Você está na página 1de 5

A.

Etiologi
Cardiac arrest adalah serangan jantung atau infark miokard (aritmia jantung,
khususnya fibrilasi ventrikel dan ventrikel tachycardia tanpa nadi) terjadi akibat arteri
koroner yang menyuplai oksigen ke otot-otot jantung menjadi keras dan menyempit
akibat sebuah material (plak) yang terbentuk di dinding dalam arteri. Semakin meningkat
ukuran plak semakin buruk sirkulasi ke jantung dan otot-otot jantung tidak lagi
memperoleh suplai oksigen yang mencukupi untuk melakukan fungsinya, sehingga
dapat terjadi infark, beberapa

jaringan jantung mati dan menjadi jaringan parut.

Jaringan parut ini dapat menghambat sistem konduksi langsung dari jantung,
meningkatkan terjadinya aritmia dan cardiac arrest. Sumbatan jalan napas oleh benda
asing, tenggelam, stroke atau CVA, overdosis obat-obatan (antidepresan trisiklik,
fenotiazin,

beta

bloker,

calcium

channel

blocker,

kokain,

digoxin,

aspirin,

asetominophen) dapat menyebabkan aritmia. Tercekik, trauma inhalasi, tersengat listrik,


reaksi alergi yang hebat (anafilaksis), trauma hebat misalnya kecelakaan kendaraan
bermotor dan keracunan (Suharsono,T., & Ningsih,D. K., 2012).
B. Manifestasi klinis
Gejala yang paling umum adalah munculnya rasa tidak nyaman atau nyeri dada
yang mempunyai karakteristik seperti perasaan tertindih yang tidak nyaman, diremas,
berat, sesak atau nyeri. Lokasinya ditengah dada di belakang sternum. Menyebar ke
bahu, leher, rahang bawah atau kedua lengan dan jarang menjalar ke perut bagian atas.
Bertahan selama lebih dari 20 menit. Gejala yang mungkin ada atau mengikuti adalah
berkeringat, nausea atau mual, sesak nafas (nafas pendek-pendek), kelemahan, tidak
sadar (Suharsono & Ningsih, 2012).
C. Patofisiologi
Cardiac arrest kebanyakan korban henti jantung diakibatkan oleh timbulnya aritmia yaitu
fibrilasi ventrikel (VF), takhikardi ventrikel (VT), aktifitas listrik tanpa nadi (PEA), dan
asistol (Kasron, 2012).
a.Fibrilasi ventrikel
Merupakan kasus terbanyak yang sering menimbulkan kematian mendadak, pada
keadaan ini jantung tidak dapat melakukan fungsi kontraksinya, jantung hanya mampu
bergetar saja. Pada kasus ini tindakan yang harus segera dilakukan adalah CPR dan
DC shock atau defibrilasi.
b.Takhikardi ventrikel

Mekanisme penyebab terjadinya takhikardi ventrikel biasanya karena adanya gangguan


otomatisasi (pembentukan impuls) ataupaun akibat adanya gangguan konduksi.
Frekuensi nadi yang cepat akan menyebabkan fase pengisian ventrikel kiri akan
memendek, akibatnya pengisian darah ke ventrikel juga berkurang sehingga curah
jantung akan menurun. VT dengan keadaan hemodinamik stabil, pemilihan terapi
dengan medika mentosa lebih diutamakan. Pada kasus VT dengan gangguan
hemodinamik sampai terjadi henti jantung (VT tanpa nadi), pemberian terapi defibrilasi
dengan menggunakan DC shock dan CPR adalah pilihan utama.
c.Pulseless Electrical Activity (PEA)
Merupakan keadaan dimana aktifitas listrik jantung
tidak menghasilkan kontraktilitas atau menghasilkan
kontraktilitas tetapi tidak adekuat sehingga tekanan darah
tidak dapat diukur dan nadi tidak teraba.
d.Asistole
Keadaan ini ditandai dengan tidak terdapatnya aktifitas listrik pada jantung, dan pada
monitor irama yang terbentuk adalah seperti garis lurus. Pada kondisi ini tindakan yang
harus segera diambil adalah CPR.
Prognosis
Kematian otak dan kematian permanen dapat terjadi

