Você está na página 1de 20

Askep CKB (Cidera Kepala Berat)

03:01
BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang

Cidera Kepala Berat (CKB) - Cedera


kepala adalah suatu gangguan traumatic dari fungsi otak yang disertai atau tanpa
disertai perdarahan intertisial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya
kontinuitas otak (Tarwoto, 2007: 125).
Hampir semua orang dalam hidupnya mengalami beberapa bentuk trauma
kepala. Lansia, bayi, dan mereka yang bermasalah seperti penyalahgunaan alkohol,
terapi anti-koagulasi khususnya rentan untuk konsekuensi serius setelah cedera
kepala. Di Indonesia, cedera kepala adalah penyebab utama kecacatan dan
kematian dewasa di bawah usia 40 tahun yang mempunyai dampak penting pada
pasien cedera otak, keluarga dan masyarakat. Berbagai derajat gejala termasuk
kehilangan kesadaran sementara atau permanen, mual, muntah, sakit kepala,
pusing, dan hilang ingatan mungkin tampak terkait dengan keparahan cedera
kepala. Tanda dan gejala cedera kepala mungki terjadi langsung atau berkembang
perlahan setelah beberapa jam hingga hari. Bahkan jika cedera tidak serius
ditemukan, pengamatan hati-hati oleh seorang dewasa yang bertanggung jawab,
baik di rumah atau rumah sakit harus dilakukan dalam 24-48jam pertama setelah
cedera. (Http://www.cederakepala.com/2011)
Pengobatan disesuaikan, tergantung keparahan dan jangkauan cedera. Pengobatan
berkisar mulai observasi tanda memburuk seperti rasa kantuk, meningkatnya sakit
kepala atau pusing (cedera kepala minor) untuk mengambil gumpalan darah pada
otak untuk meringankan tekanan pada otak (disebabkan oleh gumpalan darah) atau
pemasukan monitor tekanan otak (cedera kepala akut). (Tarwoto, 2007)

B.
1.

Tujuan
Tujuan Umum
Setelah dilakukan seminar tentang Cedera Kepala Berat (CKB) diharapkan

mahasiswa mampu memahami secara kognitif, motorik dan afektif serta dapat
menerapkan asuhan keperawatan yang tepat dan komprehensif sehingga dapat
mempercepat proses penyembuhan klien dan memperpendek masa perawatan
klien di rumah sakit.
2.

Tujuan Khusus
Setelah dilakukan seminar diharapkan:
a. Mahasiswa mampu memahami tentang definisi CKB
b. Mahasiswa mampu memahami tentang etiologi CKB
c. Mahasiswa mampu memahami tentang klasifikasi dari CKB
d. Mahasiswa mampu memahami tentang manifestasi klinik CKB
e. Mahasiswa mampu memahami tentang patofisiologi dari CKB
f. Mahasiswa mampu memahami tentang penatalaksanaan CKB
g. Mahasiswa mampu memahani tentang asuhan keperawatan dari CKB yang
meliputi pengkajian, Analisa data dan Diagnosa Keperawatan, Intervensi
keperawatan, Implementasi Keperawatan, dan evaluasi keperawatan.

BAB II
TINJAUAN TEORI

A.

Definisi
Cedera kepala adalah kerusakan neurologi yang terjadi akibat adanya trauma
pada jaringan otak yang terjadi secara langsung maupun efek sekunder dari trauma
yang terjadi. (Sylvia & Price, 2006).
Cedera kepala adalah suatu gangguan trauma fungsi yang disertai perdarahan
interstisial dalam substansi otak tanpa diikuti continuitas otak (Sjamsuhidajat,
2002). Resiko utama yang terjadi pada pasien cedera kepala adalah kerusakan otak
akibat perdarahan atau pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera dan
menyebabkan peningkatan TIK.
Cedera kepala adalah pukulan atau benturan mendadak pada kepala dengan
atau tanpa kehilangan kesadaran (Tucker, 2002 ).
Cedera kepala (terbuka dan tertutup) terdiri dari fraktur tengkorak, commusio
(gegar) serebri, contusio (memar) serebri, laserasi dan perdarahan serebral yaitu
diantaranya subdural, epidural, intraserebral, dan batang otak (Doenges,
2000:270).
Cidera kepala diklasifikasikan berdasarkan:

1.

2.

3.

4.

