Você está na página 1de 11

Adab Pergaulan Antara lawan Jenis

Allah swt menciptakan manusia, terdiri dari laki-laki dan perempuan. Di dalam hubungan
antara manusia, Islam telah mengatur adab dan etika terhadap pergaulan antara lawan jenis.
Adab pergaulan antara lawan jenis memang dibutuhkan oleh setiap manusiademi meraih
ridho dan kecintaan Allah swt.
Terutama bila laki-laki dan perempuan yang telah beranjak dewasa, diperlukan suatu batasanbatasan yang harus dipahami. Seorang Muslim yang beriman tidak mencintai selain karena
Allah swt. Ia tidak mencintai kecuali apa yang dicintai Allah swt dan Rasul-Nya. Begitupun
bila ia membenci, ia tidak membenci kecuali apa yang di benci Allah swt dan Rasul-Nya.
Rasulullah saw bersabda, Allah dan Rasul-Nya, dan membenci karena keduanya. Dalilnya
ialah sabda Rasulullah saw, Barangsiapa mencintai karena Allah, membenci karena Allah,
memberi karena Allah, dan menahan pemberian karena Allah, sungguh a telah
rnenyempurnakan imannya. (Diriwayatkan Abu Daud).
Adab pergaulan antara laki-laki dan perempuan berguna agar kaum Muslim tidak tersesat di
dunia. Adab-adab tersebut antara lain:
1. Menundukkan pandangan terhadap lawan jenis
Allah berfirman:
Katakanlah kepada laki-laki beriman: Hendaklah mereka menundukkan
pandangannya dan memelihara kemaluannya. (QS. An-Nur: 30)
Dan katakalah kepada wanita beriman: Hendaklah mereka menundukkan
pandangannya dan memelihara kemaluannya. (QS. An-Nur: 31)
2. Tidak berdua-duaan
Rasulullah saw bersabda: Janganlah seorang laki-laki berdua-duaan (khalwat)
dengan wanita kecuali bersama mahromnya. (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Tidak menyentuh lawan jenis
Di dalam sebuah hadits, Aisyah ra berkata, Demi Allah, tangan Rasulullah tidak
pernah menyentuh tangan wanita sama sekali meskipun saat membaiat (janji setia
kepada pemimpin). (HR. Bukhari)
Hal ini karena menyentuh lawan jenis yang bukan mahromnya merupakan salah satu
perkara yang diharamkan di dalam Islam. Rasulullah bersabda, Seandainya kepala
seseorang ditusuk dengan jarum besi, (itu) masih lebih baik daripada menyentuh
wanita yang tidak halal baginya. (HR. Thabrani dengan sanad hasan)

Jika Wanita Muslimah Berobat Ke Dokter Lelaki?

Kamis, 4 Nopember 2010 15:20:41 WIB


JIKA WANITA MUSLIMAH BEROBAT KE DOKTER LELAKI?

Beberapa pertanyaan menghampiri meja Redaksi, yaitu


menyangkut problem yang dihadapi wanita muslimah saat
harus berobat atau memeriksakan kesehatan kepada dokter
lelaki. Ini menjadi ganjalan bagi kaum hawa. Apabila tidak
ada dokter wanita, atau jika sulit mendapatkan dokter
wanita, lantas bagaimanakah hukumnya? Apalagi jika
menyangkut hal-hal yang sangat pribadi, seperti partus
(persalinan), atau keluhan lain yang memaksa wanita
membuka auratnya.
Islam mensyariatkan, jika seseorang tertimpa penyakit maka
ia diperintahkan untuk berusaha mengobatinya. Al-Qur`n
dan as-Sunnah telah menetapkan syariat tersebut. Dan pada
pelayanan dokter memang terdapat faedah, yaitu
memelihara jiwa. Satu hal yang termasuk ditekankan dalam
syariat Islam.
Pembahasan masalah di atas akan diulas melalui beberapa
sub judul, dengan bercermin pada fatwa-fatwa ulama
kontemporer. Silahkan menyimak.
PANDANGAN ISLAM TERHADAP IKHTILAT
Pembahasan tentang ikhtilat sangat penting untuk
menjawab persoalan di atas. Yakni untuk menjaga
kehormatan dan menghindarkan dari perbuatan yang
mengarah dosa dan kekejian.
Yang dimaksud ikhtilat, yaitu berduanya seorang lelaki
dengan seorang perempuan di tempat sepi. Dalam hal ini
menyangkut pergaulan antara sesama manusia, yang
rambu-rambunya sangat mendapat perhatian dalam Islam.
Yaitu berkait dengan ajaran Islam yang sangat menjunjung
tinggi keselamatan bagi manusia dari segala gangguan.
Terlebih lagi dalam masalah mu'amalah (pergaulan) dengan
lain jenis. Dalam Islam, hubungan antara pria dan wanita
telah diatur dengan batasan-batasan, untuk membentengi

