Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Reaksi simpang makanan adalah setiap reaksi yang tidak diinginkan akibat
ingesti makan atau bahan adiktif makanan. Reaksi ini terbagi dalam alergi
makanan dan intoleransi makanan. Alergi makan didasari oleh mekanisme
imunologis, sedangkan intoleransi makanan terjadi akibat mekanisme fisiologis
atau non imunologis. Intoleransi makanan dapat terjadi akibat sifat farmakologis
makanan tersebut (misalnya kafein mengakibatkan irritable bowel) atau toksik
yang ada dalam makanan (biasanya karna proses pembuatan yang tidak baik), atau
akibat
adalanya
gangguan
metabolisme
(misalnya:
defisiensi
laktase,
fenilketonuria).
Manifestasi alergi makanan pada kulit umumnya berupa urtikaria/
angioderma atau dermatitis atopik. Namun dapat juga berupa dermatitis
herpetiformis duhring.
Prevalensi alergi makanan tidak diketahui dengan pasti, namun besarnya
dugaan manyarakat terhadap alergi makanan melebihi prevalensi yang dibuktikan
melalui penelitian klinis. Gangguan ini lebih sering ditemukan pada bayi dan
anak-anak dibandingkan dengan orang dewasa.1
Alergi makanan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
mempengaruhi anak-anak dan dewasa. Diperkirakan sekitar 25% masyarakat di
Amerika Serikat percaya bahwa mereka memiliki reaksi alergi terhadap makanan
namun insidensi sesungguhnya setelah dikonfirmasi dengan anamnesis dan
pemeriksaan adalah 2-8% pada populasi anak-anak dan kurang dari 2% dari
populasi dewasa.1 Prevalensi alergi makanan di Indonesia adalah 5-11%.
Prevalensi alergi makanan yang kecil ini dapat terjadi karena masih banyak
masyarakat yang tidak melakukan tes alergi untuk memastikan apakah mereka
positif alergi makanan atau tidak. Persepsi mereka, jika setelah makan makanan
tertentu mereka merasa gatal-gatal, maka mereka menganggap bahwa mereka
alergi terhadap makanan itu sehingga data yang ada tidak cukup mewakili.
Disamping itu, tempat untuk melakukan tes alergi masih belum banyak
1.2. Tujuan
1.2.1. Tujuan Umum
-
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Kelainan kulit akibat alergi makanan ialah dermatosis akibat reaksi
imunologik terhadap makanan atau bahan pelengkap makanan.1
Alergi makanan merupakan respons imunologis yang abnormal terhadap
makanan yang dialami oleh seseorang yang rentan terhadap makanan tersebut.
Reaksi ini terjadi setiap kali mengkonsumsi makanan dan relatif tidak bergantung
pada jumlah makanan yang dimakan. Berdasarkan mekanisme imunologis yang
melatarbelakanginya, alergi makanan diklasifikasikan menjadi tiga yaitu reaksi
diperantarai IgE yang dimediasi oleh antibodi IgE dan khas untuk reaksi alergi
makanan, reaksi tidak diperantarai IgE yang dimediasi oleh sejumlah komponen
sel dari sistem imun dan kebanyakan melibatkan traktus gastrointestinal, dan
gabungan dari kedua klasifikasi tersebut. Keadaan klinis dari ketiga klasifikasi
dapat dilihat pada tabel 1.2,3
Alergi makanan harus dibedakan dengan reaksi makanan non alergi. Alergi
makanan dimediasi oleh sistem imun sementara reaksi makanan non alergi tidak
dimediasi oleh sistem imun. Reaksi makanan non alergi disebut juga sebagai
reaksi intoleransi makanan dan dibagi menjadi reaksi toksik dan non toksik.
