Você está na página 1de 35

1.

Anatomi Fisiologi Sistem Persarafan


Seperti yang dikemukakan Syaifuddin (1997), bahwa system saraf
terdiri dari system saraf pusat (sentral nervous system) yang terdiri dari
cerebellum, medulla oblongata dan pons (batang otak) serta medulla spinalis
(sumsum tulang belakang), system saraf tepi (peripheral nervous system) yang
terdiri dari nervus cranialis (saraf-saraf kepala) dan semua cabang dari
medulla spinalis, system saraf gaib (autonomic nervous system) yang terdiri
dari sympatis (sistem saraf simpatis) dan parasymphatis (sistem saraf
parasimpatis).
Otak berada di dalam rongga tengkorak (cavum cranium) dan
dibungkus oleh selaput otak yang disebut meningen yang berfungsi untuk
melindungi struktur saraf terutama terhadap resiko benturan atau guncangan.
Meningen terdiri dari 3 lapisan yaitu duramater, arachnoid dan piamater.
Sistem saraf pusat (Central Nervous System) terdiri dari :
a. Cerebrum (otak besar)
Merupakan bagian terbesar yang mengisi daerah anterior dan
superior rongga tengkorak di mana cerebrum ini mengisi cavum cranialis
anterior dan cavum cranialis media.
Cerebrum terdiri dari dua lapisan yaitu : Corteks cerebri dan
medulla cerebri. Fungsi dari cerebrum ialah pusat motorik, pusat bicara,
pusat sensorik, pusat pendengaran / auditorik, pusat penglihatan / visual,
pusat pengecap dan pembau serta pusat pemikiran.
Sebagian kecil substansia gressia masuk ke dalam daerah
substansia alba sehingga tidak berada di corteks cerebri lagi tepi sudah
berada di dalam daerah medulla cerebri. Pada setiap hemisfer cerebri
inilah yang disebut sebagai ganglia basalis.
Yang termasuk pada ganglia basalis ini adalah :
1) Thalamus
Menerima semua impuls sensorik dari seluruh tubuh, kecuali impuls
pembau yang langsung sampai ke kortex cerebri. Fungsi thalamus
terutama penting untuk integrasi semua impuls sensorik. Thalamus
juga merupakan pusat panas dan rasa nyeri.
2) Hypothalamus
Terletak di inferior thalamus, di dasar ventrikel III hypothalamus
terdiri dari beberapa nukleus yang masing-masing mempunyai
kegiatan fisiologi yang berbeda. Hypothalamus merupakan daerah
penting untuk mengatur fungsi alat demam seperti mengatur
metabolisme, alat genital, tidur dan bangun, suhu tubuh, rasa lapar dan

haus, saraf otonom dan sebagainya. Bila terjadi gangguan pada tubuh,
maka akan terjadi perubahan-perubahan. Seperti pada kasus kejang
demam, hypothalamus berperan penting dalam proses tersebut karena
fungsinya yang mengatur keseimbangan suhu tubuh terganggu akibat
adanya proses-proses patologik ekstrakranium.
3) Formation Reticularis
Terletak di inferior dari hypothalamus sampai daerah batang otak
(superior dan pons varoli) ia berperan untuk mempengaruhi aktifitas
cortex cerebri di mana pada daerah formatio reticularis ini terjadi
stimulasi / rangsangan dan penekanan impuls yang akan dikirim ke
cortex cerebri.
b. Serebellum
Merupakan bagian terbesar dari otak belakang yang menempati fossa
cranial posterior. Terletak di superior dan inferior dari cerebrum yang
berfungsi sebagai pusat koordinasi kontraksi otot rangka.
System saraf tepi (nervus cranialis) adalah saraf yang langsung keluar
dari otak atau batang otak dan mensarafi organ tertentu. Nervus cranialis
ada 12 pasang :
1) N. I
2) N. II
3) N. III
4) N. IV
5) N. V
6) N. VI
7) N. VII
8) N. VIII
9) N. IX
10) N. X
11) N. XI
12) N. XII

: Nervus Olfaktorius
: Nervus Optikus
: Nervus Okulamotorius
: Nervus Troklearis
: Nervus Trigeminus
: Nervus Abducen
: Nervus Fasialis
: Nervus Akustikus
: Nervus Glossofaringeus
: Nervus Vagus
: Nervus Accesorius
: Nervus Hipoglosus.

System saraf otonom ini tergantung dari system sistema saraf pusat
dan system saraf otonom dihubungkan dengan urat-urat saraf aferent dan
efferent. Menurut fungsinya system saraf otonom ada 2 di mana keduanya
mempunyai serat pre dan post ganglionik yaitu system simpatis dan
parasimpatis.
Yang termasuk dalam system saraf simpatis adalah :
1) Pusat saraf di medulla servikalis, torakalis, lumbal dan seterusnya
2) Ganglion simpatis dan serabut-serabutnya yang disebut trunkus
symphatis
3) Pleksus pre vertebral : Post ganglionik yg dicabangkan dari ganglion
kolateral.
System saraf parasimpatis ada 2 bagian yaitu : Serabut saraf yang
dicabagkan dari medulla spinalis:

1.

Serabut saraf yang dicabangkan dari otak atau batang otak

2.

Serabut saraf yang dicabangkan dari medulla spinalis.

3.

Etiologi
LAPORAN PENDAHULUAN FEBRIS CONVULSION

A. Konsep Dasar
2. Pengertian
Istilah kejang demam digunakan untuk bangkitan kejang yang timbul
akibat kenaikan suhu tubuh. Kejang demam ialah bangkitan kejang yang
terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal 38C) yang disebabkan oleh
suatu proses ekstrakranium (Hasan, 1995).
Kejang demam adalah suatu kejadian pada bayi atau anak, biasanya
terjadi pada umur 3 bulan sampai 5 tahun, berhubungan dengan demam tetapi
tidak pernah terbukti adanya infeksi intrakranial atau penyebab tertentu. Anak
yang pernah kejang tanpa demam dan bayi berumur kurang dari 4 minggu
tidak termasuk. Kejang demam harus dapat dibedakan dengan epilepsi, yaitu
ditandai dengan kejang berulang tanpa demam (Mansjoer, 2000).
Kejang demam yaitu kejang yang dihubungkan dengan suatu penyakit
yang dicirikan dengan demam tinggi (suhu 38,9 40 0C). Kejang demam
berlangsungkurang dari 15 menit, generalisata, dan terjadi pada anak-anak
tanpa kecacatat neurologik. Jenis kejang ini memberi dampak 3% sampai 5%
pada anak dan biasanya terjadi setelah usia 6 bulan dan sebelum usia 3 tahun.
Kejang demam tidak lazim terjadi pada anak usia lebih dari 5 tahun. (Muscari,
2005)
Kejang demam : suatu kejang yang terjadi pada usia antara 3 bulan
hingga 5 tahun yang berkaitan dengandemam namun tanpaadanya infeksi
intracranial atu penyebabk yang jelas (Meadow, 2005)
Kejang (seizure) terjadi ketika neuron otak mengalami lepas muatan
(yaitu membentuk impuls) secara abnormal. Kejang dapat disebabkan oleh
beberapa pemicu (mis hiperventilasi alcohol, stimulasi cahaya berkedip,
kelelahan, infeksi, penyalahgunaan obat penenang, kurang tidur, dan migrain)
serta penyebab yang terjadi pada orang yang didiagnosis menderita epilepsi
dan gangguan lain.
Konvulsi adalah kontraksi involunter otot yang terjadi akibat stimulasi
abnormal pada otak. Konvulsi terjadi dengan atau tanpa kesadaran. Konvulsi
klonik berhubungan dengan kontraksi dan relaksasi otot, dengan gerakan
menyentak kuat pada wajah dan anggota badan, inkontinensia urine dan
menggigit lidah. Konvulsi tonik ditandai oleh kontraksi mendadak dari otot

yang menyebabkan rigiditas menetap. Yang bersangkutan dapat mengalami


sianosis disertai hilangnya kesadaran. Pada konvulsi tonik-klonik, pasien
menjadi kaku (tonik), jatuh ke lantai dan menyentak nyentak (klonik)
febris (kejang demam), system persyarafan (epilepsi), tetani. (Brooker, 2008)
3. Etiologi
Penyebab Febrile Convulsion hingga kini belum diketahui dengan
Pasti, demam sering disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan atas, otitis
media, pneumonia, gastroenteritis dan infeksi saluran kemih. Kejang tidak
selalu tinbul pada suhu yang tinggi. Kadang-kadang demam yang tidak begitu
tinggi dapat menyebabkan kejang (Mansjoer, 2000).
Kejang dapat terjadi pada setiap orang yang mengalami hipoksemia
(penurunan oksigen dalam darah) berat, hipoglikemia, asodemia, alkalemia,
dehidrasi, intoksikasi air, atau demam tinggi. Kejang yang disebabkan oleh
gangguan metabolik bersifat reversibel apabila stimulus pencetusnya
dihilangkan (Corwin, 2001).
4. Patofisiologi
Sel neuron dikelilingi oleh suatu membran. Dalam keadaan normal
membran sel neuron dapat dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium dan
sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan ion lain, kecuali ion clorida.
Akibatnya konsentrasi natrium menurun sedangkan di luar sel neuron terjadi
keadaan sebaliknya.
Dengan perbedaan jenis konsentrasi ion di dalam dan di luar sel maka
terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial membran dan ini dapat
dirubah dengan adanya :
a. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler
b. Rangsangan yang datangnya mendadak, misalnya mekanis, kimiawi atau
aliran listrik dari sekitarnya
c. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau
keturunan.
Pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan
keseimbangan dari membran dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari
ion kalium maupun ion natrium melalui membran tadi, dengan akibat
terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya
sehingga meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel tetangganya sehingga
terjadi kejang.

Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda, tergantung dari


tinggi rendahnya ambang kejang tersebut. Pada anak dengan ambang kejang
rendah, kejang dapat terjadi pada suhu 38 C, sedang pada ambang kejang
tinggi baru terjadi pada suhu 40 C atau lebih.
5. Manifestasi Klinis
Secara teoritis pada klien dengan Kejang Demam didapatkan data-data
antara lain klien kurang selera makan (anoreksia), klien tampak gelisah, badan
klien panas dan berkeringat, mukosa bibir kering (Ngastiyah, 1997).
a. Manifestasi Klinis
1) Sebagian besar aktivitas kejang berhenti pada saat anak mendapatkan
pertolongan medis, tetapi anak mungkin dalam keadaan tidak sadar.
2) Orang tua atau pemberi asuhan akan menggambarkan manifestasi
kejang tonik-klonik (yaitu tonik-kontraksi otot, ektensi ekstremitas,
kehilangan control defekasi dan kandung kemih, sianosis dan hilang
kesadaran; klonik kontraksi dan relaksasi ekstremitas yang teratur
(ritmik); fase postiktal dikarakteristikkan dengan ketidaksadaran
persisten)
3) Sering ditemukan riwayat keluarga dengan kejang demam.
b. Temuan pemeriksaan diagnostik dan laboratorium
1) Gambaran elektroensefalografi (EEG) biasanya normal, kemungkinan
menunjukkan hasil seperti gangguan kejang.
2) Fungsi lumbal dapat dilakukan untuk menyingkirkan meningitis.
3) CT (computer tomography) dan MRI (magnetic resonance imaging )
dapat dilakukan untuk mengetahui abnormalitas.
6. Komplikasi
Pada penderita kejang demam yang mengalami kejang lama biasanya
terjadi hemiparesis. Kelumpuhannya sesuai dengan kejang fokal yang terjadi.
Mula mula kelumpuhan bersifat flasid, tetapi setelah 2 minggu timbul
spastisitas.
Kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan
anatomis di otak sehingga terjadi epilepsy.
Ada beberapa komplikasi yang mungkin terjadi pada klien dengan
kejang demam :
a. Pneumonia aspirasi
b. Asfiksia
c. Retardasi mental
7. Penatalaksanaan / Pengobatan

Ada beberapa hal yang perlu dilakukan, yaitu :


a. Memberantas kejang secepat mungkin
Bila penderita datang dalam keadaan status convulsion, obat pilihan
utama adalah diazepam secara intravena. Apabila diazepam tidak tersedia
dapat diberikan fenobarbital secara intramuskulus.
b. Pengobatan Penunjang
Semua pakaian yang ketat dibuka. Posisi kepala sebaiknya miring
untuk mencegah aspirasi isi lambung, usahakan jalan nafas bebas agar
oksigen terjamin, penghisapan lendir secara teratur dan pengobatan
ditambah dengan pemberian oksigen. Tanda tanda vital diobservasi
secara ketat, cairan intravena diberikan dengan monitoring.
c. Pengobatan di rumah
Setelah kejang diatasi harus disusul dengan pengobatan rumah.
Pengobatan ini dibagi atas 2 golongan yaitu :
1) Profilaksis intermitten
Untuk mencegah terulangnya kejang di kemudian hari diberikan obat
campuran anti konvulsan dan anti piretik yang harus diberikan pada
anak bila menderita demam lagi
2) Profilaksis jangka panjang
Gunanya untuk menjamin terdapatnya dosis terapeutik yang stabil dan
cukup di dalam darah penderita untuk mencegah terulangnya kejang di
kemudian hari.
d. Mencari dan mengobati penyebab
Penyebab dari kejang demam baik sederhana maupun epilepsy yang
diprovokasi oleh demam, biasanya infeksi traktus respiratorius bagian atas
dan otitis media akut.
e. Cegah cedera dan kejang berulang dengan memberi penyuluhan pada
anak dan keluarga.
B. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian adalah pendekatan untuk mengumpulkan data serta menganalisa data
sehingga dapat diketahui masalah dan kebutuhan perawatan klien (Gaffar, 1997).
Dalam upaya pengumpulan data sebagai langkah awal dari proses keperawatan
penulis melakukan pengkajian, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Kegiatan yang dilakukan dalam pengkajian adalah pengumpulan data dan
merumuskan prioritas masalah. Sedangkan tujuan dari pengkajian keperawatan
adalah mengumpulkan datadata, mengelompokkan dan menganalisa data sehingga
ditemukan diagnosa keperawatan (Gaffar, 1997).
Tahapan pengkajian merupakan dasar utama dalam memberikan asuhan keperawatan
sesuai dengan kebutuhan individu. Oleh karena itu pengkajian yang akurat dan

lengkap sesuai dengan kenyataan, kebenaran data sangat penting dalam merumuskan
suatu diagnosa keperawatan sesuai dengan respon individu sebagaimana yang
ditentukan dalam standar praktek keperawatan dari American Nursing Association.
Pengkajian keperawatan data dasar yang komprehensif adalah kumpulan data yang
berisikan mengenai status kesehatan klien untuk mengelola kesehatan terhadap
dirinya sendiri dan hasil konsultasi dari medis (terapis) atau profesi kesehatan
lainnya (Taylor, Lilis Le Mone, 1997).
Berdasarkan sumber data, data dibedakan menjadi dua, yaitu data primer dan data
sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari klien, yaitu
data tersebut diperoleh dari klien yang sadar maupun klien tidak sadar sehingga tidak
dapat berkomunikasi misalnya data tentang kebersihan diri atau data tentang
kesadaran. Data sekunder adalah data yang diperoleh selain dari klien, seperti dari
perawat, dokter, catatan perawat, serta dari pemeriksaan seperti pemeriksaan
laboratorium atau pemeriksaan diagnostik lainnya, dari keluarga atau dari kerabat
dekat.
Secara umum ada beberapa cara pengumpulan data dengan observasi, konsultasi,
validasi data, anamnesa, pemeriksaan fisik, observasi adalah pengumpulan data
melalui hasil pengamatan (melihat, meraba atau mendengarkan) tentang kondisi klien
dalam kerangka asuhan keperawatan.
Konsultasi adalah seorang spesialis diminta untuk mengidentifikasikan caracara
untuk pengobatan dan penanganan penyakit klien.
Anamnesa atau wawancara adalah cara pengumpulan data melalui inspeksi, palpasi,
perkusi dan auskultasi.
Inspeksi adalah pengamatan secara seksama terhadap status kesehatan klien, seperti
inspeksi kesimetrisan pergerakan dinding dada, penggunaan otot bantu pernafasan,
inspeksi adanya lesi pada kulit dan sebagainya.
Perkusi adalah pemeriksaan fisik dengan cara mengetukkan jari tengah kejari tengah
yang lainnya untuk normal atau tidaknya suatu organ tubuh.
Palpasi adalah jenis pemeriksaan fisik dengan cara meraba klien seperti lokasi pada
rongga abdomen untuk mengetahui lokasi nyeri atau untuk mengetahui adanya massa.
Auskultasi adalah cara pemeriksaan fisik dengan menggunakan stetoskop, misalnya
auskultasi dinding abdomen untuk mengetahui bising usus, mendengarkan suara paru
paru, bunyi jantung.
Adapun pengkajian untuk mengumpulkan datadata yang akurat terhadap Kejang
Demam yaitu dimulai dengan anamnesa kepada klien dan
keluarga kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik.

Hal hal yang perlu dikaji antara lain :


a.

Identitas pasien dan keluarga

1)

Nama Pasien (initial), umur, jenis kelamin,agama, suku bangsa dan alamat

2)

Nama Ayah (initial), umur, agama, pendidikan, pekerjaan, suku dan bangsa

3)

Nama Ibu (initial), umur, agama, pendidikan, pekerjaan, suku dan bangsa.

b.

Kesehatan fisik

1)

Pola nutrisi

Tidak ada nafsu makan (anoreksia), mual dan bahkan dapat disertai muntah. Perlu
dikaji pola nutrisi sebelum sakit, porsi makan sehari hari, jam makan, pemberian
makan oleh siapa, frekuensi makan, nafsu makan, serta alergi terhadap makanan.
2)

Pola eliminasi

3)

Pola tidur

Yang perlu dikaji meliputi jam tidur, waktu tidur dan lamanya tidur serta kebiasaan
sebelum tidur
4)

Pola hygiene tubuh

Mengkaji mengenai kebiasaan mandi, cuci rambut, potong kuku dan rambut
5)

Pola aktifitas

Anak tampak lemah, gelisah atau cengeng.


c.

Riwayat kesehatan yang lalu

1)

Riwayat prenatal

Dikaji mengenai kehamilan ke berapa, tempat pemeriksaan kehamilan, keluhan ibu


saat hamil, kelainan kehamilan dan obat obatan yang diminum saat hamil.
2)

Riwayat kelahiran

Kelahiran spontan atau dengan bantuan bantuan, aterm atau premature. Perlu juga
ditanyakan berat badan lahir, panjang badan, ditolong oleh siapa dan melahirkan di
mana.
3)

Riwayat yang berhubungan dengan hospitalisasi

Pernahkah dirawat di rumah sakit, berapa kali, sakit apa, pernahkah menderita
penyakit yang gawat.
Riwayat kesehatan dalam keluarga perlu dikaji kemungkinan ada keluarga yang
pernah menderita kejang.
4)

Tumbuh kembang

Mengkaji mengenai pertumbuhan dan perkembangan anak sesuai dengan tingkat usia,
baik perkembangan emosi dan sosial.

5)

Imunisasi

Yang perlu dikaji adalah jenis imunisasi dan umur pemberiannya. Apakah imunisasi
lengkap, jika belum apa alasannya.
d.

Riwayat penyakit sekarang

1)

Awal serangan : Sejak timbul demam, apakah kejang timbul setelah 24 jam

pertama setelah demam


2)

Keluhan utama : Timbul kejang (tonik, klonik, tonik klonik), suhu badan

meningkat
3)

Pengobatan : Pada saat kejang segera diberi obat anti konvulsan dan apabila

pasien berada di rumah, tiindakan apa yang dilakukan untuk mengatasi kejang.
4)

Riwayat sosial ekonomi keluarga

Pendapatan keluarga setiap bulan, hubungan sosial antara anggota keluarga dan
masyarakat sekitarnya.
5)

Riwayat psikologis

Reaksi pasien terhadap penyakit, kecemasan pasien dan orang tua sehubungan dengan
penyakit dan hospitalisasi.
e.

Pemeriksaan fisik

1)

Pengukuran pertumbuhan : Berat badan, tinggi badan, lingkar kepala

2)

Pengukuran fisiologis : Suhu biasanya di atas 38 C, nadi cepat, pernafasan

(mungkin dyspnea nafas pendek, nafas cepat, sianosis)


3)

Keadaan umum : Pasien tampak lemah, malaise

4)

Kulit : Turgor kulit dan kebersihan kulit

5)

Kepala : Bagaimana kebersihan kulit kepala dan warna rambut serta

kebersihannya
6)

Mata : Konjungtiva, sklera pucat / tidak, pupil dan palpebra

7)

Telinga : Kotor / tidak, mungkin ditemukan adanya Otitis Media Akut / Kronis

8)

Hidung umumnya tidak ada kelainan

9)

Mulut dan tenggorokan : Bisa dijumpai adanya tonsillitis

10) Dada : Simetris / tidak, pergerakan dada


11) Paru paru : Bronchitis kemungkinan ditemukan
12) Jantung : Umumnya normal
13) Abdomen : Mual mual dan muntah
14) Genetalia dan anus : Ada kelainan / tidak
15) Ekstremitas : Ada kelainan / tidak.
Setelah selesai mengumpulkan data maka selanjutnya data tersebut dikelompokkan.
Pengelompokan data dapat dibagi atas data dasar dan data khusus (Carpenito, 1997).

