Você está na página 1de 80

AJARAN KAUM SUFI

Al-Ta-aruf li-Madzhabi Ahl Al-Tashawwuf


Karya : Ibn Abi Ishaq Muhammad ibn Ibrahim ibn Yaqub Al-Bukhari AL-KALABADZI
Penerbit : Mizan Bandung
Tahun : April 1985
Penerjemah : Rahmani Astuti
Penyadur : Pujo Prayitno
mukadimah
Dengan Nama Allah Yang Maha Pemurah dan Penyayang
Puji syukur bagi Allah yang, karena kebesaran-Nya, terselubung dari pandangan mata, dan karena
kegemilangan dan kekuasaan-Nya dimuliakan atas segala yang dapat dicapai akal; yang esensi-Nya,
karena tiada duanya, tidak sama dengan esensi para makhluk, dan yang sifat-sifat-Nya jauh berbeda
dari syfat-sifat para makhluk yang dilahirkan sepanjang waktu. Dia-lah Yang Permulaan, Yang tak
akan pernah lenyap, dan Yang Kekal, dan tak pernah mati; Mahatinggi Dia dari segala penyamaan,
penetangan, dan pelukisan bentuk. Dengan tanda-tanda dan isyarat-isyarat-Nya, Dia menuntun
ciptaan-Nya menuju (pengetahuan akan) Keesaan-Nya dan Dia membuat diri-Nya dikenal oleh para
Wali-Nya lewat nama-nama-Nya, gelar dan sifat-sifat-Nya; sebab didekatkan-Nya pada-Nya
bagian-bagian rahasia mereka dan dibuat-Nya hati mereka cenderung akan Dia, Dengan kebaikanNya hati nurani mereka dari ketidak sucian badaniah mereka, (jiwa-jiwa) dan ditinggikan-Nya sifatsifat mereka agar tidak menyamakannya dengan segala yang dapat punah,
Dia telah memilih di antra mereka orang-orang yang dikehendaki-Nya untuk menjadi utusan-utusan
dan penerima-penerima wahyu-Nya; Dia telah memberi mereka kitab-kitab yang berisi perintah dan
larangan, memberi kabar gembira bagi mereka yang patuh, dan ancaman-ancaman pada mereka
yang ingkar. Dia telah menjelaskan kelebihan mereka atas manusia-manusia lain dan meninggikan
derajat mereka di atas segenap orang, betapapun mulianya.
Dengan Muhammad saw. Allah telah menutup rangkaian para Nabi itu, menanamkan Iman dan
Tawakal dalam dirinya; sebab agamanya adalah sebaik-baiknya agama dan umatnya adalah sebaikbaiknya umat; hukumnya tidak akan dapat dibatalkan dan tidak ada umat yang menyamai umatnya.
Di antara mereka Allah telah menempatkan orang-orang terpilih, unggul dan saleh; kebaikan Tuhan
telah datang pada mereka sejak dini. Sebab Tuhan telah mengikat mereka dengan firman-Nya agar
mereka bertakwa pada-Nya, dan memalingkan jiwa-jiwa mereka dari dunia ini. Mereka
bersungguh-sungguh dalam usaha mereka, dan mereka mendapatkan ilmu-ilmu (yaitu dari AlQuran), mereka bekerja dengan tulus dan mereka diberi ilmu-ilmu (yakni tradisi (hadits) dan kisahkisah para Wali (akhbar)), hati nurani mereka murni dan mereka dimuliakan dengan intuisi sejati
(Yaitu pengetahuan ghaib yang dipeoleh dari pengalaman pribadi seseorang); kaki-kaki mereka
teguh, pemahaman-pemahaman mereka jelas, cahaya mereke terang, mereka memliki pengertian
akan Tuhan, menempuh perjalanan untuk mendekati Tuhan dan mengelak dari segala sesuatu selain
Tuha. Cahaya mereka menembus segala selubung, bagian-bagian rahasia dalam diri mereka
berputar-putar di sekeliling singgasana Tuhan; begitu tinggi mereka dinilai oleh Dia yang duduk di
atas singgasana itu, dan mata mereka buta dari segala yang ada di bawah singgasana itu. Mereka
adalah jasad-jasad ruhaniah, yang di atas bumi bersifat jasmaniah dan dicipta dengan dibekali sifatsifat Ketuhanan; diam dan merenung, mangkir (dari manusia) tapi ada (bersama Tuhan), raja-raja
yang berpakain gembel, orang-orang buangan dari segala bangsa, pemilik segala kebaikan dan
cahaya segala petunjuk, telinga-telinga mereka peka, hati nurani mereka murni, sifat-sifat mereka
tersembunyi, terpilih tercerahkan dan murni. Mereka semua ini ditempatkan oleh Tuhan di antara
ciptaan-Nya dan dipilih di antara mereka yang dicipta oleh-Nya, mereka adalah saksi-saksi Tuhan
untuk Nabi-Nya, dan rahasia-rahasia-Nya dipercayakan-Nya pada manusia pilihan-Nya. Semasa
hidup Nabi, mereka merupakan orang-orang yang duduk daam mahkamah beliau dan seetelah Nabi

wafat mereka menjadi umat terbaik beliau. Kemudan yang pertama tidak henti-hentinya memanggil
yang ke dua, dan leluhurnya memanggil keturunannya, dengan lidah dari karyanya, yang
membebaskan dari keharusan berbicara. Tapi setelah itu kehendak menghilang dan tujuan merosot;
dan dengan ini datanglah hujan pertanyaan dan jawaban, buku-buku dan risalah-risalah; arti intinya
diketahui oleh mereka yang menuliskannya dan dada (mereka yang membacanya) terbuka untuk
mengertinya. Akhirnya, arti menghilang dan tinggalah namanya, isi pokoknya lenyap dan
bayangannya menggantikannya, realisasi menjadi hiasan dan tahqiq (ferivikasi) menjadi dandanan.
Orang yang tak mengenal (kebenran) berpura-pura memilikinya, dan orang yang hanya pernah
menyebutkannya menghiasai dirinya dengan itu, orang yang banyak membicarakannya,
menolaknya dengan tindakannya, dengan sikapnya. Yang tidak merupakan bagian dari padanya,
dimasukkan ke dalamnya , yang tidak ada di dalamnya, dianggap berasal darinya, kebenarannya
dijadikan salah dan orang yang mengetahuinya dikatakan bodoh, Tapi orang yang telah
berpengalaman dengan (kebenran) itu pergi menjauh karena iri padanya; orang yang telah
melukiskannya bungkam karena dengki padanya. Maka hati nurani (manusia) lari darinya dan jiwajiwa pergi meninggalkannya; ilmu dan penganut-penganutnya, larangan dan penerapannya lenyap;
yang bodoh menjadi ilmuwan dan ilmuwan menjadi pemandu jalan.
Hal inilah yang memancing saya untuk menguraikan, dalam buku saya ini, cara para sufi itu,
penjelsan sikap dan sifat mereka. Di sini saya telah memperbincangkan ajaran-ajaran mereka
menyangkut ke-Esa-an dan sifat-sifat Tuhan, dam semua hal lain yang berhubungan dengan itu;
sebab, keraguan telah muncul di antara orang-orang yang tidak mengetahui dogma-dogma mereka
dan tidak mempelajari dogma-dogma tersebut di bawah syekh-syekh mereka. Saya kemukakan
dalam bahasa ilmu, semua yang dapat dikemukakan; dan saya perikan dengan pemaparan lahiriah,
semua yang pantas diperikan, sehingga hal itu bisa dimengerti oleh orang-orang yang belum
mengerti kiasan-kiasannya, dan dipahami oleh orang-orang yang belum memahami ungkapanungkapannya.
Dengan ini saya telah berusaha keras untuk membela mereka melawan rasa iri orang-orang yang iri
dan penafsiran buruk orang-orang yang bodoh. Buku ini sekaligus bisa menjadi petunjuk bagi
mereka yang ingin mengikuti jalan Tuhan, dan membutuhkan Tuhan untuk mencapai realisasinya.
Hal tersebut telah saya lakukan setelah mula-mula saya pelajari secara menyeluruh tulisan orangorang yang benar-benar berpengalaman dalam masalah ini dan saya saring cerita-cerita dari orangorang yang telah mencapai realisasi sejati kebenaran itu; saya juga telah berhubungan dengan
orang-orang semacam itu dan menanyai mereka. Saya telah menyebut buku ini Kitab Pengetahuan
tentang Ajaran Kaum Sufi yang menunjukan pokok-pokok isinya. Dari Tuhan saya mencari
bantuan, dan kepada-Nya saya beriman; Nabi-Nya saya muliakan, saya jadikan beliau sebagai
perantara saya. Tiada kekuatan atau bantuan, kecuali dari Tuhan.

DAFTAR
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.
36.
37.
38.
39.
40.
41.
42.
43.
44.
45.
46.
47.
48.
49.

- ISI BUKU

Apa sebabnya Orang-orang Sufi dinamakan SUFI.


Daftar orang-orang Termasyhur di antara para Tokoh Sufi.
Daftar Sufi yang menerbitkan ilmu-ilmu kiasan dalam Kitab-kitab dan Risalah-risalah.
Daftar Orang-orang Sufi yang telah menulis tentang Akhlak.
Ajaran Kaum Sufi tentang Ke-Esaan Tuhan.
Ajaran Kaum Sufi tentang Sifat-sifat Tuhan.
Perselisihan Kaum Sufi tentang masalah apakah Tuhan telah berhenti mencipta.
Perselisihan Kaum Sufi tentang Nama-nama Tuhan.
Ajaran Kaum Sufi tentang Al-Quran.
Perselisihan Kaum Sufi tentang Sifat Firman.
Ajaran Kaum Sufi tentang Penglihatan (Nazhar)
Perselisihan Kaum Sufi tentang Penglihatan Nabi.
Ajaran Kaum Sufi tentang Takdir dan Penciptaan Tindakan.
Ajaran Kaum Sufi tentang (Batas) Kemampuan.
Ajaran Kaum Sufi tentang Paksaan.
Ajaran Kaum Sufi tentang Kemanfaatan.
Ajaran Kaum Sufi tentang Janji Baik dan Ancaman.
Ajaran Kaum Sufi tentang Syafaat.
Ajaran Kaum Sufi tentang Anak-anak.
Ajaran tentang Kewajiban-kewajiban yang dibebankan oleh Tuhan kepada Wakil-wakil-Nya.
Ajaran Kaum Sufi tentang Marifat Ketuhanan.
Perselisihan Kaum Sufi tentang Sifat Marifat.
Ajaran Kaum Sufi tentang Ruh.
Ajaran Kaum Sufi tentang Para Malaikat dan Rasul.
Ajaran Kaum Sufi tentang Kesalahan-kesalahan Para Nabi.
Ajaran Kaum Sufi tentang Kekuatan Gaib (Karomah) Para Wali.
Ajaran Kaum Sufi Mengenai Iman.
Ajaran Kaum Sufi Mengenai Hakikat-Hakikat Iman.
Ajaran Kaum Sufi Mengenai Madzab-Madzab yang Sah.
Ajaran Kaum Sufi Mengenai Penghasilan.
Mengenai Ilmu-Ilmu Sufi tentang Keadaan-Keadan (Ahwal).
Mengenai Sifat dan Makna Tasawuf.
Mengenai Pengungkapan Pikiran.
Mengenai Tasawuf dan Ketentraman Bersama Tuhan.
Ajaran Kaum Sufi Mengenai Tobat.
Ajaran Kaum Sufi Mengai Zuhud.
Ajaran Kaum Sufi Mengenai kesabara,
Ajaran Kaum Sufi Mengenai Kefakiran.
Ajaran Kaum Sufi Mengenai Kerendahan Hati (Tawadhu).
Ajaran Kaum Sufi Mengenai Ketakutan (Khauf).
Ajaran Kaum Sufi Mengenai Ketakwaan.
Ajaran Kaum Sufi Mengenai Keikhlasan
Ajaran Kaum Sufi Mengenai Syukur.
Ajaran Kaum Sufi Mengenai Tawakal.
Ajaran Kaum Sufi Mengenai Kepuasan,
Ajaran Kaum Sufi Mengenai Kepastian.
Ajaran Kaum Sufi Mengenai Zikir
Ajaran Kaum Sufi Mengenai Keintiman (Uns).
Ajaran Kaum Sufi Mengenai Kedekatan (Qurb).

50.
51.
52.
53.
54.
55.
56.
57.
58.
59.
60.
61.
62.
63.
64.
65.
66.
67.
68.
69.
70.
71.
72.
73.
74.
75.

Ajaran Kaum Sufi Mengenai Penyatuan (Ittihad).


Ajaran Kaum Sufi Mengenai Cinta (Mahabbah).
Ajaran Kaum Sufi Mengenai Pelepasan dan pemisahan.
Ajaran Kaum Sufi Mengenai Kegairahan (Wajd).
Ajaran Kaum Sufi Mengenai Keterkuasaan.
Ajaran Kaum Sufi Mengenai Kemabukan (Sukr).
Ajaran Kaum Sufi Mengenai Ketiadaan dan Kehadiran.
Ajaran Kaum Sufi Mengenai Pemusatan dan Pemisahan.
Ajaran Kaum Sufi Mengenai Wahyu.
Ajaran Kaum Sufi Mengenai Keluruhan (Fana) dan Kebakaan.
Ajaran Kaum Sufi Mengenai Hakikat Marifat.
Ajaran Kaum Sufi Mengenai Peng-Esaan ((Tauchid).
Ajaran Kaum Sufi Mengenai Pemerian Marifat.
Ajaran Kaum Sufi Mengenai Yang Mencari dan Yang Dicari.
Ajaran Kaum Sufi Mengenai Upaya Keras (Mujahadah) dan Ibadah.
Ajaran Kaum Sufi Mengenai Mengajar Orang Lain.
Mengenai Ketakwaan dan Amal-Amalnya.
Mengenai Anugerah Tuhan Kepada Sufi dan Peringatannya Lewat Suara-Suara Gaib.
Mengenai Peringatan Tuhan Kepada Mereka Dengan Pemberian Wawasan Batin.
Mengenai Peringatan Tuhan Kepada Mereka Melalui Pemikiran.
Mengenai Peringatan Tuhan Kepada Mereka Lewat Penglihatan dan Mukjizat.
Karunia Tuhan Kepada Mereka Yang Timbul Dari Rasa Cemburu-Nya.
Karuna Tuhan Berupa Kesulitan-Kesulitan Yang Harus Mereka Tanggung.
Karunia Tuhan Kepada Mereka Ketika Mereka Meninggal dan Sesudahnya.
Mengenai Karunia-Karunia Lain Yang Diberikan kepada Mereka.
Mengenai Audisi (Sama).