Keadaan kulit kepala dan tulang tengkorak


a. Cidera kepala terbuka
b. Cidera kepala tertutup
Cidera pada jaringan otak (secara anatomis)
a. Commusio serebri (gegar otak)
b. Edema serebri
c. Contusio serebri (memar otak)
d. Laserasi
1) Hematoma epidural
2) Hematoma subdural
3) Perdarahan sub arakhnoid
(Ergan, 2001:642)
Adanya penetrasi durameter (secara mekanisme)
a. Cidera tumpul
1) Kecepatan tinggi (tabrakan otomobil)
2) Kecepatan rendah (terjatuh, dipukul)
b. Cidera tembus
c. Luka tembus peluru dan cidera tembus lainnya
Tingkat keparahan cidera (berdasarkan GCS)
a. Cidera Kepala Ringan (CKR) GCS 13-15
b. Cidera Kepala Sedang (CKS) GCS 9-12
c. Cidera Kepala Berat (CKB) GCS 3-8

GCS (Glasgow Coma Scale)


Membuka mata (E)
Spontan
Dipanggil/diperintah
Tekanan pada jari/rangsang nyeri
Tidak berespon

:4
:3
:2
:2

Respon Verbal (V)


Orientasi baik: dapat bercakap-cakap
Bingung, dapat bercakap tapi disorientasi
Kata yang diucapkan tidak tepat, kacau
Tidak dapat dimengerti, mengerang
Tidak bersuara dengan rangsang nyeri

:5
:4
:3
:2
:1

Respon Motorik
Mematuhi perintah
Menunjuk lokasi nyeri
Reaksi fleksi
Fleksi abnormal thdp nyeri (postur dekortikasi)

:6
:5
:4
:3

Ekstensi abnormal
Tidak ada respon, flacid

:2
:1

5.

Berdasarkan morfologi
a. Fraktur tengkorak
1) Kranium: linear/ stelatum, depresi/ non depresi, terbuka/ tertutup.
2) Basis: dengan/ tanpa kebocoran cairan cerebrospinal, dengan/ tanpa
kelumpuhan nervus VIII
b.

Lesi intra cranial


1) Foxal: epidural, subdural, intraserebral
2) Difus: konkusi ringan/ klasik, cidera aksonal difus.

B.

Etiologi
Cidera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama
pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu
lintas ( Mansjoer, 2000:3).
Penyebab cidera kepala antara lain: kecelakaan lalu lintas, perkelahian, terjatuh,
dan cidera olah raga. Cidera kepala terbuka sering disebabkan oleh peluru atau
pisau (Corkrin, 2001:175).
C.

Patofisiologi
Cidera kepala dapat terjadi karena benturan benda keras, cidera kulit kepala,
tulang kepala, jaringan otak, baik terpisah maupun seluruhnya.
Cidera bervariasi dari luka kulit yang sederhana sampai gegar otak, luka terbuka
dari tengkotak, disertai kerusakan otak, cidera pada otak, bisa berasal dari trauma
langsung maupun tidak langsung pada kepala.
Trauma tak langsung disebabkan karena tingginya tahanan atau kekuatan yang
merobek terkena pada kepala akibat menarik leher.
Trauma langsung bila kepala langsung terbuka, semua itu akibat terjadinya
akselerasi, deselerasi, dan pembentukan rongga, dilepaskannya gas merusak
jaringan syaraf.
Trauma langsung juga menyebabkan rotasi tengkorak dan isinya. Kerusakan itu bisa
terjadi seketika atau menyusul rusaknya otak oleh kompresi, goresan, atau tekanan.
Cidera yang terjadi waktu benturan mungkin karena memar pada permukaan otak,
laserasi substansia alba, cidera robekan, atau hemmorarghi.
Sebagai akibat, cidera skunder dapat terjadi sebagai kemampuan auto regulasi
serebral dikurangi atau tidak ada pada area cidera, konsekuensinya meliputi
hiperemia (peningkatan volume darah, peningkatan permeabilitas kapiler, serta
vasodilatasi arterial, tekanan intra cranial) (Huddak & Gallo, 2000:226).
Pengaruh umum cidera kepala juga bisa menyebabkan kram, adanya
penumpukan cairan yang berlebihan pada jaringan otak, edema otak akan
menyebabkan peningkatan tekanan intra cranial yang dapat menyebabkan herniasi

