Você está na página 1de 38

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Infeksi cacing merupakan salah satu penyakit yang paling umum
tersebar dan menjangkiti banyak manusia di seluruh dunia. Di Indonesia,
penyakit cacingan merupakan salah satu penyakit yang berbasis pada
lingkungan. Hal ini disebabkan oleh iklim tropis dan kelembaban udara
yang tinggi, dan merupakan lingkungan yang baik untuk perkembangan
cacing. Penyakit cacingan merupakan penyakit endemik dan kronik
diakibatkan oleh cacing parasitdengan prevalensi tinggi, tidak mematikan,
tetapi menggerogoti kesehatan tubuh manusia(1).
Penyakit cacingan ini dapat mengakibatkan menurunnya kondisi
kesehatan, gizi, kecerdasan dan produktifitas penderitanya sehingga secara
ekonomi banyak menyebabkan kerugian, karena menyebabkan kehilangan
karbohidrat dan protein serta kehilangan darah, sehingga menurunkan
kualitas sumber daya manusia. Penyakit cacingan di Indonesia pada
umumnya masih tinggi, terutama pada golongan penduduk yang kurang
mampu mempunyai faktor risiko tinggi terjangkit penyakit ini(2).
Cacing usus yang sering menginfeksi manusia yang ditularkan
melalui tanah atau yang disebut Soil Transmitted Helminths (STH) adalah
Ascaris lumbricoides, Necator americanus, Ancylostoma duodenale, dan
Trichuris trichiura(3).
Prevalensi Soil Transmitted Helminths di Indonesia masih cukup
tinggi seperti Ascaris lumbricoides sekitar 6090%, diperkirakan 8071.221 juta orang. Ancylostoma duodenale dan Necator americanus di
daerah pedesaan lebih dari 70%, diperkirakan sekitar 576 740 juta orang.
Trichuris trichiura di daerah panas dan lembab sekitar 3090 %(4).
Penyakit cacingan paling banyak diderita pada anak-anak, yaitu
sekitar 4060 %. Laporan hasil survei prevalensi cacingan dengan sasaran
anak sekolah dasar pada tahun 2005 sangat bervariasi antara 1.37% sampai
77.14%. Ascarislumbricoides 12.38%, Trichuris trichiura 16.52% dan
cacing tambang 1.38%(5).

Menurut WHO (World Health Organization) diperkirakan 800 juta1 milyar penduduk terinfeksi Ascaris, 700-900 juta terinfeksi cacing
tambang, 500 juta terinfeksi Trichuris(6).
Di daerah kumuh di Jakarta infeksi A.lumbricoides dan T.trichiura
sudah ditemukan pada bayi berumur kurang dari satu tahun. Pada umur
satu tahun A.lumbricoides dapat ditemukan 80100 % di antara kelompok
anak ini. Untuk T.trichiura angkanya lebih rendah sedikit, yaitu 70 %.
Usia anak yang termuda mendapat infeksi Ascaris adalah 16 minggu,
sedangkan T.trichiura adalah 41 minggu. Sedangkan Cacing tambang
ditemukan di daerah perkebunan seperti di perkebunan karet di Sukabumi,
Jawa Barat 93.1 % dan di perkebunan kopi di Jawa Timur 80.69 % (7).
Dalam laporan hasil survei prevalensi cacingan pada 10 Propinsi
tahun 2004, Sumatera Utara menduduki peringkat ke-3 (60.4%) dalam hal
penyakit cacingan setelah Sumatera Barat (82.3%) dan Nusa Tenggara
Barat (83.6%) (8).
Hasil pemeriksaan di beberapa SD di Kecamatan Stabat dan
Kecamatan Hinai, Sumatera Utara menemukan prevalensi infeksi cacingan
sekitar 30-60%. Serta dari murid Sekolah Dasar Negeri 1 desa Tanjung
Anom, Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara
yang tinjanya di periksa ternyata 86.3% positif dengan adanya telur cacing
(5)

.
Penyebaran disebabkan oleh faktor sebagai berikut:
1. Pembuangan kotoran orang-orang yang terinfeksi di tempat
yang dilewati orang lain
2. Tanah atau pasir tempat pembuangan kotoran yang
merupakan medium yang baik bagi larva
3. Suhu panas dan lembab
4. Populasi yang miskin dengan orang-orang tanpa sepatu
5. Pendidikan yang rendah
6. Kepadatan penduduk
Ada juga beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam mencegah

infeksi cacing tambang pada anak, seperti kondisi sanitasi rumah, kondisi
sanitasi sekolah, perilaku buang air besar di kebun, kebiasaan anak
bermain di tanah dan kebiasaan anak menggunakan sandal (9.10).
1.2 Perumusan Masalah

Untuk mengetahui hubungan sanitasi lingkungan dan tindakan


anak dengan kejadian infeksi Soil Transmitted Helminths di Sekolah Dasar
Negeri 101775 Sampali.
1.3 Tujuan
1.3.1
Tujuan umum
Untuk memperoleh informasi hubungan sanitasi lingkungan dan
tindakan anak dengan kejadian infeksi Soil Transmitted Helminths di
Sekolah Dasar Negeri101775 Sampali
1.3.2
Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui prevalensi kejadian infeksi Soil Transmitted
Helminths pada anak sekolah SD Negeri 101775 Sampali.
b. Untuk mengetahui hubungan kondisi sanitasi sekolah dengan kejadian
infeksi Soil Transmitted Helminths pada anak sekolah SD Negeri
101775 Sampali.
c. Untuk mengetahui hubungan kondisi sanitasi rumah dengan kejadian
infeksi Soil Transmitted Helminths pada anak sekolah SD Negeri
101775 Sampali.
d. Untuk mengetahui hubungan tindakan anak dengan kejadian infeksi
Soil Transmitted Helminths pada anak sekolah SD Negeri 101775
Sampali.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1
Bagi masyarakat
Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai sanitasi
lingkungan dan tindakan anak yang berpengaruh terhadap terjadinya
infeksi cacing, sehingga masyarakat dapat mengetahui dan melakukan
upaya pencegahan.
1.4.2

Bagi pihak sekolah

Memberikan informasi

kepada sekolah mengenai penyebaran

penyakit infeksi cacingan di lingkungan sekolah dan dapat melakukan


pencegahan penyebaran.
1.4.3

Bagi pihak dinas kesehatan


Menjadi

sumber

informasi

tentang

faktor-faktor

yang

mempengaruhi kejadian infeksi cacing, sehingga dapat dilakukannya


penanggulangan infeksi cacing.
1.4.4

Bagi peneliti
Menjadi tambahan sumber informasi atau referensi untuk
penelitian lain yang meneliti tentang sanitasi lingkungan dan tindakan
anak dengan kejadian infeksi cacing.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sanitasi Lingkungan
Istilah kesehatan lingkungan seringkali dikaitkan dengan istilah
sanitasi lingkungan. Sanitasi adalah sesuatu cara untuk mencegah
berjangkitnya suatu penyakit menular dengan jalan memutuskan mata
rantai dari sumber. Sanitasi merupakan usaha kesehatan masyarakat yang
menitikberatkan pada penguasaan terhadap faktor lingkungan yang
mempengaruhi derajat kesehatan (11).
WHO menyebutkan pengertian sanitasi lingkungan adalah suatu
usaha untuk mengawasi beberapa faktor lingkungan fisik yang
berpengaruh kepada manusia, terutama terhadap hal-hal yang mempunyai

efek merusak perkembangan fisik, kesehatan dan daya tahan hidup


manusia (11,12).
Kesehatan lingkungan dapat dilihat dari beberapa indikator
diantaranya sanitasi rumah, sanitasi sekolah dan tindakan anak(11).
2.1.1

