Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Infeksi cacing merupakan salah satu penyakit yang paling umum
tersebar dan menjangkiti banyak manusia di seluruh dunia. Di Indonesia,
penyakit cacingan merupakan salah satu penyakit yang berbasis pada
lingkungan. Hal ini disebabkan oleh iklim tropis dan kelembaban udara
yang tinggi, dan merupakan lingkungan yang baik untuk perkembangan
cacing. Penyakit cacingan merupakan penyakit endemik dan kronik
diakibatkan oleh cacing parasitdengan prevalensi tinggi, tidak mematikan,
tetapi menggerogoti kesehatan tubuh manusia(1).
Penyakit cacingan ini dapat mengakibatkan menurunnya kondisi
kesehatan, gizi, kecerdasan dan produktifitas penderitanya sehingga secara
ekonomi banyak menyebabkan kerugian, karena menyebabkan kehilangan
karbohidrat dan protein serta kehilangan darah, sehingga menurunkan
kualitas sumber daya manusia. Penyakit cacingan di Indonesia pada
umumnya masih tinggi, terutama pada golongan penduduk yang kurang
mampu mempunyai faktor risiko tinggi terjangkit penyakit ini(2).
Cacing usus yang sering menginfeksi manusia yang ditularkan
melalui tanah atau yang disebut Soil Transmitted Helminths (STH) adalah
Ascaris lumbricoides, Necator americanus, Ancylostoma duodenale, dan
Trichuris trichiura(3).
Prevalensi Soil Transmitted Helminths di Indonesia masih cukup
tinggi seperti Ascaris lumbricoides sekitar 6090%, diperkirakan 8071.221 juta orang. Ancylostoma duodenale dan Necator americanus di
daerah pedesaan lebih dari 70%, diperkirakan sekitar 576 740 juta orang.
Trichuris trichiura di daerah panas dan lembab sekitar 3090 %(4).
Penyakit cacingan paling banyak diderita pada anak-anak, yaitu
sekitar 4060 %. Laporan hasil survei prevalensi cacingan dengan sasaran
anak sekolah dasar pada tahun 2005 sangat bervariasi antara 1.37% sampai
77.14%. Ascarislumbricoides 12.38%, Trichuris trichiura 16.52% dan
cacing tambang 1.38%(5).
Menurut WHO (World Health Organization) diperkirakan 800 juta1 milyar penduduk terinfeksi Ascaris, 700-900 juta terinfeksi cacing
tambang, 500 juta terinfeksi Trichuris(6).
Di daerah kumuh di Jakarta infeksi A.lumbricoides dan T.trichiura
sudah ditemukan pada bayi berumur kurang dari satu tahun. Pada umur
satu tahun A.lumbricoides dapat ditemukan 80100 % di antara kelompok
anak ini. Untuk T.trichiura angkanya lebih rendah sedikit, yaitu 70 %.
Usia anak yang termuda mendapat infeksi Ascaris adalah 16 minggu,
sedangkan T.trichiura adalah 41 minggu. Sedangkan Cacing tambang
ditemukan di daerah perkebunan seperti di perkebunan karet di Sukabumi,
Jawa Barat 93.1 % dan di perkebunan kopi di Jawa Timur 80.69 % (7).
Dalam laporan hasil survei prevalensi cacingan pada 10 Propinsi
tahun 2004, Sumatera Utara menduduki peringkat ke-3 (60.4%) dalam hal
penyakit cacingan setelah Sumatera Barat (82.3%) dan Nusa Tenggara
Barat (83.6%) (8).
Hasil pemeriksaan di beberapa SD di Kecamatan Stabat dan
Kecamatan Hinai, Sumatera Utara menemukan prevalensi infeksi cacingan
sekitar 30-60%. Serta dari murid Sekolah Dasar Negeri 1 desa Tanjung
Anom, Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara
yang tinjanya di periksa ternyata 86.3% positif dengan adanya telur cacing
(5)
.
Penyebaran disebabkan oleh faktor sebagai berikut:
1. Pembuangan kotoran orang-orang yang terinfeksi di tempat
yang dilewati orang lain
2. Tanah atau pasir tempat pembuangan kotoran yang
merupakan medium yang baik bagi larva
3. Suhu panas dan lembab
4. Populasi yang miskin dengan orang-orang tanpa sepatu
5. Pendidikan yang rendah
6. Kepadatan penduduk
Ada juga beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam mencegah
infeksi cacing tambang pada anak, seperti kondisi sanitasi rumah, kondisi
sanitasi sekolah, perilaku buang air besar di kebun, kebiasaan anak
bermain di tanah dan kebiasaan anak menggunakan sandal (9.10).
