Você está na página 1de 11

PENGELOLAAN POST OPERATIVE DAN CRITICAL CARE

PADA PASIEN TRAUMA


Rindarto, Jati Listiyanto Pujo
Abstrak
Pengelolaan pasca operasi di ICU pada pasien trauma sangat menentukan hasil akhir
pasien, karena dengan pengelolaan yang baik di ICU tingkat survival pasien trauma menjadi
lebih tinggi.Pengelolaan pasien trauma di ICU terutama difokuskan pada pengelolaan hipotermi,
koagulopati, asidosis, sindrom kompartemen abdomen dan ARDS, hal ini karena faktor-faktor
tersebut merupakan penyebab utama kematian pada jam-jam pertama pasca trauma.
Abstract
Postoperative management of trauma patients in the ICU on patient outcomes is critical,
because with good management in ICU trauma patient survival rate is higher. Management of
trauma patients in the ICU is primarily focused on the management of hypothermia,
coagulopathy, acidosis, and abdominal compartment syndrome, ARDS, it is because of these
factors is the leading cause of death in the first hours after trauma.
Pendahuluan
Trauma karena tindak kekerasan dan kecelakaan lalu lintas membunuh lebih dari 2,5 juta
orang tiap tahun. Menurut WHO pada tahun 2002 ada 1,6 juta kematian karena tindak kekerasan
dan 1,2 juta kematian karena kecelakaan lalu lintas, kombinasi keduanya menunjukkan
mortalitas sebesar 48 kematian tiap 100.000 orang tiap tahun. Hampir semua kematian terjadi
pada jam pertama setelah trauma, dengan proporsi 34-50% kematian terjadi di rumah sakit.
Kematian ini bisa dicegah dengan mengoptimalkan penanganan trauma, keberhasilan
pencegahan kematian akibat trauma bisa mencapai 76% atau bisa hanya 1% bila penanganan
kurang optimal. Trauma merupakan penyebab utama kematian pada pasien berusia kurang dari
45 tahun, di Amerika Serikat trauma menempati urutan ketiga penyebab kematian secara umum,
yaitu > 100.000 pada tahun 2002 dan setidaknya > 1,5 juta orang dirawat di RS karena trauma
akut.Trauma yang mengakibatkan kecacatan merupakan masalah kesehatan rmasyrakat yang
cukup besar.Pada pasien trauma, 3 penyebab utama kematiannya adalah karena trauma kepala,

perdarahan dan sepsis atau gagal multi organ. Truma didefinisikan sebagai gangguan atau
kerusakan struktur atau fungsi tubuh yang disebabkan oleh perubahan energi yang mendadak
(mekanik, kimia, panas, radio aktif atau biologi) yang melebihi kemampuan tubuh.1,2,3
Tindakan

operasipada

pasientrauma

yangdiikutiolehperiodemonitoringdan

penatalaksanaan berkelanjutansangat erat kaitannya.Resusitasi pascatrauma yang adekuat


dansurveisekunderdilakukan.Terminasi anestesi umumdiperlukan, terutamapada pasiendengan
gangguan

tingkatkesadaran

yang

berubahatau

cedera

otaktraumatissebelum

operasi.Banyakpasienakan membutuhkandukungan ventilatorkarena traumaSSP,trauma langsung


dinding paru atau dada, transfusi masif,edema saluran napa satas dan intoksikasi berkelanjutan.
Obat analgesik yang sesuai harus diberikan, dengan sedasi jika diperlukan. Support 12 sampai 24
jam menentukan keberhasilan resusitasi dan perbaikan pembedahan, hemodinamik stabil, titrasi
analgesik yang sesuai dan resolusi intoksikasi. Pasien trauma yang tidak dapat diekstubasi berada
pada risiko tinggi terjadinya gagal multi organ dan akan berkembang menjadi ARDS
pascatrauma yang biasanya akan memerlukan beberapa hari sampai minggu untuk perawatan
intensif. 2
Beberapa masalah yang dihadapi pada pasien trauma pasca operasi dan perawatan
intensif yaitu:
Nyeri pasca operatif akut
Nyeri neuropatiktimbul bilaada trauma langsung kesaraf sensorikutamadan umumnya
setelah

traumatulang

belakang,

amputasitraumatikdan

major

crush

injury.Nyeri

neuropatikditandaidengan rasa terbakar, rasatersengat listrikintermitendandisestesia yang


mempengaruhi distribusidermatomal.Analgesia epiduraltelah terbuktimenghasilkan tingkat
kepuasan tinggi pasien danfungsi parumembaiksetelah operasithorakoabdominaldan ortopedi. 3

