Você está na página 1de 22

Laporan Kasus

Defek Septum Atrium

Disusun oleh:
Divorian Adwiditanra

04054821618083

Dwi Putri Mustika

04054811416031

Pembimbing: dr. Ria Nova, Sp. A (K)

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2016

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setiap lubang pada sekat atrium yang menyebabkan adanya hubungan
antara atrium kanan dan kiri disebut dengan Defek Sekat Atrium. Penyakit
Defek Sekat Atrium terhitung sebanyak 10% dari seluruh penyakit jantung
kongenital dan berkisar antara 22-40% penyakit jantung kongenital pada usia
dewasa, tipe terbanyak adalah ostium secundum dengan 60-70% kasus.
Kasus ini lebih banyak menimpa kaum wanita dengan rasio 2:1
dibandingkan dengan kaum laki-laki. Insiden penyakit ini secara pasti sukar
ditentukan karena penyakit ini cukup sulit terdeteksi karena bising jantungnya
yang tidak mudah didengar dan lebih sering asimptomatis . Sebagian besar
pasien yang mengidap penyakit ini memang tidak bergejala, tapi beberapa
menunjukkan gejala mudah lelah dan sesak saat beraktivitas. Gejala yang nyata
membutuhkan waktu 30-40 tahun untuk muncul dan berkembang.
Berdasarkan variasi kelainan anatominya, defek sekat atrium dapat
diklasifikasikan menjadi dua yaitu defek sekat atrium tipe primum (tipe 1) dan
defek sekat atrium tipe sekundum (tipe 2). Defek sekat atrium tipe 1
disebabkan oleh defek yang terjadi pada septum primum yang gagal
berkembang mencapai bantalan endokardium, terkadang pula bantalan
endokardium itu sendiri yang gagal berkembang sehingga ostium primum akan
tetap terbuka, defek tipe ini hanya sekitar 30% dari seluruh defek sekat atrium.
Defek sekat atrium tipe sekundum (tipe 2) merupakan defek sekat atrium yang
paling sering terjadi terhitung 70% dari kasus defek sekat atrium, tipe ini
terbagi menjadi beberapa tipe berdasar lokasi defek, seperti defek pada fossa
ovalis yang paling sering terjadi akibat patensi foramen ovale yang
memungkinkan darah mengalir dari atrium kanan dan kiri, sedangkan defek
tipe sinus venosus vena cana superior dan inferior merupakan tipe defek yang
sangat jarang terjadi.

BAB II
STATUS PEDIATRIK
A. IDENTIFIKASI
Nama

: An. HM

Usia

: 16 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan


Nama Ayah

: SRN

Nama Ibu

: DS

Suku Bangsa

: Jawa

Agama

: Islam

Alamat

: Desa Batu Belubang Pangkalan Batu Bangka Tengah

MRS

: 27/05/2016 pukul 16.00 WIB

No. Medrec

: 938920

B. ANAMNESIS
Alloanamnesis (28 Juli 2015)
1. Riwayat Penyakit Sekarang
Keluhan utama

: Sesak nafas

Keluhan tambahan : 6 bulan SMRS, pasien merasakan sesak. Sesak dirasakan ketika
pasien melakukan aktivitas. Sesak berkurang ketika istirahat, timbul
sesak tidak diakibatkan oleh debu, cuaca ataupun makanan. Pasien juga
mengeluhkan dadanya berdebar-debar saat sesak. Dada berdebar-debar
tidak berkurang dengan istirahat. Tidak ada nyeri dada yang dirasakan
saat sesak. Selanjutnya pasien berobat ke praktek dokter umum, namun
keluhan tidak berkurang.
2 minggu SMRS, pasien merasakan sesak yang semakin
memberat, berdebar-debar saat sesak dan merasakan sangat lemah serta
merasa capek dengan aktivitas yang tidak terlalu berat. Batuk (+)

demam (-). Mual (-) muntah (-). Kemudian pasien berobat ke dokter
lalu dirujuk ke RSMH untuk dilakukan operasi.
2. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat sering berhenti bila menyusu (-)
Riwayat biru saat bayi (-)
3. Riwayat kehamilan ibu dan kelahiran anak
Masa Kehamilan
Partus
Tempat
Ditolong oleh
Tanggal
BB
PB