1.2 Perumusan Masalah
Memberikan informasi
sumber
informasi
tentang
faktor-faktor
yang
Bagi peneliti
Menjadi tambahan sumber informasi atau referensi untuk
penelitian lain yang meneliti tentang sanitasi lingkungan dan tindakan
anak dengan kejadian infeksi cacing.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sanitasi Lingkungan
Istilah kesehatan lingkungan seringkali dikaitkan dengan istilah
sanitasi lingkungan. Sanitasi adalah sesuatu cara untuk mencegah
berjangkitnya suatu penyakit menular dengan jalan memutuskan mata
rantai dari sumber. Sanitasi merupakan usaha kesehatan masyarakat yang
menitikberatkan pada penguasaan terhadap faktor lingkungan yang
mempengaruhi derajat kesehatan (11).
WHO menyebutkan pengertian sanitasi lingkungan adalah suatu
usaha untuk mengawasi beberapa faktor lingkungan fisik yang
berpengaruh kepada manusia, terutama terhadap hal-hal yang mempunyai
Sanitasi rumah
Rumah sehat adalah rumah idaman. Rumah merupakan salah satu
Sanitasi sekolah
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Indonesia bahwa dalam
2.2 Perilaku
Perkembangan penyakit di dunia saat ini telah mulai bergeser dari
penyakit menular ke penyakit kronik yang berhubungan dengan perilaku
seseorang. Banyak penyakit dan kematian baik di Negara maju maupun di
Negara berkembang diketahui terkait dengan perilaku semasa hidup (15).
Perilaku manusia pada hakekatnya merupakan aktifitas dari
manusia itu sendiri. Perilaku merupakan refleksi dari berbagai gejala
kejiwaan, seperti pengetahuan, keinginan, kehendak, minat, motivasi,
persepsi, sikap dan lain-lain. Gejala kejiwaan tersebut dipengaruhi oleh
pengalaman, keyakinan, fasilitas dan faktor social budaya yang ada di
Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil dari proses pembelajaran dengan
benar
tentang
objek
yang
diketahui
dan
dapat
menghubungkan
bagian-bagian
di
dalam
suatu
bentuk
keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis itu kemampuan untuk
menyusun formulasi yang ada.
f. Evaluasi
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan
justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian itu
suatu kriteria yang ditentukan oleh sendiri atau menggunaan kriteria
yang telah ada.
2.2.2
Sikap
Sikap merupakan respon yang masih tertutup dari seseorang
Tindakan
Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt
behavior). Untuk terwujudnya sikap menjadi perbuatan nyata diperlukan
faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain
adalah fasilitas (15).
Adapun tingkat-tingkat tindakan yaitu :
a. Persepsi
Individu mulai membentuk persepsi dalam proses pikirnya
tentang suatu tindakan yang akan diambil. Misalnya individu akan
memilih jenis pelayanan kesehatan yang akan dituju saat sakit.
kegiatan
secara
berurutan.
Misalnya
seorang
ibu
2.5.2
Morfologi
10
Necator
americanus
mempunyai
benda
kitin,
sedangkan
11
2.5.3
Ancylostoma
Necator
duodenale
americanus
0.8 1.1 cm
1.0 1.3 cm
1 tahun
Usus halus
53 hari
10.000 25.000
0.7 0.9 cm
0.9 1.1 cm
3 5 tahun
Usus halus
49 56 hari
5.000 10.000
betina/ hari
Rute infeksi
Oral, perkutan
Perkutan
Cara Penularan
Cacing dewasa hidup dan bertelur di dalam usus halus terutama
jejunum, kemudian keluar melalui tinja. Telur akan berkembang menjadi
larva di tanah yang sesuai suhu dan kelembabannya. Larva bentuk pertama
adalah rhabditiform yang akan berubah menjadi filariform. Dari telur
sampai menjadi filariform memerlukan waktu selama 510 hari. Larva
akan memasuki tubuh manusia melalui kulit (telapak kaki, terutama untuk
Necator americanus) untuk masuk ke peredarah darah. Selanjutnya larva
akan ke paru, naik ke trakea, berlanjut ke faring, kemudian larva tertelan
ke saluran pencernaan. Larva biasa hidup dalam usus sampai 8 tahun
dengan menghisap darah (1 cacing = 0.2 ml/hari. Cara infeksi kedua yang
bukan melalui kulit adalah tertelannya larva (terutama Ancylostoma
duodenale) dari makanan atau minuman yang tercemar. Cacing dewasa
yang berasal dari larva yang tertelan tidak akan mengalami siklus paru(19).
