Você está na página 1de 38

LAPORAN KASUS

SEORANG PEREMPUAN 32 TAHUN DENGAN


SIALOLITHIASIS DAN HIPOTIROID

Diajukan untuk melengkapi tugas kepaniteraan senior Ilmu Penyakit Gigi dan
Mulut Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
Dosen Pembimbing
drg. Devi Farida Utami, Sp.BM
Disusun Oleh:
Kelompok 3
Afrizal Eka Ramadhani
22010115210042
R. Ernandy Aryo H.
22010115210155
Faramita Nur Izzaty
22010115210032
Arina Ulfah
22010115210106
Talita Zata Isma
22010115210157
Periode 22 Maret-15 April 2016
ILMU PENYAKIT GIGI DAN MULUT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2016
HALAMAN PENGESAHAN
Laporan kasus dengan judul Seorang Perempuan 32 Tahun dengan
Sialolithiasis dan Hipotiroid telah dilaporkan di depan pembimbing mahasiswa
pada tanggal April 2016 guna melengkapi tugas kepaniteraan senior Ilmu Penyakit
Gigi dan Mulut Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang.

Semarang, April 2016


Pembimbing,

drg. Devi Farida Utami, Sp.BM


BAB I
PENDAHULUAN
Rongga mulut setiap harinya dibasahi oleh 1000 hingga 1500 ml saliva.
Kesehatan lapisan mukosa mulut dan faring serta fungsi pengunyahan dan
pernapasan dalam tingkatan yang lebih rendah, bergantung pada cukupnya aliran
saliva. Saliva berasal dari tiga pasang kelenjar saliva mayor, yaitu kelenjar
parotidea, kelenjar sublingualis, dan mandibularis, dan sejumlah kelenjar minor
pada mukosa dan submukosa bibir, palatum, dan lidah.
Salah satu kelainan yang bisa terjadi adalah obstruksi pada kelenjar saliva,
misalnya sialolithiasis, sialolithiasis adalah pembentukan batu (calculi) diduga
karena penumpukan bahan degeneratif yang diproduksi oleh kelenjar saliva dan

mengalami proses kalsifikasi hingga terbentuk batu, sialolit ini umumnya berasal
dari adanya deposit kalsium dan memberikan rasa tidak nyaman pada penderita.
Rasa sakit biasanya timbul ketika ada makanan yang sangat merangsang sekresi
saliva.
Salah satu kelenjar yang mensekresi hormon yang sangat berperan dalam
metabolisme tubuh manusia adalah kelenjar tiroid. Dalam pembentukan hormon
tiroid

tersebut

dibutuhkan

persediaan

unsur

iodium

yang

cukup

dan

berkesinambungan. Penurunan total sekresi tiroid biasanya menyebabkan


penurunan kecepatan metabolisme basal kira-kira 40-50% di bawah normal.
Hipotiroid adalah kelainan yang sering ditemukan dengan ditandai dengan
ketidakcukupan produksi hormon tiroid.

Kekurangan produksi hormon tiroid

disebabkan oleh kegagalan tiroid primer dan dapat juga disebabkan oleh
penurunan sekresi TSH karena insufisiensi hipofisis atau kegagalan hipotalamus
dalam melepaskan TRH.
Manifestasi klinis yang sering muncul akibat adanya gangguan
metabolisme dari tiroid ini antara lain dapat menyebabkan kelelahan serta
terjadinya penurunan fungsi pernapasan, juga berdampak padasistem sirkulasi
seperti bradikardia, disritrmia dan hipotensi. Selain itu menyebabkan gangguan
pada fungsi gastrointestinal seperti konstipasi dan juga turunnya suhu tubuh
karena produksi kalor yang menurun sehingga terjadi intoleransi suhu dingin.
Terapi pembedahan pada pasien sialolithiasis dengan hipotiroid hampir
semua bersifat elektif, mengingat risiko kematian perioperatif meningkat pada
pasien dengan penyakit tiroid yang tidak terkontrol atau tidak terdiagnosis. Selain

pengaruhnya yang dominan pada sistem kardiovaskular, hipotiroidisme juga


mempengaruhi pemberian obat-obat anestesi akibat peningkatan atau penurunan
bersihan dan volume distribusi obat pada kondisi hipometabolisme.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Sialolithiasis
Definisi
Sialolithiasis merupakan salah satu penyebab terjadinya pembengkakan
pada kelenjar submandibula atau parotis, karena dapat menimbulkan obstruksi
pada duktus kelenjar saliva. Pembentukan batu (calculi) pada sialolithiasis diduga
karena penumpukan bahan degeneratif yang diproduksi oleh kelenjar saliva dan
mengalami proses kalsifikasi hingga terbentuk batu. Sebagian besar (80% - 90%)
sialolithiasis terjadi di duktus submandibula (warthons duct) karena struktur
anatomi duktus dan karakteristik kimiawi dari sekresi kelenjar saliva. Kedua
faktor ini mendukung terjadinya proses kalsifikasi pada duktus submandibula
sehingga muncul sialolithiasis.

Etiologi dan Patofisiologi


Meskipun penyebab pasti sialolithiasis masih belum jelas, beberapa batu
saliva mungkin berhubungan dengan infeksi kronis (Staphylococcus aureus,
Streptococcus viridans) dari kelenjar, Sjgren's sindrom dan atau peningkatan
kalsium, dehidrasi, yang meningkatkan viskositas saliva; asupan makanan
berkurang, yang menurunkan permintaan untuk saliva, atau obat yang
menurunkan produksi saliva, termasuk anti histamin tertentu, anti hipertensi
(diuretic) dan anti psikotik, tetapi dalam banyak kasus dapat timbul secara
idiopatik.
Pada batu sialolithiasis, didapatkan gambaran menyerupai struktur
mitokondria, lisosom, dan jaringan fibrous. Substansi tersebut diduga sebagai
salah satu penyebab proses kalsifikasi dalam sistem duktus submandibula.
Etiologi sialolithiasis belum diketahui secara pasti, beberapa patogenesis dapat
digunakan untuk menjelaskan terjadinya penyakit ini. Pertama, adanya ekresi dari
intracellular microcalculi ke dalam saluran duktus dan menjadi nidus kalsifikasi.
Kedua, dugaan adanya substansi dan bakteri dari rongga mulut yang migrasi ke
dalam duktus salivary dan menjadi nidus kalsifikasi. Kedua hipotesis ini sebagai
pemicu nidus organik yang kemudian berkembang menjadi penumpukan substansi
organik dan inorganik.
Hipotesis lainnya mengatakan bahwa terdapat proses biologi terbentuknya
batu, yang ditandai menurunnya sekresi kelenjar, perubahan elektrolit, dan

menurunnya sintesis glikoprotein. Hal ini terjadi karena terjadi pembusukan


membran sel akibat proses penuaan.