Reaksi toksik terjadi akibat aksi farmakologis dari suatu substansi di dalam
makanan. Reaksi ini dapat dialami oleh siapa saja yang terpapar oleh makanan
tersebut dan tidak diperantarai dengan faktor host. Substansi dapat berupa enzim
atau agen lainnya yang menyebabkan reaksi di dalam tubuh. Contoh reaksi toksik
antara lain muntah setelah keracunan makanan yang terkontaminasi bakteri atau
metal berat, dan gatal serta kemerahan pada kulit setelah mengkonsumsi histamin
yang terkandung di dalam ikan jenis tertentu.Konsumsi makanan yang
mengandung kafein seperti kopi dan the dapat menyebabkan tremor. Tiramin yang
terkandung di dalam keju yang sudah lama diproduksi dapat menyebabkan
migrain, dan konsumsi alkohol dapat menyebabkan sejumlah gejala yang tidak
diinginkan. Defisiensi enzim seperti defisiensi laktase dan galaktosemia termasuk
ke dalam intoleransi makanan non toksik. Insufisiensi pankreas, penyakit hati dan
empedu, herniasi hiatus, dan rinitis gustatori merupakan kondisi diperantarai
reaksi lanjutan akibat konsumsi makanan tertentu. Gangguan psikiatrik seperti
2.2 Epidemiologi
Diperkirakan sekitar 25% masyarakat di Amerika Serikat percaya bahwa
mereka memiliki reaksi alergi terhadap makanan namun insidensi sesungguhnya
setelah dikonfirmasi dengan anamnesis dan pemeriksaan adalah 2-8% pada
populasi anak-anak dan kurang dari 2% dari populasi dewasa. Banyak penelitian
dalam bebeberapa dekade terakhir juga menunjukkan bahwa meskipun 40-60%
orang tua percaya bahwa anaknya memiliki gejala alergi terkait makanan, hanya
4% - 8% yang terbukti alergi dengan tes provokasi makanan. 1 Prevalensi alergi
makanan di Indonesia adalah 5-11%.3
Gambar 1. Mekanisme sensitasi dan reaktivitasi sel imun akibat alergen makanan6
Alergi makanan tidak diperantarai IgE merupakan reaksi imunologis yang
angka kejadiannya lebih rendah dibandingkan dengan alergi makanan diperantarai
IgE. Di dalam serum dan kulit penderita dengan alergi makanan tidak diperantarai
IgE tidak ditemukan antibodi IgE. Karakteristik penyakit ini tidak begitu jelas
namun diduga terjadi akibat inflamasi akut atau kronis di saluran pencernaan
dimana eosinofil dan sel T memegang perananan. Pada pasien dengan
enterekolitis yang dinduksi protein makanan, TNF- tampaknya turut memegang
peranan. TNF- berhasil dikultur secara in vitro dari monosit darah perifer pada
anak-anak dengan sindrom enterekolitis yang diinduksi protein makanan. Pada
eosinofilik esofagitis, eosinofil dan faktor pertumbuhan, faktor kemotaktik, IL-13,
IL-5,VCAM 1, dan TGF- memegang peranan dalam timbulnya reaksi alergi.2
Pada intinya, faktor genetik berperan dalam timbulnya reaksi alergi
meskipun gen yang berperan disini belum dapat diidentifikasi. Sama halnya
dengan alergi makanan yang tidak diperantarai IgE didapatkan perbedaan
insidensi berdasarkan etnik dimana ras Kaukasia insidensinya lebih banyak
dibandingkan ras yang lain.2
3. Pajanan Alergi
Pajanan alergi yang merangsang produksi IgE spesifik sudah dapat terjadi
sejak bayi dalam kandungan. Diketahui adanya IgE spesifik pada janin terhadap
penisilin, gandum, telur dan susu. Pajanan juga terjadi pada masa bayi. Pemberian
ASI eksklusif mengurangi jumlah bayi yang hipersensitif terhadap makanan pada
tahun pertama kehidupan. Pemberian MPASI (makanan pendamping ASI)
meningkatkan angka kejadian alergi.6 Konsumsi makanan tertentu selama hamil
diduga dapat menurunkan angka kejadian beberapa jenis alergi makanan.
Konsumsi kalsium dan produk susu dibandingkan yogurt selama hamil
menurunkan resiko kejadian wheezing pada anak-anak. Konsumsi vitamin D
selama hamil memberikan efek proteksi pada anak agar terhindar dari wheezing
dan eksema.8
4. Pencetus Alergi Makanan
Beberapa makanan yang berbeda kadang menimbulkan gejala alergi yang
berbeda pula, misalnya pada alergi ikan laut menimbulkan gangguan kulit berupa
urtikaria, kacang tanah menimbulkan gangguan kulit berupa papula (bintik kecil
seperti digigit serangga) atau furunkel (bisul). Sedangkan buah-buahan
menimbulkan gangguan batuk atau pencernaan. Hal ini juga tergantung dengan
organ yang sensitif pada tiap individu. Meskipun demikian ada beberapa pakar
alergi makanan yang berpendapat bahwa jenis makanan tidak spesifik
menimbulkan gejala tertentu. Timbulnya gejala alergi bukan saja dipengaruhi oleh
penyebab alergi, tapi juga dipengaruhi oleh pencetus alergi. Beberapa hal yang
menyulut atau mencetuskan timbulnya alergi disebut faktor pencetus. Faktor
pencetus tersebut dapat berupa faktor fisik seperti tubuh sedang terinfeksi virus
atau bakteri, minuman dingin, udara dingin, panas atau hujan, kelelahan, aktifitas
berlebihan tertawa, menangis, berlari, olahraga. Faktor psikis berupa kecemasan,
sedih, stress atau ketakutan. Hal ini ditunjukkan pada seorang penderita autisme
yang mengalami infeksi saluran napas, biasanya gejala alergi akan meningkat.