hanya dalam jangka waktu 8

sampai 10 menit dari seseorang tersebut mengalami henti jantung. Kondisi tersebut
dapat dicegah dengan pemberian resusitasi jantung paru dan defibrilasi segera
(sebelum melebihi batas maksimal waktu untuk terjadinya kerusakan otak), untuk
secepat mungkin mengembalikan fungsi jantung normal. Resusitasi jantung paru dan
defibrilasi yang diberikan antara 5 sampai 7 menit dari korban mengalami henti jantung,
akan memberikan kesempatan korban untuk hidup rata-rata sebesar 30% sampai 45 %.
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa dengan penyediaan defibrillator yang mudah
diaksesdi tempat-tempat umum seperti pelabuhan udara, dalam arti meningkatkan
kemampuan untuk bisa memberikan pertolongan (defibrilasi) sesegera mungkin, akan
meningkatkan kesempatan hidup rata-rata bagi korban cardiac arrest sebesar 64%
(American Heart Assosiacion, 2010).
Penatalaksanaan
Resusitasi Jantung Paru / Cardio Pulmonary Resusitation.
a.Pengertian
Resusitasi Jantung Paru (RJP) merupakan suatu metode untuk memberikan bantuan
sirkulasi. Resusitasi Jantung Paru (RJP) dapat meningkatkan angka kelangsungan
hidup korban yang mengalami henti jantung dengan mengkombinasikan antara

kompresi dada dan nafas buatan untuk memberikan oksigen yang diperlukan bagi
kelangsungan fungsi sel tubuh (Suharsono, T., & Ningsih, D. K., 2012).
Resusitasi juga dapat diartikan sebagai suatu upaya untuk menghidupkan kembali,
melalui usaha untuk mencegah suatu episode henti jantung berlanjut menjadi kematian
biologis (Cadogan, 2010).
b.Prosedur Cardio Pulmonary Resusitation
Pada penanganan korban cardiac arrest dikenal istilah rantai untuk bertahan hidup
(chain of survival) : cara untuk menggambarkan penanganan ideal yang harus diberikan
ketika ada kejadian cardiac arrest. Jika salah satu dari rangkaian ini terputus, maka
kesempatan korban untuk bertahan hidup menjadi berkurang, sebaliknya jika rangkaian
ini kuat maka korban mempunyai kesempatan besar untuk bisa bertahan hidup. Rantai
kehidupan (chain survival) terdiri dari beberapa tahap berikut ini (AHA, 2010):
1) Mengenali tanda-tanda cardiac arrest dan segera mengaktifkan panggilan gawat
darurat (Emergency Medical Services).
2) Segera melakukan RJP dengan tindakan utama kompresi dada.
3) Segera melakukan defibrilasi jika diindikasikan.
4) Segera memberi bantuan hidup lanjutan (advanced life support).
5) Melakukan perawatan post cardiac arrest.
Prosedur CPR menurut American Heart Association2010 adalah terdiri dari circulation,
airway danbreathing :
1) Memastikan kondisi lingkungan sekitar aman bagi penolong.
2) Memastikan kondisi kesadaran pasien.
Penolong harus segera mengkaji dan menentukan apakah korban sadar/ tidak.
Penolong harus menepuk atau menggoyang bahu korban sambil bertanya dengan jelas:
Jangan menggoyang korban dengan kasar karena dapat mengakibatkan cedera. Juga
hindari gerakan leher yang tidak perlu pada kejadian cedera kepala dan leher.
3) Mengaktifkan panggilan gawat darurat (Emergency Medical Services)
Jika korban tidak berespon, segera panggil bantuan dan segera menghubungi 118 untuk
memanggil ambulans. Jika ada orang lain disekitar korban, minta orang
c) B (Breathing)
Bantuan napas dapat dilakukan melalui mulut ke mulut, mulut ke hidung atau mulut ke
stoma (lubang yang dibuat pada tenggorokan) dengan cara memberikan hembusan
napas sebanyak 2 kali hembusan, waktu yang dibutuhkan untuk tiap kali hembusan
adalah 1,5 2 detik dan volume udara yang dihembuskan adalah 70001000ml
(10ml/kg) atau sampai dada korban/pasien terlihat mengembang. Konsentrasi oksigen
yang dapat diberikan hanya 16 17%. Penolong juga harus memperhatikan respon dari
pasien setelah diberikan bantuan napas. Cara memberikan bantuan pernapasan:
(1) Mulut ke mulut: penolong harus mengambil napas dalam terlebih dahulu dan mulut
penolong harus dapat menutup seluruhnya mulut korban dengan baik agar tidak terjadi
kebocoran saat menghembuskan napas dan juga penolong harus menutup lubang