Pemeriksaan Penunjang
Teknik imaging yang ada untuk menilai kelenjar dan duktus kelenjar saliva
antara lain Plain-film Radiography, Computed Tomography Scan (CTScan),
Sialography, Magnetic Resonance Imaging (MRI), Diagnostic Ultrasound, dan
Nuclear Scintigraphy.
a. Plain - Film Radiography
dapat digunakan untuk menentukan kelainan pada kelenjar saliva. Teknik
ini banyak memberikan informasi selain data dari pemeriksaan klinis. Pada
evaluasi sialolithiasis submandibula, masih efektif untuk melihat batu pada
duktus, tapi sulit untuk mengevaluasi batu di glandula atau batu yang
kecil. Hanya 20% sialolith yang radiotransparent sehingga metode ini
hanya digunakan untuk skreening bila metode lainnya tidak tersedia.
Untuk memaksimalkan hasil, dianjurkan pengambilan film dari berbagai
sudut yang berbeda, termasuk dari sudut dasar mulut. Hal ini penting
untuk mendapatkan gambaran yang jelas, dimana batu kadang-kadang
tertutup oleh tulang mandibular
b. Computed Tomography Scan (CT-Scan)
Kehadiran CT Scan merevolusi diagnostic imaging sejak ditemukannya
pada tahun 1970-an, terutama untuk kasus head and neck imaging. Dia
sering digunakan, karena cukup adekuat untuk mendiagnosis sialolithiasis

dengan potongan tiap milimeter. Akan tetapi CT scan tidak bisa


menentukan lokasi batu yang kecil secara tepat, kadang kala irisannya
tidak mengenai duktus sehingga tidak terlihat gambaran hyperdense.
c. Ultrasonography (USG)
USG memiliki keterbatasan untuk mendeteksi sialolithiasis. Untuk
memperjelas hasil bisa menggunakan resolusi tinggi (7-12 MHz) dengan
tranducer linier dan kontak permukaan yang kecil. Gambar diperoleh
terutama menggunakan bidang aksial submandibula dengan setelan
oblique untuk menentukan letak lesi dan menelusuri pembuluh darah.
Penekanan seminimal mungkin untuk menghindari distorsi anatomis
d. Sialography (Sebagai Gold Standar)
Sialografi merupakan upaya untuk membuat gambaran radiopaque
(opacification) pada duktus kelenjar saliva dengan memasukkan bahan
kontras berupa water soluble radiopaque dye secara retrograde
intracanular. Cara ini dianggap sebagai gold standar karena dapat
memberikan gambaran yang jelas tidak hanya batu, tapi juga struktur
morfologis duktus seperti lesi karena trauma, massa, proses inflamasi, dan
penyakit obstruktif lainnya. Keuntungan sialografi bisa bersifat terapeutik,
dimana cairan dye menyebabkan dilatasi pada duktus dan batu terdorong
keluar melalui orifisium duktus (caruncula sublingualis). Kerugian metode
ini antara lain, dapat menyebabkan nyeri, infeksi, anafilaktik shock, dan
perforasi dinding duktus, kadang-kadang justru mendorong batu menjauhi
caruncula. Oleh karena itu, sialografi tidak boleh dilakukan bila terjadi

infeksi akut karena akan memicu meningkatnya proses inflamasi.


Kelemahan ini diminimalisir dengan teknik pengembangan tanpa kontras,
cukup dengan merangsang saliva sebagai pengganti fungsi kontras (yaitu
Magnetic Resonance Sialography).
e.

Magnetic Resonance (MR) Sialography


MR Sialografi merupakan prosedur diagnostik nonivasif yang relatif baru
dengan akurasi tinggi untuk mendeteksi calculi, sensitifitas 91%
spesifisitas 94% nilai pediksi positif 97% dan nilai prediksi negatif 93%.
Hal ini lebih baik dari sialografi konvensional. Secara teknis fungsi bahan
kontras digantikan oleh saliva (natural contras) yang dirangsang
produksinya dengan orange juice, dan menggunakan imaging T2-Weighted
turbo spin-echo slides bidang sagital dan axial.Keuntungannya adalah
tidak invasif, tidak menggunakan bahan kontras, tidak ada radiasi, tidak
menimbulkan rasa nyeri, bahkan juga bisa mengevaluasi kelainan fungsi
kelenjar (Dynamic MR sialography). Kekurangan teknik ini membutuhkan
waktu yang lebih lama pada proses merangsang saliva sebagai kontras
alami, menimbulkan rasa tidak nyaman, dan biaya sangat mahal.

Diagnosa Klinis
Pada obstruksi parsial kadang-kadang sialolithiasis tidak menunjukkan
gejala apapun (asimptomatis). Nyeri dan pembengkakkan kelenjar yang bersifat
intermitten merupakan keluhan paling sering dijumpai dimana gejala ini muncul
berhubungan dengan selera makan (mealtime syndrome). Pada saat selera makan

muncul sekresi saliva meningkat, sedangkan drainase melalui duktus mengalami


obstruksi sehingga terjadilah stagnasi yang menimbulkan rasa nyeri dan
pembengkakan kelejar.
Stagnasi yang berlangsung lama menimbulkan infeksi, sehingga sering
dijumpai sekret yang supuratif dari orifisium duktus di dasar mulut. Kadangkadang juga timbul gejala infeksi sistemik. Pada fase lanjut stagnasi menyebabkan
atropi pada kelenjar saliva yang menyebabkan hiposalivasi, dan akhirnya terjadi
proses fibrosis. Palpasi bimanual di dasar mulut arah posterior ke anterior sering
mendapatkan calculi pada duktus submandibula, juga dapat meraba pembesaran
duktus dan kelenjar. Perabaan ini juga berguna untuk mengevaluasi fungsi
kelenjar saliva (hypofunctional atau non-functional gland).

Terapi
1. Tanpa Pembedahan
Pengobatan klasik silolithiasis (medical treatment) adalah penggunaan
antibiotik dan anti inflamasi, dengan harapan batu keluar melalui
caruncula secara spontan. pengobatan yang diberikan adalah simptomatik,
nyeri diobati dengan NSAID (e.g ibuprofen, 600 mg setiap 8 jam selama 7
hari) dan infeksi bacteria diobati dengan antibiotik golongan penicillin dan
Cephalosporins, (875mg amoxicillin dan asam klavulanat 125 mg setiap 8
jam untuk jangka waktu satu minggu ) atau augmentin, cefzil, ceftin,
nafcillin, diet kaya protein dan cairan asam termasuk makanan dan
minuman juga dianjurkan untuk menghindari pembentukan batu lebih

lanjut dalam kelenjar saliva, sialologues (lemon tetes yang merangsang


Salivasi), batu dikeluarkan dengan pijat atau masase pada kelenjar.
Pada beberapa kasus dimana batu berada di wharton papillae, dapat
dilakukan tindakan marsupialization (sialodochoplasty). Sering kali batu
masih tersisa terutama bila berada di bagian posterior Wartons duct,
sehingga pendekatan konservatif sering diterapkan.
2. Pembedahan
Sebelum teknik endoskopi dan lithotripsi berkembang pesat, terapi untuk
mengeluarkan batu pada sialolithiasis submandibula delakukan dengan
pembedahan, terutama pada kasus dengan diameter batu yang besar
(ukuran terbesar sampai 10 mm), atau lokasi yang sulit. Bila lokasi batu di
belakang