dan penekanan pada batang otak. rauma pada kepala menyebabkan tengkorak
beserta isinya bergetar, kerusakan yang terjadi tergantung pada besarnya getaran
makin besar getaran makin besar kerusakan yang timbul, getaran dari benturan
akan diteruskan menuju Galia Aponeurotika sehingga banyak energi yang diserap
oleh perlindungan otak, hal itu menyebabkan pembuluh darah robek sehingga akan
menyebabkan haematoma epidural, subdura maupun intracranial, perdarahan
tersebut juga akan mempengaruhi pada sirkulasi darah ke otak menurun sehingga
suplai oksigen berkurang dan terjadi hipoksia jaringan akan menyebabkan edema
cerebral. Akibat dari haematoma diatas akan menyebabkan distorsi pada otak,
karena isi otak terdorong ke arah yang berlawanan yang berakibat pada kenaikan
TIK (Tekanan Intrakranial) merangsang kelenjar Pitultary dan Steroid adrenal
sehingga sekresi asam lambung meningkat akibatnya timbul rasa mual dan muntah
dan anoreksia sehingga masukan nutrisi kurang. (Price and Wilson, 2006:1010).
D. Manifestasi Klinik
Berdasarkan anatomis
1. Gegar otak (comutio selebri)
a. Disfungsi neurologis sementara dapat pulih dengan atau tanpa kehilangan
kesadaran
b. Pingsan kurang dari 10 menit atau mungkin hanya beberapa detik/menit
c. Sakit kepala, tidak mampu konsentrasi, vertigo, mungkin muntah
d. Kadang amnesia retrogard
2. Edema serebri
a. Pingsan lebih dari 10 menit
b. Tidak ada kerusakan jaringan otak
c. Nyeri kepala, vertigo, muntah
3. Memar otak (kontusio selebri)
a. Pecahnya pembuluh darah kapiler, tanda dan gejalanya bervariasi
tergantung lokasi dan derajad
b. Ptechie dan rusaknya jaringan saraf disertai perdarahan
c. Peningkatan tekanan intracranial (PTIK)
d. Penekanan batang otak
e. Penurunan kesadaran
f. Edema jaringan otak
g. Defisit neurologis
h. Herniasi
4. Laserasi
a. Hematoma Epidural
talk dan die tanda klasik: penurunan kesadaran ringan saat benturan, merupakan
periode lucid (pikiran jernih), beberapa menit s.d beberapa jam, menyebabkan
penurunan kesadaran dan defisit neurologis (tanda hernia):
1) Kacau mental koma
2) Gerakan bertujuan tubuh dekortikasi atau deseverbrasi
3) Pupil isokhor anisokhor

b.

Hematoma subdural
1) Akumulasi darah di bawah lapisan duramater diatas arachnoid, biasanya
karena aselerasi, deselerasi, pada lansia, alkoholik.
2) Perdarahan besar menimbulkan gejala-gejala seperti perdarahan epidura
3) Defisit neurologis dapat timbul berminggu-minggu sampai dengan
berbulan-bulan
4) Gejala biasanya 24-48 jam post trauma (akut)
5) Perluasan massa lesi
6) Peningkatan TIK
7) Sakit kepala, lethargi, kacau mental, kejang
8) Disfasia
c. Perdarahan sub arachnoid
1) Nyeri kepala hebat
2) Kaku kuduk
Berdasarkan nilai GCS (Glasgow Coma Scale)
1. Cidera kepala Ringan (CKR)
a. GCS 13-15
b. Kehilangan kesadaran/amnesia <30 menit
c. Tidak ada fraktur tengkorak
d. Tidak ada kontusio celebral, hematoma
2.

Cidera Kepala Sedang (CKS)


a. GCS 9-12
b. Kehilangan kesadaran dan atau amnesia >30 menit tetapi kurang dari 24

jam
c. Dapat mengalami fraktur tengkorak
3. Cidera Kepala Berat (CKB)
a. GCS 3-8
b. Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia > 24 jam
c. Juga meliputi kontusio celebral, laserasi, atau hematoma intracranial (Hudak
dan Gallo, 2001:226)
E.

Komplikasi
Kemunduran pada kondisi pasien mungkin karena perluasan hematoma
intrakranial, edema serebral progresif, dan herniasi otak.
a. Edema serebral dan herniasi
Edema serebral adalah penyebab paling umum peningkatan TIK pada pasien
yang mendapat cedera kepala, puncak pembengkakan yang terjadi kira kira 72 jam
setelah cedera. TIK meningkat karena ketidakmampuan tengkorak untuk membesar
meskipun peningkatan volume oleh pembengkakan otak diakibatkan trauma.
Sebagai akibat dari edema dan peningkatan TIK, tekanan disebarkan pada jaringan

