Você está na página 1de 8

Pengembangan Riset Dalam Rangka Peningkatan

Daya Saing Hortikultura Indonesia pada


Era Perdagangan Bebas ASEAN-China
Roedhy Poerwanto
Ketua Perhimpunan Hortikultura Indonesia
Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Kampus IPB Darmaga Bogor; e-mail: roedhy8@yahoo.co.id
Abstrak
Perdagangan bebas ASEAN-China telah ditandatangani dan diberlakukan. Hal ini di
satu sisi merupakan peluang besar bagi Indonesia untuk meningkatkan ekpor produk
hortikultura ke China dan negara-negara ASEAN, tetapi di sisi lain juga merupakan ancaman
bagi pengembangan hortikultura nasional, karena maraknya impor produk hortikultura dari
China. Di dalam negeri persaingan antara produk hortikultura domestik dengan produk impor
asal China, Thailand dan negara lain akan meningkat tajam. Di sisi lain, perdagangan global
mensyaratkan pemenuhan kriteria dan persyaratan yang semakin berat, karena terjadi
perubahan gaya hidup dan cara pandang masyarakat global terhadap produk hortikultura, dan
adanya upaya negara-negara untuk melindungi konsumen dan produsen hortikultura dalam
negeri mereka. Konsumen semakin sadar terhadap keamanan, nilai gizi, cita rasa, dan
ketersediaan produk hortikultura. Keamanan dan mutu produk hortikultura akan menjadi isue
penting. Konsumen global menginginkan produk hortikultura yang benar-benar aman, bebas
dari cemaran, racun, pestisida, & mikroba berbahaya bagi kesehatan, mempunyai nilai gizi
tinggi dan mengandung zat berkhasiat untuk kesehatan, mempunyai mutu tinggi, dan
diproduksi dengan cara yang tidak menurunkan mutu lingkungan, dengan memperhatikan
keselamatan dan kesejahteraan petani, harga jualnya kompetitif, dan mempunyai traceability.
Berdasarkan tuntutan konsumen dan persyaratan perdagangan global serta kondisi
hortikultura Indonesia, maka peneliti hortikultura harus melakukan penelitian agar dapat
mendukung sistem agribisnis hortikultura menghasilkan produk hortikultura secara kontinyu
dan berkelanjutan dengan harga yang wajar, aman, bermutu dan bernilai bagi konsumen, serta
mampu mensejahterakan petani. Selain itu penelitian hortikultura juga harus mendukung
upaya peningkatkan hasil per satuan luas dengan menggunakan air lebih sedikit, tanpa
menurunkan potensi sumberdaya lahan dan lingkungan.
Pendahuluan
Menurut Direktorat Kerjasama Regional Ditjen Kerjasama Perdagangan Internasional
(2010) ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) merupakan kesepakatan antara negaranegara anggota ASEAN dengan China untuk mewujudkan kawasan perdagangan bebas
dengan menghilangkan atau mengurangi hambatan-hambatan perdagangan barang baik tarif
ataupun non tarif, peningkatan akses pasar jasa, peraturan dan ketentuan investasi, sekaligus
peningkatan aspek kerjasama ekonomi untuk mendorong hubungan perekonomian para Pihak
ACFTA dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat ASEAN dan China. FTA ini
antara lain bertujuan untuk meliberalisasi secara progresif dan meningkatkan perdagangan
barang dan jasa serta menciptakan suatu sistem yang transparan dan untuk mempermudah

investasi. Yang termasuk dalam program percepatan penurunan tarif (Early havest programe)
adalah sayuran dikonsumsi dan buah-buahan dikonsumsi termasuk nut (contoh mete). Sejak
1 Januari 2010, tarif komoditas tersebut menjadi 0%. Ini berarti harga sayuran dan buahbuahan yang dimpor dari China menjadi jauh lebih murah, yang mengakibatkan
meningkatnya permintaan pasar. Demikian pula harga buah-buahan dan sayuran Indonesia di
pasar China juga turun tajam. Kedua hal ini menjadi peluang sekaligus tantangan bagi
Indonesi dalam mengembangkan komoditas sayuran dan buah-buahan. Di dalam negeri
murahnya sayuran dan buah dari China dengan kualitas yang relatif baik, terutama dari
mutu visual, akan menyaingi buah dan sayuran produksi dalam negeri. Meluasnya buahbuahan asal China di pasar semakin tak terbendung. Peneliti hortikultura Indonesia dituntut
untuk menghasilkan varietas, teknologi produksi dan pasca panen, serta sistem pemasaran
agar hortikultura Indonesia lebih produktif, aman dikonsumsi, lebih berkualitas, tersedia tepat
waktu dengan harga yang lebih murah diabndingkan produk asal China.
Dengan FTA ini Indonesia mempunyai peluang yang besar untuk memasok hortikultura
ke China.

