Você está na página 1de 15

LAPORAN PENELITIAN

Analisa Pemikiran Buya Hamka


dalam Tasawuf Modern
BAB I
PENDAHULUAN
I.A. Latar Belakang
Seiring dengan perkembangan dan kemajuan zaman, masyarakat dituntun untuk mengikuti arus
kehidupannya. Tepatnya, masyarakat digiring agar menjadi masyarakat urban. Pandangan dunia, pola pikir, dan
gaya hidup mau tak mau dibenturkan atau dalam bahasa lebih ramah diintegrasikan dengan kehidupan duniawi
yang dinamis ini. Ya, kehidupan masyarakat di era saat ini semakin dinamis karena ilmu pengetahuan dan
teknologi terus dikembangkan. Jelas hal ini mempengaruhi masyarakat sebagai makhuk yang hidup di dunia
material (jasmani) sekaligus memiliki kebutuhan untuk pemenuhan dasar ruhani-spiritual (jiwa dan akalintelek).
Manusia memiliki dua dimensi kehidupan yang masing-masing harus dipenuhi segala kebutuhannya,
karena bila sekarat atau mati salah satunya maka akan tidak sempurna eksistensi kemanusiaannya. Kiranya,
inilah yang menjadi landasan fundamental keberadaan agama di atas bumi, dan ia tidak akan hilang. Agama
hadir mewarnai kehidupan dunia yang dinamis ini untuk membantu menyeimbangkan dua dimensi
kemanusiaan manusia. Bisa jadi agama berperan secara terpisah sebagai pemenuhan kebutuhan spiritual
manusia. Atau bisa juga agama adalah kehidupan kemanusiaan itu sendiri yaitu menuntun manusia agar bisa
seimbang antara pemenuhan kebutuhan jasmani-duniawi maupun ruhani-spiritualnya. Sebagaimana kata tokoh
fisika dunia, Albert Einstein, ilmu pengetahuan tanpa agama adalah lumpuh, dan agama tanpa ilmu
pengetahuan adalah buta. Sebagai pemikir alam semesta yang bersifat fisika, Eisntein mengakui ada peran
unsur-unsur spiritual dalam kehidupan kita. Dengannya, kita dapat berjalan dengan seimbang dan terarah.
Nah, merupakan suatu tantangan zaman yang amat besar mengingat kemajuan pengetahuan dan teknologi
secara otomatis melambungkan masyarakat untuk mencapai titik puncak kesejahteraan peradabannya secara
duniawi. Kita temukan pengetahuan yang semakin mencerdaskan masyarakat dunia, dan teknologi yang
membuat manusia semakin dipermudah untuk menjalani segalanya. Ketika itu lah dimensi ruhani-spiritual
manusia dipertaruhkan. Bisa jadi ikut sejahtera, atau justru terperosok jatuh sekarat.
Secara secara spesifik, kita menemukan persoalan ini dalam masyarakat kita sendiri, Indonesia. Modernitas
merajalela. Sebagai Negara berkembang, kita dituntut agar terus mengikuti perkembangan dunia agar dapat
maju. Baik dari sisi ekonomi, sosial, arsitektur, budaya, teknologi, dan juga lebih global algi pandangan dunia
masyarakat tanah air ini terus mengejar modernitas. Namun walaupun begitu, hegemoni dan kebimbangan
melanda negeri ini. Akan kah kemajuan yang mereka pilih dapat menjaga mereka dari kemerosotan spiritual?
Ini lah masyarakat baru urban, yaitu ketika masyarakatnya sedang mencari jati diri antara pemenuhan tuntutan
duniawi masyarakatnya dan juga ruhani-spiritualnya.
I.B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis mempersoalkan beberapa hal dan dengan ini lah penulis
mencoba melakukan penelitian atasnya. Untuk mencari jawabannya, penulis melakukan analisa kritis dengan
pemikiran Buya Hamka, tepatnya dalam karyanya Tasawuf Modern. Sehingga dengan begitu penulis memulai
dengan mempertanyakan ketokohan Buya Hamka baik dari sisi biografis maupun pemikirannya.
Selanjutnya, menyentuh pada karya khusunya yaitu Tasawuf Modern. Penulis akan mencari tahu latar
belakang penulisan karya tersebut, disertai keunggulan, gagasan utama, dan paparan singkat mengenai isi karya
laris ini.
Sedangkan yang terakhir, penting juga untuk mengetahui pengaruh pemikiran dalam karya khususnya ini
terkait dengan penelitian ini, yaitu pengaruhnya terhadap pemikiran Islam di Nusantara. Pada bagian ini lah
penulis akan memaparkan analisa kritis terhadap persoalan kekinian dengan pemikiran Hamka.
I.C. Urgensi
Persoalan-persoalan modernitas merupakan hal yang penting untuk dijawab dan dituntaskan karena hal ini
berkaitan dengan kehidupan kita sendiri. Kita adalah pelaku-pelaku modernitas. Krisis indentitas diri melanda
masyarakat Negara. Buya Hamka hadir dengan buah pikirannya untuk menyelesaikan persoalan ini. Begitu
dekatnya permasalahan ini dengan kita, mendorong penulis untuk menemukan jawabannya.
1

Selain itu, penelitian ini dapat disebut aktifitas filsafat. Di sini lah filsafat menunjukkan peran pentingnya
bagi masyarakat dunia. Filsafat adalah kajian tentang hikmah, yaitu memaknai kehidupan atau menemukan
makna kehidupan dengan bijaksana. Krisis identitas adalah bentuk keambiguan dan kesamaran makna
kehidupan. Maka, filsafat hadir untuk menjawab ini semua.
I.D. Metodologi Penelitian
Metode yang digunakan penulis dalam penyusunan penelitian ini adalah metode kualitatif yaitu
berdasarkan pada penelitian kepustakaan (library research). Pengumpulan bahan-bahan perpustakaan akan
dijadikan sumber utama sebagai fokus penelitian ini. Adapun sumber data diperoleh dari buku-buku, artikelartikel yang relevan dengan pokok permasalahan, melalui metode dokumentasi.
Menyampaikan dengan metode deskriptif, disertai analisis data secara filosofis. Dari data primer yang
diperoleh, peneliti akan memaparkan kembali gagasannya dengan lebih gamblang dan bahasa yang lebih umum
sehingga lebih mudah dipahami. Karena itu lah kami menggunakan metode deskriptif. Selanjutnya kami
melakukan analisa yaitu meneliti lebih dalam gagasan-gagasan tersebut sehingga yang masih implisit dan
terungkap secara eksplisit. Dalam hal ini, kami juga memakai pendekatan hermeneutis karena perbedaan
konteks tampak sangat mempengaruhi bentuk pemahaman atas objek penelitian.
Menurut Patton (1980), pengertian analisis data adalah proses mengatur urutan data,
mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar. Adapun Proses analisis data
terdiri dari 3 tahapan:
a) Reduksi data, laporan-laporan yang berupa data yang telah terkumpul kemudian dilakukan proses
reduksi, dirangkum, dipilih hal-hal yang pokok difokuskan pada hal-hal yang penting sesuai dengan
pola dan peta penelitian.
b) Klasifikasi data, mengelompokkan data-data berdasarkan ciri khas masing-masing berdasarkan objek
formal penelitian.
c) Menampilkan data, membuat kategori, mengelompokkan, membuat klasifikasi, dan menyusunnya dalam
suatu sistem sesuai dengan peta masalah penelitian.
Penelitian ini diupayakan agar dapat mendekati objek penelitian semaksimal mungkin. Dengan sumbersumber data sekunder yang diperoleh dan proses pengkajian yang cukup serius, peneliti menyampaikan hasil
analisisnya. Agar hasilnya tepat, beberapa kali kami melakukan pengecekan ulang, konfirmasi data pada
sumber data, revisi, dan penyempurnaan.
Adapun sumber data primer kami adalah buku Tasawuf Modern karya Buya Hamka, sekaligus sebagai
objek utama penelitian itu sendiri. Kami juga melakukan pemeriksaan terhadap perkembangan pemikiran Islam
terkini, baik di dunia maupun di Nusantara, dari beberapa sumber lainnya sebagai bahan perbandingan dan
analisa.
Sumber data lainnya adalah sumber sekunder, yakni tulisan-tulisan dalam bentuk apapun yang secara
eksplisit membahas tentang kedua tokoh tersebut, serta pokok pikirannya yang mempunyai relevansi dengan
tema pokok.
Buku-buku pentingnya:
I.E. Manfaat
1. Mengenal Buya Hamka baik secara biografis maupun dari sisi pemikirannya
2. Menemukan pemahaman analitis kritis terhadap Tasawuf Modern disertai dengan latar belakang
penulisannya
3. Mengungkapkan jawaban yang ditawarkan Hamka terhadap persoalan modernitas secara eksplisit

BAB II
TEMUAN KAJIAN DAN PEMBAHASAN
II.A. Ketokohan Buya Hamka
II.A.i. Kelahiran
Buya Hamka adalah nama pamor dari seorang pemikir Islam bernama Haji Abdul Malik Karim Amrullah,
dilahirkan pada 16 Februari 1908 di Kampung Molek, Maninjau, Sumatra Barat dalam keluarga yang sudah
terbiasa dengan tradisi pendidikan dan agama Islam. Buya adalah panggilan akrab khas Melayu, sedangkan
Hamka adalah nama singkatnya. Ayahnya bernama Syaikh Abdul Karim Amrullah alias Haji Rasul, yaitu
seorang ulama yang juga terkenal di zamannya, khususnya Minangkabau.
Dia tinggal daerah dekat Sungai Batang dan Danau Maninjau. Maninjau dikenal sebagai tempat lahir
banyak tokoh-tokoh berpengaruh, diantaranya adalah Mohammad Natsir, A.R. Sutan Mansyur, Rasuna Said,
dll. Rupanya, kelak bocah kecil yang dididik keras oleh ayahnya ini juga menjadi tokoh Islam berpengaruh di
negeri Indonesia.
Haji Rasul, ayahnya, adalah sosok penting di balik keberhasilan Hamka. Sebagai tokoh masyarakat, dia
juga pendidik yang serius dalam keluarga. Dia hidup di salah satu periode maraknya isu aqidah, syirik, bidah,
dan khurafat. Ketika itu kemelut perang Paderi masih melanda masyarakat Padang dan sekitarnya. Tidak seperti
ayah dan kakeknya, dia memilih terjun di dunia pembaharuan Islam ketimbang menjalani praktek-praktek
keagamaan secara khusus.
Tak hanya dari ayahnya, latar belakang tradisi keagamaan Hamka juga didapatkan dari kakeknya. Kakek
Hamka bernama Syaikh Muhammad Amrullah, yaitu seorang pengikut tarekat Mutabarah Naqsabandiah. Dia
disegani dan dihormati oleh masyarakat, menunjukkan kedalaman ilmu keagamaannya. Bahkan ia juga disebut
sebagai seorang wali yang memiliki karamah. Ayahnya, Tuanku Syaikh Pariaman, yaitu seorang yang juga
terkenal dengan kedalaman pengetahuan agama dan amalannya. Ia berguru di Mekkah dengan Sayyid Zaini,
Syaikh Muhammad Abdullah, Syaikh Ahmad Khatib, dan Syaikh Taher Jalaludin.
II.A.ii. Pendidikan dan sosial
Hamka banyak dididik oleh ayahnya sendiri. Bersamanya, Hamka mempelajari Quran sampai usia 6 tahun.
Lalu dari Maninjau dia pindah ke Padang. Setelah tinggal satu tahun di Padang Panjang, ia belajar di Sekolah
Desa selama 3 tahun. Selama itu, pada setiap malam hari dia diajar mengaji oleh ayahnya. Kemudian tahun
1916 dia belajar agama di sekolah-sekolah agama. Diantaranya adalah belajar di Diniyah School dan Sumatra
Thawalib.
Dorongan ayahnya yang keras dapat kita lihat dari kutipan Abdul Aziz dari Muttaqin berikut ini: Buya
Hamka tidak pernah mengalami sekolah yang formal. Lebih banyak belajar pada ayahnya Dr. Abdul Malik Amrullah dan
iparnya Buya St. Mansur dan membaca sendiri, tetapi pengetahuannya sangat mendalam. Ia mempelajari ilmu, melalui
bahasa Arab, dan pengetahuan bahasa Arabnya sudah termasuk dalam barisan sastrawan Arab, karena ia telah dapat
mendalami karya-karya sastra dalam bahasa Arab dan ia dapat membuatnya pula. Banyak ulasannya, sajak, dan prosa
Arab, baik yang klasik maupun yang modern.1

