Você está na página 1de 21

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Reaksi simpang makanan adalah setiap reaksi yang tidak diinginkan akibat
ingesti makan atau bahan adiktif makanan. Reaksi ini terbagi dalam alergi
makanan dan intoleransi makanan. Alergi makan didasari oleh mekanisme
imunologis, sedangkan intoleransi makanan terjadi akibat mekanisme fisiologis
atau non imunologis. Intoleransi makanan dapat terjadi akibat sifat farmakologis
makanan tersebut (misalnya kafein mengakibatkan irritable bowel) atau toksik
yang ada dalam makanan (biasanya karna proses pembuatan yang tidak baik), atau
akibat

adalanya

gangguan

metabolisme

(misalnya:

defisiensi

laktase,

fenilketonuria).
Manifestasi alergi makanan pada kulit umumnya berupa urtikaria/
angioderma atau dermatitis atopik. Namun dapat juga berupa dermatitis
herpetiformis duhring.
Prevalensi alergi makanan tidak diketahui dengan pasti, namun besarnya
dugaan manyarakat terhadap alergi makanan melebihi prevalensi yang dibuktikan
melalui penelitian klinis. Gangguan ini lebih sering ditemukan pada bayi dan
anak-anak dibandingkan dengan orang dewasa.1
Alergi makanan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
mempengaruhi anak-anak dan dewasa. Diperkirakan sekitar 25% masyarakat di
Amerika Serikat percaya bahwa mereka memiliki reaksi alergi terhadap makanan
namun insidensi sesungguhnya setelah dikonfirmasi dengan anamnesis dan
pemeriksaan adalah 2-8% pada populasi anak-anak dan kurang dari 2% dari
populasi dewasa.1 Prevalensi alergi makanan di Indonesia adalah 5-11%.
Prevalensi alergi makanan yang kecil ini dapat terjadi karena masih banyak
masyarakat yang tidak melakukan tes alergi untuk memastikan apakah mereka
positif alergi makanan atau tidak. Persepsi mereka, jika setelah makan makanan
tertentu mereka merasa gatal-gatal, maka mereka menganggap bahwa mereka
alergi terhadap makanan itu sehingga data yang ada tidak cukup mewakili.
Disamping itu, tempat untuk melakukan tes alergi masih belum banyak

ditemukan. Keadaan ini membuat beberapa orang terutama ibu-ibu seringkali


melarang anaknya untuk mengkonsumsi makanan tertentu sehingga secara tidak
langsung akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. 2

1.2. Tujuan
1.2.1. Tujuan Umum
-

Melengkapi syarat Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Rumah Sakit

Umum Daerah (RSUD) Achmad Mochtar Bukittinggi tahun 2016.


Untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di bagian kulit
dan kelamin di RSUD Achmad Mochtar Bukittinggi tahun 2016.

1.2.2. Tujuan Khusus


-

Bagi pembaca agar dapat menambah pengetahuan untuk dapat lebih

memahami tentang etiopatogenesis dan tataksana alergi makanan


Bagi penulis sebagai sarana untuk menerapkan ilmu yang telah dipelajari
dengan berbagai teori dan sumber yang ada.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Kelainan kulit akibat alergi makanan ialah dermatosis akibat reaksi
imunologik terhadap makanan atau bahan pelengkap makanan.1
Alergi makanan merupakan respons imunologis yang abnormal terhadap
makanan yang dialami oleh seseorang yang rentan terhadap makanan tersebut.
Reaksi ini terjadi setiap kali mengkonsumsi makanan dan relatif tidak bergantung
pada jumlah makanan yang dimakan. Berdasarkan mekanisme imunologis yang
melatarbelakanginya, alergi makanan diklasifikasikan menjadi tiga yaitu reaksi
diperantarai IgE yang dimediasi oleh antibodi IgE dan khas untuk reaksi alergi
makanan, reaksi tidak diperantarai IgE yang dimediasi oleh sejumlah komponen
sel dari sistem imun dan kebanyakan melibatkan traktus gastrointestinal, dan
gabungan dari kedua klasifikasi tersebut. Keadaan klinis dari ketiga klasifikasi
dapat dilihat pada tabel 1.2,3
Alergi makanan harus dibedakan dengan reaksi makanan non alergi. Alergi
makanan dimediasi oleh sistem imun sementara reaksi makanan non alergi tidak
dimediasi oleh sistem imun. Reaksi makanan non alergi disebut juga sebagai
reaksi intoleransi makanan dan dibagi menjadi reaksi toksik dan non toksik.
Reaksi toksik terjadi akibat aksi farmakologis dari suatu substansi di dalam
makanan. Reaksi ini dapat dialami oleh siapa saja yang terpapar oleh makanan
tersebut dan tidak diperantarai dengan faktor host. Substansi dapat berupa enzim
atau agen lainnya yang menyebabkan reaksi di dalam tubuh. Contoh reaksi toksik
antara lain muntah setelah keracunan makanan yang terkontaminasi bakteri atau
metal berat, dan gatal serta kemerahan pada kulit setelah mengkonsumsi histamin
yang terkandung di dalam ikan jenis tertentu.Konsumsi makanan yang
mengandung kafein seperti kopi dan the dapat menyebabkan tremor. Tiramin yang
terkandung di dalam keju yang sudah lama diproduksi dapat menyebabkan
migrain, dan konsumsi alkohol dapat menyebabkan sejumlah gejala yang tidak
diinginkan. Defisiensi enzim seperti defisiensi laktase dan galaktosemia termasuk
ke dalam intoleransi makanan non toksik. Insufisiensi pankreas, penyakit hati dan
empedu, herniasi hiatus, dan rinitis gustatori merupakan kondisi diperantarai
reaksi lanjutan akibat konsumsi makanan tertentu. Gangguan psikiatrik seperti