Selanjutnya akan berakibat meningkatkan gangguan perilaku pada penderita.
Fenomena ini sering dianggap penyebabnya adalah karena pengaruh obat.7
Urtikaria/
Angioedem
a (gambar 2
dan 3)
Tanda khas
Dicetuskan
oleh
makanan
atau kontak
kulit
langsung
(Urtikaria
Kontak);
Makanan
biasanya
menimbulka
n gejala akut
(20%) tapi
terkadang
Imunopatologi
Tambahan
Usia
Makanan
Penyabab
Tersering
Biasanya
Alergen
dominan
Perjalanan
Alamiah
Bergantung
dari makanan
10
Sindrom
Alergi pada
Mulut
(Hubungan
tepung sari
makanan)
(gambar 4)
Rhinitis,
Asma
urtikaria
kronik (2%)
Gatal, edema
sedang
terbatas pada
rongga mulut
Terkadang,
Menyebar di
sekitar mulut
(~ 7%) atau
Anafilaksis
(1% - 2%)
Dapat
bertambah
pada musim
semi
Gejala
mungkin
menyertai
reaksi alergi
oleh karena
makanan
tetapi jarang
terisolasi
atau
menimbulka
n gejala
kronis
Gejala
munbkin
juga
dicetuskan
oleh inhalasi
aerosol
protein
makanan
Sensitisasi
protein tepung
sari oleh saluran
pernafasan
menyebabkan
IgE berikatan
dengan
homologus,
khususnya pada
protein
makanan yang
labil, biasanya
buah/sayuran.
Onset setelah
alergi tepung
sari
ditegakkan
(dewasa >
anak muda)
Buah
mentah
atau
sayuran
yang
dimasak
dalam
bentuk
yang
masih bisa
ditoleransi.
Mungkin
seumur
hidup dan
bervariasi
bergantung
musim
Bayi/anakanak >
dewasa,
kecuali pada
penyakit
tertentu
(contohnya
Bakers Asma)
Umumnya:
Alergen
dominan
Khusus:
gandum,
telur, dan
makanan
laut,
sebagai
contohnya
Bergantung
dari makanan
Makanan
Penyabab
Tersering
Apapun,
tetapi lebih
sering
kacang,
Kerang,
ikan, susu,
dan telur
Perjalanan
Alamiah
Penyakit
Tanda khas
Imunopatologi
Tambahan
Usia
Anafilaksis
Perkembanga
nnya cepat,
reaksi pada
berbagai
sistem organ,
dapat
termasuk
kolaps
Kardivaskule
r
Makanan
Mencetuskan
anafilaksis
hanya jika
proses
pencernaan
Pengeluaran
mediator yang
banyak, seperti
histamin,
walaupun kadar
triptase sel mast
tidak selalu
meningkat
Siapapun
Aktivitas diduga
mengubah
absorbsi usus,
pencernaan
alergen, atau
keduanya
Onset
biasanya
remaja/dewas
a
Anafilaksis
karena
aktivitas
yang
berhubunga
n dengan
Gandum,
kerang,
Bergantung
pada
makanannya
Diduga
menetap
11
makanan
Dermatitis
Atopik
(Gambar
5)
Gastroente
ropati
eosinofil
Enterokoli
tis protein
makanan
Proktitis
pada diet
protein
diikuti oleh
aktivitas
Diperantarai antibodi IgE/ diperantarai sel
(Onset Lambat/ kronik)
Dikaitkan
Mungkin terkait Bayi > anakAlergen
dengan
dengan
anak > dewasa dominan,
makanan pada makanan
biasanya
~ 35% anak
responsif sel T
susu dan
dengan ruam
terhadap kulit
telur
sedang sampai
berat
Gajala
Mediator yang
Semua orang
Multiple
bervariasi
berperan
pada letak
mengaktivasi
atau derajat
eosinofil,
inflamasi
seperti Eotaxin
eosinofili
dan IL 5
Esofageal:
Disfagia dan
nyeri
Generalisata:
asites,
penurunan
berat badan,
edema, dan
obstruksi
Diperantarai sel (Onset Lambat/ Kronis)
Biasanya
Meningkatkan respon Balita
Susu
mempengaruh TNF-, Pengurangan
sapi,
i bayi
respon terhadap TGF
kedelai,
Paparan
nasi,
kronis:mual,
dan
diare, letargi
gandu
Paparan
m
kembali
setelah
pembatasan:
mual diare,
dan hipotensi
(15%) 2 jam
setelah makan
Mucus-laden,
Inflamasi eosinofili
Balita
ASI
Feses berdarah
pada bayi
Biasanya
sembuh
Kemungkina
n menetap
Biasanya
sembuh
Biasanya
sembuh
12
13
Gambar 2. Urtikaria
14
dan terus terpapar dengan bahan makanan tersebut. Kulit yang terpapar akan
tampak eritema dan dijumpai vesikel. 4
2.6 Diagnosis
Anamnesis
Diagnosis alergi makanan harus dimulai dengan melakukan anamnesis