Hipotermia
Hipotermia didefinisikan sebagai suhu inti di bawah 35C, disertai asidosis, hipotensi dan
koagulopati pada pasien dengan trauma berat.Hipotermia pada pasien trauma harus dibedakan
dari hipotermia karena sebab lain. Mortalitas pada hipotermia moderat ( 28-32C) karena
eksposur kurang dari 25% dimana kematian ini disebabkan oleh penyakit yang mendasarinya,
sementara pada pasien trauma suhu inti kurang dari 32C berkaitan dengan tingkat kematian

100% dan setiap penurunan suhu di bawah 35C memberikan prognosis yang buruk. Hipotermia
lebih sering terjadi dan lebih berat pada pasien dengan cedera serius, sehingga sulit untuk
dibedakan apakah kematian ini disebabkan oleh hipotermia atau parahnya trauma yang
mendasarinya.Suatu penelitian menyebutkan bahwa pada pasien yang tidak dihangatkan selama
resusitasi angka kematiannya meningkat tujuh kali lebih besar dibandingkan pasien yang
dihangatkan.1,2,3,4,5
Hipotermia merupakan komorbiditasutama pada pasien dengan trauma.Selain kehilangan
panas dari radiasi (paparan)dan konduksi (infus dingin),evaporasidan konveksi(ekspose
permukaan abdomen),redistribusi darah ke perifer darah akibat gangguan autoregulasi yang
terjadi

akibat

penggunaan

obat-obat

farmakologismencegahmekanismeproduksi

dan

cederatulang

panas

belakang.Paralisis

normal(misalnyamenggigil)

danvasodilatasiagen anestesimengganggumekanismekonservasipanas(misal vasokonstriksi).3


Hipotermia biasanya berkaitan dengan meningkatnya risiko perdarahan.Efek hipotermia
ternasuk gangguan fungsi trombosit, gangguan fungsi faktor koagulasi (setiap penurunan suhu
1C tejadi penurunan fungsi 10%), penghambatan enzim dan fibrinolisis).Hipotermia
jugamempengaruhiproseskoagulasiplatelet,
platelet,mengurangimetabolisme

meningkatkan

sekuestrasi

obatdanmenginduksivasokonstriksi.Gabunganhipotermiadan

asidosismencerminkanpenurunancurah jantungdan perfusi jaringan.Miokardiumhipotermirentan


terhadapektopi,

terutamadisritmiaventrikel.Banyak

mengidentifikasihipotermiasebagaifaktor
mortalitaspada

pasien

neuroproteksi dan

trauma

yang

terkait

denganpeningkatan

penelitiantelah
morbiditasdan

berat.Menariknya,hipotermiamoderat(33-350C)

merupakan

dapatditoleransidalam kondisitertentu,terutama ketika tidak adanya

manifestasi klinisdari perdarahan, sehingga hipotermia bisa dipertimbangkan pada pasien cedera
kepala. Hipotermi moderat pada pasien trauma kepala harus dilakukan dalam 3 jam pertama
setelah trauma, khususnya dengan pendinginan daerah kepala dan leher yang dipertahankan
selama 48 jam, rewarming harus dilakukan selama 24 jam dan perfusi serebral harus
dipertahankan (MAP70 mmHg). Pasien yang mendapatkan keuntungan dengan hipotermia
adalah pasien dengan GCS saat masuk 4-7. Efek sampingnya adalah hipotensi, hipovolemi,
gangguan elektrolit, penurunan sekresi insulin dan meningkatkan risiko infksi.4
Hipotermia primer terjadi bila produksi panas normal, tetapi suhu tubuh menurun sebagai
akibat dari kehilangan panas beratkarena kondisi lingkungan.Hipotermia sekunder merupakan