otak dan struktur internal otak yang kaku. Bergantung pada tempat pembengkakan,
perubahan posisi kebawah atau lateral otak (herniasi) melalui atau terhadap
struktur kaku yang terjadi menimbulkan iskemia, infark, dan kerusakan otak
irreversible, kematian.
b. Defisit neurologik dan psikologik
Pasien cedera kepala dapat mengalami paralysis saraf fokal seperti anosmia
(tidak dapat mencium bau bauan) atau abnormalitas gerakan mata, dan defisit
neurologik seperti afasia, defek memori, dan kejang post traumatic atau epilepsy.
Pasien mengalami sisa penurunan psikologis organic (melawan, emosi labil) tidak
punya malu, emosi agresif dan konsekuensi gangguan.
c. Kebocoran cairan cerebrospinal,
dapat disebabkan oleh rusaknya leptomeningen dan terjadi pada 2 6 %
pasien dengan cidera kepala tertutup. Kebocoran ini berhenti spontan dengan
elevasi kepala setelah beberapa hari pada 85 % pasien. Drainase lumbai dapat
mempercepat proses ini. Walaupun pasien ini memiliki resiko meningitis yang
meningkat (biasanya pneumolok), pemberian antibiotik profilaksis masih
kontoversial. Otorea atau rinorea cairan cerebrospinal yang menentap atau
meningitis berulang merupakan indikasi untuk operasi reparatif.
d. Fistel Karotis-Kavernosus,
ditandai oleh trias gejala: eksolftalmos, kemosisi dan bruit orbital dapat timbul
segera atau beberapa hari setelah cidera. Anglografi diperlukan untuk konformasi
diagnosis dan terapi dengan oklusi balon endovaskular merupakan cara yang paling
efektif dan dapat mencegah hilangnya penglihatan yang permanen.
e. Diabetes Incipidus,
dapat disebabkan oleh kerusakan traumatik pada tangkai hipofisis,
menyebabkan penghentian sekresi hormon antidiuretik. Pasien mengekskresikan
sejumlah besar volume urin encer, menimbulkan hipernatremia dan deplesi volum.
Vasopresin arginin (pitressin) 5 10 unit intravena, intramuscular, atau subkutan
setiap 4 6 jam atau desmopressin asetat subkutan atau intravena 2 4 mg setiap
12 jam, diberikan untuk mempertahankan pengeluaran urin kurang dari 200 ml/jam,
dan volume diganti dengan cairan hipotonis (0,25 5 atau 0,45 % salin) tergantung
pada berat ringannya hipernatremia.
f. Kejang Pascatrauma,
dapat terjadi segera (dalam 24 jam pertama), dini (minggu pertama) atau
lanjut (setelah satu minggu). Kejang segera tidak merupakan predesposisi untuk
kejang lanjut. Kejang dini menunjukkan resiko yang meningkat untuk kejang lanjut,
dan pasien ini harus dipertahankan dengan antikonvulsan. Insidens keseluruhan
epilepsi pascatrauma lanjut (berulang, tanpa provokasi) setelah cidera kepala
tertutup adalah 5 %; resiko mendekati 20 % pada pasien dengan perdarahan
intrakranial ayau fraktur depresi.
g. Pneumonia, radang paru-paru disertai eksudasi dan konsolidasi.

h. Meningitis Ventrikulitis
i. Infeksi saluran kemih
j. Perdarahan gastrointestinal
k. Sepsis asam negatif
l. Kebocoran CSS
Komplikasi lain secara traumatik:
1. Infeksi sitemik (pneumonia, ISK, sepsis)
2. Infeksi bedah neurologi (infeksi luka, osteomielitis, meningitis, ventikulitis,
abses otak)
3. Osifikasi heterotropik (nyeri tulang pada sendi sendi)
Komplikasi lain:
1. Peningkatan TIK
2. Hemorarghi
3. Kegagalan nafas
4. Diseksi ekstrakranial
Komplikasi menurut
F.

Penatalaksanaan CKB (Cidera Kepala Berat)


1. Penatalaksanaan Keperawatan
a. Menjamin kelancaran jalan nafas dan control vertebra cervicalis
b. Menjaga saluran nafas tetap bersih, bebas dari secret
c. Mempertahankan sirkulasi stabil
d. Melakukan observasi tingkat kesadaran dan tanda tanda vital
e. Menjaga intake cairan elektrolit dan nutrisi jangan sampai terjadi
hiperhidrasi
f. Menjaga kebersihan kulit untuk mencegah terjadinya decubitus
g. Mengelola pemberian obat sesuai program
2. Penatalaksanaan Medis
a. Oksigenasi dan IVFD
b. Terapi untuk mengurangi edema serebri (anti edema)
Dexamethasone 10 mg untuk dosis awal, selanjutnya:
1) 5 mg/6 jam untuk hari I dan II
2) 5 mg/8 jam untuk hari III
3) 5 mg/12 jam untuk hari IV
4) 5 mg/24 jam untuk hari V
c. Terapi neurotropik: citicoline, piroxicam
d. Terapi anti perdarahan bila perlu
e. Terapi antibiotik untuk profilaksis
f. Terapi antipeuretik bila demam
g. Terapi anti konvulsi bila klien kejang
h. Terapi diazepam 5-10 mg atau CPZ bila klien gelisah
i. Intake cairan tidak boleh > 800 cc/24 jam selama 3-4 hari

G.

