padang rumput yang
dipelihara, taman lapangan golf,
kuburan dan lain-lain)^
Lahan terbangun
Paved parking lots, roofs,
driveaways, dan lainnya
Paved street and roads: saluran
terbuka
Gravel streets and roads
Dirt streets and roads

68

79

86

89

Sedang
Baik

49
39

69
61

79
74

84
80

98

98

98

98

83

89

92

93

76
72

85
82

89
87

91
89

85 %
72 %

89
81

92
88

94
91

95
93

65 %
38 %
30%
25 %
20 %
12 %

77
61
57
54
51
46

85
75
72
70
68
65

90
83
81
80
79
77

92
87
86
85
84
82

77

86

91

94

Pemukiman
< 0,05 ha
0,05 0,10 ha
0,10 0,13 ha
0,13 0,20 ha
0,20 0,40 ha
0,40 0,81
Daerah Urban yang terbangun
Newly graded areas (tidak ada
vegetasi)

Buruk

Daerah Urban
Komersial dan bisnis
Industri

Rata-rata
daerah
terbangun

SWAT secara otomatis akan menjustifikasi bilangan kurva untuk daerah


terbangun ketika IURBAN dan URBLU didefinisikan dalam file .hru.
Buruk: tutupan rumput < 50%, Sedang: tutupan rumput 50 75%; Baik:
tutupan rumput > 75%>
Catatan lainnya: bilangan kurva juga dapat dilihat pada buku Konservasi
Tanah dan Air oleh Sitanala Arsyad (2010).

19

Tabel 14. Koefisien Kekasaran Mannings untuk aliran permukaan/overland

flow
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Karakteristik Permukaan Lahan


Bera, tidak ada residu
Pengolahan tradisional, tidak ada residu
Pengolahan tradisional, ada residu
Pengolahan dengan bajak sederhana, tidak
ada residu
Pengolahan dengan bajak sederhana, ada
residu
Pengolahan dengan traktor, ada residu
Tanpa olah tanah, tidak ada residu
Tanpa olah tanah, residu 0.5-1 ton/ha
Tanpa olah tanah, residu 2-9 ton/ha
Padang rumput, penutupan lahan 20%
Rumput prairie

Nilai
Tengah
0,010
0,090
0,190
0,090

Kisaran
0,008
0,060
0,160
0,060

0,012
0,120
0,220
0,120

0,130

0,100 0,160

0,400
0,070
0,120
0,300
0,600
0,150

0,300
0,040
0,070
0,170

0,100

0,500
0,100
0,174
0,470
0,200

Tabel 15. Nilai PUSLE untuk Kontur


Kemiringan
lereng (%)
12
35
68
9 12
13 16
17 20
21 25

PUSLE

Panjang Lereng
Maksimum (m)
0,60
122
0,50
91
0,50
61
0,60
37
0,70
24
0,80
18
0,90
15
Sumber: Wischmeier and Smith 1978 dalam Neitsch et al., 2011

Tabel 16. Nilai PUSLE untuk Penerapan Strip Tanaman dan Kontur
Kemiringan
Lereng
(%)
12
35
68
9 12
13 16
17 20
21 - 25

PUSLE
B

Lebar
Strip

Panjang
Lereng
Maksimum

0,30
0,25
0,25
0,30
0,35
0,40
0,45

0,45
0,38
0,38
0,45
0,52
0,60
0,68

0,60
0,50
0,50
0,60
0,70
0,80
0,90

40
30
30
24
24
18
15

244
183
122
73
49
37
30

20

BAB III. OPERASIONALISASI MODEL HIDROLOGI SWAT

3.1. Instalasi Dan Pengaturan Aplikasi Model SWAT


Kebutuhan Perangkat Lunak Dasar
1. ArcGIS versi 9.3 dan ArcSWAT versi 2009.93.7b atau ArcGIS 10.1 dan ArcSWAT
versi 2012.10_1.7/2012.10_1.14/2012.10_1.15 atau ArcGIS 10.2 dan ArcSWAT
201210.2.15 (Pilih salah satu pasangan dari ketiga versi tersebut)
2. Microsoft Office (untuk pengolahan data lanjut).
Cara menginstal ArcSWAT
1. Copy installer ArcSWAT dari media yang diberikan atau dapat mendownload di
www.swa.tamu.edu.
2. Klik dua kali untuk membuka file installer tersebut, umumnya dengan ekstensi
.exe atau .msi hingga keluar jendela ArcSWAT Setup dan klik OK lalu lanjutkan
dengan cara penginstalan seperti pada umumnya dan tunggu sampai proses
selesai.

21

Pengaturan Menu ArcWAT di ArcGIS


ArcSWAT merupakan menu extension dari ArcGIS, sehingga harus diaktifkan. Caranya:
1. Start ArcGIS
2. Pilih menu Customize dan klik menu Extensions, kemudian centang/klik ArcSWAT
3. Pilih menu Customize dan klik Toolbars
a. Spatial Analyst
b. SWAT Project Manager
c. SWAT Watershed Delineator
Perhatikan bahwa ketiga menu tersebut sudah ada pada bar menu.

3.2. Pengenalan Software Model SWAT dan Pendukungnya


SWAT atau Soil and Water Assessment Tool, merupakan model hidrologi yang
dikembangkan untuk memprediksi pengaruh pengelolaan lahan terhadap hasil air,
sedimen, muatan pestisida dan kimia hasil pertanian yang masuk ke sungai atau badan
air pada suatu DAS yang kompleks dengan tanah, penggunaan lahan dan pengelolaannya
yang bermacam-macam sepanjang waktu yang lama (Neitsch et al. 2011). Model SWAT
dikembangkan dengan menggunakan interface Sistem Informasi Geografis, dikenal
dengan ArcSWAT, sehingga dibutuhkan software ArcGIS untuk dapat menjalankan
ArcSWAT. Software pendukung lainnya yaitu SWATCheck yang berfungsi untuk
memeriksa secara umum apakah hasil running sudah relatif benar atau belum. Selain itu
dibutuhkan pula Software Microsoft Office yang nantinya digunakan untuk mengolah hasil
running dan menyajikannya dalam bentuk grafik atau tabel.
Apapun interface SWAT yang digunakan, proses running model terdiri dari 3
tahapan utama yaitu (1) tahap pertama merupakan tahap membuat batas DAS dan Sub
DAS, (2) tahap kedua merupakan tahap pembentukan HRU (Hydrology Respon Unit) dan
(3) tahap ketiga merupakan tahap SWAT Setup and Run. Pada menu ArcSWAT terdapat
menu SWAT Editor yang akan membantu pengguna dalam mengedit beberapa data input
untuk disesuaikan dengan daerah kajian. Menu tersebut juga sangat membantu
pengguna dalam merencanakan simulasi pengelolaan daerah aliran sungai.

22

3.3. Pembuatan Projek Model SWAT


Pengaturan Projek SWAT
Sebelum menjalankan aplikasi ArcSWAT, pengguna selalu diminta untuk membuat
satu folder terlebih dahulu. Folder tersebut berfungsi untuk menyimpan file hasil running
model. Folder diberi judul sesuai dengan yang diinginkan pengguna atau dapat
disamakan dengan nama DAS yang akan dikaji dan disimpan di direktori D atau E,
contohnya Ciliwung.

Kemudian lalukan langkah berikut untuk pengaturan projek:


1. Jalankan aplikasi ArcGIS lalu pilih SWAT Project Setup pada toolbar dan pilih New
SWAT Project hingga muncul jendela Project Setup.

2. Pada jendela Project Setup pilih Project Directory dan arahkan ke folder Ciliwung
yang telah dibuat sebelumnya, lalu klik OK.

23

3. Setelah selesai melakukan pengaturan untuk projek yang akan dijalankan, maka
pengguna dapat mempelajari struktur projek tersebut dengan membuka folder
Ciliwung. Struktur projek terdiri dari:
a. Ciliwung.mxd - file projek ArcSWAT yang menyimpan
sistem ArcGIS sehingga dapat dimulai ulang dengan
peta yang sama.
b. Ciliwung.mdb - file konfigurasi ArcSWAT. Terdiri dari
sub-sub file pilihan tertentu terkait dengan input model.
c. SWAT2012.mdb - database projek awal
d. RasterStore.mdb file penyimpan data atribut peta
spasial yang dihasilkan selama menjalankan program.
e. Scenarios - subfolder yang berisi data input dan ouput
hasil menjalankan model SWAT.
f. Watershed - subfolder yang berisi input peta-peta,
dan peta perantara yang akan dihasilkan selama menjalankan model SWAT.
Catatan: jika ingin menghapus projek, cukup hapus folder projek saja.
Persiapan Data Input SWAT

Persiapan data-data yang dibutuhkan model SWAT telah dijelaskan pada


BAB II. Data-data tersebut dimasukkan ke dalam model SWAT melalui menu
Edit SWAT Input yang ada pada menu ArcSWAT. Sedangkan peta spasial dapat
disiapkan dengan bantuan perangkat lunak ArcGIS.
Data curah hujan dan temperatur disiapkan dalam format teks (.txt) dan
harus memiliki daftar stasiunnya. Contohnya yaitu:
1. Data curah hujan dan daftar stasiun curah hujan

2. Data temperatur maksimum dan minimum dan daftar stasiun temperatur

24

3.4. Deliniasi Batas Daerah Aliran Sungai (DAS)


Proses running membutuhkan folder yang telah dibuat sebelumnya sebagai
tempat penyimpanan hasil. Apabila telah ditutup, maka buka kembali file
Ciliwung.mxd. tahapan untuk deliniasi DAS yaitu:
1. Klik Watershed Deliniator sehingga akan muncul jendela Watershed
Deliniation.

2. Pangil data DEM Ciliwung, klik lambang folder pada DEM Setup sehingga
muncul jendela Open DEM, pilih Load from Disk lalu arahkan pada lokasi
tempat menyimpan data DEM.

3. Setelah data DEM muncul di layar, menu DEM Projection Setup akan aktif, klik
iconnya dan isi Z unit dengan meter.
4. Kemudian klik lambang folder pada pilihan Mask untuk memasukkan Mask
Ciliwung yang berfungsi untuk mendetilkan daerah DAS yang akan dikaji. Mask
yang digunakan dapat berupa Peta Batas DAS atau membuat Mask secara
manual. Pilih Load from Disk dan klik OK untuk memasukkan Peta Batas DAS
sebagai Mask, lalu klik Add.

25

NB: Jika Anda punya peta sungai yang baik untuk suatu DAS, anda dapat
menggunakan pilihan Burn-In. Tools ini juga digunakan untuk memperbaiki
keakuratan hasil deliniasi jaringan sungai.
5. Kemudian Klik flow direction and acculumation.

6. Klik Stream Network (create stream and outlets).

26

7. Langkah selanjutnya adalah menentukan titik outlet, bisa langsung memilih yang
sudah dihasilkan model ataupun membuat titik outlet baru sesuai dengan
koordinat SPAS yang ada di lapangan. Apabila ingin membuat titik outlet baru
maka pada menu edit manually, klik add point, lalu buat titik sesuai instruksi
pada jaringan sungai yang telah ditentukan. Setelah titik dibuat, maka langkah
selanjutnya adalah memilih titik outlet tersebut sebagai outlet utama DAS. Klik
menu Whole watershed outlet lalu pilih titik ooutlet yang telah dibuat
sebelumnya.

8. Kemudian klik Delineate watershed untuk membatasi DAS yang telah dipilih
outletnya, sehingga terbentuklah batas DAS.

9. Klik Calculate subbasin parameters untuk mendapatkan data karakteristik


DAS dari DEM yang digunakan dan klik OK apabila proses telah selesai kemudian
klik Exit.

27

NB: Tampilan sebelah kanan menunjukkan DAS yang telah dibuat batasnya. Peta
tersebut menunjukkan jaringan sungai dan outlet sungai. Perhatikan bahwa
DAS telah dibagi menjadi beberapa SubDAS.

3.5. Pembentukan HRU (Hydrologic Response Unit)


SWAT menggunakan pembagian Sub DAS sebagai dasar pembagian untuk unit
respon hidrologi (HRU). Masing-masing HRU merupakan kombinasi dari penggunaan
lahan, tanah dan kelas lereng yang homogen.
Membuat HRU
1. Pada jendela ArcSWAT, klik HRU Analysis. Kemudian pilih Land Use/Soils/Slope
Definition sehingga akan muncul jendela Land Use/Soils/Slope Definition. Pada
jendela tersebut, kita akan mendefinisikan penggunaan lahan, tanah dan lereng.

2. Pada jendela Land Use/Soils/Slope Definition, pilih data Penggunaan lahan


(Landuse Data), dengan mengklik lambang folder di bawah landuse grid dan akan
keluar jendela Select Landuse data, pilih load landuse dataset(s) from disk,
kemudian pilih peta penggunaan lahan yang akan digunakan kemudian akan keluar
jendela info, dan klik Ok. Kemudian pilih menu Choose grid field, untuk menentukan
informasi mana yang akan digunakan dalam pendefinisian data land use, pilih value.
Kemudian akan muncul kolom tambahan (LandUseSWAT) tempat pengguna
mendefinisikan setiap land use sesuai dengan value-nya, misalnya value 2 adalah
FRST. Caranya yaitu mengklik dua kali salah satu baris pada kolom yang kosong

28

kemudian akan muncul jendela SWAT Land Use, lalu pilih crop (merupakan
database land use), klik OK dan pilih FRST. Jika semua data land use telah
didefinisikan maka klik reclassify. Cara lainnya untuk mendefinisikan setiap kelas
penggunaan lahan yaitu menggunakan table LookUp Table yang harus disiapkan
sebelum menjalankan model.

3. Kemudian lanjutkan dengan Soil Data dan load soil dataset(s) from disk, arahkan
ke folder tempat menyimpan data dan pilih peta tanah yang akan digunakan, sehingga
akan keluar jendela info, kemudian klik Ok. Kemudian pilih menu Choose grid field,
untuk menentukan informasi mana yang akan digunakan dalam pendefinisian data
tanah, pilih value. Kemudian akan muncul kolom tambahan (Name) tempat pengguna
mendefinisikan setiap tanah sesuai dengan value-nya. Caranya yaitu mengklik dua kali
salah satu baris pada kolom yang kosong kemudian akan muncul jendela Soil
Database Options dan pilih User Soil, kemudian pilih jenis tanahnya. Jika semua

29

data tanah telah didefinisikan maka klik reclassify. Dapat juga menggunakan menu
LookUp Table untuk mendefinisikan setiap jenis tanah.