akibat produksi panas yang berkurang.Oleh karena panas tubuh dihasilkandari konsumsi oksigen
maka panas tubuh yang dihasilkan selama keadaan syok, ketika konsumsi oksigen patologis
berkurang, mengakibatkan penurunan suhu inti tanpa stres lingkungan dingin yang
berat.Perdarahan tidak terkontrol adalah penyebab paling sering kematian dini pada pasien
trauma, dan mungkin efek terparah hipotermia adalah efek inhibisi terhadap laju reaksi enzimatik
dari kaskade koagulasi.Secara klinis yang relevan dari hipotermia (<35 0C) dapat memperpanjang
waktu pembekuan sepertipada defisiensi berat faktor pembekuan.Defisiensi faktor IX,
menyebabkan perdarahan abnormal ketika kadarnya turun di bawah 25-30% dari normal.Pada
pasien trauma, deplesi faktor pembekuan yang sering menyertai hipotermia.Hipotermia juga
mempengaruhi fungsi trombosit.Oleh karena itu manajemen suhu merupakan isu utama dalam
pengelolaan pasien trauma.Tubuh memiliki panas spesifik relatif tinggi (heat gain/loss per
derajat Celcius perubahan suhu), 0,83 kkal/kg/0C. Produksi panas basal sekitar 1 kkal/kg/jam jika
konsumsi oksigen normal, menghasilkan tingkat rewarming sekitar 1,2 0C/jam jika semua
kehilangan panas dicegah.Namun, sebagian besar pasien syok, telah mengalami pengurangan
produksi panas dan tidak mampu melakukan rewarming spontan.Metode rewarming eksternal
membantu untuk mencegah kehilangan panas, tetapi transfer panas sedikit untuk pasien. Suhu
kulit mungkin 10-15 0C lebih dingin dari suhu inti pasien hipotermia.Panas mengalir dari area
yang bersuhu tinggi ke suhu yang lebih rendah sebagaimanahukum kedua termodinamika.Teknik
rewarming eksternal karena itu tidak dapat mentransfer panas ke inti sampai suhu kulit
meningkat untuk setidaknya seperti suhu inti.Selama jeda waktu, suhu inti sebenarnya dapat
terus menurun (afterdrop).Selimut pemanas dengan cairan-bersirkulasi sangat tidak efisien
karena selimut hanya bersentuhan dengan permukaan tubuh dalam persentase kecil (<25%).
Selain itu, selama hipotermia, perfusi kulit menurun dari sekitar 200 ml/menit/m2 menjadi 4
ml/menit/m2, yang mengurangi konduktivitas termal.Rewarmer udara konvektif juga
mengirimkan panas yang sangat sedikit karena kerapatan udara sangat rendah sehingga sangat
sedikit mengandung panas bahkan pada suhu tinggi.Oleh karena sebagian besar kehilangan panas
terjadi melalui kulit, membungkus pasien dalam penghangat konvektif secara efektif dapat
mencegah kehilangan panas.4
Airway rewarming tergantung pada prinsip bahwa jumlah air yang mampu ditahan
sebagai uap tergantung pada suhu udara.Ketika seorang pasien hipotermia membutuhkanudara
hangat jenuh, kondensasi terjadi pada kontak dengan airway dingin. Peritoneal lavageatau