Sanitasi rumah
Rumah sehat adalah rumah idaman. Rumah merupakan salah satu

kebutuhan pokok manusia, disamping kebutuhan sandang, pangan dan


kesehatan. Oleh karena itu rumah haruslah sehat dan nyaman agar
penghuninya dapat berkarya untuk meningkatkan produktifitas.
Kontruksi rumah dan lingkungan yang tidak memenuhi syarat
kesehatan merupakan faktor risiko sumber penularan berbagai jenis
penyakit, khususnya penyakit yang berbasis lingkungan (11,12).
Secara umum rumah dapat dikatakan sehat apabila memenuhi
kriteria sebagai berikut :
a. Memenuhi kebutuhan fisiologis antara lain: pencahayaan, penghawaan
dan ruang gerak yang cukup, terhindar dari kebisingan yang
mengganggu.
b. Memenuhi kebutuhan psikologis antara lain privasi yang cukup,
komunikasi yang sehat antar anggota keluarga dan penghuni rumah.
c. Memenuhi persyaratan pencegahan penularan penyakit antar penghuni
rumah dengan penyediaan air bersih, pengolahan tinja dan limbah
rumah tangga, bebas vektor penyakit dan tikus, kepadatan hunian yang
tidak berlebihan, cukup sinar matahari pagi, terlindung nya makanan
dan minuman dari pencemaran, disamping pencahayaan dan
penghawaan yang cukup.
d. Memenuhi persyaratan pencegahan terjadinya kecelakaan baik yang
timbul karena keadaan luar maupun dalam rumah antara lain, posisi
garis sepadan jalan, kontruksi yang tidak mudah roboh, tidak mudah
terbakar, dan tidak cenderung membuat penghuninya jatuh tergelincir.
Untuk menciptakan rumah sehat maka diperlukan perhatian
terhadap beberapa aspek yang sangat berpengaruh, antara lain :
a. Sirkulasi darah yang baik
b. Penerangan yang cukup
c. Air bersih terpenuhi

d. Pembuangan air limbah diatur dengan baik agar tidak menimbulkan


pencemaran
e. Bagian-bagian ruang seperti lantai dan dinding tidak lembab serta
tidak terpengaruh pencemaran seperti bau, rembesan air kotor maupun
udara kotor
2.1.2

Sanitasi sekolah
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Indonesia bahwa dalam

rangka meningkatkan kualitas kesehatan lingkungan, perilaku hidup bersih


di sekolah guna terwujudnya lingkungan yang sehat, bersih dan nyaman
serta terbebas dari ancaman penyakit perlu dilakukan berbagai upaya
penyelenggaran kesehatan lingkungan sekolah (13).
Sanitasi sekolah yang kurang sehat merupakan salah satu sarana
untuk terjadinya penyebaran infeksi cacing, oleh karena itu lingkungan
sekolah harus memenuhi syarat lingkungan sekolah yang sehat sebagai
berikut:(13,14).
a. Halaman upacara dan halaman bermain kering
b. Lokasi sekolah tidak terletak di tempat bekas pembuangan sampah
dan rawan bencana
c. Atap dan langit-langit sekolah harus kuat dan tidak bocor
d. Ruangan kelas yang cukup pencahayaan
e. Permukaan dinding harus enrsih dan tidak lembab serta lantai yang
f.
g.
h.
i.

kedap air dan permukaan rata


Ketersediaan tempat sampah
Ketersediaan jamban
Ketersediaan sarana cuci tangan
Terserdianya sarana air bersih

2.2 Perilaku
Perkembangan penyakit di dunia saat ini telah mulai bergeser dari
penyakit menular ke penyakit kronik yang berhubungan dengan perilaku
seseorang. Banyak penyakit dan kematian baik di Negara maju maupun di
Negara berkembang diketahui terkait dengan perilaku semasa hidup (15).
Perilaku manusia pada hakekatnya merupakan aktifitas dari
manusia itu sendiri. Perilaku merupakan refleksi dari berbagai gejala
kejiwaan, seperti pengetahuan, keinginan, kehendak, minat, motivasi,
persepsi, sikap dan lain-lain. Gejala kejiwaan tersebut dipengaruhi oleh
pengalaman, keyakinan, fasilitas dan faktor social budaya yang ada di

lingkungannya. Menurut Notoadmojo, perilaku dikembangkan menjadi


tiga tingkat yaitu pengetahuan, sikap dan tindakan.(15,7)
2.2.1

Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil dari proses pembelajaran dengan

melibatkan indra penglihatan, pendengaran, penciuman dan pengecap.


Pengetahuan akan memberikan penguatan terhadap individu dalam setiap
mengambil keputusan dan dalam berperilaku (15).
Pengetahuan tentang objek dapat diperoleh dari pengalaman, guru,
orang tua, teman, buku dan media masa. Pengetahuan seseorang terhadap
suatu objek dapat berubah dan berkembang sesuai dengan kemampuan,
kebutuhan, pengalaman dan tinggi rendahnya mobilitas informasi tentang
objek tersebut di lingkungannya(7).
Menurut Notoadmojo (2010), pengetahuan terbagi menjadi 6
tingkatan, yaitu:
a. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat sesuatu materi yang telah
dipelajari sebelumnya, termasuk dalam pengetahuan tingkat ini
mengingat kembali (reach) terhadap suatu spesifik dari seluruh bahan
yang dipelajari atau rangsangan yang diterima.
b. Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan
secara

benar

tentang

objek

yang

diketahui

dan

dapat

menginterprestasikan materi tersebut secara benar.


c. Aplikasi (aplication)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi
yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenernya.Aplikasi
disini dapat diartikan aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus,
metode, prinsip dan sebagainya.
d. Analisis
Analisis adalah sesuatu kemampuan untuk menjabarkan materi
atau sesuatu objek keadaan komponen-komponen. Tetapi masik di
dalam suatu struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu
sama lainnya.
e. Sintesis

Sintesis menunjukkan pada suatu kemampuan untuk meletakkan


atau

menghubungkan

bagian-bagian

di

dalam

suatu

bentuk

keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis itu kemampuan untuk
menyusun formulasi yang ada.
f. Evaluasi
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan
justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian itu
suatu kriteria yang ditentukan oleh sendiri atau menggunaan kriteria
yang telah ada.
2.2.2

Sikap
Sikap merupakan respon yang masih tertutup dari seseorang

terhadap suatu stimulus. Sikap terdiri dari berbagai tingkatan yakni:


a. Menerima (Receiving) diartikan bahwa orang(subjek) mau dan
memperhatikan stimulus yang diberikan (objek).
b. Merespon (Responding) adalah memberikan jawaban apabila
ditanya, mengerjakan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi
dari sikap.
c. Menghargai (Valuing) mengajak orang lain untuk mengerjakan atau
mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah suatu
indikasi sikap tingkat tiga.
d. Bertanggung jawab (Responsible) bertanggung jawab atas segala
sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko adalah
merupakan sikap yang paling tinggi.
2.2.3

Tindakan
Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt
behavior). Untuk terwujudnya sikap menjadi perbuatan nyata diperlukan
faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain
adalah fasilitas (15).
Adapun tingkat-tingkat tindakan yaitu :
a. Persepsi
Individu mulai membentuk persepsi dalam proses pikirnya
tentang suatu tindakan yang akan diambil. Misalnya individu akan
memilih jenis pelayanan kesehatan yang akan dituju saat sakit.

Orang tua akan mencarikan anaknya asuransi pendidikan yang


sesuai dan terjangkau.
b. Terpimpin
Persepsi yang sudah ada pada seorang akan ditindak lanjuti
dengan

kegiatan

secara

berurutan.

