Você está na página 1de 6

ANALISA KASUS

A. Analisa Diagnosa
Seorang G1P0A0, usia 27 tahun, usia kehamilan 27
minggu datang dengan rujukan dari RS Marga Husada
Wonogiri

dengan

keluhan

sesak

nafas

yang

semakin

memberat sejak 1 hari SMRS. Sesak dirasakan terus-menerus hingga


pasien hanya dapat duduk di tempat tidur. Pasien tampak lemas dan tidak
bertenaga. Pasien merasa hamil 7 bulan, gerakan janin masih dirasakan,
kenceng-kenceng teratur belum dirasakan, air ketuban dan lendir darah belum
dirasakan keluar. BAB dan BAK dalam batas normal. Riwayat penyakit
seperti darah tinggi, diabetes melitus, penyakit jantung asma dan alergi
disangkal oleh pasien. Riwayat fertilitas pasien baik dan riwayat obstetri
pasien belum dapat dinilai.
Saat anamnesis, didapatkan keterangan pasien baru
pertama kali hamil saat ini dan belum pernah melahirkan
atau pun keguguran sebelumnya. Dari perhitungan rumus
Naegel berdasarkan hari pertama haid terakhir (HPHT) pasien
diketahui usia kehamilan pasien adalah 27 minggu. Gerakan
janin masih aktif dirasakan. Pasien tidak mengeluhkan
adanya kenceng-kenceng teratur di perut serta air kawah dan
lendir darah belum keluar dari jalan lahir. Sedangkan pada
pemeriksaan fisik terlihat abdomen membuncit, TFU teraba 2
jari di bawah pusat, balotement (+), DJJ (+), his (-). Pada
pemeriksaan inspekulo

portio

utuh

tertutup,

darah

(-),

discharge (-). Sehingga pada pasien ini dapat disimpulkan


seorang primigravida hamil imatur belum dalam persalinan.
Dari anamnesis pasien mengeluhkan leher yang kencang
atau kaku yang sering timbul. Pada pemeriksaan fisik saat ini
didapatkan tekanan darah 170/110 mmHg, pasien saat belum
hamil tidak pernah mempunyai tekanan darah yang tinggi.

Kedua ekstremitas pasien bengkak, terdapat suara ronki


basah

halus

di

kedua

paru-paru.

Kemudian

dilakukan

pemeriksaan uji urinalisa Ewitz untuk mengetahui adanya


protein dalam urin yang termasuk dalam kriteria diagnosis
preeklampsia. Pada pemeriksaan Ewitz diperoleh nilai +4,
sehingga pasien bisa disimpulkan menderita preeklampsia
berat (PEB). Selain itu, pasien juga tidak mengeluhkan
adanya pandangan kabur, nyeri kepala disangkal, mual dan
muntah disangkal serta nyeri pada bagian ulu hati disangkal.
Sehingga tidak ada tanda-tanda impending eklampsia pada
pasien. Hasil laboratorium darah pasien pada tanggal 23 April
2016

tidak

menunjukkan

adanya

tanda-tanda

HELLP

syndrome.
Selain itu, dari anamnesis pasien mengeluhkan sesak
nafas yang memberat sejak 1 hari SMRS. Sesak dirasakan
terus menerus dan pasien merasa lebih baik saat posisi
duduk. Pada pemeriksaan fisik didapatkan laju pernafasan 30
kali/ menit, denyut jantung 140 kali/ menit dan terdapat ronki
basah halus pada paru kanan dan kiri. Hasil analisa gas darah
didapatkan

kesimpulan

asidosis

metabolik

tidak

terkompensasi sempurna. Hasil pemeriksaan foto thoraks


didapatkan gambaran edema pulmo. Sehingga pada pasien
bisa disimpulkan menderita edema pulmo. Kemungkinan hal
ini terjadi sebagai akibat komplikasi yang ditimbulkan dari
PEB. Pada PEB terjadi disfungsi endotel dan peningkatan
permeabilitas kapiler sebagai akibat dari timbulnya mediator
inflamasi. Ketidakseimbangan ini menyebabkan peningkatan
tekanan

