Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Mahasiswa:
1. Kautzar Satrio Negoro
2. Mochammad Samsudin
3. Eko Purwanto
9112201410
9112201409
9112201408
MANAJEMEN INDUSTRI
MAGISTER MANAJEMEN TEKNOLOGI
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Negara Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak pulau, negara
kita juga memiliki banyak laut yang berarti pula menghasilkan banyak ikan. Ikan
merupakan bahan makanan yang banyak dikonsumsi masyarakat domestik
maupun luar negeri. Selain karena rasanya, ikan banyak disukai karena memberi
manfaat untuk kesehatan tubuh yaitu mempunyai kandungan protein yang tinggi
dan kandungan lemak yang lebih rendah dibanding sumber protein hewani lain.
Namun, ikan akan cepat membusuk jika dibiarkan begitu saja tanpa proses
pengawetan.
Proses
pengawetan
ikan
yang
umum
dilakukan
adalah
dengan
1.2
Permasalahan
Setiap upaya peningkatan kualitas produk/komoditas yang pada dasarnya
adalah member masukan teknologi, harus diupayakan agar:
1. Tidak menimbulkan biaya operasional (misalnya BBM).
2. Menggunakan sumber-sumber energy yang tersedia setempat, sehingga
tidak menimbulkan ketergantungan pada suplai energy dari luar.
3. Pengoperasian dan pemeliharaan mudah. Apabila teknologi
yang
terbukti
bermanfaat,
umumnya
(sustainable).
BAB II
tidak
akan
berkelanjutan
LANDASAN TEORI
Energi panas matahari merupakan salah satu energi yang potensial untuk
dikelola dan dikembangkan lebih lanjut sebagai sumber cadangan energi terutama bagi
negara-negara yang terletak di katulistiwa termasuk Indonesia yang mataharinya
bersinar sepanjang tahun. Energi matahari yang tersedia senilai 81.000 TW (Purwoko
dan Yudianto 2008), sedangkan yang dimanfaatkan masih sangat sedikit.
Keuntungan penggunaan energi panas matahari yaitu Pertama, energi panas
matahari merupakan energi yang tersedia hampir diseluruh bagian permukaan buni dan
tidak pernah habis. Kedua, penggunaan energi panas matahari tidak menghasilkan
polutan dan emisi yang berbahaya baik bagi manusia, hewan ataupun lingkungan.
Ketiga, penggunaan energi panas matahari untuk pemanas air, pengeringan hasil
panen akan dapat mengurangi kebutuhan akan energi fosil. Keempat, pembuatan
pemanas air tenaga matahari cukup sederhana dan memiliki nilai ekonomis.
Kerugian penggunaan energi panas matahari yaitu Pertama, sistem pemanas air
dan pembangkit listrik tenaga panas matahari tidak efektif digunakan pada daerah yang
memiliki cuaca berawan untuk waktu yang lama. Kedua, pada musim dingin alat
pemanas ini tidak dapat digunakan. Ketiga, alat pemanas matahari ini hanya dapat
digunakan pada saat matahari bersinar dan tidak dapat digunakan pada saat malam
hari atau saat cuaca berawan.
Lapisan luar matahari disebut fotosfer memancarkan suatu spektrum radiasi
yang kontinyu ke permukaan bumi yang besarnya : 1353 W/m2 (Jansen 1995), dan
besaran ini biasanya disebut konstanta matahari. Jumlah radiasi matahari yang
mencapai suatu daerah tertentu, biasanya dapat diperoleh dari dinas terkait yakni Dinas
Meteorologi dan Geofisika yang berkaitan dengan ramalan cuaca sepanjang tahun.
Besaran radiasi tersebut adalah jumlah tenaga matahari yang mengenai suatu meter
permukaan yang tegak lurus dengan bumi, besaran tersebut diambil rata-ratanya untuk
mengatasi adanya perbedaan dalam sepanjang tahun.
Indonesia mempunyai intensitas radiasi yang berpotensi untuk membangkitkan
energi listrik dengan rata-rata daya radiasi matahari di Indonesia senilai 1000 W/m2.
data dari hasil pengukuran intensitas radiasi energi matahari di seluruh Indonesia yang
sebagian besar dilakukan oleh BPPT (Badan Pngkajian dan Penerapan Teknologi) dan
sisanya oleh BMG (Badan Meteorologi dan Geofisika) dari tahun 1965 hingga 1995
sebagaimana tabel dibawah ini.
Intensit
Tahun
Lokasi
Pengukur
Posisi Geografis
an
Pidie
(NAD)
Ogan
Komeing
Ulu
Kab.