Jumlah penduduk China yang menurut Bank Dunia (2010) mencapai

1.324.655.000 orang pada tahun 2008 sangatlah prospektif sebagai pasar produk hortikultura
Indonesia.

China memberlakukan standar tertentu terhadap produk hortikultura yang

dipasarkan, walaupun persyaratan konsumen di China juga tidak seketat Jepang. Peluang
besar ini harus dimanfaatkan untuk mengekspor sebanyak mungkin produk hortikultura kita,
dengan tetap memperhatikan kebutuhan dalam negeri.
Menurut Direktorat Kerjasama Regional Ditjen Kerjasama Perdagangan Internasional
(2010) ada beberapa tantangan yang dihadapi, ialah: (1) Indonesia harus dapat meningkatkan
efisiensi dan efektifitas produksi sehingga dapat bersaing dengan produk-produk China; (2)
Menciptakan iklim usaha yang kondusif dalam rangka meningkatkan daya saing; (3)
Menerapkan ketentuan dan peraturan investasi yang transpara, efisien dan ramah dunia usaha;
(4) Meningkatkan kemampuan dalam penguasaan teknologi informasi dan komunikasi
termasuk promosi pemasaran dan lobby.
Selain terkait dengan FTA ini, Indonesia mendapat tantangan yang besar dalam
pengembangan hortikultura.

Perubahan cara pandang masyarakat dunia (dan Indonesia)

terhadap pangan, perubahan dalam sistem perdagangan produk hortikultura, tututan


konsumen global terhadap cara produksi hortikultura (antar lain dengan Global GAP)
menjadi menjadi tantangan yang tidak mudah dihadapi.

Hortikulturis Indonesia perlu

menjawab tantangan tersebut dengan tindakan yang nyata, agar Indonesia tidak sekedar
menjadi pasar, tetapi menjadi pelaku utama dalam perdagangan hortikultura tropika.

Tantangan yang Dihadapi Hortikultura Indonesia


Indonesia mendapat tantangan yang berat dalam memajukan hortikultura. Tututan
masyarakat global maupun domestik persyaratan buah-buahan dan sayuran semakin tinggi.
Peningkatan permintaan terhadap buah-buahan dan sayuran bukan saja dalam kuantitas,
tetapi juga kandungan nutrisi, mutu dan keamanannya. Isue lain yang juga sangat penting
dalam pengembangan hortikultura adalah masalah sustainabilitas pertanian dan kesejahteraan
pekerja. Tiga masalah besar yang nampaknya bertentangan harus dihadapi oleh pertanian
pada masa depan: disatu sisi pertanian dituntut menghasilkan pangan yang lebih banyak,
lebih bergizi, lebih bermutu dan aman dengan kondisi semakin berkurangnya lahan subur dan
air irigasi, disisi lain pertanian dituntut agar dapat mempertahankan kelestarian lingkungan
hidup, menyelamatkan planet bumi dari kehancuran; yang ini berarti juga perluasan areal
pertanian dibatasi oleh perlindung terhadap fungsi hutan sebagai paru-paru dunia.
Menurut Poerwanto dan Chozin (2010) perubahan gaya hidup dan

cara pandang

terhadap pangan masyarakat Indonesia mulai berubah. Kecenderungan tuntutan konsumen


antara lain adalah terhadap keamanan, nilai gizi, cita rasa, dan ketersediaan pangan yang
meningkat pesat.

Keamanan dan mutu pangan akan menjadi isue penting.