vena

pulmonalis,

penurunan

tekanan

onkotik

plasma, dan peningkatan negativitas tekanan intersisial


sehingga cairan tertumpuk pada ruang intersisial paru-paru

akibat ekstravasasi cairan ke jaringan ekstraseluler sehingga


terjadilah edema pulmo.
Data anamnesis dari pasien didapatkan pasien dalam
keadaan lemas, kedua konjungtiva anemis, dan pemeriksaan
laboratorium darah dengan Hb 8,8 g/dl. Sehingga pasien bisa
dipastikan mengalami anemia. Anemia dalam kehamilan adalah
kondisi ibu dengan kadar hemoglobin < 11 gr% pada trimester I dan III atau
kadar < 10,5 gr% pada trimester II. Anemia paling sering disebabkan karena
kekurangan zat besi. Pada wanita hamil, anemia meningkatkan frekuensi
komplikasi pada kehamilan dan persalinan. Risiko kematian maternal, angka
prematuritas, berat badan bayi lahir rendah, dan angka kematian perinatal
meningkat.
Pada pemeriksaan denyut jantung janin didapatkan DJJ
(+) 100 kali/ menit, kondisi ibu yang lemah dan sesak nafas.
Pada usia kehamilan 27 minggu ini teraba TFU 2 jari di bawah
pusat.

Pemerikaan

USG

juga

didapatkan

tampak

janin

tunggal, intrauterin memanjang, DJJ (+), taksiran berat janin


708 gram, dan kesan janin saat ini dalam keadaan fetal
distress.

Selain

itu,

dari

data

tersebut

terdapat

ketidakcocokan antara usia kehamilan, tingginya TFU, dan


taksiran berat janin dari USG sehingga bisa disimpulkan pada
janin

terjadi

Intra

Uterine

Gowth

Resistance

(IUGR).

Berdasarkan perkembangan denyut jantung janin dan hasil


USG janin pasien terjadi keadaan fetal distress. Keadaan fetal
distress pasien kemungkinan disebabkan beberapa faktor
seperti anemia dan adanya preeklampsia berat pada ibu.
Keadaan seperti ini bisa berlanjut menjadi kematian janin di
dalam rahim.
Satu jam setelah pasien masuk ke rumah sakit, pasien
tidak merasakan gerakan janin lagi dan dari pemeriksaan fisik
tidak didapatkan adanya DJJ. Sehingga pada pasien terjadi

Intra Uterine Fetal Death (IUFD). IUFD ini kemungkinan bisa


terjadi dikarenakan anemia dan PEB pada ibu. Bila terjadi
anemia, pengaruhnya terhadap hasil konsepsi salah satunya
adalah kematian janin dalam kandungan sebagai akibat tidak
adekuatnya aliran darah ke janin yang melalui plasenta untuk
memasok kebutuhan oksigen.
Selain itu, pada PEB terjadi spasme pembuluh darah
disertai dengan retensi garam dan air. Jika semua arteriola
dalam tubuh mengalami spasme, maka tekanan darah akan
naik sebagai usaha untuk mengatasi kenaikan tekanan perifer
agar oksigen jaringan dapat dicukupi. Maka aliran darah
menurun

ke

plasenta

dan

menyebabkan

gangguan

pertumbuhan janin dan karena kekurangan oksigen terjadi


gawat janin. Jika keadaan seperti ini terus berlanjut akan
menjadi IUFD.
Setelah lima hari perawatan dalam rumah sakit, pada
pasien ini didapatkan tanda-tanda munculnya komplikasi PEB.
Pada hasil pemeriksaan laboratorium darah didapatkan nilai
trombosit 95 ribu/ul, SGOT 115 u/l, SGPT 215 u/l, dan LDH
906 u/l. Sehingga pada pasien bisa disimpulkan telah terjadi
komplikasi menjadi HELLP syndrome.