anoreksia nervosa dengan muntah atau sindrom aurikulotemporal juga dapat


menyerupai gejala intoleransi makanan.4
Tabel 1. Klasifikasi reaksi simpang makanan4
Alergi Makanan (Imunologis)
Diperantarai IgE
Urtikaria, angioedema, rash, rinokonjungtivitis akut, eksaserbasi asma
akut, anafilaksis, sindrom alergi oral
Tidak diperantarai IgE
Protein makanan yang menginduksi proktokolitis dan/atau enterokolitis,
dermatitis kontak, dermatitis herpetiformis, dan penyakit celiac
Campuran: diperantarai IgE dan tidak diperantarai IgE
Dermatitis atopik, asma, eosinofilik esofagitis, dan gastroenteritis
Intoleransi (Non imunologis)
Nontotksik (defisiensi enzim)
Intoleransi laktosa, galaktosemia
Toksik (farmakologis)
Kafein (tremor), tiramin dalam keju yang sudah lama diproduksi (migrain),
alkohol, histamin (keracunan ikan)
Mirip dengan intoleransi/alergi makanan
Insufisiensi pankreas, penyakit empedu dan hati, herniasi hiatus, rinitis
gustatori, anoreksia nervosa, sindrom aurikulotemporal (kemerahan pada
muka dan salivasi).

2.2 Epidemiologi
Diperkirakan sekitar 25% masyarakat di Amerika Serikat percaya bahwa
mereka memiliki reaksi alergi terhadap makanan namun insidensi sesungguhnya
setelah dikonfirmasi dengan anamnesis dan pemeriksaan adalah 2-8% pada
populasi anak-anak dan kurang dari 2% dari populasi dewasa. Banyak penelitian
dalam bebeberapa dekade terakhir juga menunjukkan bahwa meskipun 40-60%
orang tua percaya bahwa anaknya memiliki gejala alergi terkait makanan, hanya
4% - 8% yang terbukti alergi dengan tes provokasi makanan. 1 Prevalensi alergi
makanan di Indonesia adalah 5-11%.3

Alergi makanan merupakan penyebab terbanyak dari kasus anafilaksis di


instalasi gawat darurat di Eropa Barat dan Amerika Serikat. Alergi makanan
sendiri di Amerika Serikat menyebabkan sekitar 30.000 reaksi anafilaksis, 2.000
orang dirawat inap, dan sekitar 200 jiwa meninggal setiap tahun. Pada anak-anak
alergi makanan merupakan penyebab anafilaksis terbanyak. Anak dengan
dermatitis atopik sedang sampai berat merupakan prevalensi tertinggi alergi
makanan diperantarai IgE yaitu sekitar 10-30% tergantung pada derajat beratnya
dermatitis atopik. Lebih dari 90% anak dengan eosinofilik esofagitis diduga akibat
alergi makanan.2
Kejadian alergi makanan dipengaruhi oleh genetik, umur, jenis kelamin,
pola makan, jenis makanan awal, jenis makanan, dan faktor lingkungan.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Oehling et al. dalam
Prawirohartono pada 400 anak umur 3-12 tahun didapatkan data bahwa 60%
penderita alergi makanan adalah perempuan dan 40% laki-laki. Pola makan
(eating habits) juga memberi pengaruh terhadap reaksi tubuh, contohnya populasi
di Skandinavia sering menderita alergi terhadap ikan. 3 Terdapat delapan makanan
yang paling sering menimbulkan alergi di Amerika Serikat yaitu susu, telur,
kacang tanah, kacang mete, kedelai, gandum, ikan, dan hewan laut yang tergolong
ke dalam famili crustacea (kerang, lobster, crayfish, dan udang.5 Sementara di
Indonesia, studi yang dilakukan oleh Candra dkk pada tahun 2007 terhadap 208
pasien yang berobat di poli alergi imunologi RSCM memberikan hasil bahwa
makanan yang paling banyak menyebabkan alergi pada anak-anak adalah susu
sapi dan tepung terigu dan pada dewasa adalah kepiting.3
2.3 Patofisiologi
Alergi makanan adalah reaksi imunologis melawan alergen makanan yang
dapat diperantarai IgE, diperantarai sel, atau diperantarai keduanya (Gambar 1).
Reaksi alergi makanan yang diperantarai IgE terjadi akibat pelekatan alergen
dengan antibodi IgE spesifik yang berlekatan dengan reseptor yang memiliki
afinitis tinggi (FcRI) yang diekspresikan oleh sel mast dan basofil dan reseptor
yang memiliki afinitas rendah (FcRII) yang ada di makrofag, monosit, limfosit
dan platelet. Ketika antigen spesifik berikatan dengan IgE yang telah terikat

