Você está na página 1de 19

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 BATASAN
HIV/AIDS merupakan gejala penyakit yang disebabkan oleh Human
Immunodeficiency Virus (HIV). HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah
salah satu jenis virus (Fam. Retroviridae, subfam. Lentivirinae) yang
menyerang sel darah putih/kekebalan (CD4) dan mampu berkembang biak
cepat hingga membunuh sel CD4. Virus tersebut merusak sistem kekebalan
tubuh manusia dan mengakibatkan turunnya atau hilangnya daya tahan tubuh
sehingga mudah terjangkit penyakit infeksi. HIV dapat menular kepada orang
lain melalui hubungan seksual (anal, oral, vaginal) dengan orang yang
terinfeksi HIV, jarum suntik/ tindik/ tato yang tidak steril dan yang dipakai
oleh penderita HIV, ibu penderita HIV positif kepada bayinya ketika dalam
kandungan, saat melahirkan atau melalui ASI (DepKes RI, 2006).

Gambar 1.1 Struktur HIV


Morfologi virus HIV (Gambar 1.1) terdiri dari membran luar berupa
lemak, protein matrik p17 (Protein membran dalam), dan protein dalam p24
(kapsid atau protein inti). Pada membran lemak terdapat glikoprotein (gp260)
yang terdiri dari 2 subunit, yaitu gp120 yang memiliki afinitas tinggi terhadap
reseptor CD4 sehingga bertanggung jawab pada permulaan ikatan dengan sel
dan gp41 bertanggung jawab terhadap internalisasi (adsorpsi). Di dalam
kapsid terdapat RNA dan enzim reverse transcriptase yang bertanggung jawab
untuk mengubah RNA menjadi DNA (Nadler et al, 2006).

45

1.2 ETIOLOGI
HIV merupakan suatu kondisi medis yang kronis yang kompleks dimana
bila tidak diobati akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Pasien
mempunyai resiko tinggi terserang HIV yaitu apabila (SOGC, 2006) :
1. Berbagi jarum suntik atau komponen lain selama penggunaan obat
intravena
2. Melakukan hubungan sexual dengan berganti-ganti pasangan tanpa
menggunakan pengaman
3. Melakukan hubungan sexual dengan pasien yang sudah diketahui
menderita HIV tanpa menggunakan pengaman
4. Melakukan hubungan sexual dengan pasien yang berada pada daerah
endemik HIV tanpa menggunakan pengaman
5. Melakukan hubungan sexual dengan individu yang beresiko terkena HIV
tanpa menggunakan pengaman
Selain hal tersebut di atas, HIV juga dapat ditularkan melalui penggunaan
narkoba dengan berbagi jarum suntik, atau dapat juga ditularkan dari ibu
kepada anaknya melalui transfusi darah serta menyusui (ROCG, 2010).
1.3 PATOFISIOLOGI
Ketika seseorang terkena infeksi virus HIV dan virus tersebut telah berada
masuk kedalam tubuh manusia, maka protein gp120 yang terdapat pada
permukaan sel HIV akan berikatan dengan reseptor CD4 yang terdapat pada
permukaan sel T-helper, monosit, makrofag dan sel dendritik. Selanjutnya
akan terjadi proses internalisasi (adanya fusi dan aborsi) virus ke dalam sel
melalui gp41, pada proses ini ketika virus menembus sel tubuh manusia (host)
maka komponen dalam virus akan dikosongkan dan terjadi fusi/ menyatu
dengan komponen sel manusia. Pada proses penyatuan ini, DNA virus dan
DNA sel akan disatukan oleh enzim integrase dan terjadi proses transkripsi.
Pada proses transkripsi, RNA (ssRNA) akan ditranskrip menjadi DNA agar
dapat terjadi proses replikasi dalam sel manusia (Nadler et al, 2006).
Replikasi dari HIV akan mnyebabkan polimerase DNA induk
menstranskrip proviral DNA kepada messenger RNA (mRna). mRna HIV
akan keluar dari inti sel dan mengalami translasi untuk menghasilkan
polipeptida. Polipeptida ini kemudian akan dipecah oleh enzim protease untuk
menghasilkan protein fungsional agar menjadi virus yang sempurna. Setelah
terjadi proses replikasi virus maka virus yang belum matang mendesak keluar

46

ke dalam sel diikuti oleh beberapa selaput sel. Enzim protease disini mulai
bekerja untuk mengelola protein dalam virus yang baru terbentuk. Setelah
virus yang belum matang tadi siap maka virus ini akan melepaskan diri dari
sel yang terinfeksi. Ketika virus menjadi matang maka rantai protein pada
bibit virus baru akan diopotong oleh enzim protease menjadi protein tunggal.
Protein ini selanjutnya akan menggabung menjadi virus yang siap bekerja
(Nadler et al, 2006; Casabar, 2006).