ostium

duktus

maka

bisa

dilakukan

tindakan

simple

sphincterotomy dengan anestesia lokal untuk mengeluarkannya. Pada batu


yang berada di tengah-tengah duktus harus dilakukan diseksi pada duktus
dengan menghindari injury pada n. lingualis. Hal ini bisa dilakukan
dengan anestesi lokal maupun general, tapi sering menimbulkan nyeri
berat post operative. Harus dilakukan dengan anestesi general, bila lokasi
batu berada pada gland's pelvis. Pada kasus ini harus dilalakukan
submaxilectomy dengan tingkat kesulitan yang tinggi, karena harus
menghindari cabang-cabang dari n. facialis.
3. Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)
ESWL merupakan terapi dengan pendekatan non invasive yang cukup
efektif pada sialolithiasis. Setelah berhasil untuk penanganan batu di

saluran kencing dan pankreas, ESWL menjadi alternatif penanganan batu


pada saluran saliva, dimulai tahun 1990an. Tujuan ESWL untuk
mengurangi ukuran calculi menjadi fragmen yang kecil sehingga tidak
mengganggu aliran saliva dan mengurangi simptom. Diharapkan juga
fragmen calculi bisa keluar spontan mengikuti aliran saliva.
Indikasi ESWL bisa dilakukan pada semua sialolithiasis baik dalam
glandula maupun dalam duktus, kecuali posisi batu yang dekat dengan
struktur n. facialis. Inflamasi akut merupakan kontra indikasi lokal dan
inflamasi kronis bukan merupakan kontra indikasi, sedangkan kelainan
pembekuan darah (haemorrhagic diathesis), kelainan kardiologi, dan
pasien dengan pacemaker merupakan kontraindikasi umum ESWL.
Metode ini tidak menimbulkan nyeri dan tidak membutuhkan anestesia,
pasien duduk setengah berbaring (semi-reclining position). Shockwave
benar-benar fokus dengan lebar 2,5mm dan kedalaman 20mm sehingga
lesi jaringan sekitarnya sangat minimal. Energi yang digunakan
disesuaikan dengan batu pada kelenjar saliva, yaitu antara 5 30 mPa.
Tembakan dilakukan 120 impacts per menit, bisa dikurangi sampai 90 atau
60 impacts per menit. Setiap sesion sekitar 1500 + / - 500 impacts dan
antar sesion terpisah minimal satu bulan.
Keberhasilan ESWL tergantung pada dimensi, lokasi, dan jumlah calculi.
Ketepatan

posisi

(pinpointing)

calculi

bisa

dipandu

dengan

ultrasonography, echography probe 7,5 Mhz. Calculi dengan ukuran > 10


mm sulit dipecah menjadi fragmen. Beberapa penelitian telah melakukan

pengamatan dan follow up atas keberhasilan penggunaan ESWL, antara


lain Escidier et al mengamati 122 kasus dimana 68% pasien terbebas dari
simptom setelah difollow up selama 3 tahun, Cappaccio et al dengan 322
kasus melaporkan 87,6% pasien terbebas dari simptom setelah diamati 5
tahun sejak pengobatan menggunakan ESWL.

4. Sialendoskopi
Sialendoskopi merupakan teknik endoskopi untuk memeriksa duktus
kelenjar saliva. Teknik ini termasuk minimal invasive terbaru yang dapat
digunakan untuk diagnosis sekaligus manajemen terapi pada ductal
pathologies seperti obstruksi, striktur, dan sialolith. Prosedur yang dapat
dilakukan dengan Sialendoskopi merupakan complete exploration ductal
system yang meliputi duktus utama, cabang sekunder dan tersier. Indikasi
diagnostik

dan

intervensi

dengan

Sialendoskopi

adalah

semua

pembengkakan intermitten pada kelenjar saliva yang tidak jelas asalnya.


Koch et al lebih khusus menjelaskan indikasinya, antara lain untuk:
1)
2)

deteksi sialolith yang samar,


deteksi dini pemebentukan sialolith (mucous or fibrinous plugs)

3)
4)
5)

dan profilaksis pembentukan batu,


pengobatan stenosis post inflamasi dan obstruksi karena sebab lain,
deteksi dan terapi adanya variasi anatomi atau malformasi,
diagnosis dan pemahaman baru terhadap kelainan autoimun yang

6)

melibatkan kelenjar saliva,


sebagai alat follow up dan kontrol keberhasilan terapi.

Tidak ada kontra indikasi khusus, karena merupakan teknik minimal


invasive yang hanya membutuhkan enestesi lokal dan cukup rawat jalan

saja, baik pada anak-anak, dewasa maupun usia lanjut. Teknik Intervensi
Sialendoskopi. Sialendoskopi dilakukan dengan anestesi lokal, papila
untuk mencapai kelenjar diinjeksi dengan bahan anestesi (xylocaine 1%
dengan epinephrine 1:200000). Papila dilebarkan bertahap dengan probe
yang bertambah besar sampai sesuai dengan diameter sialendoskop.
Kemudian sialendoskop dimasukkan ke dalam duktus kelenjar saliva
diikuti pembilasan dengan cairan isotonik melalui probe. Pembilasan ini
dimaksudkan untuk dilatasi duktus dan irigasi debris. Duktus kelenjar
saliva ini diobservasi mulai dari duktus utama sampai cabang tersier
hingga probe tidak bisa masuk lagi, dengan catatan menghindari trauma
dan perforasi dinding duktus. Bila didapatkan obstruksi, kita bisa
menggunakan beberapa teknik untuk mengatasinya. Untuk pengambilan
batu dengan diameter < 4 mm pada kelenjar submandibula atau < 3 mm
pada kelenjar parotis, kita dekatkan sialendoskop ke sialolith kemudian
kita masukkan ke dalam working channel sebuah forsep penghisap yang
fleksibel dengan diameter 1 mm atau stone extractor (wire basket forcep).
Berikutnya batu dihisap dan sialendoskop ditarik dengan forcep
penghisapnya.
Pada kasus dengan batu yang lebih besar, kita memasukkan probe laser
helium ke dalam working channel dan batu dipecah menjadi beberapa
bagian kecil-kecil. Kemudian bagian kecil tersebut ambil (removed)
dengan teknik yang sama. Sedangkan pada kasus mucus plug, sekret yang
lengket dimobilisasi dengan pembilasan dan penghisapan.

Setelah intervensi Sialendoskopi, dilakukan stenting pada duktus


submandibula menggunakan stent plastik (sialostent) selama 2 sampai 4
minggu dengan tujuan 1) menghindari striktur, 2) mencegah obstruksi
karena udema sekitar orifisium, dan 3) sebagai saluran irigasi partikelpartikel batu kecil oleh aliran saliva. Pemberian hydrocortisone 100 mg
injeksi intraductal atau langsung pada daerah striktur juga dapat
mempercepat proses penyembuhan pasca sialoendokopi.
5. Decision Tree
Pada tindakan minimally invasive terdapat beberapa pilihan diagnostik
maupun terapi untuk managemen sebuah kasus dengan gejala klinis
adanya obstruksi pada saluran kelenjar saliva. Pada kasus dengan gejala
pembengkakan berulang pada kelenjar saliva yang berhubungan dengan
selera makan, dapat menggunakan sialendoskopi atau MR sialografi
sebagai pilihan modalitas diagnostik. Sialendoskopi merupakan pilihan
utama pada pembengkakan kelenjar unilateral, sedangkan pada kasus
kelenjar bilateral direkomendasikan untuk menggunakan MR silaografi
untuk melihat tekstur kelenjar, jaringan sekitar, dan sistem duktus
beberapa kelenjar

