Você está na página 1de 42

1

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1.Anestesi Umum
Anestesi umum adalah suatu keadaan tidak sadar yang bersifat sementara
yang diikuti oleh hilangnya rasa nyeri di seluruh tubuh akibat pemberian obat
anestesi. Rees dan Gray membagi anestesi umum menjadi tiga komponen yaitu
hipnotika, anelgesia dan relaksasi. Ketiga komponen anestesia ini sering disebut
dengan trias anestesia. Untuk mencapai ketiga kondisi trias anestesi dapat
dilakukan dengan menggunakan obat anestesi tunggal seperti eter, atau dengan
mengkombinasikan beberapa jenis obat anestesi.

Kombinasi obat-obat yang

dipakai juga dapat bervariasi dari obat-obat anestesi inhalasi sampai penggunaan
obat-obat anestesi intravena.
2.1.1.Anestesi umum intra vena
Anestesi umum intra vena adalah satu tehnik anestesi umum yang
dilakukan dengan cara menyuntikan obat anestesi parenteral langsung ke dalam
pembuluh darah vena. Obat-obatan
intravena

terdiri

dari:

obat-obat

anestesi yang dapat diberikan melalui


untuk

induksi,

obat-obat

penghambat

neuromuskular, dan obat-obat golongan opioid. Saat ini propofol dipakai secara
luas untuk induksi dan pemeliharaan anestesi, karena onsetnya cepat, durasinya
pendek, kejadian eksitasi minimal dan memiliki kerja sebagai anti emetik,
sehingga dianggap sebagai obat anestesi yang ideal.

Banyaknya pilihan obat-obat anestesi intravena, memungkinkan seorang


ahli anestesi dapat melakukan tehnik anestesi intravena total. Kondisi trias
anestesi dicapai dengan menggunakan kombinasi obat-obat anestesi intravena
yang bersifat hipnotik, anelgesia dan relaksasi otot. Pemberian obat-obat anestesi
intravena dapat dilakukan dengan pemberian bolus berkala maupun dengan infus
kontinu. Dalam pemberian obat-obat anestesi intravena tersebut harus benar-benar
dipahami tentang farmakokinetik dan farmakodinamik dari masing-masing obat
anestesi intravena yang akan digunakan.
2.2 Target Controlled Infussion
Salah satu cara untuk melakukan induksi dan pemeliharaan anestesi pada
tehnik Total Intravenous Anesthesia (TIVA) adalah dengan menggunakan TCI.
TCI adalah infus yang dikontrol dengan tujuan untuk mencapai konsentrasi obat
pada titik tertentu dalam kompartemen tubuh. Dengan menggunakan tehnik ini
ahli anestesi dapat mengatur dan menyesuaikan konsentrasi obat yang diinginkan
sesuai dengan observasi kondisi klinis pasien.
Prinsip dasar TCI adalah dengan menetapkan konsentrasi obat pada titik
tertentu, yang harus dicapai dan dipertahankan baik di Cp

maupun Ce.

Konsentrasi yang diinginkan, diatur sejak awal oleh ahli anestesi dengan harapan
dapat mencapai kondisi klinis yang diinginkan. Perubahan target konsentrasi
yang diatur oleh ahli anestesi akan terlihat pada Ce kompartemen setelah waktu
tertentu karena terdapat jarak waktu perpindahan obat dari darah ke tempat yang
dituju atau sampai obat berefek. (Naidoo, 2011)

Pengembangan

TCI

seiring

dengan

berkembangnya

konsep

farmakokinetik yang diaplikasikan dalam bidang anestesi yaitu: effect site


compartment, effect site equilibration, time to peak effect, context-sensitivity half
life dan context-sensitivity decrement time. Model kompartemen farmakokinetik
merupakan model yang digunakan untuk menggambarkan apa yang terjadi dengan
obat di dalam

tubuh. Model ini berdasarkan analisis matematika terhadap

konsentrasi plasma, waktu dan keadaan plasma.


Setelah terjadi perpindahan obat anestesi ke sirkulasi sawar otak, maka
obat anestesi tersebut akan bekerja pada sistem saraf pusat. Hal ini menunjukan
bahwa konsentrasi Ce tercapai, sehingga efek obat terhadap organ ditentukan oleh
Ce. Walaupun waktu tercapainya keseimbangan antara darah dan effect site
singkat, hal ini tidak dapat terjadi secara instan. Setelah bolus obat intravena
terdapat jarak waktu antara tercapainya konsentrasi darah, dan efek sentral.Setelah
ekuilibrium tercapai, dengan pemberian laju infus yang tetap Cp dan Ce menjadi
hampir pararel. Sehingga Ce dapat didefinisikan sebagai Cp yang memberikan
efek sesuai. Konsentrasi plateu yang diinginkan dicapai dan dipertahankan dengan
memberikan bolus yang kemudian dilanjutkan pemberian infus dengan laju yang
berubah-ubah secara otomatis (Naidoo , 2011).
Walaupun prediksi mengenai Cp dan Ce telah dilakukan dengan baik
sesuai dengan kebutuhan pasien dan stimulus bedah yang berlangsung,
karakteristik masing-masing pasien tentunya berbeda. Oleh karena itulah TCI
tetap memberikan tehnik yang lebih aman dalam pemberian obat anestesi
intravena. TCI mampu menyesuaikan antara konsentrasi obat dengan efek klinis

yang diinginkan. Ini merupakan hal yang paling diinginkan dalam mengelola
anestesi terutama saat induksi dan prediksi pemulihan. Tehnik ini memungkinkan
titrasi obat yang lebih tepat berdasarkan peningkatan konsentrasi secara bertahap
dimana variasi antar individu dalam hal farmakokinetik dan farmakodinamik
diperkirakan sekitar 30%.
Setelah ahli anestesi memasukkan data dasar pasien dan menentukan
target konsentrasi, maka mesin akan memberikan bolus obat dalam dosis tertentu
untuk mengisi kompartemen sentral. Setelah itu komputer akan mengkalkulasi
metabolisme dan eliminasi obat serta menentukan obat yang diinfuskan untuk
mengisi kompartemen kedua dan ketiga. Pada saat tindakan berlangsung target
konsentrasi dapat diubah-ubah sesuai respon pasien dan stimulus bedah.
Secara umum TCI dapat dibagi menjadi dua yaitu open loop pattern dan
closed loop pattern. Open loop pattern digunakan oleh ahli anestesi untuk
menyesuaikan konsentrasi target sesuai dengan keperluan klinis yang bervariasi
dan mempertahankan kedalaman anestesi. The closed loop pattern digunakan
untuk menentukan kontrol anestesi dengan cara menyesuaikan konsentrasi target
melalui umpan balik otomatis.
Untuk sistem TCI propofol pada orang dewasa, model farmakokinetik
yang banyak digunakan adalah Marsh dan Schnider, sedangkan pada pasien anakanak model Paedfusor dan Kataria. Selain propofol obat lain yang dapat
dioperasikan menggunakan sistem TCI adalah sufentanil (model Bovil dan
Gepts), alfentanil (model Maitre), remifentanil (model Minto).

2.2.1 TCI model marsh


TCI

model

marsh adalah TCI yang pertama kali dikembangkan,

merupakan pengembangan dari model farmakokinetik propofol oleh Gepts dengan


memperkirakan volume kompartemen sentral sebagai sebuah fungsi linear secara
langsung terhadap berat badan. Usia tidak dimasukkan dalam kalkulasi, namun
tidak dapat digunakan untuk umur dibawah 16 tahun. Hal ini menjadi sumber bias
dan ketidak akuratan sistem marsh.
2.2.2 TCI model schnider
Model Schnider disebut sebagai generasi baru dari TCI. Metode ini
menggunakan model 3 kompartemen dengan memasukkan umur, tinggi badan,
dan berat badan ke dalam perhitungan. Lean body mass pasien dihitung dan
digunakan untuk mengkalkulasi dosis dan laju infus, jika yang dipakai berat badan
aktual maka akan ada kemungkinan kelebihan konsentrasi obat pada pasien obese.
Perbedaan utama antara

kedua model ini adalah jumlah volume

kompartemen sentral. Pada model schnider menggunakan volume kompartemen


sentral tetap dan sama pada setiap pasien, selain itu volume kompartmen pada
model schnider lebih kecil (4,27 L pada pasien dengan berat badan 70 kg)
dibanding model marsh (15,9 L). Akibat perbedaan ini maka model schnider
waktu pulihnya lebih cepat dibanding marsh. Namun untuk tujuan induksi model
schnider akan lebih lambat dibandingkan model marsh. Pada model marsh hanya
menggunakan berat badan sebagai kovariat sedangkan model schnider memakai
berat badan, lean body mass, umur dan jenis kelamin.