Kedalaman pengetahuan Hamka didapatkan berkat banyaknya konsumsi buku. Dia banyak membaca bukubuku filsafat, sastra, sejarah, baik dari pemikiran Islam maupun Barat dan sejak ia kecil hingga dewasa. Ia
sampai dijuluki Al-Manfaluthi Indonesia oleh rekan-rekan sejawatnya.
Selanjutnya, diusia 16 tahun dia berangkat ke Jogja pada tahun 1924. Di sanalah ia mulai mempelajari
pergerakan Islam, diantaranya di Gedung Abadi Dharmo Pakualam, Yogyakarta. Sejak itulah pemikirannya
semakin terbuka. Termasuk juga di daerah asalnya sendiri yaitu Padang Panjang dan Parebik. Dia makin giat
menunjukkan perannya sebagai ilmuwan, agamawan, penulis, dan juga penggiat politik.
Dia juga mendapat kursus khusus tentang gerakan Islam dengan bimbingan dari H.O.S Cokroaminoti, H.
Fakhrudin (ayahnya KH. Abdur Razzaq), R.M. Surjo Pranoto, dan juga A.R. Sutan Mansur.
Dia juga di sana bertemu dengan H. Oemar Said, Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo (Ketua
Muhammadiyah tahun 1944-1952). Dia mulai aktif di Muhammadiyah dan juga menulis di media-media.
Selain itu, dia juga dipercaya sebagai pengurus organisasi media.
Jogja lah tempat yang menjadi saksi perkembangan dirinya. Di sana, Hamka belajar banyak hal tentang
ilmu pengetahuan dan agama, mendapatkan kesadaran baru tentang agama Islam. Islam merupakan agama yang
hidup, menyodorkan pendirian dan perjuangan yang dinamis. Tampak bahwa dia condong pada ilmu yang
memiliki oritentasi terhadap persoalan keterbelakangan, kebodohan, kemiskinan, dan bahaya kristenisasi
ataupun kolonilisasi oleh Belanda.
Selain mencari ilmu sebanyak mungkin, dia juga membaurkan dirinya dengan menjadi guru dan
berorganisasi. Setelah menikah dengan Raham biti Endah Sutan di usia 21 tahun, dia mengajar di beberapa
wilayah di Sumatra. Dia menjadi guru di Tebing Tinggi Medan, di Padang Panjang, lalu diangkat sebagai
pensyarah di Universitas Islam Jakarta dan juga Universitas Muhammadiyah Padang Panjang (1957-1958).
Hamka pernah diangkat sebagai Rektor di Perguruan Tinggi Islam Jakarta, selain itu menjadi Profesor di
1

Muttaqien, Perjalanan Terakhir Buya Hamka, Jakarta: Penerbit Panji Masyarakat, 1981. hal 23. Dikutip dalam makalah
Abdul Rahman Abdul Aziz, Nilai Mencapai Kehidupan Sejahtera; Pandangan Buya Hamka. Jakarta: Jurnal Mil Bil. 2009
3

Universitas Mustopo Jakarta. Sampai pada puncaknya, dia menjadi pegawai tinggi agama yang terpilih oleh
Menteri Agama Indonesia (1951-1960).
Adapun aktifitasnya di Muhammdiyah berlangsung sangat lama, bahkan hingga akhir hayatnya. Diawali
dengan eksis dalam dunia dakwah, dia diikutkan dalam muktamar Muhammadiyah tahun 1928. Kemudian ia
dipercaya menjadi Ketua Bagian Taman Pustaka. Selain itu, Hamka juga menjadi ketua Muhammadiyah cabang
Padang Panjang.
Kemudian Muhammadiyah mengembangkan wilayah aktivitasnya di Bengkalis, yaitu dengan peran Hamka
sebagai pendiri Muhammadiyah cabang di Bengkalis tahun 1930. Kontribusi Hamka sudah terlihat cukup
efektif bagi perkembangan Muhammadiyah, dia pun menghadiri muktamar ke-21 pada tahun 1932. Dua tahun
berikutnya, 1934, dia menjadi konsul Muhammadiyah Sumatra Barat. Namun tak berlangsung lama karena dia
pindah ke Medan.
Sampainya di Medan, Buya Hamka tidak berhenti melibatkan dirinya di Muhammadiyah. Dia terjun dalam
gerakan Muhammadiyah Sumatra Timur tahun 1936, sekaligus menjadi pemimpin majalah Pedoman
Masyarakat. Tahun 1942 dia dipercaya menjadi Pimpinan Muhammadiyah Sumatra Timur.
Kemudian Hamka kembali berkontribusi di Sumatra Barat, yaitu menjadi Ketua Majlis Pimpinan
Muhammadiyah tingkat Provinsi pada tahun 1946-1949. Setelah itu, dia memasuki posisi puncak di
Muhammadiyah. Tahun 1953 dia terpilih menjadi Anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah saat Muktamar ke32 di Purwakarta. Sejak saat itu, dia rutin menghadiri muktamar Muhammadiyah.
Namun, usia yang menua membuatnya urung hadir dalam muktamar pada tahun 1971. Sejak saat itu ia
mulai mengurangi aktivitasnya di Muhammadiyah, dan menjadi penasehat saja untuk Pimpinan Pusat
Muhammadiyah. Hingga akhirnya, ajal pun menjemputnya pada tahun 1981.
Selain aktif secara istoqomah di Muhammadiyah. Hamka menunjukkan kontribusinya bagi masyarakat dengan
aktif di dunia media. Chatibul Ummah merupakan karya pertamanya sekitar tahun 1925. Kemudian lapangan
terbangnya semakin melebar ke Tanjung Pura dengan menjadi penulis di majalah Seruan Islam, pembantu di
Bintang Islam dan Suara Muhammadiyah (Jogja).
Tak hanya aktif di Indonesia, saat ia belajar di Mekkah sejak tahun 1972, dia diangkat sebagai koresponden
media harian Medan Pelita Andalas.
Tak cukup sampai di situ, Hamka juga menunjukkan bakat dan minatnya dalam bidang sastra. Tahun 1928
dia menerbitkan karya roman berbahasa Minangkabau berjudul Si Sabariyah. Pada tahun itu, dia menjabat
sebagai pemimpin di majalah Kemauan Zaman. Karya roman sastranya banyak diterbitkan pada saat kehadiran
Jepang di Indonesia untuk menjajah. Diantanya adalah Tenggelamnya Kapal Can der Wijek, di Bawah
Lindungan Kabah, Merantau ke Deli, Terusir, Keadilan Tuhan, dan masih ada lagi karya lainnya. Laila Majnun
merupakan bukunya yang berhasil untuk pertama kalinya diterbitkan oleh Balai Pustaka. Pemikiran dan
paparannya tentang agama juga masih banyak lagi. Tahun 1929 dia menerbitkan Pembela Islam (sejarah
Khalifah Abu Bakar), Ringkasan Tarikh Umat Islam, Adat Minangkabau dan Agama Islam, Kepentingan
Tablig, Ayat-ayat Miraj, dll. Ketika itu, dia mulai mengenal Muhammad Natsir A. Hasan.
Pada masa masuknya pasukan Jepang, Hamka tidak berhenti menulis, malah dia semakin banyak menulis
karya yang terkait dengan kondisi penjajahan ketika itu dalam rangka upaya membangun semangat juang
kebangsaan. Ia menulis dari bidang agama, filsafat, tasawuf, juga roman sebagaimana yang telah disebutkan
sebelumnya. Diantaranya, tahun 1936, dia mengeluarkan mingguan Islam di Medan bernama Pedoman
Masyarakat yang berhasil menarik perhatian masyarakat ketika itu.
Adapun karya tasawufnya antara lain; Tasawuf Moderen, Falsafah Hidup, Lembaga Hidup, Lembaga Budi,
Pedoman Mubalig Islam, dll. Ada juga Semangat Islam dan Sejarah Islam di Sumatra yang dia terbitkan.
Sampai setelah revolusi, dia masih mengejar target penulisan yang layak dibaca khalayak. Dia menulis
Revolusi Pikiran, Revolusi Agama, Adat Minangkau Menghadapi Revolusi, Negara Islam, Sesudah Naskah
Renville, Muhammdiyah Melalui Tiga Zaman, dari Lembah ke Cita-Cita, Merdeka, dan Islam dan Demokrasi.
Adapun tahun 1950 merupakan babak penulisan karya yang lebih memperlihatkan pengalaman dan sejarah
dirinya. Dia membuat buku berjudul Ajahku, Kenang-kenangan Hidup, Perkembangan dari Abad ke Abad,
Empat Bulan di Amerika, dan beberapa karya lainnya mengenai perjalanan Hamka ke negeri-negeri Islam.
Terhitung dalam jangka waktu 25 tahun dia sudah menulis sekitar 60 Buku. Tampak bahwa corak
tulisannya adalah filosofis dan sastra. Ini merupakan sebuah jasa besar dalam melakukan sumbangsih
pembanguan kesadaran pada masyarakat. Dia memang layak dipilih sebagai salah satu anggota Badan
Pertimbangan Kebudayaan oleh pemerintah dan disandagi gelar stazah Fachriyah (doktor honoris causa) oleh
masjlis Universitas Azhar Kairo.
II.B. Latar belakang Tasawuf Modern
Pemaknaan Buya Hamka terhadap tasawuf perlu dibicarakan secara khusus. Dari sisi silsilah keluarganya,
Hamka merupakan keturunan keluarga yang menaruh perhatian lebih pada tasawuf, terutama tasawuf amali dan
pengikut ajaran tarekat yang cukup serius. Ternyata Hamka menunjukkan perhatiannya pada tasawuf juga
namun dengan cara yang berbeda.