(Decision

Tree

untuk

Evaluasi

dan

Managemen

Sislolithiasis)
Bila didapatkan batu ukuran kecil (< 4 mm submandibular atau < 3 mm
parotis) maka dapat diintervensi dengan Wire Basket Extraxion. Pada batu
dengan ukuran > 4 mm submandibula atau > 3 mm parotis, batu harus
dipecah menjadi bagian yang lebih kecil menggunakan Laser Lithotripsy
kemudian dikeluarkan dengan Wire Basket Extraxion. Sedangkan stenosis
pada sistem duktus cukup dilakukan dilatasi menggunakan metalic dilator
(main duct) atau dengan balloon catheter bila stenosis terjadi pada cabang
duktus.
Segala bentuk intervensi pada sialolithiasis, baik pembedahan terbuka
maupun minimally invasive dapat menimbulkan komplikasi antara lain:
1)
2)
3)
4)

kerusakan saraf, terutama n. Lingualis dan n. Hipoglosus


perdarahan post operative,
striktur sistem duktal,
pembengkakan kelenjar yang menimbulkan nyeri,

5)

cutaneus hematoma sering dijumpai pada pasien post extracorporeal

6)

therapy, dan
residual lithiasis terjadi pada sekitar 40%-50% pasien.

Teknik minimal invasive yang benar dengan Sialendoskopi, lebih memungkinkan


untuk meminimalisir terjadinya komplikasi tersebut di atas.

B. Hipotiroid
Definisi
Menurut Corwin (2009) yang disebut hipotiroidisme adalah suatu penyakit
yang tejadi akibat penurunan kadar hormon tiroid yang bersirkulasi.
Hipotiroidisme adalah suatu kelainan yang relative sering ditemukan degan
ditandai oleh ketidakcukupan produksi hormone tiroid. Kekurangan produksi
hormone tiroid paling sering disebakan oleh kegagalan tiroid primer tetapi juga
dapat disebakan oleh penurunan sekresi TSH karena insufisiensi hipofisis
(hipotiroidisme sekunder) atau kegagalan hipotalamus dalam melepaskan TRH
(hipotiroidisme tersier).
Hipotiroidisme merupakan keaadaan yang ditandai dengan terjadinya
hipofungsi tiroid yang berjalan lambat yang diikuti oleh gejala-gejala kegagalan
tiroid. Keadaan ini terjadi akibat kadar hormon tiroid berada dibawah nilai
optimal (Brunner & Suddarth, 2002).Sedangkan menurut Price (2006) Hipotiroid
adalah defisiensi produksi hormon dari kelenjar tiroid.
Dari beberapa pengertian diatas dapat diketahui bahwa hipotiroidisme
merupakan suatu keadaan yang disebabkan oleh penurunan hormon tiroid yang

ditandai dengan ketidakcukupan produksi hormon tiroid karena hormon tiroid


berada di bawah nilai optimal.
Etiologi
Hipotiroidisme dapat terjadi akibat malfungsi kelenjar tiroid, hipofisis,
atauhipotalamus. Apabila disebabkan oleh malfungsi kelenjar tiroid, maka kadar
HT yang rendahakan disertai oleh peningkatan kadar TSH dan TRH karena tidak
adanya umpan balik negatifoleh HT pada hipofisis anterior dan hipotalamus.
Apabila hipotiroidisme terjadi akibatmalfungsi hipofisis, maka kadar HT yang
rendah disebabkan oleh rendahnya kadar TSH.TRH dari hipotalamus tinggi
karena. tidak adanya umpan balik negatif baik dari TSHmaupun HT.
Hipotiroidisme yang disebabkan oleh malfungsi hipotalamus akanmenyebabkan
rendahnya kadar HT, TSH, dan TRH.

Penyakit Hipotiroidisme
1

Penyakit Hashimoto, juga disebut tiroiditis otoimun, terjadi akibat adanya


otoantibodiyang merusak jaringan kelenjar tiroid. Hal ini menyebabkan
penurunan HT disertaipeningkatan kadar TSH dan TRH akibat umpan balik
negatif yang minimal, Penyebabtiroiditis otoimun tidak diketahui, tetapi
tampaknya terdapat kecenderungan genetikuntuk mengidap penyakit ini.
Penyebab yang paling sering ditemukan adalah tiroiditis Hashimoto.Pada
tiroiditis Hashimoto, kelenjar tiroid seringkali membesar danhipotiroidisme
terjadi beberapa bulan kemudian akibat rusaknya daerah kelenjar yangmasih
berfungsi.

Penyebab kedua tersering adalah pengobatan terhadap hipertiroidisme. Baik


yodiumradioaktif

maupun

pembedahan

cenderung

menyebabkan

hipotiroidisme.
3

Gondok endemik adalah hipotiroidisme akibat defisiensi iodium dalam


makanan.Gondok adalah pembesaran kelenjar tiroid. Pada defisiensi iodiurn
terjadi gondok karenasel-sel tiroid menjadi aktif berlebihan dan hipertrofik
dalarn usaha untuk menyerapsernua iodium yang tersisa dalam darah. Kadar
HT yang rendah akan disertai kadarTSH dan TRH yang tinggi karena
minimnya umpan balik.Kekurangan yodium jangkapanjang dalam makanan,
menyebabkan pembesaran kelenjar tiroid yang kurang aktif(hipotiroidisme
goitrosa).

Kekurangan yodium jangka panjang merupakan penyebab tersering dari


hipotiroidismedi negara terbelakang.

Karsinoma tiroid, tetapi tidak selalu, menyebabkan hipotiroidisme. Namun,


terapiuntuk kanker yang jarang dijumpai ini antara lain adalah tiroidektomi,
pemberian

obatpenekan

TSH,

atau

terapi

iodium

radioaktif

untuk

mengbancurkan jaringan tiroid.Semua pengobatan ini dapat menyebabkan


hipotiroidisme. Pajanan ke radiasi, terutamamasa anak-anak, adalah penyebab
kanker tiroid. Defisiensi iodium juga dapatmeningkatkan risiko pembentukan
kanker tiroid karena hal tersebut merangsangproliferasi dan hiperplasia sel
tiroid.

