Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
KEMENTERIAN KEHUTANAN
DIREKTORAT JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAS DAN PERHUTANAN SOSIAL
JAKARTA
Menimbang : bahwa sebagai tindak lanjut ketentuan BAB II, BAB III dan
BAB IV Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012
tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai perlu
menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Bina Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial tentang
Petunjuk Teknis Pemanfaatan Model Hidrologi Dalam
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 19 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
2. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 472);
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5587);
4. Undang
i
ii
DAS
Pasal 2
Petunjuk Teknis Pemanfaatan Model Hidrologi Dalam Pengelolaan DAS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dijadikan acuan dalam melaksanakan
kegiatan perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi pengelolaan daerah
aliran sungai.
Pasal 3
Petunjuk Teknis ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal
g l : 20 Fe
Februari 2015
DIREKT
DIRE
TUR
R JEN
JJENDERAL,
E DERAL,
DIREKTUR
Dr. Ir. HI
H
LMAN N
NUG
U ROHO,
UG
ROHO M.P.
HILMAN
NUGROHO,
NIP. 19
9590615
90615 1
1986
03 1 004
19590615
198603
Tembusan:
1. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia di Jakarta;
2. Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan di Jakarta;
3. Inspektur Jenderal Kementerian Kehutanan di Jakarta;
4. Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan di Jakarta;
5. Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam di Jakarta;
6. Direktur Jenderal Planologi Kehutanan di Jakarta;
7. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan di Jakarta;
8. Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Kehutanan
di Jakarta;
9. Deputi Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim,
Kementerian Lingkungan Hidup di Jakarta;
10.Kepala Dinas Kehutanan Provinsi di Seluruh Indonesia;
11.Kepala Balai Pengelolaan DAS di Seluruh Indonesia.
iii
LAMPIRAN
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAS DAN PERHUTANAN
SOSIAL
NOMOR: P. 2/V-DAS/2015
TENTANG
PETUNJUK TEKNIS PEMANFAATAN MODEL HIDROLOGI DALAM PENGELOLAAN DAS
BAB I. PENDAHULUAN
DAS akan melebihi kapasitas tampung sungai atau tidak sehingga genangan
atau banjir untuk dapat diperkirakan.
1.4. Beberapa Aplikasi SWAT
Model SWAT telah diaplikasikan secara luas di berbagai negara
terutama terkait dengan analisis hidrologi. Aplikasi tersebut antara lain
meliputi :
1. Kajian aliran permukaan, erosi dan sedimen.
2. Simulasi penggunaan dan pengelolaan lahan dalam kaitannya dengan
hasil air (kuantitas dan kualitas), hasil sedimen serta transportasi unsur
hara dan pestisida.
3. Simulasi distribusi air tanah dan air bawah tanah.
4. Perkiraan air tanah, recharge, tile-flow, dan tingkat air bawah tanah.
5. Penilaian kualitas air secara komprehensif.
6. Kajian pestisida dan pergerakannya dalam air.
7. Penilaian dampak perubahan iklim terhadap hidrologi dan polutan.
1.5. Pengertian
1. Daerah Aliran Sungai adalah suatu wilayah daratan yang merupakan
kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya yang
berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal
dari curah hujan ke danau atau laut secara alami, yang batas di darat
merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah
pengairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.
2. Pengelolaan DAS adalah upaya manusia dalam mengendalikan
hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dengan manusia di
dalam DAS dan segala aktifitasnya, dengan tujuan membina kelestarian
dan keserasian ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan sumberdaya
alam bagi manusia secara berkelanjutan.
3. Rencana Pengelolaan DAS terpadu adalah konsep pembangunan
yang mengakomodasikan berbagai peraturan perundangan-undangan
yang berlaku dan dijabarkan secara menyeluruh dan terpadu dalam
suatu rencana berjangka pendek, menengah maupun panjang yang
memuat perumusan masalah spesifik di dalam DAS, sasaran dan tujuan
pengelolaan, arahan kegiatan dalam pemanfaatan, peningkatan dan
pelestarian sumberdaya alam air, tanah dan vegetasi, pengembangan
sumberdaya manusia, arahan model pengelolaan DAS, serta sistem
monitoring dan evaluasi kegiatan pengelolaan DAS;
4. Model adalah penyederhanaan sistem yang digunakan untuk
menggambarkan sistem kehidupan nyata (real world) dengan suatu
3
14. Debit Air (discharge, Q) adalah volume air (cairan) yang mengalir
melalui suatu penampang melintang sungai per satuan waktu, dalam
satuan m3/detik.
15. Volume Debit (Q) adalah total volume aliran (limpasan) yang keluar
dari daerah tangkapan air atau DAS/Sub DAS, dalam satuan mm atau
m3.
16. Debit Puncak atau Debit Banjir (qp, Qmaks) adalah besarnya
volume air (cairan) maksimum (terbesar) yang mengalir melalui suatu
penampang melintang suatu sungai per satuan waktu, dalam satuan
m3/detik.
17. Debit Minimum (Qmin) adalah besarnya volume air (cairan) minimum
(terendah) yang mengalir melalui suatu penampang melintang suatu
sungai per satuan waktu, dalam satuan m3/detik.
18. Aliran/Limpasan Permukaan (surface runoff) adalah bagian
limpasan yang melintas di atas permukaan tanah menuju saluran sungai.
19. Aliran/Limpasan Bawah Permukaan (subsurface runoff) adalah
bagian dari limpasan permukaan yang disebabkan oleh bagian air hujan
yang terinfiltrasi/meresap ke dalam tanah dan bergerak secara lateral
melalui horizon-horizon tanah bagian atas menuju sungai.
20. Aliran/Limpasan Permukaan Langsung (direct runoff) adalah
bagian limpasan permukaan memasuki sungai secara langsung setelah
curah hujan. Limpasan permukaan langsung merupakan sinonim dengan
hujan efektif (efektif rainfall).
21. Hasil Air (water yield) adalah total limpasan dari suatu daerah
pengaliran air (drainage basin) yang disalurkan melalui saluran air
permukaan dan akuifer (reservoir air tanah).
22. Hujan Lebih (rainfall excess) adalah kontribusi curah hujan terhadap
limpasan permukaan langsung.
23. Infiltrasi adalah proses masuknya air ke dalam permukaan tanah
dengan gaya gerak gravitasi dan kapiler dalam suatu aliran.
24. Laju infiltrasi aktual adalah laju air berpenetrasi ke permukaan tanah
pada setiap waktu dengan kombinasi gaya-gaya gravitasi, viskositas, dan
kapilaritas.
25. Kapasitas infiltrasi adalah laju maksimum presipitasi yang dapat
diserap oleh tanah pada kondisi tertentu.
26. Sistem adalah sekumpulan urutan antar hubungan dari unsur-unsur
yang dialihragamkan (transform), dalam referensi waktu yang diberikan,
dari unsur masukan yang terukur menjadi unsur keluaran yang terukur.
27. Model Matematik adalah sebuah sajian sistem dalam rangkaian
persamaan, dan kadang-kadang dengan ungkapan-ungkapan yang
menyajikan hubungan antar variabel dan parameter.
5
Karakteristik Saluran
0,025
0,035
0,075
0,016 - 0,033
0,023 - 0,05
0,04 - 0,14
0,05
0,1
0,025 - 0,065
0,05 - 0,15
Hal ini sangat diperlukan dalam rangka memastikan bahwa hasil bangkitan
model tidak terlalu jauh dari kenyataan di lapangan.
