Você está na página 1de 20

Nama Peserta

: dr. Sitti Monica Astrilia Ambon

Nama Wahana : RSUD Kecamatan Mandau


Topik : Appendicitis Akut
Tanggal (Kasus)
Nama Pasien

: 8 April 2016
: Tn. YS

No. RM : 08.72.26

Tanggal Persentasi :
Tempat Persentasi : RSUD Kecamatan Mandau

Nama Pendamping : dr. Henny Susiana

Obyektif Persentasi :
Keilmuan
Diagnostik
N Neonatus

Keterampilan
Manajemen
Bayi

Penyegaran

Tinjauan Pustaka

Masalah

Istimewa

Anak

Remaja

Dewasa

Lansia

Bumil

Deskripsi :
Seorang pasien laki-laki usia 26 tahun datang ke IGD RSUD Kec. Mandau dengan keluhan nyeri perut kanan bawah sejak 3 hari
SMRS. Nyeri seperti ditusuk-tusuk, dirasakan terus menerus dan semakin berat.. Batuk (+) berdahak, batuk sudah dikeluhkan sejak 3
hari yang lalu. Demam (+) sejak 1 hari yang lalu, timbul mendadak, hilang timbul. Keluhan mual, muntah dan mencret (-). Riwayat
tersedak (-). Pasien sekarang dapat ASI dan MPASI. Keluhan sesak sebelumnya (-).
Pasien lahir normal dg BBL 2,8 kg, lahir ditolong Sp.OG. riwayat imunisasi tidak lengkap. Keluhan batuk lama dan minum obat
6 bulan dalam keluarga (-). Penurunan berat badan (-), nafsu makan baik (-). Riwayat alergi (-), riwayat asma di keluarga (-).

Tujuan :
Bahan Bahasan :
Cara Membahas :
Data Pasien :

Tinjauan Pustaka
Diskusi

Riset

Kasus

Persentasi dan diskusi

Nama : By. AN

Nama Klinik : RSUD Kecamatan Mandau

Audit

Email

Pos

No. Registrasi : 06.48.29


Telp : -

Terdaftar Sejak : -

Data utama untuk bahan diskusi


1. Diagnosis/Gambaran Klinis :
Sesak nafas
Batuk (+) berdahak
Demam (+)
2. Riwayat Pengobatan :
Pasien sebelumnya berobat ke RS Thursina dan didiagnosa Bronkiolitis
3. Riwayat kesehatan/penyakit :
Tidak ada keluhan yang sama sebelumnya
4. Riwayat Keluarga :
Tidak ada anggota keluarga mengeluhkan hal yang sama
Riwayat asma di keluarga (-)
Riwayat minum Obat TBC di lingkungan keluarga (-)
5. Riwayat pekerjaan : 6. Kondisi lingkungan sosial dan fisik :
Pasien tinggal di kelurga dengan ekonomi menengah
Tempat tinggal bersih.
2

7. Lain lain : ( diberi contoh : Pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, sesuai dengan fasilitas wahana )
Pemeriksaan Fisik :
KU : Sakit sedang
Kesadaran : CM
BB: 6,9 kg
TTV : TD: - mmHg N : 126 x/menit
S : 37,9 0c
RR : 54 x/menit
Kepala : UUB cekung (-), normochepali
Mata : konjungtiva anemis (-/-) Sklera ikterik (-/-), RC (+/+), pupil isokor
Hidung: Nafas cuping hidung (-)
Mulut : sianosis (-)
Thorak : Retraksi substernal (+), gerakan dada simteris kiri dan kanan, ekspirasi memanjang.
Jantung`: BJ 1 dan 2 reguler normal, BJ tambahan (-), gallop (-), mur-mur (-).
Paru
: wh (+/+), rh (-/-)
Abd
: tampak datar, BU (+) DBN, supel (+), hepar dan lien tidak teraba.
Ekst
: akral hangat, CRT < 2, sianosis (-)

Pemeriksaan Penunjang:
Laboratorium:
Hb : 11,2 gr/dl
Leukosit : 8.660 /ul
o Basofil : 0
o Eosinofil : 0
o N. batang o N. segmen : 55
o Limfosit : 33
o Monosit : 12
3

