Você está na página 1de 11

FAKTOR RISIKO ALERGI OBAT

Jenis Kelamin Wanita mempunyai risiko untuk mengalami gangguan ini jauh lebih
tinggi jika dibandingkan dengan pria.

SistemImunitas
Erupsi alergi obat lebih mudah terjadi pada seseorang yang mengalami penurunan
sistem imun.

Usia Alergi obat dapat terjadi pada semua golongan umur terutama anak anak dan
orang dewasa. Pada anak anak disebabkan perkembangan sistem imunologi yang
belum sempurna. Sebaliknya, pada orang dewasa disebabkan karena lebih seringnya
berkontak dengan bahan antigenetik.

Dosis Pemberian obat yang intermitten dengan dosis tinggi akan memudahkan
timbulnya sensitisasi. Tetapi, jika sudah melalui fase induksi, dosis yang sangat kecil
sekalipun sudah dapat menimbulkan reaksi alergi.

Infeksi dan Keganasan Mortalitas tinggi lainnya juga ditemukan pada penderita
erupsi obat berat yang disertai dengan keganasan.

Atopik Faktor risiko yang bersifat atopik ini masih dalam perdebatan.

Patofisiologi
Mekanisme terjadinya erupsi alergi obat dapat terjadi secara nonimunologik dan imunologik
(alergik), tetapi sebagian besar merupakan reaksi imunologik. Pada mekanisme imunologik,
mekanisme imunologik, erupsi alergi obat terjadi pada pemberian obat kepada pasien yang
sudah tersensitasi dengan obat tersebut. Obat dengan berat molekul yang rendah awalnya
berperan sebagai antigen yang tidak lengkap (hapten). Obat atau metabolitnya yang berupa
hapten ini harus berkonjugasi dahulu dengan protein, misalnya jaringan, serum atau protein
dari membran sel untuk membentuk antigen yaitu kompleks hapten protein. Obat dengan
berat molekul yang tinggi dapat berfungsi langsung sebagai antigen lengkap. Sehingga
mengakibatkan terjadinya erupsi obat.

MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi alergi obat dapat diklasifikasikan menurut organ yang terkena atau menurut
mekanisme kerusakan jaringan akibat reaksi imunologis Gell dan Coombs (tipe I sampai
dengan IV).

Tipe I (Hipersensivitas Tipe Cepat) Manifestasi yang terjadi merupakan efek


mediator kimia akibat reaksi antigen dengan IgE yang telah terbentuk menyebabkan
kontraksi otot polos. Meningkatnya permeabilitas kapiler serta hipersekresi kelenjar
mukus. a) Kejang bronkus gejalanya berupa sesak, kadang kadang kejang bronkus
disertai kejang laring. Bila disertai edema laring keadaan karena pasien tidak dapat

atau sangat sulit bernapas. b) Urtikaria, c) Angiodema, d) Pingsan dan hipotensi.


Renjatan anafilatik dapat terjadi beberapa menit setelah suntikan seperti penisilin.
Manifestasi klinis renjatan anafilatik dapat terjadi dalam waktu 30 menit setelah
pemberian obat, karena hal tersebut mengenai beberapa organ dan secara potensial
membahayakan. Reaksi ini sering disebut sebgai anafilaksis. Penyebab yang tersering
adalah penisilin.
Pada tipe I ini terjadi beberapa fase yaitu :
a. Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE;
b. Fase aktivasi yaitu fase yang terjadi karena paparan ulang antigen spesifik. Akibat
aktivasi ini sel mast basofil mengeluarkan kandungan yang berbentuk granual yang
dapat menimbulkan reaksi;
c. Fase efektor yaitu fase terjadinya respon imun yang kompleks akibat pelepasan
mediator.

Reaksi hipersensivitas tipe II atau reaksi sitotaksik terjadi karena terbentuknya


IgM atau IgG oleh pajanan antigen. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel sel
yang memiliki reseptornya (FcgR). Ikatan antibodi antigen juga dapat mengaktifkan
komplemen melalui reseptor komplemen.
Manifestasi klinis reaksi alergi tipe II umumnya berupa kelainan darah seperti anemia
hemolitik, trombositopena, eosinofilia dan granulasitopenia. Nefritis interstisial dapat
juga merupakan reaksi alergi tipe ini.