Catatan: jika pada tahap ini Anda menyadari bahwa anda telah melupakan
menambahkan data penggunaan lahan dan tanah pada database projek, tutup kembali
jendela HRU Analysis, tambahkan dulu kedua data tersebut ke database projek dan
mulai kembali pendefinisian HRU melalui jendela awal ArcSWAT.
4. Kemudian tentukan data lereng dan pada menu Slope discretization pilih multiple
slope, dan pilih 5 kelas pada number of slope classes. Dan kemudian tentukan
batas kelas slopenya dengan menggunakan: 0-8%, 8-15%, 15-25%, 25-40% dan
>40%, klik add setelah mengetik masing-masing kelas lereng tersebut dan kemudian
klik reclassify.

30

5. Setelah langkah ini selesai kemudian klik overlay pada tampilan jendela.

6. Lalu klik menu HRU definition pada menu HRU Analysis sehingga muncul jendela
HRU Definition. Klik pilihan Multiple HRUs dan threshold percentage.
Kemudian tentukan nilai persentasenya, pada projek ini digunakan 10% untuk
landuse, 10% untuk tanah, dan 5% untuk slope. Dan kemudian klik Create HRUs.

31

7. Kemudian pilih kembali menu HRU analysis dan pilih HRU analysis report,
sehingga muncul jendela HRU Analysis Report.

Mempelajari Muatan FullHRUs


Apabila pengguna menampilkan laporan dari menu HRU Analysis Report, maka
pengguna dapat mengetahui berapa jumlah HRUs yang terbentuk pada DAS yang sedang
dikaji dan terdiri dari kombinasi apa saja setiap HRUs tersebut. Laporan ini dapat
membantu pengguna dalam melakukan analisis lebih lanjut. Laporan tersebut
menunjukkan luas dan distribusi persentase masing-masing penggunaan lahan, tanah,
dan kelas kemiringan lereng untuk keseluruhan DAS, masing-masing SubDAS dan HRUs.

32

3.6. Pengaturan Input dan Menjalankan Model SWAT


Cara Mendefinisikan Data Iklim dalam SWAT
ArcSWAT meminta pengguna untuk menyediakan data hujan, suhu udara, radiasi
matahari, kelembaban relatif dan kecepatan angin. Jika data harian untuk radiasi
matahari, kelembaban relatif dan kecepatan angin tidak ada, maka model akan
membangkitkan data-data tersebut berdasarkan pada Weather Generator yang telah
dibangun oleh pengguna.
Terdapat dua cara untuk penyediaan data iklim tersebut:
1. Menggunakan data iklim global yang tersedia di website. Data tersebut telah disiapkan
sesuai dengan format yang dibutuhkan ArcSWAT dan akan menjadi input untuk
ArcSWAT secara otomatis. Ada beberapa stasiun terdekat dengan DAS yang dapat
diperoleh dari data global, pilih stasiun yang paling dekat dengan masing-masing
subDAS dan buat file hujan dan suhu udara yang dibutuhkan.
2. Menggunakan file teks dengan struktur yang sama untuk daftar stasiun hujan, suhu
udara, kelembaban relatif, radiasi matahari dan kecepatan angin tetapi menggunakan
data yang disiapkan pengguna dari sumber lokal.
Cara ke 2 merupakan pilihan terbaik jika pengguna memiliki sumber lokal, karena
data stasiun global sering kali menunjukkan pola iklim yang sangat berbeda dengan DAS
yang kita kaji. Penyiapan data iklim sebagaimana telah dijelaskan pada Sub Bab 3.3.

33

Mendefinisikan Data Iklim dan Menulis File Input SWAT


Sekarang, kita akan mendefinisikan data iklim untuk projek SWAT yang kita kerjakan.
1. Pada menu Write Input Tables pilih Weather Stations sehingga muncul jendela
Weather Data Definitian. Kemudian masukan data iklim untuk masing-masing
parameter, yaitu data Weather Generation, data curah hujan, data suhu, data
kelembapan nisbi, data radiasi matahari, dan data kecepatan angin. Tampilannya
adalah sebagai berikut:

2. Setelah memasukkan data iklim, kemudian pilih menu Write SWAT Input Tables,
dan akan keluar jendela Write SWAT Database Tables dan kemudian klik Select
All pada kiri bawah jendela, dan klik create tables.

3. Setelah tampilan jendela done building selected tables keluar, klik ok.
Menjalankan SWAT
1. Pilih menu SWAT Simulation pada ArcSWAT dan pilih Run SWAT, kemudian
tentukan berapa tahun data yang akan disimulasi. Pada projek ini simulasi dilakukan
selama 7 tahun yaitu dari 1/1/2003 sampai 1/1/2010. Kemudian pilih printout
setting untuk menentukan periode simulasi apakah harian, bulanan, atau tahunan.

34

Pada projek ini dipilih daily. Jangan lupa untuk memilih spesifikasi PC yang digunakan,
apakah 32 byte atau 64 byte. Dan kemudian klik Setup SWAT Run, dan klik OK.

2. Kemudian pilih Run SWAT dan akan keluar tampilan jendela running model,
kemudian dan klik OK.

3. Sebelum menutup projek, klik save simulation.


4. Kemudian pilih menu Read SWAT Output dan klik Check Output Files to
Import dan pilih menu mana yang diinginkan (output.rch, output.sub, output.hru)
kemudian klik Import Files to Database dan klik Ok.

35

3.7. Luaran/output Model SWAT


Ouput yang sudah diimport sebelumnya merupakan luaran model dalam format
table (access database). Output tersebut terdapat masing-masing pada level sungai
(output.rch), sub DAS (output.sub) dan HRU (output.hru). selian itu, luaran model SWAT
juga disajikan dalam format teks. Tampilan output.std adalah sebagai berikut:

36

3.8. Parameter-parameter Sensitif dalam Model SWAT


Parameter-parameter sensitif untuk setiap DAS berbeda-beda tetapi pada umumnya
bisa saja terdiri dari beberapa parameter berikut ini:
1. Bilangan kurva aliran permukaan (CN2)
2. Konduktivitas hidrolik efektif (CH_K(1))
3. Konstanta aliran dasar (BF)
4. Kadar air tersedia (AWC)
5. Kekasaran saluran utama (CH_N(2))
6. Kekasaran permukaan (OV_N)
7. Surface runoff lag coefficient (surlag)
8. Waktu tunda terjadinya recharge akuifer (gw_delay)
9. LAI maksimum potesial
10. EPCO: plant uptake conpensation factor (ET/SW: tinggi)
11. ESCO: soil evaporation conpensation factor (gerakan kapiler: rendah).
Beberapa nilai parameter tersebut merupakan nilai kisaran yang dapat dilihat pada
file pdf SWAT Theory Final dan SWAT Input Output Documentation. Setelah nilai
kisarannya diketahui, maka pengguna harus menetapkan satu angka yang akan
digunakan sebagai nilai masing-masing parameter berdasarkan kondisi DAS. Kemudian
nilai-nilai tersebut harus diinput ke dalam model sebelum dilakukan proses running
model. Cara menginput data-data tersebut ke dalam model yaitu dengan menggunakan
menu Edit SWAT Input yang ada pada menu utama ArcSWAT.

1. Klik Edit SWAT Input, lalu pilih Subbasins Data dan kemudian pilih file mana yang
akan diedit terlebih dahulu, misalnya nilai bilangan kurva, maka pilih file
management, identifikasi subbasin, Land Use, Soils dan Slope yang akan diedit
nilai bilangan kurvanya lalu klik OK sehingga jendela Edit Management Parameters
muncul. Kemudian edit nilai bilangan kurva pada kolom CN2.

37

2. Kemudian edit nilai parameter lainnya dengan cara yang sama tetapi tentukan terlebih
dahulu file pada SWAT Input Table sesuai parameter yang diinginkan.
3. Apabila semua nilai parameter sudah selesai diedit, maka running kembali model pada
menu SWAT Run dan lihat hasilnya.

3.9. Prosedur Kalibrasi dan Validasi


Kalibrasi
Proses kalibrasi suatu model, apapun model yang digunakan, sangat penting
dilakukan. Hal ini terkait dengan ketepatan model tersebut dalam memberikan gambaran
terhadap proses yang sebenarnya terjadi di lapangan. Apabila hasil model telah
memberikan gambaran yang baik terhadap hasil observasi maka hasil model tersebut
dapat digunakan untuk analisis selanjutnya dan untuk simulasi skenario yang diperlukan.
Model telah cukup baik apabila debit hasil model memiliki kemiripan dengan debit hasil
model. Kalibrasi pada umumnya dilakukan terhadap input model baik parameter, struktur
maupun variabel. Adapun langkah-langkah yang perlu dilakukan yaitu:
1. Menyandingkan data debit hasil model dengan data hasil observasi untuk melihat pola
kemiripaannya.

38

Debit (m3/detik)

45.00

100

40.00

200

35.00
30.00

300

25.00

400

20.00

500

15.00

Hujan (mm)

50.00

600

10.00

700

5.00
0.00

800
1

CH

Q simulasi

10

11

12

Q observasi

2. Hitung nilai keakuratan model memprediksi debit dengan fungsi objektif. Salah satu
fungsi objektif yang dapat digunakan adalah metode Nash-Sutcliffe (Ahl et al. 2008).
Adapun persamaannya yaitu sebagai berikut:
2

y
y


NS = 1 2

yy

dimana y adalah debit aktual yang terukur (mm), adalah debit hasil simulasi (mm),
dan adalah rata-rata debit terukur. Efisiensi model Nash-Sutcliffe dikelompokkan
menjadi 3 kelas yaitu baik jika NS 0.75, memuaskan jika 0.75 > NS > 0.36, dan
kurang memuaskan jika NS < 0.36.
3. Apabila belum terdapat kemiripan maka proses kalibrasi dilakukan berdasarkan pola
debit yang dihasilkan model.
4. Melalui pola tersebut dapat dijustifikasi parameter apa saja yang sangat
mempengaruhi hasil model.
5. Kemudian proses kalibrasi dimulai dengan memilih menu SWAT Simulation
Manual Calibration Helper, kemudian akan muncul jendela Manual Calibration.

6. Pada jendela Manual Calibration dapat dipilih parameter yang akan digunakan
selama proses kalibrasi, mulai dari Alpha_BF sampai Sol_No3. Hal yang perlu diingat
oleh pengguna adalah tidak semua parameter tersebut harus dimasukkan dalam
proses kalibrasi. Pemilihan parameter sangat tergantung pada pola debit yang
dihasilkan.

39

7. Jika pengguna telah menentukan suatu parameter, misalnya Cn2, maka pilih Cn2 pada
Select Parameter lalu pilih metode yang akan digunakan pada Mathematical Op,
apakah multiply by, replace by atau add. Parameter yang dipilih tersebut dapat
diterapkan pada seluruh subbasin ataupun subbasin tertentu, jenis Land Use, Soils
ataupun Slope tertentu pula tergantung pada hasil analisis pengguna. Lalu klik
Update Parameter.

8. Setelah itu, pilih menu Edit SWAT Input Rewrite SWAT Input Files. Tahapan ini
penting diingat oleh pengguna karena setiap kali pengguna merubah nilai input untuk
parameter tertentu, maka setiap itu pula pengguna harus memilih menu Rewrite
SWAT Input Files. Jika hal ini terlewat, maka model tetap membaca input awal yang
telah dilakukan pengguna.

40

9. Kemudian pilih kembali menu SWAT Simulation untuk menjalankan kembali model
yaitu dengan memilih menu Run SWAT. Kemudian ulangi langkah yang sama seperti
yang telah dijelaskan pada Sub Bab 3.3.

10. Setelah proses running tersebut, maka tampilkan kembali data debit observasi vs
debit model hasil kalibrasi, dan hitung kembali nilai NS. Apabila nilai NS telah masuk
kategori sedang, pengguna bisa saja menganggap proses kalibrasi selesai, atau jika
ingin Nilai NS menjadi baik, maka pengguna melanjutkan kalibrasi dengan cara yang
sama tetapi dengan mempertimbangkan parameter yang sensitive lainnya.
Validasi Model SWAT
Validasi model merupakan proses untuk menguji parameter yang telah dikalibrasi
dengan suatu set data tanpa perubahan terhadap parameter-paramter tersebut. Pada
tahap ini, pengguna perlu menentukan data tahun berapa yang akan digunakan untuk
memvalidasi model. Misalnya terpilih tahun 2012, maka semua parameter input yang
digunakan harus data tahun 2012 dan semua parameter yang telah dikalibrasi pada tahap
sebelumnya. Setelah penentuan input, maka pengguna menjalankan model seperti yang
telah dijelaskan pada Sub Bab 3.4, 3.5 dan 3.6. Kemudian, hasil model dinilai dengan
fungsi objektif seperti yang telah dijelaskan pada materi Sub Bab 3.7.

3.10. Identifikasi HRU yang Bermasalah


Identifikasi HRU/Subbasin yang bermasalah ditujukan untuk mengetahui HRU/
Subbasin mana saja yang berpotensi memberikan kontribusi terhadap kerusakan DAS.
Dengan demikian rencana pengelolaan dapat diterapkan secara spesifik pada daerah
tersebut sehingga hasilnya dapat diketahui secara cepat. Apabila hasil yang diberikan
belum sesuai dengan harapan, maka pengguna dapat mensimulasikan rencana
pengelolaan lainnya sampai diperoleh hasil yang baik. Hal yang perlu diketahui yaitu
perencanaan pengelolaan yang akan disimulasikan sebaiknya disusun sesuai dengan
keadaan daerah tersebut sehingga dapat diaplikasikan dengan baik di lapangan, bukan
hanya perencanaan di atas meja.
Untuk menentukan Subbasin mana yang memberikan kontribusi besar terhadap
kerusakan DAS, dapat dilakukan dengan menghitung beberapa parameter hasil model lalu

41

membandingkannya dengan Peraturan Menteri Kehutanan nomor P. 61/Menhut-II/2013


tentang Monitoring dan Evaluasi Pengelolaan DAS. Parameter yang akan dinilai yaitu nilai
C (koefisien runoff) dan KRS (Koefisien Rejim Sungai).
Adapun langkah-langkah yang harus dilakukan yaitu:
1. Membuka file output model dengan cara membuka folder tempat Anda menyimpan file
projek. Pada folder tersebut Anda akan melihat ada 4 sub folder yaitu Scen, TablesIn,
TablesOut dan TxtInOut sebagaimana ditunjukkan pada gambar di bawah ini.
Kemudian Anda dapat melihat hasil menjalankan model pada folder TablesOut ataupun
TxtInOut. Pada TablesOut, hasil running model disajikan dengan format Microsoft
Access sehingga memudahkan pengguna dalam proses analisis hasil. Sedangkan pada
folder TxtInout, hasil disajikan dalam format teks.