Data dasar terdiri dari data fisiologis, data psikologis, data sosial dan spiritual.
Sedangkan data khusus adalah data yang bersifat khusus, misalnya pemeriksaan
laboratorium, pemeriksaan rontgen dan sebagainya.
2.

Diagnosa Keperawatan

Diagnosa Keperawatan adalah pernyataan yang menjelaskan status atau masalah


kesehatan aktual atau rester / resti (Gaffar, 1997). Pada tahap diagnosa keperawatan
penulis akan menganalisa data yang diperoleh dari hasil pengkajian dan
mengidentifikasi masalah keperawatan, baik yang dapat dicegah, dapat dikurangi
maupun yang dapat ditanggulangi dengan tindakan keperawatan.
Diagnosa keperawatan dibagi sesuai dengan masalah kesehatan klien yaitu :
a.

Aktual, yaitu diagnosa keperawatan yang menjelaskan masalah yang nyata saat

ini dengan data klinis yang ditemukan.


b.

Rester, yaitu diagnosa keperawatan yang menjelaskan bahwa masalah kesehatan

yang nyata yang akan terjadi jika tidak dilakukan intervensi keperawatan, saat ini
masalah belum ada tetapi etiologi sudah ada.
c.

Possible, yaitu diagnosa keperawatan yang timbul akibat adanya tambahan

masalah
Komponen komponen berikut ini menandai tiga bagian pernyataan perubahan
keperawatan
a.

Diagnosa keperawatan, merupakan pernyataan yang menggambarkan

perubahan status kesehatan klien. Perubahanperubahan menyebabkan masalah dan


perubahan yang tidak menguntungkan pada kemampuan klien untuk berfungsi.
Diagnosa keperawatan adalah frase atau pernyataan yang ringkas, diagnosa
keperawatan memberikan dasar untuk membuat kriteria hasil asuhan keperawatan dan
menentukan intervensi intervensi yang diperlukan untuk mencapai kriteria hasil.
b.

Etiologi, pernyataan etiologi mencerminkan penyebab masalah klien yang

menimbulkan perubahanperubahan pada status kesehatan klien. Penyebab tersebut


dapat berhubungan dengan tingkah laku klien, patofisiologi, psikososial, perubahan
perubahan situasional pada gaya hidup, usia perkembangan, faktor budaya dan
lingkungan. Diagnosa keperawatan dapat diterapkan untuk semua area keperawatan,
seperti medikal bedah, kesehatan ibu dan anak, pediatrik, kesehatan komunitas.
Batasan karakteristik, merupakan kelompok petunjuk klinis yang menggambarkan
tingkah laku, tanda dan gejala yang menggambarkan diagnosa keperawatan. Batasan
karakteristik diperoleh selama tahap pengkajian, memberikan bukti bahwa ada
masalah kesehatan gejala (data subjektif) adalah perubahan yang dirasakan oleh klien
dan diekspresikan secara verbal kepada perawat. Tanda (data objektif) adalah
perubahan yang diamati pada status kesehatan klien. Identifikasi minimal tiga tanda

dan gejala sebagai bukti yang cukup untuk mendukung pemilihan diagnosa
keperawatan .
Adapun masalah keperawatan pada klien dengan kasus Febrile Convulsion menurut
Ngastiyah (19997) adalah :
a.

Resiko tinggi terhadap kerusakan sel otak berhubungan dengan kejang

b.

Hipertermia berhubungan dengan peningkatan metabolisme rata-rata, proses

infeksi
c.

Resiko terjadi bahaya / komplikasi berhubungan dengan aktifitas kejang

d.

Gangguan rasa aman dan nyaman berhubungan dengan tindakan invasif,

prosedur tindakan
e.

Kurang pengetahuan keluarga berhubungan dengan kurangnya informasi.

Menurut Doenges (2000), diagnosa keperawatan pada Febrile Convulsion adalah :


a.

Resiko terhadap henti nafas berhubungan dengan perubahan kesadaran,

kehilangan koordinasi otot besar dan kecil


b.

Ketidakefektifan pola pernafasan / bersihan jalan nafas berhubungan dengan

gangguan neuromuskuler, hypersekresi trakeobronkial


c.

Hipertermia berhubungan dengan peningkatan metabolisme basal rata-rata,

proses infeksi
d.

Kurang pengetahuan keluarga mengenai kondisi, dan aturan pengobatan

berhubungan dengan kurang informasi.


Sedangkan menurut Carpenito (1990), diagnosa keperawatan yang terdapat pada
kasus Febrile Convulsion adalah :
a.

Resiko tinggi tidak efektifnya bersihan jalan nafas berhubungan dengan

relaksasi lidah, sekunder terhadap gangguan inversi otot


b.

Hipertermia berhubungan dengan peningkatan metabolisme rata-rata, proses

infeksi.
3.

Perencanaan

Perencanaan merupakan tahap yang paling penting yang dibuat setelah merumuskan
diagnosa keperawatan. Tujuan perencanaan adalah untuk mengurangi, menghilangkan
dan mencegah masalah keperawatan klien, sehingga tercapai kondisi kesehatan klien
yang optimal (Gaffar, 1997).
Pada tahap perencanaan setelah memprioritaskan masalah keperawatn, penulis
menetapkan tujuan dan kriteria tindakan yang dapat mencegah, mengurangi dan
menanggulangi masalah kesehatan yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan
klien saat ini serta menuliskan tujuan yang ditetapkan harus nyata, dapat diukur dan
mempunyai batasan waktu pencapaian.
Adapun komponen tahap perencanaan adalah :

Membuat prioritas urutan diagnosa keperawatan


Diagnosa keperawatan diurutkan dengan prioritas tinggi, sedang, ringan masalah
dengan prioritas tinggi mencerminkan situasi yang mengancam hidup (misalnya
bersihan jalan nafas). Masalah dengan prioritas rendah tidak berhubungan secara
langsung dengan keadaan sakit atau prognosis yang spesifik (misalnya masalah
keuangan). Masalah dengan prioritas tingi membutuhkan perhatian yang cepat
dibandingkan dengan prioritas rendah.
Hirarki kebutuhan Maslow (1968) membantu perawat untuk memprioritaskan urutan
diagnosa keperawatan, kerangka hirarki ini termasuk kebutuhan fisiologis dan
psikologis. Lima tingkatan hirarki ini adalah fisikologis, keselamatan dan keamanan,
mencintai dan memiliki, harga diri dan aktualisasi diri.
Adapun rencana tindakan pada kasus Febrile Convulsion menurut Doenges (2002),
yaitu :
1.

Diagnosa keperawatan I

Resiko tinggi terhadap henti nafas berhubungan dengan perubahan kesadaran,


kehilangan koordinasi otot besar dan kecil
Tujuan dan kriteria hasil :
Henti nafas dan trauma tidak terjadi dengan kriteria :
q Menunjukkan efektifitas pernafasan selama kejang dan sesudahnya
q Tidak terdapat tanda injuri, perlukaan di seluruh organ tubuh
Rencana Tindakan :
1.1 Gali bersama-sama keluarga berbagai stimulasi yang dapat menjadi pencetus
kejang
Rasional : Mengetahui dan dapat menanggulangi sedini mungkin komplikasi yang
dapat terjadi
1.2 Pertahankan bantalan lunak pada penghalang tempat tidur yang terpasang dengan
posisi tempat tidur rendah
Rasional : mengurangi trauma saat kejang selama berada di tempat tidur
1.3 Gunakan termometer dengan bahan metal atau dapatkan suhu melalui lubang
telinga jika perlu
Rasional : mengurangi resiko klien menggigit dan cedera mulut
1.4 Tinggallah bersama klien dan keluarga dalam waktu beberapa lama / setelah
kejang
Rasional : Meningkatkan rasa aman keluarga, mengobservasi gejala lanjut
1.5 Masukkan jalan nafas buatan yang terbuat dari plastik. Miringkan kepala ke salah
satu sisi dan lakukan suction pada jalan nafas sesuia indikasi

Rasional : Memfasilitasi ekspansi dada maksimal, drainage sekret, dan memfasilitasi


saat melakukan suction
1.6 Atur kepala, tempatkan di atas daerah yang empuk (lunak) atau bantu meletakkan
pada lantai jika keluar dari tempat tidur
Rasional : Menurunkan resiko cedera
2.

Diagnosa keperawatan II

Ketidakefektifan pola pernafasan / bersihan jalan nafas berhubungan dengan


gangguan neuromuskuler, hypersekresi trakeobronkial
Tujuan dan kriteria hasil :
Pola nafas efektif yang ditunjukkan dengan frekuensi nafas dalam batas normal, jalan
nafas bersih
Rencana Tindakan :
2.1 Kosongkan mulut klien dari benda / zat makanan
Rasional : menurunkan resiko aspirasi
2.2 Letakkan klien pada posisi miring, permukaan datar, miringkan kepala, selama
serangan kejang
Rasional : Meningkatkan aliran (drainage), sekret, mencegah lidah jatuh, dan
menyumbat jalan nafas
2.3 Tanggalkan pakaian pada daerah leher, dada, dan abdomen
Rasional : Memfasilitasi usaha bernafas dan ekspansi dada
2.4 Masukkan spatel lidah/jalan nafas buatan atau golongan benda lunak sesuai
dengan indikasi
Rasional : Mencegah tergigitnya lidah dan memfasilitasi saat melakukan suction
2.5 Melakukan pengisapan (suction) sesuai indikasi
Rasional : Menurunkan resiko aspirasi dan asfiksia
3.

Diagnosa keperawatan III

Hipertermia berhubungan dengan peningkatan metabolisme basal rata-rata, proses


infeksi
Tujuan dan kriteria hasil :
Suhu tubuh dalam batas normal, yang ditunjukkan dengan mendemontrasikan suhu
dalam batas normal, bebas dari kedinginan, tidak mengalami komplikasi yang
berhubungan
Rencana Tindakan :
3.1 Pantau suhu tubuh
Rasional : Suhu 38,9-41,1 menunjukkan adanya proses infeksius akut. Pola demam
dapat membantu dalam diagnosis

3.2 Pantau suhu lingkungan, batasi / tambahkan penggunaan seprai di tempat tidur
sesuai indikasi
Rasional : Suhu ruangan / jumlah selimut harus dirubah untuk mempertahankan suhu
mendekati normal
3.3 Berikan kompres hangat
Rasional : Membantu menurunkan demam dengan efek vasodilatasi air hangat
melalui proses evaporase
3.4 Kolaborasi : Berikan antipiretik
Rasional : Digunakan untuk mengurangi demam dengan aksi sentranya pada
hipotalamus

meskipun

demam

mungkin

dapat

berguna dalam membatasi

pertumbuhan organisme dan meningkatkan autodekstruksi sel-sel yang terinfeksi.