gejolak fitnah yang membahayakan dan mengacaukan


kehidupan. Karenanya, Islam telah melarang pergaulan yang
dipenuhi dengan ikhtilat (campur baur antara pria dan
wanita).
Dalam hadits di bawah ini, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam telah memperingatkan kaum lelaki untuk lebih
berhati-hati dalam masalah wanita.


"Berhati-hatilah kalian dari menjumpai para wanita, maka
seorang sahabat dari Anshar bertanya,"Bagaimana pendapat
engkau tentang saudara ipar, wahai Rasulullah? Rasulullah
menjawab,"Saudara ipar adalah maut (petaka). [HR Bukhari
dan Muslim].
Imam Ibnul-Qayyim rahimahullah memperingatkan bahaya
ikhtilat ini dengan pernyataannya: Ikhtilat yang terjadi di
antara lelaki dan wanita menjadi penyebab banyaknya
perbuatan keji dan zina.[1] Maka, sungguh kehatian-hatian
Islam dalam banyak hal, ialah demi kemaslahatan kehidupan
manusia itu sendiri.
PERINTAH MENJAGA AURAT DAN MENAHAN PANDANGAN
Di antara keindahan syariat Islam, yaitu ditetapkannya
larangan mengumbar aurat dan perintah untuk menjaga
pandangan mata kepada obyek yang tidak diperbolehkan,
lantaran perbuatan itu hanya akan mencelakakan diri dan
agamanya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman (yang artinya):
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah
mereka menahan pandangannya, dan memelihara
kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi
mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang
mereka perbuat". Katakanlah kepada wanita yang beriman:
"Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan
memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka
menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa)

nampak dari mereka. Dan hendaklah mereka menutupkan


kain kudung ke dada mereka, dan janganlah menampakkan
perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka, atau ayah
mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera
mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudarasaudara mereka, atau putera-putera saudara laki-laki
mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka,
atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka
miliki atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai
keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum
mengerti tentang aurat wanita . . ." [an-Nr/24: 30-31].
Larangan melihat aurat, tidak hanya untuk yang berlawan
jenis, akan tetapi Islam pun menetapkan larangan melihat
aurat sesama jenis, baik antara lelaki dengan lelaki lainnya,
maupun antara sesama wanita.
Disebutkan dalam sebuah hadits:




"Dari Abdir-Rahman bin Abi Sa`id al-Khudri, dari ayahnya,
bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
Janganlah seorang lelaki melihat kepada aurat lelaki (yang
lain), dan janganlah seorang wanita melihat kepada aurat
wanita (yang lain)". [HR Muslim]
Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan, di antara
kandungan hadits ini, yaitu larangan bagi seorang lelaki
melihat aurat lelaki (lainnya) dan wanita melihat aurat
wanita (lainnya). Di kalangan ulama, larangan ini tidak
diperselisihkan. Sedangkan lelaki melihat aurat wanita, atau
sebaliknya wanita melihat aurat lelaki, maka berdasarkan
Ijma', perbuatan seperti ini merupakan perkara yang
diharamkan. Rasulullah mengarahkan dengan penyebutan
larangan seorang lelaki melihat aurat lelaki lainnya, yang
berarti lelaki yang melihat aurat wanita maka lebih tidak
dibolehkan.[2]

Selain itu juga, guna mengantisipasi terjadinya perbuatan


buruk, yang disebabkan karena terjalinnya hubungan bebas
antara lelaki perempuan, sehingga Islam benar-benar
menutup akses ke arah sana. Yaitu dengan mengharamkan
terjadinya persentuhan antara kulit lelaki dan perempuan.
Bahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah
bersabda:



"Tertusuknya kepala salah seorang di antara kalian dengan
jarum besi, (itu) lebih baik daripada ia menyentuh wanita
yang tidak halal baginya". [3]
Demikian sekilas prinsip pergaulan dengan lawan jenis yang
telah ditetapkan Islam. Tujuannya, ialah demi kebaikan yang
sebesar-besarnya.
IDEALNYA MUSLIMAH BEROBAT KE DOKTER WANITA
Hukum asalnya, apabila ada dokter umum dan dokter
spesialis dari kaum Muslimah, maka menjadi kewajiban
kaum Muslimah untuk menjatuhkan pilihan kepadanya.
Meski hanya sekedar keluhan yang paling ringan, flu batuk
pilek sampai pada keadaan genting, semisal persalinan
ataupun jika harus melakukan pembedahan.
Berkaitan dengan masalah itu, Syaikh Bin Bz rahimahullah
mengatakan: Seharusnya para dokter wanita menangani
kaum wanita secara khusus, dan dokter lelaki melayani
kaum lelaki secara khusus kecuali dalam keadaan yang
sangat terpaksa. Bagian pelayanan lelaki dan bagian
pelayanan wanita masing-masing disendirikan, agar
masyarakat terjauhkan dari fitnah dan ikhtilat yang bisa
mencelakakan. Inilah kewajiban semua orang.[4]
Lajnah D-imah juga menfatwakan, bila seorang wanita
mudah menemukan dokter wanita yang cakap menangani
penyakitnya, ia tidak boleh membuka aurat atau berobat ke
seorang dokter lelaki. Kalau tidak memungkinkan maka ia
boleh melakukannya.[5]

Bagaimana tidak? Karena seorang muslimah harus menjaga


kehormatannya, sehingga ia harus menjaga rasa malu yang
telah menjadi fitrah wanita, menghindarkan diri dari tangan
pria yang bukan makhramnya, menjauhkan diri dari
ikhtilath. Tatkala ia ingin mendapatkan penjelasan mengenai
penyakitnya secara lebih banyak, lebih leluasa bertanya,
dan sebagainya, maka mau tidak mau hal ini tidak akan bisa
didapatkan dengan baik, melainkan jika seorang wanita
berobat atau memeriksakan dirinya kepada dokter atau ahli
medis wanita. Bila tidak, maka hal itu sulit dilakukan secara
maksimal.
BAGAIMANA BILA TIDAK ADA DOKTER WANITA?
Kenyataan yang kita saksikan cukup langkanya dokter
umum maupun spesialis dari kalangan kaum hawa. Keadaan
ini, sedikit banyak tentu menimbulkan pengaruh yang cukup
membuat risih kaum wanita, bila mereka mesti berhadapan
dengan lawan jenis untuk berobat. Sehingga banyak
diantara kaum wanita yang terpaksa berobat kepada dokter
pria.
Syaikh Bin Bz rahimahullah memandang permasalahan ini
sebagai persoalan penting untuk diketahui dan sekaligus
menyulitkan. Akan tetapi, ketika Allah Subhanahu wa Ta'ala
telah memberi karunia ketakwaan dan ilmu kepada seorang
wanita, maka ia harus bersikap hati-hati untuk dirinya,
benar-benar memperhatikan masalah ini, dan tidak
menyepelekan. Seorang wanita memiliki kewajiban untuk
mencari dokter wanita terlebih dahulu. Bila
mendapatkannya, alhamdulillah, dan ia pun tidak
membutuhkan bantuan dokter lelaki.[6]
Bila memang dalam keadaan darurat dan terpaksa, Islam
memang membolehkan untuk menggunakan cara yang
mulanya tidak diperbolehkan. Selama mendatangkan
maslahat, seperti untuk pemeliharaan dan penyelamatan
jiwa dan raganya. Seorang muslimah yang keadaannya
benar-benar dalam kondisi terhimpit dan tidak ada pilihan,
(maka) ia boleh pergi ke dokter lelaki, baik karena tidak ada

ada seorang dokter muslimah yang mengetahui penyakitnya


maupun memang belum ada yang ahli.
Allah Ta`ala menyebutkan dalam firman-Nya surat alAn'm/6 ayat 119:

"(padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada
kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang
terpaksa kamu memakannya)".
Meskipun dibolehkan dalam kondisi yang betul-betul
darurat, tetapi harus mengikuti rambu-rambu yang wajib
untuk ditaati. Tidak berlaku secara mutlak. Keberadaan
mahram adalah keharusan, tidak bisa ditawar-tawar.
Sehingga tatkala seorang muslimah terpaksa harus bertemu
dan berobat kepada dokter lelaki, ia harus didampingi
mahram atau suaminya saat pemeriksaan. Tidak berduaan
dengan sang dokter di kamar praktek atau ruang periksa.
Syarat ini disebutkan Syaikh Bin Bz rahimahullah untuk
pengobatan pada bagian tubuh yang nampak, seperti
kepala, tangan, dan kaki. Jika obyek pemeriksaan
menyangkut aurat wanita, meskipun sudah ada perawat
wanita umpamanya- maka keberadaan suami atau wanita
lain (selain perawat) tetap diperlukan, dan ini lebih baik
untuk menjauhkan dari kecurigaan.[7]
Ketika Syaikh Shalih al-Fauzan ditanya mengenai hukum
berobat kepada dokter yang berbeda jenisnya, beliau
menjelaskan:
Seorang wanita tidak dilarang berobat kepada dokter pria,
terlebih lagi ia seorang spesialis yang dikenal dengan
kebaikan, akhlak dan keahliannya. Dengan syarat, bila
memang tidak ada dokter wanita yang setaraf dengan
dokter pria tersebut. Atau karena keadaan si pasien yang
mendesak harus cepat ditolong, (karena) bila tidak segera,
penyakit (itu) akan cepat menjalar dan membahayakan
nyawanya. Dalam masalah ini, perkara yang harus

diperhatikan pula, dokter tersebut tidak boleh membuka


sembarang bagian tubuh (aurat) pasien wanita itu, kecuali
sebatas yang diperlukan dalam pemeriksaan. Dan juga,
dokter tersebut adalah muslim yang dikenal dengan
ketakwaannya. Pada situasi bagaimanapun, seorang
muslimah yang terpaksa harus berobat kepada dokter pria,
tidak dibolehkan memulai pemeriksaan terkecuali harus
disertai oleh salah satu mahramnya".[8]
Ketika Lajnah D-imah menjawab sebuah pertanyaan
tentang syarat-syarat yang harus terpenuhi bagi dokter
lelaki untuk menangani pasien perempuan, maka Lajnah Dimah mengeluarkan fatwa yang berbunyi: (Syaratsyaratnya), yaitu tidak dijumpai adanya dokter wanita
muslimah yang sanggup menangani penyakitnya, dokter
tersebut seorang muslim lagi bertakwa, dan pasien wanita
itu didampingi oleh mahramnya.[9]
Demikian pula menurut Syaikh Muhammmad bin Shalih
al-Utsaimin. Hanya saja, untuk menangani wanita muslimah,
beliau rahimahullah lebih memilih seorang dokter wanita
beragama Nashrani yang dapat dipercaya, daripada memilih
seorang dokter lelaki muslim. Kata beliau: Menyingkap
aurat lelaki kepada wanita, atau aurat wanita kepada pria
ketika dibutuhkan tidak masalah, selama terpenuhi dua
syarat, yaitu aman dari fitnah, dan tidak disertai khalwat
(berduaan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya).
Akan tetapi, berobat kepada dokter wanita yang beragama
Nasrani dan amanah, tetap lebih utama daripada ke doker
muslim meskipun lelaki, karena aspek persamaan.[10]
Penjelasan tambahan Syaikh al-Utsaimin di atas, juga dipilih
oleh para ulama yang tergabung dalam Lajnah Daimah.
Dalam fatwanya yang bernomor 16748, Lajnah D-imah
memfatwakan, wanitalah yang menangani (pasien) wanita,
baik ia seorang muslimah maupun bukan. Seorang lelaki
yang bukan mahram, tidak boleh menangani wanita, kecuali
dalam kondisi darurat. Yaitu bila memang tidak ditemukan
dokter wanita.[11]

Begitu pula bagi wanita yang menghadapi persalinan.