pleura lavagemenunjukkan transfer panas yang signifikan karena panas spesifik air adalah 1
kkal/L0C.Pemberian cairan intravena hangat merupakan salah satu metodedalam mencegah dan
mengurangihipotermia. Pasien akanmendapatkan ekstra panas 16 kkal untuk 1 L kristaloid dari
suhu kamar (210C) ke 370C. Jika pasien tidak dapat menghasilkan panas tambahan karena
konsumsi oksigen fixedakanmengakibatkan hilangnya 16 kkal, yang akan menurunkan suhu
tubuh 0,280C/L.Rewarming arteriovenosa kontinyu (Continous ArterioVenous Rewarming)
adalah metodeyang relatif baru melakukan rewarming sirkulasi extracorporealyang tidak
memerlukan pompa mekanis atau heparin, dan dapat dilakukan oleh personil unit perawatan
intensif dengan pelatihan yang minimal.Teknik ini analog dengan hemofiltrasi arteriovena
kontinyu.4,5
Koagulopati
Trauma mayor tidak hanya berakibat perdarahan karena kerusakan anatomi tetapi lebih
sering karena koagulopati yang meningkatkan kematian.Koagulopati yang terjadi lebih dini pada
pasien trauma biasanya ditemukan pada pasien dengan hipoperfusi (base deficit >6 mEq/l) dan
ditandai dengan peningkatan produksi trombomodulin endotel yang membentuk kompleks
dengan thrombin.Monitoring dini terhadap koagulasi penting untuk mendeteksi koagulopati yang
disebabkan oleh trauma dan untuk menentukan penyebab utama termasuk hiperfibrinolisis.
Terapi intervensi lebih dini memperbaiki studi koagulasi.5
Efek berkelanjutan hipotermia adalah koagulopati yang terjadi pada pasien trauma berat
dan merupakan masalah kompleks dan sulit ditangani.Pembekuan in vivo dipengaruhi oleh
beberapa variable, dan pada banyak kasus fibrinolisis merupakan faktor predominan.
Pembentukan clot menyebabkan pembatasan formasi trombus pada lokasi trauma. Jika
perdarahan terus berlanjut, dapat terjadi aktivitas fibrinolitik lokal berlebihan, menghasilkan
koagulopati lokal.Sejumlah inhibitor platelet ditemukan pada pasien trauma berat, seperti
prostaglandin I2 (PGI2) dan antitrombin III, mencegah stabilisasi plug platelet dengan memblok
formasi fibrin, menyebabkan mekanisme feedback negatif yang mencegah aktivasi platelet.
Tranfusi faktor pembekuan dan platelet sampai proses konsumtif tercapai merupakan langkah
awal penting dalam penatalaksanaan koagulopati. Transfusi masif adalah prediktor terpenting
darikoagulopati pada traumaabdomen.Kemungkinankoagulopati(waktu protrombin[PT] atau
waktu parsialthromboplastin[PTT]sama denganatau lebih besardari dua kalinormal) mengikuti
transfusi masif pada pasien trauma berat, diperkirakan karena hipotermiapersisten,asidosis

danhipotensi.

Dengan

semua

faktor

risiko

(pH7.10,

suhu34 0C,tekanan

darah

sistolik<70mmHg),98% pasien akan berkembang menjadi koagulopati yang mengancam


kehidupan.4
Terapi:
Kalsium
Kalsium penting untuk pembentukan dan stabilisai fibrin dan meningkatkan aktivitas trombosit.
Disamping itu kalsium juga akan meningkatkan kontraktilitas miokardium dan resistensi
vaskuler. Kombinasi keuntungan antara kardiovaskuler dan koagulasi didapat bila tingkat
konsentrasi kalsium yang terionisasi di atas 0,9 mmol/l.
Fresh Frozen Plasma (FFP)
Dosis awal FFP yang direkomendasikan adalah 10-15 ml/kgBB. Dosis selanjutnya tergantung
studi koagulasi dan produk darah lain yang diberikan.
Fibrinogen dan Cryopresipitate
Diberikan bila kadar fibrinogen kurang dari 1,5-2 g/l. Dosis yang direkomendasikan 3-4 g atau
50mg/kgBB cryopresipitate yang setara dengan 15-20 unit untuk pasien dengan berat badan 70
kg. Dosis ulangan diberikan berdasarkan kadar fibrinogen.
Antifibrinolitik
Asam traneksamat bekerja dengan cara kompetitif inhibitor terhadap plasmin dan plasminogen.
Dosis yang direkomendasikan adalah 10-15 mg/kgBB diikuti infuse kontinyu 1-5 mg/kgBB/jam.
Sindrom Kompartemen Abdominal (Abdominal Compartment Syndrome)
Sindrom kompartemen didefinisikan sebagai peningkatan tekanan dalam suatu ruangan
tertutup yang dapat menyebabkan gangguan fungsi organ yang ada didalam ruangan
tersebut.Sindrom