Tabel 2. Konduktivitas Hidrolik Efektif/CH_K(2) di Saluran Utama
Kelompok Material
Dasar
Karakteristik Material
Dasar
Kecepatan kehilangan
sangat cepat
Kecepatan kehilangan
cepat
Kecepatan kehilangan
sedang
No.
3
4
Kecepatan kehilangan
rendah
Kecepatan kehilangan
sangat rendah
Kecepatan
Kehilangan
(mm/jam)
> 127
51 -127
25 76
6 25
0,025 2,5
CH_COV1
Saluran yang tidak erosive
CH_COV2
Ada vegetasi penutup saluran
sehingga saluran terlindungi dari
erosi
Tidak ada vegetasi penutup di
dalam saluran
CH_COV1
1,00
1,97
5,40
19,20
Vegetasi di
Saluran
Tidak ada vegetasi
Rumput
Pohon kecil
Pohon besar
CH_COV2
1,00
1,97
5,40
19,20
Informasi lainnya yang perlu disiapkan yaitu metode apa yang akan
digunakan untuk menghitung aliran permukaan, metode penelusuran aliran
sungai, faktor kompensasi evaporasi tanah, faktor kompensasi pengambilan
air tanah oleh tanaman, dan waktu tenggang terjadinya aliran permukaan
(SURLAG).
10
2.3. Iklim
Data iklim yang menjadi input dalam model SWAT adalah data harian
yang terdiri dari curah hujan (mm), temperatur udara maksimum dan
minimum (oC), radiasi sinar matahari (MJ/m2/hari), kelembaban udara (%)
dan kecepatan angin (m/dtk), kesemuanya dalam periode harian. Data
harian yang harus ada adalah curah hujan dan temperatur maksimum dan
minimum harian. Hal ini dikarenakan ketiga nilai tersebut sangat
berpengaruh pada debit yang dihasilkan model, tetapi bukan berarti
mengesampingkan pentingnya parameter iklim yang lain.
Apabila data telah terkumpul, tahap selanjutnya adalah menyusun
data-data tersebut ke dalam format yang diminta model SWAT, baik itu
dalam format teks ataupun database file, tergantung pada versi interface
GIS yang digunakan. Selain itu, data-data tersebut akan digunakan untuk
membangun pembangkit iklim (weather generator) (Tabel 5) yang berfungsi
untuk mengisi data-data yang hilang. Data pembangkit iklim diinput ke
dalam model melalui menu Edit SWAT Input. Informasi lain yang
dibutuhkan adalah daftar stasiun iklim yang di dalamnya terdiri dari nama
stasiun, titik koordinat dan elevasi setiap stasiun yang ada di lokasi kajian.
Contoh format data untuk data curah hujan dan temperatur disajikan pada
Gambar 1 dan Gambar 2.
Tabel 5. Data pada Pembangkit Iklim
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Data
TMPMX
TMPMN
TMPSTDMX
TMPSTDMN
PCPMM
PCPSTD
PCPSKW
PR_W1
PR_W2
PCPD
RAINHHMAX
12
13
14
SOLARAV
DEWPT
WNDAV
Definisi
Rata-Rata temperatur udara maksimum harian setiap bulan (C)
Rata-Rata temperatur udara minimum harian setiap bulan (C)
Standar deviasi temperatur udara maksimum harian setiap bulan
Standar deviasi temperatur udara maksimum harian setiap bulan
PCPMM: Rata rata curah hujan bulanan (mm)
Standar deviasi curah hujan harian setiap bulannya
PCPSKW: koefisien skewness curah hujan harian setiap bulan
Probabilitas hari basah yang mengikuti hari kering setiap bulannya
Probabilitas hari basah yang mengikui hari basah setiap bulannya
Rata-rata jumlah hari hujan setiap bulan
Curah hujan maksimum 30 menit pada periode awal pencatatan
setiap bulannya
Rata-rata radiasi matahari harian setiap bulannya (MJ/m2/day)
Rata-rata temperatur pada titik embun setiap bulannya (C)
Rata-rata kecepatan angin harian setiap bulannya (m/s)
11
(a)
(b)
Gambar 1. Data Curah Hujan (a) dan Daftar Stasiun Curah Hujan (b)
(a)
(b)
Gambar 2. Data Temperatur (a) dan Daftar Stasiun Temperatur (b)
Penyiapan data iklim juga dapat disesuaikan dengan metode prediksi
evapotranspirasi potensial yang akan dipilih pada saat simulasi
dijalankan (Tabel 6). Model SWAT menyediakan tiga model prediksi
evapotranspirasi potensial yaitu metode Penman Monteith, metode
Priestley-Taylor dan Metode Hargreaves.
Tabel 6. Data Iklim yang dibutuhkan berdasarkan metode Evapotranspirasi
No.
1.
2.
3.
Metode
Penman
Monteith
Priestley-Tay
Metode
Hargreaves
Temperatur
Maksimum
Temperatur
Minimum
12
Data
Kelembaban
Relatif
Radiasi
Matahari
Kecepatan
Angin
2.4. Tanah
Informasi tanah yang dibutuhkan model dibagi menjadi informasi
umum untuk setiap jenis tanah dan data untuk setiap lapisan tanah pada
masing-masing jenis tanah. Seluruh jenis data tersebut beserta metode
yang digunakan untuk memperoleh data disajikan secara ringkas pada Tabel
7.
Informasi umum dan data per lapisan tanah disiapkan pada
format Microsoft Database Access atau pengguna dapat langsung
menginput nilai-nilai tersebut ke dalam ArcSWAT. Selain itu, perlu
juga disiapkan peta spasialnya dimana atributnya hanya terdiri dari
identitas (Value) dan nama tanah (Name) saja. Setiap ID dan nama
tanah akan terhubung secara otomatis dengan database acces pada
saat pengguna menjalankan model SWAT.
Tabel 7. Data Input Tanah
No.
Data
Informasi Umum setiap Jenis Tanah
1.
Nama tanah
2.
Jumlah lapisan
3.
Kelompok hidrologi tanah
4.
5.
Sumber Data
Peta Tanah
Pengamatan profil tanah
Ditentukan berdasarkan informasi tekstur
atau laju infiltrasi minimum
Pengamatan profil tanah
dimana SALB adalah nilai albedo tanah dan ORGMAT adalah persentase
bahan organik. Konduktivitas hidrolik jenuh diukur di lapangan pada setiap
satuan tanah terpilih. Apabila tidak memungkinkan untuk dilakukan
pengukuran nilai tersebut, maka nilai tersebut dapat didekati dengan data
permeabilitas. Erodibilitas tanah merupakan fungsi dari struktur, bahan
organik, dan permeabilitas. Adapun persamaannya yaitu:
dimana K adalah erodibilitas tanah, M adalah parameter ukuran partikel
(%pasir sangat halus x (100 - %liat)), a adalah bahan organik (%), b adalah
kode struktur tanah (Tabel 8) dan c adalah kelas permeabilitas tanah
(cm/jam) (Tabel 9). Kelompok hidrologi tanah ditentukan berdasarkan
informasi tekstur tanah (Tabel 10) ataupun laju infiltrasi minimum (Tabel
11).
Tabel 8. Kode Struktur Tanah
Deskripsi Struktur
Granular sangat halus
Granular halus
Granular sedang atau kasar
Bersudut, datar, berbentuk prisma, atau masiv
Kode Struktur
1
2
3
4
Deskripsi
Cepat
Sedang sampai cepat
Sedang
Lambat sampai sedang
Lambat
Sangat lambat
14
Kode Struktur
1
2
3
4
5
6
Keterangan
A
B
C
D
8 12
48
14
01
15
semua nilai default tersebut dapat digantikan dengan nilai yang diukur di
lapangan.