Klasifikasi

Lebih dari 95% penderita hipotiroid mengalami hipotiroid primer atau tiroidal
yang mengacu kepada disfungsi kelenjar tiroid itu sendiri.Apabila disfungsi tiroid
disebabkan oleh kegagalan kelenjar hipofisis, hipotalamus atau keduanya disebut
hipotiroid sentral (hipotiroid sekunder) atau pituitaria.Jika sepenuhnya disebabkan
oleh hipofisis disebut hipotiroid tersier.
a. Primer
1) Goiter : Tiroiditis Hashimoto, fase penyembuhan setelah tiroiditis,
defisiensi yodium
2) Non-goiter : destruksi pembedahan, kondisi setelah pemberian yodium
radioaktif atau radiasi eksternal, agenesis, amiodaron
b. Sekunder :
kegagalan hipotalamus ( TRH, TSH yang berubah-ubah, T4 bebas) atau
kegagalan pituitari ( TSH, T4 bebas)

Patofisiologi
Hipotiroid dapat disebabkan oleh gangguan sintesis hormon tiroid atau
gangguan pada respon jaringan terhadap hormon tiroid. Pada dasarnya sistem
kerja hormon tiroid dimulai dari Hipotalamus membuat Thyrotropin Releasing
Hormone (TRH) yang merangsang hipofisis anterior kemudian Hipofisis anterior
mensintesis thyrotropin (Thyroid Stimulating Hormone = TSH) yang merangsang
kelenjar tiroid lalu kelenjar tiroid mensintesis hormon tiroid (Triiodothyronin = T3
dan Tetraiodothyronin = T4 = Thyroxin) yang merangsang metabolisme jaringan
yang meliputi: konsumsi oksigen, produksi panas tubuh, fungsi syaraf,

metabolisme protrein, karbohidrat, lemak, dan vitamin-vitamin, serta kerja


daripada hormon-hormon lain.
Hipotiroidisme dapat terjadi akibat malfungsi kelenjar tiroid, hipofisis,
atau hipotalamus. Apabila disebabkan oleh malfungsi kelenjar tiroid, maka kadar
HT yang rendah akan disertai oleh peningkatan kadar TSH dan TRH karena tidak
adanya umpan balik negatif oleh HT pada hipofisis anterior dan hipotalamus.
Apabila hipotiroidisme terjadi akibat malfungsi hipofisis, maka kadar HT yang
rendah disebabkan oleh rendahnya kadar TSH. TRH dari hipotalamus tinggi
karena tidak adanya umpan balik negatif baik dari TSH maupun HT.
Hipotiroidisme yang disebabkan oleh malfungsi hipotalamus akan menyebabkan
rendahnya kadar HT, TSH, dan TRH.
Kelenjar tiroid membutuhkan iodine untuk sintesis dan mensekresi
hormon tiroid.Jika diet seseorang kurang mengandung iodine/ jika produksi dari
hormon tiroid.Kelenjar tiroid akan membesar sebagai usaha untuk kompensasi
dari kekurangan hormon. Pada keadaan seperti ini goiter merupakan adaptasi
penting pada suatu defisiensi respon untuk meningkatkan respon sekresi pituitary
dari TSH.TSH menstimulasi tiroid untuk mensekresi T4 lebih banyak ketika level
T4 darah rendah. Biasanya, kelenjar akan membesar dan itu akan menekan
struktur di leher dan dada menyebabkan gejala respirasi disfagia.
Penyakit Hashimoto, juga disebut tiroiditis autotoimun, terjadi akibat
adanya autoantibodi yang merusak jaringan kelenjar tiroid. Hal ini menyebabkan
penurunan HT disertai peningkatan kadar TSH dan TRH akibat umpan balik
negatif yang minimal. Pada tiroiditis Hashimoto, kelenjar tiroid seringkali

membesar dan hipotiroidisme terjadi beberapa bulan kemudian akibat rusaknya


daerah kelenjar yang masih berfungsi.Penyebab kedua tersering adalah
pengobatan terhadap hipertiroidisme.Baik yodium radioaktif maupun pembedahan
cenderung menyebabkan hipotiroidisme.Gondok endemik adalah hipotiroidisme
akibat defisiensi iodium dalam makanan.Gondok adalah pembesaran kelenjar
tiroid.Pada defisiensi iodiurn terjadi gondok karena sel-sel tiroid menjadi aktif
berlebihan dan hipertrofik dalarn usaha untuk menyerap sernua iodium yang
tersisa dalam darah. Kadar HT yang rendah akan disertai kadar TSH dan TRH
yang tinggi karena minimnya umpan balik.Kekurangan yodium jangka panjang
dalam makanan, menyebabkan pembesaran kelenjar tiroid yang kurang aktif
(hipotiroidisme goitrosa). Karsinoma tiroid dapat dan tidak selalu menyebabkan
hipotiroidisme. Namun, terapi untuk kanker yang jarang dijumpai ini antara lain
adalah tiroidektomi, pemberian obat penekan TSH, atau terapi iodium radioaktif
untuk mengbancurkan jaringan tiroid. Semua pengobatan ini dapat menyebabkan
hipotiroidisme.
Karena sebab-sebab yang dijelaskan di atas maka akan terjadi gangguan
metabolisme. Dengan adanya gangguan metabolisme ini, menyebabkan produksi
ADP dan ATP akan menurun sehingga menyebabkan kelelahan serta terjadinya
penurunan fungsi pernapasan yang berujung pada depresi ventilasi dan timbul
dispneu kemudian pada tahap lebih lanjut kurangnya jumlah ATP dan ADP dalam
tubuh juga berdampak pada sistem sirkulasi tubuh terutama jantung karena suplai
oksigen ke jantung ikut berkurang dan terjadilah bradikardia, disritrmia dan
hipotensi. Gangguan pada sistem sirkulasi juga dapat menyebabkan gangguan

pada sistem neurologis yaitu terjadinya gangguan kesadaran karena suplai oksigen
yang menurun ke otak.Selain itu gangguan metabolisme juga menyebabkan
gangguan pada fungsi gastrointestinal dan pada akhirnya dapat menyebabkan
menurunnya

fungsi

peristaltik

usus

sehingga

menimbulkan

konstipasi.Metabolisme yang terganggu juga berdampak pada turunnya suhu


tubuh karena produksi kalor yang menurun sehingga terjadi intoleransi suhu
dingin.
Perubahan yang paling penting menyebabkan penurunan tingkat hormon
tiroid yang mempengaruhi metabolisme lemak. Ada suatu peningkatan hasil
kolesterol dalam serum dan level trigliserida dan sehingga klien berpotensi
mengalami aterosklerosis dan penyakit jantung koroner. Hormon tiroid biasanya
berperan dalam produksi sel darah merah, jadi klien dengan tiroidisme biasanya
menunjukkan tanda anemia karena pembentukan eritrosit yang tidak optimal
dengan kemungkinan kekurangan vitamin B12 dan asam folat.

Manifestasi Klinis
1

Kelambanan, perlambatan daya pikir, dan gerakan yang canggung lambat

Penurunan frekuensi denyut jantung, pembesaran jantung (jantung


miksedema), dan
penurunan curah jantung

Pembengkakkan dan edema kulit, terutama di bawah mata dan di


pergelangan kaki

Penurunan

kecepatan

metabolisme,

penurunan

kebutuhan

kalori,

penurunan nafsu makandan penyerapan zat gizi dari saluran cema


5

Konstipasi

Perubahan-perubahan dalam fungsi reproduksi

Kulit kering dan bersisik serta rambut kepala dan tubuh yang tipis dan
rapuh

Diagnosis
1 Pemeriksaan Laboratorium
a

Pemeriksaan T3 dan T4 serum


Jika kadar TSH meningkat, maka T4 menurun sehingga terjadi

hipotiroid.