Pemeriksaan Diagnostik
1. X Ray tengkorak
Untuk mengetahui adanya fraktur pada tengkorak.
2. CT Scan
Mengidentifikasi adanya hemorragic, ukuran ventrikuler, infark pada
jaringan mati.
3. MRI (Magnetic Resonan Imaging)
Gunanya sebagai penginderaan yang mempergunakan gelombang
elektomagnetik.
4.
5.

Pemeriksaan Laboratorium
Kimia darah: mengetahui ketidakseimbangan elektrolit.
Pemeriksaan analisa gas darah
Menunjukan efektifitas dari pertukaran gas dan usaha pernafasan.

BAB III
MANAJEMEN ASUHAN KEPERAWATAN CKB

A.

Pengkajian
Hal penting yang pertama kali dinilai adalah status fungsi vital dan status
kesadaran pasien. Ini harus dilakukan sesegera mungkin bahkan mendahului
anamnesis yang teliti.
1. Status fungsi vital
Seperti halnya dengan kasus kedaruratan lainnya, hal terpenting yang dinilai
adalah:
Jalan nafas
Pernafasan
Nadi dan tekanan darah, sirkulasi jalan nafas harus segera dibersihkan dari
benda asing, lendir atau darah, bila perlu segera dipasang pipa naso/orofuring,
diikuti dengan pemberian oksigen. Manipulasi leher hams berhati-hati bila ada
riwayat / dugaan trauma servikal (whiplash injury), Jamb dengan kepala dibawa
atau trauma tengkuk. Gangguan yang mungkin ditemukan dapat berupa:

Pernafasan cheyne stokes

Pernafasan blot / hiperventilasi

Pernafasan taksik yang menggambarkan makin memburuknya tingkat


kesadaran.
2. Pemantauan fungsi sirkulasi dilakukan untuk menduga adanya shock, terutama
bila terdapat juga trauma di tempat lain, misalnya trauma thorax, trauma abdomen,
fraktur ekstremitas. Selain itu peninggian tekanan darah yang disertai dengan
melambatnya frekuensi nadi dapat merupakan gejala awal peninggian tekanan
intracranial, yang biasanya dalam fase akut disebabkan oleh hematoma epidural.

3. Status kesadaran, dewasa ini penilaian status kesadaran secara kualitatif,


terutama pada kasus cidera kepala sudah mulai ditinggalkan karena subyektivitas
pemeriksa; stulah apatik, samnolen, spoor, coma. Sebaliknya dihindari atau disertai
dengan penilaian / perbandingan secara ketat. Cara penilaian kesadaran yang luas
digunakan ialah dengan skala koma Galsgow. Cara ini sederhana tanpa memerlukan
alat diagnostik sehingga dapat digunakan baik oleh dokter maupun perawat. Melalui
cara ini, perkembangan / perubahan kesadaran dari waktu ke waktu dapat diikuti
secara akurat.
4. Skala koma Glasgow adalah berdasarkan penilaian / pemeriksaan atas tiga
parameter, yaitu:
a.
Buka Mata (E)
4 : Spontan
3 : Dengan perintah
2 : Dengan rangsang nyeri
1 : Tidak ada reaksi
b.
Respon Motorik Terbaik (M)
6 : Mengikuti perintah
5 : Melokalisir nyeri
4 : Menghindari nyeri
3 : Fleksi abnormal
2 : Ekstensi abnormal
1 : Tidak ada gerakan
c.
Respon Verbal Terbaik (V)
5 : Orientasi baik dan sesuai
4 : Disorientasi tempat dan waktu
3 : Bicara kacau
2 : Mengerang
1 : Tidak ada suara
5.

Status Neurologik lain


Selain status kesadaran di atas pemeriksaan neurologik pada kasus trauma
kapitis trauma ditujukan untuk mendeteksi adanya tanda-tanda fokal yang dapat
menunjukkan adanya kelainan fokal, dalam hal ini perdarahan intracranial. Tanda
fokal tersebut adalah:
Anisokori (ketidaksamaan ukuran diameter kedua pupil mata)
Paresis / Parahisis (Paralisis ringan atau tidak lengkap)
Reties patologik sesisi
B.

Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien dengan cidera kepala
adalah sebagai berikut :

1) Gangguan perfusi jaringan / perfusi jaringan tidak efektif (spesifik serebral)


berhubungan dengan aliran arteri dan atau vena terputus.
2) Nyeri akut berhubungan dengan agen injury fisik.
3) Defisit perawatan diri: makan/ mandi, toileting berhubungan dengan kelemahan
fisik dan nyeri.
4) Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan mual, muntah.
5) Peningkatan tekanan intrakranial b.d proses desak ruang akibat penumpukan
cairan / darah dalam otak
6) Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan status hipermetabolik.
7) Kerusakan persepsi sensori berhubungan dengan penurunan kemampuan
kognitif, afektif, dan motorik)

C.