Tipe III Reaksi kompleks imun dan akan terjadi bila kompleks ini mengendap pada
jaringan. Antibodi yang berperan di sini ialah IgM dan IgG. Kompleks ini akan
mengaktifkan pertahanan tubuh yaitu dengan penglepasan komplemen.
Manifestasi klinis reaksi alergi tipe III dapat berupa :
a. Demam;
b. Limfadenopati;
c. Kelainan sendia, artralgia dan efusi sendi;
d. Urtikaria, angiodema, eritema, makulopapula, eritema multiforme. Gejala tersebut
sering disertai pruritis;
e. Lainnnya seperti kejang perut, mual, neuritis optik, glomerulonefritis, sindrom
lupus eritematosus sistemk serta vaskulitis.
Gejala tadi timbul 5 20 hari setelah pemberian obat, tetapi bila sebelumnya pernah
mendapat obat tersebut gejalanya dalam waktu 1 5 hari.

Tipe IV Delayed Type Hypersensitivity (DTH) juga dikenal sebagai Cell Mediated
Imunity (reaksi imun seluler). Pada reaksi ini tidak ada peranan antibodi. Reaksi
terjadi karena respon sel T yang telah disensitasi oleh antigen tertentu.
Berbagai jenis Delayed Type Hypersensitivity (DTH) antara lain :
a. Cutaneous Basophil Hypersensitivity;
b. Hipersensivitas kontak (kontak dermatits);
c. Reaksi tuberkulin;
d. Reaksi granuloma.
Manifestasi klinis reaksi alergi tipe IV dapat berupa reaksi paru akut seperti demam,
sesak, batuk, infiltrat paru dan efusi pleura. Obat yang tersering menyebabkan reaksi
ini yaitu nitrofurantion, nefritis intersyisial, ensefalomielitis dan hepatitis. Namun,
dermatitis merupakan manifestasi yang paling sering. Kadang kadang gejala baru
timbul bertahun tahun setelah sensitasi. Contohnya, pemakaian obat tropikal (sulfa,

penisilin atau antihistamin). Bila pasien telah sensitif, gejala dapat muncul 18 24
jam setelah obat dioleskan.
TANDA dan GEJALA

Bercak kemerahan akibat barbiturate mungkin terdapat pada telapak tangan dan kaki;

Biasanya berupa eritema atau morbiliform, kadang kadang disertai dengan demam,
limfadenopati dan nyeri pada mulut.

DIAGNOSIS

Anamnesis Riwayat penyakit merupakan cara yang paling penting untuk diagnosis
alergi obat karena cara cara pemeriksaan yang ada sekarang masih rumit dan
hasilnya juga belum memuaskan. Kesulitan yang sering timbul yaitu apakah gejala
yang dicurigai timbul sebagai manfestasi alergi obat. Masalah tersebut lebih sulit lagi
bila pada saat yang sama pasien mendapat lebih dari satu macam obat.
Hal hal yang perlu diperhatikan pada anamnesis pasien alergi obat adalah : Riwayat
pemakaian obat masa lalu dan catat bila ada reaksi; Manifestasi klinis alergi obat
sering dihubungkan dengan jenis obat tertentu; Pemakaian obat topikal (salep)
antibiotik jangka lama merupakan salah satu jalan terjadinya sensitasi obat yang harus
diperhatikan; Diagnosis alergi obat sangat mungkin bila gejala menghilang setelah
obat dihentikan dan timbul kembali bila pasien diberikan obat yang sama; Catat
semua obat yang dipakai pasien termasuk vitamin, tonikum dan obat yang
sebelumnya sering dipakai, tetapi tidak menimbulkan gejala alergi obat; Catat lama
pemakaian serta riwayat obat obat sebelumnya. Alergi obat sering timbul bila obat
diberikan secara berselang seling, berulang ulang serta dosis tinggi secara
parental; Lama waktu yang diperlukan mulai dari pemakaian obat sampai timbulnya
gejala. Pada reaksi anafilaksis gejala timbul segera, tetapi kadang kadang gejala
alergi obat baru timbul 7 10 hari setelah pemakian pertama.