Beberapa parameter penting yang perlu diidentifikasi sesuai dengan
kondisi daerah studi yaitu nilai bilangan kurva/curve number (CN2),
koefisien kekasaran Manning untuk aliran permukaan/overland flow (OV_N),
faktor kompensasi evaporasi tanah (ESCO), faktor kompensasi pengambilan
air tanah oleh tanaman (EPCO), dan faktor tindakan konservasi tanah dan
air. Penentuan bilangan kurva dilakukan setelah pengguna menentukan
padanan nama untuk setiap tutupan lahan, kelompok hidrologi tanah dan
kandungan kelembaban tanah awal (Antecedent Moisture Condition/AMC).
Kandungan kelembaban tanah awal disajikan pada Tabel 12 dan
membutuhkan data hujan harian untuk menentukannya.
Langkah selanjutnya yaitu menentukan bilangan kurva untuk masingmasing jenis tutupan lahan yang ada di daerah studi berdasarkan Tabel 13.
Contoh penentuan yaitu: jenis tutupan lahan hutan dalam keadaan baik
dengan kelompok hidrologi tanah C dan AMC II maka bilangan kurvanya
adalah 70.
Tabel 12. Kandungan Kelembaban Tanah Awal (AMC)
Kondisi
Deskripsi Umum
II
Keadaan rata-rata
III
Musim
Tumbuh
< 13
< 35
13 28
35 53
> 28
> 53
Tanaman
dalam baris
Padipadian/bijibijian kecil
Leguminosa
ditanam rapat
atau pergiliran
tanaman
Kelompok Hidrologi
Tanah
A
B
C
D
77
86
91
94
Buruk
76
85
90
93
Baik
Buruk
Baik
Buruk
Baik
Buruk
Baik
Buruk
Baik
Buruk
Baik
Buruk
Baik
Buruk
Baik
Buruk
Baik
Buruk
Baik
Buruk
Baik
Buruk
Baik
Buruk
Baik
Buruk
Baik
Buruk
Baik
Buruk
Baik
74
72
67
71
64
70
65
69
64
66
62
65
61
65
63
64
60
63
61
62
60
61
59
60
58
66
58
64
55
63
51
83
81
78
80
75
79
75
78
74
74
71
73
70
76
75
75
72
74
73
73
72
72
70
71
69
77
72
75
69
73
67
88
88
85
87
82
84
82
83
81
80
78
79
77
84
83
83
80
82
81
81
80
79
78
78
77
85
81
83
78
80
76
90
91
89
90
86
88
86
87
85
82
81
81
80
88
87
86
84
85
84
84
83
82
81
81
80
89
85
85
83
83
80
Perlakuan atau
Praktek Pengelolaan
Kondisi
Hidrologi
*penutupan oleh residu hanya diaplikasikan apabila jumlah residu minimal 5% pada
permukaan tanah, sepanjang tahun.
17
Buruk: penutup tanah < 50% atau dipanen seluruhnya tanpa menyisakan
mulsa; Sedang: penutup tanah 50 75% dan tidak dipanen secara berlebih;
Baik: penutup tanah > 75%, dipanen pada saat tertentu saja
Buruk: penutup tanah < 50%; Sedang: penutup tanah 50 75%; Baik:
penutup tanah > 75%
Buruk: adanya serasah, pohon-pohon kecil, dan rumput yang rusak karena
panen berlebih atau pembakaran regular; Sedang: pohon-pohon terbakar, dan
beberapa serasah hutan menutupi tanah; Baik: pohon dilindungi dari
pemanenan dan serasah dan rumput menutupi tanah dengan baik.
18
Kelompok Hidrologi
Tanah
Tutupan
Kondisi
Hidrologi
68
79
86
89
Sedang
Baik
49
39
69
61
79
74
84
80
98
98
98
98
83
89
92
93
76
72
85
82
89
87
91
89
85 %
72 %
89
81
92
88
94
91
95
93
65 %
38 %
30%
25 %
20 %
12 %
77
61
57
54
51
46
85
75
72
70
68
65
90
83
81
80
79
77
92
87
86
85
84
82
77
86
91
94
Pemukiman
< 0,05 ha
0,05 0,10 ha
0,10 0,13 ha
0,13 0,20 ha
0,20 0,40 ha
0,40 0,81
Daerah Urban yang terbangun
Newly graded areas (tidak ada
vegetasi)
Buruk
Daerah Urban
Komersial dan bisnis
Industri
Rata-rata
daerah
terbangun
19
flow
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Nilai
Tengah
0,010
0,090
0,190
0,090
Kisaran
0,008
0,060
0,160
0,060
0,012
0,120
0,220
0,120
0,130
0,100 0,160
0,400
0,070
0,120
0,300
0,600
0,150
0,300
0,040
0,070
0,170
0,100
0,500
0,100
0,174
0,470
0,200
PUSLE
Panjang Lereng
Maksimum (m)
0,60
122
0,50
91
0,50
61
0,60
37
0,70
24
0,80
18
0,90
15
Sumber: Wischmeier and Smith 1978 dalam Neitsch et al., 2011
Tabel 16. Nilai PUSLE untuk Penerapan Strip Tanaman dan Kontur
Kemiringan
Lereng
(%)
12
35
68
9 12
13 16
17 20
21 - 25
PUSLE
B
Lebar
Strip
Panjang
Lereng
Maksimum
0,30
0,25
0,25
0,30
0,35
0,40
0,45
0,45
0,38
0,38
0,45
0,52
0,60
0,68
0,60
0,50
0,50
0,60
0,70
0,80
0,90
40
30
30
24
24
18
15
244
183
122
73
49
37
30
20
21
22
2. Pada jendela Project Setup pilih Project Directory dan arahkan ke folder Ciliwung
yang telah dibuat sebelumnya, lalu klik OK.
23
3. Setelah selesai melakukan pengaturan untuk projek yang akan dijalankan, maka
pengguna dapat mempelajari struktur projek tersebut dengan membuka folder
Ciliwung. Struktur projek terdiri dari:
a. Ciliwung.mxd - file projek ArcSWAT yang menyimpan
sistem ArcGIS sehingga dapat dimulai ulang dengan
peta yang sama.
b. Ciliwung.mdb - file konfigurasi ArcSWAT. Terdiri dari
sub-sub file pilihan tertentu terkait dengan input model.
c. SWAT2012.mdb - database projek awal
d. RasterStore.mdb file penyimpan data atribut peta
spasial yang dihasilkan selama menjalankan program.
e. Scenarios - subfolder yang berisi data input dan ouput
hasil menjalankan model SWAT.
f. Watershed - subfolder yang berisi input peta-peta,
dan peta perantara yang akan dihasilkan selama menjalankan model SWAT.
Catatan: jika ingin menghapus projek, cukup hapus folder projek saja.
Persiapan Data Input SWAT
24
2. Pangil data DEM Ciliwung, klik lambang folder pada DEM Setup sehingga
muncul jendela Open DEM, pilih Load from Disk lalu arahkan pada lokasi
tempat menyimpan data DEM.
3. Setelah data DEM muncul di layar, menu DEM Projection Setup akan aktif, klik
iconnya dan isi Z unit dengan meter.