4

Diagnosa keperawatan IV

Kurang pengetahuan (kurang belajar) mengenai kondisi, dan aturan pengobatan


berhubungan dengan kurang informasi, kesalahan persepsi
Tujuan dan kriteria hasil :
Mengungkapkan pemahaman tentang gangguan berbagai rangsang yang dapat
menyebabkan aktifitas kejang, dengan kriteria :
Keluarga dapat mengemukakan kondisi dan pengobatan secara sederhana.
Rencana Tindakan :
4.1 Jelaskan kembali mengenai patofisiologi / prognosis penyakit
Rasional : Memberikan kesempatan mengklarifikasi kesalahan persepsi dan keadaan
penyakit yang ada sesuai dengan yang ditangani
4.2 Tinjau kembali obat-obat yang didapat
Rasional : Tidak ada pemahaman terhadap obat-obatan yang dapat merupakan
penyebab kecemasan keluarga
4.

Pelaksanaan

Pelaksanaan adalah intervensi yang dilaksanakan sesuai dengan rencana setelah


dilakukan validasi, penugasan ketrampilan interpersonal, intelektual dan teknikal
(Gaffar, 1997, 49).
Pelaksanaan tindakan keperawatan pada klien vulnus scissum untuk memenuhi antara
lain : mencegah infeksi, meningkatkan penyembuhan luka, meningkatkan kondisi
kesehatan dan koping individu dan keluarga serta mencegah komplikasi cedera
selanjutnya.
Tahap pelaksanaan merupakan bentuk tindakan untuk direncanakan sebelumnya dan
disesuaikan dengan situasi secara cermat dan efisien. Dalam melaksanakan tindakan
keperawatan penulis menyesuaikan dengan kondisi yang sesuai dengan kebutuhan

klien saat itu, tidak semata mata berdasarkan prioritas masalah yang direncanakan
sebelumnya serta disesuaikan dengan waktu pelaksanaan tindakan. Dalam
melaksanakan tindakan keperawatan penulis juga melaksanakan tindakan observasi
dan pengumpulan data untuk melihat perkembangan klien selanjutnya.
Komponen tahapan dalam menyusun implementasi :
a.

Tindakan keperawatan mandiri dilakukan tanpa perintah dokter, tindakan

keperawatan mandiri ini ditetapkan dengan standar praktik American Nursing


Association (1973), undangundang praktik perawat negara bagian dan kebijakan
institusi perawat kesehatan.
b.

Tindakan keperawatan kolaboratif, diimplementasikan bila perawat bekerja

dengan anggota tim perawatan kesehatan yang lain dalam membuat keputusan
bersama yang bertujuan untuk mengatasi masalah masalah klien.
c.

Dokumentasi tindakan keperawatan dan respons klien terhadap tindakan

keperawatan, dokumentasi merupakan pernyataan dari kejadian atau aktifitas yang


otentik dengan mempertahankan

catatan catatan yang tertulis. Dokumentasi

merupakan wahana untuk komunikasi dari salah satu profesional ke profesional


lainnya tentang status klien. Dokumentasi klien memberikan bukti tindakan
keperawatan mandiri dan kolaboratif yang diimplementasikan oleh perawat.
5.

Evaluasi

Merupakan fase akhir dari proses keperawatan adalah evaluasi terhadap asuhan
keperawatan yang diberikan (Gaffar, 1997). Evaluasi asuhan keperawatan adalah
tahap akhir proses keperawatan yang bertujuan untuk menilai hasil akhir dari
keseluruhan tindakan keperawatan yang dilakukan.
Hasil akhir yang diinginkan dari perawatan pasien Kejang Demam meliputi pola
pernafasan kembali efektif, suhu tubuh kembali normal, anak menunjukkan rasa
nymannya secara verbal maupun non verbal, kebutuhan cairan terpenuhi seimbang,
tidak terjadi injury selama dan sesudah kejang dan pengatahuan orang tua
bertambah.
Evaluasi ini bersifat formatif, yaitu evaluasi yang dilakukan secara terus menerus
untuk menilai hasil tindakan yang dilakukan disebut juga evaluasi tujuan jangka
pendek. Dapat pula bersifat sumatif yaitu evaluasi yang dilakukan sekaligus pada
akhir dari semua tindakan yang pencapaian tujuan jangka panjang.
Komponen tahapan evaluasi :
a.

Pencapaian kriteria hasil

Pencapaian dengan target tunggal merupakan meteran untuk pengukuran. Bila kriteria
hasil telah dicapai, kata Sudah Teratasi dan datanya ditulis di rencana asuhan

keperawatan. Jika kriteria hasil belum tercapai, perawat mengkaji kembali klien dan
merevisi rencana asuhan keperawatan.
b.

Keefektifan tahap tahap proses keperawatan

Faktor faktor yang mempengaruhi pencapaian kriteria hasil dapat terjadi di seluruh
proses keperawatan.
1)

Kesenjangan informasi yang terjadi dalam pengkajian tahap satu.

2)

Diagnosa keperawatan yang salah diidentifikasi pada tahap dua

3)

Instruksi perawatan tidak selaras dengan kriteria hasil pada tahap tiga

4)

Kegagalan mengimplementasikan rencana asuhan keperawatan tahap empat.

5)

Kegagalan mengevaluasi kemajuan klien pada tahap ke lima.

DAFTAR PUSTAKA

Arif Mansjoer, dkk (2000), Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 2, Media Aesculapius,
Jakarta
Doenges, Marillyn E, dkk (2000), Penerapan Proses Keperawatan dan Diagnosa
Keperawatan, EGC, Jakarta
Doenges, Marillyn E, et all (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, EGC,
Jakarta
Gaffar, La Ode Jumadi (1997), Pengantar Keperawatan Profesional, EGC, Jakarta
Hasan, Dr. Rusepno (1995), Ilmu Kesehatan Anak, Jakarta
Ngastiyah (1997), Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta
Pusponegoro, Titut S., dkk (2000) Perinatologi, EGC, Jakarta
Saifuddin (1997), Anatomi Fisiologi Untuk Siswa Perawat, EGC, Jakarta
Susan Martin, dkk (1998), Standar Perawatan Pasien, Proses Keperawatan, Diagnosa
dan Evaluasi, Edisi 5, EGC, Jakarta
Sylvia A. Price, dkk (1995), Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Edisi 4, EGC,
Jakarta

A. Pengertian Kejang Demam


1. Kejang demam yaitu kejang yang dihubungkan dengan suatu
penyakit yang dicirikan dengan demam tinggi (suhu 38,9 40
0C). Kejang demam berlangsungkurang dari 15 menit,
generalisata, dan terjadi pada anak-anaktampa kecacatat
neurologic.
2. Jenis kejangn ini member dampak 3%sampai 5% pada anak dan
biasanya terjadisetelah usia 6 bulandan sebelum usia 3 tahun.
KEjang demam tidak lazim terjadi pada anak usia lebih dari 5
tahun. (Muscari 2005:185)
3. Kejang demam : suatu kejang yang terjadi pada usia antara 3
bulan hingga 5 tahun yang berkaitan dengandemam namun
tanpaadanya infeksi intracranial atu penyebabk yang jelas
(Meadow 2005 : 113)

2.1

Konsep Kejang Demam

2.2.1

Pengertian
Kejang demam atau febrile convulsion ialah bangkitan kejang yang
terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38 oC) yang disebabkan
oleh proses ekstrakranium (Ngastiyah, 1997:229).

2.2.2

Etiologi
Bangkitan kejang pada bayi dan anak disebabkan oleh kenaikan suhu
badan yang tinggi dan cepat, yang disebabkan oleh infeksi diluar susunan
syaraf pusat misalnya : tonsilitis ostitis media akut, bronchitis, dll

2.2.3

Patofisiologi
Sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi
dipecah menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri dari
permukaan dalam yaitu lipoid dan permukaan luar yaitu ionik. Dalam
keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion
kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na +) dan elektrolit
lainnya, kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi ion K+ dalam sel
neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedang di luar sel neuron terdapat
keadaan sebalikya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan
di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial membran yang disebut
potensial membran dari neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial
membran diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K ATP-ase yang terdapat
pada permukaan sel.
Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah oleh :
2.1.3.1 Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraselular
2.1.3.2 Rangsangan yang datang mendadak misalnya mekanisme, kimiawi atau
aliran listrik dari sekitarnya
2.1.3.3 Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau
keturunan
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan
kenaikan metabolisme basal 10-15 % dan kebutuhan oksigen akan
meningkat 20%. Pada anak 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65 % dari
seluruh tubuh dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15 %. Oleh

karena itu kenaikan suhu tubuh dapat mengubah keseimbangan dari


membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion
kalium maupun ion natrium akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas
muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel
maupun ke membran sel sekitarnya dengan bantuan neurotransmitter dan
terjadi kejang. Kejang demam yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit)
biasanya disertai apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk
kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis
laktat disebabkan oleh metabolisme anerobik, hipotensi artenal disertai
denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh meningkat yang
disebabkan makin meningkatnya aktifitas otot dan mengakibatkan
metabolisme otak meningkat.
2.2.4

Prognosa
Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat prognosisnya baik
dan tidak perlu menyebabkan kematian, resiko seorang anak sesudah
menderita kejang demam tergantung faktor :
2.1.4.1 Riwayat penyakit kejang tanpa demam dalam keluarga
2.1.4.2 Kelainan dalam perkembangan atau kelainan saraf sebelum anak menderita
kejang
2.1.4.3 Kejang yang berlangsung lama atau kejang fokal
Bila terdapat paling sedikit 2 dari 3 faktor tersebut di atas, di
kemudian hari akan mengalami serangan kejang tanpa demam sekitar 13 %,
dibanding bila hanya terdapat satu atau tidak sama sekali faktor tersebut,
serangan kejang tanpa demam 2%-3% saja (Consensus Statement on
Febrile Seizures 1981).
2.2.5

Manifestasi Klinik
Serangan kejang biasanya terjadi 24 jam pertama sewaktu demam,
berlangsung singkat dengan sifat bangkitan kejang dapat berbentuk tonikklonik, tonik, klonik, fokal atau akinetik. Umumnya kejang berhenti sendiri.
Begitu kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun sejenak tapi
setelah beberapa detik atau menit anak akan sadar tanpa ada kelainan saraf.
Di Subbagian Anak FKUI RSCM Jakarta, kriteria Livingstone
dipakai sebagai pedoman membuat diagnosis kejang demam sederhana,
yaitu :