Uji Kulit Uji kulit yang ada saat ini hanya terbatas pada beberapa macam obat
(penisilin, insulin, sediaan serum), sedangkan untuk obat obatan yang lain masih
diragukan nilainya. Hal ini dikarenakan : Beberapa macam obat bersifat sebagai
pencetus lepasnya histamin (kodein, tiamin) sehingga uji positif yang terjadi adalah
semu; Konsentrasi obat terlalu tinggi juga menimbulkan hasil positif semu. Sebagian
besar obat mempunyai berat molekul kecil sehingga hanya merupakan hapten. Oleh
sebab itu, sukar untuk menentukan antigennya; Kebanyakan reaksi alergi obat
disebabkan hasil metabolismenya dan bukan oleh obat aslinya, sehingga bila kita
melakukan uji kulit dengan obat aslinya hasilnya kurang dapat dipertanggung
jawabkan kecuali penisilin yang diketahui hasil metabolismenya serta obat obat
yang mempunyai berat molekul besar (insulin, ACTH, serum serta vaksin yang
mengandung protein telur).

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilaksanakan untuk memastikan penyebab erupsi obat
alergi adalah :

Pemeriksaan in vivo Uji kulit yang tepat dilakukan memakai bahan yang bersifat
imunogenik yaitu determinan antigen dari obat atau metabolitnya. Bahan uji kulit
harus bersifat non iritatif untuk menghindari positif palsu. Uji ini manfaatnya sangat
terbatas karena baru sedikit sekali determinan antigen obat yang sudah diketahui dan
tersedia untuk uji kulit. Dengan uji kulit hanya dapat diidentifikasi alergi terhadap
makro molekul seperti insulin, antisera, ekstrak organ, sedangkan untuk
mikromolekul sejauh ini hanya dapat diidentifikasi alergi terhadap penisilin saja.

Uji ini antara lain :

Uji Tempel (patch test) Uji tempel sering dipakai untuk membuktikan dermatitis
kontak. Suatu seri sediaan uji tempel yang mengandung berbagai obat ditempelkan
pada kulit (biasanya daerah punggung) untuk dinilai 48 72 jam kemudian. Uji
tempel dikatakan positif bila terjadi erupsi pruritus, eritema dan vesikular yang serupa
dengan reaksi. Klinis alergi sebelumnya, tetapi dengan intensitas dan skala lebih
ringan.

Uji Tusuk (prick/scratch test) Uji tusuk dapat digunakan untuk mengkonfirmasi
adanya reaksi tipe I, dengan adanya deteksi kompleks antigen IgE spesifik. Uji kulit
dapat dilakukan dengan memakai bahan yang bersifat imunogenik yaitu determinan
antigen dari obat atau metabolitnya. Bahan untuk uji kulit harus bersifat non iritatif
untuk menghindarkan positif palsu. Uji kulit sebetulnya merupakan cara yang efektif
untuk diagnosis penyakit atopik, tetapi manfaatnya terbatas untuk alergi obat karena
pada saat ini baru sedikit sekali determinan antigen obat yang sudah diketahui.
Dengan uji kulit hanya dapat diidentifikasi alergi terhadap makromolekul (insulin,
antisera, ekstrak organ), sedangkan untuk mikromolekul sejauh ini hanya dapat
mengidentifikasi alergi terhadap penisilin saja. Hasil negatif hanya berarti pada uji
kulit penisilin.

Uji Provokasi (exposure test) Uji provokasi dapat memastikan diagnosis alergi obat,
tetapi merupakan prosedur diagnostik terbatas karena mengandung resiko yang
berbahaya yaitu terjadinya anafilaksis sehingga hanya dianjurkan dilakukan ditempat
yang memiliki fasilitas dan tenaga yang memadai. Karena itu maka uji provokasi
merupakan kontra indikasi untuk alergi obat yang berat misalnya anafilaksis,
sindroma Steven Johnson, dermatitis eksfoliatif, kelainan hematologi, eritema vesiko
bulosa. Uji provokasi dilakukan setelah eliminasi yang lamanya tergantung dari masa
paruh setiap obat.

Pemeriksaan in vitro
Uji in vitro untuk alergi obat lebih lazim digunakan dalam penelitian. Pemeriksaan
yang dilakukan antara lain IgG dan IgM spesifik, uji aglutinasi dan lisis sel darah
merah, RAST, uji pelepasan histamin, uji sensitisasi jaringan (basofil atau lerkosit
serta esai sitokin dan reseptor sel), sedangkan pemeriksaan rutin seperti IgE total dan
spesifik, uji Coombs, uji komplemen dan lain lain bukanlah untuk konfirmasi alergi
obat. Tujuan dari uji ini untuk membantu membedakan apakah reaksi kulit yang
terjadi pada individu tersebut disebabkan karena obat atau bukan.

