Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
perdarahan dan sepsis atau gagal multi organ. Truma didefinisikan sebagai gangguan atau
kerusakan struktur atau fungsi tubuh yang disebabkan oleh perubahan energi yang mendadak
(mekanik, kimia, panas, radio aktif atau biologi) yang melebihi kemampuan tubuh.1,2,3
Tindakan
operasipada
pasientrauma
yangdiikutiolehperiodemonitoringdan
tingkatkesadaran
yang
berubahatau
cedera
otaktraumatissebelum
traumatulang
belakang,
amputasitraumatikdan
major
crush
injury.Nyeri
Hipotermia
Hipotermia didefinisikan sebagai suhu inti di bawah 35C, disertai asidosis, hipotensi dan
koagulopati pada pasien dengan trauma berat.Hipotermia pada pasien trauma harus dibedakan
dari hipotermia karena sebab lain. Mortalitas pada hipotermia moderat ( 28-32C) karena
eksposur kurang dari 25% dimana kematian ini disebabkan oleh penyakit yang mendasarinya,
sementara pada pasien trauma suhu inti kurang dari 32C berkaitan dengan tingkat kematian
100% dan setiap penurunan suhu di bawah 35C memberikan prognosis yang buruk. Hipotermia
lebih sering terjadi dan lebih berat pada pasien dengan cedera serius, sehingga sulit untuk
dibedakan apakah kematian ini disebabkan oleh hipotermia atau parahnya trauma yang
mendasarinya.Suatu penelitian menyebutkan bahwa pada pasien yang tidak dihangatkan selama
resusitasi angka kematiannya meningkat tujuh kali lebih besar dibandingkan pasien yang
dihangatkan.1,2,3,4,5
Hipotermia merupakan komorbiditasutama pada pasien dengan trauma.Selain kehilangan
panas dari radiasi (paparan)dan konduksi (infus dingin),evaporasidan konveksi(ekspose
permukaan abdomen),redistribusi darah ke perifer darah akibat gangguan autoregulasi yang
terjadi
akibat
penggunaan
obat-obat
farmakologismencegahmekanismeproduksi
dan
cederatulang
panas
belakang.Paralisis
normal(misalnyamenggigil)
meningkatkan
sekuestrasi
obatdanmenginduksivasokonstriksi.Gabunganhipotermiadan
terutamadisritmiaventrikel.Banyak
mengidentifikasihipotermiasebagaifaktor
mortalitaspada
pasien
neuroproteksi dan
trauma
yang
terkait
denganpeningkatan
penelitiantelah
morbiditasdan
berat.Menariknya,hipotermiamoderat(33-350C)
merupakan
manifestasi klinisdari perdarahan, sehingga hipotermia bisa dipertimbangkan pada pasien cedera
kepala. Hipotermi moderat pada pasien trauma kepala harus dilakukan dalam 3 jam pertama
setelah trauma, khususnya dengan pendinginan daerah kepala dan leher yang dipertahankan
selama 48 jam, rewarming harus dilakukan selama 24 jam dan perfusi serebral harus
dipertahankan (MAP70 mmHg). Pasien yang mendapatkan keuntungan dengan hipotermia
adalah pasien dengan GCS saat masuk 4-7. Efek sampingnya adalah hipotensi, hipovolemi,
gangguan elektrolit, penurunan sekresi insulin dan meningkatkan risiko infksi.4
Hipotermia primer terjadi bila produksi panas normal, tetapi suhu tubuh menurun sebagai
akibat dari kehilangan panas beratkarena kondisi lingkungan.Hipotermia sekunder merupakan
akibat produksi panas yang berkurang.Oleh karena panas tubuh dihasilkandari konsumsi oksigen
maka panas tubuh yang dihasilkan selama keadaan syok, ketika konsumsi oksigen patologis
berkurang, mengakibatkan penurunan suhu inti tanpa stres lingkungan dingin yang
berat.Perdarahan tidak terkontrol adalah penyebab paling sering kematian dini pada pasien
trauma, dan mungkin efek terparah hipotermia adalah efek inhibisi terhadap laju reaksi enzimatik
dari kaskade koagulasi.Secara klinis yang relevan dari hipotermia (<35 0C) dapat memperpanjang
