Você está na página 1de 4

ABORSI dan KONTRASEPSI

Saya punya teman yang mengeluhkan keluarganya. Beberapa kali dia


mengugurkan kandungannya, karena suaminya tak cukup dana untuk anak-anak
selanjutnya (saat ini jumlah anaknya 3 orang). Pernah dibicarakan tentang KB,
tapi suaminya tidak setuju alasannya tidak sesuai dengan kaidah Islam. Sering
terjadi pertengkaran diantara mereka, dan teman saya ini berfikir untuk pisah /
cerai saja. Karena permasalahannya dilematis. Yang saya ingin tanyakan
bagaimana dengan aborsi dan kontrasepsi dalam pandangan Islam? (RosianaJakarta Selatan)
Jawaban
Pertama: Kontrasepsi sebagai bentuk upaya pencegahan kehamilan merupakan
salah satu esensi masalah Keluarga Berencana (KB) yang secara resmi dipakai
oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Istilah KB ini
mempunyai arti yang sama dengan istilah yang umum dipakai di dunia
internasional. misalnya family planning atau planned parenthood, yang dipakai
oleh International Planned Parenthood Federation (IPPF), sebuah organisasi KB
internasional yang berpusat di London. KB dapat bermakna tandzim An-Nasl
(pengaturan keturunan/kelahiran) maupun tahdid An-Nasl (pembatasan
kelahiran). Dalam pengertian family planning atau planned parenthood KB berarti
pasangan suami istri telah mempunyai rencana yang konkrit mengenai kapan
anaknya diharapkan lahir agar setiap anaknya lahir disambut dengan gembira
dan syukur sesuai dengan kemampuan dan kondisi mereka. Jadi, KB difokuskan
pada perencanaan, pengaturan dan pertanggung jawaban orang terhadap
anggota keluarganya. Sedangkan istilah birth control (pembatasan/penghapusan
kelahiran) mempunyai konotasi yang negatif. Para ulama pun sepakat untuk
mengharamkannya bila dilakukan bukan dengan alasan medis yang dapat
dipertanggungjawabkan. Cakupan pengharamannya meliputi kontrasepsi mantap
dengan sterilisasi pria (vasektomi) maupun sterilisasi wanita (tubektomi). Karena
terilisasi bisa mengakibatkan kemandulan permanen dengan kemajuan teknologi
keberhasilan sterilisasi telah mencapai 99% dan ini adalah pengingkaran fungsi
.reproduksi dan sebuah tindakan mengubah kodrat ciptaan Allah
Bentuk lain yang juga dilarang adalah pembatasan kelahiran yang menggunakan
cara aborsi dan penundaan kawin sampai usia lanjut. Fatwa tersebut ada di hasil
musyawarah Ulama Terbatas tahun 1972 dan Munas MUI tahun 1983. Tapi fatwa
itu juga memuat pengecualian, jika dalam keadaan sangat terpaksa
dibolehkan,misalnya untuk menghindari menurunnya dari orang tua ke anak
yang bakal lahir atau terancamnya jiwa ibu bila mengandung atau melahirkan
lagi. Padahal secara prinsip Nabi menganjurkan kita untuk mempunyai banyak
anak, karena anak banyak mengandung makna dan tujuan berupa kekuatan,
pengaruh dan ketahanan umat. Sabda Nabi: Kawinilah wanita-wanita subur yang
penuh kasih sayang, karena aku nanti bangga akan banyaknya kamu atas umatumat yang lain.(HR.Abu Dawud, Al-Hakim, Ahmad, Al-Baihaqi dengan bervariasi
redaksinya). Tapi Nabi mensyaratkan adanya sarana dan kemampuan
menanggung biaya perkawinan, pendidikan dan perawatan anak-anak sehingga
.mereka tidak menjadi jahat, dan mengembangkan perilaku anti sosial
Menurut hukum Islam, (hukum berubah sejalan dengan perubahan kondisi dan
sebab hukum) perkawinan harus dilarang jika calon suami tidak mampu untuk
mencukupi keperluan kehidupan perkawinan (An-Nur:33). Hadits menyatakan:
Wahai orang-orang muda, barang siapa diantara kalian yang telah mampu dalam
nafkah kawinlah. Dan barang siapa yang tidak mampu hendaklah berpuasa,
karena berpuasa itu perisai untuknya. (HR. Bukhari dan Muslim)
Islam adalah ajaran hidup yang mengkombinasikan secara harmonis (tawazun
takamuli) semua aspek kemanusiaan baik spiritual, material termasuk ekonomi