Dalam pandagannya tasawuf adalah suatu bidang ilmu tersendiri. Di dalamnya, kita diberi tuntunan untuk
membersihkan diri (tazkiyah al-nafs). Itu lah tasawuf dari sisi globalnya. Ia bukan tentang suatu arahan khusus
untuk mendekatkan diri seraya menyucikan diri yang tak bisa dirubah sebagaimana yang ajarkan oleh tarekattarekat.
Tasawuf tidak lepas dari konteks zaman. Sehingga, tasawuf juga memiliki nilai rasional yang filosofis pula.
Dia melihat bahwa tasawuf juga mengalami perkembangannya sendiri. Karyanya yang berjudul Tasawuf dari
Abad ke Abad adalah salah satu ulasannya.
Dengan menyadari hal ini, dia melihat konteks zaman yang terjadi di lingkungan masyarakatnya. Ketika
itu, eranya adalah masa penjajahan Jepang ke Indonesia. Bangsa kita sudah mulai merasa gerah dengan
penjajahan yang terus terjadi. Dahaga kebebasan, penghayatan kebangsaan yang hakiki, dan pencapaian
kebahagiaan yang sesungguhnya sudah mencapai puncaknya. Masa itu adalah masa perkembangan
modernisme. Masyarakat juga ingin merasakan kehidupan modern yang layak.
Selama ini, masyarakat terjebak dalam derita penjajahan. Masyarakat sampai hampir lupa dengan rasanya
kebahagiaan. Mereka ingin mengingat dan merasakannya kembali.
Di sisi lain, Hamka amat menyayangkan sekelompok orang yang keliru mengartikan tasawuf. Diantara
mereka, ada yang merasa menemukan tujuan dan cara hidupnya sendiri tanpa memperkatikan keberadaannya di
tengah lingkungan. Mereka merasa telah bertasawuf ketika berhasil menyucikan diri, menyendiri, dan
menjauhkan diri dari dunia. Justru, ini malah melemahkan manusia. Atas dasar ini lah Hamka menulis karya ini.
Sebelum dibukukan, Hamka sudah menuliskan tulisan-tulisan dalam Tasawuf Modern ini secara berkala.
Buku ini merupakan kumpulan tulisannya yang ia kontribusikan dalam majalah Pedoman Masyarakat. Tasawuf
Modern adalah nama rubrik yang ia isi di majalah tersebut. Sebanyak 43 seri pada tahun 1937-1938 ia menulis
di media tersebut, judulnya Bahagia. Setelah usai di nomer seri terakhir, banyak permintaan yang ingin
tulisannya ini dibukukan. Salah satunya adalah seorang mubalig di Bintuhan bernama Dei Ceng Hein. Ternyata,
buku ini laris sampai terbit lebih dari 10 penerbitan.
II.C. Keunggulan Tasawuf Modern
Tasawuf modern merupakan salah satu karya besar Hamka. Di dalamnya kita dapat melihat garis besar
pemikiran Hamka, corak, dan pemikiran-pemikiran yang mempengaruhinya. Dia menunjukkan bagaimana
perspektifnya tentang arti kehidupan ini secara menyeluruh. Dari siapakah kita ada? Untuk apa kita ada?
Bagaimana kita keberadaan kita? Dia menjawab semua itu dalam satu kata kunci: Bahagia.
Buku ini juga tak hanya merefleksikan konteks zaman penulis, namun banyak zaman. Buku ini adalah
karya dalam ungkapan Muhammad Iqbal dapat dipahami dengan mata masa depan. Kita masih bisa mengambil
pemikirannya sesuai dengan konteks kekinian. Paparannya bersifat humble, inilah yang membuatnya mudah
diterima masyarkat. Fachri Ali mengatakan bahwa tak mengherankan popularitas Hamka berada di tengahtengah masyarakat yang telah banyak menyerap nilai budaya dan pengetahuan sekuler atau kalangan
masyarakat yang berada di lapisan marjinal pengetahuan keagamaan.
Keunggulan lainnya adalah luasnya pemikiran Hamka terlihat dari penulisa buku ini. Hamka menggunakan
banyak pendekatan, dan juga pandangan pemikir. Namun indentitas pemikirannya tetap kelihatan dengan alur
yang ia buat. Meskipun sistematika penulisannya kurang teratur, namun metode pemaparannya memancing kita
untuk ikut berpikir, sehingga pembaca tidak terlalu dibingungkan oleh alur pemikirannya yang tak menentu.
Selain itu, beberapa kali Hamka menunjukkan kemampuannya dalam bidang sastra. Sesekali dia menulis
dengan gaya prosa, diantaranya ada kisah tentang nabi, tokoh pemikir, dan juga hikayat. Jadi, karya ini dibuat
supaya tidak kering. Berikut salah satu kutipan pendeknya; Jika pandai meniti buih, selamat badan ke
seberang.2
II.D. Gagasan Utama Tasawuf Modern
Sebagaimana asal mula penulisan karya ini di Majalah Pedoman Masyarakat, Hamka bermaksud
menyampaikan gagasannya tentang konsep kebahagiaan. Masyarakat dipandang perlu memaknai kehidupan ini
lebih hakiki. Jangan sampai perkembangan modernitas menjadikan masyarakat lumpuh karena kekeringan
makna spiritual. Sebaliknya, jangan sampai juga masyarakat buta akan keberadaannya di realitas modern yang
menantangnya untuk tidak hanya berdiam dalam keterasingannya dari hiruk-pikuk dunia. Manusia adalah
makhluk dua dimensi; jasmani dan ruhani.
II.E. Isi ringkas Tasawuf Modern
II.E.i. Pemaknaan Tasawuf
Kecerdasan Hamka tampak dengan hadirnya karya ini untuk masyarakat. Dia menyuguhkan bukan apa
yang ingin orang baca, tapi yang perlu orang baca. Khususnya dalam konteks zaman di masa itu. Namun,
sebagai salah satu khazanah karya-karyanya, Tasawuf Modern tetap layak untuk dikaji sampai kapanpun.
Dalam konteks masa sekarang buku ini masih layak dibaca.
Tasawuf dan masa modern dia sintesiskan menjadi pemikiran orisinalnya. Pada bagian pertama, tasawuf
dia maknai terlebih dahulu. Adapun kaitannya dengan modern, Hamka berpandangan bahwa tasawuf dan
2

Hamka, Tasawuf Modern, Jaya Murni: Jakarta. 1939, hal 40


5

perkembangan selayaknya berjalan beriringan. Bila tasawuf bertahan dengan karakter lamanya, maka manusia
akan dipaksa untuk ditarik ke masa lalu, padahal kodratnya mereka menjalani kehidupan di masanya. Tasawuf
menyesuaikan konteks zaman, dalam artian mengarahkan masyarakat agar tidak terjerumus dalam kesengsaraan
dan celaka. Hamka mengutip ungkapan al-Hallaj ketika dia telah disiksa karena dianggap orang yang sesat:
Tasawuf ialah yang Engkau lihat dengan matamu ini, inilah dia tasawuf.3
Ya, seiring dengan dinamisnya tasawuf, dia memiliki satu substansi pokok, yaitu penyucian jiwa. Tasawuf
merupakan ilmu tersendiri yang mengajarkan kita untuk mebersihkan diri (tazkiyah al-nafs), sehingga kita bisa
selamat dari kesengsaraan dan celaka.
Mungkin diantara kita merasa bahwa pengasingan diri merupakan upaya terbaik untuk mencegah diri dari
hawa nafsu sehingga jiwa pun tersucikan, karena dunia merupakan sumber dorongan jiwa pada keburukan
seperti godaan harta, hura-hura, perselisihan, kekuasaan, dan martabat, dll. Tapi bagaimanapun juga, kita adalah
anak zaman. Islam tidak mengajarkan kita untuk mengupayakan kebahagiaan hakiki yang seperti itu.
Tasawuf yang seperti demikian tidak lah asal dari ajaran Islam. Zuhud (meninggalkan keduniaan) yang
melemahkan itu bukanlah bawaan Islam. Islam mengajarkan kita untuk semangat berkorban dan bekerja,
bukannya malas, lemah paruh, dan melempem.4
Kenikmatan duniawi bukanlah untuk ditolak mentah-mentah sehingga dengan begitu kita bisa terlepas dari
belenggu nafsu duniawi. Selama hati kita tidak terpaut untuk menjadikannya kiblat tujuan hidup kita maka
kekayaan layak untuk kita, karena kita tidak dalam rangka meraih kekayaan untuk memenuhi dorongan nafsu
kita.
Hamka memperingatkan kita agar cermat dalam mengelola kenikmatan dunia dan juga mengelola diri demi
penyucian diri. Bila kita tidak adil melakukannya, malah cenderung pada dunia, maka kita bisa terjatuh
menjadikan jiwa kita kotor, nilai keislaman pun makin jauh. Atau, bisa juga kita terlalu fokus pada diri sendiri
sendiri sehingga malah melemahkan Islam. Muslim yang kuat adalah yang memahami makna zuhud secara
proposional. Dengan begitu, Islam mencapai puncak kebahagiaan dan kejayaannya.
Sekian lamanya kaum muslimin membenci dunia dan tidak menggunakan kesempatan sebagaimana orang lain.
Lantaran itu mereka menjadi lemah. Akan berkorban, tidak ada yang akan dikorbankan karena harta benda dunia telah
dibenci. Akan berzakat, tidak ada yang dizakatkan karena mencari harta dikutuki. Orang lain maju di dalam lapangan
penghidupan, mereka mundur. Dan bila ada yang berusaha mencari harta benda, mereka dikatakan telah jadi orang dunia. 5

Jadi, Hamka mengajak kita untuk memahami secara teoritis dan mengamalkannya secara praktis makna
tasawuf yang substansial, yaitu membersihkan jiwa, memperhalus perasaan, menghidupkan hati, menyembah
Tuhan, dan mempertinggi derajat budi; menekan segala kelobaan dan kerasukan, memerangi syahwat yang
berlebih dari keperluan untuk kesentosaan diri.6
II.E.ii. Kebahagiaan Diri
Selanjutnya, Hamka beralih pada pada bahasan tentang makna kebahagiaan yang sebenarnya. Dengan
begitu, semakin jelas bagaimana sebaiknya kita bertindak dalam kehidupan ini. Karena hakikatnya, yang kita
cari dan tuju atas segala tindakan kita adalah untuk mencapai kebahagiaan.
Hamka mengajak pembaca untuk merenungi sendiri apa yang kita cari dalam hidup ini. Kita melakukan
banyak hal dalam hidup ini tapi, Apakah sebetulnya kebahagiaan yang kita tuju dalam upaya selama ini, yang
sedang kita lakukan, dan segala rencana yang kita lakukan? Mungkin, kita akan kebingungan sendiri
menjawabnya. Dalam Tasawuf Modern, Hamka mencoba mengarahkan pemikiran kita untuk menemukan
jawabannya. Dia memberikan makna-makna kebahagiaan menurut para ahli. Seperti pemikir-pemikir Islam,
Aristoteles, dan juga para ahli dari kalangan Barat Modern. Sebagai penutup dalam bab ini, dia menghadirkan
pandangan Muhammad saw tentang kebahagiaan.
Tampaknya, Hamka memperlihatkan makna kebahagiaan secara eksistensialis. Manusia pasti melakukan
segala macam hal untuk meraih kebahagiaan. Manusia ada untuk mencapai kebahagiaan. Namun, sudut
pandangannya beragam, secara garis besar ada yang menggunakan kebahagiaan dengan sudut pandang
materialis, dan ada yang immateri.
Beberapa kalangan pemikir Barat memaknai kebahagiaan secara materialis. Pandangan ini menunjukkan
adanya kelemahan. Yaitu keterbatasan materi, termasuk keterbatasan diri kita mendapatkan kebahagiaan materi
karena terhimpit oleh kematian. Karena keterbatasan ini, setiap kita mencoba meraihnya maka kebahagiaan
yang kita dapatkan tidak lah sempurna. Justru kita semakin jauh darinya. Jadinya, makna kebahagiaan pun
absurd dan ambigu. Tokoh yang dia angkat di sini diantaranya adalah Hendrik Ibsen dan Thomas Hardy.
Adapun golongan yang kedua adalah golongan yang masih memiliki rasa optimis untuk menemukan
kebahagiaan sejati. Salah satu tokohnya adalah Leo Tolstoy. Untuk mendapatkan kebahagiaan sejati, dia
berpandangan bahwa manusia harus berbagi dengan orang lain. kebahagiaan sejati pada diri muncul ketika kita
melakukan kebaikan untuk orang lain sehingga mereka turut bahagia. Hamka juga memasukkan pemikiran
Bertrand Russel dan George Benard Shaw dalam golongan ini. Bagaimanapun, manusia harus mencari
3