47

Gambar 1.2 Patofisiologi Infeksi Virus (Sielbernagl, et al., 2000)

48

1.4 MANIFESTASI KLINIK


Manifestasi klinis dari infeksi HIV primer bervariasi, namun pasien sering
mengalami viral syndrome atau penyakit mononukleosis seperti demam,
faringitis, dan adenopati. Untuk klasifikasi HIV berdasarkan jumlah sel CD4
dapat dilihat pada Tabel 1.1 (Dipiro, et al., 2009). Sementara itu, untuk
melihat gambaran klinis dari HIV primer pada pasien dewasa dapat dilihat
pada Tabel 1.2 (Dipiro, et al., 2009).
Tabel 1.1 Centers for Disease Control and Prevention 1993 Revised
Classification System for HIV Infection
in Adults and AIDS Surveillance Case Definition

Tabel 1.2 Clinical Presentation of Primary HIV Infection in Adults

1.5 STADIUM HIV

49

Penentuan stadium klinis HIV pada remaja dan dewasa dapat dilihat pada
Tabel 1.3 (NACO, 2007).
Tabel 1.3 WHO clinical staging of HIV/AIDS for adults and adolescents

BAB II
PROFIL PENDERITA

50

2.1 RIWAYAT PENYAKIT


Nama penderita
: Ny. AN
No. DMK
: 12.13.xx.xx
Umur/ BB/TB
: 30 th/ 69 Kg/ Alamat
: Mojokerto
Alasan MRS
: Kiriman dari SpOG Mojokerto
MRS
: 04-04-2012
KRS
: 09-04-2012
Diagnosa
:
Tanggal 4 April 2012 : G4P2-12 38/39 mg TH + HIV +TBJ 2700
Tanggal 5 April 2012 : P3-13 Post SC + MOW + HIV + HD baik
Riwayat Penyakit :
Tahun 199-2010
: Infeksi paru-paru
4 bulan SMRS, pasien sering sakit-sakitan
Riwayat Alergi
: Tidak ada
Riwayat Berkeluarga
:
Pasien menikah 2x. Suami pertama, pernah MRS di RS Sumber Glagah
Pacet dan SMRS selama 12 hari, kemudian meninggal dengan diagnosa
infeksi paru dan steven johnson syndrome+ stomatitis. Pernikahan ke dua

dilakukan pada tahun 2011.


Life Style : suami merokok (+)

2.2 DATA KLINIK


Data

Nilai
4/4

Tanggal (April 2012)


5/4
6/4
7/4
8/5

Klinik
TD

Normal

9/4

110/

120/

120/

110/

110/

110/

70

70

80

70

70

70

60-80x

82

88

82

84

88

88

o
370,5 C

37

36,7

20x

20

20

120/80
Nadi
Suhu

37,8

RR
20

20

18

18

CD4
410
2.3 DATA LABORATORIUM

51

Data Laboratorium

o
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18

GDP
AST
ALT
Creatinin
BUN
Albumin
Cl
K
Na
WBC
RBC
Hb
HCT
MCV
MCH
MCHC
LED
PLT

Normal

Tanggal (2012)
4/4

<120 mg/dl
< 38U/L
< 41 U/L
< 1,25 mg/dl
10-20 mg/dl
3,8-4,4 mg/dl
97-193 mmol/L
3,8-5,0 mmol/L
136-144 mmol/L
4,7-11,3x103/mm3
4,0-5,0x106/L
11,4-15,1 g/dl
38-42%
80,0-99,9 mm3
27-31 pg
33-37 g/dl
< 20
150-450x103/mm3