Diagnosis banding

Acute Febrile Neutrophilic Dermatosis

Contact Dermatitis, Allergic

Contact Dermatitis, Irritant

Erythema Multiforme

Erythema Nodosum

Erythroderma (Generalized Exfoliative Dermatitis)

Gianotti-Crosti Syndrome (Papular Acrodermatitis of Childhood)

Graft Versus Host Disease

Hypersensitivity Vasculitis (Leukocytoclastic Vasculitis)

Lichen Planus

Measles, Rubeola

Pityriasis Rosea

Porphyria Cutanea Tarda

Psoriasis, Pustular

Rubella

Syphilis

Urticaria, Acute

Urticaria, Chronic

PENATALAKSANAAN

Melindungi kulit, pemberian obat yang diduga menjadi penyebab erupsi kulit harus
dihentikan segera

Menjaga kondisi pasien dengan selalu melakukan pengawasan untuk mendeteksi


kemungkinan timbulnya erupsi yang lebih parah atau relaps setelah berada pada fase
pemulihan;

Transfusi darah bila terapi tidak memberi perbaikan dalam 2 3 hari, khususnya pada
kasus yang disertai purpura yang luas. Pada kasus dengan purpura yang luas dapat
pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg intravena sehari dan hemostatik;

Menjaga kondisi fisik pasien termasuk asupan nutrisi dan cairan tubuhnya. Berikan
cairan via infus bila perlu. Pengaturan keseimbangan cairan elektrolit dan nutrisi
penting karena pasien sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi di mulut dan
tenggorok serta kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infus, misalnya
berupa glukosa 5% dan larutan Darrow.

Kortikosteroid Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat sistemik.


Obat kortikosteroid yang sering digunakan adalah prednison. Pada kelainan urtikaria,
eritema, dermatitis medikamentosa, purpura, eritema nodosum, eksantema fikstum
dan PEGA karena erupsi obat alergi. Dosis standar untuk orang dewasa adalah 3 x 10
mg sampai 4 x 10 mg sehari. Pengobatan eryhema multiforme major, SSJ dan NET
pertama kali adalah menghentikan obat yang diduga penyebab dan pemberian terapi
yang bersifat suportif seperti perawatan luka dan NET perawatan gizi penderita.
Penggunaan glukortikoid untuk pengobatan SSJ dan masih kontroversial. Pertama kali
dilakukan pemberian intravenous immunoglobulin (IVIG) terbukti dapat menurunkan
progresifitas penyakit ini dalam jangka waktu 48 jam. Untuk selanjutnya IVIG
diberikan sebanyak 0.2 0.75 g/kg selama 4 hari pertama.

Antihistamin Antihistamin yang bersifat sedatif dapat juga diberikan, jika terdapat
rasa gatal, kecuali pada urtikaria, efeknya kurang jika dibandingkan dengan
kortikosteroid.

Topikal Pengobatan topikal tergantung pada keadaan kelainan kulit, apakah kering
atau basah. Jika dalam keadaan kering dapat diberikan bedak salisilat 2% ditambah
dengan obat antipruritus seperti mentol 1% untuk mengurangi rasa gatal. Jika
dalam keadaan basah perlu digunakan kompres, misalnya larutan asam salisilat 1%.
Pada bentuk purpura dan eritema nodosum tidak diperlukan pengobatan topikal. Pada
eksantema fikstum, jika kelainan membasah dapat diberikan krim kortikosteroid,
misalnya hidrokortison 1% 2 %. Pada eritroderma dengan kelainan berupa eritema
yang menyeluruh dan mengalami skuamasi dapat diberikan salep lanolin 10% yang
dioleskan sebagian sebagian. Terapi topikal untuk lesi di mulut dapat berupa
kenalog in orabase. Untuk lesi di kulit yang erosif dapat diberikan sofratulle atau krim
sulfadiazin perak.