2.1.5.1
2.1.5.2
2.1.5.3
2.1.5.4
2.1.5.5
2.1.5.6

Umur anak ketika kejang antara 6 bulan dan 4 tahun


Kejang berlangsung tidak lebih dari 15 menit
Kejang bersifat umum
Kejang timbul dalam 16 jam pertamam setelah timbulnya demam
Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal
Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya satu minggu sesudah suhu normal
tidak menunjukkan kelainan
2.1.5.7 Frekuensi kejang bangkitan dalam satu tahun tidak melebihi empat kali
2.2.6

Penatalaksanaan Medik
Dalam penaggulangan kejang demam ada 4 faktor yang perlu
dikerjakan, yaitu :
2.1.6.1 Pemberantasan kejang secepat mungkin
Pemberantasan kejang di Sub bagian Saraf Anak, Bagian Ilmu Kesehatan
Anak FKUI sebagai berikut :
Apabila seorang anak datang dalam keadaan kejang, maka :
1.
Segera diberikan diazepam intravena
dosis ratarata
0,3 mg/kg

Atau
diazepam rectal
bila kejang tidak berhenti
tunggu 15 menit

dosis 10 kg : 5 mg
10 kg : 10 mg

dapat diulang dengan cara/dosis yang sama


kejang berhenti
berikan dosis awal fenobarbital
dosis : neonatus
: 30 mg I.M
1 bulan 1 tahun : 50 mg I.M
1 tahun
: 75 mg I.M
2.
Bila diazepam tidak tersedia, langsung memakai
fenobarbital dengan dosis awal dan selanjutnya diteruskan dengan dosis
rumat.
2.1.6.2 Pengobatan penunjang
Pengobatan penunjang saat serangan kejang adalah :
1. Semua pakaian ketat dibuka
2. Posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi isi lambung
3. Usahakan agar jalan napas bebasuntuk menjamin kebutuhan oksigen
4. Pengisapan lendir harus dilakukan secara teratur dan diberikan oksigen
2.1.6.3 Pengobatan rumat
Fenobarbital dosis maintenance : 8-10 mg/kg BB dibagi 2 dosis pada hari
pertama, kedua diteruskan 4-5 mg/kg BB dibagi 2 dosis pada hari berikutnya.
2.1.6.4 Mencari dan mengobati penyebab
Penyebab kejang demam adalah infeksi respiratorius bagian atas dan astitis
media akut. Pemberian antibiotik yang adekuat untuk mengobati penyakit
tersebut. Pada pasien yang diketahui kejang lama pemeriksaan lebih intensif
seperti fungsi lumbal, kalium, magnesium, kalsium, natrium dan faal hati.
Bila perlu rontgen foto tengkorak, EEG, ensefalografi, dll.
2.3

Konsep Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Kejang Demam


Langkah-langkah dalam proses keperawatan ini meliputi :

2.3.1

Pengkajian
Pengkajian adalah pendekatan sistemik untuk mengumpulkan data dan
menganalisa, sehingga dapat diketahui kebutuhan perawatan pasien tersebut.
(Santosa. NI, 1989, 154)
Langkah-langkah dalam pengkajian meliputi pengumpulan data, analisa dan
sintesa data serta perumusan diagnosa keperawatan. Pengumpulan data akan
menentukan kebutuhan dan masalah kesehatan atau keperawatan yang
meliputi kebutuhan fisik, psikososial dan lingkungan pasien. Sumber data
didapatkan dari pasien, keluarga, teman, team kesehatan lain, catatan pasien
dan hasil pemeriksaan laboratorium. Metode pengumpulan data melalui
observasi (yaitu dengan cara inspeksi, palpasi, auskultasi, perkusi),
wawancara (yaitu berupa percakapan untuk memperoleh data yang
diperlukan), catatan (berupa catatan klinik, dokumen yang baru maupun yang
lama), literatur (mencakup semua materi, buku-buku, masalah dan surat
kabar).
Pengumpulan data pada kasus kejang demam ini meliputi :

2.3.1.1 Data subyektif


1. Biodata/Identitas
Biodata anak mencakup nama, umur, jenis kelamin.
Biodata orang tua perlu dipertanyakan untuk mengetahui status sosial

anak meliputi nama, umur, agama, suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan,


penghasilan, alamat.
2. Riwayat Penyakit (Darto Suharso, 2000)
Riwayat penyakit yang diderita sekarang tanpa kejang ditanyakan :
Apakah betul ada kejang ?
Diharapkan ibu atau keluarga yang mengantar dianjurkan menirukan
gerakan kejang si anak
Apakah disertai demam ?
Dengan mengetahui ada tidaknya demam yang menyertai kejang, maka
diketahui apakah infeksi infeksi memegang peranan dalam terjadinya
bangkitan kejang. Jarak antara timbulnya kejang dengan demam..
Lama serangan
Seorang ibu yang anaknya mengalami kejang merasakan waktu
berlangsung lama. Lama bangkitan kejang kita dapat mengetahui
kemungkinan respon terhadap prognosa dan pengobatan.
Pola serangan
Perlu diusahakan agar diperoleh gambaran lengkap mengenai pola
serangan apakah bersifat umum, fokal, tonik, klonik ?
Apakah serangan berupa kontraksi sejenak tanpa hilang kesadaran seperti
epilepsi mioklonik ?
Apakah serangan berupa tonus otot hilang sejenak disertai gangguan
kesadaran seperti epilepsi akinetik ?
Apakah serangan dengan kepala dan tubuh mengadakan flexi sementara
tangan naik sepanjang kepala, seperti pada spasme infantile ?
Pada kejang demam sederhana kejang ini bersifat umum.
Frekuensi serangan
Apakah penderita mengalami kejang sebelumnya, umur berapa kejang
terjadi untuk pertama kali, dan berapa frekuensi kejang per tahun.
Prognosa makin kurang baik apabila kejang timbul pertama kali pada
umur muda dan bangkitan kejang sering timbul.
Keadaan sebelum, selama dan sesudah serangan
Sebelum kejang perlu ditanyakan adakah aura atau rangsangan tertentu
yang dapat menimbulkan kejang, misalnya lapar, lelah, muntah, sakit
kepala dan lain-lain. Dimana kejang dimulai dan bagaimana menjalarnya.
Sesudah kejang perlu ditanyakan apakah penderita segera sadar, tertidur,
kesadaran menurun, ada paralise, menangis dan sebagainya ?
Riwayat penyakit sekarang yang menyertai
Apakah muntah, diare, truma kepala, gagap bicara (khususnya pada
penderita epilepsi), gagal ginjal, kelainan jantung, DHF, ISPA, OMA,
Morbili dan lain-lain.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Sebelum penderita mengalami serangan kejang ini ditanyakan apakah
penderita pernah mengalami kejang sebelumnya, umur berapa saat kejang
terjadi untuk pertama kali ?
Apakah ada riwayat trauma kepala, radang selaput otak, KP, OMA dan
lain-lain.
4. Riwayat Kehamilan dan Persalinan
Kedaan ibu sewaktu hamil per trimester, apakah ibu pernah mengalami
infeksi atau sakit panas sewaktu hamil. Riwayat trauma, perdarahan per
vaginam sewaktu hamil, penggunaan obat-obatan maupun jamu selama
hamil. Riwayat persalinan ditanyakan apakah sukar, spontan atau dengan
tindakan ( forcep/vakum ), perdarahan ante partum, asfiksi dan lain-lain.
Keadaan selama neonatal apakah bayi panas, diare, muntah, tidak mau
menetek, dan kejang-kejang.

5. Riwayat Imunisasi
Jenis imunisasi yang sudah didapatkan dan yang belum ditanyakan serta
umur mendapatkan imunisasi dan reaksi dari imunisasi. Pada umumnya
setelah mendapat imunisasi DPT efek sampingnya adalah panas yang
dapat menimbulkan kejang.
6. Riwayat Perkembangan
Ditanyakan kemampuan perkembangan meliputi :
Personal sosial (kepribadian/tingkah laku sosial) : berhubungan dengan
kemampuan mandiri, bersosialisasi, dan berinteraksi dengan
lingkungannya.
Gerakan motorik halus : berhubungan dengan kemampuan anak untuk
mengamati sesuatu, melakukan gerakan yang melibatkan bagian-bagian
tubuh tertentu saja dan dilakukan otot-otot kecil dan memerlukan
koordinasi yang cermat, misalnya menggambar, memegang suatu benda,
dan lain-lain.
Gerakan motorik kasar : berhubungan dengan pergerakan dan sikap
tubuh.
Bahasa : kemampuan memberikan respon terhadap suara, mengikuti
perintah dan berbicara spontan.
7. Riwayat kesehatan keluarga.
Adakah anggota keluarga yang menderita kejang (+ 25 % penderita
kejang demam mempunyai faktor turunan). Adakah anggota keluarga
yang menderita penyakit syaraf atau lainnya ? Adakah anggota keluarga
yang menderita penyakit seperti ISPA, diare atau penyakit infeksi menular
yang dapat mencetuskan terjadinya kejang demam.
8. Riwayat sosial
Untuk mengetahui perilaku anak dan keadaan emosionalnya perlu dikaji
siapakah yanh mengasuh anak ?
Bagaimana hubungan dengan anggota keluarga dan teman sebayanya ?
9. Pola kebiasaan dan fungsi kesehatan
Ditanyakan keadaan sebelum dan selama sakit bagaimana ?
Pola kebiasaan dan fungsi ini meliputi :
Pola persepsi dan tatalaksanaan hidup sehat
Gaya hidup yang berkaitan dengan kesehatan, pengetahuan tentang
kesehatan, pencegahan dan kepatuhan pada setiap perawatan dan tindakan
medis ?
Bagaimana pandangan terhadap penyakit yang diderita, pelayanan
kesehatan yang diberikan, tindakan apabila ada anggota keluarga yang
sakit, penggunaan obat-obatan pertolongan pertama.
Pola nutrisi
Untuk mengetahui asupan kebutuhan gizi anak. Ditanyakan bagaimana
kualitas dan kuantitas dari makanan yang dikonsumsi oleh anak ?
Makanan apa saja yang disukai dan yang tidak ? Bagaimana selera makan
anak ? Berapa kali minum, jenis dan jumlahnya per hari ?
Pola Eliminasi :
BAK : ditanyakan frekuensinya, jumlahnya, secara makroskopis
ditanyakan bagaimana warna, bau, dan apakah terdapat darah ?
Serta ditanyakan apakah disertai nyeri saat anak kencing.
BAB : ditanyakan kapan waktu BAB, teratur atau tidak ? Bagaimana
konsistensinya lunak,keras,cair atau berlendir ?
Pola aktivitas dan latihan
Apakah anak senang bermain sendiri atau dengan teman sebayanya ?
Berkumpul dengan keluarga sehari berapa jam ? Aktivitas apa yang
disukai ?