yang cermat dan akurat. Beberapa pertanyaan yang dapat membantu diagnosis
antara lain 1). Apakah reaksi muncul tiap kali pasien mengkonsumsi makanan
yang dicurigai menyebabkan alergi? Jika tidak maka kemungkinan makanan
tersebut bukan penyebab alergi. 2). Berapa lama gejala muncul setelah pasien
mengkonsumi makanan yang dicurigai menyebabkan alergi? Reaksi diperantarai
IgE biasanya muncul dalam waktu beberapa menit sampai 2,5 jam kemudian
sementara reaksi tidak diperantarai IgE (diperantarai sel T) dapat berlangsung 4
jam sampai 5-7 hari kemudian. 3) Adakah riwayat alergi di keluarga? Genetik
diketahui berperan dalam timbulnya reaksi alergi terhadap makanan. 4) Apa saja
gejala yang diderita pasien? Untuk mengidentifikasi tipe reaksi simpang
makanan apakah bersifat imun atau non imun. 2,4
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan
fisik
bertujuan
untuk
mengevaluasi
sistem
kulit,
dengan mencermati kembali hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik. Onset cepat
(<4 jam) cenderung mengarah ke diagnosis reaksi alergi diperantarai IgE
sementara onset lama (6-48 jam atau kronik) cenderung mengarah ke diagnosis
reaksi alergi tidak diperantarai IgE. Adanya gejala dan tanda klasik reaksi
diperantarai IgE seperti urtikaria, angioedema, dan anafilaksis mengarahkan
diagnosis ke reaksi alergi yang diperantarai IgE sementara adanya gejala
gastrointestinal seperti mual, muntah, nyeri perut, atau diare tanpa gejala lainya
atau tanda dermatitis atopik pada pemeriksaan fisik maka mengarahkan diagnosis
ke reaksi alergi tidak diperantarai IgE.4
Pemeriksaan Penunjang
Terdapat 2 metode untuk mengukur IgE spesifik terahadap makanan yaitu
tes tusuk kulit atau skin prick test (SPT) yang dilakukan secara in vivo dan tes
IgE serum spesifik in vitro atau biasa disebut tes ImmunoCAP FEIA. Kedua tes
ini memiliki sensitivitas tinggi (>90%) namun memiliki spesifisitas sedang (50%)
sehingga screening tanpa anamnesis dan pemeriksaan fisik yang mengarah ke
alergi makanan tidak disarankan karena tingginya angka positif palsu. 4
Jika anamnesis dan pemeriksaan fisik mengarahkan diagnosis ke reaksi
imunologis tidak diperantarai IgE maka dokter dapat melakukan sejumlah
pemeriksaan untuk mengkonfirmasi diagnosis. Pemeriksaan tersebut antara lain
endoskopi dan biopsi traktus gastrointestinal untuk mendiagnosis eosinofilik
gastrointestinal atau penyekit celiac. Pasien dengan eosinofilik gastrointestinal
berat pada pemeriksaan penunjang dapat ditemukan anemia, darah di feses, dan
penurunan protein, albumin, dan level IgG serum. Pasien dengan suspek penyakit
celiac dapat disarankan untuk melakukan pemeriksaan antibodi transglutaminase
IgA karena spesifisitas dan sensitivitasnya tinggi. Tes napas hidrogen berguna
untuk mendiagnosis intoleransi laktosa sebagai etiologi diare akibat konsumsi
susu.4
provokasi
makanan
adalah
observasi
pada
penderita
yang
16
makanan dalam interval waktu yang ditentukan. Tes provokasi makanan terbagi
menjadi 3 jenis: open food challenge (OFC), single blind placebo-controlled food
challenge (SBPCFC), dan single blind placebo-controlled food challenge
(DBPCFC).4,11
OFC dilakukan dengan cara: baik dokter atau pasien menyadari bahwa
pasien mengkonsumsi makanan yang dicurigai, kandungan makanan yang
diujikan tidak disamarkan. Contohnya, seorang anak dengan riwayat alergi telur
diberikan sejumlah telur yang dimasak, ditingkatkan dosisnya tiap 30 menit
hingga seluruh telur yang disajikan habis dimakan. Biasanya OFC digunakan jika