Tuntutan

konsumen terhadap produk pertanian pada masa depan akan semakin meningkat, yang mau
tidak mau, akan mempengaruhi kecenderungan praktek pertanian. Produk hortikultura
dituntut untuk benar-benar aman, bebas dari cemaran, racun, pestisida, dan mikroba yang
berbahaya bagi kesehatan. Aturan mengenai batas maksimum residu (MRL = maximum
reside limit) pestisida akan semakin ketat, sehingga akan mempengaruhi pengelolaan dalam
perlindungan tanaman. Produk pangan juga harus bebas dari kandungan zat berbahaya,
termasuk logam berat dan racun. Produk juga harus bebas dari berbagai cemaran. Bahan
pengawet dan pewarna yang tidak diperuntukkan untuk pangan, seperti formalin, tidak akan
digunakan sama sekali. Cemaran biologi, baik yang berbahaya bagi kesehatan manusia
maupun bagi pertanian akan dicegah. Sanitary and Phytosanitary Measures akan semakin
diperketat di karantina.
Produk hortikultura juga dituntut mempunyai nilai gizi tinggi dan mengandung zat
berkhasiat untuk kesehatan.

Konsumen menghendaki informasi mengenai kandungan

fitokimia yang berkhasiat untuk meningkatkan kesehatan dalam produk hortikultura. Karena
itu penelitian mengenai manfaat produk-produk hortikultura Indonesia perlu mulai segera
dilakukan. Pengetahuan indigenous mengenai manfaat produk hortikultura perlu dibuktikan
secara ilmiah dan diketahui apa fitokimia yang terkandung di dalamnya dan manfaatnya.

Produk hortikultura juga harus mempunyai mutu tinggi, tidak sekedar enak. Mutu
adalah segala hal yang menunjukkan keistimewaan atau derajad keunggulan sesuatu produk.
Mutu atau kualitas juga dapat dipahami sebagai kecocokan suatu produk dengan tujuan dari
produksi. Dengan demikian, mutu merupakan gabungan dari sifat-sifat atau ciri-ciri yang
memberikan nilai kepada setiap komoditas yang terkait dengan maksud penggunaan
komoditas tersebut.

Secara singkat mutu termasuk semua hal yang dapat memuaskan

pelanggan. Menurut versi Codex Alimentarius Standar mutu termasuk masalah tampilan
produk seperti keutuhan, keseragaman, kebebasan dari cacat, hama dan penyakit, tingkat
kematangan, kesegaran, kebersihan, ketahanan dalam transportasi dan penanganan, dan
kemampuan agar mutu produk bertahan tetap baik sampai tujuan. Kelas, kode ukuran,
kemasan dan label juga menjadi hal yang penting dalam mutu produk. Produsen pertanian
perlu melakukan pembenahan dalam sistem produksinya agar dapat memenuhi tuntutan
konsumen.
Produk hortikultura harus diproduksi dengan cara yang tidak menurunkan mutu
lingkungan. Tuntutan terhadap kelestarian lingkungan akan semakin ketat, padahal pada saat
yang sama tekanan populasi terhadap sumberdaya lahan juga semakin kuat. Karena itu
peneliti Indonesia perlu mengembangkan teknologi pertanian yang dapat menjamin produksi
hortikultura yang memenuhi tututan konsumen namun tetap dapat menjaga kelestarian
lingkungan, mencegah pencemaran tanah dan air, mencegah erosi dan hal-hal lain yang
menyebabkan penurunan kualitas lingkungan. Produk hortikultura juga harus diproduksi
dengan memperhatikan keselamatan dan kesejahteraan petani dan pekerja.
Konsumen produk hortikultura juga menuntut adanya traceability dalam produksi buahbuahan dan sayuran. Cara produksi hortikultura harus dapat dirunut dari pasar sampai kebun.
Data-data harus transparan dan jujur. Karena itu catatan aktivitas di kebun dan rantai pasar
harus menjadi perhatian. Produk hortikultura harus tersedia dalam waktu yang tepat. Untuk
produk pangan tertentu kontinyuitas penyediaan menjadi faktor yang sangat penting.
Harga jual produk pertanian juga harus kompetitif. Untuk itu efisiensi dalam produksi
dan dalam delivery harus dilakukan. Harus dikembangkan supply chain management (SCM)
yang berkeadilan dan berorientasi pada nilai produk. Pasar modern (hypermarket,
supermarket, minimarket) yang tumbuh dengan laju pertumbuhan yang sangat tinggi,
Supermarket yang semakin besar (Hero Supermarket berkembang menjadi Giant
Hypermarket, Matahari mengembangkan Hypermart, Carefour), dan minimarket (Indomart,
Alfamart, Kindi, dll) yang terus memperluas jaringan sampai ke kota kecamatan akan
merubah cara perdagangan produk hortikultura dan cara produksinya.. Hal ini menyebabkan