Hamka, Tasawuf Modern, Jaya Murni: Jakarta. 1939, hal 16

Hamka, Tasawuf Modern, Jaya Murni: Jakarta. 1939, hal 17


Hamka, Tasawuf Modern, Jaya Murni: Jakarta. 1939, hal 21

5
6

Hamka, Tasawuf Modern, Jaya Murni: Jakarta. 1939, hal 19


6

kebahagiaan sejatinya karena memang pasti ada. Mereka optimis. Mereka memiliki pandangan yang memiliki
relasi erat dengan prinsip etika. Bagi mereka, jalan kebaikan kepada sesama lah yang dapat melahirkan
kebahagiaan sejati.
Selain pendekatan eksistensialis, sebagaimana yang dapat kita perhatikan, Hamka memberikan pendekatan
etika dalam bahasannya tentang kebahagiaan. Prinsip kebahagiaan ternyata begitu dekat dengan bagaimana kita
mengaktualisasikan etika di tengah masyarakat. Dari pembahasan pandangan Aristoteles, Hamka sudah
mengarahkan pembaca bahwa tujuan hidup kita adalah (melakukan) kebaikan. Tujuan itu lah yang membawa
kita pada kebahagiaan sejati.
Terakhir, ia mengambil pemikiran Muhammad saw. Yaitu bahwa capaian kebahagiaan yang dituju setiap
orang tidak lah sama, ada tingkatannya. Itu semua tergantung pada derajat akal yang dimiliki setiap orang.
Diantara segala kualitas kebahagiaan tersebut, orang yang paling maksimal menggunakan akalnya adalah orang
yang paling bahagia.
Dari sabda Nabi itu , dapat kita ambil kesimpulan bahwa derajat bahagia manusia itu menurut derajat akalja, karena
akal lah yang dapat membedakan antara baik dengan buruk; akal yang dapat mengagak-agihkan segala pekerjaan, akal
yang menyelidiki hakikat dan kejadian segala sesuatu yang dituju dalam perjalanan hidup dunia ini. Bertambah sempurna,
bertambah indah, dan murni akal itu , bertambah pulalah tinggi derajat bahagia yang kita capai, sebab itu menurut
kehendak hadis (Kepada kesempurnaan akallah kesempurnaan bahagia. 7

Kemudian kini saatnya kita mencari tahu sumber-sumber kebahagiaan. Sumber kebahagiaan dibagi
menjadi dua macam pandangan. Pertama, sumber kebahagiaan adalah jiwa (nafs) yaitu pandangan yang
didukung oleh ahli tasawuf. Manusia memiliki kekuatan di dalam jiwanya untuk meraih kebahagiaan; hikmah,
keberanian, keteguhan, dan keadilan. Bila kita mengaktualkan semua kekuatan itu maka kebahagiaan dapat
tercapai. Adapun kebahagiaan tersebut akan dinikmati di akhirat kelak. Karena di sanalah kebahagiaan yang
sempurna diraih.
Kedua, sumber kebahagiaan itu tak hanya bersifat ruhani, tapi juga jasmani. Pandangan ini diambil dari
pemikiran Aristoteles. Hamka cenderung berpihak pada pandangan yang terakhir ini. Bahagia di dunia tidak
niscaya di akhirat menjadi sengsara. Sebagaimana dalam ayat dan doa yang sering dipanjatkan; Ya Tuhan,
berikanlah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat. Maksudnya adalah kita melakukan upaya terusmenerus secara istiqomah semenjak berada di akhirat sampai akhirnya sampai juga di akhirat dalam keadaan
membawa kebaikan yang banyak. Kita menjaga kebaikan dan kesehatan badan beserta seluruh aspek materi
kita demi meraih kebaikan dan kesehatan jiwa ruhani kita.
Kekayaan harta benda merupakan aspek yang membawa kita pada kenikmatan material. Namun, ia tidak
musti kita jauhkan karena akan merusak aspek ruhani kita. dengan harta, kita bisa tetap bertahan hidup sehingga
perbaikan jiwa kita bisa terus kita lakukan. Banyak orang berpikiran bahwa kaya itu yang banyak hartanya.
Padahal hakikatnya, kekayaan adalah terpenuhinya segala keperluan yang memang kita perlukan. Dengan
begitu hati bisa mencapai ketentraman. Sesungguhnya, hati yang tentram dan pikiran yang hening memberi
bekas yang nyata untuk kebahagiaan manusia, itulah kebahagiaan sejati.8
Kekayaan hakiki dapat kita rujuk dengan memaknai qanaah dengan tepat. Sering kali orang keliru
memaknai qanaah dengan malah menjauhi keduniaan sama sekali, dan menerima apa adanya yang dimiliki.
Qanaah adalah mencukupi diri dengan hal yang sudah cukup diperlukan bagi dirinya. Sebagaimana kata Rasul
saw: Qanaah adalah harta yang tak akan hilang dan yang tidak akan lenyap.
Bila kita sudah sadar bahwa kesehatan badan itu penting. Maka selanjutnya kita fokus pada hal yang paling
penting untuk dipelihara, yaitu kesehatan jiwa. Kesehatan badan sendiri penting karena demi terpeliharanya
kesehatan jiwa. Tidak lah rumit untuk merawat jiwa, karena tidak akan banyak yang kita butuhkan. Hamka
mengaitkan kembali kesehatan jiwa dengan kekayaan yang hakiki. Kekayaan yang sebenarnya bukanlah dari
kuantitas secara material. Orang yang paling kaya ialah yang paling sedikit keperluannya, dan orang yang
paling miskin ialah yang paling banyak keperluannya. 9 Kesehatan jiwa terletak pada pemenuhan kekayaan jiwa
kita.
Ketika kebutuhan di luar jiwa kita sudah tercukupi, maka itu sudah baik untuk stamina jiwa kita. Ini lah
kaitannya kesehatan badan dengan kesehatan jiwa. Tapi masih ada orang merasa banyak sekali kebutuhan
badan dan materialnya, sehingga dia butuh mengkayakan dirinya secara material. Padahal, justru semakin
banyak keperluannya dia semakin miskin jiwanya. Cari lah yang dari luar (yang sebetulnya bukan milik kita),
untuk menjaga kesehatan jiwa. Ya, sadarilah bahwa segala yang di alam ini hanyalah milik Tuhan, kita
meminjamnya. Yang kita bawa sebagai milik kita hanyalah diri kita ini, jiwa kita.
Dalam rangka menjaga kesehatan jiwa, ada empat hal yang harus diperhatikan sbaegai titik-titik pusat
penentu kesehatan jiwa;
Syajaah (keberanian), iffah (kehormatan), hikmah (rahasia pengalaman hidup), dan adalah (adil). Saat
jiwa sedang sakit, maka itu artinya salah satu diantara keempat hal tersebut sedang bermasalah. Pertama, bisa
jadi amarah kita sedang tidak terkendali, maka kendalikanlah. Atau yang kedua, mungkin kita memiliki rasa
7
8
9

Hamka, Tasawuf Modern, Jaya Murni: Jakarta. 1939, hal 32


Hamka, Tasawuf Modern, Jaya Murni: Jakarta. 1939, hal 181
Hamka, Tasawuf Modern, Jaya Murni: Jakarta. 1939, hal 140
7

takut yang berlebihan. Takut yang berlebihan adalah takut yang membuatkan kita malah putus asa, berdiam diri,
dan pasif.
Bisa jadi kita takut terhadap apa yang kita hadapi dalam kehidupan, bisa juga takut karena akan
menghadapi kematian. Bagaimanapun, kehidupan dan kematian merupakan hal yang pasti adanya, sudah
menjadi tabiat. Kalaupun kita takuti keduanya, maka percuma saja kita berdiam diri dalam ketakutan karena
tidak akan merubah apapun.
Bagaimanapun kita juga memiliki kehendak, iradat, yang menjadikan kita bisa menghadapinya.
Sayangnya, ada juga orang yang masih merasa takut meskipun Tuhan sudah menganugerahinya kehendak
bebas. Mereka takut karena kehendak mereka terlalu banyak, kemauannya melampaui kebutuhannya. Mereka
takut kalau kehendak mereka tak sampai, mereka takut kematian menghentikan pencapaian mereka yang tak
ada habisnya. Jadinya, berujung pada kenihilan makna dalam hidup maupun setelah mati.



1. Maha suci Allah yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu,
2. yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik
amalnya. dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun, [QS.al-Mulk (67):1-2]

Kita harus segera mengobati penyakit takut seperti ini. Kehidupan dan kematian merupakan hal yang pasti.
Kita juga dianugerahi kehendak untuk menjalani kehidupan sebelum mati. Maka, jalanilah kehidupan, penuhi
kehendak, namun dapatkan yang seperlunya saja. Karena jiwa kita hanya membutuhkan yang perlu saja agar
tetap dalam keadaan sehat. Untuk menghadapi kematian, kita juga tidak usah terlalu hanyut dalam ketakutan.
Sebelum mati, kita persiapkan dulu segalanya. Itu lah makna kehidupan, mempersiapkan diri untuk nasib kita
nanti setelah kematian.
Ingat terhadap kematian bukan untuk ditakuti saja, namun kita ingat seraya menjalani hidup dengan akal
budi dan hikmat. Yang penting, jangan sampai kita lupa sama sekali akan kematian yang benar adanya, dan juga
jangan terlalu takut dalam bayang- banyangnya. Jadi, ada tiga macam orang tekait dengan kematian; tidak ingat
sama sekali, ingat namun penuh dengan rasa gentar dan takut, dan ingat seraya menggunakan akal budi &
mengambil hikmah dalam setiap kehidupan.
Selain mempelajari kebahagiaan, kita juga layak mengetahui tentang petaka dan celaka yang dialami
manusia. sehingga kita bisa terhindar darinya. Ada 3 faktor yang membuat orang celaka; 1) pendapat akal yang
salah, 2) rasa benci, dan 3) pesimis.
Razi mengatakan bahwa kemajuan akal hanya menambah banyak ikatan. Ini karena akal tanpa disertai
dengan pengaktifan hati, yaitu hatinya dibiarkan lemah. Jadinya akal malah digunakan untuk berburuk sangka
pada Tuhan. Atau bisa juga akal malah menjadikan dada kita sempit, putus asa, dan was-was. Karena
bagaimanapun, akal bukanlah kualitas pengetahuan yang tidak terbatas. Ia memiliki batas kapasitas yang
berujung pada pengetahuan oleh hati. Ini lah pentingnya pengetahuan disertai iman-agama.
Rasa benci menghambat kita untuk merasakan kebahagiaan. Karena pemandangan kebencian bukanlah
pemandangan keindahan. Hapuskanlah sifat benci, gantilah dengan cinta, sehari pergantian itu warna alam
berubah dengan sendirinya pada pandangan kita.10
Lebih parah lagi bila kita tidak memiliki harapan dalam kehidupan ini. Orang yang seperti ini pesimis dan
hanya ingin mengundurkan diri. Dia telah kehilangan kepercayaan pada alam dan hidup. Tak ada lagi harapan
kebaikan untuk dirinya. Hilang sudah arti arti kehidupannya.
II.E.iii. Bahagia, Iman, dan Agama
Hamka juga menulis tentang bahagia dan agama. ada empat perkara yang harus dimiliki oleh mereka yang
ingin mencapai kebahagiaan: itikad yang bersih, yakin, iman mutlak (kepada Allah), dan agama.
Itikad adalah keyakinan dan tekad terhadap sesuatu. Seharusnya, yang menjadi tekad dan keyakinan kita
adalah yang kita anggap sebagai kebenaran atau membawa kita pada kebenaran. Namun sayangnya ternyata
tidak selalu begitu. Kadang ada orang yang memiliki tekad namun tanpa diawali oleh dasar pemikiran akal.
orang semacam itu memiliki tekad berdasarkan nafsu semata atau atas dorongan yang bersifat taqlid, tanpa
alasan rasional. kita diajak untuk berpikir ulang, apa yang selama ini menjadi tekad hidup kita. Apa kita sudah
benar-benar memikirkannya sebagai hal baik dan benar? Apa yang sesuai dengan jalur akal kita, maka itulah
jiwa kita yang berkehendak, bukan hawa nafsu.
Perkara kedua ialah yakin. Hamka membedakan bagian ini dengan Itikad. Yakin dilawankan dengan ragu,
sedangkan Itikad sering kali dibandingkan dengan taklid. Yakin merupakan urutan kedua setelah Itikad. Dengan
yakin, kita dianjurkan untuk mencari argumentasi akal atas setiap langkah kita demi mencapai kebahagiaan.
Yakin itu memerlukan ilmu. Pada tingkatan pertama, kita mencari pengetahuan sebagai dalil atas kebenaran
yang kita yakini dengan akal kita (ilmu al-yaqin). Kemudian pada tingkatan selanjutnya kita diberikan
penglihatan atas kebenaran yang kita peroleh dengan akal dan mata hati kita (ain al-yaqin). Sedangkan pada
tingkat tertinggi adalah menemukan langsung kebenaran itu sendiri tanpa perantara apapun (haq al-yaqin).
Kesemua tingkatan ini hanya dapat dilalui dengan meningkatkan kualitas akal kita.
10