B. Analisa Penatalaksanaan
Penatalaksanaan untuk kasus ini yaitu pasien dengan
diagnosa edema pulmo, fetal distress, PEB, IUGR pada
primigravida hamil imatur belum dalam persalinan dengan
anemia (8,8 mg/dl) adalah dengan melakukan stabilisasi
hemodinamik terlebih dahulu dan perbaikan keadaan umum.
Pada pasien ini terdapat beberapa diagnosa sehingga terapi

yang akan diberikan pun menjadi lebih banyak dan harus


lebih berhati-hati dalam intervensinya.
Pada pasien dengan PEB terapi utama yang harus
dilakukan adalah pemberian protap PEB untuk mencegah
pasien jatuh ke dalam kondisi impending eklampsia atau pun
eklampsia. Adapun protap PEB yang diberikan adalah oksigenasi dengan
masker NRM 10 liter/ menit, infus ringer laktat 12 tetes/ menit, injeksi
MgSO4 20% 4 gr dalam 15 menit (initial dose) dan injeksi MgSO4 20% 1 gr/
jam selama 24 jam menggunakan syringe pump (maintenance dose), serta
pemberian nifedipin jika tekanan darah pasien 160/110 mmHg. Pemberian
oksigen dengan NRM 10 liter/ menit salah satunya didasarkan ataas hasil
AGD pasien yang terdapat asidosis metabolik tidak terkompensasi dengan
sempurna. Syarat pemberian MgSO4 adalah refleks patella (+), laju
pernafasan > 16 kali/ menit per menit, jumlah urin > 0,5 cc/KgBB/jam.
Selama pemberian MgSO4 urin output pasien harus dikontrol dengan cara
pemasangan kateter dan dihitung balance cairannya. Hal ini dimaksudkan
agar pada pasien ini keseimbangan elektrolit tetap terjaga dan tidak terjadi
hipermagnesia. MgSO4 yang diberikan berfungsi sebagai profilaksis kejang,
tokolitik, antihipertensi dan diuretik. Apabila pasien mengalami keracunan
MgSO4 maka dapat diberikan antidotum kalsium glukonas. Selanjutnya
dilakukan evaluasi untuk mengetahui perkembangan dan kesuksesan dari
terapi.
Keadaan

edema

pulmo

pasien

diterapi

dengan

pemberian oksigen 10 liter/ menit dan injeksi furosemid 1


ampul

yang

di

bolus

dilanjutkan

maintenance

dengan

pemberian injeksi furosemid 5 mg/jam dengan menggunakan


syringe pump. Selanjutnya dilakukan evaluasi untuk mengetahui
perkembangan dan kesuksesan dari terapi.
Pada janin pasien terdapat kondisi fetal distress dengan PEB pada
primigravida hamil imatur belum dalam persalinan serta terdapat anemia,
yang dalam selang waktu 1 jam setelah kedatangan pasien kondisinya

berubah menjadi IUFD. Penanganan yang dilakukan memprioritaskan


perbaikan kondisi umum dan hemodinamik ibu terlebih dahulu. Penanganan
untuk PEB dan edema pulmo masih diteruskan dan dilakukan juga transfusi 1
kolf PRC dikarenakan Hb ibu 8,8 g/dl. Janin yang sudah meninggal
harus segera dikeluarkan karena dapat membahayakan ibu,
jika lebih dari dua minggu ada di dalam rahim maka akan
menggangu proses pembekuan darah dan menurukan kadar
fibrinogen ibu sehingga pada saat persalinan, perdarahan
akan sulit dihentikan dan jika terlalu lama dapat mengalami
pengerasan di dalam rahim sehingga dapat menyebabkan
ruptur uterus dan laserasi jalan lahir. Penanganan IUFD pada pasien
ini dengan usia kehamilan 27 minggu maka diberikan induksi misoprostol 50
mg/ 5 jam per vaginam dan dilakukan evaluasi 5 jam kemudian. Harapan dari
tindakan ini adalah janin dapat dilahirkan secara per vaginam dikarenakan
nilai BISHOPs score yang sudah memenuhi kriteria.
Setelah dilakukan pemberian misoprostol, pasien melahirkan secara
spontan. Namun, setelah melahirkan terdapat sebagian plasenta yang
tertinggal

dalam

rongga

rahim

sehingga

menimbulkan

perdarahan post partum dini. Untuk menangani perdarahan


post partum dikarenakan retensi sisa plasenta maka perlu
dilakukan adanya tindakan kuretase emergency untuk mengeluarkan sisa
plasenta. Setelah tindakan kuretase, pasien diberikan injeksi antibiotik untuk
mencegah terjadinya infeksi pada pasien.

Você também pode gostar