Misalnya

seorang

ibu

menyiapkan sarapan sandwitch tuna untuk anaknya yang duduk di


taman kanak-kanak.
c. Mekanisme
Kegiatan atau tindakan yang sudah dilakukuan secara benar
dengan tepat dan cepat, akan dilakukan kembali tanpa harus
diperintah atau ditunggui. Misalnya saja saja seorang ibu dengan
mudah menyiapkan makanan.
d. Adopsi
Kegiatan yang sudah dilakukan secara otomatis pada
selanjutnya individu akan mengembangkan kegiatan tersebut
dengan tidak mengurangi makna dan tujuan dari kegiatan tersebut.
2.3 Pengertian Soil Transmitted Helminthes
Soil Transmitted Helminthes adalah nematoda usus yang dalam
siklus hidupnya membutuhkan tanah untuk proses pematangan sehingga
terjadi perubahan dari stadium non-infektif menjadi stadium infektif. Soil
Transmitted Helminths (STH) yang banyak di Indonesia adalah cacing
tambang (Ancylostoma duodenale, Necator americanus), cacing gelang
(Ascaris lumbricoides), dan cacing cambuk (Trichuris trichiura)(17).
Kebiasaan yang berkaitan erat dengan tingginya angka infeksi STH
terutama pada balita dan anak usia sekolah dasar adalah defekasi di sekitar
rumah, tidak mencuci tangan sebelum makan, bermain di tanah tanpa
menggunakan alas kaki, kebiasaan buang air besar di kebun dan kebiasaan
memakan tanah (geophagia)(2).

2.4 Faktor-Faktor Tingginya Infeksi Cacingan


Berbagai faktor yang mendukung tingginya angka kesakitan
infeksi cacing usus di Indonesia. Letak geografik Indonesia di daerah
tropik yang mempunyai iklim yang panas akan tetapi lembab

memungkinkan cacing usus dapat berkembang biak dengan baik. Dan


beberapa hal seperti (18):
a. Banyak penduduk Indonesia yang masih berpendidikan rendah,
sehingga pengetahuan tentang cara untuk hidup sehat, cara untuk
menjaga kebersihan perorangan bagi dirinya (seperti tidak memakai
alas kaki dan suka bermain di tanah) dan kebersihan makanan dan
minuman serta cara makannya belum dipahami dengan baik.
b. Banyak keluarga yang tidak memiliki jamban keluarga, sehingga
mereka membuang kotoran (buang air besar) di halaman rumah, di
kebun atau selokan yang terbuka sehinga menimbulkan pencemaran
lingkungan hidup oleh kotoran manusia yang mengandung stadium
infektif cacing usus.
2.5 Cacing Tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus)
2.5.1
Toksonomi cacing tambang
a. Toksonomi Ancylostoma duodenale
Kingdom
: Animalia
Filum
: Nemathelminthes
Kelas
: Nematoda
Sub-kelas
: Phasmida
Ordo
: Rhabditida
Sub-ordo
: Strongylata
Superfamilia
: Strongyloidea
Familia
: Ancylostomatidae
Genus
: Ancylostoma
Spesies
: Ancylostoma duodenale
b. Toksonomi Necator americanus
Kingdom
: Animalia
Filum
: Nemathelminthes
Kelas
: Nematoda
Sub-kelas
: Phasmida
Ordo
: Rhabditida
Sub-ordo
: Strongylata
Superfamily
: Strongyloidea
Familia
: Ancylostomatidae
Genus
: Necator
Spesies
: Necator americanus

2.5.2

Morfologi

10

Cacing dewasa hidup di rongga usus halus, dengan mulut yang


besar melekat pada mukosa dinding usus. Cacing betina Necator
americanus tiap hari mengeluarkan telur 5.00010.000 butir, sedangkan
Ancylostoma duodenale kira-kira 10.000-25.000 butir. Cacing betina
berukuran panjang 1 cm, cacing jantan 0.8 cm. bentuk badan Necator
americanus biasanya menyerupai huruf S, sedangkan Ancylostoma
duodenale menyerupai huruf C. Rongga mulut kedua jenis cacing ini
besar.

Necator

americanus

mempunyai

benda

kitin,

sedangkan

Ancylostoma duodenale ada dua pasang gigi. Cacing jantan mempunyai


bursa korpulatriks(9).
Morfologi telur:
a. Telur Necator americanus dan Ancylostoma duodenale secara
morfologi sukar dibedakan.
b. Berdinding tipis dan mengandung 2-8 sel.
c. Ukuran 60-40 mikron.
d. Cacing betina memproduksi telur sebanyak 25.000-30.000 perhari.

Gambar 2.1 Telur Cacing Tambang (Hookworm)

11

Gambar 2.2 Telur Cacing Ancylostoma duodenale

Tabel 2.1 Karakteristik Cacing Tambang


Karakteristik
Ukuran cacing dewasa
Jantan
Betina
Umur cacing dewasa
Lokasi cacing dewasa
Masa prepaten
Jumlahtelur/cacing

2.5.3

Ancylostoma

Necator

duodenale

americanus

0.8 1.1 cm
1.0 1.3 cm
1 tahun
Usus halus
53 hari
10.000 25.000

0.7 0.9 cm
0.9 1.1 cm
3 5 tahun
Usus halus
49 56 hari
5.000 10.000

betina/ hari
Rute infeksi
Oral, perkutan
Perkutan
Cara Penularan
Cacing dewasa hidup dan bertelur di dalam usus halus terutama
jejunum, kemudian keluar melalui tinja. Telur akan berkembang menjadi
larva di tanah yang sesuai suhu dan kelembabannya. Larva bentuk pertama
adalah rhabditiform yang akan berubah menjadi filariform. Dari telur
sampai menjadi filariform memerlukan waktu selama 510 hari. Larva
akan memasuki tubuh manusia melalui kulit (telapak kaki, terutama untuk
Necator americanus) untuk masuk ke peredarah darah. Selanjutnya larva
akan ke paru, naik ke trakea, berlanjut ke faring, kemudian larva tertelan
ke saluran pencernaan. Larva biasa hidup dalam usus sampai 8 tahun
dengan menghisap darah (1 cacing = 0.2 ml/hari. Cara infeksi kedua yang
bukan melalui kulit adalah tertelannya larva (terutama Ancylostoma
duodenale) dari makanan atau minuman yang tercemar. Cacing dewasa
yang berasal dari larva yang tertelan tidak akan mengalami siklus paru(19).

12

Gambar 2.3 Siklus Hidup Cacing Tambang (Hookworm)


2.5.4

Patofisiologi
Cacing tambang hidup dalam rongga usus halus tapi melekat
dengan giginya pada dinding usus dan menghisap darah. Seekor cacing
dewasa Necator americanus menimbulkan kehilangan darah sekitar 0.1 cc
perhari,

sedangkan

seekor

cacing

Ancylostoma

duodenale

dapat

menimbulkan kehilangan darah sampai 0.34 cc perhari, sehingga penderita


mengalami kekurangan darah (anemia) akibatnya dapat menurunkan
gairah kerja serta menurunkan produktifitas.
Sedangkan larva cacing menimbulkan dermatitis dengan gatalgatal (ground itch) pada waktu menembus kulit penderita. Selain itu larva
pada waktu beredar di dalam darah (lung migration) akan menimbulkan
bronchitis dan reaksi alergi yang ringan(20).
2.5.5

Gejala klinis
a. Ruam yang menonjol dan terasa gatal (ground itch) biasa muncul di
tempat masuknya larva pada kulit
b. Demam, batuk dan bunyi nafas (mengi/bengek) biasa terjadi akibat
larva yang berpindah melalui paru-paru
c. Cacingan dewasa seringkali menyebabkan nyeri di perut bagian atas
d. Anemia karena kekurangan zat besi dan rendahnya kadar protein di
dalam darah bias terjadi akibat perdarahan usus

13

e. Kehilangan darah dan berat badan, lambat pertumbuhan, gagal jantung


dan pembengkakan jaringan yang meluas pada anak-anak (1).
2.5.6

Diagnosis
Diagnosis pasti infeksi cacing tambang ditetapkan melalui
pemeriksaan mikroskopis tinja untuk menemukan telur cacing dan juga
dilakukan pemeriksaan darah(20).
Pada hapusan darah, terdapat gambaran :
a. Hipokromik mikrosister
b. Eosinofilia, dapat mencapai 30%
Telur cacing Necator americanus tidak dapat dibedakan dengan
Ancylostoma duodenale, sehingga perlu dibiakkan selama 5-7 hari untuk
pemeriksaan stadium larva (21).