Hamka, Tasawuf Modern, Jaya Murni: Jakarta. 1939, hal 270


8

Selanjutnya adalah iman kepada Allah. Pertama-tama, Hamka belum memberikan penekanan pada Islam.
Dia menaruh perhatian lebih pada prinsip tauhid. Iman kepada Allah adalah tentang kesadaran kita tentang
adanya wujud Tuhan Maha Pencipta. Kesadaran ini seringkali mengalami ketidakstabilan. Kadang kita
merasakan kehadiran Tuhan, namun kadang juga kita lupa dengan keberadaanNya. Agar kekuatan iman kita
ketahuan sampai sejauh mana, maka ada ujian dan cobaan. Orang yang benar-benar beriman adalah orang yang
lulus dari syarat ujian tersebut. Mereka yang beriman bersemangat ketika diberi ujian oleh Tuhan. Iman kepada
Tuhan bukanlah taklid. Orang yang berakal akan melihat bahwa alam ini memang memiliki Pencipta. Orang
yang berakal akan tahu bahwa Tuhan selalu ada dalam setiap langkah kita di dunia. Dengan kesadaran atas
hadirnya Tuhan, mereka juga sadar bahwa pertolongan selalu hadir. Tidak ada kebetulan atas apa yang terjadi
sekecil apapun itu, Tuhan lah yang sengaja menciptakannya.
Terakhir, agama adalah perkara untuk mencapai kebahagiaan. Setelah kita menyadari keberadaan Tuhan
dan menjadi orang yang beriman, maka kita beralih pada penentuan agama. karena agama merupakan
keniscayaan dari adanya iman kepada Tuhan. Adapun Hamka menunjukkan bahwa agama Islam merupakan
agama yang sempurna sebagai penuntun kita menghayati keberadaan Tuhan beserta pedomannya agar meraih
kebahagiaan yang tertinggi.
Dalam meraih kebahagiaan, akal budi kita merupakan dua keutamaan yang harus diupayakan bekerja
dengan maksimal. Upaya ini disebut dengan ikhtiar. Mempekerjakan akal dengan maksimal artinya adalah
berpikir, yaitu belajar dan mempelajari banyak hal. Sedangkan budi maksudnya adalah bekerja dengan cara
yang baik dan maksimal sebagai bentuk upaya praktis kita meraih kebahagiaan. Ada tiga rukun akal budi yang
utama, yaitu; tabiat (watak), pengalaman, dan pelajaran.
Adapun tantangan yang akan kita hadapi untuk meraih kebahagiaan hakiki adalah hawa nafsu. Kita akan
selamat dari musuh kebahagiaan ini selama kita masih mengoptimalkan akal, tetap menjaga keikhlasan hati
(kemurnian hati dalam berbuat), dan menerima nasehat.
Selama kita bertawakkal pada Allah, maka kita akan menghadapi segala perkara dengan tenang. Karena
kita mempercayakan urusan kita pada yang Maha Bijak, Baik, dan Maka Kuasa. Tawakkal juga mendorong kita
untuk berbuat dengan maksimal dan tidak mau mengecewakan, terutama mengecawakan Tuhan. Tawakkal
adalah upaya dan penyerahan. Sayangnya, kadanag ada orang yang lupa untuk berupaya dalam tawakkalnya.
Dengan tawakkal yang sempurna, kita akan tetap tenang (muthmainnah), qanaah, dan berujung pada rasa
bahagia.
Keberadaan Yang Gaib memang jawaban atas segala kebuntuan, pesimisme. Para pemikir terkini
mengalami dilematika pesimisme karena dunia ini menyuguhkan kebuntuan hidup, keterbatasan material.
Dengan kepercayaan adanya alam setelah dunia dan ada Tuhan, maka tujuan hidup menjadi lebih jelas. Itu lah
yang diinginkan oleh umat beriman dan beragama.
Namun, sikap beragama juga ada yang menunjukkan sikap pesimis, yaitu pesimis atas makna dunia.
Diantara kalangan spiritualis agama ada yang menjauhi dunia dan mengasingkan diri. Dipandang olehnya jalan
tersebut merupakan pilihan yang tepat menuju yang lebih optimis, menuju alam ruhani, seraya menolak dunia
sebagai sesuatu yang tiada makna. Sama saja, mereka juga pesimis terhadap dunia. Yang menjadi persoalan, hal
ini membuat agama dituding juga mengalami kebuntuan-pesimis terhadap kehidupan dunia.
Peran agama terhadap dunia sebetulnya ada secara nyata. Asalkan sikap beragama yang dimaksud bukanlah
seperti beberapa kaum spiritualis tadi. Agama menerima kenyataan bahwa dunia ini pahit, penuh tipu daya,
gelap, dan penuh khayal. Tapi bukan berarti kita terhenti dalam pesimisme. Kita masih bisa menjalani
kehidupan dengan optimis meraih kebahagiaan. Tergantung kita melihat dunia ini. Tujuan dunia ini untuk
mencapai kebahagiaan hakiki di alam akhirat.
Yang menarik, Hamka mengambil pemikiran Russel tentang tangga kebahagiaan. Ada 6 tangga menuju
kebahagiaan; akal, perasaan, rumah tangga, mata pencaharian, berjuang, dan penyerahan. Sebelumnya, Hamka
mengelaborasi dulu klasifikasi Russel tentang kebahagiaan. Tak hanya dari pikiran dan perasaan, kebahagiaan
juga muncul berkat adanya tawadhu (syukur) dan iman.
Tangga pertama adalah akal. Sebagaimana yang telah dijelaskan dari pemikiran Rasul Muhammad, akal
menentukan kualitas kebahagiaan kita. ketika akal diaktifkan maka pintu kebahagiaan-kebahagiaan akan
terbuka. Selanjutnya, kebahagiaan juga bergantung pada perasaan. Ini menunjukkan relativitas kebahagiaan.
Kebahagiaan juga diperoleh dengan melewati jalan kehidupan rumah tangga. Salah satu persoalan di masa
modern adalah kehidupan rumah tangga yang bohong. Hamka memberikan kritik pada peran perempuan
modern dalam dunia rumah tangga, mereka mengejar karir dan menjadikan rumah seperti hotel tempat singgah
sementara saja. Padahal sebetulnya, meskipun mereka memiliki karir, peran utama perempuan dalam rumah
tangga tetap harus dijaga. Untuk itulah peran mereka dalam masyarakat.
Mata pencaharian juga tangga untuk meraih kebahagiaan. Ini adalah bentuk tindakan praktis. Kunci untuk
sukses bekerja adalah kemahiran dan kreatifitas. Selanjutnya adalah perjuangan. Hamka mendorong umat Islam
agar bangkit berjuang mendapatkan kebahagiaan. Selama ini, kita tersusul oleh semangat berjuang yang
dikobarkan oleh Barat.
Adapun yang terakhir adalah penyerahan. Optimisme Russel diarahkan oleh Hamka pada penyerahan diri
pada Tuhan. Dengan begini, pesimisme dalam masyarakat bisa teratasi. Yaitu bahwa standar kebahagiaan kita
9