Pola tidur/istirahat
Berapa jam sehari tidur ? Berangkat tidur jam berapa ? Bangun tidur jam
berapa ? Kebiasaan sebelum tidur, bagaimana dengan tidur siang ?
2.3.1.2 Data Obyektif
1.

2.

Pemeriksaan Umum (Corry S, 2000 hal : 36)


Pertama kali perhatikan keadaan umum vital : tingkat
kesadaran, tekanan darah, nadi, respirasi dan suhu. Pada
kejang demam sederhana akan didapatkan suhu tinggi
sedangkan kesadaran setelah kejang akan kembali normal
seperti sebelum kejang tanpa kelainan neurologi.
Pemeriksaan Fisik
Kepala
Adakah tanda-tanda mikro atau makrosepali? Adakah dispersi
bentuk kepala? Apakah tanda-tanda kenaikan tekanan
intrakarnial, yaitu ubun-ubun besar cembung, bagaimana
keadaan ubun-ubun besar menutup atau belum ?.
Rambut
Dimulai warna, kelebatan, distribusi serta karakteristik lain
rambut. Pasien dengan malnutrisi energi protein mempunyai
rambut yang jarang, kemerahan seperti rambut jagung dan
mudah dicabut tanpa menyebabkan rasa sakit pada pasien.
Muka/ Wajah.
Paralisis fasialis menyebabkan asimetri wajah; sisi yang paresis
tertinggal bila anak menangis atau tertawa, sehingga wajah
tertarik ke sisi sehat. Adakah tanda rhisus sardonicus,
opistotonus, trimus ? Apakah ada gangguan nervus cranial ?
Mata
Saat serangan kejang terjadi dilatasi pupil, untuk itu periksa
pupil dan ketajaman penglihatan. Apakah keadaan sklera,
konjungtiva ?
Telinga
Periksa fungsi telinga, kebersihan telinga serta tanda-tanda
adanya infeksi seperti pembengkakan dan nyeri di daerah
belakang telinga, keluar cairan dari telinga, berkurangnya
pendengaran.
Hidung
Apakah ada pernapasan cuping hidung? Polip yang menyumbat
jalan napas ? Apakah keluar sekret, bagaimana konsistensinya,
jumlahnya ?
Mulut

Adakah tanda-tanda sardonicus? Adakah cynosis? Bagaimana


keadaan lidah? Adakah stomatitis? Berapa jumlah gigi yang
tumbuh? Apakah ada caries gigi ?
Tenggorokan
Adakah tanda-tanda peradangan tonsil ? Adakah tanda-tanda
infeksi faring, cairan eksudat ?
Leher
Adakah tanda-tanda kaku kuduk, pembesaran kelenjar tiroid ?
Adakah pembesaran vena jugulans ?
Thorax
Pada infeksi, amati bentuk dada klien, bagaimana gerak
pernapasan, frekwensinya, irama, kedalaman, adakah retraksi
Intercostale ? Pada auskultasi, adakah suara napas tambahan ?
Jantung
Bagaimana keadaan dan frekwensi jantung serta iramanya ?
Adakah bunyi tambahan ? Adakah bradicardi atau tachycardia ?
Abdomen
Adakah distensia abdomen serta kekakuan otot pada
abdomen ? Bagaimana turgor kulit dan peristaltik usus ?
Adakah tanda meteorismus? Adakah pembesaran lien dan
hepar ?
Kulit
Bagaimana keadaan kulit baik kebersihan maupun warnanya?
Apakah terdapat oedema, hemangioma ? Bagaimana keadaan
turgor kulit ?
Ekstremitas
Apakah terdapat oedema, atau paralise terutama setelah
terjadi kejang? Bagaimana suhunya pada daerah akral ?
Genetalia
Adakah kelainan bentuk oedema, sekret yang keluar dari
vagina, tanda-tanda infeksi ?

2.3.1.3 Pemeriksaan Penunjang


Tergantung sarana yang tersedia dimana pasien dirawat,
pemeriksaannya meliputi :
1. Darah
Glukosa Darah

: Hipoglikemia merupakan predisposisi kejang


(N < 200 mq/dl)

BUN

: Peningkatan BUN mempunyai potensi kejang


dan merupakan indikasi nepro toksik akibat
dari pemberian obat.

Elektrolit

: K, Na
Ketidakseimbangan elektrolit merupakan
predisposisi kejang
Kalium ( N 3,80 5,00 meq/dl )
Natrium ( N 135 144 meq/dl )
2. Cairan Cerebo Spinal
:
Mendeteksi tekanan abnormal dari
CCS tanda infeksi, pendarahan penyebab
kejang.
3. Skull Ray
:
Untuk
mengidentifikasi adanya proses desak
ruang dan adanya lesi
4. Tansiluminasi
:
Suatu
cara
yang dikerjakan pada bayi dengan UUB
masih terbuka (di bawah 2 tahun) di
kamar gelap dengan lampu khusus untuk
transiluminasi kepala.
5. EEG :
Teknik
untuk
menekan
aktivitas listrik otak melalui tengkorak
yang utuh untuk mengetahui fokus
aktivitas kejang, hasil biasanya normal.
6. CT Scan
:
Untuk
mengidentifikasi lesi cerebral infaik
hematoma, cerebral oedem, trauma,
abses, tumor dengan atau tanpa kontras.

2.3.2 Analisa dan Sintesa Data


Analisa data merupakan proses intelektual yang meliputi
kegiatan mentabulasi, menyeleksi, mengelompokkan, mengaitkan
data, menentukan kesenjangan informasi, melihat pola data,
membandingakan dengan standar, menginterpretasi dan akhirnya
membuat kesimpulan. Hasil analisa data adalah pernyataan
masalah keperawatan atau yang disebut diagnosa keperawatan.

2.3.3

Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang jelas, singkat, dan pasti
tentang masalah pasien/klien serta penyebabnya yang dapat dipecahkan atau
diubah melalui tindakan keperawatan.
Diagnosa keperawatan yang muncul adalah :
2.2.3.1 Potensial terjadinya kejang ulang berhubungan dengan hiperthermi.
2.2.3.2 Potensial terjadinya trauma fisik berhubungan dengan kurangnya koordinasi
otot
2.2.3.3 Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan hiperthermi yang ditandai :
1. Suhu meningkat
2. Anak tampak rewel
2.2.3.4 Kurangnya pengetahuan keluarga berhubungan dengan keterbatasan
informasi yang ditandai : keluarga sering bertanya tentang penyakit anaknya.

2.3.4

Perencanaan
Perencanaan merupakan keputusan awal tentang apa yang akan
dilakukan, bagaimana, kapan itu dilakukan, dan siapa yang akan melakukan
kegiatan tersebut. Rencana keperawatan yang memberikan arah pada kegiatan
keperawatan. (Santosa. NI, 1989;160)
2.3.4.1 Diagnosa Keperawatan : potensial terjadi kejang ulang berhubungan dengan
hipertermi
Tujuan
: Klien tidak mengalami kejang selama berhubungan dengan
hiperthermi
Kriteria hasil :
1. Tidak terjadi serangan kejang ulang.
2. Suhu 36,5 37,5 C (bayi), 36 37,5 C (anak)
3. Nadi 110 120 x/menit (bayi)
100-110 x/menit (anak)
4. Respirasi 30 40 x/menit (bayi)
24 28 x/menit (anak)
5. Kesadaran composmentis
Rencana Tindakan :
1. Longgarkan pakaian, berikan pakaian tipis yang mudah menyerap
keringat.
Rasional : proses konveksi akan terhalang oleh pakaian yang ketat dan
tidak menyerap keringat.
2. Berikan kompres dingin
Rasional
: perpindahan panas secara konduksi
3. Berikan ekstra cairan (susu, sari buah, dll)
Rasional
: saat demam kebutuhan akan cairan tubuh meningkat.
4. Observasi kejang dan tanda vital tiap 4 jam
Rasional
: Pemantauan yang teratur menentukan tindakan yang akan
dilakukan.
5. Batasi aktivitas selama anak panas
Rasional
: aktivitas
dapat
meningkatkan
metabolisme
dan
meningkatkan panas.
6. Berikan anti piretika dan pengobatan sesuai advis.
Rasional
: Menurunkan panas pada pusat hipotalamus dan sebagai
propilaksis
2.3.4.2 Diagnosa Keperawatan : potensial terjadi trauma fisik berhubungan dengan
kurangnya koordinasi otot
Tujuan
: Tidak terjadi trauma fisik selama perawatan.
Kriteria Hasil :
1. Tidak terjadi trauma fisik selama perawatan.
2. Mempertahankan tindakan yang mengontrol aktivitas kejang.
3. Mengidentifikasi tindakan yang harus diberikan ketika terjadi kejang.
Rencana Tindakan :
1. Beri pengaman pada sisi tempat tidur dan penggunaan tempat tidur yang
rendah.
Rasional : meminimalkan injuri saat kejang
2. Tinggalah bersama klien selama fase kejang..
Rasional : meningkatkan keamanan klien.
3. Berikan tongue spatel diantara gigi atas dan bawah.
Rasional : menurunkan resiko trauma pada mulut.
4. Letakkan klien di tempat yang lembut.
Rasional : membantu menurunkan resiko injuri fisik pada ekstimitas
ketika kontrol otot volunter berkurang.
5. Catat tipe kejang (lokasi,lama) dan frekuensi kejang.

Rasional : membantu menurunkan lokasi area cerebral yang terganggu.


Catat tanda-tanda vital sesudah fase kejang
Rasional : mendeteksi secara dini keadaan yang abnormal
2.3.4.3 Diagnosa Keperawatan / Masalah : Gangguan rasa nyaman berhubungan
dengan hiperthermi.
Tujuan
: Rasa nyaman terpenuhi
Kriteria hasil : Suhu tubuh 36 37,5 C, N ; 100 110 x/menit,
RR : 24 28 x/menit, Kesadaran composmentis, anak tidak
rewel.
Rencana Tindakan :
1. Kaji faktor faktor terjadinya hiperthermi.
Rasional
: mengetahui penyebab terjadinya hiperthermi karena
penambahan
pakaian/selimut
dapat
menghambat
penurunan suhu tubuh.
2. Observasi tanda tanda vital tiap 4 jam sekali
Rasional
: Pemantauan tanda vital yang teratur dapat menentukan
perkembangan keperawatan yang selanjutnya.
3. Pertahankan suhu tubuh normal
Rasional
: suhu tubuh dapat dipengaruhi oleh tingkat aktivitas, suhu
lingkungan, kelembaban tinggiakan mempengaruhi panas
atau dinginnya tubuh.
4. Ajarkan pada keluarga memberikan kompres dingin pada kepala / ketiak .
Rasional
: proses konduksi/perpindahan panas dengan suatu bahan
perantara.
5. Anjurkan untuk menggunakan baju tipis dan terbuat dari
kain katun
Rasional
: proses hilangnya panas akan terhalangi oleh pakaian tebal
dan tidak dapat menyerap keringat.
6. Atur sirkulasi udara ruangan.
Rasional
: Penyediaan udara bersih.
7. Beri ekstra cairan dengan menganjurkan pasien banyak
minum
Rasional
: Kebutuhan cairan meningkat karena penguapan tubuh
meningkat.
8. Batasi aktivitas fisik
Rasional
: aktivitas meningkatkan metabolismedan meningkatkan
panas.
6.