Lampung
Selatan
Jakarta
Utara
Tangeran
g
Lebak
1960
1981
BT
1972-
428LS:10548
1979
BT
1965-
611LS:10605
1981
BT
607LS:10630
1995
Bogor
1980
Bandung
1980
Semaran
1979-
g
Yogyakar
1981
ta
T
310LS:10442
1991-
1980
Pacitan
1980
Pontiana
1991-
k
Kab.
1993
1991-
Radiasi
W/m2
415LS:9692B
1979-
1980
as
BT
611LS:10630
BT
611LS:10639
BT
656LS:10738
BT
659LS:11023
BT
737LS:11001
BT
718LS:11242
BT
4.097
4.951
5.234
4.187
4.324
4.446
2.558
4.149
5.408
4.500
4.300
436LS:911BT
4.552
032LS:11752
4.172
Berau
1995
BT
1979-
327LS:11450
1981
1991-
BT
325LS:11441
Gorontal
1995
1991-
BT
132LU:12455
o
Donggala
1995
1991-
BT
057LS:1200B
(Sulteng)
1994
1992-
T
837LS:12212
1994
1977-
BT
840LS:11513
1979
BT
1991-
937LS:12016
a
Ngada
1995
BT
1975-
109LS:12336
(NTT)
1978
BT
(Kaltim)
Kola
Baru
(Kalsel)
Jayapura
Denpasa
r
Kab.
Sumbaw
4.796
4.573
4.911
5.512
5.720
5.263
5.747
5.117
= Surface Emissivity
Material
Solar
Surface
Absorption
Emissivity
0.02 - 0.03
0.02 - 0.04
0.06
0.88
Aluminum polished
0.09
0.03
0.09
0.90
0.09
0.92
0.11
0.37
0.04 - 0.06
0.13
0.82
0.13
0.92
Aluminum anodized
0.14
0.84
Aluminum foil
0.15
0.05
0.15
0.88
0.15
0.92
0.16
0.93
0.17
0.92
0.17
0.92
0.17
0.92
Cromium
0.08 - 0.26
0.19
0.88
0.20
0.92
0.20
0.90
0.20
0.90
0.04 - 0.40
0.90
Biphenyl-White Solid
0.23
0.86
0.23
0.92
0.23
0.88
0.21 - 0.26
0.15 - 0.19
0.24
0.90
0.25
0.87
0.25
0.89
Solar
Surface
Material
Absorption
Emissivity
0.25
0.89
0.25
0.91
0.26
0.88
0.26
0.89
0.27
0.83
Opal Glass
0.28
0.87
0.28
0.87
0.30
0.90
0.33
0.89
0.34
0.91
0.34
0.85
0.35
0.90
0.36
0.91
0.36
0.87
0.39
0.82
0.39
0.87
0.40
0.87
0.30 - 0.50
0.40 - 0.60
0.44
0.88
0.40 - 0.65
0.20 - 0.30
0.50 - 0.70
0.85 - 0.95
Concrete
0.60
0.88
0.65
0.13
0.65
0.93
0.65 - 0.80
0.85 - 0.95
0.80
0.28
0.87
0.09
Anodize Black
0.88
0.88
0.91
0.94
0.88 - 0.94
0.28 - 0.49
0.92
0.08
Solar
Surface
Material
Absorption
Emissivity
0.92
0.10
0.92
0.72
0.93
0.30
0.94
0.92
0.94
0.94
0.94
0.90
0.95
0.95
0.84
0.95
0.75
Black Crystal
0.92 - 0.98
0.08 - 0.25
0.96
0.88
0.96
0.88
0.96
0.91
0.96
0.87
0.96
0.89
0.96
0.86
0.96
0.86
0.96
0.85
Solchrome
0.94 - 0.98
0.10 - 0.14
Ebanol C Black
0.97
0.73
0.97
0.75
0.97
0.91
0.98
0.91
0.97 - 0.99
0.97 - 0.99
0.98
0.98
0.21 - 0.26
0.15 - 0.19
White paint
0.23 - 0.49
0.88 - 0.94
0.28 - 0.49
0.08 - 0.93
0.09 - 0.21
Black Crystal
0.92 - 0.98
0.08 - 0.25
0.87
0.13
Solar
Surface
Material
Absorption
Emissivity
Solchrome
0.94 - 0.98
0.10 - 0.14
0.92
0.10
0.87
0.09
0.92
0.08
Tabel 2 - Tabel Solar Absoption dan Surface Emissivity pada beberapa jenis material
(Sumber: http://www.redrok.com/concept.htm#emissivity)
Pada paparan table diatas, kami memilih untuk menggunakan material flat black
paint, dimana kita menggunakan filament yang dicat hitam pekat untuk mendapatkan
nilai absorption dan emissivitas yang maksimal.