dengan reseptor FcRI, terjadi pelepasan sejumlah mediator. Meskipun selama


ini diduga bahwa sel mast yang berperan dalam melepaskan mediator penyebab
sejumlah reaksi alergi, penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa basofil juga
ikut berperan dalam peristiwa tersebut. Pasien dermatitis atopi dan hipersensitif
terhadap makanan terbukti melepaskan sejumlah histamin dari basofil yang
kemudian menjadi normal setelah pemberian makanan yang menjadi penyebab
reaksi hipersensitivitas dihentikan. Level serum triptase (penanda spesifik dari sel
mast yang aktif) pada pasien dengan anafilaksis yang diinduksi makanan
dilaporkan normal sehingga diduga histamin dilepaskan oleh sel yang tidak
memiliki triptase seperti basofil.2
Kandungan di dalam makanan memegang peranan dalam timbulnya alergi.
Alergen yang terkandung didalam makanan sebagian besar merupakan
glikoprotein larut air berukuran 10 70 kD, dan relatif stabil terhadap panas,
asam, dan protease. Di samping itu terdapat faktor imunostimulan di dalam
makanan yang berperan dalam sensitasi. Sebagai contoh, glikoprotein yang
terkandung di dalam kacang yang berperan sebagai alergen, Ara h 1, tidak hanya
stabil dan resisten terhadap panas atau enzim pencernaan tetapi juga mampu
memicu TH2. Meskipun demikian, karakteristik biokimia dari alergen tidak dapat
dijelaskan sepenuhnya karena hanya sejumlah orang yang terpapar dengan alergen
menimbulkan reaksi alergi.2
Toleransi terhadap alergen tergantung pada keutuhan dan aktivitas imun
barier saluran pencernaan. Barier tersebut adalah sel epitel saluran cerna, lapisan
mukosa yang tebal, enzim di vili usus, garam empedu, pH yang rendah yang
membuat antigen menjadi kurang imunogenik. Disamping itu terdapat pula
imunitas alamiah (innate immunity) yang tediri dari sel NK, leukosit PMN,
makrofag, dan sel epitel serta imunitas spesifik (adaptive immunity) yang terdiri
dari limfosit intraepitel dan lamina propia, Peyers patches, IgA, dan sitokin yang
berperan sebagai barier aktif bagi antigen asing.2

Gambar 1. Mekanisme sensitasi dan reaktivitasi sel imun akibat alergen makanan6
Alergi makanan tidak diperantarai IgE merupakan reaksi imunologis yang
angka kejadiannya lebih rendah dibandingkan dengan alergi makanan diperantarai
IgE. Di dalam serum dan kulit penderita dengan alergi makanan tidak diperantarai
IgE tidak ditemukan antibodi IgE. Karakteristik penyakit ini tidak begitu jelas
namun diduga terjadi akibat inflamasi akut atau kronis di saluran pencernaan
dimana eosinofil dan sel T memegang perananan. Pada pasien dengan
enterekolitis yang dinduksi protein makanan, TNF- tampaknya turut memegang
peranan. TNF- berhasil dikultur secara in vitro dari monosit darah perifer pada
anak-anak dengan sindrom enterekolitis yang diinduksi protein makanan. Pada
eosinofilik esofagitis, eosinofil dan faktor pertumbuhan, faktor kemotaktik, IL-13,
IL-5,VCAM 1, dan TGF- memegang peranan dalam timbulnya reaksi alergi.2
Pada intinya, faktor genetik berperan dalam timbulnya reaksi alergi
meskipun gen yang berperan disini belum dapat diidentifikasi. Sama halnya
dengan alergi makanan yang tidak diperantarai IgE didapatkan perbedaan
insidensi berdasarkan etnik dimana ras Kaukasia insidensinya lebih banyak
dibandingkan ras yang lain.2

2.4 Faktor Resiko


Beberapa faktor resiko yang diidentifikasi yaitu,
1. Faktor Genetik
Alergi dapat diturunkan dari orang tua atau kakek/nenek pada penderita.
Bila ada orang tua menderita alergi kita harus mewaspadai tanda alergi pada anak
sejak dini. Bila ada salah satu orang tua yang menderita gejala alergi maka dapat
menurunkan resiko pada anak sekitar 20 40%, ke dua orang tua alergi resiko
meningkat menjadi 40 - 80%. Sedangkan bila tidak ada riwayat alergi pada kedua
orang tua maka resikonya adalah 5 15%. Pada kasus terakhir ini bisa saja terjadi
bila nenek, kakek atau saudara dekat orang tuanya mengalami alergi. Bisa saja
gejala alergi pada saat anak timbul, setelah menginjak usia dewasa akan banyak
berkurang.7
2. Maturitas Usus
Alergi makanan sering terjadi pada usia anak dibandingkan pada usia
dewasa. Fenomena lain adalah bahwa sewaktu bayi atau usia anak mengalami
alergi makanan tetapi dalam pertambahan usia membaik. Hal itu terjadi karena
belum sempurnanya saluran cerna pada anak. Secara mekanik integritas mukosa
usus dan peristaltik merupakan pelindung masuknya alergen ke dalam tubuh.
Secara kimiawi asam lambung dan enzim pencernaan menyebabkan denaturasi
allergen. Secara imunologik sIgA pada permukaan mukosa dan limfosit pada
lamina propia dapat menangkal allergen masuk ke dalam tubuh. Pada usus imatur
(tidak matang) system pertahanan tubuh tersebut masih lemah dan gagal berfungsi
sehingga memudahkan allergen masuk ke dalam tubuh. Pada bayi baru lahir sel
yang mengandung IgA, Imunoglobulin utama di sekresi eksternal, jarana ditemui
di saluran cerna. Dalam pertambahan usia akan meningkat sesuai dengan maturasi
(kematangan) sistem kekebalan tubuh. Dilaporkan persentasi sampel serum yang
mengandung antibodi terhadap makanan lebih besar pada bayi berumur kurang 3
bulan dibandingkan dengan bayi yang terpapar antigen setelah usia 3 bulan.
Penelitian lain terhadap 480 anak yang diikuti secara prospektif dari lahir sampai
usia 3 tahun. Sebagian besar reaksi makanan terjadi selama tahun pertama
kehidupan.7