1.
APA SEBABNYA ORANG-ORANG SUFI DINAMAKAN SUFI
Beberapa orang mengatakan : Para sufi dikatakan demikian hanya karena kemurnian (shafa) hati
dan kebersihan tindakan mereka (atsar). Bisyr ibn al-Harits mengatakan Sufi adalah orang yang
hatinya tulus (shafa) terhadap Tuhan. Yang lain mengatakan : Sufi adalah orang yang tulus
terhadap Tuhan dan mendapat rahmat tulus dari Tuhan. Sebagian mereka telah mengatakan :
Mereka dinamakan sebagai para sufi karena berada pada baris pertama (shaff) di depan Tuhan,
karena besarnya keinginan meraka akan Dia, kecenderungan hati mereka terhadap-Nya dan
tingginya bagian-bagian rahasia dalam diri mereka di hadapan-Nya. Yang lain telah mengatakan :
mereka dinamakan Sufi karena sifat-sifat mereka menyamai sifat orang-orang yang tinggal di
serambi masjid (shufffah), yang hidup pada masa Nabi saw. Yang lain-lain lagi telah mengatakan :
Mereka dinamakan Sufi hanya karena kebiasaan mereka mengenakan baju bulu domba (shuf).
Orang-orang yang menisbahkan orang-orang Sufi dengan orang-orang yang tinggal di serambi
masjid dan dengan bulu domba, manampakkan aspek lahiriah keadaan meraka; sebab meraka
adalah orang-orang yang telah meninggalkan dunia ini, pergi dari rumah-rumah mereka, dan dari
sahabat-sahabat mereka. Mereka berkelana ke sluruh negeri, menganggap tabu hasrat-hasrat
jasmani dan menelanjangi tubuh mereka; mereka mengambil benda-benda dunia hanya asal cukup
untuk menutupi ketelanjangan mereka dan menghilangkan kelaparan. Karena kepergian mereka dari
rumah, mereka dinamakan orang-orang asing. Karena banyaknya pengembaraan yang mereka
lakukan, mereka dinamakan Pengembara; karena perjalanan mereka di padang-padang pasir dan
pengungsian mereka di gua-gua pada waktu terdesak, orang-orang tertentu di negeri itu (diyar)
menamai mereka Syikaftis, sebab kata syikaft dalam bahasa mereka berarti Gua atau gua besar.
Orang-orang syria menamai mereka : Orang-orang yang lapar, sebab mereka hanya makan asal
cukup untuk mempertahankan kekuatan mereka pada waktu terdesak. Maka Nabi saw. mengatakan :
Cukuplah bagi putra-putra Adam biji-bijian yang bisa menjaga kekuatan mereka. Sarri as Saqathi
melukiskan mereka begini : Makanan mereka adalah makanan orang sakit, tidur mereka adalah
tidur orang yang tenggelam, pembicaraan mereka adalah pembicaraan orang bodoh. Karena
mereka tidak memiliki apa-apa, maka mereka dinakamakan Pengemis. Salah seorang dari mereka
ditanya Siapakah Sufi itu? Dia menyahut : Orang yang tidak memiliki, tak pula dimiliki.
Dengan sahutan itu dimaksudkan bahwa dia bukan budak nafsu. Yang lain mengatakan : Sufi
adalah orang yang tidak memiliki apa-apa, atau kalau dia memiliki, dihabiskannya. Dikarenakan
baju dan cara mereka memakainya, maka mereka dinamai orang-orang Aufi; sebab, mereka tidak
mengenekanakn pakaian yang lembut atau indah, demi menyenangkan jiwa; mereka berpakaian
hanya untuk menyembunyikan ketelanjangan mereka, memuaskan diri mereka sendiri dengan kain
dan bulu domba yang kasar.
Nah, semua ini merupakan kenyataan keadaan hidup oarng-orang yang tinggal di serambi masjid di
masa Nabi saw. sebab mereka semua adalah orang-orang asing, melarat, terbuang, teusir dari tempat
tinggal dan harta milik mereka. Abu Hurairah dan Fudhalan ibn Ubadi melukiskan mereka sebagai
berikut : Mereka hampir mati kelaparan, sehingga orang-orang Badui menganggap mereka gila.
Pakaian mereka dari bulu domba, sehingga bila mereka berkeringat, bau mereka seperti bau domba
kehujanan. Begitulah sesungguhnya mereka dilukiskan orang. Uyainah ibn Hisn berkata kepada
Nabi saw. : bau orang-orang ini menyusahkan saya. Tidakkah itu menyusahkan Anda juga?
Bulu domba addalah juga pakaian para Nabi dan Wali. Abu Musa al-Asyari menceritakan kisah
berikut dari Nabi : Di dekat karang di Rawha, tujuhpuluh orang Nabi bertelanjang kaki, berpakaian
aba (baju dari kulit domba) kembali dari Rumah Lama (Kabah). Al-Hasan a-Bashri mengatakan :
Isa .s. biasa mengenakan kain, makan buah dari pepohonan dan melewatkan malam di mana saja
beliau kebetulan berada. Abu Musa al-Asyari mengatakan : Nabi saw. biasa mengenakan bulu
domba, mengendarai keledai dan menerima undangan orang-orang jelata (untuk makan bersama
mereka). Hasan al-Bashri mengatakan : Saya mengenal tujuh puluh orang yang ikut bertempur di
Badr, yang bajunya dari bulu domba.

Nah, karena kelompok ini memiliki sifat-sifat yag sama dengan orang-orang yag tinggal di serambi
masjid, seperti yang telah kami lukiskan dan berpakaian seperti mereka, maka mereka dinamakan
Shuffiyah-shuffiyah.. Orang-orang yag menghubungkan mereka dengan serambi masjid dan
Barisan Pertama menceritakan hati dan batin mereka sebagai berikut : Sebab kalau orang-orang
meninggalkan dunia ini dan kemudian menjauhi minuman keras dan menyisih darinya, Tuhan
menyucikan (shaffa) hati nuraninya (sirr) dan menerangi hatinya.
Nabi saw. telah mengatakan : Kalau cahaya merasuk hati, dia akan meluas dan membesar.
Mereka berkata : Dan apabila tandanya, wahau Rasul Allah?
Beliau menjawab : Mengelak dari kebohongan, beralih kepda kekekalan dan bersiap untuk mati
sebelum kematian datang.
Maka Nabi saw. mengatakan bahwa jika seseorang mengelak dari dunia ini, Tuhan akan menyinari
hatinya.
Nabi saw. bertanya kepada Haritshah : Apakah buktinya keimananmu?
Dia menjawab : Saya telah menjauhkan jiwa saya dari dunia ini, saya selalu berpuasa di siang hari
dan berjaga di malam hari, dan seolah-olah saya melihat singgasana Tuhan, dan para penghuni
surga saling berkunjung-mengunjungi dan penghuni neraka saling membenci satu sama lain.
Dengan begitu dia memberi tahu kita bahwa kalau dia menjauhkan jiwanya dari dunia ini, maka
Tuhan akan menyinari hatinya, sehingga apa yang (secara normal) tidak bisa dilihatnya muncul
dalam pandangannya. Nabi juga berkata : Jika aa orang yang ingin melihat seorang hamba yang
hatinya telah disinari Tuhan, suruhlah dia melihat Haritsah. Karena sifat-sifat tersebut, kelompok
ini juga dinamai kelompok Yang diterangi (nuriyah). Pelukisan ini juga sesuai dengan orangorang yang tinggal di serambi masjid; Tuhan Yang Maha Tinggi juga berfirman : Di dalamnya ada
orang-orang yang ingin membersihkan diri. (Qs. 9:109); (Hal ini berarti) bagian-bagian lahiriahnya
bersih dari kekotoran-kekotoran, dan bagian batiniahnya besih dari pikiran-pikiran jahat. Tuhan
Yang Maha Tinggi juga berfirman : Manusia-manusia yang tidak disibukkan oleh kegiatan niaga,
tidak pula oleh kegiatan dagang, dari mengingat Allah (Qs. 24:37). Lebih-lebih disebabkan oleh
kemurnian kesadaran mereka, maka firasat (firasah) mereka pun selalu benar, Abu Umamah
berkisah bahwa Nabi berkata : Takutlah pada firasat orang yang beriman, sebab dia melihat
dengan cahaya Tuhan. Abu Bakr ash-Shiddiq berkata : Dibisikan dalam kalbuku bahwa anak
dalam perut ini adalah putri Kharijah. Dan memang begitulah nyatanya.
Nabi berkata : Kebenaran keluar dari lidah Umar. Uways al-Qarani berkata pada Harim bin
Haiyan, ketika Harim meneyalaminya, Dan damai bagimu, wahai Harim putra Haiyan!. Padahal
dia tidak pernah melihatnya sebelumnya. Lalu dia berkata : Jiwaku mengenal jiwamu. Abu
Abdillah al-Anthaki berkata : Jika kamu berhunungan dengan orang-orang yang ikhlas,
behubungan dengan ikhlas, sebab mereka adalah mata-mata yang memata-matai hati, yang merasuk
ke dalam kesadaranmu dan timbul hasrat-hasratmu yang di dalam. Maka, jika keadaan seseorang
seperti yang dilukiskan tadi --- jika kesadaran murni, hatinya bersih, dadanya disinari sudah tentu
dia berada di baris pertama; sebab semuanya ini merupakan sifat-sifat para pemimpin. Nabi
berkata : Akan masuk surga tujuh puluh ribu ummatku tanpa harus menjalani perhitungan (hisab).
Lalu beliau meneruskan dan melukiskan sifat-sifat mereka : Orang yang tidak mengamalkan sihir
atau mendekati sihir, yang tidak mencap atau dicap melainkan menaruh kepercayaannya kepada
Tuhan mereka. Lebih jauh lagi, karena kemurnian kesadaran dan luasnya dada mereka serta
kecemerlangan hati mereka, maka mereka memiliki marifat yang sempurna dari Tuhan, dan tidak
memiliki penolong lain untuk menyelesaikan perkara-perkara (asbab) mereka (kecuali Tuhan);
Mereka beriman kepada Tuhan Yang Maha Tinggi, percaya kepada-Nya, puas dengan ketapan-Nya.
Semua sifat ini , didpersatukan dalam nama-nama dan sebutan-sebutan yang diberikan kepada
orang-orang ini, ungkapan-ungkapan itu tepat dan semua asal kata itu mendekati kebenaran.
Meskipun kata-kata ini tampaknya beragam, namun makna dibaliknya sama saja. Jika istilah Shufi
berasal dari kata shafa (kemurnian) atau shafwah (pilihan), maka bentuknya yang benar akan
menjadi shafafiyah; sementara jika istilah itu mengacu pada shaff (baris) atau shuffah ( serambi
masjid), maka jadinya shaffiyah atau shuffiyah. Tentu saja ada kemungkinan (pada asal kata
pertama) bahwa suku kata waw telah dipindahkan ke depan fa sehingga menjadi shufiyah; atau (jika

asal kata yang ke dua diterima) bahwa istilah itu hanya merupakan pleonasme yang marasuk ke
dalam kata itu karena biasa digunakan. Tapi jika asal kata dari shuf (bulu domba) diterima, maka
kata itu tepat dan ungkapannya bagus dari segi tata bahasa, dan sekaligus memiliki semua makna
(yang dibutuhkan) seperti mengelak dari dunia ini, cenderung menjauhkan jiwa darinya,
meninggalkan segala pemukiman yang telah mapan, terus menerus melakukan pengembaraan,
menolak kesenangan-kesenangan jasmani, memurnikan tingkah laku, membersihkan kesadaran,
meluaskan dada, dan sifat kepemimpinan. Bundar ibn al-Husain berkata : Sufi adalah orang yang
dipilih oleh Tuhan untuk diri-Nya sendiri, diberi kasih sayang tulus (shafa) dan dibebaskan dari
yang bersifat jasmani, serta tidak diperkenankan berusaha melakukan segala yang meletihkan atas
dalih apa pun. Maka dia dilindungi (shufi), sebagai perbandingan, orang bisa menyitir ufi (dia
dijaga) kufi (dia diberi imbalan), yaitu bahwa Tuhan telah memberi imbalan kepadanya maka dia
menerima balas jada; dan juzi (dia diberi pahala), yaitu bahwa Tuhan telah memberi pahala
kepadanya maka dia menerima pahala. Yang telah dilakukan oleh Tuhan atas dirinya,
mengejawantah dalam namanya, Meskipun Tuhan sama sekali tidak tergantung pada-Nya. Abu Ali
ar-Ruzhabari, ketika ditanya tentang Sufi menjawab : Orang yang menutupkan bulu domba ata
kemurnian(nya), menganggap nafsunya sebagai tiran, dan setelah menjauhi dunia, berjalan di jalan
manusia terpilih. Sahl ibn Abdillah at-Tustari memberikan jawaban sebagai berikut, ketika ditanya
padanya pertanyaan yang sama : Orang yang bersih dari ketidak murnian dan selalu merenung;
yang terputus hubungannya dengan manusai lain demi mendekati Tuhan, dan yang di matanya emas
dan lumpur sama nilainya. AbuL huasin an-Nuri, ketika ditanya apakah tasawuf itu, menjawab :
Meningalkan segala yang bersifat jasmani. Al-Junaid menjawab pertanyaan yang sama :
Tasawuf berarti memurnikan hati dari berhubungan dengan makhluk-makhluk lain, meninggalkan
sifat-sifat alamiah, menekan sifat-sifat manusiawi, menghindari godaan jasmani, mengambil sifatsifat ruh, mengikatkan diri pada ilmu-ilmu tentang hakikat, mengumpulkan segala sesuautu untuk
masa yang kekal, menasehati seluruh umat, sungguh-sungguh berriman pada Tuhan dan mengikuti
syariah Nabi.
Yusub ibn al- Husain berkata : Dalam setiap umat ada kelompok terpilih, dan merekalah wakil
Tuhan, disembunyikan oleh-Nya dari makhluk-Nya yang lain; orang semacam inilah yang
dinamakan sufi. Seseorang berkata pada Sahl ibn at-Tustari : Di antara berbagai kelompok
manusia ini, dengan siapa saya harus berhubungan? Dia menjawab : Tempatkan dirimu di antara
para sufi, sebab tak ada yang mereka anggap tak dapat diterrima, tapi memberikan penafsiran
ruhaniah (tawil) atas setiap tindakan, dan mereka akan memaafkan segala kekuranganmu, betapa
pun keadaan (hal)mu. Yusuf ibn al-Husain bercerita bahwa dia bertanya pada Dzun Nun : Dengan
siapa saya mesti berurusan?Dia menjawab : Dengan orang yang tidak memiliki apa-apa, dan tidak
mencelamu betatapun keadaanmu; yang tidak berubah ketika kamu berubah, meskipun perubahan
itu besar, sebab semakin kamu berubah, semakin kamu membutuhkan dia. Dzun Nun juga
berkata : Aku melihat seorang wanita di salah sebuah pantai syria, dan aku berkata padanya : dari
mana asalmu (semoga Tuhan melimpahkan kasih-Nya padamu)? Dia menyahut : Dari orangorang yang panggulnya jauh dari ranjang, aku berkata : Dan ke mana tujuanmu? dia menjawab :
Mencari manusia-manusia yang tiada dirintangi oleh kegiatan niaga, tidak pula oleh kegiatan
dagang dalam mengingat Allah. (Qs. 24:37) Aku berkata : Perikan mereka Lalu dia pun mulai
menyitir puisi :
Yang mereka tuju adalah bersatu dengan Tuhan;
Hasrat mereka melambung pada-Nya semata;
Kesetiaan mereka hanya teruntuk Tuhan;
Wahai pencarian mulia, demi Dia Yang Selamanya ada!
Mereka tiada ikut berebut kesenangan dunia.
Kemuliaan, anak-anak, kekayaan dan kemewahan,
Segala keserakahan dan selera tiada mereka hargai;
Hidup enak dan senang di kota-kota ;
Menghadap kaki langit nan jauh, lamat-lamat nun di sana;
Mereka cari Yah Tak Terbatas, dengan tekad nan kuat.