4. Kemudian klik lambang folder pada pilihan Mask untuk memasukkan Mask
Ciliwung yang berfungsi untuk mendetilkan daerah DAS yang akan dikaji. Mask
yang digunakan dapat berupa Peta Batas DAS atau membuat Mask secara
manual. Pilih Load from Disk dan klik OK untuk memasukkan Peta Batas DAS
sebagai Mask, lalu klik Add.
25
NB: Jika Anda punya peta sungai yang baik untuk suatu DAS, anda dapat
menggunakan pilihan Burn-In. Tools ini juga digunakan untuk memperbaiki
keakuratan hasil deliniasi jaringan sungai.
5. Kemudian Klik flow direction and acculumation.
26
7. Langkah selanjutnya adalah menentukan titik outlet, bisa langsung memilih yang
sudah dihasilkan model ataupun membuat titik outlet baru sesuai dengan
koordinat SPAS yang ada di lapangan. Apabila ingin membuat titik outlet baru
maka pada menu edit manually, klik add point, lalu buat titik sesuai instruksi
pada jaringan sungai yang telah ditentukan. Setelah titik dibuat, maka langkah
selanjutnya adalah memilih titik outlet tersebut sebagai outlet utama DAS. Klik
menu Whole watershed outlet lalu pilih titik ooutlet yang telah dibuat
sebelumnya.
8. Kemudian klik Delineate watershed untuk membatasi DAS yang telah dipilih
outletnya, sehingga terbentuklah batas DAS.
27
NB: Tampilan sebelah kanan menunjukkan DAS yang telah dibuat batasnya. Peta
tersebut menunjukkan jaringan sungai dan outlet sungai. Perhatikan bahwa
DAS telah dibagi menjadi beberapa SubDAS.
28
kemudian akan muncul jendela SWAT Land Use, lalu pilih crop (merupakan
database land use), klik OK dan pilih FRST. Jika semua data land use telah
didefinisikan maka klik reclassify. Cara lainnya untuk mendefinisikan setiap kelas
penggunaan lahan yaitu menggunakan table LookUp Table yang harus disiapkan
sebelum menjalankan model.
3. Kemudian lanjutkan dengan Soil Data dan load soil dataset(s) from disk, arahkan
ke folder tempat menyimpan data dan pilih peta tanah yang akan digunakan, sehingga
akan keluar jendela info, kemudian klik Ok. Kemudian pilih menu Choose grid field,
untuk menentukan informasi mana yang akan digunakan dalam pendefinisian data
tanah, pilih value. Kemudian akan muncul kolom tambahan (Name) tempat pengguna
mendefinisikan setiap tanah sesuai dengan value-nya. Caranya yaitu mengklik dua kali
salah satu baris pada kolom yang kosong kemudian akan muncul jendela Soil
Database Options dan pilih User Soil, kemudian pilih jenis tanahnya. Jika semua
29
data tanah telah didefinisikan maka klik reclassify. Dapat juga menggunakan menu
LookUp Table untuk mendefinisikan setiap jenis tanah.
Catatan: jika pada tahap ini Anda menyadari bahwa anda telah melupakan
menambahkan data penggunaan lahan dan tanah pada database projek, tutup kembali
jendela HRU Analysis, tambahkan dulu kedua data tersebut ke database projek dan
mulai kembali pendefinisian HRU melalui jendela awal ArcSWAT.
4. Kemudian tentukan data lereng dan pada menu Slope discretization pilih multiple
slope, dan pilih 5 kelas pada number of slope classes. Dan kemudian tentukan
batas kelas slopenya dengan menggunakan: 0-8%, 8-15%, 15-25%, 25-40% dan
>40%, klik add setelah mengetik masing-masing kelas lereng tersebut dan kemudian
klik reclassify.
30
5. Setelah langkah ini selesai kemudian klik overlay pada tampilan jendela.
6. Lalu klik menu HRU definition pada menu HRU Analysis sehingga muncul jendela
HRU Definition. Klik pilihan Multiple HRUs dan threshold percentage.
Kemudian tentukan nilai persentasenya, pada projek ini digunakan 10% untuk
landuse, 10% untuk tanah, dan 5% untuk slope. Dan kemudian klik Create HRUs.
31
7. Kemudian pilih kembali menu HRU analysis dan pilih HRU analysis report,
sehingga muncul jendela HRU Analysis Report.
32
33
2. Setelah memasukkan data iklim, kemudian pilih menu Write SWAT Input Tables,
dan akan keluar jendela Write SWAT Database Tables dan kemudian klik Select
All pada kiri bawah jendela, dan klik create tables.
3. Setelah tampilan jendela done building selected tables keluar, klik ok.
Menjalankan SWAT
1. Pilih menu SWAT Simulation pada ArcSWAT dan pilih Run SWAT, kemudian
tentukan berapa tahun data yang akan disimulasi. Pada projek ini simulasi dilakukan
selama 7 tahun yaitu dari 1/1/2003 sampai 1/1/2010. Kemudian pilih printout
setting untuk menentukan periode simulasi apakah harian, bulanan, atau tahunan.
34
Pada projek ini dipilih daily. Jangan lupa untuk memilih spesifikasi PC yang digunakan,
apakah 32 byte atau 64 byte. Dan kemudian klik Setup SWAT Run, dan klik OK.
2. Kemudian pilih Run SWAT dan akan keluar tampilan jendela running model,
kemudian dan klik OK.
35
36
1. Klik Edit SWAT Input, lalu pilih Subbasins Data dan kemudian pilih file mana yang
akan diedit terlebih dahulu, misalnya nilai bilangan kurva, maka pilih file
management, identifikasi subbasin, Land Use, Soils dan Slope yang akan diedit
nilai bilangan kurvanya lalu klik OK sehingga jendela Edit Management Parameters
muncul. Kemudian edit nilai bilangan kurva pada kolom CN2.
37
2. Kemudian edit nilai parameter lainnya dengan cara yang sama tetapi tentukan terlebih
dahulu file pada SWAT Input Table sesuai parameter yang diinginkan.
3. Apabila semua nilai parameter sudah selesai diedit, maka running kembali model pada
menu SWAT Run dan lihat hasilnya.
38
Debit (m3/detik)
45.00
100
40.00
200
35.00
30.00
300
25.00
400
20.00
500
15.00
Hujan (mm)
50.00
600
10.00
700
5.00
0.00
800
1
CH
Q simulasi
10
11
12
Q observasi
2. Hitung nilai keakuratan model memprediksi debit dengan fungsi objektif. Salah satu
fungsi objektif yang dapat digunakan adalah metode Nash-Sutcliffe (Ahl et al. 2008).
Adapun persamaannya yaitu sebagai berikut:
2
y
y
NS = 1 2
yy
dimana y adalah debit aktual yang terukur (mm), adalah debit hasil simulasi (mm),
dan adalah rata-rata debit terukur. Efisiensi model Nash-Sutcliffe dikelompokkan
menjadi 3 kelas yaitu baik jika NS 0.75, memuaskan jika 0.75 > NS > 0.36, dan
kurang memuaskan jika NS < 0.36.
3. Apabila belum terdapat kemiripan maka proses kalibrasi dilakukan berdasarkan pola
debit yang dihasilkan model.
4. Melalui pola tersebut dapat dijustifikasi parameter apa saja yang sangat
mempengaruhi hasil model.
5. Kemudian proses kalibrasi dimulai dengan memilih menu SWAT Simulation
Manual Calibration Helper, kemudian akan muncul jendela Manual Calibration.