3. Pajanan Alergi
Pajanan alergi yang merangsang produksi IgE spesifik sudah dapat terjadi
sejak bayi dalam kandungan. Diketahui adanya IgE spesifik pada janin terhadap
penisilin, gandum, telur dan susu. Pajanan juga terjadi pada masa bayi. Pemberian
ASI eksklusif mengurangi jumlah bayi yang hipersensitif terhadap makanan pada
tahun pertama kehidupan. Pemberian MPASI (makanan pendamping ASI)
meningkatkan angka kejadian alergi.6 Konsumsi makanan tertentu selama hamil
diduga dapat menurunkan angka kejadian beberapa jenis alergi makanan.
Konsumsi kalsium dan produk susu dibandingkan yogurt selama hamil
menurunkan resiko kejadian wheezing pada anak-anak. Konsumsi vitamin D
selama hamil memberikan efek proteksi pada anak agar terhindar dari wheezing
dan eksema.8
4. Pencetus Alergi Makanan
Beberapa makanan yang berbeda kadang menimbulkan gejala alergi yang
berbeda pula, misalnya pada alergi ikan laut menimbulkan gangguan kulit berupa
urtikaria, kacang tanah menimbulkan gangguan kulit berupa papula (bintik kecil
seperti digigit serangga) atau furunkel (bisul). Sedangkan buah-buahan
menimbulkan gangguan batuk atau pencernaan. Hal ini juga tergantung dengan
organ yang sensitif pada tiap individu. Meskipun demikian ada beberapa pakar
alergi makanan yang berpendapat bahwa jenis makanan tidak spesifik
menimbulkan gejala tertentu. Timbulnya gejala alergi bukan saja dipengaruhi oleh
penyebab alergi, tapi juga dipengaruhi oleh pencetus alergi. Beberapa hal yang
menyulut atau mencetuskan timbulnya alergi disebut faktor pencetus. Faktor
pencetus tersebut dapat berupa faktor fisik seperti tubuh sedang terinfeksi virus
atau bakteri, minuman dingin, udara dingin, panas atau hujan, kelelahan, aktifitas
berlebihan tertawa, menangis, berlari, olahraga. Faktor psikis berupa kecemasan,
sedih, stress atau ketakutan. Hal ini ditunjukkan pada seorang penderita autisme
yang mengalami infeksi saluran napas, biasanya gejala alergi akan meningkat.
Selanjutnya akan berakibat meningkatkan gangguan perilaku pada penderita.
Fenomena ini sering dianggap penyebabnya adalah karena pengaruh obat.7

Faktor pencetus sebetulnya bukan penyebab serangan alergi, tetapi


menyulut terjadinya serangan alergi. Tanpa paparan alergi maka faktor pencetus
tidak akan terjadi. Bila anak mengkonsumsi makanan penyebab alergi disertai
dengan adanya pencetus maka keluhan atau gejala alergi yang timbul jadi lebih
berat. Tetapi bila tidak mengkonsumsi makanan penyebab alergi meskipun
terdapat pencetus, keluhan alergi tidak akan muncul. Hal ini yang dapat
menjelaskan kenapa suatu ketika meskipun dingin, kehujanan, kelelahan atau
aktifitas berlebihan seorang penderita asma tidak kambuh. Karena saat itu
penderita tersebut sementara terhindar dari penyebab alergi seperti makanan, debu
dan sebagainya. Namun bila anak mengkonsumsi makanan penyebab alergi bila
terkena dingin atau terkena pencetus lainnya keluhan alergi yang timbul lebih
berat. Jadi pendapat tentang adanya alergi dingin pada anak adalah tidak
sepenuhnya benar.7
2.5. Manifestasi Klinis
Reaksi terhadap alergi makanan dapat bermanifestasi di sistem
gastrointestinal, kulit, dan respiratorius seperti yang terlihat di tabel 2. Pada
keadaan yang berat dapat timbul reaksi anafilaksis yang dapat menyebabkan
kematian. 9 Kriteria klinis untuk diagnosis anafilaksis akibat alergi makanan dapat
dilihat pada tabel 3.4
Tabel 2. Manifestasi klinis akibat reaksi alergi terhadap makanan 9
Penyakit

Urtikaria/
Angioedem
a (gambar 2
dan 3)

Tanda khas

Dicetuskan
oleh
makanan
atau kontak
kulit
langsung
(Urtikaria
Kontak);
Makanan
biasanya
menimbulka
n gejala akut
(20%) tapi
terkadang

Imunopatologi
Tambahan

Usia

Makanan
Penyabab
Tersering

Diperantarai Antibodi IgE


(Onset Akut)
Anak-anak >
Dewasa

Biasanya
Alergen
dominan

Perjalanan
Alamiah

Bergantung
dari makanan

10

Sindrom
Alergi pada
Mulut
(Hubungan
tepung sari
makanan)
(gambar 4)

Rhinitis,
Asma

urtikaria
kronik (2%)
Gatal, edema
sedang
terbatas pada
rongga mulut
Terkadang,
Menyebar di
sekitar mulut
(~ 7%) atau
Anafilaksis
(1% - 2%)
Dapat
bertambah
pada musim
semi
Gejala
mungkin
menyertai
reaksi alergi
oleh karena
makanan
tetapi jarang
terisolasi
atau
menimbulka
n gejala
kronis
Gejala
munbkin
juga
dicetuskan
oleh inhalasi
aerosol
protein
makanan

Sensitisasi
protein tepung
sari oleh saluran
pernafasan
menyebabkan
IgE berikatan
dengan
homologus,
khususnya pada
protein
makanan yang
labil, biasanya
buah/sayuran.