Keuntungan penggunaan TCI secara umum adalah: dapat memfasilitasi


titrasi dosis untuk mencapai efek yang diinginkan, memudahkan perhitungan
dosis obat dan pemberiannya, diperoleh informasi tambahan mengenai obat yang
diberikan (seperti jumlah obat yang diberikan, durasi pemberian, konsentrasi dan
lain-lain) konsentrasi obat yang dicapai lebih stabil, dapat terhindar dari kelebihan
dosis dan masa pulih yang lebih cepat.
2.3 Propofol
Propofol

pertama kali ditemukan tahun 1970 dan diperkenalkan di

pasaran sejak tahun 1977 sebagai obat induksi anestesi . Propofol semakin populer
dan semakin luas penggunaannya di seluruh dunia mulai tahun 1986. Propofol
disubsitusi dari Isopropylphenol (2,6 diisopropylphenol), merupakan derivate
alkylphenol dengan formula larutan 1% dalam larutan aqua, yang terdiri dari: 10
% soybean oil, 2,25% glycerol, 1,2% purified egg phosphatide (lecithin), dan
0,005% disodium edenate (sebagai penghambat pertumbuhan bakteri). Walaupun
mengandung lecithin, adanya riwayat alergi

telur bukanlah kontraindikasi

pemakaian propofol, oleh karena alergi telur biasanya disebabkan reaksi terhadap
putih telur (misal: albumin telur), sementara lecithin diekstraksi dari kuning telur.
Propofol tidak larut dalam air, warna putih susu agak kental dengan pH 7.
Di Eropa tersedia propofol dalam formula 2% dengan emulsi yang mengandung
gabungan antara trigliserida rantai panjang dan trigliserida rantai sedang. Stabil
pada suhu kamar, dan tidak sensitif terhadap cahaya. Bila hendak diencerkan
dapat dengan menggunakan cairan dekstrose 5%. Secara teori pengenceran ini

dapat mengubah farmakokinetiknya, karena akan terjadi degradasi dan


kemungkinan terjadi perubahan efek farmakologi nya.
Bila Propofol diberikan dengan cara injeksi intravena yang cepat (< 15
detik), akan menyebabkan keadaan tidak sadar dalam waktu sekitar 30 detik.
Propofol dapat menimbulkan nyeri pada tempat pemberian bila diberikan melalui
vena yang kecil. Hal ini dapat dikurangi dengan menyuntikan propofol melalui
vena yang besar, menambahkan lidokain 1% pada propofol atau dengan
menggunakan opioid short acting. Karena mengandung lipid vehikel maka
propofol merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri. Propofol dapat
meningkatkan konsentrasi trigliserida di plasma terutama pada pemakaian infus
intravena yang lama.
2.3.1 Farmakokinetik propofol
Propofol memiliki kelarutan yang tinggi dalam lemak, sehingga onset
kerjanya cepat.Volume distribusi propofol lebih rendah pada orang dewasa,
sehingga kebutuhan dosis induksinya lebih rendah, sedangkan pada perempuan
dosis yang diperlukan lebih besar. Pada perempuan waktu bangun lebih cepat bila
dibanding dengan laki-laki .
Metabolisme propofol terdiri dari hepatik dan ekstra hepatik. Propofol
dimetabolisme dengan cepat di hati. Clearance

propofol dari dalam plasma

melalui hepatic blood flow. Citocrome P-450 berperan penting dalam


mengeluarkan propofol dari plasma. Propofol akan dikonjugasi menjadi
glucuronide dan sulfat sehingga menjadi larut dalam air dan kemudian
diekskresikan melalui ginjal (metabolit inaktif). Sekitar 30% clearence propofol

melalui ginjal. Paru memegang peran penting dalam metabolisme ekstrahepatik


propofol. Setelah pemeberian bolus, sekitar 30% propofol di uptake melalui paru
pada eliminasi pertama. Walaupun metabolisme utama propofol diekskresikan
melalui ginjal, tetapi penurunan fungsi ginjal tidak mempengaruhi bersihan
propofol. Clereance propofol yang cepat memperkuat bahwa propofol dapat
diberikan secara infus kontinu tanpa efek akumulasi yang berlebihan. Propofol
dapat menembus sawar plasenta, namun dengan cepat dapat dibersihkan dari
sirkulasi janin.
Farmakokinetik propofol digambarkan sebagai model tiga kompartemen,
dimana pada pemberian bolus propofol, kadarnya dalam darah akan menurun
dengan cepat akibat adanya redistribusi dan eliminasi. Waktu paruh distribusi
awal propofol adalah 2-8 menit. Pada model tiga kompartemen waktu paruh
distribusi awal adalah 1-8 menit, yang lambat 30-70 menit dan waktu paruh
eliminasi 4-23,5 jam.
2.3.2 Farmakodinamik propofol
2.3.2.1 Mekanisme kerja propofol
Propofol adalah modulator selektif reseptor gamma aminobutyric acid
(GABA). GABA merupakan neurotransmiter inhibitor utama di sistem saraf
pusat. Saat reseptor GABA diaktifkan akan terjadi peningkatan konduksi klorida
transmembran sehingga terjadi hiperpolarisasi membran sel post-sinap dan
inhibisi fungsi neuron post-sinap. Interaksi antara propofol dengan reseptor
GABA menurunkan kecepatan disosiasi neurotransmiter inhibisi dari reseptornya

sehingga memperpanjang efek GABA. Efek hipnotik propofol dihubungkan


dengan reseptor GABA ini.
Propofol juga diduga menginduksi potensiasi dari reseptor glisin pada
tingkat spinal dan memberikan kontribusi sebagai antinosisepsi dengan bekerja
pada reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA).

Dari penelitian

yang

membandingkan antara penggunaan propofol dengan sevoflurane dalam hal


timbulnya nyeri kronik setelah operasi mastectomy didapatkan bahwa insiden
nyeri kronik pada penggunaan propofol jauh lebih kecil dibanding penggunaan
sevoflurane (Rheum, 2013). Diduga propofol menghambat timbulnya nyeri kronik
melalui modulasi sensitisasi, tetapi propofol sendiri tidak dapat menurunkan
beratnya nyeri.

2.3.2.2 Efek propofol pada susunan saraf pusat


Propofol menurunkan Cerebral Metabolic Rate for Oxygen (CMRO2),
Cerebral Blood

Flow (CBF), dan tekanan intra kranial (TIK). Pemberian

propofol untuk sedasi pada pasien dengan Space Occupying Lesion (SOL)
intrakranial tidak menyebabkan peningkatan TIK. Pemberian propofol dengan
dosis besar, dapat menurunkan tekanan darah sehingga dapat menurunkan aliran
darah ke otak. Propofol menurunkan TIK, baik pada pasien yang TIK nya normal,
maupun yang TIK nya meningkat. Penurunan tekanan intra kranial ini (30%-50%)
sebanding dengan penurunan cerebral perfusion pressure (CPP). Efek
vasodilatasi propofol pada pembuluh darah cerebral lebih kecil bila dibandingkan
dengan agen anestesi inhalasi, sehingga hal ini memberikan keuntungan pada saat

10

prosedur pembedahan. Dengan pemberian propofol infus, reaktifitas normal


cerebral terhadap karbon dioksida dan autoregulasi dapat terpelihara.
Efek

hipnotik

propofol

sebagian

besar

oleh

karena

kerjanya

meningkatkan GABA, memicu ion klorida melalui ikatannya ke reseptor subunit GABAA. Propofol melalui kerjanya di reseptor GABAA, menghambat
pelepasan acethylcoline di hipokampus dan cortex prefrontal. Sistem 2adrenoreceptor juga berperan secara tidak langsung pada efek sedasi propofol.
Propofol juga menyebabkan penghambatan yang luas terhadap NMDA subtype
receptor glutamate dengan memodulasi saluran Natrium dan bekerja pada sistem
saraf pusat. Hasil penelitian menunjukan bahwa propofol memiliki efek depresi
langsung pada neuron-neuron di spinal cord. Efek hipnotik propofol bersifat
reversibel, dan propofol tidak memiliki efek analgesi.
Sama dengan obat-obat anetesi intravena yang lain, propofol tidak
mempengaruhi brainstem auditory evoked potensial. Pernah dilaporkan adanya
kejadian kejang setelah pemberian propofol, terutama pada saat induksi atau pada
saat akan sadar, namun jarang terjadi pada saat pemeliharaan. Propofol juga
dikatakan memiliki efek antikonvulsan, beberapa laporan mengatakan propofol
dapat digunakan sebagai anti kejang pada kasus epilepsi.
Efek neuroprotektif propofol masih kontroversial. Efek proteksi neuronal
mungkin disebabkan oleh karena propofol menurunkan perubahan pada adenosine
triphospate, Kalsium, Natrium dan Kalium yang disebabkan oleh hypoxic injury,
dan bekerja sebagai antioksidan dengan menghambat peroksidasi lemak. Namun
akhir-akhir ini ditemukan bahwa, propofol dapat melindungi neuron dari cidera