: 9 bulan 10 hari
: Secsio cesara
: Rumah Sakit
: Dokter Spesialis Kandungan
: 16 september 2000
: 3500 gram
: 47 cm

Lingkar kepala

: Ibu lupa

4. Riwayat makanan
a. ASI

: lahir 2 tahun. Diberikan 7-8 kali sehari

b. Bubur : 6 bulan 1 tahun. Diberikan 3 kali sehari


c. Nasi

: 1 tahun sekarang. Diberikan 3 kali sehari

5. Riwayat imunisasi
Imunisasi Dasar
BCG
DPT 1
Hib 1
Polio 1
Hepatitis
B1
Campak

V
V
V
V
V

DPT 2
Hib 2
Polio 2
Hepatitis

V
V
V

B2
V

Kesan: Imunisasi dasar lengkap dan sesuai umur


6. Riwayat keluarga

DPT 3
Hib 3
Polio 3
Hepatitis
B3

V
V
V

Perkawinan

: 1 kali

Umur

: ibu 38 tahun; ayah 43 tahun

Pendidikan

: SMA

Penyakit yang diderita

: Penyakit jantung bawaan disangkal


Ibu

Ayah

Kakak
(P)

Kakak (L)

os (P)

7. Riwayat perkembangan
Gigi Pertama: Usia 7 bulan
Berbalik

: Usia 3 bulan

Tengkurap : Usia 4 bulan


Merangkak : Usia 7 bulan
Duduk

: Usia 9 bulan

Berdiri

: Usia 12 bulan

Berjalan

: Usia 1,5 tahun

Berbicara

: Usia 1,5 tahun

Kesan

: Sesuai masa perkembangan

1. Riwayat penyakit yang pernah diderita


Penderita telah terdiagnosis ASD sejak februari 2016

2. Riwayat Sosio Ekonomi


Ayah bekerja sebagai PNS kota Bangka dan ibu sebagai ibu rumah
tangga. Menanggung 3 orang anak. Biaya pengobatan ditanggung oleh
BPJS kesehatan.

Kesan : Sosioekonomi menengah.


C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Pemeriksaan fisik umum
a. Keadaan Umum

: Tampak sakit sedang

b. Kesadaran

: Compos mentis

c. Tekanan darah

: 110/60 mmHg

d. Temperatur

: 36,5oC

e. Pernapasan

: 24 x/m

f. Nadi

: 92 x/m

g. Berat Badan

: 60 kg

h. Tinggi Badan

: 164 cm

Status gizi

BB/U

: P 75

TB/U

: P 50- P 75

BB/TB

: 114,28

Kesan : Gizi lebih


2. Pemeriksaan fisik spesifik
a. Kepala:
Mata

: Conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),pupil


bulat, sentral, diameter 3mm/3mm, reflex cahaya
(+/+)

Hidung

: Deviasi septum (-), mukosa merah muda,


pernapasan cuping hidung (-), epistaksis (-).

Mulut

: Sianosis (-), arkus faring simetris, hiperemis (-)


uvula di tengah.

b. Leher

: Pembesaran kelenjar getah bening tidak ada

c. Thorax:
Inspeksi

: Bentuk dan gerak simetris, retraksi intercostal (-)

Palpasi

: ictus cordis teraba paling kuat pada ics 5 lineam


parasternal sinistra

Perkusi

: Tidak dilakukan

Auskultasi

Cor : BJ I-II normal, murmur sistolik grade iii/6 ICS II-III linea
parasternal sinistra, thrill (-), gallop (-)