T3 serum(0,6 1,85 mg/dl)

T4 serum (4,8 12,0 mg/dl)

TSH (0,4 6,0 mg/dl)

Pemeriksaan TSH
TSH Diproduksi kelenjar hipofise merangsang kelenjar tiroid untuk

membuat dan mengeluarkan hormon tiroid. Saat kadar hormon tiroid


menurun, maka TSH akan menurun. Pemeriksaan TSH menggunakan uji
sensitif merupakan scirining awal yang direkomendasikan saat dicurigai
penyakit tiroid (Rumahorbo, 1999). Dengan mengetahui kadar TSH, maka
dapat dibedakan anatara pasien hipotiroid,hipertiroid dan orang normal.
Pada dasar nya TSH nrmal dapat menyingkirkan penyakit tiroid
primer.Kadar TSH meningkat sehingga terjadi hipotiroid.

Pemeriksaan Radiologis
Ambilan iodium radioaktif dan scan tiroid biasanya tidak banyak
manfaatnya pada hipotiroidisme. Tetapi Scan harus dilakukan jika terdapat
keraguan mengenai nodularitas tiroid. Scan tiroid bermanfaat untuk
mendeteksi kelainan anatomi, jaringan ektopik (tiroid lingual, tiroid
mediastinum,

trauma

ovarii),

tumor

metastatik.

Pemeriksaan

ini

bermanfaat untuk mempelajarai nodul tiroid.


Ultrasonografi tiroid sangat bermanfaat untuk memastikan apakah
nodul tiroid, yang nonfungsional pada sidikan isotop, suatu kistik atau
padat.Jika kistik, dilakukan aspirasi dan pemeriksaan sitologisebagai
pedoman keperluan pembedahan.
Pemeriksaan radiologis rangka menunjukkan tulang yang mengalami
keterlambatan dalam pertumbuhan, disgenesis epifisis, dan keterlambatan
perkembangan

gigi.

Tes-tes

laboratorium

yang

digunakan

untuk

memastikan hipotiroidisme antara lain kadar tiroksin dan triyodotironin


serum yang rendah, BMR yang rendah, dan peningkatan kolesterol (Price,
2006). Dalam hal ini, dapat dijumpai kalsifikasi bilateral pada dasar
tengkorak.Densitas tulang bisa normal atau meningkat.
3

Pemeriksaan Fisik
Bila terdapat kecurigaan adanya hipotiroidisme, penemuan diferensial
yang paling penting pada pemeriksaan fisik adalah ada tidaknya
goiter.Riwayat operasi tiroid yang sebelumnya harus ditanyakan disamping
pemeriksaan yang cermat terhadap tanda-tanda hipotiroidisme termasuk

hipotermia, bradikardi, kulit kering, rambut kasar, bicara lambat, lidah


tebal, dan pembengkakan periorbiotal.Tanda klinis yang paling khusus
pada hipotiroidisme adalah fase relaksasi yang lambat pada refleks tendon
dalam.
Terapi
Tujuan primer penatalaksanaan hipotiroidisme adalah memulihkan
metabolisme pasien kembali kepada keadaan metabolik normal dengan cara
mengambil hormon yang hilang. Levitiroksin sintetik (Syntiroid atau levothroid)
merupakan preparat terpilih untuk pengobatan hipotiroidisme dan supresi penyakit
goiter nontoksis.Dosis terapi penggantian hormonal didasarkan pada konsentrasi
TSH dalam serum pasien.Preparat tiroid yang dikeringkan jarang digunakan
karena sering menyebabakan kenaikan sementara T3 dan kadang-kadang disertai
dengan gejala hipertiroidesme. Jika terapi pengantian sudah memadai, gejala
miksedema akan menghilang dan aktivitas metabolik yang normal dapat timbul
kembali.
Pengobatan hipotiroidisme antara lain dengan pemberian tiroksin,
biasanya dimulai dalam dosis rendah ( 50g/hari ). Khususnya pada pasien yang
lebih tua atau pada pasien dengan miksedema berat, dan setelah beberapa hari atau
minggu, sedikit demi sedikit ditingkatkan sampai akhirnya mencapai dosis
pemeliharaan maksimal 150g/hari.Pada dewasa muda, dosis pemeliharaan
maksimal dapat dimulai secepatnya.
Pengukuran kadar TSH pada pasien hipotiroidisme primer dapat
digunakan untuk menentukan manfaat terapi pengganti. Kadar ini harus

dipertahankan dalam kisaran normal. Pengobatan yang adekuat pada pasien


dengan hipotiroidisme sekunder sebaiknya dengan mengikuti kadar tiroksin
bebas.
BAB III
LAPORAN KASUS
1

IdentitasPasien
Nama
Jenis Kelamin
Umur
Pekerjaan
Alamat
Agama
Suku
Tgl. Pemeriksaan
No CM

: Ny. SR
: Perempuan
: 32 tahun
: Buruh bangunan
: Jepara
: Islam
: Jawa
: 23 Maret 2016
: C314475

Data Dasar
A. Subyektif
Autoanamnesis pada 23 Maret 2016 pukul 09.30WIB di Poli rawat jalan
Gigi dan Mulut RSDK Semarang

Keluhan Utama
:
terdapat benjolan pada bawah lidah
Riwayat Penyakit Sekarang:
1 bulan sebelum ke poli gigi, muncul benjolan di bawah lidah. Benjolan
terasa tidak nyeri, tidak panas, tidak mudah berdarah, tidak nyeri tekan,
tidak mengeluarkan cairan. Benjolan berwarna transparan dengan tepi
merah muda dan konsistensi keras. Kemudian pasien datang ke RSDK
untuk memeriksakan keluhannya.

Riwayat Penyakit Dahulu


o Riwayat Tiroid (+)
Rutin mengkonsumsi Eutirax
o Riwayat trauma daerah wajah dan mulut (-)
o Riwayat alergi obat (-)

o Riwayat penyakit jantung (-)


o Riwayat menderita penyakit keganasan (-)
o Riwayat penyinaran daerah kepala sampai leher (-)

Riwayat Penyakit Keluarga


o
o
o
o

Riwayat hipertensi (-)


Riwayat diabetes melitus (-)
Riwayat menderita penyakit keganasan (-)
Tidak ada anggota keluarga yang menderita keluhan seperti ini

Riwayat Sosial Ekonomi


o Pasien seorang buruh bangunan, suami buruh pabrik
o Biaya pengobatan ditanggung pribadi
o Kesan: sosial ekonomi cukup
B. Obyektif
Dilakukan pada 23 Maret 2106 pukul 10.00 di di Poli rawat jalan Gigi

dan Mulut RSDK Semarang


a) Status Generalis
o Keadaan umum
Kesadaran : compos mentis
Keadaan gizi : baik
o Tanda-tanda vital
TD
: 120/80 mmHg
Nadi
: 68x/ menit
RR
: 20x/ menit
Suhu
: 37oC
o Gambaran Umum lainnya :
Tinggi Badan : 150 cm
Berat Badan : 48 kg
BMI: 21,3(kesan: berat badan cukup)
Hidrasi
: Baik
Edema
: Pucat
: Clubbing finger: Jaundice
: Pemeriksaan Ekstraoral
o Wajah
Inspeksi
: asimetri (-), pembengkakan (-), warna kemerahan (-)
Palpasi
: nyeri tekan (-)

o Leher
Inspeksi
Palpasi

: pembesaran nnll submandibular sinistra (-), dextra (-)


: nyeri (-)