11

iskemik, dikarenakan excitotoxicity. Efek neuroprotektif

hanya terjadi pada

iskemia ringan saja, dan tidak terjadi efek neuroprotektif bila periode perbaikan
berlangsung lama.
Efek propofol pada elektroensefalogram (EEG)

yang dinilai setelah

pemberian 2,5 mg/kgbb diikuti dengan pemberian kontinu menunjukkan


peningkatan awal dalam irama alfa diikuti dengan pergeseran ke gamma dan
frekuensi theta. Pada pemberian propofol dari dosis 3g /mL ke dosis 8 g/mL
awalnya amplitudo akan meningkat dan diikuti penurunan amplitudo yang nyata
bila diberikan lebih dari 8 g/mL. Pada konsentrasi propofol

2,5g/mL,

sebanyak 50% tidak mampu menanggapi perintah lisan. (Stoelting, dkk., 2006)
2.3.2.3 Efek propofol pada sistem respirasi
Pemberian dosis induksi propofol dapat menyebabkan apnea. Kejadian
apnea ini dipengaruhi oleh dosis, kecepatan injeksi, dan premedikasi yang
diberikan sebelumnya. Sekitar 20% sampai 30% pasien mengalami apnea selama
induksi propofol. Durasi apnea yang terjadi akibat propofol dapat lebih dari 30
detik. Kejadian apnea yang berkepanjangan (>30 detik) semakin sering terjadi bila
mengunakan tambahan opiat, baik sebagai premedikasi atau sebelum induksi
anestesi.
Pemeliharaan anestesi dengan propofol (100 g/kg/menit), menyebabkan
penurunan volume tidal sebesar 40% dan peningkatan frekuensi nafas sebesar
20%, dimana perubahan ventilasi semenit tidak dapat diprediksi. Peningkatan
dosis dari 100 menjadi 200 g/kg/menit, menyebabkan penurunan volume tidal

12

lebih moderat (455 menjadi 380 mL), namun frekuensi nafas tidak mengalami
perubahan.
Pemberian propofol 1,5 sampai 2,5 mg/kgbb pada fase akut menyebabkan
peningkatan PaCO2 (13%- 22%) dan penurunan pH, sementara itu PaO2 tidak
berubah secara bermakna. Pemeliharaan dengan infus propofol (54 g/kg/menit)
akan menyebabkan peningkatan PaCO2 yang moderat dari 39 menjadi 52 mm Hg.
Bila dosis ini ditingkatkan menjadi dua kali lebih besar, perubahan PaCO2 tidak
terlalu bermakna. Propofol (50 sampai 120 g/kg/menit) biasanya juga menekan
respon ventilasi terhadap hipoksia, hal ini kemungkinan berkaitan dengan kerja
langsung pada kemoreseptor di karotis.
Propofol memiliki efek bronkodilatasi pada pasien dengan Penyakit Paru
Obstruktif

Kronis (PPOK), dan ditemukan pula propofol dapat mengurangi

kejadian wheezing pada pasien astma. Propofol melemahkan vagal (pada


konsentrasi kecil) dan melemahkan methacholine-induced broncoconstriction
(pada dosis besar). Hal ini kemungkinan disebabkan karena propofol memiliki
efek langsung pada reseptor muskarinik. Aktivitas bronkodilator yang dimiliki
propofol dipengaruhi oleh bahan pengawet yang digunakan. Propofol yang
menggunakan bahan pengawet metabisulfite tidak memiliki kemampuan untuk
menghambat

vagal

maupun

kemampuan

methacholine-induced

bronchoconstriction.
Propofol mempengaruhi patofisiologi pulmonal pada adult respiratory
distress syndrome. Pada hewan percobaan dengan septic endotoxemia, propofol
(10 mg/kg/jam) secara bermakna menurunkan radikal bebas dan cyclooxygenase

13

catalyzed lipid peroxidation. Dimana PaO2 dan hemodinamik terpelihara


mendekati nilai baseline. Namun hal ini belum dicobakan pada manusia. Propofol
pada dosis terapi juga melindungi macrophage tikus dari nitric oxide induce
apoptosis dan kematian sel.
Propofol

menurunkan

hypoxic pulmonary vasoconstriction. Efek

propofol pada tonus vasomotor pulmonar yaitu dengan menghambat acethylcoline


induced pulmonary vasodilatation melalui nitric oxide dan metabolit cytochrome
P-450 (seperti faktor endothelium- derived hyperpolarizing).
2.3.2.4 Efek propofol pada sistem kardiovaskular
Efek propofol yang paling menonjol pada sistem kardiovaskular adalah
penurunan tekanan darah arteri pada saat induksi. Penurunkan tekanan darah
terjadi oleh karena propofol menurunkan systemic vascular resistance (SVR) dan
menurunkan kontraktilitas otot jantung. Pemberian propofol dapat menurunkan
SVR sebesar 15 -25%, sementara akibat efeknya yang menurunkan kontraktilitas
otot jantung maka dapat menurunkan stroke volume sampai
menurunkan preload.

Karena itu pada

pasien tanpa

20%, dan

adanya

penyakit

kardiovaskular, dosis induksi 2 sampai 2,5 mg/kg dapat menyebabkan penurunan


tekanan darah sistolik 25% sampai 40%, perubahan serupa terlihat juga pada
tekanan darah rerata dan diastolik. Kejadian hipotensi dipengaruhi oleh besarnya
dosis, kecepatan injeksi, usia, dan kombinasi obat lain. Kombinasi fentanyl dan
propofol merupakan stimulus yang potent menyebabkan hipotensi. Pasien yang
mengalami hipotensi setelah diinduksi akan menjalani

masa perawatan

14

pascaoperasi lebih panjang dan angka kematian lebih besar bila dibandingkan
dengan yang tidak mengalami hipotensi setelah diinduksi.
Pemeliharaan anestesi dengan

propofol kontinu dapat menyebabkan

penurunan tekanan darah sistolik sebesar 20% sampai 30%. Pada pemberian dosis
pemeliharaan propofol 100 g/ kgbb/menit terjadi penurunan SVR yang
signifikan (30%), tetapi cardiac index dan stroke index tidak berubah. Efek
vasodilatasi, konsumsi oksigen dan penekanan pada otot jantung jauh lebih jelas
terjadi pada saat induksi dibandingkan pada pemeliharaan anestesi. Efek
vasodilatasi propofol berhubungan dengan: 1) penurunan aktivitas simpatis 2)
efek langsung dari mobilisasi kalsium di intraseluler otot polos 3) penghambatan
sintetis prostacyclin pada sel endothel 4) penurunan angiotensin II. Pada

pasien

dengan penyakit katup jantung, juga terjadi penurunan pulmonary artery wedge
dan pulmonary capillary wedge, hal ini akibat tidak langsung dari penurunan
preload dan afterload. Penurunan cardiac output setelah pemberian propofol bisa
oleh karena sympathetic drive, terhadap jantung.
Propofol dengan konsentrasi tinggi (10 g/mL) dapat menghilangkan efek
ionotropik

stimulasi adrenoreseptor , namun tidak terhadap stimulasi

aderenoreseptor , dan meningkatkan efek lusitropik (relaksasi) dari stimulasi .


Secara klinis efek depresan pada miokardial dan efek vasodilatasi tergantung dari
dosis dan konsentrasi dalam plasma. Denyut jantung tidak berubah secara
bermakna setelah induksi dengan propofol,

namun pernah dilaporkan terjadi

bradikardi dan asystole setelah induksi pada pasien dewasa sehat walaupun sudah
diberi propilaksis antikolinergik. Propofol

menghambat baroreflek, sehingga

15

menurunkan respon takikardi terhadap hipotensi. Propofol menurunkan tonus


parasimpatis kardiak (tergantung dosis). Propofol memiliki efek langsung yang
minimal terhadap fungsi sinoatrial node, atau pada atrioventicular yang normal,
dan jalannya konduksi yang lain. Propofol menurunkan respon denyut jantung
terhadap atropin tergantung dari dosis yang digunakan. Pada pemberian infus
propofol 10 mg/kg/jam, dosis kumulatif dari atropin 30 g/kg dapat meningkatkan
denyut jantung lebih

dari 20 kali/menit hanya sebesar 20%, sementara bila

dibandingkan dengan yang tidak diberi propofol maka akan mengalami kenaikan
denyut jantung lebih dari 20 kali/menit adalah sebesar 100%.
Pasien yang diberi menghirup udara kamar selama pemeliharaan anestesi
dengan propofol kontinu, dijumpai adanya penurunan SVR sebesar 30%, namun
tidak terjadi perubahan pada cardiac index dan stroke index. Berbeda dengan
pasien yang mendapat premedikasi narkotik, dan menghirup nitrous okside
(N2O), pemberian infus propofol (54 g/kg/menit dan 108 g/kg/menit) untuk
pemeliharaan anestesi selama pembedahan, tidak menurunkan SVR secara
bermakna dari nilai dasar, namun cardiac output (CO) dan stroke volume (SV)
menurun. Kondisi ini

mungkin karena penurunan aktivitas simpatis yang

disebabkan oleh propofol tergantung besarnya dosis yang diberikan.