68
12
16
0,7
13
4,0
99
3,2
140
7,0
2,67
9,2
27,8
104,1
32,6
39,1
27
220

2.4 DATA PENDUKUNG LAIN


No
1

Tanggal
-

Keterangan
Riwayat Persalinan :
1. 9 bln/ SptB/BPS/Laki-lai/3400/13th
2. 9 bln/Sptb/BPS/Laki-laki/2900/5th
3. 3bln/abortus/kuret (+)/ 2011 Januari
4. Hamil sekarang
Haid terakhir : 1-7-2011
Menarche

: 14 th

Siklus

: 28 hari

Lama haid
CD4 :

: 6-7 hari

November 2010 : 160


Maret 2011

: 228

November 2011 : 328


4

November 2010

Maret 2012
: 410
Pemeriksaan Darah :
Rapid test (+)
Tidak dilakukan test elisa

52

Pemeriksaan CD4 Hasil 160


Pasien langsung diberi terapi Neviral 1x1, Duviral
2x1, Cotrimoxazole 1x960 mg

53

NO

Jenis Obat

Rute

Dosis

Frek

(Nama Dagang/Generik)

Tanggal Pemberian Obat (2012)


4/4
5/4
6/4
7/4
8/4
9/4

Neviral

p.o

2x

(1x1)

(1x1)

BAB III
PROFIL

Duviral

p.o

Infus RL

iv

Alinamin F

iv

Vitamin C

iv

Ketorolac

iv

Ondancentron

iv

Piton/Oksitosin

iv

2 amp

Rantin

iv

1 amp

100 ml

2x

/jam

PENGOBATAN

Keterangan :
Partus

10

ROB

p.o

11

Asam mefenamat

p.o

12

Lynoral

500 mg
1 amp

1x

3x

54

55

BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien NY. AN merupakan pasien kiriman dari salah satu dr.SpOG di
Mojokerto. Pasien MRS pada tanggal 4 April 2012 dengan keluhan awal hamil 9
bulan, defekasi 1x per hari, mengalami keputihan yang disertai gatal. Pasien
mempunyai riwayat infeksi paru-paru pada tahun 2010 lalu. Pasien pernah
melakukan pemeriksaan darah pada November 2010 dan diperoleh nilai CD4 160.
Berdasar data tersebut, maka pasien diberi terapi neviral 1x1, duviral 2x1 sebagai
obat antiretroviral dan pasien diberi terapi cotrimoksazol 1x960 mg untuk
mencegah infeksi oportunistik. Penggunaan cotrimoksazole sebagai profilaksis
merupakan suatu program nasional. Cotrimoksazole efektif terhadap organisme
termasuk organisme toksoplasma, PCP dan beberapa penyebab diare pada pasien
yang terinfeksi HIV. Bukti terbaru menyatakan bahwa pemberian cotrimksazole
sebagai terapi profilaksis efektif mencegah morbiditas dan mortalitas pada pasien
HIV stadium awal dan stadium lanjutan (NACO, 2007). Untuk rekomendasi
pemberian cotrimoksazole sebagai profilaksis (CPT) dapt dilihat pada Tabel 4.1
(NACO, 2007).
Tabel 4.1 Co-trimoxazole prophylaxis recommendations

56

Bila terapi CPT dimulai pada awal nilai CD4 antara 200-350 sel/mm3, maka
jumlah CD4 seharusnya meningkat selama penggunaan ART pada pasien minimal
6 bulan sebelum CPT dihentikan (Lihat Tabel 4.2) (NACO, 2007).
Tabel 4.2 When to stop co-trimoxazole prophylaxis