Rencana Perawatan

No
1

Diagnosa
Keperawatan
Perfusi
jaringan tak
efektif
(spesifik
sere-bral) b.d
aliran arteri
dan atau
vena
terputus,
dengan
batasan
karakteristik :
- Perubahan
respon
motorik
- Perubahan
status mental
- Perubahan

Tujuan dan kriteria


hasil

Intervensi

NOC:

Monitor Tekanan Intra Kranial

1.

1.
Catat perubahan respon
klien terhadap stimu-lus /
rangsangan

Status sirkulasi

2. Perfusi jaringan
serebral
Setelah dilakukan
tindakan
keperawatan
selama .x 24 jam,
klien mampu mencapai :
1. Status sirkulasi
dengan indikator:
Tekanan
darah sis-tolik dan
diastolik dalam
rentang yang
diharapkan

2.
Monitor TIK klien dan respon
neurologis terhadap aktivitas
3.

Monitor intake dan output

4.

Pasang restrain, jika perlu

5.
Monitor suhu dan angka
leukosit
6.

Kaji adanya kaku kuduk

7.

Kelola pemberian antibiotik

8.
Berikan posisi dengan
kepala elevasi 30-40O dengan
leher dalam posisi netral

respon pupil
- - Amnesia
retrograde
(gang-guan
memori)

Tidak ada
ortostatik hipotensi

9.
Minimalkan stimulus dari
lingkungan

Tidak ada
tanda tan-da PTIK

10. Beri jarak antar tindakan


keperawatan untuk
meminimalkan peningkatan TIK

Perfusi jaringan
serebral, dengan
indicator :
Klien mampu
berko-munikasi
dengan je-las dan
sesuai ke-mampuan

11. Kelola obat obat untuk


mempertahankan TIK dalam
batas spesifik

Monitoring Neurologis

Klien
menunjukkan
perhatian, konsentrasi, dan orientasi

1. Monitor ukuran, kesimetrisan,


reaksi dan bentuk pupil

Klien mampu
mem-proses
informasi

3.

Klien mampu
mem-buat
keputusan de-ngan
benar
Tingkat
kesadaran klien
membaik

2. Monitor tingkat kesadaran


klien
Monitor tanda-tanda vital

4. Monitor keluhan nyeri kepala,


mual, dan muntah
5. Monitor respon klien
terhadap pengobatan
6. Hindari aktivitas jika TIK
meningkat
7.

Observasi kondisi fisik klien

Terapi Oksigen
1.
Bersihkan jalan nafas dari
secret
2.
Pertahankan jalan nafas
tetap efektif
3.
Berikan oksigen sesuai
instruksi
4.

Monitor aliran oksigen,

kanul oksigen, dan humidifier


5.
Beri penjelasan kepada klien
tentang pentingnya pemberian
oksigen
6.
Observasi tanda-tanda
hipoventilasi
7.
Monitor respon klien
terhadap pemberian oksigen
8.
Anjurkan klien untuk tetap
memakai oksigen selama
aktivitas dan tidur

Nyeri akut
b.d dengan
agen injuri
fisik, dengan
batasan
karakteristik:
Laporan nyeri
kepala secara
verbal atau
non verbal
Respon
autonom
(perubahan
vital sign,
dilatasi pupil)
Tingkah laku

NOC:

Manajemen nyeri

1. Nyeri terkontrol

1.
Kaji keluhan nyeri, lokasi,
karakteristik, onset/durasi,
frekuensi, kualitas, dan beratnya
nyeri.

2. Tingkat Nyeri
3. Tingkat
kenyamanan

Setelah dilakukan
asuhan
keperawatan
selama . x 24
jam, klien dapat :
1. Mengontrol nyeri,
dengan indikator:

Mengenal
faktor-faktor
penyebab

2.
Observasi respon
ketidaknyamanan secara verbal
dan non verbal.
3.
Pastikan klien menerima
perawatan analgetik dg tepat.
4.
Gunakan strategi
komunikasi yang efektif untuk
mengetahui respon penerimaan
klien terhadap nyeri.
5.
Evaluasi keefektifan
penggunaan kontrol nyeri
6.

Monitoring perubahan nyeri

eks-presif
(gelisah, menangis,
merintih)
Fakta
dari
observasi
Gangguan
tidur (mata
sayu, menyeringai, dll)

Mengenal
onset nyeri

Tindakan
pertolongan non
farmakologi

Menggunakan
analgetik

Melaporkan
gejala-gejala nyeri
kepada tim
kesehatan.

baik aktual maupun potensial.


7.
Sediakan lingkungan yang
nyaman.
8.
Kurangi faktor-faktor yang
dapat menambah ungkapan
nyeri.
9.
Ajarkan penggunaan tehnik
relaksasi sebelum atau sesudah
nyeri berlangsung.