Mereka runut alur-alur padang pasir;


Dan puncak gunung tinggi berduyun-duyun mereka panjat!.
2.
DAFTAR ORANG-ORANG TERMASYHUR DI ANTARA PARA TOKOH SUFI
Berikut ini adalah daftra nama orang-orang yang mengemukakan ilmu-ilmu mereka dan
mengungkapkan pengalaman-pengalaman mereka, yang mengumumkan keadaan diri mereka dan
memerikan keadaan-keadaan ruhaniah mereka, dengan kata-kata dan perbuatan --- setelah para
Sahabat (semoga kebahagiaan dari Tuhan menyertai mereka) : Ali ibn al-HusainZain al- Abidin
Putra Muhammad ibn Ali al-Baqir, dan putranya Jafar ibn Muhammad al-Shadiq mereka semua
ini menyusul setelah Ali, alhasan dan al-Husain (semoga Tuhan berkenan atas mereka!).
Kemudian Uwais al-Qarani, al-Hasan ibn abil-hasan al-Bashri, Abu Hasim Salamah ibn Dinar alMadani, Malik ibn Dinar, Abd al-Wahid ibn Zaid, Utbah al-Ghulam, Ibrahim ibn Adham, AlFudhail ibn Iyad, putranya Ali ibn al-Fudhail, Dawud at-Tai, Sufyan ibn Said ats-Tsauri, Abu
Sulaiman ad_darani, putranya Slaiman, Ahmad ibn ah-Hawari ad-Dimasyqi, Abul-Faidh Dzun Nun
al-Mishri, Saudaranya Dzul-Kifli, Sari ibn al-Mughallis al-Saqathi, Bisyr ibn al-Hrits al-Hafi,
Maruf al-Karkhi, Abu Hudzaifah al-Marsyi, Muhammad ibn al-Mubarak as-Shuri, Yusuf ibn
Asybat, Dari orang-orang Khurasan dan al-Jabal adalah : Abu Yazid Thaifur ibn Isa al-Bistami, Abu
Hafs al-Haddad, al-Naisaburi, Ahmad ibn Khadhruyah al-Balkhi, Sahl ibn Abdillah at-Tustari,
Yusuf ibn al-Husain ar-Razi, Abu Bakr ibn Thahir al-Abhari, Ali ibn Sahl ibn al-Azhar al-Isfahani,
Ali ibn Muhammad al-Barizi, Abu Bakr al-Kattani ad-Dinawari, Abu Muhammad ibn al-Hasan ibn
Muhammad ar-Rajjani, Al-Abbas ibn al-Fadhl ibn Qutaibah ibn Manshur ad-Dinawari, Kahmas ibn
Ali al-Hamdani dan al-Hasan ibn Ali ibn Yazdaniyar.
3.
DAFTAR ORANG-ORANG SUFI YANG MENERBITKAN ILMU-ILMU KIASAN DALAM
KITAB-KITAB DAN RISALAH-RISALAH
Abul-Qasim al-Junaid ibn Muhammad al-baghdadi, Abul-Husain Ahmad ibn Muhammad ibn
Abdish-Shamad an-Nuri, Abu Isa al-Kharraz yang disebut sebagai Lidah Sufisme. Abu
Muhammad Ruwaim ibn Muhammad, Abul-Abbas Ahmad ibn Atha, Abu Abdillah Amr ibn
Utsman al-Makki, Abu Yaqub Yusuf ibn Hamdan as-Susi, Abu Yaqub Ishaq ibn Muhammad ibn
Ayyub an-Nahrajuri, Abu Muhammad al-Hasan ibn Muhammad al-Jurairi, Abu Abdillah
Muhammad ibn Ali al-Kattani, Abu Ishaq Ibrahim ibn Ahmad al-Khawwas, Abu Ali al-Auzai, Abu
Bakr Muhammad ibn Musa al-Wasithi, Abu Abdillah al-Hasyimi, Abu Abdillah Haikal al-Qurasyi,
Abu Ali al-Rudzabari, Abu Bakr al-Qahtabi, Abu Bakr al-Sybli yang disebut Dhulaf ibn Jahdar.
4.
DAFTAR ORANG-ORANG SUFI YANG TELAH MENULIS TENTANG AKHLAK
Abu Muhammad Abdullah ibn Muhammad al-Anthaki, Abdullah ibn Khubaiq al-Anthaki, alHaritsad al-Muhasibi, Yahya bin Muadz ar-Razi, Abu Bakr Muhammad ibn Umar ibn al-Fadhl alWarraq at-Tirmidzi, Abu Utsman Said ibn Ismail ar-Razi, Abu Abdillah Muhammad ibn al-Fadhl
al-Balkhi, Abu Ali al-Juzajani, Abul Qasim ibn Ishaq ibn Muhammad al-Hakim al-Samarqandi.
Mereka semua adalah pemimpin-pemimpin (alam) yang dikenang dan dikenal banyak orang, yang
sifat-sifat ulungnya telah disaksikan oleh orang banyak. Mereka mempersatukan ilmu-ilmu yang
diwarisi (secara langsung dari Allah swt) dengan ilmu-ilmu yang dipelajari (lewat usaha belajar);
mereka menyimak Hadits dan menggabungkan hukum, teologi (kalam), linguistik dan ilmu AlQuran; dan dalam hal ini buku-buku dan karangan-karangan mereka menjadi saksi. Kami tidak
menyebutkan para penulis yang lebih baru atau penulis-penulis yang sezaman dengan kita,
meskipun mereka sama sekali tidak kurang ulung dibandingkan dengan orang-orang yang namanya

disebut di atas, sepanjang yang menyangkut pengetahuan. Kehadiran mereka di antara kita
membuat kita tidak perlu lagi membahas mereka.
5.
AJARAN KAUM SUFI TENTANG KEESAAN TUHAN
Orang-orang sufi mengakui bahwa Tuhan itu Satu, Sendiri, Tunggal, Kekal, Abadi,
Berpengetahuan, Berkuasa, Hidup, Mendengar, Melihat, Kuat Kuasa, Agung, besar, Dermawan,
Pengampun, Bangga, Dhasyat, Tak Berkesudahan, Pertama, Tuhan, Rabb, Penguasa, Pemilik,
Pengasih, Penyayang, Bekehndak, Berfirman, Mencipta, Menjaga, bahwa Dia diberi sifat dengan
segala gelar, yang dengan itu Dia telah memberi sifat pada diri-Nya sendiri, dan Ia diberi nama
yang dengan itu pula Dia telah memberi nama pada Diri-Nya sendiri, Bahwa karena sifat-Nya yang
kekal, maka demikian pula nama-nama dan sifat-sifat-Nya sama sekali tidak sama dengan esensiesensi lain, tak pula sifat-Nya sama dengan sifat-sifat lain,tak satupun dari istilah-istilah yang
diterapkan pada makhluk-makhluk ciptaan-Nya dan yang mengacu pada penciptaan mereka dari
waktu ke waktu , membawa pengaruh atas-Nya, bahwa Dia tak henti-hentinya menjadi Pemimpin,
Terkemuka di hadapan segala yang ada, dan bahwa tiada sesuatu pun yang kekal kecuali Dia, dan
Tiada Tuhan di samping Dia; Bahwa Dia bukan badan, potongan, bentuk, tubuh, unsur atau aksiden,
Bahwa Dia tidak ada penyimpangan maupun pemisahan, tidak ada gerakan maupun kediaman, tidak
ada penambahan maupun pengurangan; bahwa Dia bukan merupakan bagian, atau partikel, atau
anggota, atau kaki tangan, atau aspek, atau tempat, bahwa Dia tidak terpengaruh oleh kesalahan,
atau kantuk, atau berubah-ubah dikarenakan waktu, atau disifatkan oleh kiasan bahwa Dia tidak
terpengaruh oleh ruang dan waktu, bahwa Dia tidak dapat dikatakan sebagai yang ddapat disentuh,
atau dikucilkan, atau mendiami tempat-tempat; bahwa Dia tidak dibatasi oleh pemikiran, atau
ditutupi selubung, atau dilihat mata.
Salah seorang tokoh besar Sufi mengatakan dalam wacananya (Al Hallaj) : Sebelum tidak
mendahului-Nya, setelah tidak menyela-Nya, daripada tidak bersaing dengan dia dalam hal
keterdahuluan; dari tidak sesuai dengan Dia; ke tidak menyatu dengan Dia; di tidak mendiami Dia;
kala tidak menghentikan Dia; jika tidak berunding dengan Dia, atas tidak membayangi Dia; di
bawah tidak menyangga Dia; sebaliknya tidak menghadap-Nya; dengan tidak menekan Dia; di balik
tidak mengikat Dia; di depan tidak membatasi Dia; terdahulu tidak memameri Dia; di belakang
tidak membuat Dia luruh; semua tidak menyatukan Dia; ada tidak memunculkan Dia; tidak ada
tidak membuat Dia lenyap; Penyembunyian tidak menyelubungi Dia, pra eksistensi-Nya
mendahului waktu, adanya Dia mendahului yang belum ada, kekekalan-Nya mendahului adanya
batas. Jika engkau berkata kala maka eksistensi-Nya telah melampau waktu; jika engkau berkata
sebelum, maka sebelum itu sesudah Dia; jika engkau berkata Dia maka D, i dan a (huwa) adalah
ciptaan-Nya; jika engkau berkata bagaimana, maka esensi-Nya terselubung dari pemerian, jika
engkau berkata di mana, maka adanya Dia mendahuli ruang; jika engkau berkata tentang ke-Dia-an,
maka ke-Dia-an-Nya terpisah dari segala sesuatu. Selain Dia, tidak ada yang bisa diberi sifat dengan
dua sifat (yang berlawanan) sekaligus, dan toh dengan-Nya kedua sifat itu tidak menciptakan
keberlawanan. Dia tersembunyi dalam penjelaman-Nya menjelma dalam persembunyian-Nya. Dia
ada di luar dan di dalam, dekat dan jauh; dan dalam hal itu Dia tidak sama dengan makhlukmakhluk. Dia bertindak tanpa menyentuh, memerintah tanpa bertemu, memberi petunjuk tanpa
menunjuk. Kehendak tidak bertentangan dengan-Nya, pikiran tidak menyatu dengan-Nya; esensiNya tanpa kualitas (takyif), tindakan-Nya tanpa upaya (taklif)
Mereka mengakui bahwa Dia tidak bisa dilihat oleh mata, atau dibantah oleh pikiran, bahwa sifatsifat-Nya tidak berubah dan nama-nama-Nya tidak diganti, bahwa Dia yang Pertama dan Terakhir,
Zahir dan Batin; bahwa Dia mengenal segala sesuatu, bahwa tidak ada yang seperti Dia dan Dia
Melihat dan mendengar.

6.
AJARAN KAUM SUFI TENTANG SIFAT-SIFAT TUHAN
Mereka mengakui bahwa Tuhan memliki sifat-sifat yang nyata, dan bahwa Dia disifatkan dengan
sifat-sifat tersebut, yaitu : berpengathuan, kuat, berkuasa, besar, berbelas kasih, bijaksana, agung,
makakuasa, kekal, hidup, berkehendak, berfirman. Semua ini bukan merupakan badan, aksiden atau
elemen. Mereja juga mengakui bahwa Dia memiliki pendengaran, penglihatan, wajah dan tangan,
yang dalam kenyataannya tidak seperti pendengaran, penglihatan, wajah dan tangan yang biasa.
Mereka mengakui bahwa ini semua merupakan sifat-sifat Tuhan, buaknnya anggota, kaki
tanganatau bagian-Nya; bahwa semua itu bukan Di atau selin Dia; dan bahwa adanya semua itu
tidak mengisyaratakan bahwa dia membutuhkan mereka. Atau bahwa Dia melakukan segala sesuatu
dengan menggunakan mereka. Makna mereka merupakan sangkalan atas kebalikan mereka, yaitu
makna yang merupakan pernyataan tegas bahwa keduanya ada dalam diri mereka sendiri, dan hidup
karena Dia. Sebab pengeathuan itu tidak mengisyarakatkan sangkalan atas kebodohan, atau bahwa
kekuasaan semata-mata mengandung arti sangkalan atas kelemahan; dalam hal yang bertama,
pernyataan itu juga merupakan suatu penegasan pengetahuan, dan dalam hal yang ke dua penegasan
kekuasaan. Jika seseorang memiliki pengetahuan karena dia tidak memiliki kebodohan, atau jika dia
memiliki kekuasaan, hanya karena dia tidak memiliki cukup kelemahan, maka sangkalan atas
kebodohan dan kelemahan itulah yang mengandung arti bahwa orang itu memiliki pengetahuan dan
kekuasaan; dan demikian juga halnya dengan semua sifat lain. Fakta bahwa kami memerikan Tuhan
sebagai yang memiliki semua sifat itu, tidak lantas berarti bahwa kami melimpahkan sifat atas-Nya;
pemerina kami semata-mata merupakan penyifatan oleh kami sendiri, suatu nilai yang kami berikan
pada sifat yag ada karena Dia. Jika ada orang mengatakan bahwa pemeriannya tentang Tuhan
memiliki suatu sifat sejati, maka dia adalah seorang penipu yang nyata-nyata melawan Tuhan, sebab
dia menyifati Tuhan dengan sifat yang tidak benar. Masalah ini tidak seperti penyebutan biasa,
sebab seseorang mungkin saja disebut merupakan sifat dari orang yang menyebutkannya, bukan
yang disebut. Orang yang disebut itu disebut dengan sebutan orang yang menyebutnya, tapi
seseorang dinilai tidak dengan pemerian orang yang memerikannya. Nah, jika penyifatan oleh orang
yang memerikan itu merupakan sifat Tuhan, maka penyifatan oleh orang-orang musyrik dan orangorang kafir akan menjadi sifat-Nya, seperti anggapan bahwa Tuhan itu beristeri, putra dan sateru.
Tapi Tuhan telah menyucikan diri-Nya sendiri dari penyifatan mereka itu ketika Dia berfirman :
Maha Suci, dan Maha Tinggi Dia dari segala yang mereka perikan!. (S.VI,100). Tuhan Yang Maha
Tinggi disifati dengan sifat yang ada karena Dia, dan tidak terpisah dari Dia, Maka Dia berfirman :
Sedang mereka tidak mengetahui sedikit pun Ilmu Tuhan itu. (S.ii, 256). Dia juga berfirman :
Tuhan menurunkannya dengan perhitungan ilmu-Nya. (S. iv, 164) dan Tidak seorang wanita pun
yang mengandung dan melahirkan, melainkan dengan setahu Dia. S.xxxV.12) dan lagi : Yang
mempunyai kekuatan yang amat tangguh. (S.Li.58). Allah mempunyai karunia yang besar.
(S.Lvii.29). Allah itu Maha Kaya, Tumpuan Puji. (S.xxxv.11). Yang mempunyai kebesaran dan
kemuliaan. (S.Lv.78).
Mereka juga mengakui bahwa sifat-sifat-Nya tidaklah bermacam-raam, tidak juga sama; bahwa
pengetahuan-Nya tidak dama dengan kekuatan-Nya, bukan pula sesuatu yang lain dari kekuatanNya, dan demikian juga dengan semua siat-Nya, seperti pendengaran, penglihatan, wajah dan
tangan ---- pendengaran-Nya tidak sama dengan penglihatan-Nya, tidak juga sesuatu yang lain dari
penglihatan-Nya, demikian juga sifat-sifat-Nya bukanlaepelikan-kepelikan esensi (Tuhan). h Dia,
tapi juga bukan selain Dia.
Mereka berselisih mengenai masalah campurtangan, kedatangan dan turunnya Dia. Sebagian besar
mereka beranggapan bahwa ini semua merupakan sifat-sifat-Nya, sepanjang tiga masalah itu sesuai
dengan Dia, tapi ketiganya tidak diungkapkan dalam sebagian besar sitiran dan kisah-kisah (Yitu alQur-an dan Hadits), sekalipun begitu, orang harus mempercayainya tanpa sangsi lagi. Muhammad
ibn Musa al-Wasithi berkata : Karena esensi-Nya tidak ada penyebabnya, maka sifat-sifat-Nya pun
tidak ada penyebabnya pula: berusaha menunjukkan kekekalan itu berarti menghilangkan harapan
untuk memahami segala sesuatu dari hakikat sifat-sifat itu atau atau kepelikan-kepelikan esensi