adalah Tuhan, bukan kebahagiaan materi. Hidup kita menuju kebahagiaan adalah berupaya meraih keridhoan
Tuhan, dan selalu menerima dengan penuh keridhoan.
II.E.iv. Bahagia, Agama Islam, dan Bangsa
Kita sudah diarahkan untuk menyadari tujuan eksistensi kita, dari mana kita ada, dan bagaimana kita
mencapai tujuan tersebut. Namun, selain tentang diri kita sendiri, merupakan sebuah realitas nyata bahwa kita
di dunia ini sebagai makhluk yang bermasyarakat. Hamka menekankan keberadaan kita dalam masyarakat yang
berbangsa dan bernegara. Lantas, bagaimana kita menyelaraskan jalan kita untuk mencapai kebahagiaan yang
hakiki dengan posisi kita yang berbangsa?
Dengan agama sebagai pedoman jalan kita hidup, Hamka berpandangan bahwa kita sebagai masyarakat
yang berbangsa justru yang amat terikat dengan agama. Agama lah yang dapat menuntun suatu bangsa pada
kejayaan dan ketentramannya. Agama bukan sekedar bungkus berisi prinsip kemanusiaan saja seperti yang
diusung oleh para pemikir terkini. Lebih dari itu, agama lah yang membawa keimanan pada keberadaan yang
melampaui indra materi. Keberadaan inilah yang menjadikan nilai-nilai kemanusiaan lebih berharga. Karena
bila hanya ada materi saja, maka segala kebaikan itu percuma. Prinsip moral tanpa agama juga menunjukkan
kegagalannya dalam menata bangsa.
Hamka melakukan kajian kritis terhadap sekularisme. Satu langkah yang kurang dicapai oleh pemikir
modern terkini tentang masyarakat adalah pandangan ketuhanan. Mareka sudah sampai pada kemajuan ilmu
pengetahuan & teknologi, juga prinsip kemanusiaan dan kebaikan, namun mereka terhenti sampai sebelum
masuk pintu gagasan bahwa Tuhan ada, agama membawa kebenaran. Dalam masyarakat, ada empat rukun yang
musti dijaga agar bisa meraih keamanan dan kesentosaan; 1) pertahanan atas diri, 2) menjaga kehormatan, 3)
mendirikan suatu pemerintahan, dan 4) mengakui ada suatu kekuatan gaib yang melindungi alam, yang akan
memberi ganjaran baik dan buruk di kemudian hari.
Poin ke-4 mengarah pada urgensi agama. Kekuatan gaib yang melindungi alam adalah Tuhan. Masyarakat
yang sentosa adalah masyarakat yang beriman kepada Tuhan. Khususnya, masyarakat yang beragama. Ada tiga
kepercayaan yang dapat kita lihat dengan keimanan: manusia adalah makhluk mulia, pemeluk agama lah yang
paling mulia di atas pemeluk lain, dan bahwa manusia hanya singgah di alam (dunia).
Sebaliknya, kemuliaan umat beragama juga tidak akan berarti bila mereka tidak mengaktualkan akalnya.
Seringkali, konflik antar agama terjadi, saling menyingkirkan, perselisihan, dan perkelahian. Seandainya akal
budi mereka digunakan, maka perbedaan pandangan ketuhanan ini tetap berlangsung damai. Dimanapun posisi
umat beriman berada, Nur Ilahi pasti datang pada mereka yang memakai akalnya.
Hamka berpandangan bahwa dengan agama, manusia memiliki rasa malu, bisa dipercaya (amanat), dan
jujur (shidiq/benar). Ketiga hal ini lah yang terpenting dalam menjalin kehidupan bermasyarakat yang serasi
dan tentram.
Dibagian ini, Hamka sudah memberikan penekanan pada agama Islam. Agama Islam merupakan agama
pamungkas yang dibawa oleh Nabi terakhir kiriman Tuhan, Muhammad saw. Tidak ada lagi nabi setelah beliau
karena umat dianggap sudah cukup sampai pada ajaran Muhammad dan peninggalannya sebagai pedoman
hidup manusia sepanjang zaman. Umat juga sudah cukup mampu berpikir dan cerdas dalam memilah mana
yang baik dan benar. Setiap agama yang hadir di dunia ini memang agama yang benar yang telah dibawa oleh
nabi atau utusan di setiap zamannya. Tapi agama Islam adalah agama yang memang sengaja dibawa oleh Nabi
terakhir, karena ini lah agama terakhir untuk sepanjang masa.
Hamka memiliki perhatian lebih dalam hal pendidikan dan pengetahuan. Dalam Tasawuf Modern, Hamka
juga menuliskan tentang pengetahuan dan posisinya dengan agama. Kita sudah membahas urgensi agama dalam
kehidupan pribadi dan bermasyarakat. Ada dua jenis orang dalam beragama, ada yang taklid saja dan ada yang
menggunakan akal terlebih dahulu sebelum meyakini.
Orang beragama yang taklid adalah orang yang anti pada kemajuan dan tidak memiliki kecenderungan
pada pengetahuan. Sebaliknya, beragama sekaligus berakal adalah karakter orang yang punya hasrat maju dan
berpengetahuan. Dialah orang yang maju dan anak zaman yang sebenarnya. Seandainya masyarakat Islam
menyadari hal ini, maka kejayaan peradaban Islam akan tercapai lagi.
Hal yang menjadikan Islam lemah adalah ketimpangan masyarakat dalam mengelola kehidupannya.
Kehidupan yang seimbang adalah kehidupan yang dapat menjadikan Islam membaik kembali. Keseimbangan
yang dimaksud adalah bagaimana perhatian mereka tidak melulu pada jiwa, pembersihan ruhani, dan amalamal ibadah, namun badan dan kondisi masyarakat juga perlu mereka perhatikan.
Untuk itu, dapatlah kita jadikan perbandingan bilangan 80 ribu dengan bilangan 400 juta. Dahulu kala, mula-mula
Islam didirikan, dia disiarkan oleh 80 ribu orang saja. Maka orang yang 80 ribu itu berseraklah ke seluruh tanah Arab.
Akhirnya mereka menguasai sebagian besar dunia. Sekarang keturunan yang memegang ajaran orang 80 ribu telah
berlipat ganda bilangannya menjadi 400 juta. Tetapi mereka menjadi jatuh ke bawah. Kecuali beberapa negeri dan
beberapa orang yang dipelihara oleh Allah. Apakah sebabnya? Ialah lantaran cahaya iman, cahaya penjagaan batih,
cahaya kesehatan jiwa telah pudar dan telah gelap dari hati yang 400 juta itu.

10

Sekarang, 400 juta bangun kembali!Insya Allah.11 Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, kita perlu

memperhatikan kondisi rohani dan juga jasmani untuk mendapatkan kebahagiaan yang sempurna. Tak hanya
kesehatan ruhani yang perlu jaga agar tetap stabil mencapai kebahagiaan, kesehatan jasmani juga perlu dirawat.
Kesehatan badan kita dapat mempengaruhi kesehatan jiwa kita. Terkait dengan kehidupan bermasyarakat,
Hamka memberikan beberapa tips untuk menjaga keseimbangan jiwa dan badan;
1) Bergaul dengan orang yang budiman
2) Membiasakan diri untuk berpikir
3) Menahan syahwat dan amarah
4) Bekerja dengan teratur
5) Memeriksa cita-cita diri sendiri
Pemikiran Hamka makin kentara dengan nuansa eksistensialisme dalam pemikirannya tentang penglihatan
masa lalu, sekarang, dan masa depan. Kita sering kali memikirkan apa yang telah terjadi dan menjadi nasib kita,
melihat apa yang sedang terjadi dengan orang lain namun tidak dialami oleh kita, dan kita meresahkan apa yang
akan datang dengan pasti ataupun masih mungkin. Semua itu adalah apa selalu membuat kita merasa sedih.
Tenggelam dalam pikiran sedih tidak akan menghasilkan apapun, tapi lalukanlah. Bertindak adalah yang perlu
kita sikapi.
Namun dalam bertindak kita harus waspada supaya tidak terjerumus dalam kesengsaraan dan celaka.
Dalam pandangan Prof. Syekh Yusuf Dasywi, ada 8 sebab yang membawa celaka:
1. Royal, yaitu budaya konsumtif
2. Boros
3. Tidak pandai membagi waktu
4. Tidak mendapat didikan agama di dalam rumah tangga diwaktu kecil
5. Pendidikan sekolah tidak sejalan dengan masyarakat atau dengan rumah tangga
6. Kurangnya buku bacaan yang teratur yang dapat menyelaraskan perkembangan ruhani dengan jasmani
7. Kegelapan dalam rumah tangga
8. Tidak ada pembagian kerja yang teratur dalam masyarakat. Dengan segala paparannya, Hamka
melakukan refleksi untuk masyarakat bangsa Indonesia. Betapa pentingnya perhatian pendidikan yang
mendekatkan pada kemuliaan dan kebahagiaan. Pendidikan amat vital dalam pencapaian kebahagiaan
dunia dan akhirat. Kalau kita sudah mendapatkan pendidikan yang baik, jangan sampai malah
mencelakakn diri dengan membiarkan tanah kita sendiri dieksploitasi dengan pihak lain.
Segolongan bangsa kita Indonesia, menyerahkan anaknya ke sekolah dengan niat supaya dia esok jadi orang besar,
makan gaji, menjadi buruh. Padahal tanah yang akan ditanaminya masih amat luas. Tertanam ke dalam hati anak itu,
bahwa bercocok tanam itu adalah pekerjaan orang kampung, bukan pekerjaan orang kini. Sekarang, alat-alat tukang tulis
yang diperlukan sudah lengkap, buruh tulis yang dikeluarkan tiap tahun sudah berlebih dari yang berguna, hasil tanah
masih tetap dipungut orang lain, dan anak tadi, dan bangsa seluruhnya, dan segenap masyarakat, jatuh ke dalam
kecelakaan.12

Hamka juga menyinggung agar masyarakat tidak malas bekerja, menjadi masyarakat yang produktif,
memiliki kesadaran, dan insyaf. Setiap lapangan kerja diisi secara merata. Setiap orang memiliki bakat dan
minatnya masing-masing. Bangsa ini bisa maju bila rakyatnya diberi kesempatan dan mau bekerja sesuai
dengan bakat dan minatnya. Yang akan berhasil ialah orang yang bekerja menurut kecenderungan jiwanya,
menurut bentuk yang telah dituangkan Tuhan ke dalam jiwanya sejak dia dilahirkan.13
Satu hal yang Hamka prioritaskan dalam pendidikan, yaitu agama. Pendidikan agama merupakan hal
terpenting untuk diberikan kepada masyarakat. Mereka yang memiliki pendidikan agama, harus menunjukkan
ajarannya yang telah mereka dapatkankan.
Hamka mengeluhkan orang-orang yang memiliki pengetahuan agama namun tidak menunjukkan
manfaatnnya.
II.F. Analisa Pengaruh pemikiran Buya Hamka terhadap Pemikiran Islam di Nusantara
II.F.i. Tasawuf sebagai Pedoman Abadi untuk Meraih Kebahagiaan
Studi pemikiran Islam pada tahun 1900-an cenderung stagnan sebagaimana dapat kita lihat bahwa pada
masa itu pendidikan Indonesia mundur sekali. Ini terjadi sejak terjajahnya negeri kita oleh beberapa negara
asing, diantaranya adalah Belanda dan Jepang. Pembangunan pendidikan umum maupun agama tidak berjalan
dengan baik karena penjajah tidak memberikan dukungan yang efektif. Sementara bila para perintis
mengupayakannya sendiri maka tidak akan bisa berjalan, atau pun kalau berjalan tidak akan lama.
Salah satu tokoh yang berinisiasi untuk membangun pendidikan adalah Ki Hajar Dewantara. Dia sempat
berhasil membangun Taman Siswa sebagai wujud keprihatinan dan kepeduliannya terhadap kualitas pendidikan
masyarakat pribumi. Namun karena kurang bantuan dukungan dari pemerintah Belanda, akhirnya ditutup juga
sekolah ini. Masyarakat negeri sendiri tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk mempertahankannya
Padahal sekolah ini merupakan pertanda cerahnya anak bangsa kita.
11
12
13

Hamka, Tasawuf Modern, Jaya Murni: Jakarta. 1939, hal 139


Hamka, Tasawuf Modern, Jaya Murni: Jakarta. 1939, hal 274
Hamka, Tasawuf Modern, Jaya Murni: Jakarta. 1939, hal 275