Belum banyak penelitian yang membandingkan efek kardioprotektif
propofol dengan anestesi volatil pada pasien pembedahan jantung baik dengan
atau tanpa bypass. Dua penelitian besar yang membandingkan antara propofol dan
sevofluran pada pasien yang akan menjalani pembedahan jantung, melaporkan
bahwa nilai troponin pascaoperasi dan fungsi hemodinamiknya lebih baik pada

16

kelompok sevoflurane. Penelitian yang membandingkan desfluran dengan


propofol pada pasien pembedahan jantung off pump coronary artery bypass
menunjukan tidak ada perbedaan keduanya. Namun hasil yang berbeda saat
membandingkan pemberian propofol dosis tinggi (120 g/kg/menit), propofol
dosis rendah (60 g/kg/menit), dan titrasi isofluran selama pembedahan,
menunjukan bahwa nilai troponin dan fungsi hemodinamik pada kelompok
propofol dosis tinggi lebih baik bila dibandingkan dengan propofol dosis rendah
maupun kelompok isofluran. Dari hasil penelitian ini dapat ditarik kesimpulan
sementara, bahwa efek kardioprotektif

propofol tergantung pada dosis yang

digunakan, walaupun hal ini pun masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
2.3.3 Efek lain propofol
Propofol tidak terlalu mempengaruhi fungsi hati dan fungsi ginjal, hal ini
dibuktikan dengan tidak terjadi perubahan yang bermakna baik pada enzim
transaminase maupun pada konsentrasi kreatinin. Pemberian propofol yang lama
pada pasien dengan trauma hepatoseluler dapat menyebabkan asidosis laktat,
bradi-disritmia dan rabdomiolisis. Pemberian propofol yang lama dapat
menyebabkan urine berwarna kehijauan karena terdapatnya fenol di urine namun
ini bukan pertanda terjadinya perubahan fungsi ginjal. Propofol dapat
menyebabkan peningkatan ekresi asam urat di urine dan penurunan pH urine
sehingga urine menjadi lebih keruh, namun ini bukan karena terjadi gangguan
fungsi ginjal.
Propofol dapat menurunkan tekanan intraokuler secara bermakna bahkan
pada saat laringoskop intubasi. Propofol tidak meningkatkan blok neuromuskular

17

yang dihasilkan oleh obat-obat blok neuromuskular. Propofol tidak mempunyai


efek untuk menimbulkan electromyogram atau twitch tension. Pernah dilaporkan
bahwa kondisi intubasi yang baik dapat dicapai dengan pemberian propofol
tunggal. Propofol tidak memicu terjadinya malignant hyperthermia, dan propofol
merupakan pilihan yang tepat pada pasien-pasien dengan resiko malignant
hyperthermia.
Pemberian propofol dosis tunggal atau dengan pemberian infus yang lama,
tidak mempengaruhi sintesis kortikosteroid atau perubahan respon normal
terhadap stimulasi adreno corticotropic hormone (ACTH). Propofol

tidak

mempengaruhi sistem hematologik, ataupun fungsi fibrinolitik. Propofol tidak


mempengaruhi koagulasi maupun fungsi platelet. Pernah dilaporkan terjadi reaksi
anafilaktoid setelah pemberian propofol. Pada sebagian kecil pasien respon imun
terjadi pada seluruh komponen propofol, bukan hanya pada emulsi lemaknya.
Respon anafilaktoid semakin besar persentasenya pada pasien yang sebelumnya
memiliki riwayat alergi. Penggunaan propofol harus hati-hati pada pasien dengan
multiple alergi. Propofol sendiri tidak memicu pelepasan histamin di dalam
intralipid.
Pada pemberian dosis rendah (dosis subhipnotik) propofol memiliki efek
antiemetik yang bermakna. Propofol mampu memberikan antiemetik yang baik
pada pascaoperasi dengan dosis bolus 10 mg. Konsentrasi rata-rata propofol
mampu memberikan efek sebagai antiemetik adalah 343 ng/mL. Konsentrasi ini
dapat tercapai dengan pemberian propofol infus diloading 10 sampai 20 mg,
kemudian diikuti 10 g/kgbb/menit. Propofol juga memberikan efek antiemetik

18

yang baik setelah pemberian kemoterapi antikanker. Dosis subhipnotik propofol


juga dapat mengurangi cholestatic pruritus, dan propofol juga sama efektifnya
dengan nalokson dalam mengobati pruritus yang disebabkan oleh pemberian
opiat melalui spinal, walaupun tidak semua penelitian mendukung hal ini.
Propofol menurunkan Polymorpnuclear leukocyte chemotaxis, namun
tidak adherence phagocytosis dan killing. Hal ini berbeda dengan efek tiofental
yang menghambat seluruh respon kemotaktik ini. Propofol menghambat
pagositosis dan pembunuhan Staphylococcus Aureus dan Escherichia coli.
Temuan ini berhubungan dengan observasi yang menemukan peningkatan angka
ancaman hidup infeksi sistemik yang berhubungan dengan penggunaan propofol.
Pada vial dan syringe propofol yang terbuka ditemukan organisme positif pada
kulturnya. Intralipid yang bekerja sebagai pelarut untuk propofol merupakan
media yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme. Disodium edetate atau
metabisulfite yang ditambahkan sebagai pengawet, dapat memperlambat
pertumbuhan bakteri.
Pemberian propofol

berhubungan dengan peningkatan pankreatitis.

Munculnya pankreatitis mungkin berhubungan dengan hipertrigliseridimia. Pasien


yang mengalami hipertrigliseridimia dijumpai pada pasien tua, pasien yang
menjalani perawatan lama di ICU, dan menerima propofol dalam durasi yang
lama. Terlihat bijaksana bila konsentrasi serum trigliserida diperiksa secara rutin
pada pasien yang menggunakan propofol sebagai sedasi dalam waktu yang lama,
atau dengan infus kecepatan yang tinggi (terutama pasien geriatri).

19

2.3.4 Propofol pada penggunaan klinis


2.3.4.1 Propofol untuk induksi dan pemeliharaan anestesi
Propofol baik digunakan untuk induksi dan pemeliharaan anestesi. Dosis
induksi adalah 1-2,5 mg/kgbb (level di darah 2- 6 g/mL). Karakteristik fisiologis
yang menentukan dosis induksi adalah usia, indeks massa tubuh, dan volume
darah. Premedikasi dengan opiat dan benzodiazepin atau keduanya dapat
menurunkan dosis induksi. Pasien tua memerlukan dosis induksi lebih rendah
25% - 50% dari dosis lazim. Dosis 1 mg/kg (dengan premedikasi) atau 1,75
mg/kg (tanpa premedikasi) direkomendasikan untuk induksi anestesi pada pasien
diatas 60 tahun. Pasien geriatri dan pasien dengan penyakit penyulit (Status fisik
ASA III dan IV) lebih mudah jatuh pada kondisi hipotensi yang dalam, terutama
bila propofol dikombinasikan dengan opiat. Untuk mencegah hipotensi pada
pasien dengan penyakit penyerta, atau pasien yang akan menjalani pembedahan
jantung, pemberian loading cairan dapat ditoleransi dan propofol diberikan secara
titrasi dengan menaikan dosis sedikit-sedikit atau melalui infus, sampai pasien
mengalami kehilangan kesadaran. Untuk membatasi dosis dan menahan onset
yang lebih cepat, infus yang optimal adalah dengan kecepatan 80 mg/kgbb/ jam.
Dengan mengencerkan propofol menjadi 0,5 mg/mL, menurunkan pengaruh
hemodinamik pada saat induksi.
Untuk pemeliharaan anestesi propofol dapat diberikan dalam bentuk bolus
intermiten maupun infus kontinu. Setelah dosis induksi tercapai, maka diperlukan
bolus 10 sampai 40 mg setiap beberapa menit untuk memelihara anestesia. Karena