12
Patofisiologi
Cacing tambang hidup dalam rongga usus halus tapi melekat
dengan giginya pada dinding usus dan menghisap darah. Seekor cacing
dewasa Necator americanus menimbulkan kehilangan darah sekitar 0.1 cc
perhari,
sedangkan
seekor
cacing
Ancylostoma
duodenale
dapat
Gejala klinis
a. Ruam yang menonjol dan terasa gatal (ground itch) biasa muncul di
tempat masuknya larva pada kulit
b. Demam, batuk dan bunyi nafas (mengi/bengek) biasa terjadi akibat
larva yang berpindah melalui paru-paru
c. Cacingan dewasa seringkali menyebabkan nyeri di perut bagian atas
d. Anemia karena kekurangan zat besi dan rendahnya kadar protein di
dalam darah bias terjadi akibat perdarahan usus
13
Diagnosis
Diagnosis pasti infeksi cacing tambang ditetapkan melalui
pemeriksaan mikroskopis tinja untuk menemukan telur cacing dan juga
dilakukan pemeriksaan darah(20).
Pada hapusan darah, terdapat gambaran :
a. Hipokromik mikrosister
b. Eosinofilia, dapat mencapai 30%
Telur cacing Necator americanus tidak dapat dibedakan dengan
Ancylostoma duodenale, sehingga perlu dibiakkan selama 5-7 hari untuk
pemeriksaan stadium larva (21).
2.5.7
Pengobatan
a. Pirantel pamoat dosis tunggal 10 mg/kgBB
b. Mebendazol 100 mg, 2 x sehari selama 3 hari (19).
2.5.8
Pencegahan
Pencegahan dapat dimulai dengan survei prevalensi untuk
mengetahui besarnya masalah endemisitas di suatu daerah. Kemudian
melakukan pengobatan pada penderita, penyuluhan, kampanye, perbaikan
sanitasi dan higiene pribadi, terutama mejelaskan bagaimana jamban
keluarga yang sehat. Kegiatan pencegahan kontak dengan larva adalah
dengan membudayakan mencuci tangan serta menggunakan alas kaki bagi
masyarakat yang berisiko tertular(19).
14
2.6.2
Morfologi
Panjang cacing betina kira-kira 5 cm, sedangkan cacing jantan
kira-kira 4 cm. Bagian anterior langsung seperti cambuk, panjangnya kirakira 3/5 dari panjang seluruh tubuh. Bagian posterior bentuknya lebih
gemuk, pada cacing betina bentuknya membulat tumpul. Pada cacing
jantan melingkar dan terdapat satu spikulum. Cacing dewasa hidup di
kolon asendens dan sekum dengan bagian anteriornya seperti cambuk
masuk ke dalam mukosa usus. Seekor cacing betina diperkirakan
menghasilkan telur setiap hari antara 3.000 20.000 butir (9).
Morfologi telur:
a. Berukuran 50-54 x 22-23 mikron
b. Bentuk seperti tong anggur (barrel shaped)
c. Ke dua kutubnya terdapat semacam tutup yang jernih dan
menonjol dikenal sebagai mucoid plugs
d. Di dalam telur berisi massa yang tidak bersegmen(21).