2. Jika Anda memilih hasil dalam format Access, maka klik SWATOutput lalu pilih sub
untuk melihat nilai curah hujan dan aliran permukaan yang akan digunakan untuk
menghitung nilai C.

42

3. Kemudian copy kolom sub, PRECIPmm dan SURQmm ke excel untuk proses
pengolahan data. Nilai C dihitung dengan membandingkan nilai aliran permukaan
terhadap besarnya curah hujan untuk masing-masing subbasin. Lalu berdasarkan
Peraturan Menteri Kehutanan nomor P. 61/Menhut-II/2013 tentang Monitoring dan
Evaluasi Pengelolaan DAS tentukan subbasin mana yang memiliki status baik, sedang
atau jelek. Berdasarkan hasil analisis data contoh diketahui bahwa seluruh subbasin di
Sub DAS Ciliwung Hulu termasuk dalam kategori sedang berdasarkan nilai C. Dari 15
subbasin, subbasin 3, 4, 5, 7, 8, 9 memiliki nilai C yang mendekati kategori jelek yaitu
berkisar antara 41-49%. Oleh karena itu, keenam subbasin tersebut diasumsikan
memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap kerusakan DAS. Visualisasi status
DAS tersebut disajikan pada gambar dibawah ini.

4. Kemudian hitung nilai KRS setiap subbasin dengan membandingkan nilai debit
maksimum dengan debit minimumnya. Buka file rch pada SWATOutput.mdb. Lalu
copy kolom subbasin dan FLOW_OUTcms ke file excel untuk memudahkan analisis.
Cari nilai debit maksimum dan minimum untuk setiap subbasin. Berdasarkan hasil
analisi terhadap data contoh, ternyata subbasin 3, 4, 5, 7, 8, 9 memiliki nilai KRS yang
sedang sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan nomor P. 61/Menhut-II/2013
tentang Monitoring dan Evaluasi Pengelolaan DAS. Hal ini sejalan dengan hasil analisis
nilai C untuk setiap sub basin.

43

5. Setelah identifikasi subbasin/sub DAS yang memberikan kontribusi besar terhadap


kerusakan DAS, maka tahap selanjutnya adalah menentukan rencana pengelolaan apa
yang akan diterapkan sehingga dapat memperbaiki kondisi DAS. Simulasi rencana
pengelolaan dapat dilakukan seperti langkah-langkah yang telah dijelaskan pada Sub
Bab 3.11.
6. Simulasi perencanaan juga dapat dilakukan melalui simulasi nilai CN setiap
penggunaan lahan. Sebelum simulasi, harus diketahui nilai CN awal dari setiap
penggunaan lahan. Hal ini dapat diketahui dengan cara masuk ke menu Edit SWAT
Input, pilih Subbains Data sehingga muncul jendela Edit Subbasins Inputs dan
pilih tabel Management(.Mgt) lalu pilih subbasin, Land Use, Soils, dan Slope
dan klik OK.

7. Kemudian akan muncul jendela Edit Management Parameters. Pada jendela ini
diketahui bahwa nilai CN untuk AGRR adalah sebesar 85. Nilai CN untuk jenis Land Use
lainnya dapat diketahui dengan melakukan langkah yang sama pada poin 6 di atas.
Setelah nilai CN untuk masing-masing land use diketahui, maka sajikan dalam file excel
sehingga memudahkan dalam mensimulasi nilai CN.

44

No

LU

Soils

Slope

CN

AGRR

SOIIL1

0-8

85

AGRR

SOIIL8

0-8

78

AGRL

SOIIL1

8-15

83

AGRL

SOIIL9

8-15

67

Berdasarkan tabel tersebut diketahui bahwa nilai CN bervariasi berdasarkan jenis tanah
dan penggunaan lahan. Hal ini yang penting diingat oleh peserta pada tahap simulasi
nilai CN karena Nilai CN merupakan nilai yang ditentukan berdasarkan informasi jenis
penggunaan lahan dan kelompok hidrologi tanah.
8. Setelah dilakukan analisis berdasarkan kondisi HRU/Subbasin tersebut, misalnya
diasumsikan bahwa CN terbaik untuk jenis LU AGRR pada SOIIL 1 adalah 80 maka
masukkan nilai tersebut dengan cara Edit Values pada jendela Edit Management
Parameters. Lalu ketik angka 80 pada kolom CN. Hal yang penting diingat juga
bahwa nilai CN yang baru hanya dapat diaplikasikan pada HRU tertentu saja, dalam hal
ini yaitu pada HRU dengan kombinasi Land Use AGRR dan SOIIL 1 saja. Nilai tersebut
dapat saja diaplikasikan pada seluruh subbasin atau subbasin tertentu berdasarkan
hasil analisis yang dilakukan pada saat menentukan nilai CN. Masukkan juga nilai CN
untuk jenis Land Use lainnya. Lalu klik Save Edits.

45

9. Apabila nilai CN baru telah semuanya diinput maka jangan lupa untuk menulis ulang
input tersebut dengan memilih menu Rewrite SWAT Input Files pada menu Edit
SWAT Input.
10. Tahap selanjutnya adalah menjalankan kembali model (Run SWAT) dengan langkah
seperti yang dijelaskan pada Sub Bab 3.6. Terkadang, sebelum menjalankan menu
Run SWAT, model menghendaki pendefinisian ulang terhadap data iklim (Sub Bab
3.6.).
11. Setelah running model selesai, maka analisis kembali data debit dan aliran permukaan
yang dihasilkan model. Langkah ini sama seperti langkah 1 4 yang telah dijelaskan di
atas.
12. Kemudian evaluasi hasil simulasi tersebut sehingga dapat diketahui apakah simulasi CN
yang telah dilakukan dapat memperbaiki kondisi DAS. Evaluasi dilakukan berdasar
Peraturan Menteri Kehutanan nomor P. 61/Menhut-II/2013 tentang Monitoring dan
Evaluasi Pengelolaan DAS untuk parameter C dan KRS, sama seperti yang telah
dilakukan sebelumnya sehingga hasil tersebut dapat diperbandingkan. Sebagai
catatan, simulasi CN yang dilakukan belum tentu dapat meningkatkan status kondisi
seluruh subbasin (3, 4, 5, 7, 8, 9). Oleh karena itu, peserta dapat mencoba
memperbaiki kondisi subbasin dengan mensimulasi penerapan RTK RHL lainnya pada
subbasin tersebut.
Selain evaluasi hasil model, perlu dilakukan evaluasi terhadap apa yang terjadi di
lapangan. Tentunya parameter yang dievaluasi harus disesuaikan dengan parameter
evaluasi yang dilakukan terhadap hasil model sehingga dapat diperbandingkan. Adapun
data yang perlu dikumpulkan yaitu data curah hujan, debit dan aliran permukaan sebelum
dan sesudah penerapan teknik pengelolaan DAS. Apabila data telah terkumpul, maka
dilakukan analisa terhadap nilai C dan KRS untuk setiap subbasin atau subbasin terpilih.

46

3.11. Simulasi Model SWAT


Simulasi Penggunaan Lahan
Simulasi pengelolaan penggunaan lahan dapat dilakukan pengguna melalui
beberapa proses. Pertama, pengguna dapat membuat terlebih dahulu skenario perubahan
penggunaan lahan di luar model ArcSWAT dan kemudian memasukkan skenario tersebut
ke dalam model ArcSWAT pada saat tahap 2: HRU Analysis. Kedua, pengguna dapat
menggunakan menu yang telah disediakan oleh ArcSWAT yaitu Land Use Refinement
pada Menu HRU Definition. Contoh berikut ini merupakan simulasi perubahan lahan
melalui menu HRU Definition.
1. Pilih HRU Analysis dan klik HRU Definition kemudian akan muncul jendela HRU
Definition lalu pilih Land Use Refinement.

2. Pada menu ini terdapat dua skenario yang dapat dipilih yaitu Land Use Split atau Land
Use Exemption. Pada menu Land Use Split, jenis Land Use yang dipilih akan dibagi
menjadi satu atau beberapa sub Land Use yang dipilih. Sedangkan pada menu
Exemption, jenis Land Use yang dipilih akan ditiadakan. Pilih Select New Land Use
to Split lalu Add Sub-Lu kemudian klik dua kali kolom di bawah menu SubLu untuk
memilih jenis sub penggunaan lahan, contohnya CORN. Setelah itu klik Save Edits.

47

3. Kemudian akan muncul jendela yang menyatakan bahwa definisi HRU telah dilakukan.

4. Apabila pengguna telah merasa cukup melakukan simulasi penggunaan lahan hanya
dengan satu pemilihan jenis penggunaan lahan atau ingin menambahkan jenis lainnya,
lakukan hal yang sama seperti dijelaskan pada poin 2. Kemudian lanjutkan kembali ke
step 3: definisi data iklim dan menjalankan SWAT (Sub Bab 3.6).
Simulasi Reservoir
Simulasi lain yang dapat diterapkan selain perubahan pola penggunaan lahan
adalah simulasi struktur. Salah satu metoda struktur yang dapat dipilih yaitu simulasi
reservoir. Tentunya skenario yang ingin disimulasikan telah ditentukan berdasarkan
permasalahan yang ingin diselesaikan. Banyak sedikitnya reservoir dan lokasinya
ditentukan berdasarkan hasil analisis terhadap data yang telah diperoleh dari hasil
menjalankan model pada kondisi eksisting. Adapun tata cara melakukan simulasi reservoir
yaitu:
1. Reservoir ditambahkan pada tahap pertama menjalankan model SWAT: Watershed
Deliniation. Dengan demikian, projek yang telah dijalankan sebelumnya dapat
disimpan ulang dengan nama yang berbeda atau pengguna memulai kembali membuat
projek dari awal. Buat projek yang berbeda dengan judul simulasi_reservoir.
2. Ulangi kembali langkah pada Sub Bab 3.4. mulai dari poin 1 hingga 9.
3. Sebelum keluar dari tahap pertama, klik menu Add or delete reservoir sehingga
muncul jendela yang memberitahukan cara membuat reservoir.

48

4. Sebelum memberi titik disalah satu jaringan sungai yang telah dipilih sebagai lokasi
reservoir, pengguna dapat saja memperbesar lokasi tersebut untuk mempermudah
memberi titik reservoir. Kemudian klik kiri di lokasi tersebut, jika titik sudah muncul
maka klik kanan dan pilih Stop Editing. Dengan demikian maka reservoir telah
terbentuk. Hal ini dapat kita lihat apabila tampilan peta dikembalikan ke kondisi semula
sebelum diperbesar, maka akan terlihat tambahan informasi pada legenda dan di peta
terdapat titik berwarna ungu.

49

5. Kemudian pada jendela watershed delinition klik exit.


6. Lalu proses dilanjutkan dengan mendefinisikan HRU (Sub Bab 3.5.) dan
mendefinisikan iklim dan menjalankan SWAT (Sub Bab 3.6.)
7. Selanjutnya pilih menu Edit SWAT Input dan pilih Reservoirs. Hal ini dilakukan
untuk mendefinisikan reservoir yang akan disimulasikan seperti luas permukaan
reservoir, jumlah air yang dapat ditampung oleh reservoir dan beberapa informasi
lainnya.

8. Kemudian akan muncul jendela Select Reservoir, pilih subbasin tempat lokasi
reservoir dan akan keluar jendela Edit Reservoir Parameters.

50

9. Setelah mengisi semua informasi yang dibutuhkan, maka klik Save Edits dan
kemudian klik Exit.
10. Kemudian tulis ulang input yang telah kita edit tersebut dengan memilih menu Edit
SWAT Input dan Rewrite SWAT Input Files.

11. Kemudian run kembali model tersebut sebagaimana telah dijelaskan pada Sub Bab
3.6.
Simulasi Teknik Konservasi
Simulasi teknik konservasi dapat diterapkan pada tingkat HRU ataupun Subbasin. Seperti
skenario penggunaan lahan dan reservoir, simulasi teknik konservasi juga dilakukan
berdasarkan kebutuhan dan kepentingannya dalam menyelesaikan permasalahan yang
ada. Simulasi ini dilakukan dengan cara:

51

1. Pilih menu Edit SWAT Input dan klik Subbasins Data hingga muncul jendela Edit
Subbasin Inputs.

2. Pada jendela tersebut, lalu pilih Subbasin, Land Use, Soils dan Slope yang akan
diterapkan teknik konservasi dan klik OK.
3. Kemudian muncul jendela Edit HRU Parameters dan klik Edit Values untuk
memulai proses pengeditan informasi terkait teknik konservasi yang ingin dterapkan.
Misalnya saja OV_N, ESCO atau EPCO. Nilai-nilai tersebut dapat diterapkan pada
seluruh subbasin atau beberapa subbasin terpilih, begitu pula dengan jenis
penggunaan lahan, tanah dan kelas lereng. Kemudian pilih Save Edits sehingga
muncul jendela yang menyatakan bahwa hasil edit telah disimpan dan klik OK.

4. Kemudian apabila diinginkan, pengguna juga dapat mengedit informasi terkait teknik
konservasi pada menu input management. Pada menu Edit Subbasin Inputs pilih
Management sebagai SWAT Input Tabel yang ingin diedit. Setelah itu pilih
Subbasin, Land Use, Soils dan Slope yang ingin diedit dan klik OK sehingga
muncul jendela Edit Management Parameters.

52

5. Pada jendela Edit Management Parameters klik Edit Values untuk mulai
memasukkan nilai-nilai terkait konservasi misalnya USLE_P. Sama seperti pada tingkat
HRU, nilai USLE_P tersebut dapat diterapkan pada seluruh subbasin atau hanya
subbasin tertentu saja, begitu pula dengan jenis penggunaan lahan, tanah dan kelas
lereng.