(Tuhan), Salah seorang tokoh Sufi memberi penafsiran esoteris atas sifat-sifat ini dengan
mengatakan : Makna campur tangan-Nya adalah bahwa Dia membawa sendiri apa yang Dia
kehendaki; sedangkan makna turunnya Dia ke sebuah benda adalah bahwa Dia mendekatkan benda
itu pada diri-Nya. Kedekatan-Nya berarti perkenan-Nya dan kejauhan-Nya berarti penghinaan olehNya; dan begitu juga halnya dengan semua sifat yang masing-masing bermakna ganda ini.
7.
PERSELISIHAN KAUM SUFI TENTANG MASALAH APAKAH TUHAN TELAH BERHENTI
MENCIPTA
Mereka berselisih paham mengenai masalah apakah Tuhan telah berhenti mencipta atau tidak.
Ebagian besar dari merreka mayoritas pemimpin dan orang-orang termasyhur di antara mereka
mengatakan bahwa tidak mungkin Tuhanmnedapat sifat kekekalan pada waktu Dia belum berhak
menunutut kekekalan. Tidak benar Dia berhak dari nama Pencipta karena Dia mencipta, atau nama
Pembuat karena Dia mengawasi pembuatan makhluk-makhluk yang bsia mati, atau nama
pembentuk karena Dia membentuk beberpa bentuk; sebab jika begitu, maka berarti selamaya Dia
tidak sempurna, karena Dia hanya menjadi sempurna kalau Dia mencipta sungguh Tuhan jauh lebih
tinggi dari itu!.
Mereka berpendapat bahwa Tuhan selamanya Pencipta. Pembuat, Pembentuk, Pemaf, Penyayang,
Pengasih dan seterusnya, dikarenakan semua sifat-Nya yang dengan sifat-sifat tersebut, Dia
memberi sifat pada diri-Nya sendiri, karena Dia telah diberi sifat dengan semua itu dalam masa pra
kekekalan. Karena Dia disifati pengetahuan, kekuatan, kebesaran, keagungan dan kekuasaan, maka
dengan begitu Dia disifati dengan pembuatan (takwin), penentuan dan pembentukan, demikian juga
dengan kehendak, kebaikan, pengampunan dan pengasihan. Mereka tidak membedakan antara
sebuah sifat yang merupakan tindakan dan sbuah sifat yang tidak dapat diperikan dengan tindakan
seperti kehebatan, kegemilangan, pengetahuan dan kekuatan. Sama saja halnya, karena telah
ditetapkan bahwa Dia Mendengar, Melihat, Berkuasa, Mencipta, Membuat dan Membentuk dan
bahkan Dia Terpuji; toh jika Dia berhak atas nama-nama ini semata-mata karena kebaikan benda
yang diciptakan, dibentuk dan dibuat, maka berarti Dia butuh mencipta; sedangkan kebutuhan
merupakan tanda keduniawian. Lebih-lebih, hal ini akan mengisyaratkan perubahan dan pengalihan
dari satu keadaan ke keadaan lain. Tuhan akan menjadi bukan Pencipta, lalu menjadi Pencipta lagi;
Bukan Yang Berkehendak, tetapi kemudain Berkehendak lagi; dan hal ini akan berarti tebenam
sebagai yang ditolak oleh Ibrahim Karib Tuhan a.s. ketika dia berkata Aku tidak suka kepada
sesuatu yang dapat terbenam. (S.iv.76). Mencipta dan membuat merupakan sifat-sifat Tuhan, yang
dengan jalan itu Dia telah diberi sifat sejak pra kekekalan. Padahal, tindakan dan sesuatu yang
dilakukan bukan merupakan suatu hal yang sama, begitu juga dengan membentuk dan membuat.
Tapi jika tindakan dan sesuatu yang dilakukan itu adalah sama, maka berarti makhluk-makhluk itu
ada dengan sendirinya, sebab hubungan (mana) antara Tuhan dengan mereka tidak ada, kecuali
bahwa mereka sebelumnya tidak ada lalu ada.
Tapi dengan sebagai ari mereka menolak doktrin di atas dan mempertahan pendapat bahwa hal itu
mengisyaratakan bahwa penciptaan itu maujud-bersama dengan Tuhan dan pra-kekekalan.
Mereka mengakui bahwa Dia tidak berhenti menjadi Pengausa, Tuhan dan Rabb, tanpa rakyat atau
abdi. Oleh sebab itu, dengan cara yang sama, bolehlah dakatakan baha Dia adalah Pencipta,
Pembuat dan Pembentuk tanpa ada ciptaan, buatan atau bentukan.
8.
PERSELISIHAN KAUM SUFI TENTANG NAMA-NAMA TUHAN
Mereka berselisih paham mengenai nama-nama (Tuhan). Sebagian mempertahankan pendapat
bahwa nama-nama Tuhan itu bukan Tuhan, tapi juga bukan yang selain Tuhan, sama dengan doktrin
mereka mengenai sifat-sifat-Nya. Sebagian lain berpendapat bahwa nama-nama Tuhan adalah
Tuhan.

9.
AJARAN KAUM SUFI TENTANG AL-QURAN
Mereka mengakui bahwa Al-Quran merupakan firman nyata dari Tuhan, dan bahwa Kitab itu tidak
dicipta atau dimulai pembuatannya secara lambat laun, atau merupakan suatu pembaharuan; bahwa
Al-quran itu disitir oleh lidah kita, ditulis dalam buku-buku kita dan dilestarikan dalam dada kita,
tapi tidak tinggal di dalamnya. Mereka juga mengakui bahwa Al-Quran itu bukan merupakan
badan, unsur atau aksiden.
10.
PERSELISIHAN KAUM SUFI TENTANG SIFAT FIRMAN
Mereka berselisih paham mengenai sifat firman Tuhan. Sebagian besar berpendapat bahwa firman
Tuhan merupakan suatu sifat Tuhan yang abadi yang maujud dalam esendi-Nya, yang tidak sama
dengan pembicaraan makhluk-makhluk; dan bahwa firman itu tidak mengandung sifat esensial
(maiyah), seperti juga esensi-Nya tidak mengandung sifat esesial itu, kecuali hanya untuk
menegaskan. Salah seorang dari mereka telah berkata : Firman Tuhan terdiri atas perintah,
larangan, keterangan, janji (harapan) dan ancaman. Tuhan itu selamanya memerintah, melarang,
memberi keterangan, memberi harapan, mengancam, memuji dan menyalahkan. Oleh sebab itu,
karena kamu telah diciptakan dan karena akalmu telah matang, bertindaklah menurut peraturan
tersebut; sebab kamu akan disalahkan karena ketidakpatuhanmu dan diberi pahala karena
kepatuhanmu (dan semua ini telah ditakdirkan) ketika kamu diciptakan. Sebab dengan cara yang
sama kita diperintah dan dipanggil (oleh Tuhan) lewat Al-Quran yang diwahyukan kepada Nabi,
jauh sebelum kita diciptakan atau maujud.
Sebagian besar mereka mengakui bahwa firman Tuhan tidak terdiri dari tulisan, suara atau ejaan,
melainkan bahwa tulisan, suara dan ejaan tersebut merupakan tanda-tanda dari firman-Nya dan
bahwa ketiganya memiliki alat-alat dan anggota-anggota sendiri; anak lidah, bibir dan lidah. Karena
Tuhan tidak memiliki anggota dan tidak membutuhkan alat-alat, maka Firman-Nya tidak terdiri atas
tulisan atau suara. Seoang tokoh Sufi berkata dalam makalahnya : Siapa pun yang berbicara
dengan menggunakan tulisan, berarti dia tunduk pada penyebab; sedangkan dia yang
pembicaraannya tergantung (pada sesuatu yang lain), tidak lepas dari kebutuhan.
Sebuah kelompok sufi berpendapat bahwa Firman Tuhan memang terdiri dari tulisan dan suara, dan
mereka mempertahankan pendapat bahwa firman itu hanya bisa diketahui dengan cara tersebut, dan
mereka menegaskan bahwa Firman itu merupakan suatu sifat Tuhan dan esensi-Nya sebagai yang
tak diciptakan, Ini adalah pandangan Harits al-Muhasibi dan golongan Modern ibn. Salim.
Jadi, akar masalah ini adalah karena telah ditetapkan bahwa Tuhan itu pra kekal dan Dia tidak sama
dalam hal apa pun dengan makhluk-makhluk, dan bahwa sifat-sifat-Nya tidak sama dengan sifatsifat makhluk, maka dengan demikian Firman Tuhan itu tidak terdiri dari tulisan dan suara,
sebagaimana pembicaraan makhluk-makhluk. Lebih-lebih Tuhan telah menegaskan bahwa hanya
Dia-lah yang memiliki firman itu, ketika Dia berfirman : Dan terhadap Musa, Allah bercakapcakap secara langsung. Dan juga : Adapun perintah yang kami ucapkan bila Kami menghendaki
sesuatu ialah : KUN! Maka jadilah ia. Dan lagi : Supaya dia sempat mendengarkan Firman
Allah. Oleh sebab itu Dia disipati dengan kekekalan; sebab jika Dia tidak selamanya disifati
begitu, maka firman-Nya pasti akan sama saja dengan pembicaraan makhluk-makhluk yag
dilahirkan dari waktu ke waktu dalam pra kekekalan Dia pasti telah diberi sifat kebalikannya, yaitu
diam atau gagap; dan karena telah ditetapkannya, bahwa Dia tidak berubah dan esensi-Nya tidak
mudah dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa, maka pastilah Dia tidak diam, lalu berfirman lagi.
Karena telah ditetapkan bahwa Dia berfirman dan bahwa firman itu tidak diciptakan lambat laun,
perlulah kita mengakui hal ini. Karena telah ditetapkan bahwa firman itu tidak terdiri dari tulisan
dan suara, maka perlulah kita mempertahankan penegasan semacam ini.
Kata Quran dapat ditafsirkan dalam beberpa cara dari segi tata bahasa. Kata itu bisa dianggap
sebagai kata benda verbal dari akar kata membaca seperti yang difirmankan Tuhan : Manakala

Kami telah selesai membacakan, maka ikutilah bacaannya itu. (S.Lxx,18). Kata itu juga bisa
diterapkan pada huruf-huruf dari abjad yang ada dalam salinan-salinan Kitab Suci, seperti yang
dikatakan Nabi : Janganlah bepergian dengan membawa Al-Quran di negeri musuh. Karena itu,
Firman Tuhan dinamakan Quran setiap Quran (bacaan) yang bukan Firman Tuhan itu diciptakan
dan dimulai pembuatannya secara lambat laun, sedangkan Al-Quran yang merupakan Firman
Tuhan tidak diciptakan, tidak pula dimulai pembuatannya seccara lambat laun. Meskipun demikian,
kata Quran hanya bisa dipahami dalam konotasi umumya yang berarti Firman Tuhan, dan dalam
hal itu ia tidak diciptakan.
Orang-orang yang menahan diri agar tidak mengungkapkan diri mereka sendiri dalam masalah ini,
bertindak begitu disebabkan oleh salah ssatu dari dua alasan berikut. Mereka menahan diri karena
mereka ingin memerikannya secara lambat laun sebab memang mereka berpandangan bahwa
firman itu tercipta, Atau, mereka menahan diri disebabkan oleh keberatan-keberatan keagamaan.
Atau, mereka menahan diri karena terikat pada konsepsi bahwa firman itu merupakan sifat Tuhan
dalam esensi-Nya. Satu-satunya sebab yang membuat mereka menahan diri agar tidak
mengungkapkan dan mengucapkan istilah penciptaan (sebagai yang diterapkan di sini) adalah
bahwa mereka terikat pada gagasan yang menganggap firman itu merupakan sifat Tuhan
sedangkan sifat-sifat Tuhanitu tidak tercipta --- dan dengan demikian mereka tidak akan dihukum
karena menolak apa yang mestinya mereka terima. Karena itu, mereka mengatakan bahwa AlQuran merupakan firman Tuhan, dan sesudah itu mereka bungkam, karena baik hadits maupun
puisi-puisi yang disitir mengisyaratakan bahwa firman itu tidak dicipta; dan dipandang dari segi ini,
mereka benar.
11.
AJARAN KAUM SUFI TENTANG PENGLIHATAN (NAZHAR)
Para Sufi mengakui bahwa Tuhan akan bisa dilihat dengan mata di dunia mendatang, dan bahwa
oarng-orang yang beriman akan bisa melihat-Nya sedang orang-orang yang tidak beriman tidak;
sebab, itu merupkana karunia Tuhan sebagaimana yang difirmankan : Untuk orang-orang yang
berbuat kebaikan ada pahala dan bahkan ada pula tambahannya. Mereka berpendapat bahwa
penglihatan itu lewat akal, mungkin, dan lewat pendengaran, pasti. Mengenai kemungkinan melihat
melalui akal, hal ini mungkin karena Tuhan itu maujud, dan segala sesuatu yang maujud (logisnya)
bisa dilihat. Sebab Tuhan telah menanamkan daya lihat dalam diri kita; dan jika daya lihat Tuhan itu
tidak ada, maka permohonan Musa, Wahai Tuhanku! Perlihatkan diri-Mu kepadaku, agar aku dapat
melihat-Mu. Akan merupakan (bukti) kebodohan dan kekafiran. Lebih-lebih, ketika Tuhan
menjadikan penglihatan itu tergantung pada syarat bahwa gunung itu harus tetap tegak ( Dia
berfirman, Kalau bukit itu masih tetap tegak di tempatnya semula, mungkin engkau dapat melihat
Aku, dan mengingat juga bahwa tetap tegaknya bukit itu secara nalar mungkin kalau memang
Tuhan membuatnya tetap tegak maka hal ini berarti bahwa penglihatan yang tergantung pada hal
itu (tetap tegaknya gunung) pun secara nalar mungkin dan bisa diterima. Maka, kaerena telah
ditetapkan bahwa penglihatan lewat akal itu mungkin, dan lebih-lebih karena telah dibuktikan
bahwa penglihatan lewat pendengaran tersebut pasti -- Than berfirman : Saat wajah orang-orang
yang beriman pada hari itu berseri-seri, melepas pandang kepada Tuhannya. Dan lagi : Untuk
orang-orang yang berbuat kebaikan, ada pahala yang baik dan bahkan ada pula tambahannya. Dan
lagi : idak, yang sebenarnya mereka pada waktu itu benar-benar ditutup dari rahmat Tuhan. dan
karena hadits menegaskan bahwa penglihatan itu memang ada, seperti kata Nabi : Sesungguhnya
kamu akan melihat Tuhanmu seperti kamu melihat bulan purnama di malam hari, tanpa
kebingungan mencari-cari Dia. Yang mengenainya banyak kisah masyhur dan sahih, maka perlulah
kita menegaskan hal ini, dan pecaya bahwa hal itu benar.
Penafsiran esoteris (batiniah) orang-orng yang menyangkal kemungkinan penglihtan akan Tuhan,
seperti misalnya mereka yang menafsirkan melepas pandang kepada Tuhannya. Sebagai
memandang kepada pahala Tuhannya, sama sekali tidak bisa dibenarkan, sebaba pahala dari Tuhan
itu tidak sama dengan Tuhan. Demikian juga dengan mereka yang mengatakan bahwwa

perlihatkanlah diri-Mu kepadaku agar aku dapat melihatMu. Merupakan permohonan akan
sebuah tanda; hal ini tak bisa dibenarkan, sebab Tuhan sebelumnya telah memperlihatkan tandatanda-Nya kepada Musa. Demikian pul halnya dengan mereka yang menafsirkan ayat : Dia tidak
dapat dicapai oleh penglihatan mata. Dengan pengertian : karena Dia tidak dapat dicapai oleh
penglihatan maa di dunia ini, maka begitu juga di dunia nanti. Tuhan memang menyangkal bahwa
Dia daapt dicapai oleh penglihatan, sebab penglihatan seperti itu akan mengisyaratkan cara
(kafiyah) dan pembatasan, Dengan demikian, yang disangkal-Nya adalah penglihatan yang
mengisyaratkan cara dan pembatasan, bukan penglihatan yang di dalamnya tidak ada cara, tidak
pula pembatasan.
Mereka mengakui bahwa Tuhan tidak dapat dilihat di dunia ini, baik dengan mata maupun dengan
hati, kecuali dari sudut pandang iman; sebab penglihatan ini merupakan puncak karunia dan rahmat
paling mulia, dan karena itu tidak dapat terjadi kecuali ditempat yang paling mulia. Jika mereka
telah diberi rahmat yang paling mulia itu di dunia ini, maka tidak akan ada bedanya antara dunia ini,
yang akan lenyap nanti, dengan surga yang abadi; dan karena Tuhan telah mencegah manusia yang
diajak-Nya berbicara itu dari mendapatkannya di dunia kini, wajarlah kalua manusia-manusia lain
yang berada di tingkat lebih di bawah di cegah juga . Lebih-lebih, dunia ini merupakan tempat
tinggal sementara, sehingga mustahil kalau Yang Kekal dapat dilihat di tempat tinggal yang
sementara itu. Lebih jauh lagi, jika mereka telah melihat Tuhan di dunia ini, kepercayaan mereka
terhadap-Nya akan bersifat aksiomtis (dharurah). Pendeknya, Tuhan telah menyatakan bahwa
penglihatan itu akan diberikan-Nya di dunia nanti, bukan di dunia ini. Oleh sebab itu, perlulah
seseorang membatasi diri pada apa yang telah dinyatakan dengan jelas oleh Tuhan.
12.
PERSELISIHAN KAUM SUFI TETANG PENGLIHATAN NABI
Mereka berselisih paham mengenai apakah Nabi melihat Tuhan sewaktu dalam perjalanan malan.
Sebagian dari mereka, termasuk tokoh-tokoh Sufi terpenting, menyatakan bahwa Muhammad tidak
melihat-Nya dengan matanya, begitu pula makhluk-makhluk lain di dunia ini. Lebih-lebih,
dikishakan bahwa Aisyah berkata : Siapapun yang mengatakan bahwa Muhammad melihat
Tuhannya, bohong. Pendapat ini dianut juga oleh yang lain-lain, oleh al-Junaid, an-Nuri dan Abu
Said al-Kharraz. Sebagian di antara mereka menegaskan bahwa Nabi melihat Tuhan dalam
perjalanan malamnya, dan khusus di pilih di antara orang-orang lain untuk (mendapat karunia)
melihat-Nya, seperti Musa juga ditunjuk (mendapat karunia) berbicara denga-Nya. Untuk tujuan ini
mereka menyitir kisah yang diceritakan oleh Ibn Abbas, Asma dan Anas, dn pendapat ini didukung
oleh Abu Abdillah al-Qurasy, al-haikal, dan beberapa tokoh Sufi yang terkemudian. Salah seorang
dari mereka telah mengemukakan bahwa Muhammad melihat Tuhan dengan hatinya, bukan dengan
matanya; dan mereka menyitir firman Tuhan sebagai berikut, Apa yang dilihatnya itu, hatinya
tidak mengingkarinya.
Tapi kami tidak mengenal seorang syeikh pun dalam masalah ini --- yaitu, tak seorangpun dikenal
sebagai seorang ahli yang sah dan kami tidak mendapati masalah ini dikemukakan dalam bukubuku, karangan-karangan maupun risalah-risalah mereka, kami pun tidak mendengar masalah itu
dikemukakan oleh siapa saja yang telah kami hubungi, yaitu bahwa Tuhan bisa dilihat di dunia ini,
atau bahwa salah satu makhluk-Nya pernah melihat-Nya; dengan perkecualian sebuah kelompok
yang tidak begitu penting di antara kelompok-kelmpok Sufi. Memang benar bahwa beberapa orang
telah menegaskan bahwa sebagian orang Sufi mengaku pernah melihat Tuhan; tapi semua syeikh
setuju untuk menyalahkan orang-orang yang membuat pernyataan ini dan untuk membuktikan
kesalahan pengakuan mereka, dan mereka telah menulis buku-buku untuk tujuan ini, yakni, antara
lain, Abu Said al-Kharraz; al-Junaid juga telah menulis dan membuktikan kesalahan mereka yang
telah membuat pengakuan semacam itu. Labih jauh mereka menegaskan bahwa orang-orang yang
berlagak telah meihat Tuhan itu, dalam kenyataannya tidak mengnal Tuhan, dan buku-buku mereka
membuktikan kenyataan itu.