keseimbangan kekuatan akan bergesar dari produsen/petani ke perusahaan multinasional.


Kondisi ini juga akan menyebabkan adanya kompetisi antara produk pangan domestik
dengan produk impor (yang seringkali lebih berkualitas dengan harga yang lebih murah).
Menghadapi tantangan yang sangat berat tersebut, diperlukan dukungan penelitian yang
intensif. International Society for Horticuktural Sciences bersama-sama dengan beberapa
organisasi dunia pada tahun 2004 meluncurkan Global Horticulture Initiative (Hewett, tanpa
tahun).

Penelitian Hortikultura
Hortikultura tidak hanya merupakan komponen penting dari diet seimbang tetapi
perkembangan hortikultura dan kemampuannya untuk memasuki pasar bernilai tinggi
dipandang sebagai mesin pertumbuhan penting bagi pembangunan ekonomi. Jaminan
menghasilkan produk berkualitas, manajemen rantai pasokan yang efisien dan pemasaran
sangat penting untuk pengembangan perdagangan yang sukses.
Kelompok Penelitian Hortikultura Indonesia perlu memiliki keahlian dalam semua
aspek hortikultura, dan fokus untuk mengatasi masalah-masalah tersebut di atas. Perlu ada
jaringan peneliti hortikultura nasional untuk mengembangkan dan melakukan riset strategis
dan terapan untuk memenuhi kebutuhan pemerintah, organisasi non-pemerintah dan sektor
swasta dalam pengembangan agribisnis hortikultura. Permasalahan hortikultura Indonesia
terlalu besar untuk dihadapi oleh hanya sekelompok peneliti.

Para peneliti hortikultura

Indonesia dari institusi apapun perlu secara bersama-sama dan terpadu menghadapinya
selayaknya sebuah orkestra yang sedang konser.

Perlu dirumuskan bersama lingkup

penelitian dan pengembangan kunci, agar dalam waktu tidak terlalu lama hortikultura
Indonesia bisa berjaya baik di pasar domestik maupun global.
Beberapa lingkup penelitian yang nampaknya segera harus dilakukan antara lain:
1. Menggali potensi komoditas hortikultura untuk ekspor ke China, Jepang, Korea dan
Australia. Negara-negara ini adalah negara dengan penduduk besar, sehingga kebutuhan
konsumsi buah dan sayuran sangat besar. Langkah lanjut adalah mempelajari persyaratan
perdagangan hortikultura di negara-negara tersebut dan diuji apakah komoditas potensial
kita memenuhi persyaratan tersebut. Kalau tidak memenuhi syarat, perlu diteliti
bagaimana caranya agar dapat memenuhinya.
2. Pengembangan teknologi pasca panen. Jarak dari pasar dan biaya pengiriman barang yang
tinggi membuat pengangkutan dengan kapal ke pasar luar negeri alat ekspor penting,
yang berarti perlu produk dengan selflife yang lebih panjang.

a. Memperpanjang masa selflife dan menjaga kualitas menjadi sangat penting.