Onset setelah
alergi tepung
sari
ditegakkan
(dewasa >
anak muda)

Buah
mentah
atau
sayuran
yang
dimasak
dalam
bentuk
yang
masih bisa
ditoleransi.

Mungkin
seumur
hidup dan
bervariasi
bergantung
musim

Bayi/anakanak >
dewasa,
kecuali pada
penyakit
tertentu
(contohnya
Bakers Asma)

Umumnya:
Alergen
dominan
Khusus:
gandum,
telur, dan
makanan
laut,
sebagai
contohnya

Bergantung
dari makanan

Makanan
Penyabab
Tersering
Apapun,
tetapi lebih
sering
kacang,
Kerang,
ikan, susu,
dan telur

Perjalanan
Alamiah

Penyakit

Tanda khas

Imunopatologi
Tambahan

Usia

Anafilaksis

Perkembanga
nnya cepat,
reaksi pada
berbagai
sistem organ,
dapat
termasuk
kolaps
Kardivaskule
r
Makanan
Mencetuskan
anafilaksis
hanya jika
proses
pencernaan

Pengeluaran
mediator yang
banyak, seperti
histamin,
walaupun kadar
triptase sel mast
tidak selalu
meningkat

Siapapun

Aktivitas diduga
mengubah
absorbsi usus,
pencernaan
alergen, atau
keduanya

Onset
biasanya
remaja/dewas
a

Anafilaksis
karena
aktivitas
yang
berhubunga
n dengan

Gandum,
kerang,

Bergantung
pada
makanannya

Diduga
menetap

11

makanan

Dermatitis
Atopik
(Gambar
5)

Gastroente
ropati
eosinofil

Enterokoli
tis protein
makanan

Proktitis
pada diet
protein

diikuti oleh
aktivitas
Diperantarai antibodi IgE/ diperantarai sel
(Onset Lambat/ kronik)
Dikaitkan
Mungkin terkait Bayi > anakAlergen
dengan
dengan
anak > dewasa dominan,
makanan pada makanan
biasanya
~ 35% anak
responsif sel T
susu dan
dengan ruam
terhadap kulit
telur
sedang sampai
berat
Gajala
Mediator yang
Semua orang
Multiple
bervariasi
berperan
pada letak
mengaktivasi
atau derajat
eosinofil,
inflamasi
seperti Eotaxin
eosinofili
dan IL 5
Esofageal:
Disfagia dan
nyeri
Generalisata:
asites,
penurunan
berat badan,
edema, dan
obstruksi
Diperantarai sel (Onset Lambat/ Kronis)
Biasanya
Meningkatkan respon Balita
Susu
mempengaruh TNF-, Pengurangan
sapi,
i bayi
respon terhadap TGF
kedelai,
Paparan

nasi,
kronis:mual,
dan
diare, letargi
gandu
Paparan
m
kembali
setelah
pembatasan:
mual diare,
dan hipotensi
(15%) 2 jam
setelah makan
Mucus-laden,
Inflamasi eosinofili
Balita
ASI
Feses berdarah
pada bayi

Biasanya
sembuh

Kemungkina
n menetap

Biasanya
sembuh

Biasanya
sembuh

12

Tabel 3. Kriteria klinis untuk diagnosis anafilaksis4


Anafilaksis dicurigai apabila terdapat satu dari tiga kriteria di bawah ini
1. Onset akut (menit sampai beberapa jam) yang melibatkan kulit, jaringan
mukosa, atau keduanya, seperti timbul bintik-bintik merah, gatal atau
kemerahan, pembengkakan pada bibir, lidah, atau uvula.
Ditambah setidaknya satu dari tanda di bawah ini
a. Tanda gawat napas, seperti dispnea, bronkospasme (wheezing), stridor,
penurunan laju ekspirasi puncak (peak expiratory flow), dan
hipoksemia.
b. Penurunan tekanan darah atau timbul gejala disfungsi organ seperti
hipotonia (kolaps), sinkop, atau inkontinens.
2. Dua atau lebih gejala di bawah ini yang muncul cepat setelah terpapar
alergen yang dicurigai menimbulkan reaksi alergi pada pasien (menit
sampai beberapa jam).
a. Keterlibatan jaringan kulit-mukosa seperti timbul bintik merah di
seluruh tubuh, gatal dan kemerahan, pembengkakan bibir, lidah atau
uvula.
b. Tanda gawat napas, seperti dispnea, bronkospasme (wheezing), stridor,
penurunan laju ekspirasi puncak (peak expiratory flow), dan
hipoksemia.
c. Penurunan tekanan darah atau timbul gejala disfungsi organ seperti
hipotonia (kolaps), sinkop, atau inkontinens.
d. Gejala gastrointestinal yang persisten seperti kerap perut, nyeri, dan
muntah-muntah.
3. Penurunan tekanan darah setelah terpapar alergen yang sudah dipastikan
menimbulkan reaksi pada pasien (menit sampai beberapa jam)
a. Pada bayi dan anak-anak: tekanan sistolik rendah atau turun >30% dari
tekanan darah sistolik.*
b. Pada dewasa: tekanan sistolik <90 mmHg atau atau turun >30% dari
normal.
*Tekanan sistolik rendah jika <70 mmHg untuk usia 1 bulan s.d 1 tahun, kurang
dari [70 mmHg + (2xusia)] untuk usia 1 s.d 10 tahun dan <90 mmHg untuk usia
11 s.d 17 tahun.