Farmakoterapi
Terapi Erupsi Alergi Obat yang paling terutama mendukung di alam. Erupsi Morbilliform
diperlakukan dengan antihistamin oral dan steroid topikal. IVIG saat ini agen yang paling
umum digunakan untuk mengobati TEN. Siklosporin juga mungkin memiliki peran dalam
pengobatan TEN. Prednisone dapat digunakan dalam pengobatan sindrom hipersensitivitas
dengan hati dan keterlibatan paru-paru, serum sickness yang parah seperti reaksi, dan
sindrom manis.
Antihistamin generasi pertama Obat ini melawan reseptor H1 dan memblokir pelepasan
histamin. Mereka memberikan bantuan gejala pruritus dan membantu meningkatkan letusan.

Hidroksizin HCl (Anxanil, Atarax, Atozine, Durrax, Vistaril) Antagonizes reseptor


H1 di pinggiran. Dapat menekan aktivitas histamin dalam SSP subkortikal. Tersedia
sebagai 10 -, 25 -, 50 -, atau 100 mg-tab.

Diphenhydramine HCl (Benadryl, Chesty, Diphen, AllerMax) Untuk mengurangi


gejala-gejala gejala alergi yang disebabkan oleh pelepasan histamin dalam reaksi
kekebalan.

Antihistamin generasi kedua, nonsedating Agen-agen ini menyebabkan kurang,


mengantuk dibandingkan generasi pertama

Loratadin (Claritin) Selektif menghambat reseptor perifer histamin H1.

Kortikosteroid Agen topikal memberikan bantuan gejala pruritus. Steroid sistemik


digunakan pada orang dengan sindrom hipersensitivitas, serum sickness yang parah
seperti reaksi, dan sindrom manis.

Desonide Untuk inflamasi dermatosis responsif terhadap steroid, penurunan


peradangan dengan menekan migrasi leukosit PMN dan membalikkan permeabilitas
kapiler.

Prednisone (Deltasone, Orasone, Sterapred) Imunosupresan untuk pengobatan


gangguan kekebalan, dapat mengurangi peradangan dengan membalikkan
peningkatan permeabilitas kapiler dan menekan aktivitas PMN, tersedia dalam 2,5-, 5
-, 10 -, 20 -, atau 50-mg tab.

Imunoglobulin digunakan untuk mengobati TEN.

Intravena imunoglobulin (Gammagard, Gamimune) Produk darah dibuat dari


plasma dikumpulkan dari donor sehat. Fitur berikut ini mungkin relevan dengan
khasiat: netralisasi beredar antibodi mielin melalui anti-idiotypic antibodi, downregulasi sitokin proinflamasi, termasuk IFN-gamma, blokade reseptor Fc pada
makrofag, penindasan T inducer dan sel B dan T-augmentasi penekan sel, blokade
kaskade komplemen, promosi remyelination, dan peningkatan 10% dalam CSF IgG.

Sumber : http://allergyclinic.wordpress.com/2012/10/22/penanganan-terkini-erupsi-alergiobat

ERUPSI OBAT ALERGIK


PENDAHULUAN
Erupsi obat dapat terjadi akibat pemakaian obat, yaitu obat yang diberikan oleh dokter
dalam resep, atau obat yang yang dijual bebas, termasuk campuran jamu-jaumuan ;yang
dimaksud dengan obat ialah zat yang di pakai untuk menegakkan diagnosis, profilaksis, dan
pengobatan. Pemberian obat secara topikal dapat pula menyebabkan alergi sistemik, akibat
penyerapan obat oleh kulit.