kompartemenabdominaladalahpeningkatantekananintraabdominalbiasanya

disebabkan olehedema jaringan usus daninterstisialakibat trauma, pada pasien syokdan resusitasi
cairan masif.Sindroma kompartemen abdominal sering terjadi pada pasien dengan trauma berat,
khususnya pasien yang menjalani laparotomi dengan packing abdomen.Dilaporkan bahwa angka
kejadiannya sebesar 14% dari pasien yang menjalani laparotomi dan ditemukan adanya trauma
serius pada usus atau organ berongga.
Sindroma kompartemen abdomen dikenali dengan adanya distensi abdomen kuat,
peningkatan tekanan puncak jalan nafas, ventilasi yang tidak adekuat dan hipoksia.Peningkatan
tekanan intraabdominalmenyebabkan gangguan sirkulasi,penurunanperfusijaringan,dan disfungsi

organ(jantung,ginjal,usus,paru).Distensi abdomen menyebabkan peningkatanpeaktekananjalan


nafas,hiperkarbiadan

oliguria.Penurunanvenous

outputdanpenurunanfungsi

returndengan

ginjalkarena

penurunan

hipoperfusi.Selain

itupeningkatan

tekananintraabdominalmenyebabkanpenurunanvolume
peningkatantekananventilasidanatelektasis.Peningkatan

cardiac
tidal,

tekananintraabdominal

jugadapat

menyebabkan hipertensivenadan meningkatkantekanan intrakranial.3,4,5


Tekanan lebih dari 30 mmHg menyebabkan terjadinya oliguria menyebabkan penurunan
aliran darah ginjal akibat peningkatan tekanan vena pada ginjal yang pada akhirnya juga akan
meningkatkan resistensi pembuluh darah ginjal. Sindrom kompartemen abdomen juga
menyebabkan penurunan cardiac output sebesar 30-40% yang diakibatkan oleh penurunan
venous return dan peningkatan tekanan darah sistemik.Penelitian eksperimental menunjukkan
penurunan aliran darah splanchnic sebesar 75% disertai asidosis mukosa usus yang tidak
dipengaruhi cardiac output pada pasien dengan sindrom kompartemen abdomen.Tekanan intra
abdominal sebesar 25 mmHg juga bisa menyebabkan peningkatan tekanan intra cranial karena
peningkatan tekanan vena sentral yang berakibat penuruna perfusi serebral.Sindrom
kompartemen abdomen memiliki efek buruk pada fungsi paru menyebabkan hipoksemia
progresif dan retensi CO2 yang memerlukan tekanan puncak jalan nafas yang sangat tinggi untuk
mempertahankan volume tidal yang adekuat.Risiko terjadinya barotrauma lebih disebabkan oleh
tekanan transpulmoner daripada tekanan puncak atau statis jalan nafas.Bila tekanan intra
abdomen meningkat dapat diasumsikan terjadi peningkatan intra pleura.Suatu penelitian
menyebutkan adanya hubungan antara peningkatan tekanan intra abdomen denga peningkatan
tekanan intra pleura. Bila tekanan intra abdomen meningkat 25 mmHg maka tekanan intrapleura
menjadi 18 mmHg atau 24,5 cmH2O. Bila besarnya tekanan akhir ekspirasi dibawah tekanan
pleura maka akan terjadi kolaps alveolar. Banyak diantara pasien ini yang mengalami
hipoksemia refrakter terkait ketidakmampuan mempertahankan tekanan akhir ekspirsi untuk
mempertahankan kapasitas residual.Pemberian tekanan positif pada akhir ekspirasi yang lebih
tinggi mungkin masih diperlukan selama sirkulasi berjalan baik.Tekanan intraabdominal lebih
besar

dari20-25mmHgdisertai

dengankegagalan

organmembutuhkan

dekompresi.Tekanan

intraabdominal postoperasi normaladalah 0-5mmHg. Jika tekananlebih besar dari10mmHg,