13.
AJARAN KAUM SUFI TENTANG TAKDIR DAN PENCIPTAAN TINDAKAN
Mereka mengakui bahwa Tuhan adalah Pencipta dari semua tindakan hamba-hamba-Nya; bahkan
karena Dia adalah pencipta esensi mereka, maka segala apa yang mereka lakukan, yang baikmaupun buruk, adalah menurut ketentuan, takdir, keinginan dan kehendak Tuhan. Kalau tidak,
maka mereka bukanlah hamba-hamba yang tunduk pada Rabbnya dan bukan ciptaan-ciptaan. Tuhan
berfirman : Katakanlah : Allahlah yag menciptakan segala sesuatu. Dan lagi : Segala sesuatu
Kami ciptakan serba berukuran .... segala sesuatu yang telh mereka kerjakan tercatat dalam buku..
Nah karena tindakan-tindakan itu merupakan sesuatu-sesuatu, maka Tuhan-lah yang
menciptakan mereka. Sebab, tindakan-tindakan itu tidak tidak diciptakan, berarti Tuhan adalah
Pencipta sesuatu-sesuatu tentu saja, bukan segala sesuatu dan dengan demikian, firman-Nya
(Yang menciptakan segala sesuatu) hanya bohong belaka --- Maha Suci Tuhan dari itu! Lebih
lebih, sudah jelas bahwa tindakan-tindakan itu jauh lebih banyak dibandingkan dengan esensi;
sehingga jika Tuhan adalah Pencipta esensi-esensi itu sedang hamba-hamba-Nya adalah penciptapencipta tindakan-tindakannya, maka makhluk itulah yang lebih pantas menerima pujian karena
tindakan penciptaannya, dan penciptaan oleh hamba-hamba itu akan dapat menjadi lebih besar
daripada penciptaan Tuhan; konsekuensinya, mereka pasti lebih sempurna dalam kekuasaan dan
lebih produktif dalam penciptaan dibandingkan dengan Tuhan. Tapi Tuhan berfirman : Apakah
berhala-berhala yang telah mereka jadikan sekutu Allah itu dapat menciptakan sesuatu seperti
ciptaan Tuhan, sehingga kedua ciptaan itu sama dengan pandangan mereka? Katakanlah : Allahlah yang menciptakan segala-galanya! Dia lah Tuhan yang Maha Esa dan Perkasa!. Jadi Tuhan
menyangkal adanya penciptaan selain Dia. Tuhan juga berfirman : Dan di masing-masing Kami
atur jarak perjalanan. Dengan begitu Dia menyatakan bahwa Dia telah mengukur perjalanan
hamba-hamba-Nya. Lebih kauh Tuhan berfirman : Padahal Allah-lah yang menciptakanmu dan
apa-apa yang kamu perbuat itu, dan lagi : Dari kejahatan makhluk-Nya. Dengan begitu
menunjukan bahwa sebagian makhluk-Nya itu jahat; dan lagi : Dan janganlah engkau turutkan
pula orang yang hatinya telah Kami alpakan dari mengingat Kami. Yaitu Tuhan menciptakan
kealpaan dalam hatinya: dan lebih jauh lagi : Kamu rahasiakan atau pun kamu lahirkan
perkataanmu, Dia mengetahui segala yang di dalam hatimu, apakah Tuhan yang telah mencipta itu
tidak mengetahuinya, padahal Dia Maha Teliti dan Mengetahui. Dengan begitu Dia menyatakan
bahwa perkataan-perkataan mereka, dan semua yang mereka rahasiakan atau mereka lahirkan,
merupakan ciptaan-Nya.
Umar a.s. berkata : Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu mengenai masalah yang kita hadapi
ini? Apakah itu merupakan sesuatu yang telah ditetapkan atau baru saja dirancangkan?.
Nabi menjawab : Sesuatu yang telah ditetapkan.
Umar berkata : Kalau begitu apakah kita tidak akan percaya?
Beliau menjawab : Laksanakan (apa yang ingin kau laksanakan), sebab semua orang telah
diciptakan untuk tujuan itu.
Nabi juga ditanya : Bagaimana pendapatmu mengenai wabah penyakit yang menimpa kita, dan apa
yang sebaiknya kita pakai untuk mengobati diri kita? Apakah semua ini menyalahi ketetapan
Tuhan?
Beliau menjawab : Sesungguhnya, tidak beriman seseorang sampai dia beriman pada Tuhan dan
ketetapan Tuhan, baik maupun buruk.
Jadi karena Tuhan mungkin menciptakan sesuatu esensi yang jahat, maka mungkin pula Dia
menciptakan tindakan yang jahat. Nah, umumnya diakui bahwa tindakan orang yang gemetaran
adalah ciptaan Tuhan; dengan demikian semua gerakan begitu juga halnya, kecuali dalam satu hal
Tuhan telah menciptakan gerakan dan kehendak bebas. Abu Bakr al-Wasithi menafsirkan Firman
Tuhan : Dan kepunyaan Allah pulalah segala makhluk yang sudah ditelan kesunyian malam dan
siang itu. Sebagai berikut : Jika seseorang mengaku bahwa sesuatu yang ada di dalam KerajaanNya --- yaitu, yang sudah di telan kesunyian malam dan siang itu --- baik sebuah pemikiran
ataupun gerakan, adalah miliknya, atau ada karena dia, atau diperuntukan baginya, atau datang dari

dia, maka berarti dia telah melawan kekuasaan mutlak (Tuhan), dan melemahkan kekuasaan-Nya.
Sedang mengenai firman Tuhan : Ya, milik-Nya-lah penciptaan dan penawaran. Dia menafsirkan
sebagai berikut : Penciptaan adalah mengadakan, dan penawaran adalah membebaskan; Jika Tuhan
tidak menawari anggota-anggota tubuh dengan penawaran untuk pembebasan, maka mereka pasti
tidak bisa menurutkan Dia, tidak pula bisa melawan Dia.
14.
AJARAN KAUM SUFI TENTANG (BATAS) KEMAMPUAN
Mereka mengakui bahwa setiap tarikan nafas, setiap lirikan mata dan setiap gerakan mereka bisa
terjadi berkat indera yang diberikan oleh Tuhan kepada mereka, dan merupakan suatu kemampuan
yang Dia ciptakan untuk mereka bersamaan dengan tindakan-tindakan mereka, bukan sebelumnya
atau sesudahnya, dan bahwa tidak ada tindakan yang dapat dilaksanakan tanpa ini semua; sebab,
kalau tidak, berarti mereka memiliki sifat Tuhan, bisa melakukan segala yang mereka inginkan dan
menetapkan segala yang mereka kehendaki, dan Tuhan tidak lagi akan menjadi Yang Maha Kuat,
Yang Maha Berkuasa seperti dalam firman-Nya : Begitulah Allah berbuat menurut kehendakNya. Tidak lebih dari budak yang melarat, lemah dan hina.
Jika saja kemampuan ini ditentukan oleh pemilikan anggota badan yang sehat, maka tiap orang
yang memiliki karunia itu akan dapat mencapai taraf yang sama; tapi pengamalan menunjukan
bahwa seseorang dapat saja memiliki anggota badan yang sehat, sedang tindakannya bisa jadi tidak
sama sehatnya. Dengan demikian maka kemampuan tidak berasal dari indera dan menjelmakan
dirinya dalam badan yang sehat; indera adalah sesuatu yang beragam tingkatannya pada berbagai
saat, seperti yang bisa dilihat oleh orang pada dirinya sendiri. Lebih-lebih, karena indera itu
merupakan suatu aksiden dan aksiden itu tidak dapat bertahan sendiri, atau bertahan lewat sesuatu
yang bertahan di dalamnya --- sebab jika sebuah benda tidak da dengan sendirinya, dan tidak
sesuatu pun bisa jadi ada karenanya, maka benda itu tidak dapat bertahan lewat pertahanan benda
lain, seebab pertahanan benda lain itu tidak mengandung arti pertahanan untuknya maka hal itu
berarti benda itu tidak memiliki pertahanan sendiri, dan karenanya, tiak dapat tidak, kesimpulannya
adalah indera masing-masing tindakan itu berbeda dari indera tindakan lain. Jika halnya tidak
demikian, maka manusia tidak akan membutuhkan pertolongan Tuhan pada saat mereka bertindak,
dan firman tuhan : Dan kepada engkau-lah kami memohon pertolongan. Tidak akan ada artinya.
Lebih jau lagi, jika indera itu tidak ada sebelum adanya tindakan, dan tidak dapat bertahan sampai
ada tindakan tersebut, maka tindakan itu pasti dilakukan dengan indera yang telah tiada; yaitu tanpa
Indera apa pun, yang mengisyaratakan putusnya hubungan antara Tuhan dan Hamba sekaligus.
Sebab jika demikian halnya, maka jelas mungkin bahwa tindakan-tindakan itu, bisa ada dengan
sendirinya, tanpa perantara. Tapi Tuhan berfirman, dalam kisah Musa dan hamba-Nya yang kuat
(Khidzir) sesungguhnya engkau tidak akan sanggup sabar bersama ku. Dan juga : Demikian
penjelasan persoalan yang kamu tidak sanggup sabar menghadapinya itu. Yang Dia maksudkan
sebagai yang tidak kamu miliki indera untuk melakukannya.
Mereka mengakui bahwa mereka diberi kepercayaan dengan tindakan-tindakan dan tanggung jawab
dalam arti sejatinya, yang utuhnya mereka diberi pahala dan dihukum; dan oleh sebab itu
Tuhanmengeluarkan perintah dan larangan, dan menyampaikan berita gembira serta ancamanancaman. Arti istilah tanggung jawab itu adalah bahwa manusia bertindak karena sebuah indera
yang dibuat (oleh Tuhan). Seorang Tokoh Sufi berkata : Makna tanggung jawab adalah bahwa
manusia itu bertindak demi mencari keuntungan atau menolak kesialan. Maka Tuhan berfiman :
Hasil kerjanya yang baik untuknya sendiri, dan yang tidak baik menjadi tanggungannya sendiri
pula. Lebih jauh mereka akui bahwa mereka melaksanakan kehendak dan keinginan bebas yang
menyangkut tanggung jawab mereka, dan bahwa mereka tidak dipaksa atau ditekan di luar
kemauan mereka. Yang kami maksud dengan kehendak bebas adalah bahwa Tuhan telah
menciptakan dalam diri kita kehendak bebas, sehingga dalam hal ini tidak ada masalah tekanan atau
penolakan. Al-Hasan ibn Ali berkata : Tuhan dipatuhi bukan karena terpaksa, atau tidak dipatahui
dikarenakan tekanan yang berlebihan; Dia tidak meninggalkan hamba-Nya sama sekali tanpa

melakukan sesuatu di kerajan-Nya. Sahl ibn Abdillah berkata : Tuhan tidak memberi kekuatan
kepada orang yang saleh lewat paksaan, Dia menguatkan mereka liwat Iman. Salah seorang tokoh
besar Sufi berkata : Siapa pun yang tidak percaya pada takdir adalah orang kafir, dan siapapun
yang mengatakan bahwa mustahil bagi seseorang untuk tidak patuh pada Tuhan adalah seorang
pendosa.
15.
AJARAN KAUM SUFI TENTANG PAKSAAN
Sebagian mereka menyaakan bahwa gagasan mengenai paksaan itu kabur, dengan mengatakan
bahwa paksaan hanya dapt terjadi dalam hal dua orang yang sama-sama tidak mau mengalah, yaitu
kalau seseorang memberi perintah orang lain dan orang lain itu menolak (untuk mematuhi),
kemudian orang yang pertama memaksa orang yang kedua agar melakukan perintahnya, Paksaan
berarti seseorang itu dipaksa untuk melakukan sesuatu hal tertentu, meskipun ia lebih suka
melakukan hal yang lain, sehingga kemudian dia terpaksa melakukan hal yang tidak disukainya dan
meninggalkan hal yang disuskainya; dan kalau bukan kaena paksaan dan tekanan itu, maka dia pasti
telah melakukan hal yang ditinggalkannya dan meninggalkan hal yang dilakukannya. Nah, kami
tidak menemukan hal semacam itu dalam masalah pencarrian manusia akan iman dan kekafiran,
kepatuhan dan ketidak patuhan. Orang yang beriman memilih iman, menyukainya, menyetujui,
menginginkannya dan lebih menyukainya dibandingkan dengan kebalikannya. Sementara dia tidak
menyukai kekafiran, membencinya, tidak menyetujuinya, tidak menginginkannya dan lebih
menyukai kebalikannya. Tuhan telah menciptakan pilihan untuknya, kesetujuan dan keinginan akan
iman, dan kebencian, ketidak sukaan dan ketidak-setujuan akan kekafiran; sebab Tuhan berfirman :
Tetapi Allah telah menanamkan cinta dalam hatimu terhadap keimanan, dan menjadikan keimanan
itu terasa indah dalam hatimu. Sebaliknya menjadikan kebencian dalam hatimu terhadap kekafiran,
kefasikan dan kedurhakaan. Di pihak lain, orang kafir memilih kekafiran, menyetujuinya,
menyukainya, menginginkannya dan lebih menyukainya dibanding kebalikannya, sementara dia
tidak menyukai iman, membencinya, tidak menyutujuinya, tidak menginginkannya dan lebih
menyukai kebalikannya. Tuhan telah menciptakan ini semua sebab Dia berfirman : Demikianlah
sunnah Kami yang berlaku bagi setiap umat, yaitu mereka memandang baik setiap pekerjaan yang
dilakukannya. Dan lagi : Dan barangsiapa yang dikehendaki-Nya untuk dibiarkan sesat oleh-Nya,
disempitkan-Nya dada orang itu. Tak satu pun dari keduanya dicegah untuk (mengikuti) kebalikan
dari pilihannya, atau dipaksa mengikuti yang dicarinya; oleh sebab itu mereka semua terikat pada
rencana Tuhan dan tunduk pada keputusan-Nya. Tempat tinggal orang-orang kafir adalah neraka,
sebagai ganjaran dari apa yang telah mereka lakukan. Dan :Kami tidak menganiaya mereka, tetapi
merekalah yang menganiaya diri sendiri. Tuhan itu tidak akan ditanya tentang apa-apa yang
diperbuat-Nya, malahan mereka jualah yang akan ditanya.
Ibn al-Farghani berkata : Tidak ada pemikiran atau gerakan kecuali atas perintah Allah. Inilah arti
firman-Nya, Jadlah!. Sebab, milik-Nya adalah ciptaan perintah dan perintah ciptaan, sedangkan
penciptaan adalah sifat-Nya. Dengan dua huruf ini, Dia tidak memberi kesempatan bagi seorang
pandai pun untuk mengaku bahwa segala sesuatu di dunia ini atau di dunia nanti adalah miliknya,
atau ada kaena dia, atau diadakan untuk dia. Karena itu, ketahuilah bahwa tidak ada Tuhan keculai
Allah.
16.
AJARAN KAUM SUFI TENTANG KEMANFAATAN
Mereka mengakui bahwa Tuhan memperlakukan hamba-hamba-Nya sesuai dengan apa yang
dikehendaki-Nya, dan membuat ketetapan bagi mereka dengan cara yang dikehendaki-Nya, tidak
soal apakah hal itu mendatangkan manfaat bagi mereka atau tidak; sebab ciptaan itu adalah ciptaanNya dan perintah itu adalah perintah-Nya. Tuhan tidak akan ditanya tentang apa-apa yang
diperbuat-Nya, malahan mereka jualah yang akan ditanyai. Kalau bukan karena hal ini, maka tidak