6. Pada jendela Manual Calibration dapat dipilih parameter yang akan digunakan
selama proses kalibrasi, mulai dari Alpha_BF sampai Sol_No3. Hal yang perlu diingat
oleh pengguna adalah tidak semua parameter tersebut harus dimasukkan dalam
proses kalibrasi. Pemilihan parameter sangat tergantung pada pola debit yang
dihasilkan.
39
7. Jika pengguna telah menentukan suatu parameter, misalnya Cn2, maka pilih Cn2 pada
Select Parameter lalu pilih metode yang akan digunakan pada Mathematical Op,
apakah multiply by, replace by atau add. Parameter yang dipilih tersebut dapat
diterapkan pada seluruh subbasin ataupun subbasin tertentu, jenis Land Use, Soils
ataupun Slope tertentu pula tergantung pada hasil analisis pengguna. Lalu klik
Update Parameter.
8. Setelah itu, pilih menu Edit SWAT Input Rewrite SWAT Input Files. Tahapan ini
penting diingat oleh pengguna karena setiap kali pengguna merubah nilai input untuk
parameter tertentu, maka setiap itu pula pengguna harus memilih menu Rewrite
SWAT Input Files. Jika hal ini terlewat, maka model tetap membaca input awal yang
telah dilakukan pengguna.
40
9. Kemudian pilih kembali menu SWAT Simulation untuk menjalankan kembali model
yaitu dengan memilih menu Run SWAT. Kemudian ulangi langkah yang sama seperti
yang telah dijelaskan pada Sub Bab 3.3.
10. Setelah proses running tersebut, maka tampilkan kembali data debit observasi vs
debit model hasil kalibrasi, dan hitung kembali nilai NS. Apabila nilai NS telah masuk
kategori sedang, pengguna bisa saja menganggap proses kalibrasi selesai, atau jika
ingin Nilai NS menjadi baik, maka pengguna melanjutkan kalibrasi dengan cara yang
sama tetapi dengan mempertimbangkan parameter yang sensitive lainnya.
Validasi Model SWAT
Validasi model merupakan proses untuk menguji parameter yang telah dikalibrasi
dengan suatu set data tanpa perubahan terhadap parameter-paramter tersebut. Pada
tahap ini, pengguna perlu menentukan data tahun berapa yang akan digunakan untuk
memvalidasi model. Misalnya terpilih tahun 2012, maka semua parameter input yang
digunakan harus data tahun 2012 dan semua parameter yang telah dikalibrasi pada tahap
sebelumnya. Setelah penentuan input, maka pengguna menjalankan model seperti yang
telah dijelaskan pada Sub Bab 3.4, 3.5 dan 3.6. Kemudian, hasil model dinilai dengan
fungsi objektif seperti yang telah dijelaskan pada materi Sub Bab 3.7.
41
2. Jika Anda memilih hasil dalam format Access, maka klik SWATOutput lalu pilih sub
untuk melihat nilai curah hujan dan aliran permukaan yang akan digunakan untuk
menghitung nilai C.
42
3. Kemudian copy kolom sub, PRECIPmm dan SURQmm ke excel untuk proses
pengolahan data. Nilai C dihitung dengan membandingkan nilai aliran permukaan
terhadap besarnya curah hujan untuk masing-masing subbasin. Lalu berdasarkan
Peraturan Menteri Kehutanan nomor P. 61/Menhut-II/2013 tentang Monitoring dan
Evaluasi Pengelolaan DAS tentukan subbasin mana yang memiliki status baik, sedang
atau jelek. Berdasarkan hasil analisis data contoh diketahui bahwa seluruh subbasin di
Sub DAS Ciliwung Hulu termasuk dalam kategori sedang berdasarkan nilai C. Dari 15
subbasin, subbasin 3, 4, 5, 7, 8, 9 memiliki nilai C yang mendekati kategori jelek yaitu
berkisar antara 41-49%. Oleh karena itu, keenam subbasin tersebut diasumsikan
memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap kerusakan DAS. Visualisasi status
DAS tersebut disajikan pada gambar dibawah ini.
4. Kemudian hitung nilai KRS setiap subbasin dengan membandingkan nilai debit
maksimum dengan debit minimumnya. Buka file rch pada SWATOutput.mdb. Lalu
copy kolom subbasin dan FLOW_OUTcms ke file excel untuk memudahkan analisis.
Cari nilai debit maksimum dan minimum untuk setiap subbasin. Berdasarkan hasil
analisi terhadap data contoh, ternyata subbasin 3, 4, 5, 7, 8, 9 memiliki nilai KRS yang
sedang sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan nomor P. 61/Menhut-II/2013
tentang Monitoring dan Evaluasi Pengelolaan DAS. Hal ini sejalan dengan hasil analisis
nilai C untuk setiap sub basin.
43
7. Kemudian akan muncul jendela Edit Management Parameters. Pada jendela ini
diketahui bahwa nilai CN untuk AGRR adalah sebesar 85. Nilai CN untuk jenis Land Use
lainnya dapat diketahui dengan melakukan langkah yang sama pada poin 6 di atas.
Setelah nilai CN untuk masing-masing land use diketahui, maka sajikan dalam file excel
sehingga memudahkan dalam mensimulasi nilai CN.
44
No
LU
Soils
Slope
CN
AGRR
SOIIL1
0-8
85
AGRR
SOIIL8
0-8
78
AGRL
SOIIL1
8-15
83
AGRL
SOIIL9
8-15
67
Berdasarkan tabel tersebut diketahui bahwa nilai CN bervariasi berdasarkan jenis tanah
dan penggunaan lahan. Hal ini yang penting diingat oleh peserta pada tahap simulasi
nilai CN karena Nilai CN merupakan nilai yang ditentukan berdasarkan informasi jenis
penggunaan lahan dan kelompok hidrologi tanah.
8. Setelah dilakukan analisis berdasarkan kondisi HRU/Subbasin tersebut, misalnya
diasumsikan bahwa CN terbaik untuk jenis LU AGRR pada SOIIL 1 adalah 80 maka
masukkan nilai tersebut dengan cara Edit Values pada jendela Edit Management
Parameters. Lalu ketik angka 80 pada kolom CN. Hal yang penting diingat juga
bahwa nilai CN yang baru hanya dapat diaplikasikan pada HRU tertentu saja, dalam hal
ini yaitu pada HRU dengan kombinasi Land Use AGRR dan SOIIL 1 saja. Nilai tersebut
dapat saja diaplikasikan pada seluruh subbasin atau subbasin tertentu berdasarkan
hasil analisis yang dilakukan pada saat menentukan nilai CN. Masukkan juga nilai CN
untuk jenis Land Use lainnya. Lalu klik Save Edits.
45
9. Apabila nilai CN baru telah semuanya diinput maka jangan lupa untuk menulis ulang
input tersebut dengan memilih menu Rewrite SWAT Input Files pada menu Edit
SWAT Input.
10. Tahap selanjutnya adalah menjalankan kembali model (Run SWAT) dengan langkah
seperti yang dijelaskan pada Sub Bab 3.6. Terkadang, sebelum menjalankan menu
Run SWAT, model menghendaki pendefinisian ulang terhadap data iklim (Sub Bab
3.6.).
11. Setelah running model selesai, maka analisis kembali data debit dan aliran permukaan
yang dihasilkan model. Langkah ini sama seperti langkah 1 4 yang telah dijelaskan di
atas.