maupun kesehatan. Ajaran Islam tidak bertentangan dengan ilmu kedokteran


khususnya yang terkait dengan hukum kesehatan. Al-Quran sendiri sangat
memperhatikan kesehatan dan kesejahteraan fisik keluarga (QS. Al-Baqarah:233)
Di dalam Al Quran dan Hadits tidak ada nash yang sharih (clear statement) yang
melarang ataupun yang memerintahkan ber-KB secara eksplisit. Karena itu,
hukum ber-KB harus dikembalikan kepada kaidah hukum Islam (qaidah fiqhiyah)
yang menyatakan: Pada dasarnya segala sesuatu itu boleh, kecuali/sehingga ada
dalil yang menunjukkan keharamannya. Selain itu beberapa ayat Al Quran dan
Hadits Nabi yang memberikan indikasi bahwa pada dasarnya Islam membolehkan
orang Islam ber-KB. Bahkan kadang-kadang hukum ber-KB itu bisa berubah dari
mubah (boleh) menjadi sunnah, wajib makruh atau haram, seperti halnya hukum
perkawinan bagi orang Islam, yang hukum asalnya juga mubah. Hukum mubah itu
bisa berubah sesuai dengan situasi dan kondisi individu Muslim yang
bersangkutan, selain juga memperhatikan perubahan zaman, tempat dan
keadaan masyarakat. Hal ini sesuai dengan kaidah hukum Islam yang berbunyi:
Hukum-hukum itu bisa berubah sesuai dengan perubahan zaman, tempat dan
keadaan. Adapun ayat-ayat Al Quran yang memberi landasan hukum bagi KB
dalam pengertian tandzim nasl (pengaturan kelahiran), antara lain QS.An-Nisa:9,
Al Baqarah: 233, Luqman:14, dan Al-Ahqaf:15. Ayat-ayat di atas memberi
petunjuk bahwa kita perlu memperhatikan keseimbangan antara mengusahkan
:keturunan dengan
a. Terpeliharanya kesehatan ibu dan anak, terjaminnya keselamatan jiwa ibu
karena beban jasmani dan rohani selama hamil, melahirkan, menyusui dan
memelihara anak serta timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan dalam keluarga.
(hifdzu nafs)
b. Terpeliharanya kesehatan jiwa, kesehatan jasmani dan rohani anak serta
tersedianya pendidikan dan perawatan yang baik bagi anak. (hifdzu nasab)
c. Terjaminnya keselamatan agama (hifdzu din) orang tua yang dibebani
.kewajiban mencukupi kebutuhan hidup keluarganya
:Berhubung dengan hal-hal tersebut di atas , maka dapat kita pahami bahwa
a. Seorang ayah sebagai kepala keluarga wajib bertanggung jawab atas
.kesejahteraan anak dan istrinya
b. Seorang ibu tidak dibenarkan menderita karena anaknya, demikian pula
ayahnya dan ahli warisnya
c. Lama penderitaan seorang ibu setelah melahirkan adalah, menurut surat Al
.Baqarah ayat 234, Luqman ayat 14, dan Al-Ahqaf:15, lamanya 30 bulan
d. Sesuai dengan ilmu kesehatan, bahwa selama menyusui, seorang ibu tidak
mengalami menstruasi. Artinya, selama 2 tahun menyusui ia tidak dapat hamil.
Dengan demikian dapat diambil pengertian hendaknya jarak antara dua
kehamilan/kelahiran minimal selama 30 bulan hingga 2.5 tahun dan bisa
dibulatkan menjadi 3 tahun. Jarak itu memang diperlukan oleh seorang ibu untuk
.merehabilitasi (memperbaiki) tubuhnya yang berubah akibat hamil dan menyusui
e. Dalam surat Al Baqarah ayat 234 dijelaskan perlunya musyawarah antara
suami istri dan adanya persetujuan dari keduanya jika ingin menyapih anaknya
lebih cepat. Artinya, untuk pengaturan kehamilan itu mutlak diperlukan
.musyawarah antara suami istri
Adapun landasan hukum KB individual adalah praktek azl atau coitus interuptus
yang pernah dilakukan para sahabat di zaman Nabi. Dalam sebuah riwayat
dikatakan, Kami melakukan azal (coitus interuptus) di masa Rasulullah pada
waktu ayat-ayat Al Quran masih diturunkan dan tak ada satu ayatpun yang
melarangnya.(HR Bukhari dan Muslim) dan menurut lafal Muslim, Kami
melakukan azal di masa Rasulullah dan hal ini diketahui oleh Nabi dan Nabi tidak
.melarangnya
Persoalan KB dan kontrasepsi mengandung tiga aspek: berkenaan dengan
prakteknya, berkenaan dengan obat-obatan dan alat-alat kontrasepsinya dan
berkenaan dengan orang-orang yang menaruh alat-alat itu. Karena persoalan ini
ada hubungannya dengan kemaluan atau al-aurat mughallazhah, dan dunia medis