20

cara bolus intermiten perlu diberikan propofol dengan sering, maka lebih
menyenangkan bila diberikan dengan cara infus kontinu.
Beberapa skema digunakan untuk menjaga agar konsentrasi propofol
dalam plasma tetap adequate. Setelah induksi masih tetap diperlukan pemberian
propofol infus dengan kecepatan 100 sampai 200 g/Kg/menit. Kecepatan infus
dititrasi sesuai kebutuhan tiap-tiap individu dan stimulus pembedahan.
Konsentrasi opiat, midazolam, klonidin atau ketamin dapat diturunkan bila
dikombinasikan dengan propofol. Karena opioid mengubah konsentrasi propofol
yang diperlukan untuk anestesi, dosis keduanya baik propofol maupun opioid
mempengaruhi waktu terminasi obat-obatan dari waktu bangun dan pulih.
Kecepatan infus yang diperlukan untuk kombinasi dalam waktu pulih yang
pendek adalah propofol 1 sampai 1,5 mg/kgbb, dilanjutkan dengan infus kontinu
140 g/kg/menit selama 10 menit, dilanjutkan dengan 100 g/kg/menit dan
alfentanil 30g/kg dan diikuti dengan infus kontinu 0,25 g/kg/menit, atau
fentanyl 3 g/kg dilanjutkan dengan infus kontinu 0,02 g/kgbb/menit.
Peningkatan usia akan menurunkan kebutuhan infus propofol, karena itu
kebutuhan propofol akan relatif lebih besar pada anak-anak dan infant. Level
konsentrasi propofol dalam darah untuk membuat hilang kesadaran adalah 2,5
sampai 4,5 g/mL (bila dikombinasikan dengan N2O) dan yang dibutuhkan untuk
pembedahan adalah 2,5 sampai 8 g/mL. Pengetahuan tentang farmakokinetik
propofol memungkinkan penggunaan sistem infus yang dikendalikan oleh model
farmakokinetik

propofol

pemeliharaan anestesi.

yang digunakan

sebagai

infus

kontinu

untuk

21

2.3.4.2 Propofol sebagai agen sedasi.


Evaluasi penggunaan propofol infus kontinu sebagai sedasi pada pasienpasien yang menggunakan ventilasi mekanik di ruang intensif, membuktikan
bahwa pemberian propofol infus kontinu secara titrasi sampai tercapainya level
sedasi yang diinginkan, menunjukan terjadi pemulihan yang cepat setelah infus
dihentikan, tanpa memandang durasi dari infus yang diberikan. Pada penelitian
pasien yang disedasi di ruang intensif dengan propofol selama 4 hari, menunjukan
pemulihan kesadaran cukup cepat ( 10 menit). Kecepatan pemulihan dan
penurunan konsentrasi plasma saat infus dihentikan, sama antara penggunaan
infus kontinu selama 24 jam dan 96 jam. Keuntungan penggunaan propofol
sebagai sedasi di ruang intensif, karena kemungkinan propofol memiliki sifat
antioksidan.
Kecepatan infus yang diperlukan untuk

suplemen sedasi regional

anestesia pada pasien sehat adalah setengah atau lebih kecil dari dosis yang
diperlukan untuk anetesia umum. (misal 30 sampai 60 g/kg/menit). Pada pasien
geriatri ( > 65 tahun) dan pasien dengan kondisi sakit, kecepatan infus sebaiknya
diturunkan. Sebaiknya dilakukan titrasi pada masing-masing individu untuk
mendapatkan efek yang diinginkan. Pada tahun 1992 dilaporkan penggunaan
propofol sebagai sedasi pada anak yang mendapatkan bantuan ventilasi mekanik,
mengakibatkan

kematian sebagai efek sekunder infeksi saluran nafas atas.

Sindrome yang jarang (propofol infusion syndrome), juga dapat terjadi pada orang
dewasa.

22

Walaupun profil farmakokinetik dan farmakologi secara luas mendukung


propofol sebagai pilihan yang baik untuk sedasi jangka panjang (hari), juga harus
dipertimbangkan hal-hal berikut; efek hemodinamik, kebutuhan anelgesi, toleransi
dan munculnya hipertrigliserida (potensial pankreatitis) ataupun propofol infusion
syndrome.

Menggunakan dosis terendah yang paling memungkinkan untuk

tingkat sedasi yang diinginkan dan dengan memberikan sedation holiday harus
dipertimbangkan

pada

penggunaan

propofol

sebagai

sedasi.

FDA

merekomendasikan menghindari penggunaan propofol untuk sedasi yang lama


pada pasien pediatrik. Pedoman dari American College of Critical Care Medicine,
merekomendasikan bahwa pasien yang mendapatkan propofol sebagai sedasi
dalam waktu yang lama, seharusnya dilakukan monitoring terhadap: asidosis
metabolik dan aritmia. Agen sedasi alternatif harus disediakan untuk pasien yang
mendapatkan vasopressor atau inotrop atau gagal jantung. Rekomendasi dosis
propofol infus maksimal 80 g/kgbb/menit (<5 mg/kgbb/jam).
2.3.4.3 Propofol sebagai agen anestesi intravena total.
Propofol mengalami distribusi yang cepat dan luas, serta bersihan
metabolik yang cepat pula. Setelah pemberian dosis bolus terdapat fase distribusi
inisial yang cepat ke organ yang kaya perfusi seperti otak (the effect site). Setelah
itu proses berlanjut ke fase dua yang lebih lambat dimana terjadi redistribusi ke
organ yang lebih sedikit vaskularisasinya seperti otot. Pemulihan dari anestesi
adalah manifestasi redistribusi obat dari otak ke organ lain dan bersihan
metabolik. Turunnya konsentrasi obat setelah pemberian bolus atau penghentian
infus dapat dijelaskan dengan model tiga kompartemen.

23

Newson dkk., (1995), membandingkan pemberian propofol secara bolus


intermitten, syringe pump, dan TCI. Didapatkan bahwa kualitas sedasi, kondisi
operasi, dan waktu pulih sadar secara umum sama pada ketiga metode, namun
pada pemberian intermiten memerlukan lebih banyak intervensi pemberian obat,
sehingga disimpulkan bahwa pemberian secara infus kontinu memberikan lebih
banyak waktu bagi ahli anestesi untuk melakukan monitoring pasien.
Secara umum keuntungan penggunaan TIVA propofol adalah: dapat
memberikan anestesi dengan onset cepat dan durasi singkat sehingga dapat
dititrasi sesuai kebutuhan, mengurangi delirium atau agitasi pascaoperasi,
mengurangi kejadian mual dan muntah, mengurangi polusi udara kamar operasi
dan lingkungan, tidak dihubungkan dengan toksisitas renal akibat ion flourida,
tidak memerlukan mesin anestesi yang besar, merupakan anestesi pilihan pada
pasien yang diduga hipertermia maligna, teknik anestesi pilihan pada anestesi
yang memerlukan monitoring saraf dan merupakan anestesi pilihan pada kondisi
dimana akses jalan nafas terbatas atau harus berbagi dengan ahli bedah.
Dengan berkembangnya TCI maka konsep context sensitivity half time
diperkenalkan kembali. Context sensitivity half

time adalah waktu yang

diperlukan sampai konsentrasi obat menjadi setengah dari saat infus dihentikan.
Tidak seperti konsep farmakokinetik klasik yaitu bersihan obat tidak tergantung
dari cara pemberian obat, konsep context sensitivity half time memperkenalkan
pengaruh lamanya infus diberikan. Semakin banyak obat yang terakumulasi akan
menyebabkan semakin lama obat dieleminasi. Semakin lama durasi infus maka
semakin lama pula context sensitivity half timenya. Context sensitivity half time

24

sangat berguna dalam pemilihan obat serta memperkirakan pemulihan dari


anestesi. Karena context sensitivity half time propofol tidak lebih dari 40 menit,
dimana penurunan konsentrasi di plasma untuk pemulihan umumnya kurang dari
50% maka propofol

cocok digunakan untuk infus jangka panjang tanpa

mengganggu proses pemulihan.


2.4 Obat Anestesi Lokal
Obat anestesi lokal merupakan obat yang menghasilkan blokade konduksi
atau blokade natrium pada dinding saraf untuk sementara waktu, dari rangsangan
transmisi sepanjang saraf, pada saraf sentral atau perifer. Setelah obat anestesi
lokal keluar dari saraf maka konduksi saraf akan pulih secara

spontan dan

lengkap tanpa diikuti oleh kerusakan struktur saraf.