13

Gambar 2. Urtikaria

Gambar 4. Sindrom alergi oral

Gambar 3. Angioedema pada wajah

Gambar 5. Dermatitis Atopik

Pada orang dengan alergi makanan yang tidak mengalami anafilaksis,


gejala kutan merupakan gejala yang paling sering dialami. Manifestasi kutan ini
bersifat akut (durasi kurang dari 6 minggu) berupa urtikaria dan/atau angioedema.
Urtikaria yang disebabkan oleh kontak kulit dengan makanan harus dibedakan
dengan dermatitis kontak iritan dan dermatitis kontak alergi. Makanan yang dapat
menyebabkan urtikaria setelah kontak dengan kulit adalah kerang, daging mentah,
ikan, sayuran mentah, buah-buahan, nasi, telur, mustard, bir, dan susu. Lesi
urtikaria dan angioedema dikatakan kronis jika manifestasinya persisten and
muncul selama lebih dari 6 minggu namun alergi makanan jarang menyebabkan
urtikaria dan/atau angioedema kronis. Dermatitis kontak dapat terjadi setelah
memegang bahan makanan dan dijumpai pada orang yang kesehariannya bekerja

14

dan terus terpapar dengan bahan makanan tersebut. Kulit yang terpapar akan
tampak eritema dan dijumpai vesikel. 4
2.6 Diagnosis
Anamnesis
Diagnosis alergi makanan harus dimulai dengan melakukan anamnesis
yang cermat dan akurat. Beberapa pertanyaan yang dapat membantu diagnosis
antara lain 1). Apakah reaksi muncul tiap kali pasien mengkonsumsi makanan
yang dicurigai menyebabkan alergi? Jika tidak maka kemungkinan makanan
tersebut bukan penyebab alergi. 2). Berapa lama gejala muncul setelah pasien
mengkonsumi makanan yang dicurigai menyebabkan alergi? Reaksi diperantarai
IgE biasanya muncul dalam waktu beberapa menit sampai 2,5 jam kemudian
sementara reaksi tidak diperantarai IgE (diperantarai sel T) dapat berlangsung 4
jam sampai 5-7 hari kemudian. 3) Adakah riwayat alergi di keluarga? Genetik
diketahui berperan dalam timbulnya reaksi alergi terhadap makanan. 4) Apa saja
gejala yang diderita pasien? Untuk mengidentifikasi tipe reaksi simpang
makanan apakah bersifat imun atau non imun. 2,4
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan

fisik

bertujuan

untuk

mengevaluasi

sistem

kulit,

gastrointestinal, dan respiratorius. Pada pasien yang dicurigai menderita alergi


makanan, kulit harus diperiksa dengan cermat dengan memfokuskan pada tandatanda seperti pruritus, papulovesikel eritema dengan ekskoriasi, eksudat serosa,
xerosis, likenifikasi, papul, dan keratosis pilaris. Distribusi dan pola lesi kulit juga
penting untuk diperhatikan. Pada bayi dan anak umumnya lesi ditemukan di
muka, leher dan ekstensor sementara pada anak yang lebih tua biasanya
didapatkan likenifikasi atau rash yang terlokalisir di fleksor ekstremitas.4
Setelah melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik, langkah selanjutnya
adalah menentukan pemeriksaan penunjang yang akan dilakukan. Pemeriksaan
penunjang ditentukan oleh kategori reaksi simpang makanan apakah termasuk ke
dalam reaksi alergi atau intoleransi makanan. Jika reaksi dicurigai karena reaksi
alergi maka reaksi dikategorikan lagi menjadi reaksi diperantari IgE atau reaksi
tidak diperantarai IgE. Untuk membedakan kedua reaksi tersebut dapat dilakukan
15

dengan mencermati kembali hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik. Onset cepat
(<4 jam) cenderung mengarah ke diagnosis reaksi alergi diperantarai IgE
sementara onset lama (6-48 jam atau kronik) cenderung mengarah ke diagnosis
reaksi alergi tidak diperantarai IgE. Adanya gejala dan tanda klasik reaksi
diperantarai IgE seperti urtikaria, angioedema, dan anafilaksis mengarahkan
diagnosis ke reaksi alergi yang diperantarai IgE sementara adanya gejala
gastrointestinal seperti mual, muntah, nyeri perut, atau diare tanpa gejala lainya
atau tanda dermatitis atopik pada pemeriksaan fisik maka mengarahkan diagnosis
ke reaksi alergi tidak diperantarai IgE.4
Pemeriksaan Penunjang
Terdapat 2 metode untuk mengukur IgE spesifik terahadap makanan yaitu
tes tusuk kulit atau skin prick test (SPT) yang dilakukan secara in vivo dan tes
IgE serum spesifik in vitro atau biasa disebut tes ImmunoCAP FEIA. Kedua tes
ini memiliki sensitivitas tinggi (>90%) namun memiliki spesifisitas sedang (50%)
sehingga screening tanpa anamnesis dan pemeriksaan fisik yang mengarah ke
alergi makanan tidak disarankan karena tingginya angka positif palsu. 4
Jika anamnesis dan pemeriksaan fisik mengarahkan diagnosis ke reaksi
imunologis tidak diperantarai IgE maka dokter dapat melakukan sejumlah
pemeriksaan untuk mengkonfirmasi diagnosis. Pemeriksaan tersebut antara lain
endoskopi dan biopsi traktus gastrointestinal untuk mendiagnosis eosinofilik
gastrointestinal atau penyekit celiac. Pasien dengan eosinofilik gastrointestinal
berat pada pemeriksaan penunjang dapat ditemukan anemia, darah di feses, dan
penurunan protein, albumin, dan level IgG serum. Pasien dengan suspek penyakit
celiac dapat disarankan untuk melakukan pemeriksaan antibodi transglutaminase
IgA karena spesifisitas dan sensitivitasnya tinggi. Tes napas hidrogen berguna
untuk mendiagnosis intoleransi laktosa sebagai etiologi diare akibat konsumsi
susu.4