12. Kemudian evaluasi hasil simulasi tersebut sehingga dapat diketahui apakah simulasi CN
yang telah dilakukan dapat memperbaiki kondisi DAS. Evaluasi dilakukan berdasar
Peraturan Menteri Kehutanan nomor P. 61/Menhut-II/2013 tentang Monitoring dan
Evaluasi Pengelolaan DAS untuk parameter C dan KRS, sama seperti yang telah
dilakukan sebelumnya sehingga hasil tersebut dapat diperbandingkan. Sebagai
catatan, simulasi CN yang dilakukan belum tentu dapat meningkatkan status kondisi
seluruh subbasin (3, 4, 5, 7, 8, 9). Oleh karena itu, peserta dapat mencoba
memperbaiki kondisi subbasin dengan mensimulasi penerapan RTK RHL lainnya pada
subbasin tersebut.
Selain evaluasi hasil model, perlu dilakukan evaluasi terhadap apa yang terjadi di
lapangan. Tentunya parameter yang dievaluasi harus disesuaikan dengan parameter
evaluasi yang dilakukan terhadap hasil model sehingga dapat diperbandingkan. Adapun
data yang perlu dikumpulkan yaitu data curah hujan, debit dan aliran permukaan sebelum
dan sesudah penerapan teknik pengelolaan DAS. Apabila data telah terkumpul, maka
dilakukan analisa terhadap nilai C dan KRS untuk setiap subbasin atau subbasin terpilih.
46
2. Pada menu ini terdapat dua skenario yang dapat dipilih yaitu Land Use Split atau Land
Use Exemption. Pada menu Land Use Split, jenis Land Use yang dipilih akan dibagi
menjadi satu atau beberapa sub Land Use yang dipilih. Sedangkan pada menu
Exemption, jenis Land Use yang dipilih akan ditiadakan. Pilih Select New Land Use
to Split lalu Add Sub-Lu kemudian klik dua kali kolom di bawah menu SubLu untuk
memilih jenis sub penggunaan lahan, contohnya CORN. Setelah itu klik Save Edits.
47
3. Kemudian akan muncul jendela yang menyatakan bahwa definisi HRU telah dilakukan.
4. Apabila pengguna telah merasa cukup melakukan simulasi penggunaan lahan hanya
dengan satu pemilihan jenis penggunaan lahan atau ingin menambahkan jenis lainnya,
lakukan hal yang sama seperti dijelaskan pada poin 2. Kemudian lanjutkan kembali ke
step 3: definisi data iklim dan menjalankan SWAT (Sub Bab 3.6).
Simulasi Reservoir
Simulasi lain yang dapat diterapkan selain perubahan pola penggunaan lahan
adalah simulasi struktur. Salah satu metoda struktur yang dapat dipilih yaitu simulasi
reservoir. Tentunya skenario yang ingin disimulasikan telah ditentukan berdasarkan
permasalahan yang ingin diselesaikan. Banyak sedikitnya reservoir dan lokasinya
ditentukan berdasarkan hasil analisis terhadap data yang telah diperoleh dari hasil
menjalankan model pada kondisi eksisting. Adapun tata cara melakukan simulasi reservoir
yaitu:
1. Reservoir ditambahkan pada tahap pertama menjalankan model SWAT: Watershed
Deliniation. Dengan demikian, projek yang telah dijalankan sebelumnya dapat
disimpan ulang dengan nama yang berbeda atau pengguna memulai kembali membuat
projek dari awal. Buat projek yang berbeda dengan judul simulasi_reservoir.
2. Ulangi kembali langkah pada Sub Bab 3.4. mulai dari poin 1 hingga 9.
3. Sebelum keluar dari tahap pertama, klik menu Add or delete reservoir sehingga
muncul jendela yang memberitahukan cara membuat reservoir.
48
4. Sebelum memberi titik disalah satu jaringan sungai yang telah dipilih sebagai lokasi
reservoir, pengguna dapat saja memperbesar lokasi tersebut untuk mempermudah
memberi titik reservoir. Kemudian klik kiri di lokasi tersebut, jika titik sudah muncul
maka klik kanan dan pilih Stop Editing. Dengan demikian maka reservoir telah
terbentuk. Hal ini dapat kita lihat apabila tampilan peta dikembalikan ke kondisi semula
sebelum diperbesar, maka akan terlihat tambahan informasi pada legenda dan di peta
terdapat titik berwarna ungu.
49
8. Kemudian akan muncul jendela Select Reservoir, pilih subbasin tempat lokasi
reservoir dan akan keluar jendela Edit Reservoir Parameters.
50
9. Setelah mengisi semua informasi yang dibutuhkan, maka klik Save Edits dan
kemudian klik Exit.
10. Kemudian tulis ulang input yang telah kita edit tersebut dengan memilih menu Edit
SWAT Input dan Rewrite SWAT Input Files.
11. Kemudian run kembali model tersebut sebagaimana telah dijelaskan pada Sub Bab
3.6.
Simulasi Teknik Konservasi
Simulasi teknik konservasi dapat diterapkan pada tingkat HRU ataupun Subbasin. Seperti
skenario penggunaan lahan dan reservoir, simulasi teknik konservasi juga dilakukan
berdasarkan kebutuhan dan kepentingannya dalam menyelesaikan permasalahan yang
ada. Simulasi ini dilakukan dengan cara:
51
1. Pilih menu Edit SWAT Input dan klik Subbasins Data hingga muncul jendela Edit
Subbasin Inputs.
2. Pada jendela tersebut, lalu pilih Subbasin, Land Use, Soils dan Slope yang akan
diterapkan teknik konservasi dan klik OK.
3. Kemudian muncul jendela Edit HRU Parameters dan klik Edit Values untuk
memulai proses pengeditan informasi terkait teknik konservasi yang ingin dterapkan.
Misalnya saja OV_N, ESCO atau EPCO. Nilai-nilai tersebut dapat diterapkan pada
seluruh subbasin atau beberapa subbasin terpilih, begitu pula dengan jenis
penggunaan lahan, tanah dan kelas lereng. Kemudian pilih Save Edits sehingga
muncul jendela yang menyatakan bahwa hasil edit telah disimpan dan klik OK.
4. Kemudian apabila diinginkan, pengguna juga dapat mengedit informasi terkait teknik
konservasi pada menu input management. Pada menu Edit Subbasin Inputs pilih
Management sebagai SWAT Input Tabel yang ingin diedit. Setelah itu pilih
Subbasin, Land Use, Soils dan Slope yang ingin diedit dan klik OK sehingga
muncul jendela Edit Management Parameters.
52
5. Pada jendela Edit Management Parameters klik Edit Values untuk mulai
memasukkan nilai-nilai terkait konservasi misalnya USLE_P. Sama seperti pada tingkat
HRU, nilai USLE_P tersebut dapat diterapkan pada seluruh subbasin atau hanya
subbasin tertentu saja, begitu pula dengan jenis penggunaan lahan, tanah dan kelas
lereng.
6. Kemudian tulis ulang input yang telah diedit tadi melalui menu Edit SWAT Input dan
pilih Rewrite SWAT Input Files.
7. Setelah itu menjalankan kembali model sebagaimana telah dijelaskan pada Sub Bab
3.6.
8. Dengan demikian selesai sudah proses simulasi yang dilakukan.
Hasil Simulasi
Hasil dari skenario yang telah disimulasikan dapat dilihat sebagaimana hasil dari
running model dengan keadaan eksisting. Hal ini dapat dilakukan dengan mengikuti
langkah-langkah pada Sub Bab 3.6. Apabila hasil running eksisting dan simulasi
reservoir dibandingkan maka dapat diketahui bahwa adanya reservoir dapat menurunkan
nilai sedimen yield dan meningkatkan water yield.