hidung pasien dengan ibu jari dan jari telunjuk untuk mencegah udara keluar kembali
dari hidung. Volume udara yang diberikan pada kebanyakkan orang dewasa adalah 700
1000ml (10ml/kg). Volume udara yang berlebihan dan laju inpirasi yang terlalu cepat
dapat menyebabkan udara memasuki lambung, sehingga terjadi distensi lambung.
Setelah nafas dan nadi korban ada, jika tidak ada kontraindikasi untuk mencegah
kemungkinan jalan nafas tersumbat oleh lidah, lender, atau muntah berikan posisi
recoverypada korban dengan langkah sebagai berikut (Suharsono, T., & Ningsih, D. K.,
2012):
(1) Letakkan tangan korban yang dekat dengan anda dalam posisi lengan lurus dan
telapak tangan menghadap keatas kearah paha korban.
(2) Letakkan lengan yang jauh dari anda menyilang diatas dada korban dan letakkan
punggung tangannya menyentuh pipinya.
(3) Dengan menggunakan tangan anda yang lain, tekuk lutut korban yang jauh dari anda
sampai membentuk sudut 90 .
(4) Gulingkan korban kearah penolong.
(5) Lanjutkan untuk memonitor denyut nadi korban, tanda sirkulasi, dan pernafasan tiap
2 menit hingga bantuan datang.
2) Fase II: Tunjangan Hidup Lanjutan (Advance Life Support) Fase kedua merupakan
fase yang dilakukan setelah tunjangan hidup dasar (basic life support) berhasil
diberikan. Fase ini terdiri dari:
a) D (Drug): pemberian obat-obatan termasuk cairan untuk memperbaiki kondisi korban
atau pasien.
b) E (ECG) : melakukan pemeriksaan diagnosis elektrokardiografis secepat mungkin
untuk mengetahui fibrilasi ventrikel.
3) Fase III: Tunjangan Hidup Terus-Menerus (Prolonged Life Support)
a) G (Gauge): pengukuran dan pemeriksaan untuk monitoring penderita secara terus
menerus, dinilai, dicari penyebabnya dan kemudian mengobatinya.
b) H (Head): tindakan resusitasi untuk menyelamatkan otak dan sistem saraf dari
kerusakan lebih lanjut akibat terjadinya henti jantung, sehingga dapat dicegah terjadinya
gangguan neurologic yang permanen.
c) I (Intensive Care): perawatan intensif di ICU, meliputi: tunjangan ventilasi
(trakheostomi), pernafasan dikontrol terus menerus, sonde lambung.
c.Obat Emergency atau Resusitasi
1) Menurut Philladelpia (2010) prinsip obat emergency adalah :
a) Koreksi hipoksia.
b) Mempertahankan sirkulasi spontan pada kondisi tekanan darah yang adekuat.
c) Membantu mengoptimalkan fungsi jantung.
d) Menghilangkan nyeri.

e) Koreksi asidosis.
f) Mengatasi gagal jantung kongestif.
2) Obat-obat resusitasi jantung paru dan obat-obat perbaikan sirkulasi.
a) Oksigen.
b) Meningkatkan tekanan darah : epinefrin atau adrenalin, vasopressin, dopamine.
c) Meningkatkan denyut jantung atau nadi (heart rate) : atropin. d)Menurunkan atau
mengatasi aritmia supraventrikel : adenosine, dilteazem, amiodaron. e)Obat-obatan
untuk IMA : morfin, aspirin, fibrinolitik.

Você também pode gostar