Pulmo: ronkhi (-), wheezing (-)

d. Abdomen:
Inspeksi

: Datar, lemas

Palpasi

: Hepar dan lien tidak teraba

Auskultasi

: Bising usus (+) normal

Perkusi

: Timpani

e. Ekstremitas: akral hangat, CRT<2, sianosis (-), tonus 5/5


f. Genitalia: Tidak diperiksa
3. Pemeriksaan penunjang
Foto Thoraks
Kesan:
LAH, Peningkatan corakan arteri pulmonalis
Pemeriksaan echocardiografi

Kesimpulan: ASD sekundum besar


D. DIAGNOSIS
ASD sekundum besar
E. PENATALAKSANAAN
Non Farmakologi
-

Edukasi keluarga penderita mengenai penyakit yang dideritanya

Menjelaskan kepada ibu penderita tanda jika penderita mengalami


perburukan seperti sesak napas berat. Memberitahu kepada keluarga
untuk membatasi aktivitas fisik anak.

Bed rest

Farmakologi
-

Furosemid 2 x 5 mg (PO)

Captopril 2 x 3 mg (PO)

PTU 3 x 15 mg (PO)

F. PROGNOSIS
Quo ad Vitam

: Dubia

Quo ad Functionam

: Dubia

G. Follow-up
Tanggal
28 Juli 2015

Subjektif, Objektif &


Assesment
S: demam

(-),

Penatalaksanaan

sesak

Edukasi

berkurang, batuk (-)


O: KU: tampak sakit

Furosemid 2 x 5

sedang
Sens: compos
RR:

mentis,

38x/menit,

SI(-)
Thorax: simetris, retraksi
BJ

I-II

Captopril 2 x 3
mg (PO)

HR:

162x/menit, T: 37,0 C.
Kepala: NCH (+), CA (-),

(-)
Cor:

mg (PO)

PTU 3 x 15 mg
(PO)

Monitor

Vital

sign (RR, SpO2)

normal,

murmur sistolik gr 4/6


ICS II-II dan ICS IV LPS
sinistra, gallop (-)
Pulmo: Ves (+) ronkhi
(-) , Wheezing (-)
Abdomen: datar, lemas,
hepar/lien tidak teraba,
bising usus (+) normal
Ekstremitas:
akral
hangat, sianotik (-),
A: VSD +PDA
29 Juli 2015

hipertiroid
S: demam

(-),

sesak

Edukasi

berkurang, batuk (-)


O: KU: tampak sakit

Furosemid 2 x 5

sedang
Sens: compos
RR:

38x/menit,

mentis,

mg (PO)
-

mg (PO)

HR:

162x/menit, T: 37,0 C.
Kepala: NCH (+), CA (-),

Captopril 2 x 3

PTU 3 x 15 mg
(PO)

SI(-)
Thorax: simetris, retraksi (-)
Cor: BJ I-II normal,
murmur sistolik gr 4/6
ICS II-II dan ICS IV LPS
sinistra, gallop (-)
Pulmo: Ves (+) ronkhi
(-) , Wheezing (-)
Abdomen: datar, lemas,
hepar/lien tidak teraba,
bising usus (+) normal
Ekstremitas:
akral
hangat, sianotik (-),
A: VSD +PDA
30 Juli 2015

hipertiroid
S: demam

(-),

sesak

Edukasi

berkurang, batuk (-)


O: KU: tampak sakit

Furosemid 2 x 5

sedang
Sens: compos
RR:

mentis,

38x/menit,

SI(-)
Thorax: simetris, retraksi
BJ

I-II

normal,

murmur sistolik gr 4/6


ICS II-II dan ICS IV LPS
sinistra, gallop (-)
Pulmo: Ves (+) ronkhi
(-) , Wheezing (-)
Abdomen: datar, lemas,
hepar/lien tidak teraba,
bising usus (+) normal

Captopril 2 x 3
mg (PO)

HR:

162x/menit, T: 37,0 C.
Kepala: NCH (+), CA (-),

(-)
Cor:

mg (PO)