53
54
55
56
BAB V. PENUTUP
DIREKTUR
D
IREKT
KTTUR
UR JENDERAL,
JEN
E DERAL,
NUGROHO,
Dr. Ir. HILMAN
H LMAN N
HI
NUG
UGROHO
UG
HO, M.P.
19590615
198603
NIP. 1
95906
615 1
98603 1 004
98
57
LAMPIRAN
58
SWAT merupakan model hidrologi skala DAS yang dikembangkan oleh Dr.
Jeff Arnold untuk USDA pada awal tahun 1990-an. SWAT dikembangkan untuk
memprediksi dampak praktek pengelolaan lahan terhadap air, sedimen, dan
bahan kimia pertanian yang masuk ke sungai atau badan air pada suatu DAS yang
kompleks dengan tanah, penggunaan tanah dan pengelolaannya yang bermacammacam sepanjang waktu yang lama. Model SWAT dikembangkan berdasarkan
konsep dari beberapa model hidrologi lainnya seperti SWRRB (Simulator for Water
Resources in Rural Basins), CREAMS (Chemical, Runofff, and Erosion from
Agricultural Managament System, GLEAMS (Groundwater Loading Effects on
Agricultural Management Systems) dan EPIC (Erosion Productivity Impact
Calculator) (Neitsch et al., 2011).
SWAT merupakan model hidrologi berbasis fisika (physically based) yang
membutuhkan informasi spesifik tentang iklim, sifat-sifat tanah, topografi,
vegetasi, dan praktek pengelolaan lahan yang terjadi di dalam DAS. Time step
dalam model SWAT adalah harian karena model ini merupakan model kejadian
kontinyu untuk skala DAS yang dibangun agar dapat beroperasi secara harian,
efisien secara komputerisasi, dan mampu membuat simulasi untuk jangka waktu
yang panjang. SWAT dapat memodelkan secara langsung proses-proses fisika
yang terkait dengan pergerakan air, sedimen, pertumbuhan tanaman, siklus unsur
hara dan lain sebagainya (Neitsch et al., 2011). Proses-proses tersebut didasarkan
pada konsep neraca air. Komponen utama model adalah iklim, hidrologi, suhu dan
karakteristik tanah, pertumbuhan tanaman, unsur hara, pestisida, patogen dan
bakteri, dan pengelolaan lahan.
Pada model SWAT, suatu DAS dibagi menjadi beberapa Sub DAS atau Sub
Basin yang didasarkan pada kesamaan penggunaan tanah dan lahan atau sifat
lain yang berpengaruh terhadap hidrologi. Kemudian Sub DAS dibagi lagi ke dalam
unit respon hidrologi (HRU). Secara praktis HRU diperoleh dengan menumpangtindihkan karakteristik penggunaan lahan, pengelolaannya, topografi, dan tanah
sehingga diperoleh unit yang homogen.
Simulasi hidrologi DAS pada model SWAT dipisahkan menjadi dua bagian
utama yaitu fase lahan dan fase air dari siklus hidrologi. Fase lahan dari siklus
hidrologi mengontrol jumlah air, sedimen, unsur hara dan pestisida yang bergerak
menuju saluran atau sungai utama pada masing-masing Sub DAS. Sedangkan fase
air atau penelusuran dari siklus hidrologi didefinisikan sebagai pergerakan air,
sedimen dan lainnya melalui jaringan sungai utama dalam DAS menuju ke titik
pengeluaran atau outlet.
59
dimana SWt adalah kadar air tanah akhir (mm H2O), SWo adalah kadar air
tanah awal pada hari ke-i (mm H2O), t adalah waktu (hari), Rday adalah
jumlah hujan pada hari ke-i (mm H2O), Qsurf adalah jumlah aliran
permukaan pada hari ke-i (mm H2O), Ea adalah jumlah evapotranspirasi
pada hari ke-i (mm H2O), Wseep adalah jumlah air yang masuk ke zona
vadose dari profil tanah (seepage) pada hari ke-i (mm H2O), Qgw adalah
jumlah aliran air bawah tanah (baseflow/groundwaterflow/returnflow) pada
hari ke-i (mm H2O).
Pembagian DAS ke dalam Sub DAS dapat menggambarkan perbedaan
evapotranspirasi untuk jenis tanaman dan tanah yang beragam atau
berbeda. Aliran permukaan (surface runoff) diprediksi secara terpisah untuk
masing-masing HRU dan dapat ditelusuri untuk memperoleh aliran
permukaan total (total runoff) pada suatu Sub DAS dan DAS. Dengan
demikian keakuratan model akan meningkat dan memberikan gambaran fisik
yang lebih baik untuk neraca air.
iklim yang dibutuhkan model SWAT terdiri dari data curah hujan,
suhu udara maksimum dan minimum, radiasi matahari, kecepatan
angin, dan kelembaban relatif harian.
a. Pembangkit Iklim (Weather Generator)
Model SWAT mampu membangkitkan satu set data iklim untuk
masing-masing Sub DAS. Data iklim tersebut untuk masingmasing Sub DAS akan dihasilkan secara terpisah dan tidak ada
korelasi spasial dari nilai-nilai tersebut antara Sub DAS yang
berbeda.
Pembangkitan Data Hujan. Apabila tidak tersedia data
harian, maka SWAT menggunakan model yang dikembangkan
oleh Nicks (1974) untuk membangun data hujan harian simulasi
dan memprediksi data hujan yang hilang. Model Markov Chain
orde-1 digunakan untuk membangkitkan data hujan melalui
identifikasi hari hujan atau hari kering (dengan membandingkan
angka acak (0.0 - 1.0) yang dibangun oleh model sehingga
diketahui probabilitas bulan hujan dan bulan kering. Jika hari
diklasifikasikan sebagai hari hujan, maka jumlah hujan dihitung
berdasarkan distribusi skewed atau distribusi eksponensial
termodifikasi.
Pola Hujan Sub-Harian. Apabila nilai hujan sub-harian
dibutuhkan, maka model menggunakan fungsi eksponensial
ganda untuk menggambarkan pola intensitas hujan. Dengan
distribusi eksponensial ganda, intensitas hujan meningkat secara
eksponensial seiring waktu hingga mencapai nilai intensitas
maksimum. Ketika nilai intensitas maksimum tercapai, maka
intensitas hujan akan berkurang secara eksponensial seiring
waktu hingga akhir hujan.
Pembangkitan Data Suhu Udara dan Radiasi Matahari.
Suhu udara maksimum dan minimum dan radiasi matahari
dihasilkan dari fungsi distribusi normal. Variasi suhu dan radiasi
yang disebabkan oleh keadaan hujan dan kering dihitung secara
kontinyu. Suhu udara maksimum dan radiasi matahari yang
dihasilkan akan rendah ketika simulasi dilakukan pada kondisi
hujan dan akan tinggi ketika simulasi pada saat kering.
Pembangkitan Data Kecepatan Angin. Persamaan
eksponensial termodifikasi digunakan untuk menghasilkan nilai
tengah kecepatan angin harian dari nilai tengah kecepatan angin
bulanan.
61
dimana:
Qsurf
Rday
Ia
S
=
=
=
=
dimana:
CN = bilangan kurva untuk hari tersebut.
Pengambilan (abstraksi) awal, Ia, umumnya didekati sebagai 0,2S
sehingga persamaan menjadi:
Limpasan hanya akan terjadi apabila Rday>Ia.