waktu pembekuan sepertipada defisiensi berat faktor pembekuan.Defisiensi faktor IX,
menyebabkan perdarahan abnormal ketika kadarnya turun di bawah 25-30% dari normal.Pada
pasien trauma, deplesi faktor pembekuan yang sering menyertai hipotermia.Hipotermia juga
mempengaruhi fungsi trombosit.Oleh karena itu manajemen suhu merupakan isu utama dalam
pengelolaan pasien trauma.Tubuh memiliki panas spesifik relatif tinggi (heat gain/loss per
derajat Celcius perubahan suhu), 0,83 kkal/kg/0C. Produksi panas basal sekitar 1 kkal/kg/jam jika
konsumsi oksigen normal, menghasilkan tingkat rewarming sekitar 1,2 0C/jam jika semua
kehilangan panas dicegah.Namun, sebagian besar pasien syok, telah mengalami pengurangan
produksi panas dan tidak mampu melakukan rewarming spontan.Metode rewarming eksternal
membantu untuk mencegah kehilangan panas, tetapi transfer panas sedikit untuk pasien. Suhu
kulit mungkin 10-15 0C lebih dingin dari suhu inti pasien hipotermia.Panas mengalir dari area
yang bersuhu tinggi ke suhu yang lebih rendah sebagaimanahukum kedua termodinamika.Teknik
rewarming eksternal karena itu tidak dapat mentransfer panas ke inti sampai suhu kulit
meningkat untuk setidaknya seperti suhu inti.Selama jeda waktu, suhu inti sebenarnya dapat
terus menurun (afterdrop).Selimut pemanas dengan cairan-bersirkulasi sangat tidak efisien
karena selimut hanya bersentuhan dengan permukaan tubuh dalam persentase kecil (<25%).
Selain itu, selama hipotermia, perfusi kulit menurun dari sekitar 200 ml/menit/m2 menjadi 4
ml/menit/m2, yang mengurangi konduktivitas termal.Rewarmer udara konvektif juga
mengirimkan panas yang sangat sedikit karena kerapatan udara sangat rendah sehingga sangat
sedikit mengandung panas bahkan pada suhu tinggi.Oleh karena sebagian besar kehilangan panas
terjadi melalui kulit, membungkus pasien dalam penghangat konvektif secara efektif dapat
mencegah kehilangan panas.4
Airway rewarming tergantung pada prinsip bahwa jumlah air yang mampu ditahan
sebagai uap tergantung pada suhu udara.Ketika seorang pasien hipotermia membutuhkanudara
hangat jenuh, kondensasi terjadi pada kontak dengan airway dingin. Peritoneal lavageatau
pleura lavagemenunjukkan transfer panas yang signifikan karena panas spesifik air adalah 1
kkal/L0C.Pemberian cairan intravena hangat merupakan salah satu metodedalam mencegah dan
mengurangihipotermia. Pasien akanmendapatkan ekstra panas 16 kkal untuk 1 L kristaloid dari
suhu kamar (210C) ke 370C. Jika pasien tidak dapat menghasilkan panas tambahan karena
konsumsi oksigen fixedakanmengakibatkan hilangnya 16 kkal, yang akan menurunkan suhu
tubuh 0,280C/L.Rewarming arteriovenosa kontinyu (Continous ArterioVenous Rewarming)
adalah metodeyang relatif baru melakukan rewarming sirkulasi extracorporealyang tidak
memerlukan pompa mekanis atau heparin, dan dapat dilakukan oleh personil unit perawatan
intensif dengan pelatihan yang minimal.Teknik ini analog dengan hemofiltrasi arteriovena
kontinyu.4,5
Koagulopati
Trauma mayor tidak hanya berakibat perdarahan karena kerusakan anatomi tetapi lebih
sering karena koagulopati yang meningkatkan kematian.Koagulopati yang terjadi lebih dini pada
pasien trauma biasanya ditemukan pada pasien dengan hipoperfusi (base deficit >6 mEq/l) dan
ditandai dengan peningkatan produksi trombomodulin endotel yang membentuk kompleks
dengan thrombin.Monitoring dini terhadap koagulasi penting untuk mendeteksi koagulopati yang
disebabkan oleh trauma dan untuk menentukan penyebab utama termasuk hiperfibrinolisis.