Obat anestesi lokal sintetik pertamakali dibuat dari turunan ester yaitu
prokain, diperkenalkan oleh Einhorn tahun 1905. Lidokain disintesa sebagai
anestesi lokal golongan amide oleh Lofgren tahun 1943. Lidokain menimbulkan
blok saraf lebih cepat, lebih kuat dan durasinya lebih lama dibandingkan dengan
prokain. Tidak seperti prokain, lidokain efektif digunakan secara topikal dan
sangat poten untuk obat anti disritmia jantung. Sehingga lidokain digunakan
sebagai standar pembanding dari obat anestesi lokal lainnya.
2.4.1 Struktur obat anestesi lokal
Obat anestesi lokal terdiri dari bagian lipofilik dan hidrofilik

yang

dihubungkan oleh rantai hidrokarbon. Bagian hidrofilik disusun oleh amine tersier
seperti; diethylamine, dimana bagian yang lipofilik disusun oleh cicin aromatik

25

yang tidak jenuh seperti paraaminobenzoic acid. Bagian lipofilik ini sangat
esensial untuk aktifitas anestesia.
Obat anestesi lokal dibagi menjadi dua golongan.
1. Golongan Ester (-COOC-)
Kokain, benzokain, ametocaine, prokain, tetrakain, kloroprokain.
2. Golongan Amide (-NHCO-)
Lidokain, mepivakain , prilokain, bupivakain, etidokain, dibukain,
ropivakain, levobupivakain.
Pembagian menjadi golongan ester dan amide ini erat kaitannya dengan
metabolisme dan reaksi alergi yang ditimbulkannya. Reaksi alergi lebih sering
disebabkan oleh golongan ester. Efek pada berbagai sistem organ yang timbul
setelah pemberian lidokain pada prisipnya adalah sama dengan efek yang
ditimbulkan oleh anestesi lokal golongan amide lainnya. Timbulnya efek samping
pada sistem organ ini berhubungan dengan dosis dan besarnya konsentrasi obat
dalam plasma. Efek samping lainnya mungkin disebabkan oleh reaksi
hipersensitivitas terutama terhadap zat pengawet, antiseptik dan pH obat. Di
Indonesia obat anestesi lokal yang paling sering dan banyak dipergunakan adalah
lidokain dan bupivakain
2.4.2 Anestesi lokal lidokain
Lidokain adalah obat anestesi lokal yang digunakan secara luas dengan
pemberian topikal dan suntikan. Larutan lidokain 0,5 % digunakan untuk anestesi
infiltrasi, sedangkan larutan 12 % untuk anestesi blok dan topikal. Obat anestesi
lokal ini efektif bila digunakan tanpa vasokonstriktor, tetapi kecepatan absorpsi

26

dan toksisitasnya akan bertambah, dan masa kerjanya lebih pendek. Efek samping
lidokain biasanya berkaitan dengan efeknya pada sistem saraf pusat, misalnya
mengantuk, pusing, parestesia, gangguan mental, koma, dan kejang. Metabolit
lidokain yaitu monoetilglisin xilidid dan glisin xilidid yang ikut berperan
dalam timbulnya efek ini. Pemberian lidokain dengan dosis berlebihan dapat
menyebabkan kematian akibat fibrilasi ventrikel, atau karena henti jantung.
2.4.2.1 Farmakokinetik lidokain
Lidokain mudah diserap dari tempat suntikan, dan dapat melewati
sawar darah otak. Kadarnya dalam plasma fetus dapat mencapai 60 % kadar
dalam darah ibu. Di dalam hati, lidokain mengalami dealkilasi oleh enzim
mixed-function oxydase membentuk monoetilglisin xilidid dan glisin
xilidid,

yang

kemudian

dapat

dimetabolisme

lebih

lanjut

menjadi

monoetilglisin dan xilidid. Kedua metabolit monoetilglisin xilidid maupun


glisin xilidid masih memiliki efek anestesi lokal. Pada manusia, 75 % dari
xilidid akan diekskresi bersama urin dalam bentuk metabolit akhir, 4 hidroksi2-6 dimetil-anilin .
Absorbsi lidokain dari tempat injeksi ke dalam sirkulasi darah dipengaruhi
oleh beberapa hal :
1. Tempat injeksi dan dosis
2. Penggunaan vasokonstriktor
3. Karakteristik/farmakologi dari obat
Membran mukosa (konjungtiva, mukosa trakea) memiliki barier yang
lemah terhadap lidokain dibandingkan dengan kulit yang intak, sehingga

27

pemberian melalui mukosa akan memberikan efek yang lebih cepat. Absorbsi
secara sistemik tergantung dari proporsi vaskular dari jaringan (intravena >
trakheal > interkostal > kaudal > paraservikal > epidural > pleksus brachialis >
skiatik > subkutan).
Proses hilangnya efek lidokain adalah sebagai berikut: Obat yang berada
di luar saraf akan diabsorpsi oleh sistem pembuluh darah kapiler. Sel saraf akan
melepaskan ikatannya dengan obat anestesi lokal. Hal ini disebabkan karena
adanya perbedaan konsentrasi obat di dalam dengan di luar sel. Setelah obat
diabsorpsi oleh sistem sirkulasi, didistribusikan ke organ-organ lain. Kemudian
terjadi proses detoksifikasi dan eliminasi.
Distribusi lidokain tergantung ambilan dari masing-masing organ, dimana
ambilan organ ditentukan oleh perfusi jaringan dan koefisien parsial dari jaringan
dan darah. Pada organ yang perfusinya tinggi (otak, paru, hati, ginjal dan jantung )
obat ini akan cepat didistribusikan. Paru-paru mengektraksi sebagian besar dari
lidokain. Kondisi ini menyebabkan ambang toksisitas lidokain lebih rendah bila
disuntikkan intra-arterial dari pada intra-vena. Kekuatan ikatan protein plasma
akan mempertahan lidokain didalam darah, sedangkan kelarutannya dalam lemak
akan memudahkan pengambilan oleh organ.
2.4.2.1.1 Metabolisme dan ekskresi lidokain
Metabolisme dan ekskresi lidokain oleh enzyme P-450 mikrosomal di
hepar

(N-dealkylation dan hydroxylation). Menurunnya fungsi hepar (sirosis

hepar) atau gangguan aliran darah portal (gagal jantung kongestif, vasopresor,

28

atau bloker reseptor H2) akan mengurangi kecepatan metabolisme lidokain,


sehingga meningkatkan kemungkinan toksisitas sistemik.
Waktu paruh lidokain antar 1 sampai 1,5 jam dimana efek samping, akan
berkurang pada rentang waktu ini. Namun efek analgesi lidokain dapat lebih
panjang daripada waktu paruhnya.
2.4.2.2 Farmakodinamik lidokain
2.4.2.2.1 Mekanisme kerja lidokain sebagai obat anestesi lokal
Lidokain mencegah terjadinya proses depolarisasi membran saraf pada
tempat suntikan, sehingga membran akson tidak bereaksi dengan asetilkolin.
Membran akson akan tetap dalam keadaan semipermiabel dan tidak terjadi
perubahan potensial. Keadaan ini menyebabkan aliran impuls yang melewati saraf
tersebut terhenti, dan menyebabkan

paresis sampai paralisis dan vasodilatasi

pembuluh darah pada daerah yang terblok.


Hambatan depolarisasi terjadi oleh karena :
1. Penggantian ion kalsium pada membran dengan bagian/ struktur dari
obat anestesi lokal.
2. Berkurangnya permeabilitas membran sel terhadap natrium
3. Menurunnya laju depolarisasi potensial aksi membran.
4. Menurunnya derajat depolarisasi sampai ambang potensial.
5. Gagalnya perkembangan penyebaran potensial aksi.

2.4.2.2.2 Mekanisme kerja lidokain menurunkan kebutuhan propofol

29

Dilaporkan bahwa lidokain dapat menurunkan konsentrasi Ce propofol


selama pembedahan. Lidokain menurunkan peningkatan tekanan rerata arteri dan
peningkatan nilai BIS yang muncul akibat stimulasi pembedahan. Tanpa adanya
manipulasi pembedahan maka lidokain tidak mempengaruhi kebutuhan propofol.
(Hans, dkk 2010)
F.r Altermatt dkk (2102) melaporkan bahwa pemberian lidokain intravena
secara kontinu pada pasien yang dilakukan laparaskopi kolesistektomi
menurunkan dosis pemeliharaan propofol sekitar 15-20% dibandingkan dengan
kelompok kontrol. Dimana konsentrasi propofol pada pembuluh darah arteri
kedua kelompok ditemukan

sama. Sparing effect yang terjadi diduga bukan

karena interaksi farmakokinetik keduanya, melainkan cenderung oleh karena efek


nosisepsi dari lidokain.
Lidokain juga berpotensiasi terhadap GABA-mediated Cl- currents, dengan
cara menghambat pengambilan GABA. Mekanisme ini juga dapat menjelaskan
bagaimana lidokain dapat meningkatkan efek hipnotik propofol. (Senturk,dkk
2002)
2.4.2.2.3 Efek lidokain pada sistem organ
Lidokain dapat menimbulkan efek pada sistem organ yang lain. Efek ini
disebabkan karena lidokain mengalami proses absorpsi dan distribusi ke dalam
sirkulasi dan jaringan tubuh sama seperti yang dialami oleh obat lain.
Kemampuannya dalam hal memblok reseptor spesifik pada saluran
natrium sehingga tidak terjadi potensial aksi, hal ini yang menyebabkan obat
anestesi lokal mempunyai kemampuan menghasilkan efek toksik sistemik.