Ada sebuah pertanyaan mengenai hukum wanita memasuki
rumah sakit untuk menjalani persalinan, sedangkan dokterdokter di rumah sakit tersebut seluruhnya laki-laki. Lajnah
D-imah memberi jawaban: "Dokter laki-laki tidak boleh
menangani persalinan wanita, kecuali dalam kondisi darurat,
seperti mengkhawatirkan kondisi wanita (ibu bayi),
sementara itu tidak ada dokter wanita yang mampu
mengambil alih pekerjaan itu.[12]
KESIMPULAN
Sebagaimana hukum asalnya, bila ada dokter wanita yang
ahli, maka dialah yang wajib menjalankan pemeriksaan atas
seorang pasien wantia. Bila tidak ada, dokter wanita nonmuslim yang dipilih. Jika masih belum ditemukan, maka
dokter lelaki muslim yang melakukannya. Bila keberadaan
dokter muslim tidak tersedia, bisa saja seorang dokter nonmuslim yang menangani.
Akan tetapi harus diperhatikan, dokter lelaki yang
melakukan pemeriksaan hanya boleh melihat tubuh pasien
wanita itu sesuai dengan kebutuhannya saja, yaitu saat
menganalisa penyakit dan mengobatinya, serta harus
menjaga pandangan. Dan juga, saat dokter lelaki menangani
pasien wanita, maka pasien wanita itu harus disertai
mahram, atau suaminya, atau wanita yang dapat dipercaya
supaya tidak terjadi khalwat.
Dalam semua kondisi di atas, tidak boleh ada orang lain
yang menyertai dokter lelaki kecuali yang memang
diperlukan perannya. Selanjutnya, para dokter lelaki itu
harus menjaga kerahasiaan si pasien wanita.[13]
Bertolak dari keterangan di atas, bagaimanapun
keadaannya, sangat diperlukan kejujuran kaum wanita dan
keluarganya tentang masalah ini. Hendaklah terlebih dulu
beriktikad untuk mencari dokter wanita. Tidak membuat
bermacam alasan dikarenakan malas untuk berusaha.
Semua harus dilandasi dengan takwa dan rasa takut kepada

Allah, kemudian berusaha untuk mewujudkan tujuan-tujuan


mulia di atas. Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah Azza
wa Jalla , niscaya Allah Azza wa Jalla menjadikan baginya
kemudahan dalam urusannya.
Wallahu a'lam bish-shawb.
Maraji`:
1. Al-Fatwa al-Mutaalliqah bith-Thibbi wa Ahkamil-Mardha,
Pengantar Syaikh 'Abdul-'Aziz bin 'Abdullah Alu Syaikh,
Darul-Muayyad, Cetakan I, Tahun 1424 H.
2. Fatwa, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin.
3. Fatwa, Syaikh Shalih al-Fauzan.
4. Fatwa wa Maqalat, Syaikh Bin Baz.
5. Fiqhun-Nawazil, Dr. Muhammad bin Hasan al-Jizani, DarulIbnil-Jauzi, Cetakan I, Tahun 1426-2005.
6. Majalah Mujamma`, Juz 3.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun
XI/1428H/2007M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah
Surakarta, Jl. Solo Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo
Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Lihat ath-Thuruq Hukmiyah, hlm. 407.
[2]. Syarhu Shahh Muslim.
[3]. Hadits shahh diriwayatkan oleh ath-Thabrani dan
lainnya. Lihat ash-Shahhah (226), Shahhul-Jami' (5045).
[4]. Al-Fatwa al-Mutaalliqah bith-Thibbi wa AhkamilMardha, hlm. 230.
[5]. Fatwa Lajnah D-imah, no. 4671. Dinukil dari al-Fatwa
al-Mutaalliqah bith-Thibbi wa Ahkamil-Mardha.
[6]. Al-Fatwa al-Mutaalliqah bith-Thibbi wa Ahkamil-Mardha
228-229
[7]. Ibid.
[8]. Lihat Fatwa, Syaikh Shalih al-Fauzan, Jilid 5.
[9]. Fatwa Lajnah D-imah no. 3507. Dinukil dari al-Fatwa
al-Mutaalliqah bith-Thibbi wa Ahkamil-Mardha, hlm. 242.
[10]. Lihat Fatwa wa Rasail Ibni Utsaimin, Jilid 12.
[11]. Lihat al-Fatwa al-Mutaalliqah bith-Thibbi wa AhkamilMardha. Dinukil dari halaman 244.

[12]. Fatwa Lajnah D-imah, no. 17000. Dinukil dari alFatwa al-Mutaalliqah bith-Thibbi wa Ahkamil- Mardha, hlm.
245.
[13]. Diambil dari 3/196-197. Merupakan ketetapan Majma
Fiqh Islami, no 85/12/85 yang bermuktamar pada tanggal 1-7
Muharram 1414 H. Ketetapan ini dikukuhkan lagi pada
muktamar tanggal 20 Syaban 1415 H.

