Você está na página 1de 4

AWALUDDIN MAKRIFATULLAH

Saya punya sahabat, orangnya suka melakukan olah spritual, tapi tidak mau
menjalankan syareat, alasannya dia sudah mencapai hakekat. Suatu ketika kami
rombongan jalan-jalan, sesampainya di kota lampu merah mati, sedang ada
perbaikan, lalu lintas tidak karuan sepeda motor dan becak memotong jalan
seenaknya, belum lagi mobil yang pingin saling mendahului membuat suasana
panas dan memancing emosi. Teman saya yang jadi supir saat itu ngomelngomel. Lalu saya tanya: Mengapa kok sampai terjadi keruwetan begini di
jalan? dia menjawab:Karena mereka tidak punya kesadaran dan moral dalam
mematuhi peraturan berlalu lintas, apalagi lampu merah padam, jadi menambah
keruwetan di jalan. Sayapun menjawab: di jalan raya saja kita butuh peraturan
dan undang-undang agar pengemudi bisa tertib, sehingga tidak terjadi tabrakan
dan kecelakaan, lalu bagaimana mungkin seseorang hidup di dunia dengan
meninggalkan syareat sebagai pedoman, maka yang terjadi hidupnya bakal
kacau seperti kondisi jalan raya ini. Teman saya diam dan tidak bisa menjawab.
Suatu ketika ada orang menjelaskan kepada saya, bahwa syareat itu tidak perlu,
untuk apa kita sholat, kalau belum tahu siapa yang kita sembah, bukankah
dalam sebuah hadits disebutkan awalluddin makrifatullah (dasar awal beragama
adalah mengenal Allah)?
Sehingga mereka beranggapan seseorang belum mencapai makrifat kepada
Allah maka tidak wajib menjalankan sholat, karena Nabi muhammad dapat
wahyu kewajiban sholat setelah beliau makrifat kepada Allah.
Untuk menjawab penyataan di atas, agar mudah difahami dapat dibagi menjadi
dua bagian:
1. Awalluddin Makrifatullah
Klaim di atas sepintas kelihatannya benar, tetapi sayang banyak orang yang
salah faham dalam memahami hadits awalludin makrifatullah. Dalam kitab-kitab
hadits tidak ada satupun hadits yang menyatakan awalluddin makrifatullah, yang
ada adalah adalah atsar yaitu ucapan sahabat yaitu ucapan Imam Ali bin Abi
Tholib, untuk lebih jelasnya adalah:













"
Imam Ali berkata : Awal agama adalah mengenal Allah (marifatuhu), dan
kesempurnaan mengenal-Nya adalah membenarkan-Nya, kesempurnaan
membenarkan-Nya ialah mengesakan-Nya, kesempurnaan mengesakan-Nya
ialah mensucikan-Nya, dan kesempurnaan mensucikan-Nya ialah menafikan
sifat-sifat-Nya, karena setiap sifat berbeda dengan apa yang disifatkan
dengannya, dan setiap yang disifati berbeda dengan sifat itu. Barangsiapa yang
mensifati Allah, maka mengakui keserupaan-Nya, dan barangsiapa mengakui
keserupaan-Nya maka ia menganggap-Nya dua, dan siapa menganggap-Nya
dua, berarti membagi-bagi-Nya, dan barangsiapa membagi-bagi-Nya, berarti ia
tidak mengenal-Nya. Dan barangsiapa tidak mengenal-Nya maka ia akan
menunjuk-Nya, dan barangsiapa menunjuk-Nya, maka ia mengakui batas-batas

bagi-Nya, dan barangsiapa


mengatakan jumlah-Nya.