2.5.7

Pengobatan
a. Pirantel pamoat dosis tunggal 10 mg/kgBB
b. Mebendazol 100 mg, 2 x sehari selama 3 hari (19).

2.5.8

Pencegahan
Pencegahan dapat dimulai dengan survei prevalensi untuk
mengetahui besarnya masalah endemisitas di suatu daerah. Kemudian
melakukan pengobatan pada penderita, penyuluhan, kampanye, perbaikan
sanitasi dan higiene pribadi, terutama mejelaskan bagaimana jamban
keluarga yang sehat. Kegiatan pencegahan kontak dengan larva adalah
dengan membudayakan mencuci tangan serta menggunakan alas kaki bagi
masyarakat yang berisiko tertular(19).

2.6 Cacing Cambuk (Trichuris trichiura)


2.6.1 Toksonomi
Kingdom
: Animalia
Filum
: Nemathelminthes
Kelas
: Nematoda
Sub-kelas
: Aphasmida
Ordo
: Enoplida
Sub-ordo
: Trichurata
Superfamily
: Trichurioidea
Familia
: Trichuridae
Genus
: Trichuris
Spesies
: Trichuris trichiura

14

2.6.2

Morfologi
Panjang cacing betina kira-kira 5 cm, sedangkan cacing jantan
kira-kira 4 cm. Bagian anterior langsung seperti cambuk, panjangnya kirakira 3/5 dari panjang seluruh tubuh. Bagian posterior bentuknya lebih
gemuk, pada cacing betina bentuknya membulat tumpul. Pada cacing
jantan melingkar dan terdapat satu spikulum. Cacing dewasa hidup di
kolon asendens dan sekum dengan bagian anteriornya seperti cambuk
masuk ke dalam mukosa usus. Seekor cacing betina diperkirakan
menghasilkan telur setiap hari antara 3.000 20.000 butir (9).
Morfologi telur:
a. Berukuran 50-54 x 22-23 mikron
b. Bentuk seperti tong anggur (barrel shaped)
c. Ke dua kutubnya terdapat semacam tutup yang jernih dan
menonjol dikenal sebagai mucoid plugs
d. Di dalam telur berisi massa yang tidak bersegmen(21).

Gambar 2.4 Telur Cacing Trichuris trichiura

15

Gambar 2.5 Cacing Trichuris trichiura

Tabel 2.2 Karakteristik Trichuris trichiura


Karakteristik

Trichuris trichiura

Ukuran cacing dewasa


Jantan

30 45 mm

Betina

35 50 mm

Telur

Panjang 50 55 m
Lebar 22 24 m

Lokasi cacing dewasa


Jumlah telur/cacing betina/ hari

2.6.3

Sekum dan kolon asendens


3.000 20.000

Cara penularan
Apabila manusia menelan telur yang matang, maka telur akan
menetaskan larva yang akan berpenetrasi pada mukosa usus halus selama
3 10 hari. Selanjutnya larva akan bergerak turun dengan lambat untuk
menjadi dewasa di sekum dan kolon asendens. Siklus hidup dari telur
sampai cacing dewasa memerlukan waktu sekitar tiga bulan. Di dalam
sekum, cacing biasa hidup sampai bertahun-tahun. Cacing akan
meletakkan telur pada sekum dan telur-telur ini keluar bersama tinja. Pada
lingkungan yang kondusif, telur akan matang dalam waktu 2 4 minggu
(19)

16

Gambar 2.6 Siklus Hidup Cacing Trichuris trichiura


2.6.4

Patofisiologi
Cacing cambuk pada manusia terutama hidup di sekum dapat juga
ditemukan di dalam kolon ascendens. Pada infeksi berat, terutama pada
anak-anak cacing ini tersebar di seluruh kolon dan rectum, kadang-kadang
terlihat pada mukosa rectum yang mengalami prolapsus akibat
mengejannya penderita sewaktu defekasi. Cacing ini memasukkan
kepalanya ke dalam mukosa usus hingga terjadi trauma yang
menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Pada tempat
pelekatannya dapat menimbulkan perdarahan. Disamping itu cacing ini
menghisap darah hospesnya sehingga dapat menyebabkan anemia (20).

2.6.5

Gejala klinis
a. Pada infeksi berat menyebabkan gejala berupa nyeri perut dan diare
b. Infeksi yang sangat berat menyebabkan perdarahan usus, anemia,
c.

2.6.6

penurunan berat badan dan peradangan usus buntu (apendisitis)


Rektum menonjol melewati anus (prolapsus rektum), terutama pada

anak-anak atau wanita dalam masa persalinan (1).


Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis pasti, dilakukan pemeriksaan tinja
untuk menemukan telur cacing yang khas bentuknya seperti tong(20).

2.6.7

Pengobatan
a. Mebendazol 100 mg, 2 x sehari selama 3 hari berturut-turut
b. Albendazol 400 mg dosis tunggal (9,19).

2.6.8

Pencegahan

17

Perlunya melakukan perbaikan sanitasi dan higine pribadi,


sehingga dapat menurunkan prevalensi secara signifikan. Seperti mencuci
tangan sebelum makan, mencuci bersih sayur-sayuran sebelum dimakan,
membuang tinja pada tempatnya dan memberikan pendidikan terhadap
masyarakat terutama anak-anak.(9).
2.7 Ascaris lumbricoides (Cacing Gelang)
2.7.1
Toksonomi
Kingdom
Filum
Kelas
Sub-kelas
Ordo
Sub-ordo
Familia
Genus
Spesies
2.7.2

: Animalia
: Nemathelminthes
: Nematoda
: Phasmida
: Rhabdidata
: Ascaridata
: Ascarididae
: Ascaris
: Ascaris lumbricoides

Morfologi
Cacing jantan berukuran lebih kecil dari cacing betina. Stadium

dewasa hidup di rongga usus kecil. Seekor cacing betina dapat bertelur
sebanyak 100.000 200.000 butir sehari, terdiri atas telur yang dibuahi
dan yang tidak dibuahi (9).
Morfologi telur yang dibuahi (fertile):
a. Bentuk bulat lonjong, ukuran panjang 45-75 mikron dan lebarnya
35-50 mikron.
b. Berdinding tebal terdiri dari tiga lapis.
1. Lapisan dalam dari bahan lipoid (tidak ada pada telur unfertile)
2. Lapisan tengah dari bahan glikogen
3. Lapisan paling luar dari bahan albumin (tidak rata, bergerigi,
berwarna coklat keemasan berasal dari warna pigmen empedu)
c. Telur bagian dalam tidak bersegmen berisi kumpulan granula
lesitin yang kasar.

18

Gambar 2.7 Telur Ascaris lumbricoides yang dibuahi (fertile)

Morfologi telur yang tidak dibuahi (unfertile):


a. Berukuran panjang 88-94 mikron dan lebarnya 44 mikron, telur
unfertile dikeluarkan oleh cacing betina fertile.
b. Kadang-kadang telur yang dibuahi, lapisan albuminnya terkelupas
dikenal sebagai decorticated eggs.