Trombosit : 267.000/ul
Ht : 34,9%

Daftar Pustaka
1.
Subanada IB, Setyanto BD, Supriyatno B, Boediman I. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Bronkiolitis Akut. Sari
Pediatri, Vol. 10, No. 6, April 2009
2.
Verma N, Lodha R, Kabra SK. Recent Advances in Management of Bronchiolitis. Indian Pediatrics . Volume 50: October 15,
2013
3.
Huntzinger A. AAP Publishes Recommendations for the Diagnosis and Management of Bronchiolitis. Am Fam
Physician. 2007 Jan 15;75(2):265-267
4.
ymar K, Skjerven HO, Mikalsen IB. Acute bronchiolitis in infants, a review. Scandinavian Journal of Trauma, Resuscitation
and Emergency Medicine. 2014, 22:23
5.
Setiawati L, Asih R, Makmuri. Tatalaksana bronkiolitis. Divisi Respirologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Unair RSU Dr.
Soetomo Surabaya. September; 2005
6.
Namara PS, Smyth RL. The pathogenesis of respiratory syncytial virus disease in childhood. Br Med Bull (2002) 61 (1): 13-28
7.
Openshaw PJM, Tregoning JS. Immune responses and disease enhancement during respiratory syncytial virus infection. Clinical
microbiology reviews, july 2005, p. 541555
8.
Wagner T. Bronchiolitis pediatrics in review. American Academy of Pediatrics, 2009;30;386
9.
Brown KM, Mahajan P, Kuppermann N. Bronchiolitis clinical characteristics associated with hospitalization and length of stay.
Pediatry Emergency Care . 2012;28: 99-103.
10. Joseph M. Evidence-based assessment and management of acute bronchiolitis in the emergency department. Pediatric
emergency medicine practice. March 2011; vol 8, number 3
11. Steiner RWP. Treating Acute Bronchiolitis Associated with RSV. Am Fam Physician 2004;69:325-30
12. Leung AKC, Kellner JD, Davies D. Respiratory Syncytial Virus Bronchiolitis. J Nat Med Assoc. 2005;97:1708-1713

Subjektif

Seorang pasien bayi perempuan usia 7 bulan (rujukan dari RS. Thursina dengan diagnosa Bronkhiolitis) berobat ke IGD RSUD
Kec. Mandau dengan keluhan sesak nafas. Pasien tampak sesak sejak 1 hari SMRS. Batuk (+) berdahak, batuk sudah dikeluhkan sejak
3 hari yang lalu. Demam (+) sejak 1 hari yang lalu, timbul mendadak, hilang timbul.
Objektif
Pemeriksaan Fisik :
KU : Sakit sedang
Kesadaran : CM
BB: 6,9 kg
TTV : TD: - mmHg N : 126 x/menit
S : 37,9 0c RR : 54 x/menit
Thorak : Retraksi substernal (+), gerakan dada simteris kiri dan kanan, ekspirasi memanjang.
Paru
: wh (+/+), rh (-/-)
Pemeriksaan Penunjang:
Laboratorium:
Hb : 11,2 gr/dl
Leukosit : 8.660 /ul
o Basofil : 0
o Eosinofil : 0
o N. batang o N. segmen : 55
o Limfosit : 33
o Monosit : 12
Trombosit : 267.000/ul
Ht : 34,9%

Assesment
Bronkiolitis
5

DD/ Bronkopneumonia
Planning
Pasien dirawat
O2 1 L/i
IVFD D51/4 NS 20 TPM (mikro)
Inj. Novalgin 3 x 100 mg
Inj. Ceftriaxone 2 x 400 mg
Inj. Dexamethasone 3 x 2 mg
Nebu ventolin 1 ressfull + Nacl 0,9% 2 cc setiap 3 jam

TINJAUAN PUSTAKA

A.

Definisi
The American Academy of Pediatrics (AAP) mendefinisikan bronkiolitis sebagai peradangan akut,edema dan nekrosis sel epitel

yang melapisi saluran udara kecil, peningkatan produksi lendir, dan bronkospasme.2 Definisi lain yang banyak digunakan dalam
beberapa studi, bronkiolitis adalah episode wheezing pertama kali yang terjadi pada anak usia kurang dari 12 sampai 24 bulan yang
mana pada pemeriksaan fisik ditemukan infeksi virus pernapasan dan tidak berhubungan dengan wheezing seperti pada pneumonia
atau atopi.1,2
B.