akan ada bedanya antara hamba dan Rabb. Tuhan berfirman : Dan janganlah orang-orang kafir itu
Allah hendak menyiksa mereka dalam kehidupan dunia ini, dan kelak nyawa mereka akan
melayang dalam keadaan kafir, dan lagi : Merekalah orang-orang yang tidak dikehendaki Allah
untuk menyucikan hatinya. Doktrin Manfaat terbesar itu mengisyaratkan bahwa kekuatan
(Tuhan) terbatas dan bahwa kekayaan-Nya bukannya tak ada habisnya, dan bahwa Tuhan sendiri
dalam hal itu tidak mampu; sebab jika Dia berurusan dengan orang-orang sampai pada batas
manfaat mereka maka tidak ada lagi yang tersisa di luar batas itu, sehingga bahkan jika Tuhan
ingin menambah manfaat mereka, Dia tidak akan mampu melakukannya, dan tidak memiliki alat
sama sekali untuk menjamin mereka dengan manfaat berikutnya di luar yag telah diberikann-Nya
untuk mereka sungguh Tuhan jauh lebih tinggi dari itu!
Mereka mengakui bahwa seluruh urusan Tuhan dengan hamba-hamba-Nya kebaikan, kesehatan,
keamanan, iman, petunjuk, kecitaan, hanyalah merupakan suatu siskap merendahkan diri dari
pihak-Nya; kalau pun Dia tidak bertindak demikian, hal itu tetap saja bida dilakukan-Nya dengan
mudah. Hal ini sama sekali bukan merupakan kewajiban Tuhan; sebab jika Tuhan telah diwajibkan
mengikuti cara bertindak semacam itu, maka Dia tidak lagi pantas dipuji dan disyukuri.
Mereka mengakui bahwa pahala dan hukuman bukanlah masalah kebaikan hati, melainkan
kehendak, sifat pengasih dan keadilan Tuhan. Manusia tidak sepantasnya dihukum selamanya
karena dosa-dosa yang telah tidak dilakukannya lagi, jika mereka tidak sepantasnya mendapat
pahala selamanya dan tak terbatas karena jumlah tindakan-tindakan (baik) mereka yang terbatas.
Mereka mengaku bahwa jika Tuhan meu menghukum semua orang yang ada di surga dan di bumi,
tetap saja Dia tidak bertindak secara tidak adil terhadap mereka, dan bahwa jika Tuhan akan
membawa semua orang Kafir ke surga, hal itu pun bukan mustahil, sebab ciptaan itu adalah ciptaanNya, dan perintah itu adalah perintah-Nya. Tapi Dia telah menyatakan bahwa Dia akan memberi
rahmat pada orang-orang yang beriman untuk selamanya, dan menghukum orang-orang kafir untuk
selamanya pula, dan Dia benar dala setiap firman-Nya dan semua yang Dia nyatakan itu benar. Oleh
sebab itu, Dia pasti berurusan dengan manusia dengan cara yang seperti itu, dan Dia tidak mungkin
berlaku sebaliknya; sebab Tuhan itu tidak berdusta sungguh Tuhan jauh lebih tinggi dari itu!.
Mereka mengakui bahwa Tuhan tidak bertindak atas alasan apa pun, sebab jika tindakan-tindakan
Tuhan itu ada alasannya, maka alasan itu ada alasannya, dan dengan begitu bersifat ad infinitum;
dan itu salah. Tuhan berfirman : Sesungguhnya orang-orang yang sudah terlebih dahulu mendapat
taufik dari Kami, mereka dijauhkan dari neraka. Dan lagi : Dia telah memilihmu. Dan lagi :
Dan telah lebih dahulu ditetapkan oleh Tuhanmu, bahwa Aku akan memenuhi neraka jahanan
dengan jin dan manusia (durhaka) semuanya. Daln lagi : Sesungguhnya telah Kami sediakan
untuk penghuni neraka itu banyak jin dan manusia. Tak satu pun dari firman Tuhan itu yang tidak
adil atau salah; sebab, ketidak-adilan itu merupakan sesuatu yang terlarang, dan benar-benar terdiri
dari tindakan yang meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya; sedangkan aniaya merupakan suatu
penyelewengan dari jalan yang telah dibuat lurus dan dari teldan yang telah ditetapkan oleh Dia
Yang Ada di atas dan Yang Menguasai manusia-manusia di bawah. Karena Tuhan tidak berada di
bawah kekuasaan seorang pun, dan karena Dia tidak diperintah atau disesali oleh yang ada di atasNya, maka tidak mungkin Dia bertindak tidak adil atau aniaya dalam ketetapan=Nya. Tiada yang
kotor dalam diri-Nya; sebab yang kotor adalah yang Dia buat kotor, dan yang indah adalah yang
Dia buat indah. Seseorang berkata : Yang kotor adalah yang dilarang-Nya, sedang yang indah
adalah yang diperintahkan-Nya. Muhammad ibn Musa berkata : Hal-hal yang tampak indah
adalah yang indah karena pengungkapan-Nya, sedangkan hal-hal yang tampak kotor adalah kotor
karena selubung-Nya; keduanya merupakan sifat yang ada dalam pasca kekekalan dan yang telah
ada dalam pra-kekekalan. Hal ini berarti bahwa yang mengembalikan engkau dari benda-benda
kepada Tuhan adalah indah, sedangkan yang mengembalikan engkau kepada benda-benda dan
bukan kepada Tuhan adalah kotor; Jadi yang kotor dan yang Indah adalah benda-benda yang sifatsifatnya telah ditetapkan oleh Tuhan dalam pra-kekekalan. Kalau tidak, hal itu bisa jadi berarti
bahwa yang tampak indah itu dibukakan dari selubung larangan, sehingga tidak da lagi selubung
antara manusia dengan yang indah itu; sedangkan yang kotor ada di balik selubung, yaitu larangan.
Penafsiran yang kedua itu sesuai dengan sabda Muhammad saw : Dan di atas gerbang-gerbang itu

terdapat selubung-selubung yang terjuntai, dikatakan bahwa gerbang yang terbuka itu adalah
peraturan Tuhan yang tak dapat diganggu gugat (muharim), sedangkan selubung itu adalah batasbatas (larangan-larangan)Nya (hudud).
17.
AJARAN KAUM SUFI TENTANG JANJI (BAIK) DAN ANCAMAN
Mereka mengaui bahwa ancaman mutlak (dari Tuhan) diberikan kepada orang-orang kafir, dan janji
mutlak diberikan kepada orang-orang yang melaksanakan perbuatan-perbuatan baik. Beberapa
orang mengatakan bahwa pengampunan dosa-dosa kecil diperoleh dengan jalan penghindaran dari
dosa-dosa besr, sebab Tuhan berfirman : Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar yang dilarang
mengerjakannya, niscaya Kami hapuskan kesalahanmu yang kecil-kecil dan Kami masukan kamu
ke dalam surga, tempat yang sangat mulia. Yang lain memasukannya ke dalam katagori yang sama
seperti dosa besar, mengingat kemungkinan hukumnya, dengan mengemukakan firman Tuhan :
Sekiranya apa yang ada di dalam hatimu kamu lahirkan atau kamu sembunyikan, niscaya Allah
akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Mereka menjelaskan kata-kata
Jika kamu menjauhi dossa-dosa besar yang kamu dilarang mengerjakannya. Sebagai mengacu
pada penyembahan berhala-berhala serta kekafiran; itu mencakup banyak jenis yang bisa di anggap
sebagai terliput oleh kata benda jamak. Penafsiran yang lain adalah bahwa kalimat itu mengacu
kepada sejumlah orang yang masing-masing memiliki satu dosa besar sehingga secara bersama
semuanya itu disebut dosa-dosa besar.
Mereka mengatakan adanya kemungkinan pengampunan dosa besar yang tergantung pada kehendak
(Yuhan) dan syafaat Nabi. Mereka bependapat bahwa sudah jelas bahwa orang-orang yang
menegakkan shalat itu akan dijauhkan dari neraka dikarenakan iman mereka; Sebab Tuhan
berfirman : Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa-dosa selain itu terhadap orang-orang
yang dikehendaki-Nya. Dengan begitu dia menjadikan kehendak-Nya sebagai syarat sehubungan
dengan (pengampunan) atas dosa yang tak sebesar kemusyirakn.
Singkatnya, mereka berpendapat bahwa orang beiman itu berrada di antara ketakutan dan harapan;
dia mengharapkan belas kasih Tuhan untuk mengampuni dosa-dosa besarnya, dan takut akan
hukuman-Nya atas dosa-dosa kecilnya; sebab pengampunan itu sudah termasuk dalam kehendak
(Tuhan), dan kehendak (Tuhan) tidak dikenai syarat oleh berbagai pertimbangan dosa besar maupun
dosa kecil. Mereka yang menetapkan syarat-syarat ketat dan keras untuk bertobat atas perbuatan
dosa-dosa kecil, dengan begitu, tidak bermaksud untuk mengisyaratkan bahwa ancaman (Tuhan)
merupakan akibat yang sudah semestinta, melainkan untuk lebih memperbesar keseriusan dosa
dengan cara menekankan apa yang sebenarnya merupakan hak Tuhan, agar orang itu selalu menjauh
dari perbuatan yang dilarang oleh Tuhan. Mereka menggunankan istilah dosa kecil hanya untuk
memperbandingkan satu dosa dengan dosa yang lain. Mereka menuntut setiap jiwa agar
menunaikan sepenuhnya apa yang sudah menjadi hak Tuhan dan manjauhi dari apa yang sudah
dilarang oleh Tuhan, serta melaksanakan sepenuhnya apa yang sudah diperintahkan oleh Tuhan
dengan mempertimbangkan kelemahan-kelemahan yang melekat pada syarat-syarat setiap tindakan.
Dengan ini semua, mereka merupakan orang-orang yang paling penuh harapan sepanjang hal itu
menyangkut diri mereka sendiri; bahkan ancaman-ancaman Tuhan itu seakan hanya tertuju pada
mereka, sedang janji-jani-Nya pada orang-orang lain.
Al-Fudhail, pada malam Arafah, ditanya : Bagaimana pendapatmu tentang keadaan manusia?
Dia menjawab : Diampuni, kecuali dengan kehadiran saya di antara mereka.
Sarri as-Saqathi berkata : Aku memandang cermin berkali-kali dalam sehari; takut jangan-jangan
mukaku berubah menjadi hitam. Dia juga berkata : Aku tidak ingin mati di tempat aku dikenal,
sebab aku takut kalau bumi tidak mau menerimaku, dan aku menajdi terlantar.
Mereka juga ingin agar semua orang memiliki pemikiran-pemikiran terbaik mengenai Tuhan
mereka. Yahya berkata : Jika orang tidak memiliki pemikiran yang baik mengenai Tuhan, maka dia
tidak senang pada Tuhan. Tetapi kalau menyangkut diri mereka sendiri, mereka menganggap diri

mereka yang paling buruk dibandingkan dengan semua manusia lain, paling jahat, tidak ada
baiknya sama sekali, baik di dunia ini maupun di dunia nanti.
Pendeknya, Tuhan berfirman : Di samping itu, ada segolongan orang berdosa lainnya yang telah
mengakui dosa-dosanya, ialah mereka yang telah mencampur-adukan amal kebajikan dengan amal
kejahatan. Dengan begitu menetapkan bahwa orang beriman memiliki dua (macam) tindakan; yang
satu baik, yang satunya lagi buruk; yang baik mendukungnya, yang buruk bertentangan dengannya.
Tuhan telah menjanjikan pahala bagi tindakan yang mendukungnya, dan mengancamkan hukuman
bagi tindakan yang menetangnya. Ancaman itu adalah yang dituntut oleh Tuhan dari hamba-hambaNya, sedangkan janji adalah yang dituntut oleh hamba-hamba-Nya dari Tuhan ---- yaitu bahwa
selama ini Tuhan telah membebankan hal tersebut sebagai sebuah kewajiban atas diri-Nya. Jika Dia
meminta dari hamba-hamba-Nya penunaian sepenuhnya akan hak-hak-Nya, dan (sebaliknya) tidak
menunaikan sepenuhnya hak-hak mereka, hal itu berarti bahwa Dia tidak sesuai dengan sifat-Nya
Yang Maha Pemberi, mengingat bahwa Dia tidak tergantung pada mereka, sedangkan mereka
tergantung pada-Nya. Tapi akan lebih sesuai dengan sifat Maha Pemberi-Nya, dan lebih sesuai
dengan kebaikan-Nya, jika Dia menunaikan hak-hak mereka, dan bahkan lebih dari hak-hak mereka
--- begitu Pemurah Dia dan Dia sendiri membebaskan utang mereka kepada-Nya. Dan Tuhan
berfirman : Sesungguhnya Allah tiak akan merugikan seseorang walaupun sebesar zarah. Bahkan
jika perbuatan itu hanyalah perbuatan kebajikan yang sekecil zarah pun, Tuhan akan
melipatgandakan pahalanya. Dan akan diberikan-Nya pahala yang besar di sisi-Nya. Kata di sisiNya mengisyaratkan bahwa itu merupakan suatu sikap merendahkan diri, dan bukannya
merupakan suatau pahala sama sekali.
18.
AJARAN KAUM SUFI TENTANG SYAFAAT
Mereka bersepakat untuk mastikan semua yang telah dinyatakan oleh Tuhan di dalam Kitab-Nya
mengenai syafaat, dan semua yang telah diwahyukan dalam kisah-kisah yang diceritakan mengenai
Nabi. Tuhan berfirman : Dan nanti Tuhanmu akan memberikan karunia-Nya kepadamu agar kamu
merasa senang. Semoga Tuhan-mu mengangkatmu ke tingkat yang terpuji. Dan mereka tidak
dapat memberikan syafaat kepada siapa pun kecuali kepada mereka yang diridhai Tuhan. --- dan
orang-oran kafir itu berkata : Karena itu, tak ada bagi kami seorang pun pemberi syafaat. Nabi
berkata : Syfaatku untuk mereka di antara umatku yang telah melakukan dosa-dosa besar. Beliau
juga berrkata : Doaku menyamarkan syafaatku untuk umatku.
Mereka percaya pada Shiratal Mustaqim. Dan menganggap bahwa lintasan tersebut merupakan
sebuah jembatan yang direntangkan di atas neraka, Aisyah pernah menyitir firman Tuhan : Pada
waktu Bumi ini berganti rupa dengan bentuk bumi yang lain. Lalu bertanya, Kalau begitu, di
mana nanti para manusia itu, wahai Rasul Allah? Nabi menjawab : Di atas lintasan.
Mereka percaya pada mizan, dan beranggapan bahwa perbuatan-perbuatan manusia itu akan
ditimbang, seperti firman Tuhan : Siapa yang berat timbangan kebaikannya, itulah orang-orang
yang beruntung, dan barang siapa yang ringan timbangan kebaikannya, irtulah orang-orang yang
merugikan dirinya sendiri. Mereka mempercayai hal ini, meskipun mereka tidak mengerti
bagaimana masalah ini akan diselelsaikan; sebab, mengenai masalah ini dan masalah-masalah
serupa yang cara penyelesaiannya tidak mereka ketahui, mereka berkata : Kami percaya kepada
apa yang telah difirmankan oleh Tuhan sesuai dengan apa yang telah dimaksudkan oleh Tuhan
dengan firman-Nya itu; dan kami percaya pada apa yang telah dikatakan oleh Rasul Allah, sesuai
dengan apa yang dikehendakinya.
Mereka percaya bahwa Tuhan akan menjauhkan dari neraka setiap orang yang dalam hatinya
terdapat iman, meskipun sebesar zarah, sesuai dengan sebuah hadits: Mereka percaya bahwa surga
dan neraka itu kekal, tapi keduanya merupakan ciptaan, yang ada selamanya tanpa pernah lenyap
atau hancur; sejalan dengan hal itu, maka penghuni-penghuninya pun kekal di sana, diberi pahala
atau hukuman selamanya, dengan kebahagiaan yang tak ada akhirnya atau hukuman yang tak hentihentinya.