6. Kemudian tulis ulang input yang telah diedit tadi melalui menu Edit SWAT Input dan
pilih Rewrite SWAT Input Files.
7. Setelah itu menjalankan kembali model sebagaimana telah dijelaskan pada Sub Bab
3.6.
8. Dengan demikian selesai sudah proses simulasi yang dilakukan.
Hasil Simulasi
Hasil dari skenario yang telah disimulasikan dapat dilihat sebagaimana hasil dari
running model dengan keadaan eksisting. Hal ini dapat dilakukan dengan mengikuti
langkah-langkah pada Sub Bab 3.6. Apabila hasil running eksisting dan simulasi
reservoir dibandingkan maka dapat diketahui bahwa adanya reservoir dapat menurunkan
nilai sedimen yield dan meningkatkan water yield.

53

Hasil running simulasi reservoir.

Hasil running keadaan eksisting.

54

BAB IV. PENYUSUNAN LAPORAN HASIL PENERAPAN MODEL SWAT


DALAM PENGELOLAAN DAS

Format Laporan Rencana Pengelolaan DAS dengan Menggunakan Model SWAT


Buku 1. Laporan
Buku 2. Peta-peta
Buku 3. Lampiran Data
Buku 1. Laporan
Bab 1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
1.2 Maksud dan Tujuan
Bab 2. Bahan dan Metode
2.1 Waktu dan Tempat Kegiatan
2.2 Bahan dan Alat
2.3 Metode
Bab 3. Keadaan Umum Daerah Aliran Sungai
3.1. Karakteristik Biofisik
3.1.1. Kondisi Morfolmetri DAS
3.1.2. Kondisi Toografi Geomorfologi DAS
3.1.3. Kondisi Iklim
3.1.4. Tanah dan Degradasi Lahan
3.1.5. Penggunaan dan Penutupan Lahan
3.1.6. Iklim
3.1.7. Kondisi Hidrologi DAS
3.2 Karakteristik Sosial Ekonomi DAS
Bab 4. Hasil dan Pembahasan
4.1 Unit Respon Hidrologi dan Sub DAS Terbentuk
(Uraian jumlah unit respon hidrologi (HRU) dan sub DAS yang
terbentuk, nantinya akan digunakan untuk identifikasi HRU dan sub
DAS yang terdegradasi)
4.2 Karakteristik Hidrologi DAS
(Uraian nilai-nilai aliran permukaan, aliran lateral, aliran dasar, hasil
air, evapotranspirasi pada level DAS, Sub DAS dan HRU. Penjelasan
Sub DAS dan HRU mana saja yang terdegradasi).

55

4.3 Debit dan Kalibrasi Model


(Uraian tentang nilai debit pada DAS yang dikaji dan hasil kalibrasi
model. Apabila diperlukan dapat menambahkan proses validasi dan
hasilnya).
4.4 Simulasi skenario
(Simulasi yang dilakukan ditujukan untuk memperbaiki Sub DAS dan
HRU yang terdegradasi, dengan demikian akan ada perbandingan nilai
karakteristik hidrologi untuk keadaan eksisting dan simulasi skenario
dan pembahasannya. Uraikan pula setiap skenario yang disusun
secara detil misalnya apakah skenario penggunaan lahan, skenario
teknik konservasi tanah dan air yang diterapkan, misalnya teknik
konservasi apa diterapkan dimana).
4.5 Rekomendasi tindakan untuk perencanaan pengelolaan DAS.
(Uraian tentang rekomendasi perencanaan pengelolaan DAS
berdasarkan hasil simulasi pada poin 4.4).
Bab 5. Simpulan dan Saran
5.1 Simpulan
5.2 Saran
Bab 6. Penutup
Buku 2. Peta-Peta
(Layout peta disesuaikan dengan kaidah kartografi, begitu pula ukuran kertas
yang digunakan harus mengikuti kaidah yang benar terkait dengan skala peta
asal).
1. Peta Topografi
2. Peta Distribusi Curah Hujan
3. Peta Penggunaan/Tutupan Lahan
4. Peta Tanah
5. Peta Batas DAS, Sub DAS, dan Jaringan Sungai
6. Peta HRU
7. Peta Sebaran Sub DAS Terdegradasi
8. Peta Sebaran HRU Terdegradasi
9. Peta Skenario 1 (misal skenario penggunaan lahan)
10. Peta Skenario 2 (missal skenario penerapan teknik konservasi tanah dan
air)
11. Peta skenario 3, 4, dan 5(jika skenario yang disimulasikan banyak)
12. Peta Rekomendasi Perencanaan Pengelolaan DAS.

56

BAB V. PENUTUP

Model SWAT adalah model pendugaan aliran permukaan, muatan sedimen,


konsentrasi unsur hara dan pestisida dalam air sungai yang sangat rinci dan
termasuk model kotak putih (white box) karena hampir semua proses hidrologi
yang terkait di dalam DAS dikuantifikasikan secara jelas. Dengan demikian, model
SWAT yang sudah mengintegrasikan aspek keruangan melalui perakat lunak
Sistim Informasi Geografi (SIG) berdaya guna sangat tinggi khusus dalam
perencanaan pengelolaan dan penggunaan lahan DAS. Setelah model SWAT baik
dan benar bisa dijalankan melalui kalibrasi dan validasi, maka pembaruan
(updating) data bisa sekaligus dilakukan dalam kegiatan monitoring dan evaluasi.
Keterbatasan pemanfaatan model SWAT juga terkait dengan input data yang
dibutuhkan oleh model. Kebutuhan akan data sekunder yang hanya bisa
didapatkan dari instansi lain, terkadang sulit untuk diperoleh karena terbentur
masalah administrasi. Oleh karena itu, perlu adanya koordinasi yang baik antara
seluruh instansi yang terkait dengan pengelolaan DAS, apalagi adanya peraturan
mengenai penyusunan rencana pengelolaan DAS terpadu yang melibatkan
berbagai stakeholder. Dengan demikian diharapkan kedepannya bahwa kendala
ketersediaan data sekunder dapat diselesaikan dengan baik. Selain itu juga perlu
adanya perbaikan pada fasilitas monitoring kinerja DAS baik keterwakilan stasiun
hujan maupun kondisi SPAS sehingga data yang digunakan mamadai dan benar.

DIREKTUR
D
IREKT
KTTUR
UR JENDERAL,
JEN
E DERAL,

NUGROHO,
Dr. Ir. HILMAN
H LMAN N
HI
NUG
UGROHO
UG
HO, M.P.
19590615
198603
NIP. 1
95906
615 1
98603 1 004
98

57

LAMPIRAN

58

Lampiran 1. KONSEP MODEL SWAT DALAM RENCANA PENGELOLAAN


DAS TERPADU

SWAT merupakan model hidrologi skala DAS yang dikembangkan oleh Dr.
Jeff Arnold untuk USDA pada awal tahun 1990-an. SWAT dikembangkan untuk
memprediksi dampak praktek pengelolaan lahan terhadap air, sedimen, dan
bahan kimia pertanian yang masuk ke sungai atau badan air pada suatu DAS yang
kompleks dengan tanah, penggunaan tanah dan pengelolaannya yang bermacammacam sepanjang waktu yang lama. Model SWAT dikembangkan berdasarkan
konsep dari beberapa model hidrologi lainnya seperti SWRRB (Simulator for Water
Resources in Rural Basins), CREAMS (Chemical, Runofff, and Erosion from
Agricultural Managament System, GLEAMS (Groundwater Loading Effects on
Agricultural Management Systems) dan EPIC (Erosion Productivity Impact
Calculator) (Neitsch et al., 2011).
SWAT merupakan model hidrologi berbasis fisika (physically based) yang
membutuhkan informasi spesifik tentang iklim, sifat-sifat tanah, topografi,
vegetasi, dan praktek pengelolaan lahan yang terjadi di dalam DAS. Time step
dalam model SWAT adalah harian karena model ini merupakan model kejadian
kontinyu untuk skala DAS yang dibangun agar dapat beroperasi secara harian,
efisien secara komputerisasi, dan mampu membuat simulasi untuk jangka waktu
yang panjang. SWAT dapat memodelkan secara langsung proses-proses fisika
yang terkait dengan pergerakan air, sedimen, pertumbuhan tanaman, siklus unsur
hara dan lain sebagainya (Neitsch et al., 2011). Proses-proses tersebut didasarkan
pada konsep neraca air. Komponen utama model adalah iklim, hidrologi, suhu dan
karakteristik tanah, pertumbuhan tanaman, unsur hara, pestisida, patogen dan
bakteri, dan pengelolaan lahan.
Pada model SWAT, suatu DAS dibagi menjadi beberapa Sub DAS atau Sub
Basin yang didasarkan pada kesamaan penggunaan tanah dan lahan atau sifat
lain yang berpengaruh terhadap hidrologi. Kemudian Sub DAS dibagi lagi ke dalam
unit respon hidrologi (HRU). Secara praktis HRU diperoleh dengan menumpangtindihkan karakteristik penggunaan lahan, pengelolaannya, topografi, dan tanah
sehingga diperoleh unit yang homogen.
Simulasi hidrologi DAS pada model SWAT dipisahkan menjadi dua bagian
utama yaitu fase lahan dan fase air dari siklus hidrologi. Fase lahan dari siklus
hidrologi mengontrol jumlah air, sedimen, unsur hara dan pestisida yang bergerak
menuju saluran atau sungai utama pada masing-masing Sub DAS. Sedangkan fase
air atau penelusuran dari siklus hidrologi didefinisikan sebagai pergerakan air,
sedimen dan lainnya melalui jaringan sungai utama dalam DAS menuju ke titik
pengeluaran atau outlet.
59

2.1. Fase Lahan dari Siklus Hidrologi


Siklus hidrologi yang disimulasikan model SWAT (Gambar 1.5)
didasarkan pada perhitungan neraca air berikut ini:

dimana SWt adalah kadar air tanah akhir (mm H2O), SWo adalah kadar air
tanah awal pada hari ke-i (mm H2O), t adalah waktu (hari), Rday adalah
jumlah hujan pada hari ke-i (mm H2O), Qsurf adalah jumlah aliran
permukaan pada hari ke-i (mm H2O), Ea adalah jumlah evapotranspirasi
pada hari ke-i (mm H2O), Wseep adalah jumlah air yang masuk ke zona
vadose dari profil tanah (seepage) pada hari ke-i (mm H2O), Qgw adalah
jumlah aliran air bawah tanah (baseflow/groundwaterflow/returnflow) pada
hari ke-i (mm H2O).
Pembagian DAS ke dalam Sub DAS dapat menggambarkan perbedaan
evapotranspirasi untuk jenis tanaman dan tanah yang beragam atau
berbeda. Aliran permukaan (surface runoff) diprediksi secara terpisah untuk
masing-masing HRU dan dapat ditelusuri untuk memperoleh aliran
permukaan total (total runoff) pada suatu Sub DAS dan DAS. Dengan
demikian keakuratan model akan meningkat dan memberikan gambaran fisik
yang lebih baik untuk neraca air.

Sumber: Neitsch et al., 2011

Gambar 1.1. Siklus Hidrologi dalam Model SWAT


2.1.1. Iklim
Iklim dari suatu DAS akan menghasilkan input kelembaban
dan energi yang akan mengontrol neraca air dan menentukan
berbagai komponen yang penting dalam siklus hidrologi. Variabel
60

iklim yang dibutuhkan model SWAT terdiri dari data curah hujan,
suhu udara maksimum dan minimum, radiasi matahari, kecepatan
angin, dan kelembaban relatif harian.
a. Pembangkit Iklim (Weather Generator)
Model SWAT mampu membangkitkan satu set data iklim untuk
masing-masing Sub DAS. Data iklim tersebut untuk masingmasing Sub DAS akan dihasilkan secara terpisah dan tidak ada
korelasi spasial dari nilai-nilai tersebut antara Sub DAS yang
berbeda.
Pembangkitan Data Hujan. Apabila tidak tersedia data
harian, maka SWAT menggunakan model yang dikembangkan
oleh Nicks (1974) untuk membangun data hujan harian simulasi
dan memprediksi data hujan yang hilang. Model Markov Chain
orde-1 digunakan untuk membangkitkan data hujan melalui
identifikasi hari hujan atau hari kering (dengan membandingkan
angka acak (0.0 - 1.0) yang dibangun oleh model sehingga
diketahui probabilitas bulan hujan dan bulan kering. Jika hari
diklasifikasikan sebagai hari hujan, maka jumlah hujan dihitung
berdasarkan distribusi skewed atau distribusi eksponensial
termodifikasi.
Pola Hujan Sub-Harian. Apabila nilai hujan sub-harian
dibutuhkan, maka model menggunakan fungsi eksponensial
ganda untuk menggambarkan pola intensitas hujan. Dengan
distribusi eksponensial ganda, intensitas hujan meningkat secara
eksponensial seiring waktu hingga mencapai nilai intensitas
maksimum. Ketika nilai intensitas maksimum tercapai, maka
intensitas hujan akan berkurang secara eksponensial seiring
waktu hingga akhir hujan.
Pembangkitan Data Suhu Udara dan Radiasi Matahari.
Suhu udara maksimum dan minimum dan radiasi matahari
dihasilkan dari fungsi distribusi normal. Variasi suhu dan radiasi
yang disebabkan oleh keadaan hujan dan kering dihitung secara
kontinyu. Suhu udara maksimum dan radiasi matahari yang
dihasilkan akan rendah ketika simulasi dilakukan pada kondisi
hujan dan akan tinggi ketika simulasi pada saat kering.
Pembangkitan Data Kecepatan Angin. Persamaan
eksponensial termodifikasi digunakan untuk menghasilkan nilai
tengah kecepatan angin harian dari nilai tengah kecepatan angin
bulanan.