Epidemiologi
Sekitar 20% anak mengalami bronkiolitis selama tahun pertama kehidupan, studi dari USA menemukan adanya peningkatan

kejadian bronkiolitis (188/1000 bayi pada tahun 1996/1997 menjadi 265 pada tahun 2002/2003). Studi Norwegia rata- rata angka
rawatan bronkiolitis RSV 21,7 per 1000 pada anak usia dibawah 12 bulan, dan studi besar di Inggris angka rawatan bayi dengan
bronkiolitis dibawah 12 bulan 24,2 per 1000. Bronkiolitis umumnya terjadi musiman, sering muncul sebagai epidemik selama musim
dingin. RSV memiliki pola musiman yang sama di dunia, dengan sebagian besar kasus terjadi Oktober hingga Mei pada dunia bagian
utara.4
Bronkiolitis adalah penyakit dengan morbiditas yang tinggi namun mortalitas rendah. Kematian akibat gagal napas bronkiolitis
jarang dan range untuk bronkiolitis RSV di Inggris 2,9, USA 5.3 kematian per 100.000 anak usia bawah 12 bulan. Perbedaan
mungkin disebabkan prosedur diagnostik serta kondisi sosial ekonomi. Sebuah studi dari Inggris menggarisbawahi bahwa tingkat
kematian bronkiolitis pada anak-anak dibawah 12 bulan rendah dan terjadi penurunan dari 21,5 menjadi 1,8 per100.000 anak (usia 1
sampai 12 bulan) dari tahun 1979 hingga 2000, yang mencerminkan perbaikan dalam perawatan intensif pediatrik.4
Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSU Dr. Soetomo Surabaya tahun 2002 dan 2003 didapatkan lebih dari 50% penderita bronkiolitis
berusia 6 bulan kebawah, kematian sekitar 2 per-100.000 bayi. Insidensi infeksi RSV sama pada laki- laki dan perempuan, namun
bronkiolitis berat lebih sering terjadi pada laki- laki. Faktor risiko terjadinya bronkiolitis adalah jenis kelamin laki- laki, status sosial
ekonomi rendah, jumlah anggota keluarga yang besar, perokok pasif, rendahnya antibodi maternal terhadap RSV dan bayi yang tidak
mendapat air susu ibu.5
7

C.

Etiologi
RSV adalah virus yang paling umum terlibat pada anak-anak dengan bronkiolitis sekitar 80%. Anak dibawah usia 12 bulan,

Rhinovirus (RV) adalah virus kedua yang paling umum sekitar 14-30%, bocavirus 14-15%, metapneumovirus 3-12%, entero, adeno,
korona dan virus influenza 1-8%. Infeksi ganda dilaporkan sekitar 20-30%, tetapi tampaknya tidak dikaitkan dengan peningkatan
keparahan.1,4

Gambar 1 Pewarnaan negatif mikrograp elektron RSV6


D.

Patofisiologi
RSV adalah RNA strain negatif nonsegmented pneumovirus dari famili Paramyxoviridae. Ini adalah yang paling penting

penyebab infeksi virus saluran pernapasan akut pada bayi. Infeksi virus biasanya menyebabkan respon T-helper tipe 1, ditandai dengan
tingginya produksi gamma interferon (IFN- ). Sebaliknya, asma dan atopi biasanya ditandai dengan respon tipe T-helper 2 yang
memproduksi IL-4 dan IL-5. Analisis bilas nasal dan sampel darah perifer dari anak-anak yang terinfeksi RSV menunjukkan
peningkatan rasio IL-4/ IFN-

pada bayi selama minggu pertama bronkiolitis akut dibandingkan dengan bayi dengan saluran

pernapasan atas saja.7


Infeksi sel epitel saluran napas oleh RSV dapat menginduksi pembentukan spesies oksigen reaktif (ROS), diukur oleh oksidasi
2,7 dichlorodihidrofluorescein diasetat (DCFH DA), yang terjebak intraseluler setelah pembelahan oleh esterase seluler. Infeksi RSV
8

jalan napas sel epitel juga menghasilkan aktivasi bagian dari faktor transkripsi, termasuk NF-kB, AP-1, IRF, dan protein STAT, yang
mengendalikan ekspresi berbagai proinflamasi atau mediator imunologi. Stres oksidatif yang disebabkan RSV kemungkinan akan
memainkan peranan penting dalam patogenesis penyakit radang paru-paru RSV terkait, yang berkorelasi dengan keparahan penyakit
klinis pada anak dengan infeksi RSV.7
Memodulasi produksi ROS dan stres oksidatif merupakan pendekatan yang potensial untuk memperbaiki peradangan yang
diinduksi RSV dan konsekuensi jangka panjang. Oksidan spesies berhubungan dengan gambaran patofisiologi penyakit saluran napas
seperti bronkokonstriksi, hipereaktifitas saluran napas, hipersekresi lendir, kerusakan epitel, dan kebocoran mikrovaskuler.7
E.