Erupsi obat berkisar antara erupsi ringan sampai erupsi berat yang mengancam jiwa
manusia. Obat makin lama makin banyak digunakan oleh masyarakat, sehingga reaksi
terhadap obat juga meningkat yaitu reaksi simpang obat (adverse drug reaction) atau R.S.O.
Salah satu bentuk R.S.O. ialah reaksi obat alergik (R.O.A). Manifestasi reaksi obat
pada kulit disebut erupsi obat alergik (E.O.A.). Satu macam obat dapat menyebabkan lebih
dari satu jenis erupsi, sedangkan satu jenis erupsi dapat disebabkan oleh bermacam-macam
obat. Obat masuk dalam tubuh secara sistemik, berarti melalui mulut, hidung, telinga, vagina,
suntikan atau infus. Juga dapat sebagai obat kumur, obat mata, tapal gigi dan obat topikal.
Definisi
Erupsi obat alergik atau allergic drug eruption ialah reaksi alergik pada kulit atau
daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat yang biasanya sistemik.
Yang dimaksud dengan obat, ialah zat yang dipakai untuk menegakkan diagnosis,
profilaksis, dan pengobatan.
Gambaran Klinis :
1. Erupsi makulapapular atau morbiliformis
Erupsi makulapapular atau morbiliformis disebut juga erupsi
eksantematous dapat di induksi oleh hampir semua obat. Seringkali terdapat
erupsi generalisata dan simetris terdiri atas eritema, selalu ada gejala pruritus.
Kadang-kadang ada demam, malaise, dan nyeri sendi.
Lesi biasanya timbul dalam 1- 2 minggu setelah dimulainya terapi
erupsi jenis ini sering disebabkan oleh ampisilin, NSAID, sulfonamid dan
tetrasiklin.
2. Urtikaria dan angioderma
Urtikaria menunjukkan kelainan kulit berupa urtika, kadang-kadang
dapat disertai angioderma.
Pada angioderma yang berbahaya ialah terjadi asfiksia, bila menyerang
glotis. Keluhannya umumnya gatal dan panas pada tempat lesi. Biasanya
timbul mendadak hilang dan perlahan-lahan dalam 24 jam. Urtikaria dapat
disertai demam, dan gejala-gejala umum, misalnya malaise, nyeri kepala dan
vertigo.
Angioderma biasanya terjadi di daerah bibir, kelopak mata, genitalia
eksterna, tangan dan kaki. Kasus-kasus angioderma pada lidah dan laring
harus mendapat pertolongan segera. Penyebab tersering ialah penisilin, asam
asetilsalisilat dan NSAID.
3. Fixed drug eruption (FDE)
FDE disebabkan khusus obat atau bahan kimia. FDE merupakan salah
satu erupsi kulit yang sering dijumpai. Kelainan ini umumnya berupa eritema
dan vesikel berbentuk bulat atau lonjong dan biasanya numular. Kemudian
meninggalkan bercak hiperpigmentasi yang lama baru hilang, bahkan sering
menetap. Dari namanya dapat diambil kesimpulan bahwa kelainan akan timbul
berkali-kali pada tempat yang sama. Tempat predileksinya disekitar mulut, di
daerah bibir dan daerah penis pada laki-laki sehingga sering disangka penyakit

kelamin karena berupa erosi yang kadang-kadang cukup luas disertai eritema
dan rasa panas setempat.
Obat penyebabnya
trimetoprim, dan analgesik.

yang

sering

ialah

sulfonamid,

barbiturat,

4. Eritroderma (dermatitis eksfoliativa)


Eritroderma adalah terdapatnya eritema universal yang biasanya
disertai skuama.
Eritroderma dapat disebabkan oleh bermacam-macam penyakit lain
disamping alergi karena obat, misalnya psoriasis penyakit sistemik termasuk
keganasan pada sistem limforetikuler (penyakit Hodgkin leukemia).
Pada eritroderma karena alergi obat terlihat eritema tanpa skuama,
skuama baru timbul pada stadium penyembuhan, obat-obat yang biasa
menyebabkan ialah sulfonamid, penisilin, fenilbutazon.
5. Purpura
Purpura adalah perdarahan di dalam kulit berupa kemerahan yang tidak
hilang bila ditekan. Erupsi purpura dapat terjadi sebagai ekspresi tunggal
alergi obat. Biasanya simetris serta muncul disekitar kaki, termasuk
pergelangan kaki atau tungkai bawah. Erupsi berupa bercak sirkumskrip
berwarna merah kecoklatan dan disertai rasa gatal.
6. Vaskulitis
Vaskulitis ialah radang pembuluh darah. Kelainan kulit dapat berupa
palpable purpura yang mengenai kapiler.
Biasanya distribusinya simetris pada ekstremitas bawah dan daerah
sakrum. Vaskulitis biasanya disertai demam, mialgia, dan anoreksia. Obat
penyebab ialah penisilin, sulfonamid, NSAID, antidepresan dan anti aritmia.
Jika vaskuliti terjadi pada pembuluh darah sedang berbentuk eritema
nododsum (E.N).
Kelainan kulit berupa eritema dan nodus yang nyeri dengan eritema di
atasnya disertai gejala umum berupa demam dan malaimialnyase. Tempat
predileksinya didaerah ekstensor tungkai bawah. E. N. Dapat pula disebabkan
oleh beberapa penyakit lain,misalnya tuberculosis, infeksi streptococcus dan
lepra. Obat yang dianggap sering menyebabkan E.N. ialah sulfonamid dan
kontrasepsi oral.
7. Reaksi fotoalergik
Gambaran klinis reaksi fotoalergi sama dengan dermatitis kontak alergik,
lokalisasinya pada tempat yang terpajan sinar matahari. Kemudian kelainan
dapat meluas ke daerah tidak terpajan matahari.