61

Pembangkitan Data Kelembaban Relatif. Perhitungan


kelembaban relatif menggunakan distribusi triangular untuk
mensimulasi kelembaban relatif rata-rata harian dari rata-rata
bulanannya.
b. Salju (Snow)
SWAT mengelompokkan presipitasi sebagai hujan atau salju
berdasarkan data suhu harian rata-rata.
Tutupan Salju. Komponen tersebut telah dimodifikasi dari
model tutupan salju yang sederhana dan seragam menjadi
model yang lebih kompleks karena mempertimbangkan
pengaruh bayangan, topografi dan tutupan lahan.
Salju yang mencair. Komponen ini dikontrol oleh udara dan
suhu salju, level leleh, dan area yang tertutup salju.
Band Elevasi. Pada model SWAT, suatu sub DAS dapat
dipisahkan berdasarkan band elevasi mulai dari band 1 sampai
10. Tutupan salju dan salju yang mencair disimulasikan secara
terpisah pada masing-masing band elevasi. Dengan demikian
model mampu untuk menilai perbedaan yang terjadi pada
tutuan salju dan salju yang mencair yang disebabkan oleh
variasi orografik pada hujan dan suhu.
Suhu Tanah mempengaruhi pergerakan air dan tingkat
peluruhan residu dalam tanah. Suhu tanah rata-rata harian
dihitung pada permukaan tanah dan di bagian tengah pada
masing-masing lapisan tanah. Suhu pada permukaan tanah
merupakan fungsi dari tutupan salju, tutupan lahan, dan residu
di permukaan. Suhu pada lapisan tanah merupakan fungsi dari
suhu permukaan, suhu udara tahunan rata-rata dan kedalaman
tanah.
2.1.2. Hidrologi
Hujan yang turun akan terintersepsi dan tertahan pada
kanopi/tajuk tanaman atau jatuh ke permukaan tanah. Air yang
jatuh pada permukaan tanah akan terinfiltrasi ke dalam profil tanah
hingga tanah jenuh air dan mengalir di permukaan sebagai aliran
permukaan (surface runoff). Aliran permukaan bergerak relatif cepat
mencapai saluran sungai dan memberikan kontribusi terhadap
respon sungai untuk jangka pendek. Air yang terinfiltrasi akan
tertahan di dalam tanah dan akan terevaporasi atau akan mencapai
sistem air - permukaan melalui jalur bawah tanah.
62

a. Simpanan kanopi/tajuk (Intersepsi)


Simpanan kanopi atau intersepsi adalah air yang ditahan oleh
permukaan vegetatif (kanopi) dimana kanopi akan menahannya
sehingga menjadi input untuk proses evapotranspirasi. Ketika
menggunakan metode bilangan kurva (curve number/CN) untuk
menghitung aliran permukaan, simpanan kanopi akan
diperhitungkan dalam perhitungan aliran permukaan. Apabila
metode Green & Ampt yang digunakan untuk model infiltrasi dan
aliran permukaan, maka simpanan kanopi harus dimodelkan
secara terpisah. SWAT memungkinkan pengguna untuk
memasukkan jumlah maksimum air yang dapat ditahan oleh
kanopi pada indeks luas daun maksimum suatu tutupan lahan.
b. Infiltrasi
Infiltrasi adalah proses masuknya air secara vertikal ke dalam
profil tanah melalui permukaan tanah. Ketika infiltrasi berlanjut,
tanah menjadi semakin basah, sehingga laju infiltrasi terus
berkurang seiring dengan waktu hingga mencapai nilai infiltrasi
konstan. Laju infiltrasi awal tergantung pada kandungan
kelembaban tanah awal yang tergantung kepada air yang ada di
permukaan tanah. Laju infiltrasi akhir sama dengan konduktivitas
hidrolik jenuh dari tanah. Dalam model SWAT, metode bilangan
kurva (CN) digunakan untuk menghitung aliran permukaan
harian, sehingga infiltrasi tidak bisa dimodelkan secara langsung.
Metode Infiltrasi Green and Ampt mampu memodelkan infiltrasi
secara langsung, tetapi membutuhkan data hujan dengan
periode waktu yang kecil.
c. Redistribusi
Redistribusi merupakan pergerakan lanjutan dari air infiltrasi
hingga mencapai profil tanah setelah input air (hujan atau irigasi)
berhenti di permukaan tanah. Redistribusi disebabkan oleh
perbedaan kandungan air di dalam tanah. Apabila kadar air tanah
yang masuk ke dalam profil tanah seragam, maka redistribusi
akan berhenti. Komponen redistribusi dalam SWAT menggunakan
teknik penelusuran simpanan untuk memprediksi aliran yang
mencapai masing-masing lapisan tanah pada zona perakaran.
d. Evapotranspirasi Potensial
Evapotranspirasi potensial merupakan laju evapotranspirasi yang
terjadi pada area yang luas dan secara seragam tertutup oleh
vegetasi yang tumbuh yang mempunyai akses pada air tanah
yang tidak terbatas. Laju ini diasumsikan agar tidak dipengaruhi
63

oleh proses iklim mikro seperti adveksi atau pengaruh simpanan


panas. Evapotranspirasi potensial pada model SWAT dapat
diperkirakan dengan metode Hargreaves (Hargreaves et al.,
1985), Priestley-Taylor (Priestley and Taylor, 1972), atau
Penman-Monteith (Monteith, 1965).
e. Aliran bawah permukaan (Interflow/Subsurface)
Aliran bawah permukaan (interflow/subsurface flow) merupakan
bagian aliran sungai yang dihasilkan dari lapisan bawah
permukaan tetapi diatas zona dimana batuan jenuh oleh air.
Aliran bawah permukaan pada profil tanah (0 2 m) dihitung
secara bersamaan dengan redistribusi. Model simpanan
kinematik digunakan untuk memprediksi aliran bawah permukaan
pada masing-masing lapisan tanah dan memperhitungkan variasi
konduktivitas, lereng dan kadar air (kelembaban) tanah.
f.

Aliran permukaan (Overland flow/Surface Runoff)


Aliran permukaan (overland flow/surface runoff) merupakan
aliran yang terjadi di sepanjang permukaan suatu lereng. Dengan
menggunakan jumlah hujan harian atau sub-harian, SWAT
mensimulasi volume aliran permukaan dan puncak aliran
permukaan untuk masing-masing HRU.
Volume Surface Runoff dihitung dengan persamaan metode
Bilangan Kurva SCS modifikasi (USDA Soil Conservation Service,
1972) atau metode infiltrasi Green & Ampt (Green dan Ampt,
1911). Pada metode bilangan kurva, bilangan kurva bervariasi
tetapi tidak linier dengan kadar kelembaban tanah. Bilangan
kurva akan rendah ketika tanah mendekati titik layu permanen
dan meningkat mendekati 100 ketika tanah mencapai keadaan
jenuh. Metode Green & Ampt membutuhkan data hujan subharian dan menghitung infiltrasi sebagai fungsi dari pembasahan
terhadap potensial matrik dan konduktivitas hidrolik efektif. Air
yang tidak terinfiltrasi akan menjadi aliran permukaan.
Persamaan SCS (Soil Conservation Service) merupakan sebuah
model empiris yang mulai digunakan secara umum pada tahun
1950-an. Persamaan tersebut merupakan hasil kajian selama
lebih dari 20 tahun yang melibatkan hubungan hujan-limpasan
dari DAS kecil di pedalaman di seluruh Amerika Serikat. Model
tersebut dikembangkan untuk memberikan suatu dasar yang
konsisten untuk memperkirakan jumlah limpasan pada berbagai
tata guna lahan dan jenis tanah (Rallison dan Miller, 1981 dalam
SWAT Theoretical Documentation, 2011).
64

Persamaan SCS curver number adalah (SCS, 1972):


dimana:

Qsurf
Rday
Ia
S

=
=
=
=

Akumulasi limpasan atau kelebihan curah hujan


(mm H2O)
Tinggi curah hujan pada hari tersebut (mm H2O)
Pengambilan awal yang meliputi tampungan
permukaan, intersepsi dan
infiltrasi sebelum terjadi limpasan (mm H2O)
Parameter retensi (mm H2O)

Parameter retensi bervariasi secara spasial akibat perubahan


jenis tanah, tata guna lahan, pengelolaan dan kemiringan serta
bervariasi secara temporal akibat perubahan kadar air dalam
tanah. Parameter retensi didefinisikan sebagai:

dimana:
CN = bilangan kurva untuk hari tersebut.
Pengambilan (abstraksi) awal, Ia, umumnya didekati sebagai 0,2S
sehingga persamaan menjadi:



Limpasan hanya akan terjadi apabila Rday>Ia.
Debit Puncak Runoff diprediksi dengan persamaan metode
Rasional modifikasi. Metode rasional didasarkan pada intensitas
hujan i yang terjadi seketika itu juga dan berlanjut secara tak
terbatas, sehingga laju aliran permukaan akan meningkat hingga
waktu konsentrasi (time of concentration = tc), ketika semua Sub
DAS memberikan kontribusi kepada aliran di outlet. Pada metode
rasional modifikasi, laju puncak aliran permukaan merupakan
fungsi dari bagian hujan harian yang jatuh selama tc Sub DAS,
volume aliran permukaan harian, dan waktu konsentrasi Sub
65

DAS. Waktu konsentrasi Sub DAS dapat diperkirakan dengan


rumus Manning atau Kirpich.
g. Waduk
Waduk merupakan bangunan simpanan air yang terletak di
dalam Sub DAS yang berfungsi untuk menangkap aliran
permukaan (overland flow). Waduk diasumsikan terletak di luar
saluran utama dalam Sub DAS dan tidak akan pernah menerima
air dari hulu Sub DAS. Simpanan air pada waduk merupakan
fungsi dari kapasitas waduk, aliran masuk dan keluar harian,
aliran samping (seepage) dan evaporasi.
h. Saluran Anak Sungai
Ada dua tipe saluran di dalam Sub DAS yaitu saluran utama dan
saluran anak sungai. Saluran anak sungai merupakan cabang
saluran dengan orde rendah yang terdapat di luar saluran utama
di dalam Sub DAS. Masing-masing saluran anak sungai di dalam
Sub DAS hanya membasahi sebagian Sub DAS dan tidak
menerima sumbangan dari air bawah tanah terhadap alirannya.
Semua aliran pada saluran anak sungai dilepaskan dan ditelusuri
hingga ke saluran utama di dalam Sub DAS.
SWAT
menggunakan karakteristik saluran anak sungai untuk
menentukan waktu konsentrasi (tc) Sub DAS.

Transmission Loss atau kehilangan transmisi merupakan


kehilangan aliran permukaan melalui pencucian sepanjang badan
sungai. Jenis kehilangan seperti ini terjadi pada sungai
ephemeral atau intermitten dimana kontribusi air bawah tanah
hanya terjadi pada waktu tertentu dalam satu tahun, atau tidak
sama sekali. SWAT menggunakan metode Lane seperti yang
dijelaskan pada Bab 19 pada SCS Hydrology Handbook (USDA
Soil Conservation Service, 1983) untuk menghitung kehilangan
transmisi.
i.

Aliran dasar/Aliran bawah tanah (Baseflow)


Aliran air bawah tanah atau aliran dasar (baseflow) adalah
volume aliran sungai yang berasal dari air bawah tanah. SWAT
membagi air bawah tanah ke dalam dua sistem akuifer: 1)
akuifer dangkal, akuifer tidak tertekan yang memberikan
kontribusi aliran dasar ke sungai di dalam DAS, 2) akuifer dalam,
akuifer tertekan yang memberikan kontribusi aliran dasar ke
sungai di luar DAS (Arnold et al., 1993). Air yang meresap
melewati bagian bawah zona akar dikelompokkan ke dalam dua
fraksi-masing-masing fraksi sebagai recharge untuk masing66

masing akuifer. Sebagai tambahan untuk aliran dasar, air yang


tersimpan pada akuifer dangkal akan menambah kelembaban
profil tanah pada kondisi sangat kering atau dipindahkan secara
langsung oleh tanaman.
2.1.3. Tutupan Lahan
SWAT memanfaatkan model pertumbuhan tanaman tunggal
untuk mensimulasi semua jenis tutupan lahan. Tanaman tahunan
tumbuh mulai dari penanaman hingga panen atau sampai unit panas
terakumulasi sama dengan unit panas potensial tanaman. Tanaman
abadi mempertahankan sistem akarnya sepanjang tahun, menjadi
dorman pada saat musim dingin. Pertumbuhan tanaman tersebut
berlanjut ketika suhu udara harian rata-rata melebihi suhu minimum.
Model pertumbuhan tanaman digunakan untuk menilai perpindahan
air dan unsur hara dari zona akar, transpirasi dan biomasa/produksi.
a. Pertumbuhan Potensial
Peningkatan potensi biomasa tanaman pada hari tertentu
didefinisikan sebagai peningkatan biomasa di bawah kondisi
pertumbuhan ideal dan merupakan fungsi dari penerimaan energi
dan efesiensi tanaman dalam mengkonversi energi menjadi
biomasa. Penyerapan energi diperkirakan sebagai fungsi dari
radiasi matahari dan indeks luas daun tanaman.
b. Transpirasi Aktual dan Potensial
Proses yang digunakan untuk menghitung transpirasi potensial
dijelaskan pada bab evapotrasnpirasi. Transpirasi aktual
merupakan fungsi dari transpirasi potensial dan ketersediaan air
tanah.
c. Pengambilan Unsur Hara
Unsur Nitrogen (N) dan Fosfor (P) tanaman diperkirakan dengan
pendekatan ketersediaan dan permintaan dimana permintaan
nitrogen dan fosfor tanaman harian dihitung sebagai perbedaan
antara konsentrasi aktual dari elemen tanaman dan konsentrasi
optimalnya. Konsentrasi optimal dari elemen tanaman bervariasi
menurut tahap pertumbuhan seperti yang dijelaskan oleh Jones
(1983).
d. Pembatas Pertumbuhan
Pertumbuhan tanaman yang potensial dan hasil tanaman
biasanya tidak tercapai karena adanya kendala lingkungan. Model
memperkirakan kendala yang disebabkan oleh air, unsur hara
dan suhu.
67

2.1.4. Erosi
Erosi dan sedimen diperkirakan untuk masing-masing HRU
dengan Modified Universal Soil Loss Equation (MUSLE) (Williams,
1975). USLE menggunakan hujan sebagai indikator energi yang
menyebabkan erosi, sedangkan MUSLE menggunakan jumlah aliran
permukaan untuk memprediksi erosi dan sedimen. Kelebihannya
yaitu akurasi prediksi model menjadi meningkat, rasio transportasi
tidak dibutuhkan lagi, dan perkiraan hujan tunggal yang
menghasilkan sedimen dapat dihitung. Model ini memberikan
perkiraan volume aliran permukaan dan laju puncak aliran
permukaan, dengan daerah Sub DAS, yang digunakan untuk
menghitung variabel energi aliran permukaan yang erosif. Faktor
pengelolaan tanaman dihitung kembali setiap hari pada saat aliran
permukaan terjadi. Hal tersebut merupakan fungsi dari biomasa di
atas tanah, dan faktor C minimum untuk tanaman. Faktor-faktor lain
dari persamaan erosi dievaluasi seperti yang dijelaskan oleh
Wischmeier dan Smith (1978).
Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:
Sed = 11.8.(Qsurf .Qpeak . AreaHRU)0.56 . KUSLE . CUSLE . PUSLE LSUSLE . CFRG

dimana:
Sed
: sediment yield harian (metrik tons)
Qsurf : surface runoff volume (mm H2O/ha)
Qpeak : peak runoff rate (m3/s)
AreaHRU
: luas dari HRU (ha)
KUSLE : USLE factor erodibilitas tanah (0.013 metrik ton m2 hr/(m3metrikton cm))
CUSLE : USLE faktor tutupan lahan.
PUSLE : USLE faktor pengelolaan
LSUSLE : USLE faktor topografi
CFRG : faktor kekasaran fragmen.
Erodibilitas tanah (K) adalah suatu faktor yang menunjukkan
kepekaan tanah terhadap erosi. Nilai tersebut didefinisikan sebagai
erosi per satuan indek erosi hujan R yang diperoleh dari petak
standar (panjang 22 m, kemiringan 9 %, tanpa tanaman). Kepekaan
erosi tanah sangat dipengaruhi oleh tekstur, kandungan bahan
organik, permeabilitas dan kemantapan struktur tanah. Oleh karena
itu nilai kepekaan erosi tanah dapat dihitung dilapangan atau dihitung
dengan menggunakan nomograf Wischmeier dan Smith (Ward and
Elliot, 1995).