11

Mirisnya lagi, kalaupun ada orang yang bisa mendapatkan pendidikan, maka pendidikan ini hanya
diorientasikan untuk kembali ke ladang dan sawah lagi. Masyarakat diarahkan oleh penjajah untuk menjadi
buruh atau budak Belanda saja, bukan menjadi orang besar. Akhirnya, tujuan pendidikan menjadi absurd.
Hamka mengeluhkan ini dalam tulisannya.
Hamka berupaya melakukan perubahan dengan menulis karya ini. Dia menunjukkan upayanya untuk
membangun kesadaran masyarakat tentang makna kehidupan, bagaimana menjalani hidup, dan untuk apa kita
hidup. Selama ini orang melakukan pertahanan hidup untuk pertahanan hidup itu semata, tidak ada tujuan lain
di dalamnya. Makna hidup ini tidak lah lahir, tapi batin. Hamka ingin mengatakan ini dalam upayanya menulis
buku ini.
Adi Negoro mengatakan, Terutama di zaman sekarang perlu orang memperhatikan isi kitab ini, sebab
perjuangan yang sehebat-hebatnya bukan berlangsung di lapangan yang lahir, melainkan di lapangan kebatinan
manusia. Hamka melakukan reformasi bagi pemikiran masyarakat agar lebih integral meresapi dalam seluruh
aspek, baik pendidikan, ekonomini, sosial, kebangsaan, dan juga agama. Bahkan, tasawuf juga integral dalam
kehidupan masyarakat secara umum.
Berkatnya, pemikiran Islam di Nusantara menjadi lebih berkembang dan kaya. Abdullah Faqih, pemuka
Islam ternama di Aceh, mengakui bahwa awalnya dia pikir tasawuf (modern) itu hanya dalam teosofi saja. Tapi
ternyata, kajiannya bisa dilakukan kepada khalayak umum sehingga mendapat penerangan untuk memperkuat
iman dan jiwa.
Islam bukan lah sisi lain dari kehidupan masyarakat dan terpisah dengan kegiatan sehari-hari. Iman, agama,
Islam, semuanya integral dalam kehidupan. Seandainya masyarakat modern memahami ini, maka kebuntuan
dan krisis intelektual akan teratasi. Di satu sisi, sekularitas merebak sebagai konsekuensinya. Sedangkan pada
sisi lainnya, agama juga hadir secara terpisah dalam amal-amal sufistik yang terbungkus dalam apa yang
disebut tasawuf. Hamka tidak sepakat dengan pandagan hidup seperti ini.
Dalam analisa Hossein Nasr, penduduk urban terhenti dalam kebuntuan ketika mereka menemukan bahwa
ternyata pengetahuan sakral memiliki peran dalam pencarian jawaban. Pengetahuan profan tidak cukup
memberikan jawaban bagi segala perntanyaan intelektual dan aplikasinya. Pengetahuan juga sampai pada
wilayah intutif dan pengamalannya. Hal ini mencerminkan bahwa penghayatan intuitif, dalam hal ini imanagama, memang harus bersatu dengan aspek kehidupan kita secara menyeluruh, baik dalam dunia ilmiah
maupun sosial.
Inilah yang saat ini ramai disebut sebagai tasawuf urban. Ini adalah bentuk dari modernisasi tasawuf. Tapi
bukan dalam arti tasawuf kehilangan substansi intinya sebagaimana yang dilakukan Hamka, inti dari tasawuf
adalah penyucian diri (tazkiyah al-nafs), sebab hakikat diri ini adalah jiwanya. Kini sampailah pada akhirnya
masyarakat mulai mendekati pada penyempurnaan peradaban, yaitu masyarakat peradaban modern (atau
kontemporer) yang memiliki kesadaran spiritual.
II.F.ii. Analisis Hermeneutis Pemikiran Tasawuf Modern
Pendekatan hermeneutis dapat dilakukan untuk menganalisa pengaruh Tasawuf Modern dalam khazanah
pemikiran Islam Nusantara. Dalam hermeneutika dapat kita temukan bahwa tulisan dan pemahaman dapat
mengalami perubahan tergantung konteksnya. Maka, di sini kita akan cari pemahaman apa yang tepat untuk
diambil dari kajian penelitian Tasawuf Modern berdasarkan konteks kekinian, bukan lagi konteks penulis.
Sebelumnya, kiranya perlu diberikan konfirmasi dahulu bahwa rekontekstualisasi pemikiran sah untuk
dilakukan. Dalam pemikiran ahli hermeneutika Fazlur Rahman, komponen pemahaman terdiri dari gagasan
universal (idea moral) dan gagasan praktis temporal (legal specific).14 Gagasan universal merupakan ide pokok
yang diinginkan penulis yang bersifat umum dan terlepas dari konteks zaman, sedangkan gagasan praktis
temporalnya adalah apa yang tersirat berdasarkan konteks masa memahaminya.
Pertama, kita akan lihat dulu konteks penulisan buku ini. Hamka menulis buku ini pada masa-masa menuju
kemerdekaan dan terus diterbitkan hingga 11 kali. Pada masa tahun 1940-an, Hamka termasuk orang yang
mengharapkan terbentuknya negara Islam Indonesia. Hamka bergabung dalam partai Masyumi ketika itu.
Mungkin, dalam kacamata saat ini, kita akan melihat Hamka sebagai seorang tradisionalis yang keras. Dia
bahkan mungkin akan disebut sebagai tokoh yang menolak pluralisme, anti toleransi beragama, dan akhirnya
tidak bisa diterima oleh masyarakat.
Namun, kita dapat melepaskan pemahaman yang menggunakan konteks pada masa Hamka, dan
menggantinya menjadi konteks saat ini. Bila kita tarik gagasan umum, ide moral, yang diinginkan oleh Hamka
adalah anti-sekularisme dan fundamentalisme, bukan tradisionalisme-ortodoks.
II.F.ii.a Pandangan Dunia yang Materialis juga Ruhani
Dalam paparannya tentang kebahagiaan, Hamka mengungkapkan substansi pokok diri kita adalah jiwa,
bukan badan kita. Sehingga pencapaian kebahagiaan bukanlah sampai pada batas pemenuhan kebutuhan
14

Fazlur Rahman menggunakan teori ini untuk memahami al-Quran. Namun peneliti mensisntesiskan pemikiran ini pada
kajian pemikiran Islam secara umum. Ini cocok dilakukan karena gagasannya bersifat universal dan bisa diterapkan dalam kajian
selain kajian memahami Quran. Dalam pemikiran hermeneutika barat juga konteks dipandang mempengaruhi pemahaman teks, salah
satu tokohnya adalah Gadamer.
12

jasmani saja, tapi juga jiwa. Sering kali orang-orang khawatir bila kita memiliki pandangan dunia rohani akan
melupakan jasmani. Padahal sebetulnya tidak begitu, keduanya harus dipenuhi dengan seimbang. Tapi hanya
satu yang hakiki, yaitu yang rohani, jiwa kita. Jemenuhan jasmani untuk mendukung kebutuhan rohani semata.
Pandangan sekularisme mengatakan bahwa pemikiran dan kegiatan ruhani dapat menghentikan perhatian
mereka terhadap jasmani dan segala hal yang duniawi. Hal ini justru yang menyebabkan krisis kemajuan suatu
bangsa. Hamka memberi contoh pada perkembangan di barat. Pada akhirnya Barat mengalami kebuntuan
nihilisme karena mereka hanya percaya pada yang materi. keyakinan pada yang Gaib juga tetap perlu, selain
karena memang benar adanya, juga karena kesadaran inilah yang menjadikan kehidupan kita di dunia memiliki
makna yang hakiki, tidak lagi ambigu. Kita dituntut untuk memenuhi kebutuhan seperlunya, untuk kebaikan
dunia maupun akhirat.
II.F.ii.b. Teistik Ketimbang Beragama
Hamka memberikan penekanan utama dalam hal keimanan kepada Tuhan. Lebih spesifiknya lagi adalah
menyuarakan tauhid. Yang lebih universal dari agama adalah keimanan bahwa Tuhan ada. Dalam konteks saat
ini, iman kepada Tuhan lah yang disuarakan oleh Hamka.
Agama merupakan bentuk keimanan tersebut. Hamka mengatakan bahwa beragama itu pasti beriman, tapi
beriman bukan berarti beragama. Penekanan Hamka pada sisi keimanannya secara teoritis praktis yang bersifat
universal. Secara teoritis bahwa Tuhan itu ada, dan secara praktis bahwa kita memiliki dorongan moral secara
fitriah.
Persoalan teisme dan ateisme saat ini ramai dibicarakan. Beragam argumentasi dan bentuk isme ini juga
ramai didiskusikan. Batasan antara iman kepada Tuhan dan Tuhan tidak diimani semakin buram. Salah satu
contohnya, pemikiran deisme meyakini bahwa Tuhan ada, namun kita tidak dapat menjangkauNya, peranNya
pun sebatas sampai menciptakan saja. Bagi mereka, kini Tuhan sudah tidak memiliki peran lagi dan tidak perlu
disentuh. Ini semua dipengaruhi oleh perkembangan pengetahuan yang mulai mendekati kebuntuan dan satu
langkah lagi menuju pemikiran sakral dalam istilah yang digunakan oleh Nasr.
Namun ternyata Hamka telah memberikan jawaban pada kita, yaitu bahwa bagaimanapun keimanan pada
Tuhan tidak bisa ditolak, bila kita tidak ingin kebahagiaan hakiki kita tidak tercapai. Dorongan meraih
kebahagiaan yang bersifat pasti untuk pada setiap manusia, memaksa kita untuk yakin bahwa Tuhan itu ada.
Tuhan senantiasa hadir dimanapun dan kapanpun. Tuhan, seiring dengan harapan kita meraih kebahagiaan
hakiki, selalu ada untuk kita dekati.
Namun Hamka tidak lari pada doktrin semata. Dia mengajak para pelajar dan ilmuwan untuk
memaksimalkan akalnya agar bisa tahu hakikat Tuhan dan argumentasi keberadaannya secara rasional.
Sehingga dengan begitu orang yang sudah benar-benar menemukan bahwa keberadaan Tuhan itu memang
benar adalah orang yang paling tahu makna kebahagiaan.
Adapun secara praktis, Hamka telah memperlihatkan pada kita prinsip moral. Ini sangat dekat dengan
pemikiran filsafat etika. Yaitu bahwa tujuan hidup ini adalah meraih kebahagiaan yang sempurna (virtue ethic),
dan kebahagiaan yang sempurna itu dicapai dengan jalan kebaikan. Sedangkan kebahagiaan sempurna itu
sendiri adalah mencapai kedekatan pada Tuhan, mendapatkan ridhaNya.
II.F.ii.c. Ajaran Islam sebagai Pedoman Hidup yang Utama
Walaupun Hamka secara universal mengatakan bahwa keimanan pada Tuhan itu penting. Dalam tasawuf
Modern dia melanjutkan dengan memberikan penekanan yang khusus, bukan sekedar beriman dan beragama,
tapi mengimani agama Islam. Baginya Islam adalah adalah agama yang paling sesuai dengan konteks
masyarakat sepanjang masa. Tuhan sengaja mengirim Muhammad sebagai nabi terakhir, sebagai pamungkas,
karena manusia sudah cukup berpedoman pada ajarannya agar bisa meraih kebahagiaan.
Dalam konteks masa Hamka, dia merasa perlu memperjuangkan terbentuknya negara Islam Indonesia
karena ketika itu Indonesia masih sedang mencari bentuknya yang tepat. Sedangkan dalam konteks sekarang,
kita perlu bersikap toleransi namun tetap meyakini bahwa Islam lah yang terbaik dan paling benar.
II.F.ii.d. Indikasi Pluralisme dalam Pemikiran Hamka
Bagian terakhir ini merupakan bagian yang amat sensitif. Dalam konteks saat ini, tidaklah tepat bila kita
mengikuti jejak Hamka memperjuangkan kembali reformasi Indonesia menjadi negara Islam. Yang diinginkan
oleh Hamka bukanlah hal ini.
Azyumardi Azra mengungkapkan bahwa ada beberapa bentuk pemikiran Islam. Hamka termasuk dari
pemikir fondasionalis, bukan tradisionalis. Bila Hamka seorang tradisionalis, maka dia tidak akan memberikan
pendahuluan bahwa keimanan adalah hal yang vital untuk meraih kebahagiaan. Tapi dia akan menulis langsung
bahwa Islam lah yang akan membawa kita pada kebahagiaan.
Hamka cenderung berpikir ala fondasionalisme. Hamka menjadikan keimanan sebagai fondasi kebahagiaan
dan segala aspek lainnya dalam kehidupan. Adapun dalam pengembangan dan aplikasinya, Hamka tidak
memberikan pemikiran yang ketat. Malah, Hamka mendorong kita untuk mengejar ketinggalan kita dalam
dunia pemikiran, ilmu pengetahuan, dan bermasyarakat.
13