15
Trichuris trichiura
30 45 mm
Betina
35 50 mm
Telur
Panjang 50 55 m
Lebar 22 24 m
2.6.3
Cara penularan
Apabila manusia menelan telur yang matang, maka telur akan
menetaskan larva yang akan berpenetrasi pada mukosa usus halus selama
3 10 hari. Selanjutnya larva akan bergerak turun dengan lambat untuk
menjadi dewasa di sekum dan kolon asendens. Siklus hidup dari telur
sampai cacing dewasa memerlukan waktu sekitar tiga bulan. Di dalam
sekum, cacing biasa hidup sampai bertahun-tahun. Cacing akan
meletakkan telur pada sekum dan telur-telur ini keluar bersama tinja. Pada
lingkungan yang kondusif, telur akan matang dalam waktu 2 4 minggu
(19)
16
Patofisiologi
Cacing cambuk pada manusia terutama hidup di sekum dapat juga
ditemukan di dalam kolon ascendens. Pada infeksi berat, terutama pada
anak-anak cacing ini tersebar di seluruh kolon dan rectum, kadang-kadang
terlihat pada mukosa rectum yang mengalami prolapsus akibat
mengejannya penderita sewaktu defekasi. Cacing ini memasukkan
kepalanya ke dalam mukosa usus hingga terjadi trauma yang
menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Pada tempat
pelekatannya dapat menimbulkan perdarahan. Disamping itu cacing ini
menghisap darah hospesnya sehingga dapat menyebabkan anemia (20).
2.6.5
Gejala klinis
a. Pada infeksi berat menyebabkan gejala berupa nyeri perut dan diare
b. Infeksi yang sangat berat menyebabkan perdarahan usus, anemia,
c.
2.6.6
2.6.7
Pengobatan
a. Mebendazol 100 mg, 2 x sehari selama 3 hari berturut-turut
b. Albendazol 400 mg dosis tunggal (9,19).
2.6.8
Pencegahan
17
: Animalia
: Nemathelminthes
: Nematoda
: Phasmida
: Rhabdidata
: Ascaridata
: Ascarididae
: Ascaris
: Ascaris lumbricoides
Morfologi
Cacing jantan berukuran lebih kecil dari cacing betina. Stadium
dewasa hidup di rongga usus kecil. Seekor cacing betina dapat bertelur
sebanyak 100.000 200.000 butir sehari, terdiri atas telur yang dibuahi
dan yang tidak dibuahi (9).
Morfologi telur yang dibuahi (fertile):
a. Bentuk bulat lonjong, ukuran panjang 45-75 mikron dan lebarnya
35-50 mikron.
b. Berdinding tebal terdiri dari tiga lapis.
1. Lapisan dalam dari bahan lipoid (tidak ada pada telur unfertile)
2. Lapisan tengah dari bahan glikogen
3. Lapisan paling luar dari bahan albumin (tidak rata, bergerigi,
berwarna coklat keemasan berasal dari warna pigmen empedu)
c. Telur bagian dalam tidak bersegmen berisi kumpulan granula
lesitin yang kasar.
18
19
liat. Telur akan mengalami kerusakan karena pengaruh bahan kimia, sinar
matahari langsung dan pemanasan (9,21).
2.7.3
Ascaris lumbricoides
Panjang 15 30 cm
Lebar 0.2 0.4 cm
Panjang 20 - 35 cm
Lebar 0.3 0.6 cm
1 2 tahun
Usus halus
Panjang 60 70 m
Lebar 40 50 m
200.000 telur
Cara penularan
Proses penularan askariasis pada manusia dapat dilihat dari siklus
hidup cacing. Telur yang dikeluarkan oleh cacing melalui tinja dalam
lingkungan yang sesuai akan berkembang menjadi embrio dan menjadi
larva yang infektif di dalam telur. Apabila karena sesuatu sebab telur
tersebut tertelan oleh manusia, maka di dalam usus larva akan menetas,
keluar dan menembus dinding usus halus menuju ke system peredaran
darah. Larva akan menuju ke paru, trakea, faring dan tertelan masuk ke
esophagus hingga sampai ke usus halus. Larva menjadi dewasa di usus
20
halus. Perjalanan siklus hidup cacing ini berlangsung selama 6570 hari
(19)
Patofisiologi
Cacing dewasa yang berada di dalam usus dan larva cacing yang
Gejala klinis
Askariasis sering tidak bergejala tetapi, jika jumlah cacing di
dalam perut semakin banyak, maka berbagai macam gejala akan muncul
(1)
.
Gejala infeksi cacing yang masih ringan dapat berupa:
a. Ditemukannya cacing dalam tinja
21
b.
c.
d.
e.