68

Faktor panjang lereng (L) dan faktor kemiringan lereng (S) dapat
dihitung secara terpisah atau dihitung sekaligus sebagai faktor LS.
Faktor panjang lereng merupakan nisbah antara besarnya erosi yang
terjadi pada suatu lahan dengan panjang lereng tertentu terhadap
erosi dalam petak standar (panjang lereng 22 m) dibawah kondisi
tanpa tanaman. Sedangkan faktor kemiringan lereng adalah nisbah
besarnya erosi yang terjadi pada suatu lahan dengan kemiringan
lereng tertentu terhadap erosi yang terjadi pada petak standar
(kemiringan lereng 9%) dibawah kondisi tanpa tanaman. Bila faktor L
dan S digabungkan, maka faktor LS didefinisikan sebagai nisbah
antara besarnya erosi dari sebidang tanah dengan panjang lereng
dan kecuraman lereng tertentu terhadap besarnya erosi dari sebidang
tanah yang terletak pada lereng dengan panjang lereng 22 meter dan
kecuraman 9%.
2.1.5. Unsur Hara
SWAT melacak perpindahan dan perubahan beberapa bentuk
nitrogen dan fosfor di dalam DAS. Pada tanah, perubahan nitrogen
dari satu bentuk ke bentuk lainnya diatur oleh siklus nitrogen seperti
yang digambarkan pada Gambar 6. Perubahan fosfor di dalam tanah
dikontrol oleh siklus fosfor seperti yang ditunjukkan pada Gambar
1.1. Unsur hara mungkin saja masuk ke dalam saluran utama dan
diangkut ke hilir oleh aliran permukaan dan aliran lateral.

Gambar 1.2. Neraca Nitrogen dalam SWAT

69

Gambar 1.3. Siklus Fosfor dalam SWAT


a. Nitrogen
Penggunaan nitrogen oleh tanaman diperkirakan menggunakan
pendekatan ketersediaan-permintaan seperti dijelaskan pada bab
pertumbuhan tanaman. Sebagai tambahan pada penggunaan
tanaman, nitrat dan N-organik mungkin dipindahkan dari tanah
melalui aliran masa air. Jumlah NO3-N yang terkandung dalam
aliran permukaan, aliran lateral dan perkolasi diperkirakan
sebagai produk dari volume air dan konsentrasi nitrat rata-rata
dalam lapisan. N-organik yang terbawa bersama sedimen
dihitung menggunakan fungsi pemuatan yang dikembangkan
oleh McElroy et al., (1976) dan modifikasi oleh Williams dan
Hann (1978) untuk aplikasi kejadian aliran permukaan tunggal.
Fungsi pemuatan memperkirakan kehilangan N-organik harian
melalui aliran permukaan berdasarkan konsentrasi N-organik
pada lapisan atas, sedimen, dan nisbah pengkayaan. Nisbah
pengkayaan adalah konsentrasi N-organik dalam sedimen dibagi
dengan konsentarsi N-organik dalam tanah.
b. Fosfor
Penggunaan fosfor oleh tanaman diperkirakan menggunakan
pendekatan ketersediaan-permintaan seperti dijelaskan pada bab
pertumbuhan tanaman. Sebagai tambahan pada penggunaan
tanaman, fosfor terlarut dan P-organik mungkin dipindahkan dari
tanah melalui aliran masa air. Fosfor merupakan unsur hara yang
tidak mobil dan interaksi antara aliran permukaan dan P terlarut
pada 10 mm lapisan atas tanah tidak akan lengkap. Jumlah P
terlarut yang terangkut bersama aliran permukaan diprediksi
menggunakan konsentrasi larutan P pada 10 mm lapisan atas
tanah, volume aliran permukaan dan faktor pembagi. Pergerakan
P disimulasi dengan fungsi pemuatan seperti dijelaskan pada
pergerakan N-organik.
70

2.1.6. Pestisida
Pergerakan kimia dalam DAS dapat dipelajari melalui aplikasi
pestisida pada level HRU. SWAT mensimulasi pergerakan pestisida
yang masuk ke jaringan sungai melalui aliran permukaan (dalam
bentuk larutan dan diserap oleh sedimen yang diangkut oleh aliran
permukaan), dan masuk ke dalam profil tanah dan akuifer oleh
perkolasi (dalam bentuk larutan) seperti ditunjukkan pada Gambar
1.2. Persamaan yang digunakan untuk memodelkan pergerakan
pestisida pada fase lahan siklus hidrologi diadopsi dari GLEAMS
(Leonard et al., 1987). Pergerakan pestisida dikontrol oleh tingkat
kelarutan, waktu paruh penghancuran, dan koefisien penyerapan
karbon organik tanah. Pestisida pada dedaunan tanaman dan tanah
merusak secara eksponensial sesuai dengan waktu paruh yang
memadai. Pergerakan pestisida oleh air dan sedimen dihitung untuk
masing-masing kejadian aliran permukaan dan pencucian pestisida
diperkirakan untuk masing-masing lapisan tanah ketika perkolasi
terjadi.

Gambar 1.4. Pergerakan Pestisida dalam SWAT

2.1.7. Pengelolaan Lahan


SWAT memungkinkan pengguna untuk mendefinisikan praktek
pengelolaan lahan pada setiap HRU, termasuk jadwal pertumbuhan
(awal dan akhir musim pertumbuhan), waktu dan jumlah pupuk,
waktu aplikasi pestisida dan irigasi serta persiapan lahan. Pada akhir
musim pertumbuhan, biomasa dapat dipindahkan dari HRU sebagai
hasil atau dibiarkan di permukaan sebagai residu. Selain praktek
pengelolaan dasar, juga tersedia praktek lainnya seperti
penggembalaan, aplikasi pemupukan dan pengairan otomatis,
penggabungan setiap pilihan pengelolaan untuk penggunaan air,
71

penggabungan rutinitas untuk menghitung muatan sedimen (sedimen


load) dan unsur hara dari daerah urban (perkotaan).
a. Pergiliran Tanaman
Pergiliran tanaman merupakan pertumbuhan tanaman yang
berbeda dalam suksesi di satu lahan, umumnya dalam urutan
yang teratur. Pergiliran dalam SWAT mengacu kepada perubahan
dalam praktek pengelolaan dari satu tahun ke tahun berikutnya.
Model tidak membatasi jumlah tahun pelaksanaan pergiliran
tanaman dan jumlah penutupan tanaman/tanaman yang tumbuh
dalam satu tahun di dalam HRU. Meskipun demikian, hanya satu
penutup lahan yang dapat tumbuh pada satu waktu tertentu.
b. Penggunaan Air
Dua jenis penggunaan air yang paling khas yaitu aplikasi untuk
lahan pertanian dan sebagai penyedia air untuk perkotaan. SWAT
memungkinkan air untuk diaplikasikan pada sebuah HRU dari
sumber air manasaja dari dalam atau luar DAS. Air juga dapat
ditransfer antara waduk, sungai, dan Sub DAS, serta dikeluarkan
dari DAS.
2.2. Fase Routing Dalam Siklus Hidrologi
Muatan air, sedimen, unsur hara dan pestisida yang masuk ke saluran
utama ditelusuri hingga ke jaringan sungai dengan menggunakan struktur
perintah yang sama dengan HYMO (Williams dan Hann, 1972). Selain
melacak aliran masa dalam saluran, SWAT juga memodelkan perubahan
kimia di dalam sungai dan badan sungai. Perbedaan proses yang dimodelkan
SWAT di dalam sungai ditunjukkan pada Gambar 1.3.

Gambar 1.5. Proses-proses yang terjadi dalam sungai yang dimodelkan SWAT

72

2.2.1. Penelusuran Pada Saluran atau Sungai Utama


Penelusuran pada saluran utama dikelompokkan menjadi empat
komponen yaitu air, sedimen, unsur hara, dan kimia organik.
a. Penelusuran banjir
Ketika air mengalir ke hilir, ada bagian yang mungkin hilang
karena evaporasi dan menyebar melalui badan saluran/sungai.
Kehilangan lainnya yang potensial yaitu pergerakan air dari
saluran ke area pertanian atau penggunaan lainnya oleh
manusia. Aliran dapat digantikan oleh hujan yang jatuh secara
langsung ke dalam saluran dan/atau tambahan air dari sumber
debit. Aliran yang mencapai sungai dapat ditelusuri dengan
metode koefisien variabel simpanan yang dikembangkan oleh
Williams (1969) atau metode penelusuran Muskingum.
b. Penelusuran Sedimen
Pergerakan sedimen dalam saluran dikontrol oleh proses yang
terus menerus dari proses deposisi dan degradasi/kerusakan.
SWAT
menggunakan
parameter
daya
sungai
untuk
memperkirakan deposisi/degradasi pada saluran (Arnold et al.,
1995). Bagnold (1977) mendefinisikan daya sungai sebagai hasil
dari kepadatan air, laju aliran dan kemiringan aliran. Williams
(1980) menggunakan definisi daya sungai yang dikemukakan
oleh Bagnold untuk mengembangkan metode dalam rangka
menetapkan degradasi sebagai fungsi dari kemiringan dan
kecepatan saluran.
Pada versi SWAT yang sekarang, persamaan telah
disederhanakan dan jumlah maksimum sedimen yang dapat
ditransportasikan dari segmen sungai merupakan fungsi dari
puncak kecepatan saluran. Daya sungai yang tersedia digunakan
untuk masuknya kembali bahan yang lepas dan bahan yang
diendapkan sampai semua bahan dipindahkan. Daya sungai yang
berlebihan akan menyebabkan kerusakan badan/dasar sungai.
Kerusakan dasar sungai disesuaikan untuk erodibilitas badan
sungai dan penutup sungai.
c. Penelusuran Unsur Hara
Penulusuran unsur hara dalam aliran sungai pada model SWAT
menggunakan model Kinetik yang diadaptasi dari QUAL2E
(Brown and Barnwell, 1987). Model melacak unsur hara terlarut
dalam sungai dan unsur hara yang terserap oleh sedimen. Unsur
hara terlarut ditransportasikan oleh air sedangkan yang diserap
sedimen akan diendapkan di dasar saluran.
73

d. Penelusuran Pestisida di Sungai


Jumlah pestisida yang dapat diaplikasikan pada HRU tidak
terbatas, tetapi hanya satu jenis pestisida saja yang dapat
ditelusuri melalui jaringan sungai dalam DAS karena kompleksitas
proses yang disimulasikan. Muatan pestisida total dalam saluran
dikelompokkan menjadi komponen sedimen terlarut dan
komponen sedimen yang melekat. Pestisida terlarut diangkut
oleh air, sedangkan pestisida yang melekat dengan sedimen
dipengaruhi oleh pergerakan sedimen dan proses pengendapan.
2.2.2. Penelusuran waduk
Neraca air pada waduk termasuk aliran masuk (inflow), aliran keluar
(outflow), hujan di permukaan, evaporasi, aliran samping dari bagian
bawah waduk dan diversi.
a. Aliran Keluar Waduk
Model memberikan tiga alternatif untuk memperkirakan aliran
keluar dari waduk. Pada alternatif pertama, pengguna
memasukkan nilai aliran keluar hasil pengukuran ke dalam
model. Pada pilihan kedua, waduk didisain berukuran kecil, tidak
terkontrol, dan membutuhkan tingkat/laju pelepasan air yang
spesifik. Ketika volume waduk melebihi kapasitas simpanan, air
berlebih tersebut dilepaskan pada laju yang telah dispesifikasikan
tersebut. Volume air yang melebihi batas simpanan dilepaskan
dalam satu hari. Pada pilihan ketiga, waduk didisain berrukuran
lebih besar, dikelola dengan baik, mengharuskan pengguna
untuk membuat spesifikasi target volume air bulanan yang akan
masuk ke waduk.
b. Penelusuran Sedimen
Aliran sedimen dapat berasal dari daerah hulu sungai atau dari
aliran permukaan yang mengalir di dalam sub DAS. Konsentrasi
sedimen dalam waduk diperkirakan menggunakan persamaan
kontinuitas sederhana berdasarkan volume dan konsentrasi aliran
masuk, aliran keluar, dan air yang tertahan dalam waduk.
Sedimen dalam waduk dikontrol oleh kesetimbangan konsentrasi
sedimen dan nilai tengah ukuran partikel sedimen. Jumlah
sedimen pada aliran keluar waduk merupakan hasil dari volume
air yang mengalir keluar dari waduk dan konsentrasi sedimen
terlarut dalam waduk pada waktu pelepasannya.