Terapi intervensi lebih dini memperbaiki studi koagulasi.5
Efek berkelanjutan hipotermia adalah koagulopati yang terjadi pada pasien trauma berat
dan merupakan masalah kompleks dan sulit ditangani.Pembekuan in vivo dipengaruhi oleh
beberapa variable, dan pada banyak kasus fibrinolisis merupakan faktor predominan.
Pembentukan clot menyebabkan pembatasan formasi trombus pada lokasi trauma. Jika
perdarahan terus berlanjut, dapat terjadi aktivitas fibrinolitik lokal berlebihan, menghasilkan
koagulopati lokal.Sejumlah inhibitor platelet ditemukan pada pasien trauma berat, seperti
prostaglandin I2 (PGI2) dan antitrombin III, mencegah stabilisasi plug platelet dengan memblok
formasi fibrin, menyebabkan mekanisme feedback negatif yang mencegah aktivasi platelet.
Tranfusi faktor pembekuan dan platelet sampai proses konsumtif tercapai merupakan langkah
awal penting dalam penatalaksanaan koagulopati. Transfusi masif adalah prediktor terpenting
darikoagulopati pada traumaabdomen.Kemungkinankoagulopati(waktu protrombin[PT] atau
waktu parsialthromboplastin[PTT]sama denganatau lebih besardari dua kalinormal) mengikuti
transfusi masif pada pasien trauma berat, diperkirakan karena hipotermiapersisten,asidosis
danhipotensi.
Dengan
semua
faktor
risiko
(pH7.10,
suhu34 0C,tekanan
darah
kompartemenabdominaladalahpeningkatantekananintraabdominalbiasanya
disebabkan olehedema jaringan usus daninterstisialakibat trauma, pada pasien syokdan resusitasi
cairan masif.Sindroma kompartemen abdominal sering terjadi pada pasien dengan trauma berat,
khususnya pasien yang menjalani laparotomi dengan packing abdomen.Dilaporkan bahwa angka
kejadiannya sebesar 14% dari pasien yang menjalani laparotomi dan ditemukan adanya trauma
serius pada usus atau organ berongga.
Sindroma kompartemen abdomen dikenali dengan adanya distensi abdomen kuat,
peningkatan tekanan puncak jalan nafas, ventilasi yang tidak adekuat dan hipoksia.Peningkatan
tekanan intraabdominalmenyebabkan gangguan sirkulasi,penurunanperfusijaringan,dan disfungsi
oliguria.Penurunanvenous
outputdanpenurunanfungsi
returndengan
ginjalkarena
penurunan
hipoperfusi.Selain
itupeningkatan
tekananintraabdominalmenyebabkanpenurunanvolume
peningkatantekananventilasidanatelektasis.Peningkatan
cardiac
tidal,
tekananintraabdominal
jugadapat
dari20-25mmHgdisertai
dengankegagalan
organmembutuhkan
dekompresi.Tekanan
penurunan
aliran
daraharterihepatika,pada
tekanan
15
mmHg
terjadi
perubahankardiovaskular, pada tekanan 15-25 mmHg terjadi oliguria, dengan anuria dapat
terjadipada tekananantara 30-40mmHg.4
Deep Venous Thrombosis
Pasien-pasien trauma memiliki risiko terkena tromboemboli vena. Penelitan yang
dilakukan oleh Schackford et al. mengidentifikasikan 4 grup pasien trauma yang berisiko
terhadap terjadinya emboli yaitu pasien dengan trauma kepala, trauma tulang belakang, fraktur
pelvis kompleks dan fraktur hip joint. Pemberian heparin subkutan, mobilisasi awal, stocking,
dekompresi vena, alat dekompresi sekuensial dapat dipertimbangkan untuk mengurangi risiko
terjadinya DVT.