hasil tes kulit terhadap makanan yang dicurigai negatif. OFC merupakan prosedur
aman yang dapat digunakan di tempat praktek untuk pasien yang dipilih
berdasarkan riwayat dan hasil IgE spesifik makanan tertentu mendekati nilai
negatif.4,11
Pada SBPCFC, dokter menyadari apa yang dimakan oleh pasien, namun
pasien tidak menyadarinya. Makanan yang dicurigai disamarkan sehingga pasien
tidak sadar terhadap kandungan makanan yang dikonsumsinya. Contohnya,
seorang anak dengan riwayat alergi telur diberikan kandungan telur yang telah
disembunyikan dalam makanan lain.5
DBPCFC dilakukan baik dokter dan pasien tidak mengetahui apa yang
pasien makan. Makanan yang dicurigai disamarkan pada makanan lain. DBPCFC
adalah gold standard atau baku emas untuk mencari penyebab secara pasti alergi
makanan. DBPCFC merupakan metode paling reliabel karena menghilangkan bias
pada dokter maupun pada pasien. Pemeriksaan DBPCFC memberitahukan kepada
kita bahwa: sebagian besar riwayat penyakit tidak akurat, terdapat daftar makanan
penyebab pada 90% kasus, sebagian besar anak-anak alergi terhadap 1-2 jenis
makanan saja.5
Tes provokasi makanan sebaiknya tidak dilakukan pada pasien dengan
riwayat yang jelas adanya reaksi alergi berat. Pasien harus menghindari makanan
yang dicurigai selama paling sedikit 2 minggu (diet eliminasi). Antihistamin
dihentikan minimal 5 hari sebelumnya. Akses intravena harus disiapkan jika tes
dilakukan pada pasien dengan riwayat reaksi alergi berat. Pasien harus bebas
gejala dan puasa pada hari pengujian. Prosedur pengujian harus dalam
17
18
19
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Reaksi simpang makanan terdiri dari reaksi imunologis atau disebut alergi
makanan dan non imunologis atau disebut intoleransi makanan. Alergi makanan
dibagi lagi menjadi alergi yang diperantarai IgE, alergi yang tidak diperantarai
IgE, dan gabungan keduanya. Manifestasi klinis dari alergi makanan dapat
muncul di kulit, saluran gastrointestinal, maupun saluran respiratorius. Diagnosis
yang tepat akan membantu dalam penatalaksanaan dan pencegahan reaksi alergi
yang berulang terutama reaksi alergi yang mengancam nyawa. Terapi primer
untuk alergi makanan adalah dengan mencegah paparan terhadap makanan yang
menyebabkan alergi.
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda, Adhi. 2010. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Balai
Penenrbit FK UI
2. Cianferoni A, Spergel JM. Food allergy. 2009. Review, Classification, and
Diagnosis. Allergology International
3. Candra Y, Setiarini A, Rengganis I. 2011 Gambaran sensitivitas terhadap
alergen makanan. Makara Kesehatan
4. Davis, CM. 2009. Food allergies: clinical manifestations, diagnosis, and
management. Curr Probl Pediatr Adolesc Health Care
5. Boyce JA, et al. 2010. Guideline for the diagnosis and management of food
allergy in the United State: report of the NIAID-sponsored expert panel. J
Allergy Clin Immunol
6. Otsu K, Dreskin, SC.2011. Peanut allergy: an evolving clinical challenge.
Discov med
7. Helen E. Cox. 2008. Food Allergy as Seen by an Allergist. Journal of
Pediatric Gastroenterology and Nutrition.
8. Miyake Y, Sasaki S, Tanaka K, Hirota Y. 2010. Dairy food, calcium, and
vitamin D intake in pregnancy and wheeze and eczema in infant. Eur Repir J
9. Sicherer SH, Sampson HA.2009. Food Allergy. J Allergy Clin Immunol
10. Tupper J,
Physician
11. Sincherer SH, Simon FE.2007. Self injectable epinephrin for first-aid
21