b. Penelitian dalam semua aspek interaksi pra-pascapanen (praktek budidaya, haramineral, umur panen/kematangan), pemanenan, penanganan pasca panen, grading,
coolchain,

coolstorage,

controlled

atmosphere

storage,

dan

teknologi

penyimpanan lain, seperti perlakuan ethylene, perlakuan anti-ethylene untuk


pengawetan, teknologi kemasan, distribusi dan faktor-faktor pemasaran lainnya.
c. Masalah hama dan penyakit dalam kaitannya dengan kualitas dan akses pasar
sangat penting dilakukan.
d. Penelitian mengenai tanggap buah dan sayur terhadap stres suhu dan stres
oksidatif (O2 dan CO2), etilen, dan air perlu dipelajari. Selain itu, perubahan
tekstur dan sifat dinding sel selama pemeraman dan sehubungan dengan
peelability perlu juga dipelajari.
e. Penelitian untuk memahami gangguan fisiologis dan untuk mengembangkan
protokol mengurangi gangguan fisiologi.
3. Good Agricultural Practices. Penerapan GAP memerlukan dukungan hasil penelitian.
Prosedur Operasional Standar beberapa tanaman buah yang disusun untuk implementasi
GAP telah disusun. Tetapi, dalam penyusunannya ditemukan banyak kesulitan; langkahlangkah operasional dalam POS tersebut sebagian besar tidak berdasarkan pada hasil
penelitian tetapi diperoleh dari praktek yang telah dilakukan oleh petani.

Agar

implementasi GAP memberikan hasil yang memenuhi persyaratan pasar, POS perlu
didudung penelitian. Penelitian-penelitian yang diperlukan antara lain adalah:
a. Pemilihan varietas,
b. Pemilihan rootstock yang tepat untuk tanaman buah,
c. Jarak tanaman dan pengaturan tajuk pohon buah-buahan (termasuk pemangkasan,
training),
d. Pemupukan yang tepat berdasarkan kondisi tanah, kebutuhan tanaman, dan nilai
ekonomi yang mendukung tanaman menghasilkan produk yang berkualitas,
e. Pengendalian opt yang tidak mencemari lingkungan, tidak meracuni petani dan
tidak meninggalkan residu diatas mrl dan dapat diterapkan petani,
f. Penelitian mengenai biokontrol atau pengaturan populasi hama dengan musuh
alami perlu dilakukan. Biokontrol beroperasi pada tingkat populasi, bukan tingkat
individu, jadi agen biokontrol harus mampu mengatur populasi hama. Biokontrol
menerapkan ekologi populasi, dan agar biokontrol sukses dibutuhkan pemahaman
rinci interaksi spesies di tiga atau empat tingkat trofik, ialah tanaman yang

dimakan/diserang OPT, hama, agen biokontrol, musuh-musuh alami dari agen


biokontrol (HRI New Zealand, 2010).
g. Pengairan yang tepat untuk mendukung pertumbuhan tanaman dan produksi yang
tinggi dan berkualitas,
h. Teknik polinasi yang mendukung produksi buah yang sempurna dan berkualitas,
i. Penentuan umur panen dan cara panen yang tepat yang bisa mempertahankan
kualitas setelah dipasarkan jarak jauh.
4. Biosekuriti. Biosekuriti perlu menjadi prioritas nasional untuk kepentingan strategis yang
signifikan terhadap semua sektor pertanian (HRI New Zealand, 2010). Keberlanjutan
pertanian Indonesia, baik sub sektor hortikultura, tanaman pangan, tanaman perkebunan
dan kehutanan, serta kawasan alam, sedang terkikis oleh semakin meningkatnya jumlah
hama asing invasif. Kasus terbaru adalah meledaknya hama kutu putih pada pepaya dan
tanamanan lain yang berasal dari tanaman hias yang diimpor dari Amerika. Cukup
banyak organisme baru per tahun adalah memasuki Indonesia sehingga resiko biosekuriti
meningkat, seiring dengan meningkatnya perdagangan global, pariwisata, rute
perdagangan baru, dan perubahan iklim.