Diagnosis
Bronkiolitis harus didiagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Laboratorium atau radiologis tidak rutin dianjurkan

untuk mendukung diagnosis. Umumnya pasien datang dengan gejala saluran pernapasan atas. Temuan adanya gangguan saluran
pernapasan bawah meliputi batuk, takipnea, dan peningkatan usaha napas. Temuan fisik pada pemeriksaan inspeksi ditemukan adanya
hidung tersumbat, rinorea, batuk, takipnea, dan peningkatan upaya bernapas. Napas cuping hidung, grunting, dan retraksi interkostal,
supracostal, dan subkostal yang menunjukkan peningkatan upaya bernapas. Untuk menilai kegawatan dapat dipakai skor Respiratory
Distress Assessment Instrument (RDAI). Bila skor > 15 dimasukan kedalam kategori berat sedangkan skor < 3 dimasukan dalam
kategori ringan (tabel 1). 8,9

Obstruksi jalan napas atas dapat memberikan kontribusi yang signifikan peningkatan kerja pernapasan. Pengisapan hidung dan
reposisi dapat membantu mengurangi upaya pernapasan dan memungkinkan penilaian yang lebih akurat keterlibatan saluran napas
bagian bawah. Auskultasi dapat ditemukan beberapa variasi termasuk crackles, wheezing, dan kebisingan jalan napas atas. Bayi yang
sangat muda terutama mereka yang memiliki riwayat prematuritas, apnea sendiri merupakan tanda serta komplikasi bronkiolitis.
Gambaran klinis bronkiolitis dapat berkisar dari takipnea ringan sampai impending kegagalan pernafasan.8
Temuan fisik mencerminkan perkembangan penyakit. Peningkatan frekuensi napas sangat cepat dan sensitif untuk menilai
perubahan yang terjadi. Tingkat pernapasan, kerja pernapasan, dan hipoksia adalah paling klinis parameter penting dalam menentukan
tingkat keparahan penyakit dan harus dinilai secara rutin di semua pasien dengan bronkiolitis.8
Pasien mungkin mengalami takikardia karena dehidrasi dan variabilitas derajat hipoksemia. Saat ini, panduan sebagai parameter
tanda vital atau temuan fisik yang berkorelasi dengan hasil klinis masih sangat kurang, mungkin karena variabilitas yang tinggi pada
temuan fisik pasien yang terkena. Frekuensi pernapasan, upaya napas, dan hipoksia adalah parameter klinis penting dalam
menentukan tingkat keparahan penyakit dan harus dinilai secara rutin pada semua pasien dengan bronkiolitis. Takipneu didefinisikan
sebagai tingkat pernapasan lainnya dari 70 napas permenit, telah dikaitkan dengan peningkatan risiko untuk bronkiolitis parah dalam
beberapa studi. Pulse oksimetri adalah tanda penting kelima yang sangat berkorelasi dengan hasil keluaran bronkiolitis. Tabel 2
menunjukan sejumlah faktor risiko dan temuan klinis yang diusulkan untuk memprediksi bronkiolitis berat yang terjadi.8
Tabel 2 Prediktor bronkiolitis berat2
10

1. Anamnesis
Usia: < 6-12 minggu
Prematuritas: < 34-37 minggu gestasi
Adanya penyakit pernapasan yang mendasari sebelumnya
Congenital heart disease yang signifikan, defisiensi imun seperti
HIV, transplantasi organ atau sumsum tulang
2. Pemeriksaan fisik:
Panampilan umum
Level saturasi oksigen: < 94%
Respiratory rate: > 70 permenit atau lebih tinggi dari normal
sesuai dengan umur.
Peningkatan usaha napas: retraksi atau penggunaan otot napas
bantuan sedang hingga berat.
Rongent thorax tidak dianjurkan secara rutin untuk diagnosis. Pasien bronkiolitis sering memiliki gambaran radiografi normal.
Temuan umumnya meliputi hiperinflasi, atelektasis segmen, dan infiltrat (gambar 3). Temuan ini tidak berkorelasi dengan keparahan
penyakit dan bukan merupakan panduan pengobatan. Adanya temuan yang tidak normal terkadang dapat mendorong penggunaan
antibiotik yang tidak perlu untuk bronkiolitis virus.