Pasien NY. AN menikah 2x. Pada pernikahan pertama tahun 2010, suami
meninggal dengan infeksi paru dan steven johnson syndrome serta stomatitis.
Kemudian pasien menikah untuk yang kedua kalinya pada awal januari 2011 dan
asien merencanakan kehamilan. Pada bulan Juli 2011, pasien berkonsultasi
dengan dr.SpOG, namun dokter menyarankan untuk melakukan pemeriksaan di
RDUD Dr. Soetomo saat menjelang persalinan. Berdasarkan hasil assessment,
pasien mengaku minum obat antiretroviral secara rutin, dan rutin memeriksakan
CD4. Pemberian terapi antiretroviral direkomendasikan apabila nilai limfosit CD4
< 200 sel/mm3 dan pengobatan tidak direkomendasikan bilai nilai CD4 >350
sel/mm3. Namun apabila nilai CD4 berada diantara 201-350 sel/mm3, sebaiknya
ditawarkan untuk pemberian terapi (Dipiro, et al., 2009). Sementara itu, pada
pasien ini pemberian terapi antiretroviral diberikan kepada pasien pada saat awal
pemeriksaan CD4 dan terapi terus diberikan hingga saat ini nilai CD4 pasien 410.
Kriteria untuk memulai ART pada wanita hamil adalah sama seperti wanita
tidak hamil, dengan pengecualian bahwa inisiasi terapi tersebut dianjurkan untuk
wanita hamil dengan HIV stadium 3 dan jumlah CD4 < 350 sel/mm3. Penggunaan
ART pada wanita hamil disarankan untuk (1) semua wanita dengan stadium 4
klinis dimana tanpa terkait dengan nilai CD4 (2) wanita dengan stadium 3 klinis
dimana nilai CD4 < 350 sel/mm3 (bila nilai CD4 tidak tersedia, maka pada wanita
stadium 3 tetap diberikan) (3) wanita dengan stadium 1 dan 2 dimana nilai CD4 <
200 sel/mm3 (WHO, 2006).
Pasien mendapatkan terapi Neviral 2x1 dan Duviral 2x1 pada awal MRS
hingga pasien KRS. Neviral mengandung nevirapin merupakan inhibitor reverse
transkriptase non-nucleotida. Nevirapin memiliki aktivitas melawan HIV-1
dengan berikatan pada reverse transkriptase. Akibatnya, aktivitas DNA

57

polimerase, RNA-dependent dan DNA dependent termasuk replikasi HIV-1 akan


terhambat. Selain itu nevirapin tidak memerlukan fosforilasiintraseluler untuk
aktivitas antivirus (Lacy, et al., 2009).
Selain neviral, pasien juga mendapatkan terapi duviral yang mengandung
lamivudine dan zidovudine. Lamivudin dan zidovudin adalah inhibitor selektif
ampuh untuk HIV-1 dan HIV-2. Lamivudin telah terbukti sangat sinergis dengan
zidovudin, menghambat replikasi HIV pada kultur sel. Kedua obat ini
dimetabolisme secara berurutan oleh kinase intraseluler dari trifosfat 5(TP).
Lamivudin TP dan zidovudin-TP adalah substrat pada inibitor kompetitif reverse
transkriptase HIV. Namun mekanisme kerja utama mereka sebagai antivirus
adalah melalui penggabungan bentuk monofosfat ke dalam rantai DNA virus,
sehingga terjadi pemutusan rantai. Lamivudin dan zidovudin trifosfat
menunjukkan afinitas signifikan untuk polimerase DNA sel inang. Untuk
mekanisme obat-obat antivirus, dapat dilihat pada Gambar 4.1 (Fletcher, et al.,
2005)

Gambar 4.1 Replikasi HIV dan tempat aksi ARV

58

Rekomendasi utama pada regimentasi ARV pada wanita hamil dan pada bayi
dapat dilihat pada Tabel 4.3 (WHO, 2006).
Tabel 4.3 Recommended first-line ARV regimens for treating pregnant womena
and prophylactic regimen for infants