Tampak bahwa pemikiran Hamka adalah pemikiran yang masih memperhatikan toleransi beragama.
Namun, kita seringkali ketakutan untuk mengatakan bahwa Hamka seorang pluralis. Ya, ini karena kita
menggunakan pemikiran Hamka pada konteks zaman Hamka. Pada zaman Hamka pemikiran pluralisme masih
tabu dan belum berkembang.
Saat ini, pluralisme telah memiliki banyak pandangan dan gagasan. Awalnya, John Hick menyuarakan
pluralisme sebagai pemikiran tersendiri bahwa semua keyakinan itu sama. Tapi pandangan ini memunculkan
kritik karena mereduksi pandangan setiap agama menjadi sama rata. Tidaklah tepat menayamarakatan nilai
agama, ini seperti menyamakan nilai ujian mahasiswa di kelas.
Pluralisme Hamka dapat didekati dengan pluralisme yang bersifat gradatif, diantaranya disuarakan oleh
Muhammad Legenhausen. Kita dapat menemukan kemiripan karakter pluralisme agama antara Hamka dan
Legenhausen dengan memperhatikan pandangan keduanya tentang (1) peran agama, (2) prinsip keselamatan
dan kebahagiaan, (3) moralitas dalam beragama, dan juga (4) epistemologi justifikasi agama.
Secara universal, Legenhausen tidak menolak bahwa agama berperan sebagai bentuk ekspresi kita dalam
mengimani keberadaan Tuhan. Legenhausen--untuk sementara--mengiyakan John Lock bahwa keyakinan atas
keberadaan Tuhan adalah bentuk pengetahuan fenomena terhadap nomena. Bagaimanapun, setiap agama
memberikan arahan bagaimana kita mempersepsi Tuhan Yang Maha Esa dan mengekpresikannya. Tuhan juga
telah mengutus orang-orang pilihan untuk memberikan arahan. Adapun Muhammad adalah utusanNya yang
terakhir dengan membawa agama Islam.
Namun, Legenhausen menolak penyamarataan agama. Legenhausen memilih agama Islam sebagai agama
yang kaffah memberikan arahan pada kita untuk mengekspresikan keimaman. Tuhan memang sengaja
mengirim Muhammad sebagai utusannya yang terakhir karena itu sudah yang terbaik.
Prinsip keselamatan dan kebahagiaan dalam pemikiran Legenhausen dan Buya Hamka dapat disetarakan.
Keselamatan dan kebahagiaan merupakan oritentasi kita dalam beragama. Setiap agama memang sebetulnya
menawarkan pandangannya masing-masing tentang hal ini, berikut juga cara untuk meraihnya. Namun, ajaran
Islam merupakan ajaran yang tertinggi dan utama.
Selain itu, Legenhausen mengungkapkan bahwa ada gagasan lain yang mengatakan agama mengalami
keragaman dari sisi moralnya. Dia menolak hal ini, karena bagaimana mungkin moral itu terbagi beragam tanpa
ada sisi universalnya. Baginya, moral merupakan dorongan kemanusiaan yang bersifat universal. Dalam
pendekatan pemikiran Hamka, dorongan ini disebut sebagai prinsip utama atau bisa disebut juga sebagai fitrah.
Namun, sepakat dengan Hamka, menurut Legenhausen universalitas moral ini juga memang memiliki sisi
kebaragaman, yaitu keberagaman yang bergradasi.
Terakhir, kita dapat melihat kedekatan pemikiran Legenhausen dan Hamka yang memberikan peran pada
akal rasional. Legenhausen memiliki gagasan tetang akal sebagai alat untuk menjustifikasi ajaran agama.
Bagaimanapun, agama tetap perlu dijustifikasi sehingga terbukti kebenaran ajarannya. Caranya adalah
menggunakan gagasan argumentatif rasional. Sedangkan Hamka berpandangan bahwa sebagai umat beragama
kita juga tetap perlu menggunakan akal dalam kehidupan. Karena akal adalah bekal kita untuk menjadi manusia
yang beragama secara bertanggung jawab.
Maka menurut hemat penulis, Hamka tidak bermaksud untuk bersikap ortodoks atas penekanannya dan
pengkhususannya terhadap agama Islam. Hamka juga tidak bersikap terlalu longgar terhadap keyakinan
beragama--Islam. Hamka adalah seorang pluralis, dalam artian dia menanamkan nilai pluralisme bahwa setiap
agama memiliki nilai kebahagiaan dan penghayatan kehidupannya masing-masing, dengan tetap meyakini
bahwa agama Islam adalah agama yang paling sempurna.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
Manusia mana yang menolak bahwa dirinya tidak mencari kebahagiaan? Kebahagiaan pasti dicari setiap
orang. Hanya saja, rupanya yang beraneka macam. Jadi, kebahagiaan itu adalah dorongan yang fitriah di dalam
diri manusia. Bahkan ternyata arti dari kehidupan ini adalah melakukan upaya untuk mendapatkan kebahagiaan.
Disepanjang kehidupan ini kita berupaya, dan diujungnya kita dapatkan kebahagiaan yang kita cari. Namun
rupanya, keberagaman nilai kebahagiaan itu perlu untuk diluruskan. Kita perlu mencari tahu manakah nilai
kebahagiaan yang paling sejati.
Sebetulnya, yang pertama dan mendasar dalam pemikiran dalam buku ini adalah pandangan dunia Ilahi. Ini
dulu yang urgen untuk dihayati oleh masyarakat dunia secara umum, dan masyarakat Nusantara secara khusus.
Salah satu dilematika masyarakat modern adalah persoalan keberadaan Tuhan. Terlepas dalam konteks agama
ataupun tidak, nilai ketuhanan merupakan pandangan dunia yang tidak bisa ditawar. Karena hal ini amat
mendasar bagi kehidupan manusia, bahkan manusia sebagai makhluk yang bernalar.
Memang, ini terkesan seperti memberikan dogma, sebetulnya yang lebih tepat adalah itikad dalam istilah
yang digunakan Hamka. Kalau kita mau berpikir terbuka maka akan menjadi keyakinan yang memiliki
argumentasi logis. Justru, bila pandangan dunia ini tidak dipertahankan, maka akan melumpuhkan segala

14

langkah, termasuk dalam dunia perkembangan ilmu pengetahuan dan kehidupan bermasyarakat. Seperti kata
Einstein, ilmu pengetahuan tanpa agama (pandangan dunia ketuhanan dalam konteks ini) itu lumpuh.
Adapun tasawuf adalah bidang yang erat kaitannya dengan penghayatan ketuhanan. Dalam Tasawuf
Modern ini, Hamka memberitahukan bahwa Pemikiran tasawuf tidak boleh mati, selama manusia masih
mencari kebahagiaan. Kebahagiaan yang sejati tidak mungkin didapatkan di dunia ini. Alam materi ini terlalu
terbatas untuk bisa dikatakan sebagai tempat meraih kebahagiaan sejati.
Begitu juga yang menikmati kebahagiaan, bukan badan kita yang sebetulnya membutuhkan kebahagiaan
sejati. Tubuh kita terlalu terbatas untuk bisa merasakan kebahagiaan yang sejati. Toh, nantinya tubuh kita juga
akan mengalami kematian. Maka, musti ada keberadaan selain dunia ini yang menjadikan tempat manusia
menikmati kebahagiaan sejati, dan diri kita yang sejati bukanlah badan kita. Jawabannya adalah alam akhirat
dan jiwa kita. jiwa kita yang mengarahkan kita untuk mendapatkan kebahagiaan sejati.
Dunia adalah tempatnya kita berjuang menanam bibit kebahagiaan, dan hasilnya akan dirasakan di akhirat.
Jiwa kita dijaga akan tetap bersih supaya bisa menerima kebaikan di akhirat sebagai kebahagiaan yang sejati.
Ya, di sanalah kita akan merasakan kebahagiaan sejati. Adapun sumber kebahagiaan itu adalah Tuhan. Dialah
sumber kebahagiaan dan kebaikan yang selama ini menjadi kecenderungan diri kita.
Tasawuf substansinya seperti itu; upaya membersihkan jiwa kita yang mendukung kita untuk mendapatkan
kebahagiaan sejati. Tasawuf bukanlah amalan-amalan keagamaan yang tidak bisa berubah. Sehingga tampaklah
bahwa tasawuf juga penting bagi masyarakat modern. Justru, tanpa tasawuf masyarakat akan kebingungan
mendapatkan arahan untuk membersihkan dirinya. Tasawuf yang membantu manusia dapat menghayati nilai
ketuhanan. Tasawuf lah yang membuat manusia dapat meraih kebahagiaan sejatinya.
Prinsip utama menjalani kehidupan sesuai dengan arahan tasawuf adalah prinsip keseimbangan. Yaitu
seimbang dalam mengelola dunia untuk bisa mengelola kehidupan di akhirat, menjaga kesehatan badan agar
kesehatan jiwa kita juga terjaga, membuat akal kita tetap aktif seraya mengamalkannya dengan budi kita (nilai
kebaikan moral), dan tetap menaruh perhatian pada perkembangan pengetahuan yang dipengaruhi zaman
sambil memperhatikan kondisi keimanan kita. kesemuanya terangkum dalam 4 perkara; keteguhan, hikmah,
keberanian, dan keadilan.
Kebanyakan orang berpikir bahwa nilai kandungan dalam tasawuf adalah nilai yang dimiliki oleh agama
Islam saja, padahal tidak. Karena secara fitriah, manusia memiliki dorongan ketuhanan, kebahagiaan, dan
kebaikan. Selama mereka mendasarkan kehidupannya pada nilai Ilahiah demi meraih kebahagiaan melalui jalan
kebaikan, maka dia berada dalam kebenaran. Hanya saja, perpektif mereka berbeda. kita tidak layak
menyalakan cara mereka. Inilah yang disebut toleransi, atau pluralisme.
Cuman, ada satu hal yang ditekankan oleh Hamka; keimanan agama Islam merupakan jalan terbaik. Tuhan
sengaja mengirimkan Muhammad sebagai utusanNya yang terakhir bagi umat sepanjang zaman. Dari dialah
kita diberi pedoman hidup demi meraih kebahagiaan sejati. Jadi, diantara semua jalan kebaikan yang
ditawarkan agama, Islam lah yang terbaik. Ini lah yang disebut dengan pluralisme bergradasi.
Demikian penelitian ini penulis sampaikan. Semoga bermanfaat sebagai refleksi bagi seluruh masyarakat
Nusantara secara umum. Penulis juga berharap ini berguna bagi para peneliti yaitu dapat menjadi bahan
penelitian lebih lanjut bagi kalangan akademisi, karena sampai saat ini, pemikiran Hamka masih sangat
signifikan dalam perkembangan pemikiran Islam Nusantara.
Dengan keterbatasan referensi, penelitian ini dipandang masih jauh dari maksimal. Seandainya
ditindaklanjuti dengan sumber-sumber data yang lebih valid, kontemporar, dan banyak maka akan makin
menyempurnakan kajian ini dalam rangka merekontekstualisasi pemikiran Hamka.
DAFTAR PUSTAKA
Hamka. Tasawuf Modern. Jaya Murni: Jakarta. 1939 International Journal of Hekmat
Volum 1; Religious Pluralism. Islamic Reasearch Institute for Culture and
Thought: Tehran. 2009.
Nasr, Sayyed Hossein. Man and Nature; The Spiritual Crisis in Modern Man. Mandala Unwin Paperbacks:
London. 1990 Muttaqien. Perjalanan Terakhir Buya Hamka. Penerbit Panji Masyarakat: Jakarta.
1981
Sibawaihi. Hermeneutika al-Quran Fazlur Rahma. Jalasutra: Yogyakarta. 2007
Suhelmi, MA, Ahmad. Polemik Negara Islam: Soekarno vs Natsir. Teraju: Jakarta. 2002
Ulum, Masut. Urgensi Tasawuf dalam Kehidupan Modern, Telaah atas Pemikiran
Tasawuf
Hamka. Skripsi Fakultas
Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga: Yogyajarta. 2007
Media Online

15

Você também pode gostar