Nyeri
terkontrol

10. Kolaborasi dengan tim


kesehatan lain untuk memilih
tindakan selain obat untuk
meringankan nyeri.

2. Menunjukkan
tingkat nyeri,
dengan indikator:

11. Tingkatkan istirahat yang


adekuat untuk meringankan
nyeri.

Melaporkan
nyeri

Frekuensi
nyeri

Manajemen pengobatan

Lamanya
episode nyeri

1. Tentukan obat yang


dibutuhkan klien dan cara
mengelola sesuai dengan
anjuran/ dosis.

Ekspresi
nyeri; wajah

2. Monitor efek teraupetik dari


pengobatan.

Perubahan
respirasi rate

3. Monitor tanda, gejala dan


efek samping obat.

Perubahan
tekanan darah

4.

Kehilangan
nafsu makan

3. Tingkat
kenyamanan,
dengan indicator :

Monitor interaksi obat.

5. Ajarkan pada klien / keluarga


cara mengatasi efek samping
pengobatan.
6. Jelaskan manfaat pengobatan
yg dapat mempengaruhi gaya
hidup klien.


Klien
melaporkan
kebutuhan tidur
dan istirahat
tercukupi

Pengelolaan analgetik
1.
Periksa perintah medis
tentang obat, dosis & frekuensi
obat analgetik.
2.

Periksa riwayat alergi klien.

3.
Pilih obat berdasarkan tipe
dan beratnya nyeri.
4.
Pilih cara pemberian IV atau
IM untuk pengobatan, jika
mungkin.
5.
Monitor vital sign sebelum
dan sesudah pemberian
analgetik.
6.
Kelola jadwal pemberian
analgetik yang sesuai.
7.
Evaluasi efektifitas dosis
analgetik, observasi tanda dan
gejala efek samping, misal
depresi pernafasan, mual dan
muntah, mulut kering, &
konstipasi.
8.
Kolaborasi dgn dokter untuk
obat, dosis & cara pemberian yg
diindikasikan.
9.
Tentukan lokasi nyeri,
karakteristik, kualitas, dan
keparahan sebelum pengobatan.
10. Berikan obat dengan prinsip
5 benar
11. Dokumentasikan respon dari
analgetik dan efek yang tidak
diinginkan
3

Defisit self
care b.d

NOC :

NIC: Membantu perawatan diri

dengan
kelelahan,
nyeri

Perawatan diri :

klien Mandi dan toiletting

(mandi, Makan
Toiletting,
berpakaian)

Aktifitas:

Setelah diberi
motivasi perawatan
selama .x24 jam,
pasien mengerti
cara memenuhi
ADL secara
bertahap sesuai
kemampuan,
dengan kriteria :
Mengerti
secara seder-hana
cara mandi,
makan, toileting,
dan berpakaian
serta mau mencoba
se-cara aman tanpa
cemas
Klien mau
berpartisipasi
dengan senang hati
tanpa keluhan
dalam memenuhi
ADL

1.
Tempatkan alat-alat mandi
di tempat yang mudah dikenali
dan mudah dijangkau klien
2.

Libatkan klien dan dampingi

3.
Berikan bantuan selama
klien masih mampu mengerjakan
sendiri
NIC: ADL Berpakaian
Aktifitas:
1.
Informasikan pada klien
dalam memilih pakaian selama
perawatan
2.
Sediakan pakaian di tempat
yang mudah dijangkau
3.
Bantu berpakaian yang
sesuai
4.

Jaga privcy klien

5.
Berikan pakaian pribadi yg
digemari dan sesuai
NIC: ADL Makan
1.
Anjurkan duduk dan berdoa
bersama teman
2.

Dampingi saat makan

3.
Bantu jika klien belum
mampu dan beri contoh
4.
Beri rasa nyaman saat
makan
4

Peningkatan
tekan-an
intrakranial

Setelah dilakukan
tindakan
keperawatan

1.
Pantau tanda dan gejala
peningkatan TIK

b.d pro-ses
desak ruang
akibat
penumpukan
cairan / darah
di dalam otak
(Carpenito,
2000)

selama ....x 24 jam


dapat mencegah
atau meminimalkan
komplikasi dari
peningkatan TIK,
dengan kriteria :

2.
Kaji respon membuka mata,
respon motorik, dan verbal, (GCS)

Kesadaran
stabil (orientasi
baik)

Batasan
karakteristik :

Pupil isokor,
diameter 1mm

5.
Catat gejala dan tandatanda: muntah, sakit kepala,
lethargi, gelisah, nafas keras,
gerakan tak bertujuan, perubahan
mental

- Penurunan
kesadaran
(gelisah,
disorientasi)

Reflek baik

Tidak mual

Tidak muntah

3.
Kaji perubahan tanda-tanda
vital
4.

Kaji respon pupil

6.
Tinggikan kepala 30-40O
jika tidak ada kontra indikasi
7.
Hindarkan situasi atau
manuver sebagai berikut:

- Perubahan
motorik dan
persepsi
sensasi

8.