74

c. Unsur Hara pada Waduk


Neraca masa nitrogen dan fosfor diadopsi berdasarkan model
sederhana yang dikembangkan oleh Chapra (1997). Model
mengasumsikan bahwa 1) danau sepenuhnya tercampur; 2)
fosfor merupakan unsur hara pembatas; dan 3) total fosfor
merupakan ukuran status danau tropika. Asumsi pertama
mengabaikan tingkatan/pengelompokan danau dan intensifikasi
pitoplankton dalam epilimnon. Asumsi kedua berlaku ketika
polusi yang tidak jelas sumbernya dominan (non-point sources
dominate) dan asumsi ketiga menunjukkan hubungan antara
total fosfor dan biomasa. Persamaan neraca masa untuk fosfor
juga mencakup konsentrasi di dalam danau, aliran keluar, aliran
masuk dan keseluruhan tingkat kehilangan.
d. Pestisida di Waduk
Model neraca pestisida di waduk/danau diadopsi dari Chapra
(1997) dengan asumsi bahwa kondisinya heterogen. Pestisida
dikelompokkan menjadi fase terlarut dan fase partikel pada
lapisan air dan lapisan sedimen. Proses utama yang disimulasikan
oleh model yaitu pemuatan (loading), aliran keluar, perubahan,
penguapan, pengendapan (settling), difusi, resuspensi dan
penimbunan (burial).

2.3. User Support


Pengguna yang ingin mengaplikasikan model SWAT pada daerah
kajiannya perlu mempersiapkan beberapa hal diantaranya yaitu perangkat
computer (spesifikasi minimal RAM 2 GB, Hard Disk 40 GB), perangkat lunak
SWAT, Microsoft Office dan ArcGIS. Selain itu, pengguna juga diharapkan
memiliki dasar pengetahuan terkait dengan hidrologi, ilmu tanah, iklim dan
data spasial.

75

LAMPIRAN 2.
1.1.

APLIKASI MODEL SWAT DALAM PERENCANAAN


PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI

Kasus-Kasus Aplikasi Model SWAT


Model SWAT telah diaplikasikan secara luas di dunia, seperti di
Amerika, Asia dan beberapa Negara Eropa. Aplikasi model SWAT di
Amerika dan Asia menunjukkan bahwa model dapat memberikan gambaran
pengelolaan lahan dan perubahan iklim terhadap hidrologi, erosi dan
sedimentasi (Vu et al. 2012; Mulungu and Munishi 2007; Wang et al. 2007;
Larose et al. 2007; Guo et al. 2008;). Penggunaan model SWAT di
Indonesia masih didominasi pada aspek hidrologi dan beberapa
diantaranya disertai dengan perencanaan pengelolaan DAS DAS. Model
SWAT telah diaplikasikan di DAS Cisadane Hulu, Citarum Hulu, Cidanau,
Ciliwung Hulu, Cipasarupan, Cirasea, Cijalupang, dan Sulawesi Tengah
misalnya DAS Gumbasa (Yusuf, 2010; Atmaja, 2012; Irsyad, 2011;
Arifianto, 2011; Rau, 2012; Laksana, 2012; Adrionita, 2011; Junaidi, 2009;
Suryani, 2005; Mulyana, 2012).
Penelitian Yusuf (2010) di DAS Cirasea (di dalam DAS Citarum Hulu)
menghasilkan simulasi skenario perubahan penggunaan lahan terhadap
aliran permukaan. Penyusunan skenario perubahan penggunaan lahan
yang dilakukan di DAS Cirasea mampu memberikan pengaruh terhadap
aliran permukaan, aliran dasar dan storage. Aliran permukaan terkecil
dihasilkan oleh skenario kelima yaitu skenario kombinasi penerapan
agroteknologi dan peningkatan luas hutan sesuai kawasan hutan negara.
Aliran permukaan yang dihasilkan oleh skenario perbaikan agroteknologi
adalah sebesar 216,87 mm dengan aliran dasar sebesar 406,16 mm.
Adapun storage yang dihasilkan oleh skenario ini merupakan storage
tertinggi yaitu sebesar 199,23 mm. Sedangkan penggunaan lahan saat
dilakukan penelitian (existing, penggunaan lahan tahun 2007) memberikan
nilai aliran permukaan, aliran dasar, dan storage masing-masing sebesar
267,34, 367,27, dan 191,55 mm. Berdasarkan kecenderungan perubahan
penggunaan lahan (dengan persamaan regresi tiga titik tahun penggunaan
lahan yang berjangka lama), prediksi aliran permukaan, aliran dasar, dan
storage 6 tahun berikutnya (tahun 2013) sebesar 263,93, 367,91, dan
194,07 mm.
Junaidi (2009) mengaplikasikan model SWAT di DAS Cisadane,
Provinsi Jawa Barat dengan luas sekitar 156,043 ha. Topografi DAS
Cisadane bervariasi dari datar hingga curam dengan dominasi lereng
berbukit-bergunung (25-40%) sekitar 38,2% dari luas DAS. Jenis tanah di
daerah penelitian meliputi alluvial, andosol, latosol, regosol, litosol, renjina,
dan podzolik merah. Curah hujan rata-rata tahunan berkisar antara 1731
76

5098 mm. Jenis penggunaan lahan bervariasi meliputi hutan, kebun


campuran, tegalan, lahan terbuka, pasir, pemukiman kota, sawah, semak
belukar dan tambak dengan dominasi lahan tegalan (47,2%). Hasil
penelitian menunjukkan variasi sekitar 49% untuk debit bulanan simulasi
dan observasi dan hasil NS sebesar 0,7 dengan hasil yang overestimate
pada sebagian besar hasil prediksi. Meski hasil NS sudah termasuk dalam
kategori cukup memuaskan dan dapat diaplikasikan untuk simulasi scenario
di DAS Cisadane, tetapi jika dikaji lebih dalam, model masih kurang tepat
dalam menggambarkan aliran (adanya nilai overestimate). Hal ini diduga
karena model masih kurang mampu untuk mendeskripsikan secara utuh
proses-proses yang terjadi di daerah yang didominasi dengan topografi
yang curam.
Model SWAT juga cukup memuaskan dalam memprediksi debit sungai
dan hasil air DAS Cijalupang, Bandung, dengan nilai NS sebesar 0,52
(Suryani 2005). DAS Cijalupang memiliki luas sekitar 2791,70 ha dengan
dominasi lereng bergelombang hingga curam. Jenis penggunaan lahan di
DAS tersebut meliputi hutan, semak, kebun campuran, sawah, perkebunan
teh, pemukiman dan tegalan. Meskipun hasil model masih dapat diterima
berdasarkan pada nilai NS, tetapi simulasi periode bulanan menunjukkan
bahwa debit hasil simulasi dominan underestimate dibandingkan observasi.
Hal ini diduga karena masih kurang tepat dalam menentukan parameter
input model terutama untuk jenis penggunaan lahan teh dalam aplikasi
model ini. Sebenarnya database model belum menyiapkan data untuk
tanaman teh, sehingga hal tersebut diduga sebagai salah satu faktor
kurang tepatnya model dalam menggambarkan aliran, selain tentunya
karena adanya topografi yang curam di daerah penelitian.
Aplikasi model SWAT di DAS Keduang dilakukan oleh Atmaja (2012)
untuk memprediksi hidrologi dan sedimen. DAS Keduang terletak di
Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah memiliki luas sekitar 36.426, 87
ha. DAS Keduang merupakan DAS yang terletak di bagian hulu DAS
Bengawan Solo yang mempunyai peran vital bagi penduduk di sekitarnya.
Hal ini dikarenakan DAS Keduang merupakan salah satu DAS yang
memberikan kontribusi aliran terhadap air yang masuk ke waduk Gajah
Mungkur. DAS Keduang didominasi oleh lereng sangat curam (36,80%) dan
lereng datar (28,85%). DAS tersebut memiliki tipe iklim C2 yaitu memiliki
bulan basah 5-6 bulan dan bulan kering selama 3-4 bulan. Berdasarkan
Peta Tanah Semi Detil dari Balai Penelitian Kehutanan Pengelolaan DAS
Solo, DAS Keduang dikelompokkan dalam 3 ordo tanah yaitu Latosol
(34,02%), Litosol (24,81%) dan Mediteran (41,17%). Penggunaan lahan di
DAS Keduang terdiri dari sawah, kebun, tegalan, pemukiman, semak dan
hutan.
77

Hasil menunjukkan bahwa model belum terlalu baik dalam


menggambarkan hidrologi DAS Keduang dimana hasil simulasi yang
diberikan masih underestimate hampir disemua periode simulasi. Meskipun
demikian, hasil koefisien Nash-Sutcliffe menunjukkan nilai yang
memuaskan untuk DAS Keduang yaitu sebesar 0,45. Hasil simulasi model
SWAT di DAS Keduang terhadap besarnya sedimen yang dihasilkan
memberikan nilai yang rendah dibandingkan hasil pengukuran
(underestimate) yaitu sebesar 15.898,46 ton/tahun dibandingkan
6.548.642,08 ton/tahun. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa model
SWAT masih kurang tepat dalam menggambarkan sedimen DAS Keduang
secara akurat. Aplikasi model SWAT di DAS Keduang yang masih kurang
tepat dalam menggambarkan proses hidrologi dan sedimentasi yang terjadi
diduga karena 1) penetapan input model yang masih kurang tepat, 2)
model tidak memperhitungkan sedimen yang berasal dari erosi jurang dan
erosi tebing sungai, dan 3) model kurang tepat diaplikasikan pada wilayah
yang sangat curam dimana DAS Keduang didominasi oleh lereng sangat
curam (kelas lereng > 40%), 4) fragmentasi sungai yang kurang tepat
sehingga mempengaruhi hidrologi dan sedimen, dan 5) nilai trap efficiency
yang digunakan belum menggambarkan keadaan lapang
Penelitian Arifianto (2011) di DAS Ciliwung Hulu melakukan kalibrasi
dan validasi tiga periode tahun yang berbeda yang menggambarkan
pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap debit aliran sungai. Tidak
semua uji validasi yang membandingkan nilai hasil model dengan
pengukuran lapang memberikan nilai koefisien determinasi (R2) dan
koefisien Nash-Sutcliffe (perbedaan nilai model dengan pengukuran) yang
tinggi (>0,5) tapi secara keseluruhan model SWAT bisa digunakan untuk
simulasi perubahan penggunaan lahan. Berdasarkan penelitian-penelitian
tersebut, banyak parameter input yang masih memerlukan penyesuaian
(adjustment) dengan kondisi di lapang terutama di daerah tropika basah
Sementara itu, penelitian Mulyana (2012) tentang aplikasi model
SWAT di DAS Cisadane dan Gumbasa menghasilkan suatu nilai atau luas
hutan yang proposional untuk menghasilkan water yield yang paling
optimal. Dengan demikian, berdasarkan penelitian-penelitian aplikasi model
SWAT yang telah dilakukan di Indonesia, sebagian besar masih menitik
beratkan pada keluaran model berupa aliran permukaan dan debit aliran
sungai. Penelitian aplikasi model SWAT terkait keluaran berupa sedimen
masih sangat terbatas, sedangkan penelitian dengan keluaran model
konsentrasi hara dan pestisida di aliran sungai terlebih waduk belum
dilakukan.

78

1.2.

Aplikasi Model SWAT dalam Perencanaan Pengelolaan Aliran


Daerah Sungai (RPDAS)
Sesuai dengan amanah Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.60
tahun 2013 tentang Tata Cara Penyusunan dan Penetapan Rencana
Pengelolaan DAS merupakan rencana jangka panjang 15 (lima belas)
tahun yang rentang waktu rencananya disesuaikan dengan rencana
pembangunan daerah bersangkutan. Rencana tersebut bersifat strategis
dengan unit analisis DAS, yang akan dijabarkan dalam rencana jangka
menengah 5 (lima) tahun yang bersifat semi detail pada tingkat sektor di
setiap DAS. Rencana Pengelolaan DAS merupakan rencana multi pihak
yang disusun dengan pendekatan partisipatif dan diselesaikan secara
multidisiplin sehingga rencana ini akan memuat berbagai kepentingan dan
tujuan serta diintegrasikan dalam satu sistem perencanaan. Berdasarkan
konteks tersebut, masalah-masalah yang dihadapi oleh setiap
instansi/pihak diupayakan untuk diatasi bersama dengan kerangka
pencapaian tujuan bersama.
1.2.1. Aplikasi SWAT dalam Identifikasi/Perumusan Permasalahan
Biofisik DAS
Model SWAT merupakan salah satu model hidrologi yang
dapat digunakan untuk melakukan identifikasi atau perumusan
masalah biofisik suatu DAS secara spasial. Keluaran model SWAT
adalah volume aliran permukaan, aliran lateral, aliran dasar, debit
aliran sungai, erosi, produksi sedimen, konsentrasi unsur hara dan
pestisida, dan konsentrasi organisme dalam aliran air di titik
pengeluaran (outlet) pada level Sub DAS dan DAS. Selain secara
spasial di setiap sub DAS di dalam DAS, bahkan pada level HRU
(Hydrology Response Unit = unit lahan yang homogen hasil
tumpang tindih atau overlay peta tanah, kelerengan, dan
penggunaan lahan) di dalam setiap sub DAS, keluaran tersebut
dapat disimulasikan secara temporal atau dalam waktu panjang
yang tergantung pada ketersediaan data iklim dan penggunaan
lahan (land use).
Setelah model SWAT dikalibrasi dan validasi, model SWAT
dapat digunakan untuk mengidentifikasi masalah biofisik DAS baik
pada level HRU atau sub DAS, mencakup lokasi dan periode kapan
telah terjadi aliran permukaan dan erosi yang sangat tinggi hingga
di atas normal atau ambang batas. Selain itu, distribusi debit aliran
sungai kontinyu dalam jangka lama di setiap sub DAS dan DAS
dapat diidentifikasi apakah merata atau debit maksimum dan
minimum sangat jauh berbeda, bahkan dapat diidentifikasi debit
79