Pemeriksaan Intraoral
Mukosa rahang bawah
: dalam batas normal
Mukosa pipi kanan dan kiri : dalam batas normal
Mukosa palatum
: dalam batas normal
Mukosa dasar mulut/ lidah: terdapat benjolan warna transparan dengan tepi
Mukosa pharynx
Kelainan periodontal
Ginggiva RA
Ginggiva RB
Karang gigi
Oklusi
Palatum
Supernumerary teeth
Diastema
Gigi anomali

merah muda. Konsistensi keras diameter 5mm


: dalam batas normal
: dalam batas normal
: edema (-/-), hiperemis (-/-)
: edema (-/-), hiperemis (-/-)
: Rahang atas (+), rahang bawah (+)
: Normal bite
: Sedang
: Tidak ada
: (-)
: Tidak ada

Status Lokalis
Pemeriksaan Ekstraoral
Inspeksi
: dalam batas normal
Palpasi
: dalam batas normal
Pemeriksaan Intraoral
Inspeksi
: tampak benjolan di bawah lidah dengan diameter 5 mm
Palpasi

berwarna transparan dengan tepi merah muda


: teraba benjolan, konsistensi keras, fluktuasi (-), permukaan
licin, tidak berbenjol-benjol, tidak nyeri tekan.

Status Dental
Gigi 1.1 1.2 1.3 1.4 2.1 2.2 2.3 2.4 2.8
Inspeksi
: terpasang prostesis
Sondasi
: tidak dapat dinilai
Perkusi
: (-)
Vitalitas
: (-)
Mobilitas : (-)
Gigi 3.5 3.6 3.7 4.5 4.6 4.7
Inspeksi
: tidak ada gigi
Sondasi
: tidak dapat dinilai

Perkusi
Vitalitas
Mobilitas
Gigi 1.5
Inspeksi
Sondasi
Perkusi
Vitalitas
Mobilitas

: (-)
: (-)
: tidak dapat dinilai
:
:
:
:
:

Gigi 2.5
Inspeksi
:
Sondasi
:
Perkusi
:
Vitalitas
:
Mobilitas :
Gigi 2.6
Inspeksi
:
Sondasi
:
Perkusi
:
Vitalitas
:
Mobilitas :
Gigi 2.7
Inspeksi
:
Sondasi
:
Perkusi
:
Vitalitas
:
Mobilitas :
Odontogram

terdapat tambalan sisi mesial


tidak dapat dinilai
(-)
(+)
(-)
terdapat tambalan sisi mesial
tidak dapat dinilai
(-)
(+)
(-)
terdapat tambalan sisi mesial
tidak dapat dinilai
(-)
(+)
(-)
terdapat tambalan sisi oklusal
tidak dapat dinilai
(-)
(+)
(-)

Diagnosis Keluhan Utama :


Sialolithiasis

4
5

Diagnosis Banding:
Ranula, Abses sublingual
Diagnosis Penyakit Lain:
Mis teeth 1.1 1.2 1.3 1.4
2.1 2.2 2.3 2.4 2.8
3.5 3.6 3.7
4.5 4.6 4.7
Tambalan composite sisi mesial gigi 1.5 2.5 2.6
Tambalan composite sisi oklusal gigi 2.7
Initial Plan
Dx
: S : O : X Foto mandibular oklusal dan

Panoramik,

Sialografi,

Pemeriksaan T3-T4 TSH


Rx
:
Konsultasi ke Spesialis Anestesi untuk persiapan operasi dengan general

anesthesia.
Pro eksisi sialolithiasis dengan mempertimbangkan kondisi hipotiroid

pasien
: Keadaan umum, tanda vital, tanda infeksi
:
Menjelaskan kepada pasien dan keluarga mengenai sialolithiasis yang

diderita oleh pasien


Menjelaskan penatalaksanaan sialolithiasis, efek samping dan komplikasi

Mx
Ex

yang dapat terjadi saat maupun post operasi kepada pasien serta keluarga.

BAB IV
PEMBAHASAN

Diagnosis kerja pasien pada kasus ini adalah suspek sialolithiasis. Dari
hasil anamnesis, pasien mengeluh 1 bulan sebelum ke poli gigi muncul benjolan
di bawah lidah. Benjolan terasa tidak nyeri, tidak panas, tidak mudah berdarah,
tidak nyeri tekan, dan tidak mengeluarkan cairan. Benjolan berwarna transparan
dengan tepi merah muda dan konsistensi keras. Kemudian pasien datang ke
RSDK untuk memeriksakan keluhannya. Pasien memiliki riwayat penyakit tiroid
(hipotiroid) dan saat ini sedang mengkonsumsi Eutirax. Riwayat alergi obat,
riwayat trauma daerah wajah dan mulut, riwayat konsumsi obat anti hipertensi dan
anti psikotik disangkal. Riwayat penyakit keluarga seperti hipertensi, diabetes
mellitus, penyakit keganasan disangkal. Pasien bekerja sebagai buruh bangunan
dan suami bekerja sebagai buruh pabrik dengan biaya pengobatan ditanggung
pribadi.
Pada pemeriksaan ekstraoral tidak didapatkan adanya kelainan. Pada
pemeriksaan intraoral didapatkan benjolan berkonsistensi keras dan berwarna
transparan dengan tepi merah muda pada bawah lidah, palpasi: fluktuasi (-),
permukaan

licin,

tidak

berbenjol-benjol,

nyeri

tekan

(-). Selain itu juga didapatkan karang gigi pada rahang atas dan rahang bawah.
Pada

pemeriksaan

gigi

geligi

didapatkan

prostesis

pada

gigi

1.1,1.2,1.3,1.4,2.1,2.2,2.3,2.4,2.8; tambalan sisi mesial pada gigi 1.5,2.5,2.6;


tambalan sisi oklusal pada gigi 2.7.
Dasar diagnosis kerja pasien dikatakan suspek sialolithiasis karena
didapatkan benjolan berdiameter 0,5 cm dengan konsistensi keras, berwarna
transparan dengan tepi merah muda pada bawah lidah. Sialolithiasis sublingualis
merupakan pembentukan batu pada saluran saliva minor yang jarang terjadi
dibandingkan sialolithiasis pada kelenjar parotis ataupun submandibular. Delapan
puluh lima persen dari kasus sialolithiasis terjadi pada kelenjar submandibularis
(Wharton ducts), 5-10% pada kelenjar parotis, dan sisanya 0-5% terjadi pada
kelenjaar sublingual ataupun kelenjar saliva minor. Untuk menegakkan diagnosis
pasti pada pasien ini diperlukan pemeriksaan penunjang berupa x foto posisi
oklusal yang menampakkan gambaran radioopak pada duktus yang terdapat
barunya atau bisa menggunakan sialography. Sialography merupakan gold
standard untuk mengetahui gambaran yang jelas berupa batu, struktur morfologis
duktus seperti lesi karena trauma, massa, proses inflamasi, dan penyakit obstruktif
lainnya. Diagnosis banding dari kasis ini adalah ranula, yaitu kista retensi akibat
obstruksi glandula salivarius mayor di bawah lidah. Diagnosis ranula gugur
karena dari gambaran klinis, ranula berkonsistensi lunak karena berisi cairan.
Warna ranula translusen dan jika besar berwarna biru seperti perut katak.
Diagnosis banding lainnya adalah abses sublingual. Namun, diagnosis ini gugur
karena tidak ada nyeri tekan pada benjolan serta tidak ditemukan tanda-tanda
infeksi pada pasien ini.