Tes Provokasi Makanan


Tes

provokasi

makanan

adalah

observasi

pada

penderita

yang

mengkonsumsi sejumlah makanan yang dicurigai sebagai penyebab alergi

16

makanan dalam interval waktu yang ditentukan. Tes provokasi makanan terbagi
menjadi 3 jenis: open food challenge (OFC), single blind placebo-controlled food
challenge (SBPCFC), dan single blind placebo-controlled food challenge
(DBPCFC).4,11
OFC dilakukan dengan cara: baik dokter atau pasien menyadari bahwa
pasien mengkonsumsi makanan yang dicurigai, kandungan makanan yang
diujikan tidak disamarkan. Contohnya, seorang anak dengan riwayat alergi telur
diberikan sejumlah telur yang dimasak, ditingkatkan dosisnya tiap 30 menit
hingga seluruh telur yang disajikan habis dimakan. Biasanya OFC digunakan jika
hasil tes kulit terhadap makanan yang dicurigai negatif. OFC merupakan prosedur
aman yang dapat digunakan di tempat praktek untuk pasien yang dipilih
berdasarkan riwayat dan hasil IgE spesifik makanan tertentu mendekati nilai
negatif.4,11
Pada SBPCFC, dokter menyadari apa yang dimakan oleh pasien, namun
pasien tidak menyadarinya. Makanan yang dicurigai disamarkan sehingga pasien
tidak sadar terhadap kandungan makanan yang dikonsumsinya. Contohnya,
seorang anak dengan riwayat alergi telur diberikan kandungan telur yang telah
disembunyikan dalam makanan lain.5
DBPCFC dilakukan baik dokter dan pasien tidak mengetahui apa yang
pasien makan. Makanan yang dicurigai disamarkan pada makanan lain. DBPCFC
adalah gold standard atau baku emas untuk mencari penyebab secara pasti alergi
makanan. DBPCFC merupakan metode paling reliabel karena menghilangkan bias
pada dokter maupun pada pasien. Pemeriksaan DBPCFC memberitahukan kepada
kita bahwa: sebagian besar riwayat penyakit tidak akurat, terdapat daftar makanan
penyebab pada 90% kasus, sebagian besar anak-anak alergi terhadap 1-2 jenis
makanan saja.5
Tes provokasi makanan sebaiknya tidak dilakukan pada pasien dengan
riwayat yang jelas adanya reaksi alergi berat. Pasien harus menghindari makanan
yang dicurigai selama paling sedikit 2 minggu (diet eliminasi). Antihistamin
dihentikan minimal 5 hari sebelumnya. Akses intravena harus disiapkan jika tes
dilakukan pada pasien dengan riwayat reaksi alergi berat. Pasien harus bebas
gejala dan puasa pada hari pengujian. Prosedur pengujian harus dalam

17

pengawasan tenaga medis secara intensif. Makanan yang dicurigai dapat


disamarkan pada makanan lain atau kapsul untuk menghilangkan rasa dan baunya.
Tes dengan makanan yang lain dilakukan pada hari yang berbeda. Skema dosis
provokasi makanan dibagi menjadi 7 dosis yang semakin meningkat: 1%, 4%,
10%, 15%, 20%, 25%, dan 25% lagi dari dosis total. Peningkatan dosis baik pada
makanan yang diujikan atau plasebo diberikan setiap 10-30 menit, dan ditunggu
reaksinya 30 menit setelah dosis terakhir diberikan.5
2.7 Penatalaksanaan
Terapi primer untuk alergi makanan adalah dengan mencegah paparan
terhadap makanan yang menyebabkan alergi. Pasien diedukasi agar dengan
cermat meneliti label makanan yang akan dibeli atau dikonsumsi, berhati-hati
mengkonsumsi makanan yang dipesan di rumah makan atau restoran, dan
menjaga peralatan dapur agar tidak kontak dengan makanan yang menyebabkan
alergi. Pasien yang beresiko mengalami reaksi anafilaksis sebaiknya harus selalu
membawa injeksi epinefrin yang tersedia dalam bentuk pen (gambar 6) yang
tersedia dalam dosis 0,3 mg dan 0,15 mg dan jika memungkinkan menggunakan
gelang yang berisi identitas dan keterangan bahwa pasien menderita alergi dengan
reaksi berat.8 Dosis epinefrin untuk reaksi anafilaksis adalah 0,3 sampai dengan
0,5 mg untuk dewasa atau 0,01 mg/kgBB.10,11

18

Gambar 6. Cara Menggunakan Epinefrin pen.