Muntah
Nafas pendek
Perut buncit
Nyeri perut
Usus tersumbat
Saluran empedu tersumbat
Diagnosis
Diagnosis pasti Ascaris lumbricoides ditegakkan bila melalui
2.7.7
2.7.8
Pengobatan
a. Pirantel pamoat dosis tunggal 10 mg/kgBB
b. Mebendazol 100 mg, 2 x sehari selama 3 hari
c. Albendazol (anak >2 tahun) 400 mg dosis tunggal (9,19).
Pencegahan
Program utama adalah perbaikan perilaku yang berupa kebiasaan
22
BAB 3
KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI
OPERASIONAL
3.1
Kerangka Konsep
Variabel Dependen
Variabel Independen
Lingkungan :
-
Sanitasi sekolah
Sanitasi rumah
Perilaku :
-
Kebiasaan memakai
alas kaki
Kebiasaan bermain di
tanah
Kebiasaan buang air
besar
23
= yang diteliti
3.2
Definisi Operasional
Variabel
Definisi
Skala pengukuran
Sampali
Pemeriksaan tinja dengan metode native
Mikroskop
+ (positif) = ditemukan adanya telur cacing pada tinja
- (negatif) = tidak ditemukan telur cacing pada tinja
Ordinal
Variable
Definisi
Sanitasi sekolah
Sanitasi sekolah adalah keadaan lingkungan fisik dari
Cara ukur
Alat ukur
Hasil
Cara ukur
Alat ukur
Hasil
24
Skala pengukuran
Ordinal
Variable
Definisi
Sanitasi rumah
Sanitasi rumah adalah keadaan rumah anak SD Negeri
Cara ukur
Alat ukur
Hasil
Skala pengukuran
Variable
Definisi
Cara ukur
Alat ukur
Hasil
Skala pengukuran
101775 Sampali
Wawancara/metode cek list
Kuesioner
1. Baik, bila hasil kuesioner >12
2. Buruk, bila hasil kuesioner 12
Ordinal
Tindakan anak
Sikap anak sehari-hari dalam kehidupannya
Wawancara/metode cek list
Kuesioner
1. Baik, bila hasil kuesioner >10
2. Buruk, bila hasil kuesioner 10
Ordinal
3.3
Hipotesis Penelitian
3.3.1
3.3.2
3.3.3
25
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik dengan desain crosssectional yang bertujuan untuk memperoleh gambaran yang jelas
mengenai hubungan sanitasi lingkungan dan tindakan anak pada anak
Sekolah Dasar Negeri 101775 Sampali.
101775 Jalan Irian Barat No. 11 Desa Sampali Percut Sei Tuan, Medan.
Waktu penelitian
Waktu penelitian dimulai dari bulan September - Desember 2014
4.3.2
Sampel penelitian
Sampel penelitian ini adalah populasi penelitian yang ditetapkan
secara Stratified Random Sampling Method berdasarkan strata pendidikan,
yaitu murid kelas IV yang berjumlah 16 orang, murid kelas V yang
berjumlah 18 orang dan murid kelas IV yang berjumlah 22 orang.
a. Kriteria Inklusi
Kriteria Inklusi pada penelitian ini adalah semua murid kelas IV, V
dan VI Sekolah Dasar Negeri 101775 yang bersedia diwawancarai dan
bersedia diambil fesesnya, serta yang belum meminum obat cacing
dalam rentang waktu 3 bulan terakhir.
b. Kriteria Ekslusi
Kriteria Ekslusi pada penelitian ini adalah anak Sekolah Dasar
Negeri 101775 yang tidak bersedia diwawancarai dan tidak bersedia
26
ni =
Ni
.n
N
Kelas IV
Kelas V
Kelas VI
Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar
pemeriksaan serta bahan dan alat untuk pemeriksaan feses dengan metode
natif yang dicantumkan sebagai berikut:
27
4.4.1
4.4.2
Cara kerja
a.
b.
c.
d.
4.6
28
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1
Hasil Penelitian
Jenis kelamin
29
Frekuensi
Persen
Laki-laki
20
47.6%
Perempuan
22
52.4%
Total
42
100%
Kelas
Kelas murid SD Negeri 101775 Sampali pada tahun 2014 yang
diteliti adalah murid kelas IV, V dan VI. Jumlah anak kelas IV
berjumlah 12 murid, jumlah anak kelas V berjumlah 11 murid dan
jumlah anak kelas VI berjumlah 19 murid.
CX-21.
Pemeriksaan
ini
didampingi
oleh
Bapak Aldino
30
jenis Trichuris trichiura dan 2 sampel ditemukannya telur cacing dari jenis
Hookworm.