Debit Puncak Runoff diprediksi dengan persamaan metode
Rasional modifikasi. Metode rasional didasarkan pada intensitas
hujan i yang terjadi seketika itu juga dan berlanjut secara tak
terbatas, sehingga laju aliran permukaan akan meningkat hingga
waktu konsentrasi (time of concentration = tc), ketika semua Sub
DAS memberikan kontribusi kepada aliran di outlet. Pada metode
rasional modifikasi, laju puncak aliran permukaan merupakan
fungsi dari bagian hujan harian yang jatuh selama tc Sub DAS,
volume aliran permukaan harian, dan waktu konsentrasi Sub
65
2.1.4. Erosi
Erosi dan sedimen diperkirakan untuk masing-masing HRU
dengan Modified Universal Soil Loss Equation (MUSLE) (Williams,
1975). USLE menggunakan hujan sebagai indikator energi yang
menyebabkan erosi, sedangkan MUSLE menggunakan jumlah aliran
permukaan untuk memprediksi erosi dan sedimen. Kelebihannya
yaitu akurasi prediksi model menjadi meningkat, rasio transportasi
tidak dibutuhkan lagi, dan perkiraan hujan tunggal yang
menghasilkan sedimen dapat dihitung. Model ini memberikan
perkiraan volume aliran permukaan dan laju puncak aliran
permukaan, dengan daerah Sub DAS, yang digunakan untuk
menghitung variabel energi aliran permukaan yang erosif. Faktor
pengelolaan tanaman dihitung kembali setiap hari pada saat aliran
permukaan terjadi. Hal tersebut merupakan fungsi dari biomasa di
atas tanah, dan faktor C minimum untuk tanaman. Faktor-faktor lain
dari persamaan erosi dievaluasi seperti yang dijelaskan oleh
Wischmeier dan Smith (1978).
Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:
Sed = 11.8.(Qsurf .Qpeak . AreaHRU)0.56 . KUSLE . CUSLE . PUSLE LSUSLE . CFRG
dimana:
Sed
: sediment yield harian (metrik tons)
Qsurf : surface runoff volume (mm H2O/ha)
Qpeak : peak runoff rate (m3/s)
AreaHRU
: luas dari HRU (ha)
KUSLE : USLE factor erodibilitas tanah (0.013 metrik ton m2 hr/(m3metrikton cm))
CUSLE : USLE faktor tutupan lahan.
PUSLE : USLE faktor pengelolaan
LSUSLE : USLE faktor topografi
CFRG : faktor kekasaran fragmen.
Erodibilitas tanah (K) adalah suatu faktor yang menunjukkan
kepekaan tanah terhadap erosi. Nilai tersebut didefinisikan sebagai
erosi per satuan indek erosi hujan R yang diperoleh dari petak
standar (panjang 22 m, kemiringan 9 %, tanpa tanaman). Kepekaan
erosi tanah sangat dipengaruhi oleh tekstur, kandungan bahan
organik, permeabilitas dan kemantapan struktur tanah. Oleh karena
itu nilai kepekaan erosi tanah dapat dihitung dilapangan atau dihitung
dengan menggunakan nomograf Wischmeier dan Smith (Ward and
Elliot, 1995).
68
Faktor panjang lereng (L) dan faktor kemiringan lereng (S) dapat
dihitung secara terpisah atau dihitung sekaligus sebagai faktor LS.
Faktor panjang lereng merupakan nisbah antara besarnya erosi yang
terjadi pada suatu lahan dengan panjang lereng tertentu terhadap
erosi dalam petak standar (panjang lereng 22 m) dibawah kondisi
tanpa tanaman. Sedangkan faktor kemiringan lereng adalah nisbah
besarnya erosi yang terjadi pada suatu lahan dengan kemiringan
lereng tertentu terhadap erosi yang terjadi pada petak standar
(kemiringan lereng 9%) dibawah kondisi tanpa tanaman. Bila faktor L
dan S digabungkan, maka faktor LS didefinisikan sebagai nisbah
antara besarnya erosi dari sebidang tanah dengan panjang lereng
dan kecuraman lereng tertentu terhadap besarnya erosi dari sebidang
tanah yang terletak pada lereng dengan panjang lereng 22 meter dan
kecuraman 9%.
2.1.5. Unsur Hara
SWAT melacak perpindahan dan perubahan beberapa bentuk
nitrogen dan fosfor di dalam DAS. Pada tanah, perubahan nitrogen
dari satu bentuk ke bentuk lainnya diatur oleh siklus nitrogen seperti
yang digambarkan pada Gambar 6. Perubahan fosfor di dalam tanah
dikontrol oleh siklus fosfor seperti yang ditunjukkan pada Gambar
1.1. Unsur hara mungkin saja masuk ke dalam saluran utama dan
diangkut ke hilir oleh aliran permukaan dan aliran lateral.
69
2.1.6. Pestisida
Pergerakan kimia dalam DAS dapat dipelajari melalui aplikasi
pestisida pada level HRU. SWAT mensimulasi pergerakan pestisida
yang masuk ke jaringan sungai melalui aliran permukaan (dalam
bentuk larutan dan diserap oleh sedimen yang diangkut oleh aliran
permukaan), dan masuk ke dalam profil tanah dan akuifer oleh
perkolasi (dalam bentuk larutan) seperti ditunjukkan pada Gambar
1.2. Persamaan yang digunakan untuk memodelkan pergerakan
pestisida pada fase lahan siklus hidrologi diadopsi dari GLEAMS
(Leonard et al., 1987). Pergerakan pestisida dikontrol oleh tingkat
kelarutan, waktu paruh penghancuran, dan koefisien penyerapan
karbon organik tanah. Pestisida pada dedaunan tanaman dan tanah
merusak secara eksponensial sesuai dengan waktu paruh yang
memadai. Pergerakan pestisida oleh air dan sedimen dihitung untuk
masing-masing kejadian aliran permukaan dan pencucian pestisida
diperkirakan untuk masing-masing lapisan tanah ketika perkolasi
terjadi.
Gambar 1.5. Proses-proses yang terjadi dalam sungai yang dimodelkan SWAT
72
74
75
LAMPIRAN 2.
1.1.
78
1.2.
82
83
84
Dokumen R P DAS T
(PP37/2012 & Permenhut P.39/2009)
Karakteristik Biofisik
DAS untuk R P DAS T
FGD,
pertimbangan
peraturan &
kebijakan
terkait di DAS
Rekomendasi Penggunaan
Lahan dan Pengelolaan
Lahan di SubDAS & DAS
(spasial & temporal)
R P DAS T Revised
(PP37/2012 & Permenhut
P.39/2009)
Tidak
Selesai
Gambar 2.2. Integrasi Model SWAT dalam Review Rencana Pengelolaan DAS
Terpadu
85
Running Model
SWAT (Kalibrasi & Validasi)
FGD, pertimbangan
peraturan &
Kebijakan
terkait di DAS
Rekomendasi Penggunaan
Lahan dan Pengelolaan Lahan di
SubDAS & DAS (spasial &
temporal)
Dokumen R P DAS T
(PP37/2012 & Permenhut
P.39/2009)
Tidak
Selesai
86
Tahun-1
Tahun-2
Tahun-3
Tahun-4
Tahun-5
Tahun-6
Tahun-7
Tahun-8
Tahun-8
Tahun-10
Tahun-11
Tahun-12
Tahun-13
Tahun-14
Tahun-15
Implementasi Pengelolaan
L h
87