- Perubahan
tanda vital
(TD
meningkat,
nadi kuat dan
lambat)

10. Stimulasi anal dengan jari,


menahan nafas, dan mengejan

Masase karotis

9.
Fleksi dan rotasi leher
berlebihan

11. Perubahan posisi yang cepat


12. Ajarkan klien untuk ekspirasi
selama perubahan posisi

- Pupil
melebar,
reflek pupil
menurun

13. Konsul dengan dokter untuk


pemberian pe-lunak faeces, jika
perlu

- Muntah

14. Pertahankan lingkungan yang


tenang

- Klien
mengeluh
mual
- Klien
mengeluh
pandangan
kabur dan
diplopia

15. Hindarkan pelaksanaan


urutan aktivitas yang dapat
meningkatkan TIK (misal: batuk,
penghisapan, pengubahan posisi,
meman-dikan)
16. Batasi waktu penghisapan

pada tiap waktu hingga 10 detik


17. Hiperoksigenasi dan
hiperventilasi klien sebelum dan
sesudah penghisapan
18. Konsultasi dengan dokter
tentang pemberian lidokain
profilaktik sebelum penghisapan
19. Pertahankan ventilasi optimal
melalui posisi yang sesuai dan
penghisapan yang teratur
20. Jika diindikasikan, lakukan
protokol atau kolaborasi dengan
dokter untuk terapi obat yang
mungkin termasuk sebagai
berikut:
21. Sedasi, barbiturat
(menurunkan laju meta-bolisme
serebral)
22. Antikonvulsan (mencegah
kejang)
23. Diuretik osmotik
(menurunkan edema serebral)
24. Diuretik non osmotik
(mengurangi edema serebral)
25. Steroid (menurunkan
permeabilitas kapiler, membatasi
edema serebral)
26. Pantau status hidrasi,
evaluasi cairan masuk dan keluar)
5

Resiko tinggi
terhadap
perubahan
nutrisi:
kurang dari
kebutuhan
tubuh

Setelah dilakukan
tindak asuhan
keperawatan
selama .. x 24
jam diharapkan
nutrisi klien
seimbang dengan

Kaji adanya alergi makanan


Kolaborasi dengan ahli gizi
untuk menentukan jumlah kalori
dan nutrisi yang dibutuhkan klien
Anjurkan klien untuk
meningkatkan intake Fe, protein

berhubungan
dengan mual,
muntah.

KH :

dan vit C

Klien tidak
lemah

Kaji kemampuan klien

Monitor mual dan muntah

Nafsu makan
meningkat
Klien tidak
mual dan muntah

Kolaborasi pemberian obat


antimual dan muntah
Monitor lingkungan selama
makan
Berikan makanan
kesukaan
Monitor adanya penurunan
berat badan

Resiko
kekurangan
volume
cairan

Setelah dilakukan
tindakan asuhan
keperawatan
selama .. x 24
jam diharapkan
volume cairan klien
dapat terpenuhi
dengan KH.

1.

Klien tidak
lemas

5.
Kolaborasi pemberian
cairan/makanan

6.
Monitor hasil laboratorium
yang sesuai dengan retensi cairan
(BUN, HMT, Osmolalitas Urin)

ND : normal

Mukosa tidak
kering
baik

PATHWAY
Klik disini => Pathway CKB

Turgor kulit

Kaji TTV

2.
Monitor menekan
makanan/cairan
3.

Dorong masukan oral

4.
Anjurkan untuk minum air
banyak

7.
Pertahankan catatan intake
dan output yang akurat.

DAFTAR PUSTAKA
Price A. S et al. 2005. Patofisiologi. Jakarta : EGC
Smeltzer C. S & B.G. Bare. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC
Sudoyo, W. A et al. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : EGC
Barbara C Long, Perawatan Medikal Bedah (Terjemahan), Yayasan IAPK Padjajaran
Bandung, September 1996, Hal. 443 450.
Hudak dan Gallo. 2000. Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik. Volume II. Edisi 6.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Mansjoer, Arif, dkk. Kapita selekta Kedokteran (Efusi Pleura), Media Aesculapius,
Fakultas Kedokteran Universita Indonesia, 2002, Hal.206 208.
Soeparman. 2006. Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, Edisi Kedua, Balai Penerbit FKUI,
Jakarta.
Wilkinson, Judith M. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan intervensi NIC
dan NOC kriteria hasil NOC.

Você também pode gostar