Ketika terapi dimulai, NVP harus diberikan setengah dari dosis harian total sekali
sehari selama 14 hari, dengan eskalasi standar dua kali dosis harian setelah 14 hari
bila tidak ada efek samping. Bila ibu selama kehamilan menerima ART kurang
dari empat minggu, maka dianjurkan pemberian AZT pada bayi selama 4 minggu,
bukan satu minggu (WHO, 2006). Pemberian terapi ART pada pasien postpartum
yang sedang menyusui, dapat menurunkan rasio transmisi dari ibu ke bayi
(RCOG, 2010).
Pada tanggal 5 April 2012, pasien mengalami persalinan dan diberi terapi.
Ketorolac merupakan NSAID yang memiliki kemampuan analgesik yang lebih
besar dibandingkan NSAID yang lain dan efektif untuk analgesik pasca operasi
(Martin, 2008; Beattie, 2005). Ketorolac bekerja dengan menghambat
siklooksigenase pada isoenzim (COX-1 dan COX-2), juga pada prostaglandin
pada jalur arakhidonat. Efek analgesiknya sebanding dengan morfin dimana kadar
puncaknya = 0,5-1 jam; t eliminasi = 4-6 jam; onset = 0,17 jam dan durasi = 6
jam, sehingga penggunaannya sesuai untuk nyeri akut seperti yang dialami pasien
(Lacy et al, 2009). Asam mefenamat analgesik per oral diberikan (tanggal 6 April
2012) sebagai pengganti ketorolac. Selain itu pasien juga menerim terapi
Ranitidin yang diindikasikan sebagai profilaksis stress ulcer akibat dari efek
samping analgesik dan sesudah menjalani operasi pasien dikhawatirkan
memperparah stress ulcer yang akan meningkatkan sekresi asam lambungnya
secara berlebihan sehingga ranitidine yang merupakan antagonis H2 dapat
mengurangi sekresi asam lambung dan pepsin (Lacy et al, 2009).

59

Ondansetron diindikasikan sebagai antiemetik pasca operasi yang merupakan


efek samping dari pemberian anastesi. Ondansetron bekerja sebagai antagonis
reseptor serotonin selektif 5-HT3 di chemoreceptor trigger zone dan saraf vagus
perifer. obat golongan ini merupakan antiemetik yang direkomendasikan pada
kasus postoperative nausea and vomiting dengan kategori sedang hingga berat.
Ondansetron dengan dosis 4 - 8 mg diberikan pada saat akhir operasi (Gan et al,
2007). Selain itu pada tanggal 8 April 2012 pukul 23.00 pasien mengalami febris
dimana terjadi peningkatan suhu tubuh pasien 37,8C yang disertai peningkatan
RR 88x/ menit, sehingga pada tanggal 9 April 2012 pasien diberi terapi pamol
sebagai terapi antipiretik. Pasien KRS pada tanggal 9 April 2012 dengan kondisi
sudah mulai membaik, namun pasien tetap diharuskan untuk melakukan kontrol
ke poli.

BAB V

60

MONITORING DAN INFORMASI


1. Monitoring terhadap CD4 secara berkala untuk mengatahui keberhasilan
terapi ART serta untuk mengetahui perkembangan dari penyakit.
2. Monitoring terahadap kondisi bayi, lakukan pemeriksaan CD4 agar dapat
diketahui apakah bayi positif HIV atau tidak.

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
61

Secara umum pemberian terapi ART pada pasien sudah sesuai dan terapi
penyerta lainnya juga telah sesuai. Pemberian terapi ART pada pasien postpartum
yang sedang menyusui, dapat menurunkan rasio transmisi dari ibu ke bayi.

BAB VII
DAFTAR PUSTAKA

62

Dipiro JT et al, 2009. Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach 7th


Edition. The McGraw-Hill Companies, Inc. All rights reserved.
Dipiro JT et al, 2010. Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach 8th
Edition. The McGraw-Hill Companies, Inc. All rights reserved.
Lacy, CF, Armstrong, LL, Goldman, MP, Lance, LL. 2009. Drug Information
Handbook, 18th ed, USA: American Pharmacist Association
NACO. 2007. Antiretroviral Therapy Guidelines for HIV-Infected Adults and
Adolescents Including Post-exposure Prophylaxis. Ministry of Health &
Family Welfare Government of India
Pernoll, M.L. 2001. Benson and Pernoll Handbook Obstetrics & Ginecology
Tenth Edition. USA : The McGraw-Hill, Inc.
ROCG. 2010. Management of HIV in Pregnancy
Sielbernagl, S., Lang, F. 2000. Color Atlas of Pathophysiology. Thieme,
Stuttgard, New York
SOGC Clinical Practice Guideline. 2006. HIV Screening in Pregnancy. Journal
Obstetric and Gynaecology Canada
WHO. 2006. ANTIRETROVIRAL DRUGS FOR TREATING PREGNANT
WOMEN AND PREVENTING HIV INFECTION IN INFANTS:
TOWARDS UNIVERSAL ACCESS Recommendations for a public
health approach

63

Você também pode gostar