Dalam soal-soal lahiriah, mereka memperlihatkan iman di hadapan orang-orang beriman; tap
mengenai hati merreka, mereka mempercayakannya pada Tuhan. Mereka percaya tempat tinggal
itu merupakan tempat tinggal iman dan kediaman. Dan bahwa penghuni-penghuninya adalah
orang-orang berriman dan orang-orang Muslim. Menurut padangan mereka, orang-orang Muslim
yang melakukan dosa-dosa besar adalah orang-orang beriman berdasarkan iman yang mereka
miliki, tapi menjadi pelaku kejahatan disebabkan oleh kerusakan yang ada dalam diri mereka.
Mereka berranggapan bahwa sembahyang di belakang sebarang (imam) itu boleh saja, tidak soal
apakah imam tersebut seorang saleh atau pendosa. Mereka juga beranggapan bahwa berdoa untuk
orang mati pun boleh saja, asalkan orang itu adalah salah seorang dari mereka yang berrkiblat ke
Makkah. Mereka beranggapan bahwa ibadah Jumat, majelis (muslim) dan perayaan-perayaan akan
mengikat tiap-tiap orang Muslim yang tidak memiliki lasan yang absah yang berada di bawah
kepemimpinan sembarang imam, tak soal apakah imam tersebut seorang saleh atau pendosa; dan
begitu juga halnya dengan peran suci dan Pejalanan ke Tanah Suci. Mereka beranggapan bahwa
kekalifahan itu benar, dan bahwa kekalifahan itu ada hak-hak orang-orang quraisy, Mereka
bersepakat mengenai urutan-urutan : Abu Bakr; Umar, usman dan Ali. Mereka beranggapan bahwa
meniru para sahabat dan orang-orang suci di masa lalu itu boleh saja, tapi mereka bungkam
tentang pertikaian yang timbul di antara mereka, tapi beranggapan bahwa ini semua sama sekali
tidak mengurangi bagian lebih baik yang ditakdirkan oleh Tuhan untuk mereka.
Mereka percaya bahwa tiap-tiap orang yang diberi kesaksian oleh Nabi bahwa dia akan masuk
surga, sesungguhnya telah ada di surga, dan bahwa oarng-orang seperti itu tidak akan dihukum di
neraka. Mereka beranggapan bahwa mengangkat senjata melawan pemerintahan itu tidak bisa
dibenarkan, meskipun pemerintah itu tidak bisa dibenarkan, meskipun pemerrintah itu telah berbuat
salah. Mereka beranggapan bahwa sudah merupakan tugas semua orang untuk berbuat baik, dan
menahan diri agar tidak berbuat jahat dengan menciptakan kebaikan, belas ksih, kehalusan budi,
kemurnian hati, kebajikan dan kelembutan dalam berbicara. Mereka percaya pada hukuman di
kubur dan pertanyaan Munkar dan Nakir. Mereka percaya pada Perjalanan Miraj Nabi dan baha
beliau dibawa ke langit ke tujuh, dan dibawa ke tempat-tempat yang dikehendaki-Nya, hanya dalam
satu malam, sementara belaiu sendiri tetap jaga dengan jasadnya. Mereka menegaskan kebenaran
penglihatan (akan Tuhan) dan beranggapan bahwa hal itu merupakan kabar gembira bagi orangorang beriman, atau merupakan peringatan. Terakhir, mereka mempertahankan pendapat bahwa
pada waktu seseorang mati atau terbunuh, maka hal itu merupakan pemenuhan takdir; mereka tidak
setuju bahwa takdir orang itu jatuh dengan tiba-tiba. Tapi beranggapan bahwa kalau takdir itu
datang, maka dia datang pada waktu yang semestinya, dan tidak akan dapat diundurkan atau
dimajukan barang satu jam pun.
19.
AJARAN KAUM SUFI TENTANG ANAK-ANAK
Mereka percaya bahwa anak-anak dari orang-orag beriman ada bersama orangtua mereka di surga,
tapi mengenai anak-anak dari orang-orang gkafir mereka berselisih paham. Sebagian mengajarkan
bahwa Tuhan tidak menghukum sorang pun, kecuali orang yang benar-benar durhaka dan kafir yang
menyebabkannya gagal di pengadilan (Tuhan). Sebagian besar mereka mengembalikn urusanurusan mereka kepada Tuhan, karena beranggapan : terserah pda Tuhan, apakah Dia akan
menghukum atau memberi ampunan kepada mereka. Mereka setuju bahwa mengusap sepatu itu
benar. Mereka beranggapan bahwa mungkin saja Tuhan menghidupi orang jahat. Mereka tidak
setuju akan (semua) pertengkaran dan pertikaian mengenai agama, dendam dan permusuhan
mengenai takdir, karena mereka percaya bahwa lebih baik bagi mereka dirusuhkan dalam
menghadapi pengadilan yang akan menimpa daripada memperturutkan rasa permusuhan dalam hal
agama.
Mereka beranggapan bahwa pencarian pengetahuan itu merupakan tindakan yang paling mulia,
yakni pengetahuan tentang waktu yang telah ditentukan, dan kewajiban-kewajiban lahiriah dan
batiniah yang ditetapkan. Mereka adalah orang-orang yang paling baik terhadap makhluk-makhluk

Tuhan, yang membedakan orang Arab (fasih) dari orang asing (ajam), dan yang paling murah hati
dalam memberikan milik mereka, tapi yang paling hati-hati dalam menghindari apa yang dimiliki
oleh orang-orang lain, dan yang paling tulus dalam pengelakannya dari dunia ini, karena mereka
adalah pengikut yang paling ingin tahu mengenai Sunnah dan perbuatan-perbuatan para wali, dan
yang paling waspada dalam mengikuti mereka.
20.
AJARAN KAUM SUFI TENTANG KEWAJIBAN-KEWAJIBAN YANG DIBEBANKAN OLEH
TUHAN KEPADA WAKIL-WAKILNYA
Mereka amengakui bahwa semua peraturan yang dibebankan oleh Tuhan kepada hamba-hamba-Nya
dalam Kitab-Nya, dan semua kewajiban yang ditentukan oleh Nabi (dalam hadits) bersifat mengikat
bagi orang-orang dewasa yang telah matang pemikirannya, dan bahwa peraturan dan kewajiban
tersebut tidak boleh ditinggalkan atau diabaikan dengan cara apapun oleh siapa pun, entah dia
seorang beriman yang jujur (shiddiq), seorang suci atau seorang ahli Marifat, meskipun dia
mungkin telah mencapai barisan yang paling jauh, tingkat yang paling tinggi, tempat yang paling
mulia atau taraf yang paling agung. Mereka beranggapan, tidak ada tempat bagi seseorang untuk
dapat lepas dari ketentuan-ketentuan (adab) hukum keagamaan, dengan mendapat izin untuk
melakukan hal-hal yang dihalalkan oleh Tuhan, atau menghalalkan hal-hal yang diharamkan oleh
Tuhan, atau lali dalam melaksanakan semua kewajiban keagamaan tanpa alasan yang sah, yaitu
alasan yang ditentukan oleh pengadilan yang disetujui oleh orang-orang Muslim dan diakui oleh
ketentun-ketentuan hukum agama. Semakin suci isi hati seseorang, semakin tinggi tarafnya dan
semakin mulia tempatnya, demikian pula, usahanya pun semakin keras, disertai keikhlasan dan
ketakwaan yang lebih besar (pada Tuhan).
Mereka bersepakat bahwa tindakan-tindakan itu bukan merupakan sebab dari kebahagiaan atau
kedukaan, tapi kebahagiaan dan kedukaan itu ditakdirkan dan ditentukan oleh kehendak Tuhan.
Begitulah disebutkan dalam sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Abdullah ibn Umar : Inilah kitab
dari Rabb seluruh alam, di dalamnya ada nama-nama penghulu surga, beserta nama-nama orang tua
dan suku-suku mereka. Lalu jumlahnya pun ditetapkan, dan sesudah itu tidak akan ada
penambahan maupun pengurangan sama sekali. Dengan cara yang sama, Nabi berbicara tentang
orang-orang yag menghuni neraka : Orang yang berbahagia dalah dia yang berbahagia sewaktu
berada dalam peurt ibunya, dan orang yang beduka adalah dia yang berduka sewaktu berada dalam
perut ibunya. Labih jauh lagi, mereka bersepakat bahwa tindakan-tindakan itu tidak menentukan
pahala atau hukuman, tapi bahwa pahala atau hukuman itu ditentukan oleh karunia, keadilan dan
ketetapan Tuhan. Mereka mengakui bahwa rahmat surga adalah milik orang-orang yang telah
ditakdirkan oleh Allah untuk bahagia, tanpa sebab; dan bahwa hukuman neraka adalah milik orangorang yang telah ditakdirkan oleh Tuhan untuk berduka, tanpa sebab pula. Menurut hadits (qudsi)
Orang-orang ini (akan) berada di surga, dan Aku tidak peduli; orang-orang ini (akan) berada di
neraka, dan Aku tidak peduli; Tuhan berfirman : Sesungguhnya telah kami sediakan bagi
penghuni neraka, banyak jin dan manusia. Dan lagi : Sesungguhnya, orang-orang yang sudah
lebih dahulu mendapat taufik dari Kami, mereka dijauhkan dari neraka. Mereka mengatakan
bahwa perbuatan-perbuatan manusia merupakan tanda-tanda dari apa yang telah ditakdirkan oleh
Tuhan untuknya, seperti kata Nabi : Tindakan itu, bagi setiap orang, diperssiapkan untuk
menghadapi sesuatu yang untuknya dia dicipta. Al-Junaid berkata : Kepatuhan membawa beritaberita gembira menurut yang telah ditakdirkan oleh Tuhan bagi orang yang patuh, dan demikian
juga halnya dengan orang yang tidak patuh. Tokoh sufi lain berkata : Ibadah merupakan suatu
hiasan bagi bagian-bagian lahiriah, dan kalau seseorang sudah menghiasi anggota-anggota
tubuhnya, maka Tuhan tidak akan membiarkan dia meninggalkan anggota-anggota tubuh itu tak
terisi. Muhammad ibn Ali al-Kattani berkata : Tindakan-tindakan itu merupakan pakaian para
hamba : orang-orang yang oleh Tuhan ditempatkan jauh (dari Dia) pada saat pembagian (takdir)
akan terlepas pakaiannya, tapi orang-orang yang oleh Tuhan didekatkan (pada-Nya) mengagumidan
memegangnya erat-erat.

Sekalipun begitu; mereka bersepakat bahwa Tuhan memberi pahala dan hukuman untuk tindakantindakan itu; sebab Dia menjanjikan pahala bagi perbuatan-perbuatan yang benar dan megancamkan
hukuman bagi perbuatan-perbuatan jahat; Dan Dia akan memenuhi janji-Nya serta mewujudkan
ancaman-Nya, sebab Dia Maha Benar dan firman-firman-Nya merupakan kebenaran. Mereka
mengatakan bahwa telah menjadi kewajiban bagi setiap orang untuk berusaha sebisanya untuk
melaksanakan apa yang telah diwajibkan atasnya dan melaksanakan apa yang telah dituntut
darinyauntuk dilakukan, menurut yang telah ditentukan; dan kalau dia telah sepenuhnya
melaksanakan tugasnya, maka kemudian didatangkan pdanya ilham-ilham, sesuai dengan hadis :
Jika seseorang bertindak menurut apa yang diketahuinya, Tuhan akan mewariskan kepadanya
pengetahuan yang belum dia ketahui. Tuhan berfirman : Kepada oang-orang yang berjuang di
pihak Kami, sunguh akan Kami tunjukkan jalan-jalan Kami. Dan lagi : Hai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang dapat mendekatkan kepada keridhaanNya dan berjihadlah pada jalan-Nya, semoga semua beruntung. Yahya berkata : Jiwa dari marifat
tidak akan pernah mencapai hatimu, selama masih ada kewajiban pada Tuhan yang belum kemu
laksanakan. Al-Junaid berkata : Tuhan akan berurusan dengan hamba-hamba-Nya pada hari akhir
dengan cara yang sama dengan ketika Dia berurusan dengan mereka pada mulanya. Dia mulai
menciptakan mereka dengan kemuliaan, memerintah mereka dengan belas kasih dan bejanji kepda
mereka dengan sikap merendahkan diri serta memberikan kepada merreka tambahan-tambahan
kemuliaan. Jika seseorang bisa melihat kebaikan-Nya yang dahulu itu, akan mudah baginya untuk
melaksanakan perintah-Nya; dan jika dia mengikuti perintah-Nya, dia akan sampai kepada janjiNya; dan jika dia telah memiliki janji-Nya, tidak ada keraguan lagi bahwa Dia akan memberinya
tambahan-tambahan. Sahl ibn Abdillah a-Tustari berkata : Jika seseorang menutup matanya dari
Tuhan walaupun hanya sekejap, dia tidak akan dituntun selama hidupnya.
21.
AJARAN KAUM SUFI TENTANG MARIFAT KETUHANAN
Mereka sepakat bahwa satu-satunya petunjuk menuju Tuhan adalah Tuhan sendiri, dengan
beranggapan bahwa fungsi akal merupakan fungsi yang dimiliki oleh manusia berakal yang
membutuhkan petunjuk; sebab akal merupakan sesuatu yang diciptakan pada suatu waktu, dan
karena itu hanya bisa menjadi petunjuk bagi segala sesuatu yang seperti dia juga. (Berlawanan
dengan pandangan Mutazillah, yang beranggapan bahwa Tuhan dapat dikenal dengan akal).
Seseorang bertanya pada An-nuri : Apakah petunjuk kepada Tuhan itu? Dia menjawwab :
Tuhan, yang lain bertanya :Lalu bagaimana dengan akal? An Nuri berkata : Akal itu lemah,
dan yang lemah itu hanya bisa menunjuk pada yang lemah seperti dia juga. Ibn-Atha berkata :
Akal itu merupakan alat untuk mencapai segala sesuatu yang berhubungan dengan hamba, bukan
untuk mencapai Tuhan. Yang lain berkata : Akal itu berkisar di sekitar yang diciptakan (Kawn),
tapi kalau sampai pada pencipta (mukawwin), dia larut. Al-Qahthabi berkata : Sesuatu yang
dibentuk oleh akal akan tunduk padanya, kecuali dari sudut pandang pendalilan; Jika saja Tuhan
tidak membuat diri-Nya dikenal oleh akal karena kebaikan-kebaikan-Nya, maka akal tidak mungkin
bisa mencapai-Nya, sampai pada pendalilan pun. Mereka mengutip puisi berikut ini, yang ditulis
oleh tokoh esar sufi :
Siapa yang mencari Tuhan, dengan akal sebagai petunjuknya, Tuhan akan mendorongnya ke arah
kebingungan yang sia-sia. Dengan kekacauan Dia bingungkan hati nuraninya, hingga putus asa, dia
berseru, Hamba tiada kenal Engkau.
Seorang tokoh besar Sufi berkata : Tak seorang pun mengenal-Nya kecuali orang yang telah
dibuat-Nya mengenal-Nya;
Tak seorang pun menyatakan keesaan-Nya keculai kecuali orang yang kepdanya Dia telah
menyatakan keesaan-Nya;
Tak seorang pun mempercayai-Nya kecuali orang yang kepadanya Dia telah memperlihatkan
karunia-Nya;