Gambar 2.8 Telur Cacing Ascaris lumbricoides yang tidak


dibuahi (unfertile)
Telur ascaris memerlukan waktu inkubasi sebelum menjadi
infektif. Perkembangan telur menjadi infektif, tergantung pada kondisi
lingkungan misalnya temperatur, sinar matahari, kelembapan dan tanah

19

liat. Telur akan mengalami kerusakan karena pengaruh bahan kimia, sinar
matahari langsung dan pemanasan (9,21).

Gambar 2.9 Cacing Ascaris lumbricoides


Tabel 2.3 Karakteristik Ascaris lumbricoides
Karakteristik
Ukuran cacing dewasa
Jantan
Betina
Umur cacing dewasa
Lokasi cacing dewasa
Ukuran telur
Jumlah telur/cacing betina/ hari

2.7.3

Ascaris lumbricoides
Panjang 15 30 cm
Lebar 0.2 0.4 cm
Panjang 20 - 35 cm
Lebar 0.3 0.6 cm
1 2 tahun
Usus halus
Panjang 60 70 m
Lebar 40 50 m
200.000 telur

Cara penularan
Proses penularan askariasis pada manusia dapat dilihat dari siklus
hidup cacing. Telur yang dikeluarkan oleh cacing melalui tinja dalam
lingkungan yang sesuai akan berkembang menjadi embrio dan menjadi
larva yang infektif di dalam telur. Apabila karena sesuatu sebab telur
tersebut tertelan oleh manusia, maka di dalam usus larva akan menetas,
keluar dan menembus dinding usus halus menuju ke system peredaran
darah. Larva akan menuju ke paru, trakea, faring dan tertelan masuk ke
esophagus hingga sampai ke usus halus. Larva menjadi dewasa di usus

20

halus. Perjalanan siklus hidup cacing ini berlangsung selama 6570 hari
(19)

Gambar 2.10 Siklus Hidup Cacing Ascaris lumbricoides


2.7.4

Patofisiologi
Cacing dewasa yang berada di dalam usus dan larva cacing yang

beredar melalui aliran darah, menimbulkan perubahan patologis pada


penderita.
Migrasi larva cacing di paru-paru dapat menimbulkan pneumonia
dengan gejala berupa demam, batuk, sesak dan dahak berdarah. Penderita
juga mengalami urtikaria dan terjadi gambaran eosinofilia sampai 20
persen.
Pada infeksi berat (hiperinfeksi), terutama pada anak-anak dapat
terjadi gangguan pertumbuhan dan anemia akibat kurang gizi. Cairan
tubuh cacing yang toksik dapat menimbulkan gejala mirip demam tifoid,
disertai tanda-tanda alergi misalnya urtikaria, edema pada wajah,
konjungtivitis dan iritasi pernafasan bagian atas (20).
2.7.5

Gejala klinis
Askariasis sering tidak bergejala tetapi, jika jumlah cacing di

dalam perut semakin banyak, maka berbagai macam gejala akan muncul
(1)

.
Gejala infeksi cacing yang masih ringan dapat berupa:
a. Ditemukannya cacing dalam tinja

21

b.
c.
d.
e.

Batuk mengeluarkan cacing


Kurang nafsu makan
Demam
Bunyi mengi saat bernafas

Gejala infeksi cacing yang berat antara lain adalah:


a.
b.
c.
d.
e.
f.
2.7.6

Muntah
Nafas pendek
Perut buncit
Nyeri perut
Usus tersumbat
Saluran empedu tersumbat
Diagnosis
Diagnosis pasti Ascaris lumbricoides ditegakkan bila melalui

pemeriksaan makroskopis terhadap

tinja atau muntahan penderita

ditemukan cacing dewasa. Melalui pemeriksaan mikroskopis dapat


ditemukan telur cacing yang khas bentuknya di dalam tinja atau cairan
empedu penderita.
Untuk membantu menegakkan diagnosis askariasis usus maupun
askariasis organ, dapat dilakukan pemeriksaan radiografi dengan barium.
Pemeriksaan

darah menunjukkan eosinofilia pada awal infeksi, atau

dilakukan scartch test pada kulit (20).

2.7.7

2.7.8

Pengobatan
a. Pirantel pamoat dosis tunggal 10 mg/kgBB
b. Mebendazol 100 mg, 2 x sehari selama 3 hari
c. Albendazol (anak >2 tahun) 400 mg dosis tunggal (9,19).
Pencegahan
Program utama adalah perbaikan perilaku yang berupa kebiasaan

mencuci tangan, menjaga kebersihan pribadi, menggunakan alas kaki,


tidak menggunakan tinja sebagai pupuk tanaman terutama sayuran dan
perbaikan sanitasi lingkungan terutama jamban keluarga yang memenuhi
syarat kesehatan (19).

22

BAB 3
KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI
OPERASIONAL
3.1

Kerangka Konsep

Variabel Dependen

Variabel Independen
Lingkungan :
-

Sanitasi sekolah
Sanitasi rumah

Perilaku :
-

Kebiasaan memakai

alas kaki
Kebiasaan bermain di

tanah
Kebiasaan buang air

Kejadian infeksi cacingan


pada anak Sekolah Dasar
Negeri 101775 Sampali

besar

23

= yang diteliti

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

3.2

Definisi Operasional

Variabel
Definisi

Kejadian infeksi cacing


Penyakit yang disebabkan oleh nematoda usus yang
ditularkan melalui tanah pada anak SD Negeri 101775

Skala pengukuran

Sampali
Pemeriksaan tinja dengan metode native
Mikroskop
+ (positif) = ditemukan adanya telur cacing pada tinja
- (negatif) = tidak ditemukan telur cacing pada tinja
Ordinal

Variable
Definisi

Sanitasi sekolah
Sanitasi sekolah adalah keadaan lingkungan fisik dari

Cara ukur
Alat ukur
Hasil

SD Negeri 101775 Sampali


Observasi dan wawancara
Kuesioner
1.Baik, bila hasil kuesioner >10
2. Buruk, bila hasil 10

Cara ukur
Alat ukur
Hasil

24

Skala pengukuran

Ordinal

Variable
Definisi

Sanitasi rumah
Sanitasi rumah adalah keadaan rumah anak SD Negeri

Cara ukur
Alat ukur
Hasil
Skala pengukuran

Variable
Definisi
Cara ukur
Alat ukur
Hasil
Skala pengukuran

101775 Sampali
Wawancara/metode cek list
Kuesioner
1. Baik, bila hasil kuesioner >12
2. Buruk, bila hasil kuesioner 12
Ordinal

Tindakan anak
Sikap anak sehari-hari dalam kehidupannya
Wawancara/metode cek list
Kuesioner
1. Baik, bila hasil kuesioner >10
2. Buruk, bila hasil kuesioner 10
Ordinal

3.3

Hipotesis Penelitian

3.3.1

Hipotesis sanitasi sekolah dengan kejadian infeksi cacing


Ho: Tidak adanya hubungan sanitasi sekolah dengan kejadian infeksi soil
transmitted helminths di SD Negeri 101775 Sampali.
Ha: Adanya hubungan sanitasi sekolah dengan kejadian infeksi soil
transmitted helminths di SD Negeri 101775 Sampali.

3.3.2

Hipotesis sanitasi rumah dengan kejadian infeksi cacing


Ho: Tidak adanya hubungan sanitasi rumah dengan kejadian infeksi soil
transmitted helminths di SD Negeri 101775 Sampali.
Ha: Adanya hubungan sanitasi sekolah dengan kejadian infeksi soil
transmitted helminths di SD Negeri 101775 Sampali.

3.3.3

Hipotesis tindakan anak dengan kejadian infeksi cacing


Ho: Tidak adanya hubungan tindakan anak dengan kejadian infeksi soil
transmitted helminths di SD Negeri 101775 Sampali.
Ha: Adanya hubungan tindakan anak dengan kejadian infeksi soil
transmitted helminths di SD Negeri 101775 Sampali.