terjadi

penurunan

aliran

daraharterihepatika,pada

tekanan

15

mmHg

terjadi

perubahankardiovaskular, pada tekanan 15-25 mmHg terjadi oliguria, dengan anuria dapat
terjadipada tekananantara 30-40mmHg.4
Deep Venous Thrombosis
Pasien-pasien trauma memiliki risiko terkena tromboemboli vena. Penelitan yang
dilakukan oleh Schackford et al. mengidentifikasikan 4 grup pasien trauma yang berisiko
terhadap terjadinya emboli yaitu pasien dengan trauma kepala, trauma tulang belakang, fraktur
pelvis kompleks dan fraktur hip joint. Pemberian heparin subkutan, mobilisasi awal, stocking,
dekompresi vena, alat dekompresi sekuensial dapat dipertimbangkan untuk mengurangi risiko
terjadinya DVT.
Komplikasi Akhir
Stres ulser terjadi akibat penurunan aliran darah gastric dan kehilangan proteksi mukosa
dan hal ini terjadi hampir lebih dari 20% pasien ICU dimana dapat menyebabkan terjadinya
gastritis, ulserasi dan perdarahan. Pemberian inhibitor pompa proton, antagonis reseptor H2
dapat dipertimbangkan.Komplikasi pulmo seperti pneumonia, pneumonitis aspirasi dan ARDS
sering terjadi pada pasien trauma.
Asidosis
Asidosis mengganggu kontraktilitas miokard sebagai respon katekolamin endogen dan
eksogen.Kurva disosiasi oksihemoglobin bergeser ke kanan oleh asidosis, dengan demikian
meningkatkan pengiriman oksigen ke jaringan.Asidosis laktat harus ditangani dengan
penggantian cairan. Meskipun kontroversial,pH7,10 diberikan natrium bikarbonatdan
hiperventilasi.
Penting untuk mengoreksi asidosis dengan melakukan resusitasi agresif untuk mencapai
end-point yang sesuai.Laktat serum dan nilaibase deficit dari analisa gas darah memberikan
prediksi tidak langsung tentang asidosis jaringan secara menyeluruh terkait gangguan perfusi.
Abramson melakukan observasi pada pasien dengan trauma multiple untuk mengevaluasi
hubungan antara bersihan laktat dan survival. Semua pasien yang kadar laktatnya kembali ke
nilai normal (2) dalam 24 jam akan survive. Survival akan menurun menjadi 77,8% bila
normalisasi terjadi dalam 48 jam dan menurun lagi menjadi 13,6% pada pasien yang kadar
laktatnya naik di atas 2 mmol/l lebih dari 48 jam. Penelitian ini didukung oleh penelitian
Manikins yang menunjukkan non survival pada pasien dengan trauma mayor bila kadar awal
laktat tinggi dan bila normalisasi terjadi lebih dari 24 jam berkorelasi dengan berkembangnya

gagal organ pasca trauma. Seperti laktat, nilai awal base deficit juga merupakan prediktor tingkat
kematian pada pasien trauma.Davis membagi base deficit menjadi 3 kategori, mild (-3 sampai
-5mEq/l), moderat (-6 sampai -9mEq/l) dan berat (< -10 mEq/l). Perbaikan bese deficit dalam 24
jam menurunkan risiko gagal organ dan kematian pada pasien trauma.3,4,5
Table. 1

Perdarahan

terkontrol

mengurangikonsumsi

oksigen

(VO2)

dan

reperfusi,

untukmeningkatkan VO2 di atas baseline.Ketika durasi syokmemanjang fase hipermetabolik


tidak terjadi, menunjukkan syok menyebabkan gangguan metabolik intraseluler terhadapoksigen
dan pemanfaatan substrat yang tidak lagi responsif pada peningkatan pengiriman
oksigen.Fenomena ini dibuktikan dalam sebuah studi pasien trauma yang mendapatkan resusitasi
adekuat.Satu kelompok terjadi peningkatan konsentrasi laktat terus-menerus dan berkurangnya
konsumsi dan ekstraksi oksigen dibandingkan dengan kelompokasidosis dan defek ekstraksi
yang telah dikoreksi, tingkat kegagalan organ adalah 35% dibandingkan dengan 5%
(p<0,001),dan kematian adalah 50% dibandingkan dengan 9% (p<0,01).
Beberapa penelitian menunjukkan korelasi kuat antara terjadinya gangguan koagulasi dan
durasi hipotensi.Beberapa penelitian juga membuktikan bahwa hipoperfusidikaitkan dengan
koagulopati konsumtif danperdarahan mikrovaskular independen dari jumlah kehilangan
darah.Dalam satu studi asidosis diinduksi-syok lebih dari 150 menit menyebabkan perpanjangan
signifikandari PTT dan penurunan aktivitas faktor V.
Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) dan Acute Lung Injury (ALI)