banjirnya. Debit tersebut akan sangat berpengaruh dan berkorelasi


positif terhadap konsentrasi sedimen, hara, dan pestisida dalam
aliran sungai. Fenomena terebut sangat berkaitan atau dipengaruhi
oleh kondisi penggunaan lahan di hulu DAS.
Pengelolaan lahan dan penggunaan lahan terutama di hulu
DAS yang tidak proporsional dan tidak rasional akan menyebabkan
indikator hidrologi atau kinerja DAS menjadi buruk seperti banjir
dan kekeringan serta pencemaran air sungai dan waduk. Lebih
jauh, permasalahan biofisik tersebut dapat ditelusuri akar
masalahnya, dan mungkin saja masalah sosial ekonomi dan budaya
yang lebih mendasari atau melandasi timbulnya masalah biofisik
tersebut secara permanen.
Apabila
permasalahan
biofisik
dan
sosial
ekonomi
kelembagaan di setiap sub DAS atau DAS telah diidentifikasi, maka
dapat dibuat rumusan pemecahan masalah dengan tepat di setiap
sub DAS atau DAS dan semestinya dapat dibuat dengan aplikasi
model SWAT. Tentunya rumusan pemecahan masalah tersebut
dibuat melalui penerapan pengelolaan lahan atau perencanaan
penggunaan lahan (land use planning) yang telah disepakati melalui
suatu forum diskusi atau Focus Group Discussion (FGD) dalam
kerangka penyusunan Rencana Pengelolaan DAS Terpadu.
1.2.2. Aplikasi SWAT untuk Penyusunan Skenario dan Perumusan
Rekomendasi Pengelolaan dan Penggunaan Lahan
Setelah model SWAT dikalibrasi dan divalidasi (aliran
permukaan, sedimen, konsentrasi hara dan pestisida dalam air
sungai atau waduk yang merupakan keluaran model memiliki pola
yang sama dengan hasil pengukuran di lapang dari suatu pola
pengelolaan dan penggunaan lahan tertentu dalam DAS), maka
dapat disimulasikan berbagai skenario pengelolaan dan penggunaan
lahan untuk mendapat keluaran model yang berkelanjutan (layak
secara ekonomi, lingkungan, dan sosial).
Skenario Penggunaan Lahan. Sebagaimana telah
dipaparkan sebelumnya, bahwa model SWAT yang telah dikalibrasi
dan validasi dapat digunakan untuk identifikasi HRU dan Sub DAS
yang terdegradasi. Dengan demikian diketahui HRU dan Sub DAS
mana saja yang memberikan kontribusi terhadap status kerusakan
DAS. DAS yang rusak tentu saja memberikan dampak yang negatif
bagi keseimbangan sumberdaya alam dan makhluk hidup di dalam
DAS. Oleh karena itu, keadaan tersebut perlu diperbaiki sehingga
tetap dapat mendukung lingkungan yang berkelanjutan. Tindakan
80

perbaikan yang nantinya akan diterapkan di lapangan dapat


disimulasikan terlebih dahulu dengan model SWAT sehingga dalam
waktu singkat dapat diketahui kemungkinan hasil yang dicapai
apabila rencana tersebut diterapkan. Simulasi yang diterapkan
tentunya terkait dengan permasalah yang ingin diselesaikan, salah
satunya yaitu simulasi peningkatan luas tutupan vegetasi akibat
pola penyelenggaran RHL sesuai dengan dokumen RTk-RHL.
Simulasi peningkatan luas hutan dilakukan dengan
menambahkan luas hutan pada hutan yang eksisting, tentunya
dengan tidak mengubah penggunaan lahan yang tidak bisa
dikonversi seperti pemukiman. Besarnya peningkatan luas hutan
harus didasarkan pada kemungkinan penerapannya di lapangan
agar rencana yang telah disusun memang dapat dilaksanakan,
bukan hanya sekedar rencana di atas kertas. Di luar dan di dalam
kawasan hutan khususnya pada hutan produksi, sedangkan pada
hutan lindung simulasi konservasi tanah hanya sebatas pada
pembuatan rorak, dan teras gulud. Simulasi teknik konservasi tanah
dan air (KTA) di terapkan di dalam dan diluar kawasan hutan.
Teknik KTA yang di pilih selain harus sesuai dengan kondisi
karakteristik HRU juga mengacu pada rekomendasi dokumen RTkRHL yang telah di tetapkan.
Simulasi tata ruang DAS dilakukan dengan mensimulasi
RTRW yang telah disusun baik oleh Bappeda dan menerapkan
skenario program rehabilitasi hutan dan lahan yang tertuang di
dalam dokumen RTk-RHL DAS. Dengan demikian dapat diketahui
bagaimana dampak implementasi rencana makro tata ruang
wilayah dan dampak penanganan degradasi lahan yang tertuang
dalam dokumen RTk-RHL terhadap respon hidrologi DAS. Simulasi
SWAT terhadap dokumen RTk-RHL juga dapat di jadikan analisis
monitoring dan evaluasi terhadap pencapaian indikator kinerja RHL
yang telah di tetapkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan. Skenario lain yang dapat disimulasikan adalah
penggunaan lahan yang direncanakan sesuai dengan hasil FGD
penyusunan Rencana Pengelolaan DAS. Dengan demikian,
pengelolaan dan penggunaan lahan yang berkelanjutan suatu DAS
dapat direkomendasikan dalam penyusunan Rencana Pengelolaan
DAS.
Setelah semua skenario tersebut disimulasikan, maka hasil
keluaran dari model SWAT untuk setiap simulasi dievaluasi
berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. 61 tahun 2014
tentang Monitoring dan Evaluasi Pengelolaan DAS, baik untuk
81

parameter lahan maupun tata air. Skenario dengan hasil evaluai


terbaik dapat dijadikan rekomendasi untuk pengelolaan DAS yang
nantinya akan diterapkan di lapangan dan hendaknya sejalan
dengan RPDAS. Pengelolaan dan penggunaan lahan yang
direkomendasikan diharapkan secara aktual akan menghasilkan
debit aliran sungai yang merata sepanjang tahun, konsentrasi
sedimen dalam aliran sungai yang sama dengan erosi yang dapat
ditoleransikan dari lahan, serta konsentrasi hara dan pestisida
dalam aliran sungai di bawah ambang batas.
Rekomendasi Penggunaan dan Pengelolaan Lahan.
Berdasarkan rencana penggunaan dan pengelolaan lahan yang
telah disimulasikan dalam berbagai skenario sebelumnya, maka
dapat diketahui bagaimana gambaran keadaan hidrologi suatu DAS
apabila rencana tersebut diterapkan. Dari berbagai skenario yang
disimulasikan, skenario mana yang nantinya akan direkomendasikan
untuk dilaksanakan tergantung pada tingkat keefektifan
penerapannya di lapangan baik dari segi kemungkinan aplikasi
skenario tersebut maupun dari aspek ekonomi dan lingkungan. Oleh
karena itu, pada saat menyusun skenario, hal-hal tersebut juga
perlu diperhatikan sehingga pada saat memberikan rekomendasi,
stakeholder terkait tidak perlu mempertimbangkan lagi aspek
tersebut.
1.3. Integrasi Model SWAT dalam Perencanaan Pengelolaan DAS
Sesuai dengan muatan yang ada dalam Peraturan Menteri Kehutanan
nomor P.60 tahun 2013 tentang Tata Cara Penyusunan dan Penetapan
Rencana Pengelolaan DAS, maka secara garis besar proses penyusunan
rencana tersebut disajikan pada Gambar 2.1. Proses penyusunan rencana
tersebut dimulai dengan mengidentifikasi isu-isu pokok yang ada di dalam
DAS dan dapat dibangun dari hasil monitoring dan evaluasi pengelolaan
DAS maupun dari hasil Focus Group Discussion (FGD). Berdasarkan isu-isu
pokok tersebut kemudian diidentifikasi dan dianalisis masalah yang muncul
di dalam pengelolaan DAS. Apabila identifikasi dan analisisnya tidak
dilakukan secara komprehensif, maka tidak dapat ditemukan akar
masalahnya. Selanjutnya, berdasarkan masalah yang telah teridentifikasi
dan dianalisis, dirumuskan rencana pengelolaan DAS dilengkapi dengan
kriteria dan indikator keberhasilan pengelolaan DAS. Jadi kata kunci
keberhasilan banyak ditentukan oleh penggalian akar masalahnya.

82

Gambar 2.1. Proses Penyusunan Rencana Pengelolaan DAS Terpadu


(Permenhut No. P. 60 tahun 2013)
Integrasi aplikasi model SWAT di dalam tahapan penyusunan Rencana
Pengelolaan DAS untuk dokumen Rencana Pengelolaan DAS yang telah
tersusun dan diterbitkan keputusannya, maka alur aplikasi model SWAT
diintegrasikan seperti dimuat dalam Gambar 2.2. Pada diagram alir Gambar
2.2 terlihat bahwa model SWAT digunakan untuk mengidentifikasi masalah
biofisik di dalam DAS seperti telah diuraikan sebelumnya. Persoalanpersoalan biofisik di sub DAS atau di bagian wilayah dalam DAS dapat
diketahui/diidentifikasi dari hasil running model SWAT. Berdasarkan
masalah biofisik yang teridentifikasi, selanjutnya disusun rencana
pengelolaan lahan dan penggunaan lahan untuk jangka panjang sekaligus
merevisi Rencana Pengelolaan DAS yang telah tersusun berdasarkan
pelibatan dan kesepakatan stakeholder yang tercapai dari kegiatan FGD
disertai pertimbangan-pertimbangan kebijakan, peraturan perundangan,
dan analisis peran. Revisi terutama berupa penyempurnaan rencana
penggunaan dan pengelolaan lahan tahunan khusus di sub DAS atau
wilayah dalam DAS yang biofisiknya bermasalah. Kemudian model SWAT
dijalankan lagi sesuai dengan periode monitoring dan evaluasi pengelolaan
DAS setiap tahun untuk mengetahui ketercapaian tujuan pengelolaan DAS.

83

Apabila dokumen Rencana Pengelolaan DAS belum tersusun atau


rencana pengelolaan DAS terpadu baru akan disusun, maka diagram alir
integrasi model SWAT dalam penyusunan rencana tersebut disajikan pada
Gambar 2.1. Secara prinsip tidak ada perbedaan dengan Gambar 2.2, tetapi
waktu penyusunan rencana penggunaan dan pengelolaan lahan bersamaan
dengan tahapan penyusunan rencana DAS setelah melalui diskusi dengan
stakeholder serta pertimbangan kebijakan dan peraturan perundangan
yang berlaku, disamping analisis peran masing-masing anggota
stakeholder. Dengan demikian, prinsip dari integrasi model SWAT dalam
penyusunan Rencana Pengelolaan DAS adalah penggunaan dan
pengelolaan lahan sesuai dengan permasalahan biofisik yang ada.
Sementara itu, agar model SWAT tetap bisa diintegrasikan maka masalah
non biofisik seperti sosial, ekonomi, budaya, dan politik harus bisa
dterjemahkan ke dalam skenario perubahan penggunaan dan pengelolaan
lahan. Tentunya, setiap anggota stakeholder memerankan tugas pokok dan
fungsinya masing-masing dengan komitmen sepenuhnya demi tercapainya
tujuan pengelolaan DAS.
Lebih jauh, implementasi pengelolaan lahan dalam model SWAT untuk
meningkatkan daya dukung DAS dalam kerangka pengelolaan DAS selama
15 tahun diskemakan dalam Gambar 2.2. Simulasi implementasi
pengelolaan lahan dalam model SWAT untuk 15 tahun ke depan dilakukan
untuk melihat peningkatan atau penurunan terdahap daya dukung DAS
melalui monitoring dan evaluasi hasil pengukuran dan pengamatan lapang
sebagai validasi simulasi model SWAT tersebut. Tentunya, peningkatan
daya dukung DAS sangat diharapkan dapat dicapai sesuai dengan tujuan
pengelolaan DAS terpadu yang telah disusun sebelumnya. Dengan
demikian ketertarikan dan keinginan (interest) setiap anggota stakeholder
dapat terpenuhi serta pemanfaatan dan penggunaan lahan dapat optimum.

84

Dokumen R P DAS T
(PP37/2012 & Permenhut P.39/2009)
Karakteristik Biofisik
DAS untuk R P DAS T

Input Data SWAT

Running Model SWAT


(Kalibrasi & Validasi)

FGD,
pertimbangan
peraturan &
kebijakan
terkait di DAS

Identifikasi Masalah Biofisik


di SubDAS (spasial) &
temporal

Indentifikasi & Analisis Akar


Masalah di SubDAS & DAS

Rekomendasi Penggunaan
Lahan dan Pengelolaan
Lahan di SubDAS & DAS
(spasial & temporal)

Membangun Skenario Penggunaan


Lahan dan Pengelolaan Lahan di
SubDAS & DAS (spasial & temporal)

R P DAS T Revised
(PP37/2012 & Permenhut
P.39/2009)

Running Model SWAT Hasil


Rekomendasi

Aplikasi & Monev R P DAS T Revised


(PP37/2012, Permenhut P.39/2009,
Permenhut No. 61/2014)

Tidak

Tujuan Pengelolaan DAS


Terpadu Tercapai
Ya

Selesai

Gambar 2.2. Integrasi Model SWAT dalam Review Rencana Pengelolaan DAS
Terpadu

85

Karakteristik Biofisik DAS


untuk R P DAS T

Input Data SWAT

Running Model
SWAT (Kalibrasi & Validasi)

Identifikasi Masalah Biofisik di


SubDAS (spasial) & temporal

Indentifikasi & Analisis Akar


Masalah di SubDAS & DAS

FGD, pertimbangan
peraturan &
Kebijakan
terkait di DAS
Rekomendasi Penggunaan
Lahan dan Pengelolaan Lahan di
SubDAS & DAS (spasial &
temporal)

Membangun Skenario Penggunaan


Lahan dan Pengelolaan Lahan di
SubDAS & DAS (spasial & temporal)

Dokumen R P DAS T
(PP37/2012 & Permenhut
P.39/2009)

Running Model SWAT Hasil


Rekomendasi

Aplikasi & Monev


R P DAS T (PP37/2012, Permenhut
P.39/2009, Permenhut No. 61/2014)

Tidak

Tujuan Pengelolaan DAS


Terpadu Tercapai
Ya

Selesai

Gambar 2.3. Integrasi Model SWAT dalam Penyusunan Rencana Pengelolaan


DAS Terpadu

86

Rencana Pengelolaan Daerah


Aliran Sungai Terpadu

Peningkatan Daya Dukung

Simulasi 15 tahun ke depan

Rencana Kegiatan per tahun

Tahun-1

Tahun-2

Tahun-3

Tahun-4

Tahun-5

Tahun-6

Tahun-7

Tahun-8

Tahun-8

Tahun-10

Tahun-11

Tahun-12

Tahun-13

Tahun-14

Tahun-15

Implementasi Pengelolaan
L h

Gambar 2.4. Implementasi Pengelolaan Lahan melalui Model SWAT dalam


Rencana Pengelolaan DAS Terpadu

87

Você também pode gostar