Sejumlah terapi dapat membantu mengurangi gejala yang disebabkan oleh
reaksi alergi. Antihistamin dapat mengurangi reaksi alergi akibat sindrom alergi
oral dan reaksi alergi pada kulit yang diperantarai IgE. Terapi antiinflamasi dapat
berguna untuk eosinofilik esofagitis dan gastroenteritis.9
Pada beberapa kasus, melakukan diet eliminasi secara ketat menimbulkan
penurunan proses alergi makanan. Setelah melakukan diet bebas alergen secara
ketat selama 1-2 tahun, sekitar sepertiga dari anak-anak yang sudah besar dan
pasien dewasa pada suatu penelitian tidak lagi sensitif terhadap makanan
penyebab alergi sebelumnya. Alergi terhadap kacang tanah, kacang, ikan, dan
kerang-kerangan, mungkin akan bertahan seumur hidup.5

19

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Reaksi simpang makanan terdiri dari reaksi imunologis atau disebut alergi
makanan dan non imunologis atau disebut intoleransi makanan. Alergi makanan
dibagi lagi menjadi alergi yang diperantarai IgE, alergi yang tidak diperantarai
IgE, dan gabungan keduanya. Manifestasi klinis dari alergi makanan dapat
muncul di kulit, saluran gastrointestinal, maupun saluran respiratorius. Diagnosis
yang tepat akan membantu dalam penatalaksanaan dan pencegahan reaksi alergi
yang berulang terutama reaksi alergi yang mengancam nyawa. Terapi primer
untuk alergi makanan adalah dengan mencegah paparan terhadap makanan yang
menyebabkan alergi.

20

DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda, Adhi. 2010. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Balai
Penenrbit FK UI
2. Cianferoni A, Spergel JM. Food allergy. 2009. Review, Classification, and
Diagnosis. Allergology International
3. Candra Y, Setiarini A, Rengganis I. 2011 Gambaran sensitivitas terhadap
alergen makanan. Makara Kesehatan
4. Davis, CM. 2009. Food allergies: clinical manifestations, diagnosis, and
management. Curr Probl Pediatr Adolesc Health Care
5. Boyce JA, et al. 2010. Guideline for the diagnosis and management of food
allergy in the United State: report of the NIAID-sponsored expert panel. J
Allergy Clin Immunol
6. Otsu K, Dreskin, SC.2011. Peanut allergy: an evolving clinical challenge.
Discov med
7. Helen E. Cox. 2008. Food Allergy as Seen by an Allergist. Journal of
Pediatric Gastroenterology and Nutrition.
8. Miyake Y, Sasaki S, Tanaka K, Hirota Y. 2010. Dairy food, calcium, and
vitamin D intake in pregnancy and wheeze and eczema in infant. Eur Repir J
9. Sicherer SH, Sampson HA.2009. Food Allergy. J Allergy Clin Immunol
10. Tupper J,

Visser S.2010. Anaphylaxis a review and update. Can Fam

Physician
11. Sincherer SH, Simon FE.2007. Self injectable epinephrin for first-aid

management of anaphylaxis. Pediatrics

21

Você também pode gostar

  • LAPORAN Kegiatan
    LAPORAN Kegiatan
    Documento2 páginas
    LAPORAN Kegiatan
    novildanoviasari
    Ainda não há avaliações
  • Cover Skabies
    Cover Skabies
    Documento1 página
    Cover Skabies
    novildanoviasari
    Ainda não há avaliações
  • BAB 1 Gizi
    BAB 1 Gizi
    Documento38 páginas
    BAB 1 Gizi
    novildanoviasari
    Ainda não há avaliações
  • Bab I8
    Bab I8
    Documento56 páginas
    Bab I8
    novildanoviasari
    Ainda não há avaliações
  • Fist
    Fist
    Documento5 páginas
    Fist
    novildanoviasari
    Ainda não há avaliações
  • Cover
    Cover
    Documento1 página
    Cover
    novildanoviasari
    Ainda não há avaliações
  • Kata Pengantar Alergi Makanan
    Kata Pengantar Alergi Makanan
    Documento4 páginas
    Kata Pengantar Alergi Makanan
    novildanoviasari
    Ainda não há avaliações
  • Makalah IVA Fix
    Makalah IVA Fix
    Documento42 páginas
    Makalah IVA Fix
    novildanoviasari
    Ainda não há avaliações
  • Makala H
    Makala H
    Documento6 páginas
    Makala H
    novildanoviasari
    Ainda não há avaliações
  • Bab Iv
    Bab Iv
    Documento7 páginas
    Bab Iv
    novildanoviasari
    Ainda não há avaliações
  • Bab I8
    Bab I8
    Documento56 páginas
    Bab I8
    novildanoviasari
    Ainda não há avaliações
  • Makala H
    Makala H
    Documento6 páginas
    Makala H
    novildanoviasari
    Ainda não há avaliações
  • Bab I8
    Bab I8
    Documento56 páginas
    Bab I8
    novildanoviasari
    Ainda não há avaliações
  • Bab V
    Bab V
    Documento2 páginas
    Bab V
    Viel Dhandra
    Ainda não há avaliações
  • Bab Iii
    Bab Iii
    Documento24 páginas
    Bab Iii
    novildanoviasari
    Ainda não há avaliações
  • BAB I Dan II
    BAB I Dan II
    Documento30 páginas
    BAB I Dan II
    novildanoviasari
    Ainda não há avaliações
  • Hipertensi KTK
    Hipertensi KTK
    Documento8 páginas
    Hipertensi KTK
    novildanoviasari
    Ainda não há avaliações
  • Cover
    Cover
    Documento1 página
    Cover
    novildanoviasari
    Ainda não há avaliações
  • Fist
    Fist
    Documento5 páginas
    Fist
    novildanoviasari
    Ainda não há avaliações