Obat yang dapat menyebabkan foto alergik ialah fenotiazin, sulfonamida,


NSAID, dan griseofulvin.
8. Pustulosa eksantematosa generalisata akut
Penyakit pustulosa eksantematosa generalisata akut (P.E.G.A) atau
acute geneliralized exanthematous pustulosis (AGEP) jarang terdapat, di duga
dapat disebabkan oleh alergi obat, infeksi akut oleh enterovirus,
hipersensitivitas terhadap merkuri dan dermatitis kontak.
Kelainan kulitnya berupa pustul-pustul miliar nonfolikular yang timbul
pada kulit yang eritematosa dapat disertai purpura dan lesi menyerupai lesi
target. Kelainan kulit timbul pada waktu demam tinggi (>38 C), dan pustulpustul tersebut cepat menghilang sebelum 7 hari yang kemudian diikuti
deskuamasi selama beberapa hari.
Pada pemeriksaan histopatologik didapati pustul intraepidermal atau
subkorneal yang dapat disertai edema dermis, vaskulitis, infiltrat
polimorfonuklear perivaskuler dengan eosinofil atau nekrosis fokal sel-sel
keratinosit.
Terdapat 2 perbedaaa utama antara P.E.G.A.dan psoriasis pustulosa,
yaitu P.E.G.A. terjadinya akut dan terdapat riwayat alergi obat. Pada P.E.G.A.
pustul-pustul pada kulit yang eritematosa dan demam lebih cepat menghilang,
selain itu gambaran histopatologik juga berbeda.
9. Dismping kelainan-kelainan tersebut dapat terjadi kelainan berupa eritema
multiforme, sindrom steven johnson, dan nekrolisis epidermal toksik yang
dibicarakan secara tersendiri.
Pengobatan:
Sistemik
a. Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat sistemik. Obat
kortikosteroid yang sering digunakan dibagian Ilmu Penyakit kulit dan
Kelamin RSCM/FKUI ialah tablet prednison (1 tablet = 5 mg). Pada kelainan
urtikaa, eritema, dermatitis medikamentosa, purpura, eritema nodosum,
eksantema fikstum dan P.E.G.A. karena alergi obat, dosis standar untuk orang
dewasa ialah 3 x 10 mg prednison sehari. Pada eriroderma dosisnya ialah 3 x
10 mg sampai 4 x 10 mg sehari.
b. Anti histamin
Anti histamin yang bersifat sedatif dapat juga diberikan, jika terdapat rasa
gatal. Kecuali pada urtikaria, efeknya kurang kalau dibandingkan dengan
kortikosteroid.
Topikal
Pengobatan topikal bergantung pada keadaan kelainan kulit, apakah
kering atau basah. Kalau keadaan kering, seperti pada eritema dan urtikaria,
dapat diberikan bedak contohnya : bedak salisilat 2% ditambah dengan obat
antipruritus, misalnya mentol - 1 % untuk mengurangi rasa gatal. Kalau
keaadan membasah seperti derrmatitis medikamentosa, perlu digunakan
kompres, misalnya krim hidrokortison 1% atau 2 %.
Pada eritroderma dengan kelainan berupa eritema yang menyeluruh
dan skuamasi, dapat diberi salap lanolin 10% yang dioleskan sebagiansebagian

Prognosis :
Pada dasarnya erupsi kulit karena obat akan meyembuhkan bila obat
penyebabnya dapat akan menyembuh bila obat penyebabnya dapat diketahui
dan segera disingkirkan. Akan tetapi pad beberapa bentuk, misalnya
eritroderma dan kelainan-kelainan berupa sindrom Lyell dan sindrom steven
johnson, prognosis dapat menjadi buruk bergantung pada luas kulit yang
terkena.
Sumber : Mochtar Hamzah. 2010. Erupsi Obat alergik. Dalam : Ilmu
Penyakit dan Kelamin. Edisi V. Fakultas Kedokteran Unversitas Indonesia.

Você também pode gostar