11

Gambar 3 Rongent thorax bayi dengan bronkiolitis RSV, menunjukan hiperinflasi, atelektasis bilateral8
Tes laboratorium tidak secara rutin dilakukan dalam evaluasi bayi dan anak kecil yang diduga bronkiolitis. Kelainan total dan
diferensial jumlah sel darah putih tidak memprediksi infeksi serius bakteri pada bayi dan anak-anak dirawat di rumah sakit dengan
infeksi saluran pernapasan bawah karena RSV. Pengukuran konsentrasi laktat dehidrogenase (LDH) dalam cairan bilas hidung telah
diusulkan sebagai indikator tingkat keparahan bronkiolitis. Peningkatan nilai (sugestif respon antivirus yang kuat) telah terbukti
berhubungan dengan penurunan risiko rawat inap. Pengamatan ini membutuhkan validasi lebih lanjut sebelum pengukuran LDH bilas
hidung digunakan untuk membuat keputusan tentang rawat inap untuk anak-anak dengan bronkiolitis.2
Perjalanan klinis, pengobatan, dan hasil akhir bronkiolitis akut infeksi virus yang berbeda adalah sama. Oleh karena itu,
identifikasi agen virus tidak mempengaruhi manajemen pada sebagian besar pasien. Namun, di rumah sakit menentukan virus yang
bertanggung jawab dapat membantu untuk menghindari penggunaan antibiotik yang tidak perlu dan juga mencegah transmisi
nosokomial kepada pasien lain.2
Pemeriksaan penunjang yang tersedia untuk diagnosis etiologi termasuk deteksi antigen adalah imunofluoresensi, Polymerase
Chain Reaction (PCR), dan kultur sekresi yang diperoleh bilas hidung atau aspirasi hidung. Teknik baru seperti real-time polymerase
chain reaction (PCR), PCR bertingkat, dan multipleks PCR telah meningkatkan diagnosis bronkiolitis virus. Dalam sebuah penelitian
untuk mendeteksi RSV pada anak <2 tahun dengan penyakit saluran pernapasan akut menggunakan tiga teknik berbeda yaitu kultur
virus, imunofluoresensi langsung, dan PCR bertingkat, ditemukan bahwa PCR adalah teknik yang paling sensitif (11,1% positif),
diikuti oleh imunofluoresensi langsung (7,9% positif) dan kultur virus (6,3% positif).2
F.

Diagnosis banding
12

Batuk, takipnea, dan wheezing adalah gejala khas (yang terakhir merupakan presentasi yang menonjol dari akut bronkiolitis),
tetapi banyak penyakit penting yang harus dipertimbangkan ketika bayi dan anak-anak hadir dengan wheezing. Petunjuk dari
anamnesis dapat mengarahkan diagnosis meliputi riwayat keluarga, usia onset, pola wheezing, eksaserbasi musiman, dan waktu terjadi
yang mendadak. Hubungan wheezing dengan makan, batuk, penyakit saluran pernapasan, dan perubahan posisi juga dapat membantu.
Wheezing yang berhubungan dengan makan, batuk, dan muntah mungkin menunjukkan penyakit refluks gastroesophageal atau fistula
trakeoesofageal dan harus dievaluasi dengan monitoring pH 24 jam, menelan barium, atau keduanya. Ketika wheezing dikaitkan
dengan perubahan posisi, mungkin ada tracheomalasia atau anomali pembuluh darah besar yang dapat dinilai melalui angiografi,
bronkoskopi, radiografi dada, computed tomography (CT), atau magnetic resonance imaging (MRI). Fibrosis kistik atau
imundefisiensi dapat menyebabkan wheezing saat anak datang dengan beberapa penyakit saluran pernapasan dan gagal tumbuh.
Sehingga pengujian fungsi silia, level immunoglobulin perlu dilakukan. Murmur jantung, kardiomegali, sianosis tanpa distres
pernapasan, dan berkeringat terkait dengan makan mungkin menunjukkan penyakit jantung.10
Tabel 3 Diagnosis banding wheezing pada bayi dan anak10
Penyebab yang mengancam jiwa

Penyebab yang tidak mengancam jiwa

Infeksi

Anomali kongenital

- Pneumonia
- Klamidia
- pertusis
Benda asing

- fistulatrakeoesofageal,
- kista bronkogenik
- laringomalsia
GERD

Anomali jantung

Massa mediastinum

CHF
vascular ring

Fibrosis kistik

13

Reaksi alergi
Eksaserbasi masalah bronkopulmoner

Salah satu penyakit yang paling menantang untuk dibedakan dari bronkiolitis pada bayi dan anak-anak adalah asma. Perbedaan
bronkiolitis dengan asma sesuai (tabel 4)

Tabel 4 Perbedaan bronkiolitis dan asma10


Penyebab
Umur
Sesak berulang
Onset sesak
ISPA atas
Atopi keluarga
Alergi lain
Respon bronkodilator
Eosinofil

G.