Você também pode gostar

  • Rancangan Aktulaisasi
    Rancangan Aktulaisasi
    Documento15 páginas
    Rancangan Aktulaisasi
    Nadhiela Adani
    Ainda não há avaliações
  • Uraian Tugas Peserta
    Uraian Tugas Peserta
    Documento2 páginas
    Uraian Tugas Peserta
    Nadhiela Adani
    Ainda não há avaliações
  • Formulir Skrining PTM
    Formulir Skrining PTM
    Documento3 páginas
    Formulir Skrining PTM
    cokordaraka
    100% (2)
  • Pertemuan 11 Informed Consent
    Pertemuan 11 Informed Consent
    Documento28 páginas
    Pertemuan 11 Informed Consent
    Ayu Indah Lestari
    Ainda não há avaliações
  • Tutorial Ms Excell
    Tutorial Ms Excell
    Documento1 página
    Tutorial Ms Excell
    Nadhiela Adani
    Ainda não há avaliações
  • Cover Case
    Cover Case
    Documento3 páginas
    Cover Case
    Nadhiela Adani
    Ainda não há avaliações
  • Responden
    Responden
    Documento3 páginas
    Responden
    Nadhiela Adani
    Ainda não há avaliações
  • Jadwal UAS
    Jadwal UAS
    Documento1 página
    Jadwal UAS
    Nadhiela Adani
    Ainda não há avaliações
  • MENSTRUASI
    MENSTRUASI
    Documento7 páginas
    MENSTRUASI
    Zidni Arifa Luthfi
    100% (1)
  • Retinopati Diabetik
    Retinopati Diabetik
    Documento16 páginas
    Retinopati Diabetik
    Arfiani Ika Kusumawati
    Ainda não há avaliações
  • MENSTRUASI
    MENSTRUASI
    Documento7 páginas
    MENSTRUASI
    Zidni Arifa Luthfi
    100% (1)
  • To 6
    To 6
    Documento66 páginas
    To 6
    Nadhiela Adani
    Ainda não há avaliações
  • Thaharah Dan Kesehatan
    Thaharah Dan Kesehatan
    Documento4 páginas
    Thaharah Dan Kesehatan
    Nadhiela Adani
    Ainda não há avaliações
  • P Alba
    P Alba
    Documento14 páginas
    P Alba
    Nadhiela Adani
    Ainda não há avaliações
  • Wood Koh
    Wood Koh
    Documento26 páginas
    Wood Koh
    Nadhiela Adani
    Ainda não há avaliações
  • IMUNISASI Dasar
    IMUNISASI Dasar
    Documento12 páginas
    IMUNISASI Dasar
    Nadhiela Adani
    Ainda não há avaliações
  • Fototerapi Pada Dermatitis Atopi
    Fototerapi Pada Dermatitis Atopi
    Documento5 páginas
    Fototerapi Pada Dermatitis Atopi
    Nadhiela Adani
    Ainda não há avaliações
  • Journal Kulit
    Journal Kulit
    Documento7 páginas
    Journal Kulit
    Nadhiela Adani
    Ainda não há avaliações
  • Gabungan Mal Praktik Dan Etik Biomedis
    Gabungan Mal Praktik Dan Etik Biomedis
    Documento20 páginas
    Gabungan Mal Praktik Dan Etik Biomedis
    Raysha Ramadhani
    Ainda não há avaliações
  • P Alba
    P Alba
    Documento14 páginas
    P Alba
    Nadhiela Adani
    Ainda não há avaliações
  • Kode Etik
    Kode Etik
    Documento91 páginas
    Kode Etik
    Nadhiela Adani
    Ainda não há avaliações
  • DA
    DA
    Documento15 páginas
    DA
    Nadhiela Adani
    Ainda não há avaliações
  • Adab Pergaulan Antara Lawan
    Adab Pergaulan Antara Lawan
    Documento11 páginas
    Adab Pergaulan Antara Lawan
    Nadhiela Adani
    Ainda não há avaliações
  • 1-Etika Kedokteran Umj
    1-Etika Kedokteran Umj
    Documento18 páginas
    1-Etika Kedokteran Umj
    Raysha Ramadhani
    Ainda não há avaliações
  • Aurat N Mahram, Dila
    Aurat N Mahram, Dila
    Documento5 páginas
    Aurat N Mahram, Dila
    Nadhiela Adani
    Ainda não há avaliações
  • Struma
    Struma
    Documento11 páginas
    Struma
    Nadhiela Adani
    Ainda não há avaliações
  • Kuliah Bioetikqr UMJ
    Kuliah Bioetikqr UMJ
    Documento43 páginas
    Kuliah Bioetikqr UMJ
    FIRELLYLIA
    Ainda não há avaliações
  • Lapkas Struma
    Lapkas Struma
    Documento25 páginas
    Lapkas Struma
    Nadhiela Adani
    Ainda não há avaliações
  • Cara Pemakaian Obat
    Cara Pemakaian Obat
    Documento37 páginas
    Cara Pemakaian Obat
    gumbank
    100% (2)