Tingkat Invasi tidak akan berkurang di masa

mendatang, dan ada kebutuhan mendesak untuk menemukan cara-cara baru untuk
meningkatkan biosekuriti perbatasan dan pelabuhan-pelabuhan pintu masuk. Mengingat
besarnya biaya untuk menangani hal ini, kontribusi oleh penelitian untuk mengurangi
tingkat invasi oleh hama baru harus memberikan manfaat ekonomi dan lingkungan.
5. Pengelolaan tanah dan air. Pertanian hortikultura Indonesia sangat tergantung pada nilai
modal alam berupa air, tanah dan keanekaragaman hayati. Sistem hortikultura Indonesia
perlu menciptakan produk hortikultura premium melalui produksi berkelanjutan yang
memanfaatkan nilai modal alam berupa tanah dan sumber daya air. Keberlanjutan adalah
upaya mempertahankan dan meningkatkan nilai tanah dan sumber daya air. Peneliti
hortikultura perlu mengembangkan strategi berkelanjutan untuk irigasi yang efisien,
pemupukan tanaman dan manajemen agrokimia. Pengelolaan air berhubungan erat
dengan nutrisi dan pestisida dalam sistem ini. Perlu dikembangkan penggunaan sumber
daya air yang efektif dan solusi-solusi untuk melindungi tanah dan air permukaan dari
pupuk dan pestisida, mengingat penggunaan pupuk dan pestisida pada produksi
hortikultura di Indonesia tergolong sangat tinggi (HRI New Zealand, 2010)..
6. Pemuliaan Tanaman. Indonesia mempunyai sumberplasma nutfah yang sangat banyak
namun belum banyak yang dimanfaatkan. Kemajuan Thailand, Brazil, Israel, dan negaranegara penghasil utama hortikultura tropis lainnya antara lain karena kemampuannya

menghasilkan varietas-varietas hortikultura yang sesuai dengan kebutuhan pasar dan


lingkungan tumbuhnya. Pemulia hortikultura Indonesia perlu memanfaatkan ekkayaan
plasma nutfah kita untuk menghasilkan varietas Hortikultura Indonesia yang Unggul.
7. Hortikultura sebagai Pangan Fungsional. Sebuah kesadaranbaru global tentang peran
makanan sehat muncul dan konsumen merespon dengan mengadaptasi pendekatan
mereka terhadap keputusan kesehatan; mereka mencari pendekatan holistik untuk
kesehatan, dan penekanan lebih besar pada pencegahan daripada mengobati. Hasilnya
adalah grup baru konsumen yang sadar kesehatan, yang tidak hanya menuntut makanan
lebih "Alam" - bebas pestisida, diproduksi secara berkelanjutan, "aman" - tetapi juga
makanan fungsional yang menawarkan manfaat untuk kesehatan. Mereka menginginkan
makanan fungsional yang merupakan bagian dari diet normal seperti makanan
konvensional, namun mempunyai fungsi fisiologis positif terhadap kesehatan secara
keseluruhan dan mempunyai potensi untuk mengurangi resiko penyakit kronis. Buahbuahan dan sayuran mempunyai potensi sangat besar menajdi makanan fungsional (HRI
New Zealand, 2010).

Penelitian mengenai fungsi kesehatan dan kandungan zat

berkhasiat keehatan dari buah-buahan tropika perlu diteliti. Peneliti dari daerah temperate
malahan sudah meneliti zat berkhasiat kesehatan pada srikaya, sirsat, delima, nenas,
brokoli, strawberi dan sebagainya. Pada tahap lebih lanjut meungkin perlu juga dilakukan
penelitian mengenai formulasi zat berkhasiat tersebut untuk suplement pangan.
8. Genom Tanaman Hortikultura, yang meliputi teknologi genom, transformasi gen, kloning
DNA, Microarrays, Metabolomics, Bioinformatics, penelitian mengenai fungsi gen,
interaksi tanaman dengan penyakit dan sebaginya.

Daftar Pustaka
Bank Dunia. 2010. http://data.worldbank.org
Direktorat Kerjasama Regional Ditjen Kerjasama Perdagangan Internasional. 2010. ASEAN
China Free Trade Area. http://agribisnis.net/Pustaka/BAHAN_WEB_ACFTA.htm
Hewett
E
W.
-----.
ISHS
and
The
Global
Horticultural
Initiative.
www.fao.org/es/esc/common/ecg/559/en/11_ISHS
HRI New Zealand. 2010. http://www.hortresearch.co.nz
http://data.worldbank.org
Poerwanto, R. Dan M. A. Chozin. 2010. Landasan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam
Pembangunan Pertanian Masa Depan. Pembangunan Perdesaan dalam rangka
Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat. Pemikiran Guru Besar Perguruan Tinggi
Badan Hukum Milik Negara. IPB Press. Hal 147-169.

Você também pode gostar