Asma
Hiperaktivitas bronkus
>2 tahun
Ya
akut
+/Sering
Sering
Cepat
Meningkat

Bronkiolitis
Virus
6 bulan- 2 tahun
Tidak
insidious
Selalu +
Jarang
Lambat
Normal

Penatalaksanaan
Prinsip-prinsip manajemen dasar untuk bayi dirawat di rumah sakit dengan bronkiolitis adalah terapi oksigen, cairan untuk

mencegah dehidrasi, bantuan pernapasan, dan pendidikan orang tua. Keputusan untuk rawat inap anak dengan infeksi RSV sebagian

14

besar tergantung pada usia anak, tingkat keparahan klinis yang dinilai dari penyakit dan faktor risiko lainnya. Beberapa indikasi rawat
inap bronkiolitis:11
Usia kurang dari tiga bulan
Usia kehamilan saat lahir kurang dari 34 minggu
Penyakit kardiopulmoner atau imunodefisiensi
Frekuensi pernapasan lebih tinggi dari 70 napas permenit atau lebih tinggi sesuai usia
Penampilan lesu
Wheezing dan gangguan pernapasan yang terkait dengan oksigen
Saturasi di bawah 92% pada ruang udara
Hiperkarbia
Atelektasis atau konsolidasi pada radiografi dada
Sebuah laporan teknis yang diterbitkan oleh Agency for Health care Research and Quality (AHRQ) (tabel 5) meninjau
efektivitas agen untuk pengobatan bronkiolitis. 11
Tabel 5 Rekomendasi AHRQ dam penatalaksanaan Bronkiolitis RSV11

15

2.7.1 Administrasi cairan


Anak-anak dengan bronkiolitis berada pada peningkatan risiko dehidrasi karena kebutuhan mereka meningkat terkait dengan
demam, takipnea, serta berkurangnya penerimaan oral. Dokter harus hati-hati menilai hidrasi dan kemampuan untuk mengambil cairan
secara oral. Anak dehidrasi atau kesulitan dalam menyusui dikarenakan distres pernapasan lebih aman jika diberikan cairan intravena.
Untuk anak-anak yang bisa mentolerir makanan enteral dapat diberikan melalui NGT untuk mencegah dehidrasi. Pedoman
merekomendasikan

bayi harus menerima cukup cairan untuk mengembalikan kehilangan cairan dan menghindari dehidrasi,

jumlahnya tidak boleh lebih dari 100% kebutuhan cairan harian, dan biasanya diatur 100 ml/kg untuk bayi <10 kg. Bronkiolitis juga
pada peningkatan risiko retensi cairan karena berlebihan produksi hormon antidiuretik, sehingga output urine harus dimonitor.2,4
2.7.2 Pemberian oksigen
Oksigen harus diberikan dengan nasal kanul (2 liter/menit) atau headbox atau sungkup (minimum 4 liter/menit) jika saturasi
oksigen pasien secara konsisten turun di bawah 92 persen pada suhu ruangan. Transfer ke sebuah unit perawatan intensif untuk
ventilasi mekanis harus dipertimbangkan sebelum kriteria untuk kegagalan pernafasan terpenuhi: gas darah arteri dengan tekanan
parsial karbondioksida (PaCO2) pada atau di atas 55 mm Hg atau tekanan parsial oksigen (PaO2) dari 70 mm Hg atau kurang pada 60
mm Hg. Terapi oksigen dihentikan jika saturasi oksigen dengan pulse oximetry stabil diatas 94%. Untuk mengurangi beban kerja otot
inspirasi, mencegah atau menghilangkan atelektasis, dan mencegah kolapsnya saluran napas, Continous Positive Airway Pressure
(CPAP) bisa membantu dalam pengobatan bronkiolitis. Tekanan yang digunakan selama ventilasi dengan CPAP umumnya adalah
diatur

4-8 cm H2O, dan tekanan

5 cm H2O telah efisien dalam mengurangi PCO2. Baru-baru ini, sebuah studi prospektif

menunjukkan bahwa nasal CPAP 7 cm H2O adalah yang paling efisien dalam mengurangi gangguan pernapasan dan memperbaiki pola
pernapasan.2,4
16