4
Frekuensi
Persentase
22
20
42
52.4%
47.6%
100%
Asymp.
Positif
Negatif
Total
Sig. (2sided)
Baik
Buruk
Total
50%
75%
52.4%
50%
25%
47.6%
100%
100%
100%
0.608
31
yang buruk didapatkan 75% yang positif terinfeksi STH. Pada uji statistik
Chi-Square didapatkan p=0.608 (p0.05) menunjukkan tidak adanya
hubungan yang bermakna antara sanitasi sekolah dengan kejadian infeksi
cacing pada anak SD Negeri 101775 Sampali.
6
32
Tindakan
Anak
Baik
Buruk
Total
Positif
Negatif
Total
Asymp.
Sig. (2sided)
34.8%
73.7%
52.4%
65.2%
26.3%
47.6%
100%
100%
100%
0.012
PEMBAHASAN
Infeksi cacing di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan
karena prevalensinya yang masih tinggi yaitu antara 46-65%, bahkan
wilayah-wilayah tertentu dengan sanitasi yang buruk prevalensi infeksi
cacing bisa mencapai 80%. Tinggi rendahnya frekuensi infeksi cacing
berhubungan erat dengan kebersihan pribadi dan sanitasi lingkungan.
Dari penelitian ini sampel tinja yang terkumpul tidak sesuai dengan
harapan karena seharusnya sampel feses yang terkumpul 56 sampel tetapi
yang terkumpul hanya 42 sampel. Alasan responden tidak mengumpulkan
feses karena mengaku tidak bisa buang air besar, merasa jijik mengambil
fesesnya dan ada juga anak sekolah yang tidak masuk sekolah sampai hari
terakhir pengumpulan sampel feses.
Berdasarkan hasil pemeriksaan feses dari 42 murid didapatkan 22
murid (52.4%) positif terinfeksi Soil Transmitted Helminths (STH) dan 20
murid (47.6%) tidak terinfeksi Soil Transmitted Helminths (STH) di SD
Negeri 101775 Sampali pada tahun 2014. Bila angka prevalensi Soil
Transmitted Helminths sebesar 52.4% ini dibandingkan dengan hasil
penelitian Dian Marselina pada tahun 2012 di TK Swasta Katolik Budi
Murni 2 Medan dengan prevalensi Soil Transmitted Helminths yang positif
33
yang didapat sebesar 8.1%. Maka hal ini bermakna bahwa hasil penelitian
ini jauh lebih tinggi dari hasil penelitian Dian Marselina(14).
Hasil penelitian Friscasari Kundaian di Desa Teling Kecamatan
Tombariri Kabupaten Minahasa pada tahun 2011 jumlah murid didapatkan
yang positif cacingan sebanyak 11 sampel (12.2%) dari 90 sampel.
Didapatkan juga hasil penelitian dari Sitti Chadijah di Kota Palu
didapatkan yang positif cacingan sebanyak 90 sampel (31.3%) dari 288
sampel(22.23).
Prevalensi yang berbeda ini disebabkan karena adanya kebiasaan
buruk terutama pada anak-anak, misalnya masih sering bermain di tanah
tanpa menggunakan alas kaki, tidak mencuci tangan sebelum makan, tidak
mencuci tangan sesudah buang air besar dan kecil, tidak mencuci tangan
setelah bermain tanah, buang air di sembarang tempat, tidak tersedianya
air dan wc/jamban yang bersih serta kurangnya informasi tentang infeksi
cacing(23).
Hasil uji statistik (uji Chi-Square) untuk analisa hubungan antara
sanitasi sekolah dengan kejadian infeksi cacing menunjukkan tidak adanya
hubungan yang bermakna (p0.05) antara sanitasi sekolah dengan kejadian
infeksi cacing di SD Negeri 101775 Sampali. Hasil penelitian ini tidak
sama dengan hasil penelitian Salbiah di SD Kecamatan Medan Belawan
yang menunjukkan adanya hubungan yang bermakna (p0.05) antara
sanitasi sekolah dengan kejadian infeksi cacing(7).