PTU 3 x 15 mg
(PO)

Monitor

Vital

sign (RR, SpO2)

Ekstremitas:
hangat, sianotik (-),
A: VSD +PDA +
hipertiroid

akral

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Defek Septum Atrium (DSA) merupakan keadaan dimana terjadi defek
pada bagian septum antar atrium sehingga terjadi komunikasi langsung
antara atrium kiri dan kanan.Defek Septum Atrium dapat terjadi di bagian
manapun dari septum atrium, tergantung dari struktur septum atrium yang
gagal berkembang secara normal.
2. Etiologi
Pada sebagian besar kasus, penyebab penyakit jantung bawaan tidak
diketahui secara pasti, diduga karena adanya faktor endogen dan eksogen.
Faktor faktor tersebut antara lain:
1. Faktor endogen
a. Berbagai jenis penyakit genetik: kelainan kromosom
b. Anak yang lahir sebelumnya menderita penyakit jantung bawaan
c. Adanya penyakit tertentu dalam keluarga seperti diabetes melitus,
hipertensi, penyakit jantung atau kelainan bawaan
2. Faktor eksogen
a. Riwayat kehamilan ibu: sebelumnya mengikuti program KB oral
atau suntik,minum obat-obatan tanpa resep dokter, (thalidmide,
dextroamphetamine, aminopterin, amethopterin, jamu)
b. Ibu menderita penyakit infeksi: rubella
c. Pajanan terhadap sinar X
Diperkirakan lebih dari 90% kasus penyebab adalah multifaktorial.
Apapun sebabnya, pajanan terhadap faktor penyebab harus ada sebelum
akhir bulan kedua kehamilan, oleh karena pada minggu ke-delapan
kehamilan pembentukan jantung janin sudah selesai. Pada faktor genetik, hal
yang penting kita perhatikan adalah adanya

riwayat keluarga yang

menderita penyakit jantung. Hal lain yang juga berhubungan adalah adanya

kenyataan bahwa sekitar 10% penderita PJB mempunyai penyimpangan


pada kromosom, misalnya pada Sindroma Down.
3. Epidemiologi
Di Indonesia belum ada angka yang pasti mengenai kejadian PJB.
Literatur yang ada menunjukkan prevalensi 0,5-0,8% pada kelahiran hidup.
Dengan mengacu hal tersebut, pada tahun 2005 diperkirakan antara 24.000
sampai 38.000 bayi dilahirkan dengan penyakit jantung bawaan. Sementara
itu, Surabaya merupakan kota terpadat di Jawa Timur dengan jumlah
penduduk pertengahan tahun 2005 mencapai 2.698.972, dengan angka
kelahiran 43.978. Dengan demikian kejadin PJB diperkirakan antara 220
sampai 352 pada tahun tersebut.
Prevalensi kelahiran di Amerika serikat untuk atrium septal defect berkisar
antara 13,63 dan 100,18 per 10.000 kelahiran (national Birth Defects
Prevention Network 2005). Rata-rata di Texas untuk tahun 1992-2002
adalah 40,12 kasus per 10.000 kelahiran.
b. Klasifikasi
Berdasarkan letak lubang, ASD dibagi dalam tiga tipe :
a. Ostium secundum: merupakan tipe ASD yang tersering. Kerusakan yang
terjadi terletak pada bagian tengah septum atrial dan fossa ovalis,
meskipun sesungguhnya fosa ovalis merupakan septum primum.umumnya
defek bersifat tunggal tetapi pada keadaan tertentu dapat terjadi beberapa
fenestrasi kecil, dan sering disertai dengan aneurisma fosa ovalis
b. Ostium primum merupakan bagian dari defek septum atrioventrikular dan
pada bagian atas berbatas dengan fosa ovalis sedangkan bagian bawah
dengan katup atrioventrikular
c. Defek Sinus venosus, defek terjadi dekat muara vena besar (vena cava
superior), sehingga terjadi koneksi biatrial. Sering vena pulmonalis dari
paru-paru kanan juga mengalami anomali, dimana vena tersebut bermuara
ke vena cava superior dekat muaranya di atrium. Dapat juga terjadi defek
sinus venosus tipe vena cava inferior, dengan lokasi di bawah foramen
ovale dan bergabung dengan dasar vena cava inferior.
c. Patogenesis

