Você está na página 1de 2

Prof.

Bambang Sulistiyono : Teknik Sabo Cegah Aliran


Debris
Diunggah : Selasa, 05 Februari 2013 Agung
Kategori :

Liputan/Berita

Aliran debris adalah aliran air sungai dengan konsentrasi sedimen tinggi pada sungai dengan
kemiringan sangat curam. Aliran sungai ini seringkali membawa batu-batu besar dan batangbatang pohon. Aliran debris meluncur dengan kecepatan tinggi, memiliki kemampuan daya rusak
yang besar, sehingga mengancam kehidupan manusia, menimbulkan kerugian harta dan benda
serta kerusakan lingkungan.
Material sedimen yang dibawa aliran debris bisa berasal dari letusan gunung berapi maupun
material longsoran bukit atau tebing di bagian hulu. Sebagai kawasan dengan tingkat kerawanan
terhadap bencana aliran debris cukup tinggi, Indonesia harus siap menerima kenyataan ini.
Hal ini disebabkan oleh kondisi geologis yang kompleks, topografi yang tidak datar, curah
hujan tinggi, banyak gunung api aktif, dan bukit dan lereng yang tidak stabil, papar Prof. Dr.
Ir. Bambang Yulistiyanto di ruang Balai Senat, Selasa (5/2).
Dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Teknik UGM, Bambang Sulistiyanto mengungkapkan
aliran debris sebagai wujud aliran massa yang memiliki daya rusak besar. Aliran ini diakibatkan
oleh berat volume aliran yang dapat mencapai 15-20kN/m3. Karena itu upaya pengendalian
aliran debris untuk meminimalkan dampak negatifnya perlu dilakukan dengan upaya fisik dan
non-fisik,katanya saat menyampaikan pidato pengukuhan Pelestarian dan Pemanfaatan
Sungai Secara Terpadu dan Berkelanjutan Bagi Kemaslahatan Manusia.
Menurut Bambang, upaya fisik dilakukan dengan mengupayakan pengendalian aliran debris
dengan memanfaatkan teknologi sabo yang sudah dikembangkan dan diaplikasikan di Indonesia
sejak sekitar 30 tahun yang lalu. Sedangkan upaya nonfisik dilakukan dengan melakukan
monitoring kejadian hujan dan gerakan material di hulu sebagai upaya peringatan dini dan
mitigasi kejadian bencana aliran debris.
Beberapa sungai dengan aliran konsentrasi sedimen sangat tinggi, diantaranya aliran
hiperkonsentrasi di Sungai Sombe Lewara, aliran debris di lereng Gunung Gamalama, Ternate,
dan aliran lahar hujan/dingin yang terjadi di sungai-sungai yang berhulu di Gunung
Merapi,tutur pria kelahiran Kudus, 17 Juli 1965 ini.
Erupsi Merapi yang terjadi pada 26 Oktober hingga November 2010 telah menimbulkan
kerusakan pada sektor permukiman, infrastruktur, telekomunikasi, sarana energi listrik, serta air
bersih. Dampak erupsi menimbulkan kerugian mencapai 3,5 triliun rupiah, dengan volume

material yang tertumpah sebanyak 140-150 juta m3. Sementara yang terdeposit di puncak
Merapi 19 kali lebih banyak dibandingkan erupsi tahun 2006.
Sejauh ini sekitar 200 unit fasilitas sabo telah dibangun dan telah memberikan dampak di dalam
upaya pencegahan terhadap aliran debris. Sulit dibayangkan kerusakan yang dapat terjadi di
sepanjang alur sungai Code, Sungai Kuning dan Sungai Opak, serta beberapa sungai di Jawa
Tengah, yang penuh dengan pemukiman dan banyak bangunan bendung dan jembatan, jika di
sungai bagian hulu tidak dilengkapi dengan bagunan Sabo,ungkap Bambang Sulistiyono
sembari menambahkan bila disain struktur bangunan Sabo perlu dikaji dan diperbaiki agar
mampu bertahan. (Humas UGM/ Agung)

Você também pode gostar