mengakui

batas-batas

bagi-Nya,

berarti

ia

Barangsiapa menyatakan bahwa Dia berada dalam apa, berarti ia membuatNya bertempat, dan barangsiapa mengatakan di atas apa Dia berada maka ia
beranggapan bahwa la tidak berada di atas sesuatu lainnya. Dia Maujud tetapi
tidak melalui fenomena muncul menjadi ada. Dia ada tetapi bukan berasal dari
ketiadaan. la bersama segala sesuatu tetapi tidak dalam kedekatan fisik. la
berbeda dari segala sesuatu tetapi bukan dalam keterpisahan fisik. Dia berbuat
tetapi tanpa gerakan dan alat. Dia melihat meskipun tidak ada ciptaan-Nya yang
dilihat. Dia Esa sedemikian rupa sehingga tak ada sesuatu yang bersekutu
dengannya atau yang Dia akan kehilangan karena ketiadaannya. (Nahjul
Balaghah, Khutbah 1) [1]
Imam Ali ditanya oleh seseorang, Dengan apa engkau memahami Tuhanmu?
Imam Ali menjawab, Dengan cara sebagaimana Dia mengenalkan diri-Nya
kepadaku? Kemudian ditanyakan lagi, Bagaimana Dia mengenalkan dirinya
kepadamu?. Imam Ali menjawab, Dia tidak menyerupai suatu bentuk dan Dia
tidak dapat dirasakan dengan indera dan tidak bisa dikiyaskan dengan manusia.
Dia dekat dalam kejauhan-Nya, dan Dia jauh dalam kedekatan-Nya. Dia berada
di atas segala sesuatu dan tidak dapat dikatakan sesuatu di atasnya. Dia di
depan segala sesuatu tetapi tidak dapat dikatakan (Dia) memilki depan. Dia di
dalam segala sesuatu, tetapi tidak seperti sesuatu yang (berada) di dalam
sesuatu lainnya. Dia di luar segala sesuatu tetapi tidak seperti sesuatu yang
keluar dari sesuatu. Maha Suci Dia yang seperti ini dan tidak ada yang seperti ini
selain-Nya. Dan segala sesuatu itu ada permulaannya. [2]
Dari kedua riwayat di atas, justru mejelaskan bahwa dasar agama adalah
mengenal Allah dengan benar sesuai dengan dalil al-Quran dan Hadits sebagai
bekal untuk makrifatullah. Jadi mengenal Allah ada dua tahap, yang pertama
mengenal Allah dengan ilmu atau aqidah yang benar, sedangkan tahapan yang
kedua adalah mengenl aAllah dengan Syuhud (makrifat).
2. Sholatnya Nabi sebelum Isro Miroj.
Orang-orang yang tidak menjalankan syareat, terutama tidak menjalankan sholat
dengan alasan bahwa nabi menjalankan sholat setelah mencapai makrifat. Maka
pendapat di atas sangat lemah sekali dan tidak bisa dijadikan sebagai dalil untuk
melanggar syareat. Karena seelum perintah sholat diwajibkan, Nabi sudh
menjalanka sholat tetapi sifatnya bukan wajib, melainkan sunnah.
Berikut ini dalil-dalil yang menyatakan bahwa sebelum Isro Miroj nabi sudah
melaksanakan sholat:
Terdapat dalam hadis panjang yang menceritakan dialog antara Heraklius
dengan Abu Sufyan, (kisah ini terjadi sebelum perintah sholat wajib) ketika dia
mendapat surat dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Heraklius bertanya
kepada Abu Sufyan,
Apa yang diperintahkan nabi itu kepada kalian?
Jawab Abu Sufyan, yang saat itu sedang berdagang di Syam,

Nabi itu mengajarkan, Beribadahlah kepada Allah semata dan jangan


menyekutukannya dengan sesuatu apapun, tinggalkan apa yang menjadi ajaran
nenek moyang kalian. Dia memerintahkan kami untuk shalat, zakat, bersikap
jujur, menjaga kehormatan, dan menyambung silaturahim. (HR. Bukhari dan
Muslim ). [3]
Ketika menjelaskan hadis ini, Al-Hafidz Ibnu Rajab mengatakan, Kisah ini
menunjukkan bahwa perintah terpenting yang diserukan Nabi shallallahu alaihi
wa sallam kepada umatnya adalah shalat, sebagaimana beliau memerintahkan
mereka untuk bersikap jujur, menjaga kehormatan Ajaran ini menjadi terkenal
hingga tersebar ke berbagai pengikut agama selain islam. Karena Abu Sufyan
ketika dialog itu masih musyrik, dan Heraklius beragama Nasrani. Dan sejak
diutus beliau senantiasa memerintahkan untuk bersikap jujur dan menjaga
kehormatan, beliau juga senantiasa shalat, sebelum shalat diwajibkan (shalat 5
waktu). [4]
Sebagian ulama mengatakan, kewajiban shalat pertama kali adalah 2 rakaat di
waktu subuh dan 2 rakaat sore hari. Berdasarkan keterangan Qatadah seorang
tabiin, muridnya Anas bin Malik,

Puasa pertama kali yang diperintahkan adalah puasa 3 hari setiap bulan, dan
shalat 2 rakaat di waktu pagi dan 2 rakaat di waktu sore. [5]
Dalil berikutnya adalah tentang shalat Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika
menjadi imam nabi-nabi yang lain pada saat peristiwa isra miraj. Shalat apakah
yang beliau lakukan?
Dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
menceritakan kejadian Isra Miraj, diantara penggalannya,


Kemudian aku masuk masjid (Al-Aqsa) dan aku shalat 2 rakaat. (HR. Muslim)
[6]
Dari riwayat di atas, ternyata Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para
sahabat telah mengenal shalat sebelum peristiwa isra miraj. Padahal saat itu
sholat belum diwajibkan.
Maka sungguh aneh orang-orang hakekat yang tidak mau mengerjakan sholat,
padahal Nabi sendiri da para sahabatnya sudah melaksanakan sholat sebelum
perintah wajibnya sholat lima waktu.
Di samping itu sangat aneh sekali, satu sisi mencari dan bermakrifat kepada
Allah, tetapi sisi lain justru tidak menjalankan perintah dari Allah yaitu sholat
lima waktu. Di sinilah letak kelemahan pemikiran mereka padahal salah satu
syarat untuk menuju makrifat kepada Allah adalah dengan taqwa, yaitu
menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan Allah, sedangkan sholat
adalah perintah allah.
Daftar Isi
[1] http://www.haydarya.com/maktaba_moktasah/07/book_00/main.htm

[2] (Syaikh Kulaini dalam kitabnya Ushul al-Kafi bab Annahu la Yuraf illa Bihi.
http://www.alseraj.net//k/html/ara/books/al-kafi-1/27.html)
[3] (Riwayat Bukhori
http://library.islamweb.net/newlibrary/display_book.php
Riwayat Muslim
http://library.islamweb.net/hadith/display_hbook.php)
[4]
Ibn
Rajab,
Fathul
Bari,
http://library.islamweb.net/newlibrary/
display_book.php?idfrom=1&idto=12&bk_no=52&ID=2).
[5] Tafsir At-Thabari, http://quran.ksu.edu.sa/tafseer/tabary/sura2-aya187.html

Você também pode gostar