2.3.4.4 Diagnosa Keperawatan / Masalah : Kurangnya pengetahuan keluarga


sehubungan keterbataaan informasi
Tujuan
: Pengetahuan keluarga bertambah tentang penyakit anaknya.
Kriteria hasil :
1. Keluarga tidak sering bertanya tentang penyakit anaknya.
2. Keluarga mampu diikutsertakan dalam proses keperawatan.
3. keluarga mentaati setiap proses keperawatan.
Rencana Tindakan :
1. Kaji tingkat pengetahuan keluarga
Rasional : Mengetahui sejauh mana pengetahuan yang dimiliki keluarga
dan kebenaran informasi yang didapat.
2. Beri penjelasan kepada keluarga sebab dan akibat kejang demam
Rasional : penjelasan tentang kondisi yang dialami dapat membantu
menambah wawasan keluarga
3. Jelaskan setiap tindakan perawatan yang akan dilakukan.
Rasional : agar keluarga mengetahui tujuan setiap tindakan perawatan
4. Berikan Health Education tentang cara menolong anak kejang dan

5.

6.

7.

mencegah kejang demam, antara lain :


1. Jangan panik saat kejang
2. Baringkan anak ditempat rata dan lembut.
3. Kepala dimiringkan.
4. Pasang gagang sendok yang telah dibungkus kain yang basah, lalu
dimasukkan ke mulut.
5. Setelah kejang berhenti dan pasien sadar segera minumkan obat
tunggu sampai keadaan tenang.
6. Jika suhu tinggi saat kejang lakukan kompres dingin dan beri banyak
minum
7. Segera bawa ke rumah sakit bila kejang lama.
Rasional : sebagai upaya alih informasi dan mendidik keluarga agar
mandiri dalam mengatasi masalah kesehatan.
Berikan Health Education agar selalu sedia obat penurun panas, bila anak
panas.
Rasional
: mencegah peningkatan suhu lebih tinggi dan serangan
kejang ulang.
Jika anak sembuh, jaga agar anak tidak terkena penyakit infeksi dengan
menghindari orang atau teman yang menderita penyakit menular
sehingga tidak mencetuskan kenaikan suhu.
Rasional
: sebagai upaya preventif serangan ulang
Beritahukan keluarga jika anak akan mendapatkan imunisasi agar
memberitahukan kepada petugas imunisasi bahwa anaknya pernah
menderita kejang demam.
Rasional
: imunisasi pertusis memberikan reaksi panas yang dapat
menyebabkan kejang demam

2.3.5

Pelaksanaan
Pelaksanaan keperawatan merupakan kegiatan yang dilakukan sesuai
dengan rencana yang telah ditetapkan. Selama pelaksanaan kegiatan dapat
bersifat mandiri dan kolaboratif. Selama melaksanakan kegiatan perlu diawasi
dan dimonitor kemajuan kesehatan klien ( Santosa. NI, 1989;162 )

2.3.6

Evaluasi
Tahap evaluasi dalam proses keperawatan menyangkut pengumpulan
data subyektif dan obyektif yang akan menunjukkan apakah tujuan pelayanan
keperawatan sudah dicapai atau belum. Bila perlu langkah evaluasi ini
merupakan langkah awal dari identifikasi dan analisa masalah selanjutnya
( Santosa.NI, 1989;162).
Tabel 2.2 Evaluasi Pada Kasus Kejang Demam

NO.
1.

Diagnosa/Masalah
Evaluasi
Potensial kejang berulang berhu- Klien tidak mengalami kejang
bungan dengan hiperthermi.
selama 2x24 jam.
Kriteria :
- Tidak terjadi serangan ulang
- Suhu : 36 37,5 C
- N
: 100 110 kali/menit
- Kesadaran : composmentis
Potensial terjadi trauma fisik Tidak terjadi trauma fisik selama
berhubungan kurangnya koordina- perawatan.
si otot.
Kriteria :
Tidak terjadi traumas fisik
selama kejang.
Mempertahankan
tindakan

3.

4.

yang
mengontrol
aktivitas
kejang.
Mengidentifikasi
tindakan
yang harus diberikan ketika
Gangguan rasa nyaman berhuterjadi kejang.
bungan dengan hiperthermi.
Rasa nyaman terpenuhi
Kriteria :
Tanda vital :
Suhu : 36 37,5C
N
: 100 110 kali/ menit
RR : 24 28 kali/menit
Kesadaran : composmentis
Kurangnya pengetahuan keluarga Anak tidak rewel
berhubungan dengan keterbatasan Pengetahuan keluarga bertambah
informasi.
tentang penyakit anaknya.
Kriteria :
- Keluarga tidak sering bertanya
tentang penyakit anaknya.
- Keluarga mampu diikutsertakan dalam proses perawatan.
- Keluarga
mentaati
setiap
proses perawatan.

DAFTAR PUSTAKA
Lumbantobing SM, 1989, Penatalaksanaan Mutakhir Kejang Pada Anak, Gaya
Baru, Jakarta.

Lynda Juall C, 1999, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan,


Penerjemah Monica Ester, EGC, Jakarta.

Marilyn E. Doenges, 1999, Rencana Asuhan Keperawatan, Penerjemah Kariasa I


Made, EGC, Jakarta.

Matondang, Corry S, 2000, Diagnosis Fisis Pada Anak, Edisi ke 2, PT. Sagung
Seto: Jakarta.

Ngastiyah, 1997, Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta.

Rendle John, 1994, Ikhtisar Penyakit Anak, Edisi ke 6, Binapura Aksara, Jakarta.

Santosa NI, 1989, Perawatan I (Dasar-Dasar Keperawatan), Depkes RI, Jakarta.

Santosa NI, 1993, Asuhan Kesehatan Dalam Konteks Keluarga, Depkes RI,
Jakarta.

Soetjiningsih, 1995, Tumbuh Kembang Anak, EGC, Jakarta.

Suharso Darto, 1994, Pedoman Diagnosis dan Terapi, F.K. Universitas Airlangga,
Surabaya.

Sumijati M.E, dkk, 2000, Asuhan Keperawatan Pada Kasus Penyakit Yang Lazim Terjadi
Pada Anak, PERKANI : Surabaya.

Wahidiyat Iskandar, 1985, Ilmu Kesehatan Anak, Edisi 2, Info Medika, Jakarta.

ASUHAN KEPERAWATAN KEJANG


DEMAM PADA ANAK
Februari
26 undefined
den ger
A. Latar Belakang
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu (suhu rektal lebih dari
380C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium (diluar rongga kepala). Menurut
Consensus Statement on Febrile Seizures (1980) kejang demam ini biasanya terjadi bayi atau
anak-anak antara umur 3 bulan dan 5 tahun yang berhubungan dengan demam tetapi tidak pernah
terbukti adanya infeksi intrakranial atau penyebab tertentu. Anak yang pernah kejang tanpa
demam dan bayi yang berumur kurang dari 4 minggu tidak termasuk. Kejang demam harus
dibedakan dengan epilepsi, yaitu yang ditandai dengan kejang berulang tanpa demam.
A. DEFINISI
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu (suhu rektal lebih dari
380C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium (diluar rongga kepala). Menurut
Consensus Statement on Febrile Seizures (1980), kejang demam adalah suatu kejadian pada bayi
atau anak yang biasanya terjadi antara umur 3 bulan dan 5 tahun berhubungan dengan demam
tetapi tidak pernah terbukti adanya infeksi intrakranial atau penyebab tertentu. (Kapita Selekta
jilid 2).
Kejang demam ini secara umum dapat dibagi dalam dua jenis yaitu :
- Simple febrile seizures : kejang menyeluruh yang berlangsung <>
- Complex febrile seizures / complex partial seizures : kejang fokal (hanya melibatkan salah satu
bagian tubuh), berlangsung > 15 menit, dan atau berulang dalam waktu singkat (selama demam
berlangsung).
B. ETIOLOGI
Hingga kini belum diketahui dengan pasti penyebab kejang demam. Demam sering disebabkan
infeksi saluran pernafasan atas, radang telinga tengah, infeksi saluran cerna dan infeksi saluran
kemih. Kejang tidak selalu timbul pada suhu yang tinggi. Kadang kadang demam yang tidak
begitu tinggi dapat menyebabkan kejang. Beberapa hal yang merupakan faktor risiko
berulangnya kejang demam adalah :
1. Usia
2. Riwayat kejang demam dalam keluarga
3. Kejang demam terjadi segera setelah mulai demam atau saat suhu sudah relatif normal
4. Riwayat demam yang sering