maka lebih memantapkan penentuan hukum, perlu dibahas semua poin


pertanyaan tersebut. Obat dan alat pencegah kehamilan sangat beragam, banyak
dan semakin berkembang. Diantaranya, kondom, pil anti konseptis (lyndiol,
engenal), spiral (benang plastik) yang dimasukkan ke dalam rongga rahim, cincin
pipa dan sebagainya. Tetapi Islam memberi ketentuan umum, yaitu kemestian
.berobat dengan alat dan cara yang halal dan tidak berbahaya
IUD (alat spiral) mengandung resiko cukup tinggi seperti infeksi, pendarahan,
radang panggul dan nyeri haidh. Karena itu fatwa Musyawarah Ulama Terbatas
mengenai KB tanggal 26-29 tahun 1972 memutuskan: pemakaian IUD dan
sejenisnya tidak dapat dibenarkan, selama masih ada cara/obat lain. Karena
untuk pemasangannya /pengontrolannya harus melihat aurat besar (mugalazhah)
wanita hal mana diharamkan oleh syariat Islam. Kecuali, dalam keadaan yang
.sangat terpaksa (darurat)
Sabda Rasulullah: sesungguhnya Allah telah menjadikan bagi setiap penyakit itu
obatnya, maka hendaklah kamu berobat dan janganlah kamu berobat dengan
obat yang haram. (HR.Abu Dawud). Allah berfirman; dan janganlah kamu
menjatuhkan dirimu pada kebinasaan dan perbaiki (urusanmu), karena
sesungguhnya Allah kasih pada orang-orang yang memperbaiki urusannya. (AlBaqoroh:195). Sabda beliau yang dijadikan kaidah fiqih, tidak dibolehkan
melakukan sesuatu yang membahayakan (dharar) diri sendiri dan orang lain
(dhirar). (HR. Ibnu Majah dan Ahmad). Dalam persoalan yang terkait dengan
aurat mughalazhah, perlu diketahui ada perbedaan hukum antara kemaluan dan
aurat lain. Bahwa seluruh badan seorang wanita dianggap aurat bagi orang lakilaki selain mahram dan suaminya. Begitu juga seluruh tubuh laki-laki terhadap
perempuan selain mahram dan istrinya. Tetapi kemaluan yang disebut aurat
mughallazhah itu haram dilihat oleh siapa saja kecuali oleh suami atau
istri.Rasulullah bersabda:peliharalah auratmu kecuali dari istri dan seorang
perempuan sahayamu. (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, janganlah seorang laki-laki
melihat kemaluan seorang laki-laki lain dan janganlah seorang perempuan
,melihat kemaluan seorang perempuan lain. HR.Muslim
Allah melaknat orang yang melihat aurat orang lain dan orang yang
.memperlihatkan auratnya
Hukum sesuatu yang haram mungkin berubah menurut kondisi dan situasi,
dibolehkan pada keadaan terpaksa (idhtiraar) atau keperluan (hajat) bila hukum
haramnya merupakan hukum tambahan. Muharram lighairihi - lissadidz-dzariah
bukan hukum pokok (muharram lidzaatih). Kaidah hukum ini digunakan oleh para
ulama Islam. Seperti melihat wajah seorang wanita untuk penyaksian,
perdagangan dan sebagainya, atau melihat aurat atau kemaluannya dalam
keadaan sukar melahirkan usrul wiladah, sama dengan bangkai boleh dimakan
dalam keadaan memaksa (idhtiraar). Jadi kaidah hukum itu sudah berlaku. Tetapi
Imam Nawawi berpendapat dalam kitabnya al-Majmu syahrul Muhadzab bahwa
kebutuhan melihat kemaluan seseorang harus dibatasi sekadar hajatnya, seperti
hajat berobat atau hajat khitan. Begitu pula hukumnya bila menaruh alat dalam
rahim yang memerlukannya. Maka sehubungan dengan hukum pengobatan, perlu
juga diketahui bahwa diharuskan bagi seorang pasien berobat pada dokter
sejenisnya bersama suami atau mahramnya, atau wanita yang menyertainya bila
.berobat pada seorang dokter pria
Islam dapat membenarkan cara azl atau cara lain. Asal, tidak didemonstrasikan
dan digalakkan secara nasional apalagi pemaksaan hingga dilakukan oleh semua
orang, baik yang memerlukan maupun yang tidak. Seorang suami dalam
melakukan azl harus mendapat persetujuan secara tulus dari istrinya. Karena
diapun berhak dalam soal keturunan serta dalam masalah kepuasan batin.
(Musyawarah dan saling ridha, QS. Al-Baqarah:233). Begitu pula sebaliknya. (Lihat
keputusan fatwa Mutamar Buhuts Islamiyah II tahun 1385H di Kairo, keputusan
fatwa Haiah Kibar Ulama Arab Saudi nomor 42 tahun 1396H, fatwa Mutamar VI
.majlis TAsisi Rabithah Alam Islami)
Pendeknya ketentuan syariah mengenai KB dalam pengertian pengaturan
kehamilan sangat kasuistik dan kondisional, tergantung keadaan suami dan istri.