Pada Atrial Septal Defect, aliran darah yang ada di atrium sinistra bocor ke
atrium dextra karena ada defect di septum interatrial-nya yang disebabkan
oleh gagalnya menutup sebuah septum maupun karena adanya gangguan
pertumbuhan. Karena tekanan di ventrikel sinistra yang memompa darah ke
seluruh tubuh lebih besar maka darah dari atrium dextra tidak dapat masuk
ke atrium sinistra sehingga dapat dikatakan darah jalan dari tekanan tinggi
ke tekanan rendah (dari Atrium Sinistra ke Atrium Dextra). Di atrium dextra
dan ventrikel dextra terjadi overload darah yang mengakibatkan hipertrofi
atrium dan ventrikel dextra. Darah kemudian masuk ke arteri pulmonalis
melewati katup pulmonal, yang otomatis terlalu sempit untuk jalan darah
yang begitu banyak. Hal ini disebut stenosis pulmonal relative. Akibatnya
arteri pulmonalis menjadi dilatasi. Selanjutnya terjadi turbulensi disana
yang menyebabkan terjadinya bunyi murmur systole.
d. Diagnosis
Defek Septum Atrium sekundum lebih sering terjadi pada perempuan
dengan rasio 2:1 antara perempuan dan pria.Defek septum atrium (DSA)
sering tidak terdeteksi sampai dewasa karena biasanya asimptomatik dan
tidak memberikan gambaran diagnosis fisik yang khas. Walaupun angka
kekerapan hidup tidak seperti normal, cukup banyak yang bertahan hidup
sampai usia lanjut.
a. Gejala klinis
Penderita DSA sebagian besar menunjukkan gejala klinis sebagai berikut:

Detak jantung berdebar-debar (palpitasi)

Sering mengalami infeksi saluran pernapasan

Dispneu (kesulitan dalam bernapas)

Sesak napas ketika melakukan aktivitas

Dispneu deffort dan atau kelelahan ringan adalah gejala awal yang
paling sering ditemui.Pada bayi kurang dari 1 tahun jarang sekali

memperlihatkan tanda-tanda gagal jantung kongestif yang mengarah pada


defek atrium yang tersembunyi. Diagnosis ditegakkan berdasarkan
pemeriksaan fisik:

Denyut arteri pulmonalis dapat diraba di dada

Pemeriksaan dengan stetoskop menunjukkan bunyi jantung yang


abnormal. Dapat terdengar murmur akibat peningkatan aliran darah
yang melalui katup pulmonalis.

Tanda-tanda gagal jantung

Jika shunt-nya besar,murmur juga bisa terdengar akibat peningkatan


aliran darah yang mengalir melalui katup trikuspidalis.
Pada pemeriksaan DSA terdapat suara splitting yang menetap pada

S2. Tanda ini adalah khas pada patologis DSA dimana defek jantung yang
tipe lain tidak menyebabkan suara splitting pada S2 yang menetap. Sianosis
jarang ditemukan, kecuali bila defek besar atau common atrium, defek sinus
koronarius, kelainan vaskular paru, stenosis pulmonal, atau bila disertai
anomali Ebstein.
b. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk DSA ini dapat dilakukan dengan beberapa
cara,antara lain:
Foto Thoraks
Foto thoraks standar dapat sangat membantu diagnosis defek septum
atrium. Pada pasien dengan defek septum atrium dengan pirau yang
bermakna, foto thoraks AP menunjukkan atrium kanan yang menonjol, dan
dengan konus pulmonalis yang menonjol. Pada foto AP biasanya tampak
jantung yang hanya sedikit membesar dan vaskularisasi paru yang
bertambah sesuai dengan besarnya pirau, seperti pada defek septum
ventrikel, vaskularisasi paru tampak meningkat bila Qp/ Qs > 2:1.
Elektrokardiografi