BAB III
TINJAUAN TEKNOLOGI
bahwa
kadar air ikan bervariasi antara 50% - 80%. Untuk mengurangi aktivitas bakteri dan
enzym, kadar air ikan sebaiknya dijaga dibawah 25%. Menurut Braguy et al., proses
pengeringan ikan di beberapa negara di Afrika, seperti di negara Sao Tome and
Principe, Negeria dan Congo telah menggunakan pengering surya terutama setelah
adanya kampanye untuk memperhatikan kesehatan (terkait pengeringan tradisional
yang kurang higienis) yang diadakan oleh kaum wanita pada akhir tahun 2001.
Pengering surya mempunyai keuntungan: sederhana, biaya rendah dan tidak
memerlukan banyak tenaga kerja. Waktu proses pengeringan dengan pengering surya
dapat berkurang sebanyak 65% dibanding pengeringan tradisional. Dengan pengering
surya, ikan yang telah dikeringkan punya kualitas lebih baik dan bahkan harga jual
meningkat 20% dibanding sebelumnya, seperti yang terjadi dibelahan afrika di Sao
Tome and Principe. Pada saat cuaca mendung / musim hujan secara tidak langsung
berpengaruh terhadap lamanya proses dan hasil pengeringan. Salah satu upaya untuk
mengatasi kendala tingginya curah hujan dan sekaligus meningkatkan mutu komoditas
yang dikeringkan adalah dengan pembuatan alat pengering surya. Alat pengering surya
diperkenalkan sebagai jawaban bahwa masih banyak petani ikan yang ada di sekitar
pesisir utara pulau jawa serta nelayan tangkap lainnya melakukan aktifitas pengeringan
terutama ikan asin dengan cara sederhana yakni menebarkan ikan asin diatas gelaran
tikar (lampit), diatas para-para bambu, atau ditepi jalan yang kotor dan berdebu. Kesan
yang timbul adalah para pembuat ikan kering kurang memperhatikan soal kebersihan,
kesehatan dan mutu ikan.
Bentuk alat pengering ikan tenaga surya bermacam macam, ada yang
berbentuk tenda, peti dan rumah-rumah, seperti terdapat pada gambar 3-1 di bawah ini.
2.
Pengering Sederhana
cahaya matahari.
3.
(berdebu).
Apabila terjadi hujan, produk yang Apabila terdapat hujan, produk yang
atau diangkat.
banyak
dikerumuni
lalat
terhindar
dari
hinggapan
lalat.
Telah dijelaskan bahwa alat pengering surya dapat dibuat dalam berbagai
bentuk, sesuai dengan kebutuhan dan lingkungannya.
Untuk gambar 1 dan 2, bahan utamanya adalah plastik bening dan rangka kayu
balok. Tempat peletakan bahan yang ingin dikeringkan dibuat bertingkat (rak-rak) dan
dapat diatur atau dipindah-pindahkan sesuai keinginan. Bagian depan, dapat dibuat
pintu untuk memasukan dan mengeluarkan bahan yang dikeringkan
Bagian paling bawah dan belakang alat pengering surya tunggal ini sebaiknya
diberi plastik berwarna gelap agar penyerapan panas sinar matahari berlangsung lebih
baik.
Gambar 3 merupakan alat pengering surya sederhana yang dipadukan
(dikombinasikan) dengan seng (sicet hitam) guna menghasilkan panas yang lebih
tinggi. Dari hasil uji coba, suhu ruangan bisa mencapai 55-60 C. Dengan tingginya
suhu ruangan tersebut, proses pengeringan dapat berlangsung lebih singkat.
Untuk mendapatkan hasil produk ikan kering yang bagus, sebaiknya dilakukan
pemindahan secara teratur rak-rak yang ada didalam alat pengering tersebut.
Kelemahan alat pengering ini adalah jumlah produk yang dikeringkan sangat tergantung
pada besar kecilnya alat pengering yang dibuat. Selain itu karena dibuat bertingkat (rak-
rak), produk yang dikeringkan harus diatur sedemikian rupa agar lebih optimal proses
pengeringannya
Alat pengering surya ini relative murah dalam pembuatannya dan umur
pemakaiannya cukup lama yakni 4-5 tahun, tergantung pada bahan yang digunakan
dan teknis pemeliharaannya.
BAB IV
KESIMPULAN
SUMBER PUSTAKA
1. Irawan, A. HSR. 1997. Pengawetan Ikan dan Hasil Perikanan. Aneka. Solo. 164
halaman
2. Suparna. 1988. Pengeringan Ikan dalam kumpulan hasil Penelitian teknologi
pasca Panen Perikanan. Balai Penelitia Teknologi perikanan. Buku I. hal. 29-32.