30

2.4.2.2.3.1 Efek lidokain pada sistem saraf pusat


SSP rentan terhadap toksisitas anestesi lokal, dengan tanda-tanda awal
parestesia lidah, pusing, kepala terasa ringan, tinnitus, pandangan kabur, diplopia,
agitasi, twitching, depresi pernafasan, penurunan kesadaran, konvulsi, koma. Bila
terjadi kejang pemberian preparat benzodiazepin dan hiperventilasi dapat
meningkatkan ambang rangsang kejang anestesi lokal. Kejang tonik-klonik
biasanya didahului oleh twitching dari otot rangka. Disamping itu, pemberian
tiopental (1-2 mg/kgbb) dapat menghentikan kejang dengan cepat, tetapi ventilasi
dan oksigenasi harus adekuat.
Lidokain intravena (1,5 mg/kgbb) akan menurunkan aliran darah otak dan
mencegah meningkatnya TIK yang sering terjadi pada saat melakukan tindakan
intubasi.
Dibandingkan dengan bupivakain, lidokain lebih potensial menimbulkan
neurotoksisitas terutama pada konsentrasi yang tinggi dan kontak yang relatif
lama. Pada pemberian lidokain

konsentrasi 5% (hiperbarik) dikatakan

berhubungan dengan kejadian cauda equina syndrome. Trasient neurogical


symptoms yang ditandai dengan kesemutan, rasa terbakar dan nyeri pada
ektremitas bawah menjalar sampai ke pantat, sering terjadi pada spinal anestesi
(single shot). Gejala yang timbul adalah akibat dari perangsangan saraf pada
radik dorsalis, biasanya sembuh sendiri pada hari ke 3 7.
2.4.2.2.3.2 Efek lidokain pada sistem pernafasan
Lidokain

menekan

hipoxic

drive.

Kejadian

apneu

dikarenakan

kelumpuhan dari nervus frenikus dan interkostalis, atau terjadi penekanan pusat

31

pernafasan oleh karena obat anestesi

lokal. Lidokain dapat menimbulkan

relaksasi otot polos bronkus, sehingga pemberian lidokain 2% dengan dosis 1,5
mg/kgbb dapat mencegah reflek kontraksi bronkus pada saat melakukan
laringoskopi-intubasi.
2.4.2.2.3.3 Efek lidokain pada sistem kardiovaskular
Pada umumnya, semua obat anestesi lokal secara otomatis menyebabkan
depres dari otot jantung dan menurunkan durasi periode refrakter. Semua obat
anestesi lokal kecuali kokain menghasilkan relaksasi otot polos. Gejala toksik
mayor terhadap kardiovaskular timbul bila konsentrasi lidokain dalam darah
mencapai tiga kali konsentrasi yang menyebabkan kejang.
Konsentrasi lidokain yang rendah berguna untuk menangani beberapa tipe
dari aritmia ventrikular. Anestesi lokal tidak mempengaruhi kontraktilitas otot
jantung dan tekanan darah arteri bila diberikan dengan dosis yang tepat
(intravena). Pemberian lidokain intravena dosis 1,5 mg/kgbb 1-3 menit sebelum
laringoskopi-intubasi, dapat mencegah timbulnya hipertensi yang disebabkan oleh
laringoskopi intubasi.
2.4.2.2.3.4 Efek lidokain pada sistem muskuloskletal
Pada saat penyuntikkan langsung ke dalam otot rangka (contohnya trigger
point injection), obat anestesi lokal bersifat miotoksik (bupivakain > lidocaine>
procaine). Secara histologi, hiperkonsentrasi dari miofibril mengakibatkan
degenerasi dan lisis, odema, serta nekrosis. Proses regenerasi biasanya terjadi
dalam waktu 3-4 minggu.

32

2.4.2.2.3.5 Efek lidokain pada sistem hematologi


Terjadi penurunan proses koagulasi saat pemberian lidokain (pencegahan
proses trombosis dan penurunan agregasi platelet) dan meningkatkan terjadinya
fibrinolisis dari whole blood. Efek seperti ini berhubungan dengan penurunan
efikasi dari epidural autologus.
2.4.2.3 Indikasi dan dosis lidokain
Pada semua kasus seharusnya dipilih konsentrasi dan dosis obat paling
kecil yang masih dapat menimbulkan efek yang diinginkan. Dosis sebaiknya
dikurangi pada anak-anak pada orang tua, pada pasien dengan penyakit jantung
dan pada pasien dengan penyakit hati. Onset dan durasi anestesia serta relaksasi
otot berbanding lurus dengan volume dan konsentrasi obat yang diberikan.
Sehingga dengan meningkatkan konsentrasi dan volume obat, onset akan lebih
cepat dan durasinya lebih panjang serta relaksasi otot lebih besar.
Untuk orang dewasa sehat, dosis maksimal lidokain dengan efineprin yang
dianjurkan adalah tidak lebih dari 7 mg/kg bb dan total dosis yang dianjurkan
adalah tidak lebih dari 500 mg. Bila digunakan tanpa efineprin dosis maksimalnya
tidak boleh lebih dari 4,5 mg/kgbb dan dosis totalnya tidak lebih dari 300 mg.
Dosis untuk anestesi regional intravena pada orang dewasa, dosisnya tidak boleh
melebihi 4 mg/kgbb.
2.4.2.4 Efek samping lidokain
Efek samping lidokain berkaitan langsung dengan kadar lidokain dalam
serum. Efek samping lidokain jarang ditemukan bila level lidokain di serum
sekitar 2-6 g/mL. Efek samping lidokain lebih sering ditemukan pada orang yang

33

memiliki gangguan fungsi hati, penyakit paru dimana ditemukan masalah retensi
CO2 dan pada pasien-pasien dengan gagal jantung kongestif. Gejala yang
ditimbulkan akibat efek samping lidokain adalah:
-

Ringan : (tingkat serum 3-8 g/mL) mati rasa dan keram di jari-jari tangan
dan jari-jari kaki, mati rasa dan sensasi yang tidak seperti biasa di sekitar
mulut, terasi ngilu di mulut, telinga mendenging atau pusing.

Sedang: (tingkat serum 8-12 g/mL) mual dan muntah, pusing yang berat,
tuli, tremor, perubahan tekanan darah dan nadi.

Berat : (tingkat serum > 12 g/mL) mengantuk, kedutan pada otot, kejang,
penurunan kesadaran, aritmia dan henti jantung.

2.5 Alat Menilai Kedalaman Anestesi Bispectral (BIS) Index


Guedel telah melakukan pembagian stadium anestesi secara sistematis
pada pasien yang mendapat anestesi umum dengan eter. Tindakan pembedahan
dapat dilakukan dengan optimal saat pasien berada pada stadium tiga, plana tiga.
Perubahan stadium anestesi dinilai dengan melihat perubahan tanda-tanda klinis
yang terjadi pada pasien, mulai dari refleks bulu mata, ukuran pupil, irama dan
volume respirasi sampai parese otot-otot bantu nafas. Saat ini stadium anestesi
klasik tersebut sulit diterapkan karena obat-obat yang dipakai untuk mencapai
trias anestesi sudah bersifat spesifik.
Kedalaman anestesi merupakan masalah klinis praktis yang sangat
fundamental. Pemberian obat obat anestesi akan mendepresi sistem saraf pusat,
sistem kardiovaskuler dan sistem lainnya, sehingga kedalaman anestesi yang
berlebihan dapat bersifat toksik bahkan menyebabkan kematian. Jika kedalaman

34

anestesi kurang akan terjadi kondisi light anesthesia yang menyebabkan


morbiditas bagi pasien. Dengan mengetahui kedalaman anestesi maka hal-hal
tersebut diatas bisa dihindari sehingga morbiditas dan mortalitas bisa
dikurangi.(Prabhar Kumar dan Thomas Koshy, 2007)
Bispectral Index menawarkan anestesi profesional dengan metode
langsung dan akurat untuk memonitor kondisi otak secara terus menerus
sepanjang perjalanan pelayanan anestesi. Secara khusus BIS Indek menyediakan
pengukuran efek hipnotik anestesi.
Inti dari teknologi pemantauan otak adalah surface dari EEG. Sinyal
fisiologis yang kompleks ini adalah bentuk gelombang yang mewakili semua
jumlah aktivitas otak yang dihasilkan oleh korteks serebral. Terdapat dua
karakteristik gelombang EEG yaitu:

1)Amplitudo kecil (20-200 microvolts)

2)Frekuensi Variabel (0-50 Hz).


Pemberian obat anestesi akan menyebabkan perubahan EEG. Walaupun
masing-masing obat dapat menginduksi beberapa efek khusus pada EEG, namun
pola perubahan secara keseluruhan sangat mirip.(Billard V, dkk., 2001).
Perubahan EEG yang khas meliputi: Peningkatan rata-rata amplitudo (kekuatan)
dan penurunan frekuensi rata-rata.(Gambar 2.1)
Gelombang EEG yang kompleks dapat dibagi menjadi komponenkomponen individu. Data ini kemudian dianalisis menggunakan teknik yang
disebut analisis power spectral dan ditampilkan sebagai daya tiap komponen
frekuensi dalam power spectrum (Gambar 2.2). Analisis power spectral dapat

35

menghasilkan satu atau lebih gambaran numerik yang dikenal sebagai parameter
EEG yang telah diproses. (Struys M M, dkk., 2002)

Gambar 2.1. Pola umum dari perubahan EEG yang diobservasi selama
peningkatan dosis dari anestesi dengan peningkatan efek anestesi, frekuensi
EEG menunjukkan penurunan menghasilkan pola transisi frekuensi bergantung
kelas : Beta Alfa Theta Delta.