Gambaran EKG penting dalam membantu diagnosis defek septum


sekundum. Elektroardiogram menunjukkan pola RBBB pada 95% kasus defek
septum sekundum, yang menunjukkan terdapatnya beban volume ventrikel
kanan. Pada defek septum atrium deviasi sumbu QRS ke kanan (right axis
deviation) yang membedakannya dari defek septum atrium primum yang
menunjukkan deviasi sumbu (left axis deviation). Dapat juga terjadi blok AV
derajat 1 (pemanjangan interval PR) terdapat pada 10% kasus defek
sekundum. Hipertrofi ventrikel kanan cukup sering ditemukan, akan tetapi
pembesaran atrium kanan jarang tampak.
Ekokardiografi
Dengan menggunakan ekokardiografi trans torakal (ETT) dan Doppler
berwarna dapat ditentukan lokasi defek septum, arah pirau, ukuran atrium dan
ventrikel kanan, keterlibatan katup mitral misalnya prolaps yang memang
sering terjadi pada DSA.
Ekokardiografi trans esophageal (ETE) sangat bermanfaat bila,dengan
cara ini dapat dilakukan pengukuran besar defek secara presisi, sehingga dapat
membantu dalam tindakan penutupan DSA perkutan, juga kelainan yang
menyertai.
Kateterisasi jantung
Dengan tersedianya alat ekokardiografi dan doppler, terdapat 2 hal
penting dalam diagnosis dan penatalaksanaan defek septum atrium. Pertama,
lebih banyak pasien dengan defek septum sekundum yang diagnosisnya dapat
ditegakkan pada masa bayi dan anak kecil. Kedua, diagnosis anatomik dan
fisiologis yang akurat dengan ekokardiografi dan doppler memungkinkan
kateterisasi jantung., kateterisasi hanya dilakukan apabila terdapat keraguan
akan adanya penyaki penyerta atau hipertensi pulmonal.
Apabila dilakukan pada kateterisasi jantung defek septum sekundum
tanpa komplikasi ditemukan tekanan ventrikel kanan dan arteri pulmonalis
yang normal atau sedikit meningkat. Terdapat pula kenaikan saturasi oksigen

di atrium kanan. Perlu dicari kemugkinan terdapatnya kelainan lain misalnya


stenosis pulmonal atau anomali parial drainase vena pulmonalis.
e. Tatalaksana
Menutup DSA pada masa kanak-kanak bisa mencegah terjadinya kelainan
yang serius di kemudian hari.Pada beberapa anak, DSA dapat menutup spontan
tanpa pengobatan.Jika gejalanya ringan atau tidak ada gejala, tidak perlu
dilakukan pengobatan.Jika lubangnya besar atau terdapat gejala, dilakukan
pembedahan untuk menutup DSA. Pengobatan pencegahan dengan antibiotik
sebaiknya diberikan setiap kali sebelum penderita menjalani tindakan pencabutan
gigi untuk mengurangi risiko terjadinya endokarditis infektif.
Pada DSA dengan rasio left to right shunt lebih besar dari 2:1 perlu
dilakukan tindakan operasi untuk mengkoreksi keadaan tersebut. Ada 2 jenis
tindakan operasi yang digunakan untuk melakukan koreksi pada DSA ini, yaitu:

Bedah jantung terbuka

Amplatzer septal occlude (ASO)