Hal inilah yang ditekankan Imam Hasan al-Banna dengan mengajukan beberapa
pertanyaan yang harus dijawab para peminat KB sebagai bentuk pengambilan
rukhsah (keringanan dari hukum prinsip/azimah) sebelum melaksanannya agar
tidak terjerumus kepada hawa nafsu dan madharat. Diantaranya: Masih adakah
daya dukung untuk memperbanyak keturunan? Sudahkan diusahakan dan
diberdayakan secara optimal? Apakah keputusan ber-KB telah dipertimbangkan
secara syarI? Dan apakah kita yakin betul bahwa banyaknya anak merupakan
?penyebab kesengsaraan sosial kita
Apakah masih mungkin menggunakan pilihan dan terapi lain yang lebih baik?
Apakah kita yakin bahwa KB ini tidak menimbulkan madharat yang lebih besar?
Apakah telah diambil tindakan preventif untuk mencegah dampak negatifnya?
Apakah kondisinya betul-betul darurat sehingga membolehkan pengambilan
rukhsah? Dan apakah tindakannya nanti sekedar dalam batas darurat, kebutuhan
atau terlenakan dari fungsi dan tujuan asasi? Karena itu, menurut pernyataan
Imam al-Banna dalam harian Ikhwanul Muslimun edisi 18 Dzulqadah 1325
sebagaimana yang dikutip Dr. Yusuf Al-Qardhawi dalam Al-Fatwa bainal Indhibath
wat Tasayyub, hal. 37, keringanan (rukhsah) untuk KB yang diberikan Islam
adalah karena pertimbangan dan kondisi tertentu. Kondisi khusus tidak boleh
dipukul rata dan tidak benar menggalakkan umat untuk melakukannya, melainkan
hal itu harus mengacu kepada kriteria yang bersifat kasuistik kondisional
individual. (Ath-Thuraiqi dalam Tandzim an-nasl wa mauqifusy syariah islamiyah
minhu). Dalam hal tidak terjadi kesepakatan mengenai pelaksanaan kontrasepsi
temporer dan bukan kontrasepsi permanen dengan alasan yang syari maka
sebaiknya dimusyawarahkan dan saling pengertian. Hendaklah tidak dilakukan
sepihak ataupun secara diam-diam agar tidak menyakiti hati dan perasaan
pasangannya. Namun bila terjadi praktek kezaliman (ketidakadilan) perlakuan
serta menyengsaraan hidup terutama kaum ibu maka dalam hal ini para istri
dapat mengambil hak reproduksinya artinya mencegah kehamilan untuk
sementara sampai memungkinkan kondisinya demi menjaga dan memelihara
kemaslahatan hidupnya meskipun tanpa izin dan sepeengetahuan suami.
Bukankah diantara hak istri dari kewajibannya mengandung dan melahirkan anak
adalah mendapatkan kesejahteraan lahir dan batin serta tercukupinya kebutuhan
?materi dan spiritual secara lazim seagai bentuk tangung jawab qiwamah suami
Kedua : Masalah hukum Aborsi (pengguguran kandungan) dalam kondisi normal,
pada dasarnya dilarang dalam syariah Islam, karena bertentangan dengan prinsip
kemanusiaan, norma sosial dan risalah agama untuk menghargai hak hidup setiap
makhluk dan untuk memperbanyak keturunan yaitu terhitung semenjak
bertemunya sel sperma laki-laki dengan sel telur perempuan yang menghasilkan
makhluk baru dalam rahim seorang ibu. Makhluk baru ini harus dihormati,
meskipun ia hasil dari hubungan yang haram sekalipun seperti zina. Pendapat ini
merupakan pendapat mayoritas ulama (jumhur). Hal itu berdasarkan pada hadits
dimana Rasulullah saw memerintahkan kepada seorang wanita dari suku
Ghamidiyah yang mengaku berzina dan memohon beliau untuk mensucikannya
dengan hukuman rajam, agar menunggu sampai melahirkan anaknya, kemudian
setelah itu ia disuruh menunggu sampai anaknya sudah tidak menyusu lagi baru
.kemudian dijatuhi hukuman rajam

Você também pode gostar