Gambar 2.2. Tampilan power spectrum dan analisis dari segmen EEG yang
tampak - Pita frekuensi klasik didefinisikan oleh batasan frekuensi, dan berbayang
dalam warna berbeda untuk ilustrasi.

36

Kekuatan analisis spektral dan parameter EEG dapat digunakan untuk


mengukur efek dari anestesi pada otak. Parameter EEG olahan yang telah diteliti
sebagai indikator efek anestesi meliputi:
Sembilan puluh lima persen frekuensi spektral tepi
Frekuensi Median
Daya relatif delta
Parameter-parameter ini adalah karakteristik yang menggambarkan
kekuatan spektrum EEG. Frekuensi median dan 95% frekuensi spektral tepi
menunjukkan frekuensi spektral yang mengandung 50% atau 95% dari kekuatan
di EEG. Daya delta relatif menggambarkan persentase daya EEG dalam kisaran
delta band (0,5-3,5 Hz).
Analisis bispektral adalah metodologi pemerosesan sinyal canggih yang
menilai

hubungan

antara

komponen-komponen

sinyal

dan

menangkap

sinkronisasi dalam sinyal seperti EEG. Dengan mengukur korelasi antara semua
frekuensi dalam sinyal, analisis Bispektral (bersama-sama dengan power spectral
dan analisis EEG kortikal) menghasilkan keterangan tambahan EEG mengenai
aktivitas otak selama hipnosis. (Renna M, 2000)
Selama pengembangan BIS indek, fitur ini diidentifikasi dengan
menganalisis database EEG dari lebih 5.000 subjek yang menerima satu atau
lebih dari agen hipnotis paling sering digunakan dan yang telah dievaluasi dengan
penilaian sedasi simultan. (Glass P S, dkk., 1997)
BIS indek adalah skala angka antara 0 dan 100 berkorelasi dengan titik
akhir klinis yang penting selama pemberian obat anestesi. Nilai BIS mendekati

37

100 menunjukkan keadaan terjaga, sementara 0 menunjukkan efek maksimal EEG


(isoelektrik). Nilai BIS indek dibawah 70 kemungkinan recall eksplisit menurun
secara drastis. Pada nilai BIS indek kurang dari 60, pasien memiliki probabilitas
kesadaran yang sangat rendah. Daya ingat akan kata atau gambar hilang ketika
BIS indek menurun ke kisaran 70-75, menunjukkan bahwa gangguan memori
terjadi ketika nilai BIS indek masih lebih tinggi dari nilai yang menunjukan
hilangnya kesadaran. Nilai BIS indek lebih rendah dari 40 menandakan efek
anestesi berlebih pada EEG. Uji klinis prospektif telah menunjukkan bahwa
mempertahankan nilai-nilai BIS indek di kisaran 40-60 memastikan efek hipnotis
yang memadai selama anestesi umum.
BIS indek memberikan pengukuran langsung status otak, bukan menilai
konsentrasi obat tertentu. Misalnya, nilai BIS Indek menurun saat tidur alami serta
selama pemberian agen anestesi. Penurunan yang dihasilkan selama proses alami
tidur, tidak disebabkan oleh penggunaan obat-obat anestesi. (Scott D, Kelley,
2004)
Pada penelitian terbaru, BIS indek memiliki probabilitas prediksi
signifikan lebih tinggi untuk tingkat kesadaran dibandingkan dengan nilai-nilai
hemodinamik tekanan darah dan denyut jantung. Dalam penelitian ini selama
anestesi propofol, nilai ambang BIS indek 60 mencapai sensitivitas 99% dan
spesifisitas

81%

untuk

memprediksi

respon

terhadap

perintah

verbal,

menunjukkan keakuratan BIS indek dalam penilaian ketidaksadaran. Meskipun


terdapat respon terhadap perintah verbal, namun pasien tidak memiliki episode
memori

38

Setelah bolus dosis tunggal propofol atau thiopental, interval penilaian kesadaran
pasien dengan meminta mereka untuk menekan jari-jari penyidik dan BIS Indek
dipantau terus menerus. Meskipun intensitas dan durasi efek hipnotis bervariasi
antara pasien, pemulihan kesadaran terjadi secara konsisten pada nilai BIS Indek
di atas 60. Nilai BIS Indek <65 mengindikasikan probabilitas <5% kesadaran
yang akan kembali dalam 50 detik. Nilai BIS indek kurang dari 60 merupakan
indikator yang sangat baik menandakan pasien tidak sadarkan diri dan akan
memiliki nilai probabilitas yang rendah dalam mengingat kembali memori.
2.5.1 Sistem BIS
Komponen sistem BIS (Gambar 2.3)
Sistem BIS terdiri dari 5 komponen :
-

Sensor BIS

Patient interface cable (PIC)

Digital signal converter (DSC)

Mesin BIS

Monitor display

Sensor BIS
Sensor BIS adalah sistem elektroda canggih yang secara khusus didesain
berkerja dengan sistem BIS. Terdapat berbagai ukuran sesuai dengan ukuran
pasien dan aplikasi klinis yang berbeda (Gambar 2.4).

39

Gambar 2.3. Komponen sistem BIS

Setelah persiapan pada kulit kepala pasien, sensor sekali pakai ini diletakan di
dahi pasien dengan orientasi spesifik dari hemisfer kiri maupun kanan. Teknologi
canggih elektroda ini menghasilkan nilai impedasi rendah, memungkinkan
penangkapan sinyal EEG mentah dan meningkatkan ketepatan sinyal EEG. Sistem
BIS rutin menguji sensor impedansi untuk memastikan kinerja sensor yang dapat
diterima selama pemantauan klinis.

Gambar 2.4. Sensor BIS

40

Patient Interface Cable (PIC)


Gelombang mentah EEG ditransmisi dari sensor menuju patient interface cable ke
konverter sinyal digital (Gambar 2.5)

Gambar 2.5. Patient Interface Cable

Digital Signal Converter (DSC)


Sinyal digital konverter (Gambar 2.6) menerima, menguatkan dan
mendigitalkan sinyal EEG baku untuk pengolahan selanjutnya dan analisis. Selain
itu, filter utama dan langkah-langkah pemprosesan sinyal terjadi pada DSC untuk
mengidentifikasi dan menolak beberapa jenis artefak listrik (misalnya, filter
elektrokauter dalam sistem DSC-XP). Data EEG digital bergerak melalui kabel
DSC ke mesin BIS.

41

Gambar 2.6. Digital Signal Converter

Mesin BIS
Mesin BIS adalah jantung dari sistem BIS, berisi mikroprosesor yang
bertanggung jawab untuk pemerosesan sinyal yang cepat dan perhitungan BIS
Indek. Beberapa langkah yang terlibat dalam analisis EEG mencakup beberapa
metode deteksi dan pengolahan artefak. Segmen EEG yang terganggu oleh adanya
artefak tidak termasuk dalam perhitungan BIS Indek.
Semua nilai BIS diperbarui setiap detik tetapi mencerminkan seperangkat
fungsi smoothing baik di 15 atau 30 detik untuk meminimalkan fluktuasi yang
berlebihan.
Monitor BIS
Semua sistem BIS berhubungan dengan monitor, baik monitor BIS sendiri
atau monitor multiparameter terintegrasi. Umum untuk semua sistem layar, yaitu
kemampuan untuk menampilkan nilai BIS, tren BIS dan data tambahan yang
penting termasuk:
Signal Quality Index (SQI)

42

Electromyogram (EMG)
Suppression Ratio (SR)
Bentuk gelombang EEG
SQI dan aktivitas EMG dapat ditampilkan dalam modus grafis atau digital.
Bentuk gelombang EEG dapat ditampilkan pada monitor secara real-time. Layar
monitor juga melakukan koordinasi berbagai tanda komunikasi dan alarm.
Keuntungan penggunaan alat pengukur kedalaman anestesi adalah dapat
mengurangi kejadian terbangun saat operasi dilakukan terutama pada pasien
beresiko tinggi, mengurangi kejadian kelebihan dosis obat atau kekurangan dosis
obat yang menyebabkan terbangunnya pasien selama operasi, mengurangi
kejadian mual muntah, memperpendek waktu pemulihan, mengurangi biaya
penggunaan obat anestesi dan menurunkan morbiditas-mortalitas pasien.

Você também pode gostar