25

BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik dengan desain crosssectional yang bertujuan untuk memperoleh gambaran yang jelas
mengenai hubungan sanitasi lingkungan dan tindakan anak pada anak
Sekolah Dasar Negeri 101775 Sampali.

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian


4.2.1 Lokasi penelitian
Penelitian ini dilakukan di lingkungan Sekolah Dasar Negeri
4.2.2
4.3

101775 Jalan Irian Barat No. 11 Desa Sampali Percut Sei Tuan, Medan.
Waktu penelitian
Waktu penelitian dimulai dari bulan September - Desember 2014

Populasi dan Sampel Penelitian


4.3.1
Populasi penelitian
Populasi penelitian ini adalah seluruh murid kelas IV sampai kelas
VI Sekolah Dasar Negeri 101775 Sampali yang berjumlah 127 orang.

4.3.2

Sampel penelitian
Sampel penelitian ini adalah populasi penelitian yang ditetapkan
secara Stratified Random Sampling Method berdasarkan strata pendidikan,
yaitu murid kelas IV yang berjumlah 16 orang, murid kelas V yang
berjumlah 18 orang dan murid kelas IV yang berjumlah 22 orang.
a. Kriteria Inklusi
Kriteria Inklusi pada penelitian ini adalah semua murid kelas IV, V
dan VI Sekolah Dasar Negeri 101775 yang bersedia diwawancarai dan
bersedia diambil fesesnya, serta yang belum meminum obat cacing
dalam rentang waktu 3 bulan terakhir.
b. Kriteria Ekslusi
Kriteria Ekslusi pada penelitian ini adalah anak Sekolah Dasar
Negeri 101775 yang tidak bersedia diwawancarai dan tidak bersedia

26

diambil fesesnya, serta yang telah meminum obat cacing dalam


rentang waktu 3 bulan terakhir.
c. Cara perhitungan besarnya sampel
Kelas IV
=
37 orang
Kelas V
=
40 orang
Kelas VI
=
50 orang
Jumlah
=
127 orang
Jumlah proporsi 127 orang dengan tingkat presisi yang ditetapkan
sebesar 10%.
Jumlah sampel secara keseluruhan:
N
Nd 2 1
n=
127
(127)(0,1) 2 1
n=
Jadi jumlah sampel yang harus ditarik = 56 responden.
Untuk menentukan jumlah sampel dari masing-masing kelas,
dilakukan dengan rumus proporsional sampel.

ni =

Ni
.n
N

Kelas IV

= 37 : 127 x 56 = 16.31 = 16 orang

Kelas V

= 40 : 127 x 56 = 17.63 = 18 orang

Kelas VI

= 50 : 127 x 56 = 22.04 = 22 orang

Untuk cara pengambilan sampel digunakan metode simple random


sampling.
4.4

Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar
pemeriksaan serta bahan dan alat untuk pemeriksaan feses dengan metode
natif yang dicantumkan sebagai berikut:

27

4.4.1

Bahan dan Alat


Bahan :
a. feses
b. Eosin 2%
Alat :
a. Pot
b. Object glass
c. Deck glass
d. Lidi
e. Pipet tetes
f. Mikroskop

4.4.2

Cara kerja
a.
b.
c.
d.

Siapkan semua alat dan bahan terlebih dahulu


Bersihkan object glass dengan tisu
Teteskan 1 tetes eosin 2% di atas object glass
Kemudian ambil feses sedikit dengan menggunakan lidi dan
letakkan di atas object glass yang sudah ditetesi eosin 2%, lalu

homogenkan dengan lidi tersebut


e. Tutup object glass dengan menggunakan deck glass, lalu periksa di
bawah mikroskop dengan lensa 20x sampai 40x.
4.5

Teknik Pengumpulan Data


Pengumpulan data pada penelitian ini dengan cara:
1. Pengisian kuesioner dengan metode ceklist untuk mengetahui
sanitasi lingkungan sekolah, sanitasi rumah dan perilaku anak SD
Negeri 101775 Sampali.
2. Observasi terhadap lingkungan sekolah SD Negeri 101775 Sampali
untuk melihat sanitasi lingkungan sekolah secara langsung.
3. Pemeriksaan feses dengan secara laboratorium untuk mengetahui
prevalensi infeksi cacingan pada anak SD Negeri 101775 Sampali.

4.6

Pengolahan dan Analisa Data


Pengolahan data dengan menggunakan komputer dengan program
SPSS (Statistical Package for Social Sience). Analisa data disajikan dalam
bentuk tabel.

28

BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1

Hasil Penelitian

Deskripsi lokasi penelitian


Sekolah Dasar Negeri 101775 berlokasi di Jalan Irian Barat No. 11
Desa Sampali, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Kota
Medan. Di resmikan pada tanggal 19 Juli 2008 oleh Bupati Deli Serdang
yaitu Bapak Drs. H. Amri Tambunan. SD Negeri ini memiliki 9 ruang
belajar, 1 ruang pimpinan, 1 ruang guru, 1 kamar mandi guru, 4 kamar
mandi murid, halaman bermain, halaman upacara dan ruang belajar untuk
kelas IV, V dan VI. Kelas dibagi menjadi 2 subkelas yaitu kelas A dan
kelas B.

Karakteristik objek penelitian


Pada tahun 2014, murid SD Negeri 101775 Sampali untuk kelas
IV, V dan VI berjumlah 127 orang. Sampel penelitian yang diperlukan
berjumlah 56 orang, tetapi sampel yang didapat hanya berjumlah 42.
Sampel tersebut diambil dari kelas IV, V dan VI tersebut.
a

Jenis kelamin

29

Jumlah murid SD Negeri 101775 Sampali tahun 2014 yang


diteliti berdasarkan jenis kelamin yaitu laki-laki berjumlah 20
orang (47.6%) dan perempuan berjumlah 22 orang (52.4%).
Tabel 5.1 Sosiodemografi Siswa SD Negeri 101775
Jenis kelamin

Frekuensi

Persen

Laki-laki

20

47.6%

Perempuan

22

52.4%

Total

42

100%

Kelas
Kelas murid SD Negeri 101775 Sampali pada tahun 2014 yang
diteliti adalah murid kelas IV, V dan VI. Jumlah anak kelas IV
berjumlah 12 murid, jumlah anak kelas V berjumlah 11 murid dan
jumlah anak kelas VI berjumlah 19 murid.

Hasil pemeriksaan feses (tinja)


Tinja yang diperiksa diambil dari tinja yang dikumpulin pada
murid SD Negeri 101775 Sampali dengan cara membagikan pot yang telah
diberi label nama. Pot yang telah berisi tinja dikumpulkan di kelas pada
keesokan harinya.
Tinja yang telah terkumpul tersebut kemudian dibawa ke
laboratorium Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Prima
Indonesia untuk diperiksa. Pemeriksaan dilakukan dengan metode natif.
Bahan dan alat-alat yang digunakan untuk pemeriksaan ini yaitu larutan
Eosin 2%, pot, object glass, deck glass, lidi, pipet tetes dan mikroskop
listrik

CX-21.