2.7.3 Bronkodilator
Meta-analisis terbaru menunjukkan bahwa bronkodilator beta-2 agonis diantara pasien dengan Infeksi RSV tidak mengurangi
rawatan di rumah sakit dan tidak bermakna meningkatkan tingkat kejenuhan oksigen pasien. Bromida ipratropium (Atrovent) adalah
bronkodilator antikolinergik yang tidak terbukti berguna untuk RSV bronchiolitis. Evidence level A, meta-analisis di antara 321 bayi
dalam enam studi penelitian, tidak ada perbedaan yang signifikan lamanya rawatan di rumah sakit antara ipratropium bromida dan
plasebo, dan tidak ada perbedaan yang signifikan antara kombinasi nebulasi bromida ipratropium dan beta-2 agonis dibandingkan
dengan penggunaan beta-2 agonis secara tunggal. Kombinasi ipratropium bromida dan terapi beta-2 agonis tidak menunjukkan secara
signifikan meningkatkan skor klinis pada 24 jam pertama dibandingkan dengan plasebo.2,11
2.7.4 Kortikosteroid
Meskipun bukti manfaat kortikosteroid dalam pengobatan bronkiolitis adalah masih kurang. Diperkirakan hingga 60% dari bayi
yang dirawat di rumah sakit dengan penyakit ini menerima kortikosteroid. Beberapa studi membuktikan manfaat dari terapi
kortikosteroid. Namun penelitian penelitian oleh Cochrane Collaboration review pada 13 studi tentang penggunaan kortikosteroid
untuk bronkiolitis menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara kortikosteroid dan plasebo. Namun, studi lain telah
menunjukkan menguntungkan efek deksametason 0.15 mg/kg setiap 6 jam dalam 48 jam pada anak-anak ventilasi mekanik.
Selanjutnya, terapi dikombinasikan dengan epinefrin inhalasi dan dosis tinggi deksametason oral 1 mg/kg dan 0,6 mg/kg selama 5 hari
dapat mengurangi tingkat masuk rumah sakit. AAP tidak merekomendasikan penggunaan kortikosteroid pada bayi yang dirawat di
rumah sakit dengan RSV sedangkan AHRQ menyatakan studi lebih lanjut diperlukan untuk membuktikan manfaatnya. 2,4,10
2.7.5 Antibiotik
Infeksi bakteri serius secara bersamaan jarang terjadi pada bayi dan anak bronkiolitis RSV yang dirawat di rumah sakit. Sebuah
penelitian besar, ditemukan kurang dari 2 persen yang mengalami infeksi bakteri bersamaan. Studi lain menunjukan tidak ada
17

perbedaan yang signifikan lama perawatan di rumah sakit antara kasus RSV diobati dengan atau tanpa antibiotik. Secara empiris,
pengobatan antibiotik intravena spektrum luas adalah tidak perlu pada anak dengan bronkilitis RSV yang khas.11
2.7.6 Heliox
Heliox (campuran helium dan oksigen) dapat meningkatkan ventilasi alveolar karena mengalir dalam saluran udara dengan
turbulensi dan hambatan yang kurang. Hal ini dapat mengurangi upaya bernapas dan meningkatkan oksigenasi dalam penyakit
pernafasan dengan obstruksi jalan napas sedang hingga berat termasuk bronkiolitis akut. Sebuah meta-analisis dari empat uji klinis,
penggunaan heliox menunjukkan peningkatan skor distres pernapasan di jam pertama pada anak dengan bronkiolitis sedang hingga
parah.2
2.7.7 Antivirus
Ribavirin adalah analog nukleosida sintetis menyerupai guanosin yang bekerja dengan menghambat sintesis protein virus, dan
memiliki efek antivirus yang luas. Obat ini relatif mahal dan dapat menyebabkan beberapa efek teratogenik untuk petugas kesehatan
pemberian obat. Sebuah tinjauan sistematis 10 RCT (320 peserta) melaporkan tidak ada perbaikan hasil klinis dari bronkiolitis akut
setelah digunakan ribavirin. Ribavirin dapat dipertimbangkan pada bayi berisiko tinggi seperti immunocompromised dan pada bayi
membutuhkan ventilasi mekanis. AAP umumnya tidak merekomendasikan ribavirin untuk RSV infections sedangkan AHRQ
mengklasifikasikan ribavirin sebagai "probably ineffective."11
2.7.8 Saline Hipertonik
Aerosol saline hipertonik telah diusulkan sebagai modalitas terapi untuk bronkiolitis akut. Garam hipertonik dapat membalikkan
beberapa patofisiologi kelainan pada bronkiolitis akut dengan mengurangi edema epitel, mengubah elastisitas dan viskositas lendir
sehingga meningkatkan bersihan jalan nafas. Sebuah uji coba terkontrol secara acak, baru-baru ini melaporkan bahwa volume tinggi
saline normal sama efektifnya dengan 3% saline pada anak dengan bronkiolitis ringan. Inhalasi saline hipertonik mungkin dianggap
sebagai pengobatan yang potensial untuk bronkiolitis. Namun, ada beberapa pertanyaan yang belum terjawab terkait penggunaannya
termasuk volume yang optimal, konsentrasi garam, frekuensi administrasi dan perangkat yang efektif. Penggunaannya tidak dapat
direkomendasikan sampai dilakukan penelitian lebih lanjut.2

18

H.