Komplikasi Akhir
Stres ulser terjadi akibat penurunan aliran darah gastric dan kehilangan proteksi mukosa
dan hal ini terjadi hampir lebih dari 20% pasien ICU dimana dapat menyebabkan terjadinya
gastritis, ulserasi dan perdarahan. Pemberian inhibitor pompa proton, antagonis reseptor H2
dapat dipertimbangkan.Komplikasi pulmo seperti pneumonia, pneumonitis aspirasi dan ARDS
sering terjadi pada pasien trauma.
Asidosis
Asidosis mengganggu kontraktilitas miokard sebagai respon katekolamin endogen dan
eksogen.Kurva disosiasi oksihemoglobin bergeser ke kanan oleh asidosis, dengan demikian
meningkatkan pengiriman oksigen ke jaringan.Asidosis laktat harus ditangani dengan
penggantian cairan. Meskipun kontroversial,pH7,10 diberikan natrium bikarbonatdan
hiperventilasi.
Penting untuk mengoreksi asidosis dengan melakukan resusitasi agresif untuk mencapai
end-point yang sesuai.Laktat serum dan nilaibase deficit dari analisa gas darah memberikan
prediksi tidak langsung tentang asidosis jaringan secara menyeluruh terkait gangguan perfusi.
Abramson melakukan observasi pada pasien dengan trauma multiple untuk mengevaluasi
hubungan antara bersihan laktat dan survival. Semua pasien yang kadar laktatnya kembali ke
nilai normal (2) dalam 24 jam akan survive. Survival akan menurun menjadi 77,8% bila
normalisasi terjadi dalam 48 jam dan menurun lagi menjadi 13,6% pada pasien yang kadar
laktatnya naik di atas 2 mmol/l lebih dari 48 jam. Penelitian ini didukung oleh penelitian
Manikins yang menunjukkan non survival pada pasien dengan trauma mayor bila kadar awal
laktat tinggi dan bila normalisasi terjadi lebih dari 24 jam berkorelasi dengan berkembangnya
gagal organ pasca trauma. Seperti laktat, nilai awal base deficit juga merupakan prediktor tingkat
kematian pada pasien trauma.Davis membagi base deficit menjadi 3 kategori, mild (-3 sampai
-5mEq/l), moderat (-6 sampai -9mEq/l) dan berat (< -10 mEq/l). Perbaikan bese deficit dalam 24
jam menurunkan risiko gagal organ dan kematian pada pasien trauma.3,4,5
Table. 1
Perdarahan
terkontrol
mengurangikonsumsi
oksigen
(VO2)
dan
reperfusi,
ARDS merupakan gagal respirasi akut yang terjadi pada pasien dengan paru-paru sehat
setelah terpapar syok, trauma, sepsis, aspirasi, transfusi, atau inhalasi toksik.Pada ARDS terjadi
kerusakan membrane kapiler alveolar sehingga terjadi kebocoran cairan protein dari
intravsakular ke interstistial yang menyebabkan gambaran klinis disfungsi pulmonary sedang
sampai berat. ARDS ditandai dengan hipoksemia, penurunan compliance paru, dan penurunan
functional residual capacity (FRC)
Kriteria ARDS: PaO2/FiO2 < 200, gambaran infiltrat difus bilateral pada foto thorak.
Sedangkan kriteria ALI; PaO2/FiO2 < 300, dan ditemukan gambaran infiltrat difus bilateral pada
foto thoraks.
Manajemen ARDS yaitu dengan ventilasi mekanik yang bertujuan meminimalkan efek
pertukaran gas.Tetapi ventilasi mekanik juga terkait dengan trauma paru akibat volume alveolar
berlebih, barotraumas.Positive end-expiratory pressure (PEEP) digunakan untuk meningkatkan
oksigenasi pada FiO2 fixed. Penggunaan volume tidal rendah (6 ml/kg) pada pasien dengan
ARDS menurunkan mortalitas, barotrauma rendah.
Sepsis
Sepsis
pasca
operasi
dapat
terjadi
akibat
soilingperitoneal,intubasitrakea