ASO merupakan alat dengan cakram ganda yang dapat mengembang
sendiri (self expandable), terbuat dari kawat nitinol berdiameter 0,004-0,0075
inci yang teranyam kuat menjadi dua cakram dengan pinggang penghubung 3-4
mm. Di dalamnya terdapat lapisan dakron terbuat dari benang polyester yang
dapat merangsang trombosis sehingga lubang/hubungan antara atrium kiri dan
kanan akan tertutup sempurna. Tindakan pemasangan ASO telah mendapat
persetujuan dari American Food and Drug Administration (FDA) pada bulan
Desember 2001. Di Indonesia, tindakan ASO mulai dilakukan pada tahun 2002.
Kriteria pasien DSA yang akan dilakukan pemasangan ASO, antara lain :
1. DSA sekundum
2. Diameter kurang atau sama dengan 34 mm
3. Flow ratio lebih atau sama dengan 1,5 atau terdapat tanda-tanda beban
volume pada ventrikel kanan

4. Mempunyai rim posterior minimal 5 mm dari vena pulmonalis kanan


5. Defek tunggal dan tanpa kelainan jantung lainnya yang memerlukan
intervensi bedah
6. Muara vena pulmonalis normal ke atrium kiri
7. Hipertensi pulmonal dengan resistensi vaskuler paru (Pulmonary Artery
Resistance Index = PARI) kurang dari 7 - 8 Wood Unit
8. Bila ada gagal jantung, fungsi ventrikel (EF) harus lebih dari 30%.
Pada dewasa sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor termasuk keluhan,
umur, ukuran dan anatomi defek, adanya kelainan yang menyertai, tekanan arteri
pulmonal serta resistensi vascular paru. Indikasi penutupan DSA:
a. Pembesaran jantung foto toraks, dilatasi ventrikel kanan,kenaikan arteri
pulmonalis 50% atau kurang dari tekanan aorta, tanpa mempertimbangkan
keluhan.
b. Adanya riwayat iskemik transient atau stroke pada DSA atau foramen
ovale persisten.
f. Komplikasi
Komplikasi yang akan timbul jika tidak dilakukan penutupan defek adalah
pembesaran jantung kanan dan penurunan komplians ventrikel kanan,
aritmia, dan kemungkinan untuk menyebabkan penyakit vaskular paru
obstruktif. Sindroma eisenmenger adalah keadaan pirau kanan ke kiri parsial
atau total pada pasien dengan defek septum akibat perubahan vaskular paru.
Pada defek septum yang menyebabkan pirau dari kiri ke kanan, peningkatan
alirah darah ke paru menyebabkan perubahan histologis pada pembuluh
darah paru. Hal ini menyebabkan tekanan darah di paru meningkat, sehingga
pirau berbalik arah menjadi dari kanan ke kiri. Gejala yang timbul berupa
sianosis, dyspnea, lelah dan disritmia. Pada tahap akhir penyakit, dapat
timbul gagal jantung, nyeri dada, sinkop dan hemoptisis.
g. Prognosis
Secara umum, prognosis defek septum sekundum pada masa anak-anak
dapat dikatakan baik.Pada sebagian besar kasus meskipun tidak dioperasi

pasien dapat melakukan aktivitasnya dengan normal ataupun hampir normal.


Masalah akan timbul pada dekade ke-2 hingga ke-3. Hipertensi pulmonal
dapat terjadi dalam kurun waktu tersebut. DSA meskipun tidak
membahayakan tapi perlu mendapatkan perhatian khusus karena selama
puluhan tahun tidak menunjukkan keluhan dalam perjalanannya, tetapi
dalam waktu sangat pendek terutama dengan timbulnya hipertensi pulmonal
akan mengarah dalam suatu keadaan klinis yang berat. Timbulnya fibrilasi
atrium dan gagal jantung merupakan gejala yang berat.
Setelah penutupan DSA pada waktu anak-anak, ukuran jantung akan
kembali pada ukuran normal pada waktu 4-6 bulan. Setelah dilakukan
penutupan, tidak ada permasalahan yang timbul dengan aktivitas fisik dan
tidak ada batasan apapun dalam aktivitas. Yang harus dilakukan adalah
melakukan perawatan secara berkaladengan seorang ahli kardiologi yang
telah merawatnya.10 Prognosis penutupan DSA akan sangat baik dibanding
dengan pengobatan medikamentosa. Pada kelompok umur 40 tahun ke atas
harus dipertimbangkan terjadinya aritmia atrial, apalagi bila sebelumnya
telah ditemui adanya gangguan irama.