Pencegahan
Bronkiolitis akut adalah infeksi yang menimbulkan beban keuangan pada masyarakat. Tidak ada terapi efektif yang dapat

meningkatkan hasil sehingga diperlukan pengembangan strategi pencegahan. Langkah- langkah pencegahan termasuk tindakan umum
dan langkah-langkah khusus (imunoprofilaksis).2
2.8.1 Tindakan umum
Tindakan keperawatan mencegah terjadinya infeksi nosokomial di rumah sakit dan unit perawatan intensif.2
2.8.2 Imunoprofilaksis
Imunoprofilaksis pasif menggunakan antibodi poliklonal atau monoklonal untuk bayi berisiko tinggi sebelum musim RSV telah
terbukti mengurangi tingkat masuk rumah sakit dengan bronkiolitis akut. Antibodi poliklonal yang mengandung IgG RSV disiapkan
dari pooled plasma. Dimasukan secara intravena sebelum musim RSV. Kerugian potensial terkait dengan antibodi poliklonal adalah
kebutuhan akses intravena, risiko infeksi melalui penularan darah, kemungkinan gangguan dengan respon antibodi untuk imunisasi
rutin khususnya vaksin hidup. Palivizumab adalah humanized murine monoclonal anti-F glycoprotein antibody. Palivizumab
memblok fusi virus ke sel epitel host. Hal ini mengurangi infeksi RSV terkait rawat inap pada bayi berisiko tinggi namun tidak
mengurangi tingkat kematian. Tahun 2006 the Committee on Infectious Disease (Red Book) melaporkan indikasi penggunaan
palivizumab, meliputi:
Anak usia kurang 24 bulan dengan penyakit paru-paru kronis yang mendapat terapi RSV dan bayi prematur.
Bayi yang lahir pada usia kehamilan 28 minggu, yang lebih muda dari usia 12 bulan pada awal musim RSV.
Bayi yang lahir pada 29-32 minggu kehamilan, yang lebih muda dari usia 6 bulan pada awal musim RSV.
Bayi yang lahir antara 32 dan 35 minggu kehamilan, yang lebih muda dari usia 6 bulan pada awal musim RSV dan memiliki 2
atau lebih faktor risiko seperti berada di tempat penitipan anak, adanya saudara usia sekolah, paparan polusi udara, kelainan
-

bawaan saluran napas, atau penyakit neuromuskular berat.


Anak usia 24 bulan atau lebih muda dengan penyakit jantung bawaan sianosis dan asianotik termasuk bayi yang menerima obat
untuk gagal jantung kongestif, dan bayi hipertensi pulmonal sedang hingga berat.
Palivizumab diberikan intramuskuler dengan dosis 15 mg/kg setiap bulan selama musim RSV. Maksimal 5 dosis umumnya

cukup memberikan efek profilaksis selama satu musim. Palivizumab bisa diberikan dengan imunisasi rutin karena tidak mengganggu
respon kekebalan terhadap vaksin. Palivizumab tidak peningkatan risiko efek samping lokal atau sistemik.2
19

I.

Prognosis
Sebagian besar bayi yang mengalami bronkiolitis sembuh tanpa gejala sisa, meskipun sebagian berkembang menjadi episode

mengi berulang, terutama pada infeksi virus berikutnya. Sekitar 40% bayi didiagnosis dengan bronkiolitis memiliki episode mengi
dalam 5 tahun, 10% memiliki episode mengi berikutnya setelah 5 tahun. Saat ini, hubungan antara diagnosis bronkiolitis pada bayi
dan mengi belum begitu jelas.12
Teori sebelumnya menyatakan bronkiolitis di usia dini mungkin berkontribusi terhadap mengi berulang dan peningkatan
reaktivitas saluran napas di kemudian hari. Sebagai interaksi yang kompleks dari perkembangan sistem kekebalan tubuh, predisposisi
genetik atopi, dan agen infeksi yang nyata. Teori yang lebih baru menyatakan bahwa pasien yang berkembang menjadi mengi setelah
bronkiolitis mungkin memiliki kecenderungan yang mendasari untuk infeksi RSV yang sesungguhnya dan episode mengi berulang.
Panduan antisipatif mengenai episode mengi berulang harus didasarkan pada kejadian mengi paska bronkiolitis dan faktor risiko
independen lainnya seperti disposisi familial atopik.12

20

Você também pode gostar