ARDS merupakan gagal respirasi akut yang terjadi pada pasien dengan paru-paru sehat
setelah terpapar syok, trauma, sepsis, aspirasi, transfusi, atau inhalasi toksik.Pada ARDS terjadi
kerusakan membrane kapiler alveolar sehingga terjadi kebocoran cairan protein dari
intravsakular ke interstistial yang menyebabkan gambaran klinis disfungsi pulmonary sedang
sampai berat. ARDS ditandai dengan hipoksemia, penurunan compliance paru, dan penurunan
functional residual capacity (FRC)
Kriteria ARDS: PaO2/FiO2 < 200, gambaran infiltrat difus bilateral pada foto thorak.
Sedangkan kriteria ALI; PaO2/FiO2 < 300, dan ditemukan gambaran infiltrat difus bilateral pada
foto thoraks.
Manajemen ARDS yaitu dengan ventilasi mekanik yang bertujuan meminimalkan efek
pertukaran gas.Tetapi ventilasi mekanik juga terkait dengan trauma paru akibat volume alveolar
berlebih, barotraumas.Positive end-expiratory pressure (PEEP) digunakan untuk meningkatkan
oksigenasi pada FiO2 fixed. Penggunaan volume tidal rendah (6 ml/kg) pada pasien dengan
ARDS menurunkan mortalitas, barotrauma rendah.
Sepsis
Sepsis

pasca

operasi

dapat

terjadi

akibat

soilingperitoneal,intubasitrakea

lama,jalurintravaskular,danpneumonia pretrauma.Bacteremiasdapat diklasifikasikan menjadi


onset awal, terjadi dalam96jam setelahtrauma, danonset lambat, munculsetelah 96jam
setelahtrauma.Risiko onset-awalbakteremiameningkat dengan adanya kontusio paru,pneumonia
aspirasi,dan trauma abdomen skala besar.
RINGKASAN
Pengelolaan pasca operasi di ICU pada pasien trauma sangat menentukan hasil akhir
pasien, karena dengan pengelolaan yang baik di ICU tingkat survival pasien trauma menjadi
lebih tinggi.Pengelolaan pasien trauma di ICU terutama difokuskan pada pengelolaan hipotermi,
koagulopati, asidosis, sindrom kompartemen abdomen dan ARDS, hal ini karena faktor-faktor
tersebut merupakan penyebab utama kematian pada jam-jam pertama pasca trauma.
DAFTAR PUSTAKA
1. Gentiltllo LM, Pierson DJ. Trauma critical care. In: Am J Respir Crit Care Med Vol 163.
pp 604607, 2001

2. Rossaint et al. Management of bleeding following major trauma:an updated European


guideline. In: Critical Care 2010, 14:R52
3. Miller R.D. Anesthesia for Trauma. In: Millers Anesthesia 7th edition vol.2. 2010.
Elseiver: USA p.2306-2307
4. Smith C.E. Trauma Anesthesia. 2008. Cambridge Press: UK
5. Edwin AD, Saraswati DD. Intensive care unit management of the trauma patient.Crit
Care Med 2006 Vol. 34, No. 9