BAB IV
ANALISIS KASUS
Pasien masuk ke rumah sakit dengan keluhan utama sesak disertai jantung
yang berdebar-debar. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan berbagai pemeriksaan penunjang, makapada pasien ini di diagnosis
menderita kelainan jantung kongenital yakni berupa defek septum atrium tipe
sekundum besar. Pasien tidak pernah mengeluhkan penyakit jantung sebelumnya.
Hal ini sesuai dengan kepustakaan bahwa pasien dengan defek septum atrium
(DSA) sering tidak terdeteksi sampai dewasa karena biasanya asimptomatik dan
tidak memberikan gambaran diagnosis fisik yang khas.
Keluhan pada defek septum atrium biasanya timbul pada dekade ke-2 atau
ke-3 kehidupan. Gejala yang timbul adalah sesak napas ketika beraktivitas dan
atau berdebar-debar. Munculnya gejala ini berhubungan dengan peningkatan
shunt dari kiri ke kanan. Pada pasien keluhan sesak yang timbul terjadi akibat
adanya shunt dari atrium kiri ke atrium kanan. Seseorang dengan DSA memiliki
septum (dinding) yang terbuka di antara atrium. Sebagai hasilnya, darah yang
teroksidasi dari atrium kiri akanmengalir melalui lubang pada septum ke dalam
atrium kanan, sehingga terjadi percampuran dengan darah rendah oksigen dan
terjadi peningkatan jumlah total darah yang mengalir menuju paru-paru.
Akibatnya adalah terjadi kelebihan volume darah pada jantung kanan yang pada
akhirnya menyebabkan pembesaran atrium dan ventrikel kanan serta dilatasi arteri
pulmonalis.Hal ini dapat dilihat dari hasil pada foto thoraks yaitu ditemukan
adanya kardiomegali, dari hasil ekokardiografi didapatkan kesan berupa hipertrofi
ventrikel kanan dan atrium kanan. Hasil pemeriksaan pada pasien ini sesuai
dengan beberapa literatur yang ada.
Defek septum atrium tipe sekundum adalah tipe yang paling banyak
ditemukan, terjadi pada 1 dalam 1500 kelahiran hidup, dengan 65-75% wanita.
Pemeriksaan ekokardiografi dapat membantu menentukan lokasi defek septum,
arah pirau, ukuran atrium dan ventrikel kanan, keterlibatan katup mitral, misalnya

prolaps yang sering terjadi pada DSA. Pada pasien ini didapatkan lokasi defek
yaitu pada daerah sekundum.

DAFTAR PUSTAKA

1. Bernstein D. Congenital heart disease. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE,


Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007. h. 1878-81.
2. Ghanie A. Penyakit jantung congenital pada dewasa. In: Sudoyo AW dkk (ed).
Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi IV. Jilid III. Jakarta: BP FKUI, 2007. 16418.
3. Gessner IH. Atrial septal defect, ostium secundum. 10 November 2008.
http://medscape.com [diakses tanggal: 30 Mei 2016].
4. Hasan R, Alatas H (ed). Penyakit jantung bawaan. In: Buku ajar ilmu kesehatan
anak. Jilid II. Jakarta : BP. FKUI. 2007. 705-18.
5. Soeroso S, Sastrosoebroto H. Penyakit jantung bawaan non-sianotik. Dalam:
Sastroasmoro S, Madiyono B, penyunting. Buku ajar kardiologi anak. Jakarta: Ikatan
Dokter Anak Indonesia; 1994. h. 203-13.

Você também pode gostar