5. Kejang pertama adalah complex febrile seizure


C. TANDA DAN GEJALA
Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan kenaikan suhu
badan yang tinggi dan cepat, yang disebabkan oleh infeksi di luar susunan saraf pusat; misalnya
tonsilitis, otitis media akut, bronkitis, furunkulosis dan lain-lain. Serangan kejang biasanya
terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dengan sifat bangkitan dapat
berbentuk tonik-klonik , tonik, klonik, fokal atau akinetik. Umumnya kejang berhenti sendiri.
Begitu kejang berhenti, anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejanak tetapi setelah beberapa
detik atau menit anak akan terbangun dan sadar kembali tanpa adanya kelainan saraf.
Adapun salah satu pedoman dalam membuat diagnosa kejang demam yang sederhana antara lain
dapat memakai beberapa kriteria sebagai berikut:
1. Umur anak ketika kejang antara 6 bulan dan 4 tahun
2. Kejang berlangsung hanya sebentar saja, tidak lebih dari 15 menit
3. Kejang bersifat umum
4. Kejang timbul dalam 16 jam petama setelah timbulnya demam
5. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal
6. Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya satu minggu sesudah suhu normal tidak menunjukan
kelainan
7. Frekuensi kejang bangkitan dalam satu tahun tidak melebihi 4 kali
Kejang demam yang tidak memenuhi salah satu atau lebih dari tujuh criteria tersebut (modifikasi
Livingstone) digolongkan pada epilepsy yang diprovokasi oleh demam. Kejang kelompok dua
ini mempunyai dasar kelainan yang menyebabkan timbulnya kejang, sedangkan demam hanya
merupakan faktor pencetus saja.
Gejala Umum:
1. Tidak sadar
2. Kedua tangan dan kaki kejang-kejang
3. Terjadi selama 1-2 menit
Gejala tidak umum:
1. Kaku atau gerakan terjadi di sebagian tubuh (Tangan atau kaki sisi kiri/ kanan tubuh)
2. Berlangsung > 15 menit
D. Diagnosa Banding
Infeksi pada SSP seperti: meningitis ensefalitis, epilepsy, abses otak dll.
Tabel Diagnosa Banding
No Kriteri Banding Kejang Demam Epilepsi Meningitis Ensefalitis
1. Demam Pencetusnya demam Tidak berkaitan dengan demam Salah satu gejalanya demam
1. Kelainan Otak (-) (+) (+)
2. Kejang berulang (-) (+) (+)
3. Penurunan kesadaran (-) (-) (+)
Ket (-): tidak ada
5. Patofisiologi
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak diperlukan energi yang didapat
dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang terpenting adalah glukosa. Sifat

proses itu adalah oksidasi dengan perantaraan fungsi paru-paru dan diteruskan ke otak melalui
system kardiovaskuler.
Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa sumber energi otak adalah glukosa yang melalui
proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh membrane yang terdiri dari
permukaan dalam yaitu lipoid dan permukaan luar yaitu ionic. Dalam keaadaan normal membran
sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion Kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion
natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi ion K+
dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah. Sedangkan diluar sel neuron terdapat
keadaan yg sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel,
maka terdapat perbedaan potensial membran dari neuron. Untuk menjaga keseimbangan
potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K ATP-ase yang terdapat pada
permukaan sel.
Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah oleh:
1. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler
2. Rangsangan yg datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau aliran listrik dari
sekitarnya.
3. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan.
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 1015% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%.
Pada seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh
dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Oleh karena itu, kenaikan suhu tubuh
dapat mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi
difusi dari ion kalium maupun ion natrium melalui membran tersebut dengan akibat terjadinya
lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke
seluruh sel maupun ke membrane sel sekitarnya dengan bantuan bahan yang disebut
neurotransmitter dan terjadi kejang. Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan
tergantung tinggi rendahnya ambang kejang seseorang anak akan menderita kejang pada
kenaikan suhu tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada
suhu 38oC sedangkan anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi bila suhu
mencapai 40oC atau lebih. Dari kenyataab ini dapat disimpulkan bahwa berulangnya kejang
demam lebih sering terjadi pada anak dengan ambang kejang yang rendah sehingga dalam
penanggulangannya perlu memperhatikan pada tingkat suhu berapa pasien menderita kejang.
Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya dan tidak
meninggalkan gajala sisa. Tetapi kejang yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya
disertai apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang
akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme
anaerobik, hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin
meningkat yang disebabkan makain meningkatnya aktivitas otot, dan selanjutnya menyebabkan
metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian diatas adalah faktor penyebab hingga
terjadinya kerusakan neuron otak selama berlangsungnya kejang lama. Faktor terpenting adalah
gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga meninggikan permeabilitas
kapiler dan timbul edema otak yang mengakibatkan kerusakan sel neuron otak.
Kerusakan pada daerah medial lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang
berlangsung lama dapat menjadi matang dikemukakan hari sehingga terjadi serangan epilepsi
yang spontan. Karena itu kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan

anatomis di otak hingga terjadi epilepsi.


6. Komplikasi
Kemungkinan komplikasi hemiparesis dapat terjadi pada penderita yang mengalami kejang lama
yaitu yang berlangsung lebih dari setengah jam, baik yang bersifat umum atau fokal.
Apabila kejang demam diikuti dengan terulangnya kejang tanpa demam, retardasi mental dapat
terjadi dengan kemungkinan 5 kali lebih besar. Sedangkan komplikasi lain yang dapat mungkin
terjadi meskipun jarang terjadi antara lain:
Anak jatuh atau tersedak
Epilepsi (hanya 2%)
Kejang demam berulang
7. Pemeriksaan Diagnostik
Setelah penanganan akut kejang demam, sumber demam perlu diteliti. Dalam sebuah penelitian,
sumber demam pada kejang demam antara lain infeksi virus (tersering), otitis media, tonsilitis,
ISK, gastroenteritis, infeksi paru2 (saluran napas bagian bawah), meningitis, dan pasca
imunisasi.
Beberapa pemeriksaan lanjutan hanya diperlukan jika didapatkan karakteristik khusus pada anak.
(1) Pungsi lumbar
Pungsi lumbar adalah pemeriksaan cairan serebrospinal (cairan yang ada di otak dan kanal tulang
belakang) untuk meneliti kecurigaan meningitis. Pemeriksaan ini dilakukan setelah kejang
demam pertama pada bayi (usia <>
Memiliki tanda peradangan selaput otak (contoh : kaku leher)
Mengalami complex partial seizure
Kunjungan ke dokter dalam 48 jam sebelumnya (sudah sakit dalam 48 jam sebelumnya)
Kejang saat tiba di IGD (instalasi gawat darurat)
Keadaan post-ictal (pasca kejang) yang berkelanjutan. Mengantuk hingga sekitar 1 jam setelah
kejang demam adalah normal.
Kejang pertama setelah usia 3 tahun
Pada anak dengan usia > 18 bulan, pungsi lumbar dilakukan jika tampak tanda peradangan
selaput otak, atau ada riwayat yang menimbulkan kecurigaan infeksi sistem saraf pusat. Pada
anak dengan kejang demam yang telah menerima terapi antibiotik sebelumnya, gejala meningitis
dapat tertutupi, karena itu pada kasus seperti itu pungsi lumbar sangat dianjurkan untuk
dilakukan.
(2) EEG (electroencephalogram)
EEG adalah pemeriksaan gelombang otak untuk meneliti ketidaknormalan gelombang.
Pemeriksaan ini tidak dianjurkan untuk dilakukan pada kejang demam yang baru terjadi sekali
tanpa adanya defisit (kelainan) neurologis. Tidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa EEG
yang dilakukan saat kejang demam atau segera setelahnya atau sebulan setelahnya dapat
memprediksi akan timbulnya kejang tanpa demam di masa yang akan datang. Walaupun dapat
diperoleh gambaran gelombang yang abnormal setelah kejang demam, gambaran tersebut tidak
bersifat prediktif terhadap risiko berulangnya kejang demam atau risiko epilepsi.
(3) Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan seperti pemeriksaan darah rutin, kadar elektrolit, kalsium, fosfor, magnesium, atau
gula darah tidak rutin dilakukan pada kejang demam pertama. Pemeriksaan laboratorium harus

ditujukan untuk mencari sumber demam, bukan sekedar sebagai pemeriksaan rutin.
(4) Neuroimaging
Yang termasuk dalam pemeriksaan neuroimaging antara lain adalah CT-scan dan MRI kepala.
Pemeriksaan ini tidak dianjurkan pada kejang demam yang baru terjadi untuk pertama kalinya.
8. Prognosis
Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat prognosisnya baik dan tidak perlu menyebabkan
kematian. Angka kejadian kejang demam epilepsy berbeda-beda tergantung dari cara
penelitiannya; misalnya Lumbantobing (1975) mendapatkan 6%, sedangkan Living stone (1954)
dari golongan kejang demam sederhana mendapatkan 2,9% yang menjadi epilepsi, dan golongan
epilepsy yang diprovokasi oleh demam ternyata 97% menjadi epilepsy.
Risiko yang akan dihadapi oleh seorang anak sesudah menderita kejang demam tergantung dari
factor:
1. riwayat penyakit kejang tanpa demam dalam keluarga
2. kelainan dalam perkembangan atau kelainan saraf sebelum anak menderita kejang demam
3. kejang yang berlangsung lama atau kejang fokal
Bila terdapat paling sedikit 2 dari 3 faktor tersebut diatas, maka dikemudian hari akan
mengalami serangan kejang demam tanpa demam sekitar 13%, disbanding bila hanya terdapat 1
batau tidak sama sekali factor tersebut diatas, serangan kejang tanpa demam hanya 2-3% saja.
Hemiparesis biasannya terjadi pada pasien yang mengalami kejang lama (berlangsung lebih dari
30 menit) baik bersifat umum atau fokal. Kelumpuhannya sesuai kejang fokal yang terjadi.
Mula-mula kelumpuhan bersifat flaksid, tetapi setelah 2 minggu timbul spasitas.
Dari suatu penelitian terdapat 431 pasien dengan kejang demam sederhana, tidak terdapat
kelainan pada IQ.tetapi pada pasien kejang demam yang sebelumnya telah terdapat gangguan
perkembangan atau kelaianan neurologist akan didapat IQ yang lebih rendah disbanding dengan
saudaranya. Jika kejang demam diikuti dengan terulangnya kejang tanpa demam, retardasi
mental akan terjadi 5 kali lebih besar.
9. Penanganan
Dalam penanganan kejang demam, orang tua harus mengupayakan diri setenang mungkin dalam
mengobservasi anak. Beberapa hal yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut :
1. Anak harus dibaringkan di tempat yang datar dengan posisi menyamping, bukan terlentang,
untuk menghindari bahaya tersedak.
2. Jangan meletakkan benda apapun dalam mulut si anak seperti sendok atau penggaris, karena
justru benda tersebut dapat menyumbat jalan napas.
3. Jangan memegangi anak untuk melawan kejang.
4. Sebagian besar kejang berlangsung singkat dan tidak memerlukan penanganan khusus.
5. Jika kejang terus berlanjut selama 10 menit, anak harus segera dibawa ke fasilitas kesehatan
terdekat. Sumber lain menganjurkan anak untuk dibawa ke fasilitas kesehatan jika kejang masih
berlanjut setelah 5 menit. Ada pula sumber yang menyatakan bahwa penanganan lebih baik
dilakukan secepat mungkin tanpa menyatakan batasan menit .
6. Setelah kejang berakhir (jika <>
Jika anak dibawa ke fasilitas kesehatan, penanganan yang akan dilakukan selain poin-poin di atas
adalah sebagai berikut :
1. Memastikan jalan napas anak tidak tersumbat
2. Pemberian oksigen melalui face mask

3. Pemberian diazepam 0,5 mg/kg berat badan per rektal (melalui anus) atau jika telah terpasang
selang infus 0,2 mg/kg per infus
4. Pengawasan tanda-tanda depresi pernapasan
5. Sebagian sumber menganjurkan pemeriksaan kadar gula darah untuk meneliti kemungkinan
hipoglikemia. Namun sumber lain hanya menganjurkan pemeriksaan ini pada anak yang
mengalami kejang cukup lama atau keadaan pasca kejang (mengantuk, lemas) yang
berkelanjutan .

Você também pode gostar