Banyak

teori

yang

menjelaskan

tentang

patofisiologi

terjadinya

sialolithiasis, pada pasien ini kemungkinan terjadinya sialolithiasis adalah


disebabkan karena adanya hipotiroid yang bermanifestasi berupa penurunan nafsu
makan. Menurunnya nafsu makan dan minum dapat meningkatkan viskositas
saliva pada ductus salivarius lingual sehingga memicu terbentuknya batu.
Penatalaksanaan pada kasus ini adalah dengan dilakukan pembedahan
eksisi sialolithiasis untuk mengambil batu yang menyumbat pada ductus salivarius
lingua. Namun sebelum dilakukan pembedahan perlu dikonsulkan ke spesialis
anestesi untuk persiapan operasi dengan general anesthesia. Mengingat pasien
memiliki riwayat hipotiroid maka diperlukan pengawasan ketat pada sistem
kardiovaskular, dimana pada penyakit hipotiroid dapat menyebabkan terjadinya
bradikardi, disritmia dan hipotensi. Hipotiroidisme juga dapat mempengaruhi
pemberian obat-obat anestesi akibat peningkatan atau penurunan bersihan dan
volume distribusi obat pada kondisi hipometabolisme. Selain itu, perlu adanya
edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai sialolithiasis yang diderita oleh
pasien dan menjelaskan penatalaksanaan sialolithiasis yang akan dilakukan, efek
samping dan komplikasi yang terjadi saat maupun post operasi kepada pasien
serta keluarga.

BAB V
KESIMPULAN

Seorang wanita berusia 32 tahun datang ke Poli Gigi dan Mulut RS dr.
Kariadi, berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan subyektif maupun obyektif dari
ekstra oral dan intra oral, serta pemeriksaan penunjang dapat disimpulkan bahwa
pasien memiliki suspek sialolithiasis. Selain itu terdapat diagnosis penyakit lain
berupa kalkulus rahang atas dan rahang bawah. Rencana akan dilakukan
penatalaksanaan sesuai dengan diagnosisnya berupa eksisi sialolithiasis dengan
memperhatikan kondisi hipotiroid pasien.

Lampiran
Foto klinis

DAFTAR PUSTAKA

Mimura M, Tanaka N, Ichinose S, Kimijima Y, Amagasa T. Possible Etiology


of Calculi Formation in Salivary Glands: Biophysical Analisys of Calculus.

Med Mol Morphol 2005; 38: 189-95


Graney DO, Jacobs JR, Kern RC. Salivary Glands. In: Cumming CJ, editor.

Otolangology Head and Neck Surgery. 3rd ed. Mosby; 1999. p.1220.
Escudier MP, McGurk M. Symptomatic Sialoadenitis and Sialolithiasis in the
English Population, an Estimate of the Cost of Hospital Traetment. Br Dent J

1999 Mei; 186 (9): 463-6


Siddiqui SJ. Sialolithiasis : An Unusually Submandibular Salivary Stone. Br

Dent J 2002 July; 193: 89-91


Andretta M, Tregnaghi A, Prosenikliev V, Staffieri A. Current Opinion in
Sialolithiasis Diagnosis and Treatment. Acta Otorhinolaryngol Ital2005;

25:145-9
Rosen FS, Byron BJ. Anatomy and Physiology of Salivary Glands Source.

Otolaryngol 2001 Jan 24


Ching ASC, Ahuja AT. High-Resolution Sonography of the Submandibular

Space: Anatomy and Abnormalities. AJR 2002;179:703-8


Marchal F, Dulguerov P. Sialolithiasis Management. Arch Otolaryngol-Head

and Neck Surg 2003 Sep; 129: 951-6


Becker TS. Salivary Glands Imaging. In: Byron J, Bailey Md, editors. Head
and Neck Surgery - Otolangology. 3rd ed. Lippincott Williams & Wilkins

Publishers; 2001
10 Dalkiz M, Dogan N, Beydemir B. Sialolithiasis (Salivary Stone). Turk J Med
Sci 2001;31: 177-9

11 Bar T, Zagury A, London D, Shacham R, Nahlieli O. Calcifications Simulating


Sialolithiasis of Major Salivary Glands. Dentomaxillofacial Radiology 2007;
36: 59-62
12 Jager L, Menauer F, Holzknecht N, Scholz V, Grevers G, Reiser M.
Sialolithiasis: MR Sialography of the Submandibular Duct An Alternative to
Conventional Sialography and US. RSNA Radiology 2000;216: 665-71
13 Becker M, Marchal F, Becker CD, Dulguerov P, Georgakopoulos G, Lehmann
W, Terrier F. Sialolithiasis and Salivary Ductal Stenosis: Diagnostic Acuracy
of MR Sialography with a Three Dimensional Extended Phase Conjugate
Symmetry Rapid Spin-Echo Sequence. RSNA Radiology 2000; 17: 347-58
14 Tanaka T, Ono K, Habu M, Inoue H, Tominaga K, Okabe S, Yokota M,
Fukuda J, Inenaga K, Morimoto Y. Functional Evaluation of the Parotid and
Submandibular Glands Using Dynamic Magnetic Resonance Sialography.
Dentomaxillofacial Radiology 2007; 36: 218-23
15 Nahlieli O, Nakar LH, Nazarian Y, Turner MD. Sialendoskopi: A New
Approach to Salivary Gland Obstructive Pathology. JADA 2006;137: 1394400
16 Chu DW, Chow TL, Lim BH, Kwok SPY. Endoscopic Management of
Submandibular Sialolithiasis. Springer-Verlag New York Inc. Surg Endosc
2003; 17: 876-9
17 Katz D, Banville RT. Two Non Surgical Therapies of Salivary Lithiasis.
IEFGS Paris-France 2004; 7: 5017
18 Batori M, Mariotta G, Chatelou H, Casella G, Casella MC. Diagnostic and
Surgical Management of Submandibular Gland Sialolithiasis: Report of a
Stone of Unusual Size.Euro Med and Phar Sci 2005; 9: 67-8
19 Pasquale C, Francesco O, Raffaele M, Antonio S, Bruno C. Extracorporeal
Lithotripsy for Salivary Calculi: A Long Term Clinical Experience.
Laryngoscope 2004 June; 114(6): 1069-73

20 Serbecti E, Sengor GA. Diagnostic and Interventional Siloendoscopy in


Recurrent Salivary Gland Swelling. Turk Arch Otolaryngol. 45 (2): 84-90
21 Abdul L, Napitupulu P.M, Pudjiadi A, Ghazali M.V, Putra S.T, Hasan R, Alata
s H. 2005. Hipotiroid dalam Endokrinologi, Buku kuliah 1 Ed. FKUI, Jakarta.
p.266-268, (FKUI, Jakarta)
22 John Cargill MA, MBA, MS and Susan Thorpe Vargas MS, Ph.D.
Hypothyroid. [serial online] 6 februari 2010. [cited 2010 maret 21]. Available
from: http://www.mirage-samoyeds.com/thyroid3.htm

Você também pode gostar