Pemeriksaan

ini

didampingi

oleh

Bapak Aldino

Ramadhianto, AMAK selaku analis laboratorium Departemen Parasitologi


Fakultas Kedokteran Universitas Prima Indonesia.
Hasil pemeriksaan tinja dari 56 sampel didapatkan 22 sampel
dengan hasil positif yaitu ditemukannya telur cacing dan 20 sampel
dengan hasil negatif yaitu tidak ditemukannya telur cacing, serta 14
sampel yang tidak diberikan oleh murid SD Negeri 101775 Sampali. Dari
22 sampel yang positif maka didapatkan 12 sampel ditemukannya telur
cacing Ascaris lumbricoides, 8 sampel ditemukannya telur cacing dari

30

jenis Trichuris trichiura dan 2 sampel ditemukannya telur cacing dari jenis
Hookworm.
4

Prevalensi kejadian infeksi cacing


Untuk menentukan prevalensi kejadian infeksi cacing, maka dapat
ditentukan dengan uji statistik Chi-Square (Dapat dilihat pada tabel 5.2)
Prevalensi cacingan yang ditularkan melalui tanah pada murid SD
Negeri 101775 Sampali dapat dilihat di tabel di bawah ini.s
Tabel 5.2 Prevalensi Kejadian Infeksi Cacing
Hasil
Positif
Negatif
Total

Frekuensi

Persentase

22
20
42

52.4%
47.6%
100%

Berdasarkan Tabel 5.2 diatas hasil pemeriksaan tinja yang telah


dilakukan dapat diketahui dari 42 sampel murid yang diperiksa dijumpai
22 sampel (52.4%) didapati positif terinfeksi cacing dan 20 sampel
(47.6%) didapati hasilnya negatif.
5

Hubungan sanitasi sekolah dengan kejadian infeksi cacing


Untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara sanitasi sekolah
dengan kejadian infeksi cacing, maka dapat ditentukan dengan uji statistik
Chi-Square (Dapat dilihat pada tabel 5.3)
Tabel 5.3 Hubungan Sanitasi Sekolah dengan Kejadian Infeksi
Cacing
Infeksi STH
Sanitasi
sekolah

Asymp.
Positif

Negatif

Total

Sig. (2sided)

Baik
Buruk
Total

50%
75%
52.4%

50%
25%
47.6%

100%
100%
100%

0.608

Tabel 5.3 diatas menunjukkan sanitasi sekolah yang baik


didapatkan 50% yang positif terinfeksi STH, sedangkan sanitasi rumah

31

yang buruk didapatkan 75% yang positif terinfeksi STH. Pada uji statistik
Chi-Square didapatkan p=0.608 (p0.05) menunjukkan tidak adanya
hubungan yang bermakna antara sanitasi sekolah dengan kejadian infeksi
cacing pada anak SD Negeri 101775 Sampali.
6

Hubungan sanitasi rumah dengan kejadian infeksi cacing


Untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara sanitasi rumah
dengan kejadian infeksi cacing, maka dapat ditentukan dengan uji statistik
Chi-Square (Dapat dilihat pada tabel 5.4)
Tabel 5.4 Hubungan Sanitasi Rumah dengan Kejadian Infeksi
Cacing
Infeksi STH
Asymp.
Sanitasi
Sig. (2Positif
Negatif
Total
Rumah
sided)
Baik
26.3%
73.7%
100%
0.002
Buruk
73.9%
26.1%
100%
Total
52.4%
47.6%
100%
Tabel 5.4 diatas menunjukkan sanitasi rumah yang baik didapatkan
26.3% yang positif terinfeksi STH, sedangkan sanitasi rumah yang buruk
didapatkan 73.9% yang positif terinfeksi STH. Pada uji statistik ChiSquare didapatkan p=0.002 (p0.05) menunjukkan adanya hubungan yang
bermakna antara sanitasi rumah dengan kejadian infeksi cacing pada anak
SD Negeri 101775 Sampali.

Hubungan Tindakan Anak dengan Kejadian Infeksi Cacing


Untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara tindakan anak
dengan kejadian infeksi cacing, maka dapat ditentukan dengan uji statistik
Chi-Square (Dapat dilihat pada tabel 5.5)

Tabel 5.5 Hubungan Tindakan Anak dengan Kejadian Infeksi


Cacing
Infeksi STH

32

Tindakan
Anak
Baik
Buruk
Total

Positif

Negatif

Total

Asymp.
Sig. (2sided)

34.8%
73.7%
52.4%

65.2%
26.3%
47.6%

100%
100%
100%

0.012

Tabel 5.5 diatas menunjukkan tindakan anak yang baik didapatkan


34.8% yang positif terinfeksi STH, sedangkan tindakan anak yang buruk
didapatkan 73.7%yang positif terinfeksi STH. Pada uji statistik ChiSquare didapatkan p=0.012 (p<0.05) menunjukkan adanya hubungan yang
bermakna antara tindakan anak dengan kejadian infeksi cacing pada anak
SD Negeri 101775 Sampali.

PEMBAHASAN
Infeksi cacing di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan
karena prevalensinya yang masih tinggi yaitu antara 46-65%, bahkan
wilayah-wilayah tertentu dengan sanitasi yang buruk prevalensi infeksi
cacing bisa mencapai 80%. Tinggi rendahnya frekuensi infeksi cacing
berhubungan erat dengan kebersihan pribadi dan sanitasi lingkungan.
Dari penelitian ini sampel tinja yang terkumpul tidak sesuai dengan
harapan karena seharusnya sampel feses yang terkumpul 56 sampel tetapi
yang terkumpul hanya 42 sampel. Alasan responden tidak mengumpulkan
feses karena mengaku tidak bisa buang air besar, merasa jijik mengambil
fesesnya dan ada juga anak sekolah yang tidak masuk sekolah sampai hari
terakhir pengumpulan sampel feses.
Berdasarkan hasil pemeriksaan feses dari 42 murid didapatkan 22
murid (52.4%) positif terinfeksi Soil Transmitted Helminths (STH) dan 20
murid (47.6%) tidak terinfeksi Soil Transmitted Helminths (STH) di SD
Negeri 101775 Sampali pada tahun 2014. Bila angka prevalensi Soil
Transmitted Helminths sebesar 52.4% ini dibandingkan dengan hasil
penelitian Dian Marselina pada tahun 2012 di TK Swasta Katolik Budi
Murni 2 Medan dengan prevalensi Soil Transmitted Helminths yang positif

33

yang didapat sebesar 8.1%. Maka hal ini bermakna bahwa hasil penelitian
ini jauh lebih tinggi dari hasil penelitian Dian Marselina(14).
Hasil penelitian Friscasari Kundaian di Desa Teling Kecamatan
Tombariri Kabupaten Minahasa pada tahun 2011 jumlah murid didapatkan
yang positif cacingan sebanyak 11 sampel (12.2%) dari 90 sampel.
Didapatkan juga hasil penelitian dari Sitti Chadijah di Kota Palu
didapatkan yang positif cacingan sebanyak 90 sampel (31.3%) dari 288
sampel(22.23).
Prevalensi yang berbeda ini disebabkan karena adanya kebiasaan
buruk terutama pada anak-anak, misalnya masih sering bermain di tanah
tanpa menggunakan alas kaki, tidak mencuci tangan sebelum makan, tidak
mencuci tangan sesudah buang air besar dan kecil, tidak mencuci tangan
setelah bermain tanah, buang air di sembarang tempat, tidak tersedianya
air dan wc/jamban yang bersih serta kurangnya informasi tentang infeksi
cacing(23).
Hasil uji statistik (uji Chi-Square) untuk analisa hubungan antara
sanitasi sekolah dengan kejadian infeksi cacing menunjukkan tidak adanya
hubungan yang bermakna (p0.05) antara sanitasi sekolah dengan kejadian
infeksi cacing di SD Negeri 101775 Sampali. Hasil penelitian ini tidak
sama dengan hasil penelitian Salbiah di SD Kecamatan Medan Belawan
yang menunjukkan adanya hubungan yang bermakna (p0.05) antara
sanitasi sekolah dengan kejadian infeksi cacing(7).
Hasil uji statistik (uji Chi-Square) untuk analisa hubungan antara
sanitasi rumah dengan kejadian infeksi cacing menunjukkan adanya
hubungan yang bermakna (p0.05) antara sanitasi rumah dengan kejadian
infeksi cacing di SD Negeri 101775 Sampali. Hasil penelitian ini berbeda
dengan hasil penelitian Friscasari Kundaian di SD Desa Teling Kecamatan
Tombariri Kabupaten Minahasa yang menunjukkan tidak ada hubungan
bermakna (p0.05) antara sanitasi rumah dengan kejadian infeksi
cacing(22).
Hasil uji statistik (uji Chi-Square) untuk analisa hubungan antara
tindakan anak dengan kejadian infeksi cacing menunjukkan adanya
hubungan yang bermakna (p0.05) antara tindakan anak dengan kejadian
infeksi cacing di SD Negeri 101775 Sampali. Hasil penelitian ini berbeda

34

dengan hasil penelitian Sitti Chadijah di SD Kota Palu yang menunjukkan


tidak ada hubungan bermakna (p0.05) antara sanitasi rumah dengan
kejadian infeksi cacing(23).

BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian ini maka didapatkan kesimpulan sebagai
berikut:
1. Bahwa prevalensi infeksi Soil Transmitted Helminths yang positif
pada anak SD Negeri 101775 Sampali sebesar 52.4% dan yang
negatif sebesar 47.6%.
2. Hasil dari sanitasi sekolah dengan kejadian infeksi Soil
Transmitted Helminths pada anak SD Negeri 101775 Sampali
berdasarkan uji Chi-Square didapatkan nilai p=0.608 (p>0.05)
berarti Ho diterima yang berarti tidak ada hubungan yang

35

bermakna antara sanitasi sekolah dengan kejadian infeksi

Soil

Transmitted Helminths pada anak SD Negeri 101775 Sampali.


3. Hasil dari sanitasi rumah dengan kejadian infeksi Soil Transmitted
Helminths pada anak SD Negeri 101775 Sampali berdasarkan uji
Chi-Square didapatkan nilai p=0.002 (p<0.05) berarti Ha diterima
yang berarti ada hubungan yang bermakna antara sanitasi rumah
dengan kejadian infeksi Soil Transmitted Helminths pada anak SD
Negeri 101775 Sampali.
4. Hasil dari tindakan anak dengan kejadian infeksi Soil Transmitted
Helminths pada anak SD Negeri 101775 Sampali berdasarkan uji
Chi-Square didapatkan nilai p=0.012 (p<0.05) berarti Ha diterima
yang berarti ada hubungan yang bermakna antara tindakan anak
dengan kejadian infeksi Soil Transmitted Helminths pada anak SD
Negeri 101775 Sampali.

Saran

Kepada masyarakat
Agar lebih memperhatikan dan menjaga lingkungan sekitarnya
supaya meminimalisir penyebaran dan terhindar dari penyakit lingkungan
seperti infeksi cacingan ini.

Kepada pihak sekolah


Agar lebih memperhatikan dan menjaga sanitasi sekolah agar anak
terhindar dari berbagai jenis penyakit lingkungan serta memberikan
penyuluhan pada anak sekolah tentang infeksi cacing dan perilaku hidup
bersih dan sehat.

Kepada pihak dinas kesehatan


Agar memberikan pengobatan secara rutin untuk menurunkan
prevalensi infeksi cacing di sekolah-sekolah dasar.

Kepada peneliti
Untuk peneliti yang ingin melakukan penelitian lebih lanjut tentang
infeksi cacing dengan sanitasi lingkungan, diharapkan bisa melakukan

36

penelitian dengan jumlah sampel yang lebih besar dan memperhatikan cara
pengambilan sampel (feses) yang benar.

DAFTAR PUSTAKA
1. Akhsin Zulkoni, 2010. Parasitologi. Mulia Medika, Yogyakarta
2. Kementrian Kesehatan RI, 2012. Pedoman Pengendalian Kecacingan,
Jakarta
3. WHO
[Diakses
21
Oktober
2014]
Available
at
:
Http://www.who.int/intestinal_worms/more/en/
4. Menkes, 2006. Pedoman Pengendalian Cacingan. [Diakses 10 Oktober 2014]
Available at : www.hukor.depkes.go.id/up-prod-kepmenkes/KMK%20-No.
%20424%20ttg%20Pedoman%20Pengendalian%20Cacingan.pdf
5. Luthfiani: Faktor-faktor Pendahuluan[Diakses 21 Oktober 2014] Available
at : lib.ui.ac.id/file:digital/123091-S-5280-Faktor-faktor-Pendahuluan.pdf
6. Lukman Waris, 2008. Distribusi Parasit Pencernaan di Sekolah Dasar Negeri.
7. Salbiah, 2008. Hubungan Karakteristik Siswa dan Sanitasi Lingkungan
dengan Infeksi Cacingan Siswa Sekolah Dasar. [Diakses 10 Oktober 2014]
Available
at
:http://www.repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6776/1/057023018.pdf
8. Inge Sutanto, dkk.2011. Parasitologi Kedokteran. Edisi IV. FKUI, Jakarta
9. Koes Irianto, 2013. Parasitologi Medis. Alfabeta.
10. Djaenudin Natadisastra, 2009. Parasitologi Kedokteran Ditinjau dari Organ
Tubuh yang Diserang. Cetakan Pertama. Buku Kedokteran EGC, Jakarta
11. Adik Wibowo, 2014. Kesehatan Masyarakat di Indonesia. PT. Rajagrafindo
Persada, Jakarta.
12. Syafruddin, SKM, M.Kes., Ayi Diah Damayani, SST, Delmaifanis, SST,
MKM., 2011. Himpunan Penyuluhan Kesehatan. CV. Trans Info Media,
Jakarta Timur.
13. Koes Irianto, 2014. Ekologi Kesehatan. Alfabeta, Bandung.
14. Dian Marselina, 2013. Studi Status Lingkungan Dengan Kecacingan Pada
Murid TK Swasta Khatolik Budi Murni 2 Medan Tahun 2012. FK UNPRI,
Medan.

37

15. S. Setiawati, A. C. Dermawan, 2008. Pendidikan Kesehatan. Trans Info


Media, Jakarta Timur.
16. Nanda Nugroho, 2013. Hubungan Prilaku Masyarakat Tentang Air Bersih
Dengan Kejadian Diare di Dusun Siandal Desa Tameran Kecamatan
Bengkalis Kabupaten Bengkalis. FK UNPRI, Medan.
17. Rawina Winita, 2012. Upaya Pemberantasan Kecacingan Di Sekolah Dasar.
[Diakses
15
Oktober
2014]
Available
at
:
Journal.ui.ac.id/index.php/health/article/download/1631/1361
18. Dewi Listyowati, 2012. Pengaruh Intervensi Promosi Kesehatan Terhadap
Pengetahuan, Sikap dan Praktek Cuci Tangan Pakai Sabun. [Diakses 15
Oktober 2014] Available at : lib.ui.ac.id/file?file=digital/20320736-S-PDFDewi%20Listyowati.pdf
19. Widoyono, 2011. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan
Pemberantasannya. Edisi Kedua. Erlangga
20. Soedarto, 2008. Parasitologi Klinik. Cetakan Pertama. Airlangga University
Press
21. Bariah I, Suhintam P, 2007. Helmintologi Kedokteran. Cetakan Pertama.
Airlangga University Press
22. Friscasari Kundaian, 2011. Hubungan Antara Sanitasi Lingkungan dengan
Infestasi Cacing pada Murid Sekolah Dasar di Desa Teling Kecamatan
Tombariri Kabupaten Minahasa. [Diakses 16 November 2014] Available at :
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/kesmas/article/download/80/76
23. Sitti Chadijah, 2011. Hubungan Pengetahuan, perilaku dan sanitasi
lingkungan dengan angka kecacingan Pada Anak Sekolah Dasar di Kota Palu.
[Diakses
16
November
2014]
Available
at
:
http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/MPK/article/download/3487/34
49

38

Você também pode gostar