Você também pode gostar

  • PENGANTAR ARITMIA PERIOPERATIF
    PENGANTAR ARITMIA PERIOPERATIF
    Documento23 páginas
    PENGANTAR ARITMIA PERIOPERATIF
    Muhammad Arif Nur Syahid
    Ainda não há avaliações
  • PENGANTAR ARITMIA PERIOPERATIF
    PENGANTAR ARITMIA PERIOPERATIF
    Documento23 páginas
    PENGANTAR ARITMIA PERIOPERATIF
    Muhammad Arif Nur Syahid
    Ainda não há avaliações
  • Tugas ICU
    Tugas ICU
    Documento3 páginas
    Tugas ICU
    Muhammad Arif Nur Syahid
    Ainda não há avaliações
  • 14 5 6 PDF
    14 5 6 PDF
    Documento5 páginas
    14 5 6 PDF
    Muhammad Arif Nur Syahid
    Ainda não há avaliações
  • Tugas ICU
    Tugas ICU
    Documento3 páginas
    Tugas ICU
    Muhammad Arif Nur Syahid
    Ainda não há avaliações
  • Tugas ICU
    Tugas ICU
    Documento3 páginas
    Tugas ICU
    Muhammad Arif Nur Syahid
    Ainda não há avaliações
  • Pengelolaan Jalan Nafas
    Pengelolaan Jalan Nafas
    Documento27 páginas
    Pengelolaan Jalan Nafas
    Muhammad Arif Nur Syahid
    Ainda não há avaliações
  • SOAL TO OSCE Kumpulan
    SOAL TO OSCE Kumpulan
    Documento84 páginas
    SOAL TO OSCE Kumpulan
    Muhammad Arif Nur Syahid
    100% (1)
  • FARMAKOKINETIK
    FARMAKOKINETIK
    Documento17 páginas
    FARMAKOKINETIK
    Muhammad Arif Nur Syahid
    Ainda não há avaliações
  • Filsafat Ilmu
    Filsafat Ilmu
    Documento14 páginas
    Filsafat Ilmu
    Muhammad Arif Nur Syahid
    Ainda não há avaliações
  • Cara Penulisan RM
    Cara Penulisan RM
    Documento1 página
    Cara Penulisan RM
    Muhammad Arif Nur Syahid
    100% (3)
  • Acute Lung Oedema
    Acute Lung Oedema
    Documento22 páginas
    Acute Lung Oedema
    Muhammad Arif Nur Syahid
    Ainda não há avaliações
  • Farmakokinetik Final
    Farmakokinetik Final
    Documento31 páginas
    Farmakokinetik Final
    Muhammad Arif Nur Syahid
    Ainda não há avaliações
  • BLC Jan 2015
    BLC Jan 2015
    Documento22 páginas
    BLC Jan 2015
    Muhammad Arif Nur Syahid
    Ainda não há avaliações
  • Atresi Esopagus
    Atresi Esopagus
    Documento12 páginas
    Atresi Esopagus
    Muhammad Arif Nur Syahid
    Ainda não há avaliações
  • Cover CPD V
    Cover CPD V
    Documento1 página
    Cover CPD V
    Muhammad Arif Nur Syahid
    Ainda não há avaliações
  • Analgetik Opioid
    Analgetik Opioid
    Documento33 páginas
    Analgetik Opioid
    Muhammad Arif Nur Syahid
    Ainda não há avaliações
  • Analgetik Opioid
    Analgetik Opioid
    Documento33 páginas
    Analgetik Opioid
    Muhammad Arif Nur Syahid
    Ainda não há avaliações
  • Bedah Kosmetik Wajah dan Payudara
    Bedah Kosmetik Wajah dan Payudara
    Documento3 páginas
    Bedah Kosmetik Wajah dan Payudara
    Muhammad Arif Nur Syahid
    Ainda não há avaliações
  • Anlgesia Preemptive
    Anlgesia Preemptive
    Documento15 páginas
    Anlgesia Preemptive
    Muhammad Arif Nur Syahid
    Ainda não há avaliações
  • Filsafat Ilmu
    Filsafat Ilmu
    Documento14 páginas
    Filsafat Ilmu
    Muhammad Arif Nur Syahid
    Ainda não há avaliações
  • Kelebihan & Kekurangan Teknik Anestesi General, Regional
    Kelebihan & Kekurangan Teknik Anestesi General, Regional
    Documento9 páginas
    Kelebihan & Kekurangan Teknik Anestesi General, Regional
    Muhammad Arif Nur Syahid
    0% (1)
  • Anestesiologi UNDIP Semarang 2015
    Anestesiologi UNDIP Semarang 2015
    Documento13 páginas
    Anestesiologi UNDIP Semarang 2015
    Muhammad Arif Nur Syahid
    Ainda não há avaliações