Hasil uji statistik (uji Chi-Square) untuk analisa hubungan antara
sanitasi rumah dengan kejadian infeksi cacing menunjukkan adanya
hubungan yang bermakna (p0.05) antara sanitasi rumah dengan kejadian
infeksi cacing di SD Negeri 101775 Sampali. Hasil penelitian ini berbeda
dengan hasil penelitian Friscasari Kundaian di SD Desa Teling Kecamatan
Tombariri Kabupaten Minahasa yang menunjukkan tidak ada hubungan
bermakna (p0.05) antara sanitasi rumah dengan kejadian infeksi
cacing(22).
Hasil uji statistik (uji Chi-Square) untuk analisa hubungan antara
tindakan anak dengan kejadian infeksi cacing menunjukkan adanya
hubungan yang bermakna (p0.05) antara tindakan anak dengan kejadian
infeksi cacing di SD Negeri 101775 Sampali. Hasil penelitian ini berbeda
34
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian ini maka didapatkan kesimpulan sebagai
berikut:
1. Bahwa prevalensi infeksi Soil Transmitted Helminths yang positif
pada anak SD Negeri 101775 Sampali sebesar 52.4% dan yang
negatif sebesar 47.6%.
2. Hasil dari sanitasi sekolah dengan kejadian infeksi Soil
Transmitted Helminths pada anak SD Negeri 101775 Sampali
berdasarkan uji Chi-Square didapatkan nilai p=0.608 (p>0.05)
berarti Ho diterima yang berarti tidak ada hubungan yang
35
Soil
Saran
Kepada masyarakat
Agar lebih memperhatikan dan menjaga lingkungan sekitarnya
supaya meminimalisir penyebaran dan terhindar dari penyakit lingkungan
seperti infeksi cacingan ini.
Kepada peneliti
Untuk peneliti yang ingin melakukan penelitian lebih lanjut tentang
infeksi cacing dengan sanitasi lingkungan, diharapkan bisa melakukan
36
penelitian dengan jumlah sampel yang lebih besar dan memperhatikan cara
pengambilan sampel (feses) yang benar.
DAFTAR PUSTAKA
1. Akhsin Zulkoni, 2010. Parasitologi. Mulia Medika, Yogyakarta
2. Kementrian Kesehatan RI, 2012. Pedoman Pengendalian Kecacingan,
Jakarta
3. WHO
[Diakses
21
Oktober
2014]
Available
at
:
Http://www.who.int/intestinal_worms/more/en/
4. Menkes, 2006. Pedoman Pengendalian Cacingan. [Diakses 10 Oktober 2014]
Available at : www.hukor.depkes.go.id/up-prod-kepmenkes/KMK%20-No.
%20424%20ttg%20Pedoman%20Pengendalian%20Cacingan.pdf
5. Luthfiani: Faktor-faktor Pendahuluan[Diakses 21 Oktober 2014] Available
at : lib.ui.ac.id/file:digital/123091-S-5280-Faktor-faktor-Pendahuluan.pdf
6. Lukman Waris, 2008. Distribusi Parasit Pencernaan di Sekolah Dasar Negeri.
7. Salbiah, 2008. Hubungan Karakteristik Siswa dan Sanitasi Lingkungan
dengan Infeksi Cacingan Siswa Sekolah Dasar. [Diakses 10 Oktober 2014]
Available
at
:http://www.repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6776/1/057023018.pdf
8. Inge Sutanto, dkk.2011. Parasitologi Kedokteran. Edisi IV. FKUI, Jakarta
9. Koes Irianto, 2013. Parasitologi Medis. Alfabeta.
10. Djaenudin Natadisastra, 2009. Parasitologi Kedokteran Ditinjau dari Organ
Tubuh yang Diserang. Cetakan Pertama. Buku Kedokteran EGC, Jakarta
11. Adik Wibowo, 2014. Kesehatan Masyarakat di Indonesia. PT. Rajagrafindo
Persada, Jakarta.
12. Syafruddin, SKM, M.Kes., Ayi Diah Damayani, SST, Delmaifanis, SST,
MKM., 2011. Himpunan Penyuluhan Kesehatan. CV. Trans Info Media,
Jakarta Timur.
13. Koes Irianto, 2014. Ekologi Kesehatan. Alfabeta, Bandung.
14. Dian Marselina, 2013. Studi Status Lingkungan Dengan Kecacingan Pada
Murid TK Swasta Khatolik Budi Murni 2 Medan Tahun 2012. FK UNPRI,
Medan.
37
38