Tak seorang pun mengenali-Nya kecuali orang yang hati nuraninya telah diilhami oleh-Nya sendiri;
Tak seorang pun setia kepada-Nya kecuali orang yang telah didekatkan oleh-Nya kepada-Nya.
Tak seorang pun mempersembahkan budi pada-Nya kecuali orang yang telah dipilih sendiri olehNya;
Yang dimaksud dengan Orang yang telah dibuat-Nya mengenal-Nya, adalah orang yang
kepadanya Tuhan membuat diri-Nya dikenal; dan yang dimaksud dengan orang yang kepadanya
Dia telah menyatakan keesaan-Nya adalah Dia telah memperlihatkan padanya bahwa dia Esa.
Al-Junaid berkata : Marifat terdiri dari dua jenis : Marifat pengungkapan-Diri (taarruf) dan
marifat pengajaran (tarif). Makna pengungkapan Diri adalah bahwa Dia menyebabkan mereka
mengenal-Nya, dan mengenal benda-benda lewat Dia, atau dalam kata-kata Ibrahim, Aku tidak
suka akan sesuatu yang dapat terbenam. Sedang makna Pengajaran adalah bahwa Dia
memperlihatkan pada mereka tanda-tanda kekuasaan-Nya di langit dan di dalam diri mereka
sendiri, dan kemudian menanamkan dalam diri mereka sebuah karunia khusus (luthf), sehingga
benda-benda (material) itu menunjukkan adangan Sang Pembuat. Inilah Marifat yang bisa dicapai
oleh orang-orang yang beriman pada umumnya, sedangkan yang disebut pertama tadi adalah
marifat yang hanya bisa dicapai oleh orang-orang terpilih; dan pada hakikatnya tak seorang pun
bisa mengenal Dia, kecuali lewat Tuhan. Maka Muhammad ibn Wasi berkata : Aku tak pernah
melihat sebuah benda pun, tanpa melihat Tuhan di dalamnya. Seorang tokoh Sufi lain berkata :
Aku tak pernah melihat sebuah benda pun, tanpa melihat Tuhan di dalamnya. Ibn Atha berkata :
Tuhan telah mengungkapkan diri-Nya pada orang-orang awam lewat ciptaan-Nya, sebab Dia
berfirman : Apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana unta itu diciptakan?. Pada orangorang terpilih Dia telah mengungkapkan diri-Nya lewat firman dan sifat-sifat-Nya, sebab FirmanNya : Tidakkah mereka teliti al-Quran?. Dan Dan Kami wahyukan dalam al-Quran penawar
dan rahmat bagi orang-orang mukmin. Allah mempunyai asmailhusna, nama-nama yang Agung.
Kepada pra Nabi Dia telah mengungkapkan diri-Nya lewat diri-Nya sendiri, sebab Dia berfirman :
Begitulah peintah-Kami, dikirmkanlah suatu Utusan Wahyu kepada engkau. Dan lagi : Tidakkah
engkau perhatikan kekuasaan Tuhanmu, bgaimana Dia memperpanjang atau memperpendek
bayang-bayang. Salah sorang ahli marifat mengubah puisi :
Kini jangan lagi berdiri di antara Kebenaran dan Aku
Atau petunukk akliah
Atau bukti, atau wahyu
Kini, maju dengan benderang bintang Kebenaran itu
Telah hilang dari pandang
Berkelip, sengan sinar tak lagi terang
Hanya Dia mengenal Tuhan, padanya Tuhan memperlihatkan
Diri-Nya akankah yang kekal
Sebagai yang fana dikenal?
Bukan dalam karyanya Tuhan dikenal..
Dapatkah kala yang tak berbatas dikurung
Dalam satu kejadian yang kebetulan?
Dari Dia, melalui Diam milik-Nya, satu kebenaran Ilahi
Satu pengetahuan terbukti dan kuat
Telah membuat hati kami menatap
Ini telah ku buktikan, kini ku nyatakan
Inilah imanku yang takkan pupus;
Dan inilah bahagianku yang tak kan hapus;
Tiada Tuhan selain Allah, tiada seteru-Nya memiliki
Keagungan-Nya yang tak bertara
Keunggulan-Nya yang menjadi hak-Nya.
Kala manusia bisa berdua dengan Tuhan, dan tahu
Innilah ungkapan lidah mereka,
Dan ini pengakuan hati mereka.

Ekstase dan kegembiran ini menjalin kawan dengan lawan


Dala persaudaraan jelata,
Kerja demi kebaikan semua.
Salah seorang tokoh besar Sufi berkata : Tuhan membuat kita mengenal diri-Nya lewat Dia sendiri,
dan menuntuk kita kepada pengetahuan tentag diri-Nya lewat diri-Nya sendiri,sehingga penyaksian
marifat muncul dari marifat lewat marifat setelah dia yang memilik marifat diajari tentang
marifat oleh Dia yang merupakan obyek marifat. Ini berarti marifat itu tidak ada penyebabnya,
yang terjadi hanyalah baha Tuhan mengajarkan marifat kepada ahli marifat, dengan demikian
menjadikannya mengenal-Nya. Salah seorang syeikh berkata : Segenap pengejawantahan obyek
material (Mukawwanat) bisa dikenal dengan akal yang menyibaknya. Tuhan itu terlalu besar untuk
bisa disibak oleh akal. Dia sendiri mengajarkan kepada kita bahwa Dialah Tuhan kita dengan
berfirman : Bukankah Aku ini Tuhanmu? Dan bukanya, Siapa Aku ini? Dengan begitu memberi
peluang bagi akal untuk menyibak-Nya. Inilah saatnya ketika Dia muncul pertama kali sebagai guru
mereka. Oleh sebab itu Dia tidak tergantung pada akal dan jauh lebih mulia dari segala pencerapan
(persepsi).
Mereka mengakui. Tidak ada orang yang mengenal Tuhan kecuali orang yang berakal, sebab akal
itu merupakan satu alat yang bisa membuat manusia mengetahui apa saja yang bisa diketahuinya.
Sekalipun begitu, akal tidak bisa mengetahui Tuhan dengan sendirinya. Abu Bakr as-Sabbak berkata
: Ketika Tuhan menciptakan akal, Dia bertanya, Siapakah Aku ini?, maka akal itu bungkam.
Karena itu, Dia mengolisnya dengan cahaya keesaan (Wahdaniyyah). Akal pun membuka matanya
seraya berkata : Engkaula Tuhan, tiada Tuhan selain Engkau. Dengan begitu, akal tidak memiliki
kemampuan untuk mengenal Tuhan, kecuali lewat perantara Dia.
22.
PERSELISIHAN KAUM SUFI TENTANG SIFAT MARIFAT
Mereka berselisih paham mengenai sifat marifat itu sendiri. Al-Jaunaid berkata : Marifat
merupakan perwujudan kebodohanmu pada saat ilmu-Nya tiba. Seseorang yang berdiri di dekatnya
berkata : Ceritakan pada kami lebih banyak. Dia pun melanjutkan : Dia adalah obyek, sekaligus
subyek marifat. (Tuhan itu arif dan maruf). Yang dimaksudkannya adalah. Engkau tidak tahu
tentang Dia dalam aspek kekamuanmu, dan baru bisa mencapai marifat-Nya lewat aspek ke-Dia-an
itu. (Sesuatu hal yang biasa di lingkungan Sufi : Engkau menisyaratkan yang banyak, sedang
Dia menunjukan bahwa segala sesuatu yang lain tertelan dalam diri Tuhan), Sesuai dengan
ujar-ujar Sahl : Marifat adalah marifat dari kebodohan itu. Sahl juga berujar : Ilmu itu
ditetapkan oleh marifat dan akal ditentukan oleh ilmu, tapi marifat ditentukan oleh esesninya
sendiri. Artinya, kalau Tuhan menyebabkan seseorang memiliki marifat akan diri-Nya sendiri,
sehingga dia mengenal Tuhan lewat pengungkapan diri-Nya sendiri kepadanya, berarti Dia
menemparkan pengetahuan dalam diri orang tersebut. Karenanya, dia mendapatkan pengetahuan
lewat marifat, dan dalam dirinya akal bekerja mengolah pengetahuan yang diberikan oleh Tuhan
kepadanya. Seorang tokoh Sufi lain berkata : Pengetahuan tentang aspek lahir benda-benda adlah
ilmu, dan pengetahuan tentang aspek batin benda-benda adalah marifat. Yang lain berkata :
Tuhan telah membuat ilmu bisa diperoleh secara bebas oleh orang-orang beriman, tapi Dia
menyimpan marifat hanya untuk wali-wali-Nya. Abu Bakr al-Warraq berkata : Marifat adalam
marifat tentang bentuk-bentuk dan nama-nama benda sedang ilmu adalah ilmu tentang realitas
benda-bnda. Abu Said al-Kharraz berkata : Marifat tentang Tuhan adalah ilmu tentang pencarian
Tuhan sebelum pengalaman aktual tentang Dia; sedang ilmu tentang Tuhan, setelah adanya
pengalaman itu. Oleh sebab itu, ilmu tentang Tuhan lebih rahasia dan lebih pelik daripada marifat
tentang Tuhan. Faris berkata : Marifat menyerap (ahli marifat) dalam esensi obyek marifat itu.
Tokoh Sufi lain berkata : Marifat mengambil bentuk pandangan rendah terhadap semua nilai
kecuali nilai-nilai Tuhan. Seseorang bertanya pada Dzun Nun : Dengan cara apa engkau
mendapat marifat Tuhanmu? Dia menjawab : Jika aku berkeinginan untuk membangkang, lalu

mengingat kebesaran Tuhan, aku merasa malu pada-Nya. Artinya, dia menganggap kesadarannya
akan kedekatan Tuhan sebagai suatu bukti marifat Tuhan. Seseorang berkata pada Ulayyan :
Bagaimana hubunganmu dengan Tuhan? Dia menjawab : Aku tak pernah berpaling dari-Nya
sejak aku mengenal-Nya. Yang lain bertanya : Sejak kapan engkau mengenal-Nya? Dia
menjawab : Sejak saat mereka menganggapku gila (majnun). Dengan demikian dia menganggap
penghormatannya kepada kekuasaan Tuhan sebagai bukti dari marifat ke-Tuhanannya. Sahl berkata
: Maha suci Tuhan, yang marifat ke-Tuhana-nya tidak dapat dicapai oleh manusia kecuali
pengetahuan bahwa mereka tidak mampu mengenal-Nya.
23.
AJARAN KAUM SUFI TENTANG RUH
Al-Junaid berkata : Ruh adalah sesuatu yang diketahui hanya oleh Tuhan, dan tak satu makhluk
pun mengetahuinya. Oleh sebab itu, ruh tidak dapat diungkap dengan cara lain kecuali sebagai
sesuatu yang maujud. Tuhan berfirman : Kataakanlah, Ruh itu urusan Rabbku. Abu Abdillah anNibaji berkata : Ruh adalah sesuatu yang terlalu halus untuk dilihat, dan terlalu besar untuk
disentuh, tidak dapat diungkapkan dengan cara lain kecuali bahwa dia maujud. Ibn Atha berkata :
Tuhan menciptakan ruh sebelum jasad, sebab Dia berfirman, Dan Kami menciptakanmu, yaitu
ruh, lalu kami bentuk kamu, yaitu jasad. Tokoh Sufi lain berkata : Ruh adalah suatu (esensi)
yang halus yang maujud dalam suatu (jasad) kasar, seperti juga penglihatan yang merupakan esensi
halus yang maujud dalam (jasad) kasar,
Sebagian besar mereka mengakui bahwa ruh ialah obyek, yang karenanya jasad hidup. Seorang
tokoh Sufi berkata : Ruh merupakan seberkas cahaya, nafas semerbak (ruh), yang lewatnya
kehidupan berlangsung. Sedang Jiwa (nafs) merupakan sebuah angin panas, yang lewatnya nafsu
timbul. Al-Qahtabi berkata : Tuh tidak pernah dimasukan di bawah perendahan oleh kata Jadilah
--- inilah jawaban atas pertanyaan, apakah ruh itu? Oleh sebab itu, dalam pandangannya, satusatunya fungsi ruh adalah untuk membuat kehidupan, dan berada dalam keadaan hidup, seperti juga
menghasilkan kehidupan, adalah sifat Tuhan, sebagaimana membentuk dan mencipta adalah sifat
Sang Pencipta. Pandangannya ini didasarkannya atas firman Tuhan : Katakanlah, ruh itu ada di
bawah perintah Tuhanmu. Mereka menafsirkan kata Perintah di sini sebagai firman Tuhan, dan
firman Tuhan itu tidak dicipta. Tapi, ini sama saja dengan menyatakan bahwa segala sesuatu yang
memiliki kehidupan hanya bisa hidup lewat firman Tuhan Hiduplah, sehingga ruh dalam hal itu
sama sekali tidak merupakan sesuatu (yang maujud) dalam tubuh.
24.
AJARAN KAUM SUFI TENTANG PARA MALAIKAT DAN RASUL
Sebagian besar tokoh Sufi menahan diri agar tidak melibatkan diri dengan pertanyaan apakah para
Rasul lebih dipentingkan ketimbang pra malaikat, atau sebaliknya, dengan mengatakan bahwa
keunggulan dimiliki oleh mereka yang lebih dipentingkan oleh Tuhan, dan bahwa masalah ini
bukan merupakan masalah esensi, bukan pula masalah tindakan. Tapi, beberapa orang mengatakan
bahwa para malaikat lebih dipentingkan ketimbang para Nabi, dan beberapa orang yang lain
mengatakan bahwa para Nabi lebih dipentingkan ketimbang para malaikat. Muhammad ibn al-Fadhl
berkata : Malaikat sebagai suatu keseluruhan lebih baik ketimbang orang beriman sebagai suatu
keseluruhan, tapi ada beberapa orang beiman tertentu yang lebih baik daripada malaikat. Artinya,
menurut mereka, para Nabi itulah yang lebih baik.
Mereka mengakui bahwa beberapa rasul tertentu lebih baik daripada yang selebihnya, dengan
menafsir firman Tuhan : Sesungguhnya kami telah memberikan keutamaan kepada beberapa Nabi
lebih dari sebagai yang lain. Tapi mereka menolak untuk menrinci sipa di antara mereka yang lebih
disukai dan siapa yang kurang disukai, dengan begitu, hal ini sejalan dengan sanda Nabi : Jangan
memilih-milih di antara nabi-nabi itu. Sekalipun begitu, mereka menetapkan, sebagai sebuah
prinsip, bahwa Muhammad adalah yang paling baik di antara semua nabi, dengan berdasarkansabda

beliau : Akulah penghulu seluru puyra Adam, bukannya takabur. Adam dan semua yang hidup
sesudahnya berada di bawah panji-panjiku. Serta sabda-sabda beliau yang lain, juga pada firman
Tuhan : Kamu adalah umat pilihan yang telah dilahirkan untuk seluruh manusia. Karena mereka
adalah umat yang paling baik, sedangkan mereka adalah mereka umat beliau, maka hal ini berarti
bahwa nabi mereka adalah nabi yang terbaik bukti ini, dan bukti-bukti lain keunggulan beliau,
bisa ditemukan dalam Al-Quran.
Mereka semua mengakui bahwa para nabi itu lebih baik dari manusia baisa, dan bahwa tidak ada
orang yang dapat menyaingi kebaikan para nabi, entah dia orang yang benar-benar beriman, wali
atau yang lain, betapa pun besar kekuasaannya dan hebat kedudukannya. Nabi berssabda kepada Ali
: Dua orang ini adalah penghulu para sesepuh penghuni surga, yang hidup terdahulu maupun
tekemudian, kecuali para nabi dan rasul. Dengan menunjukan kata-kata ini kepada Abu Bakr dan
Umar, dan mengisyaratkan bahwa mereka adalah manusia-manusia terbaik setelah para nabi. Abu
Yazid al-Bistami berkata : Taraf akhir orang mukmin sejati adalah taraf awal nabi, dan taraf akhir
nabi tidak memiliki batas. Sahl ibn Abdillah berkata : Tujuan-tujuan para ahli marifat hanya
sampai pada selubung, dan disana mereka berhenti dengan pandangan ke bawah, lalu izin diberikan
kepda mereka dan mereka mengucap salam, mereka pun diberi pakaian jubah berkekuatan
ketuhanan, dan diajuhkan dari kesalahan. Sedang tujuan-tujuan yang dicapai para nabi adalah
berkeliling di seputar singgasana dan diberi pakaian cahaya, nilai mereka dimuliakan, dan mereka
digabungkan denga Yang Maha Besar, dan dibuat-Nya ambisi pribadi mereka mati, dan dilepaskanNya mereka dari nafsu, dan dijadikan-Nya mereka hanya berurusan dengan Dia dan demi Dia, Abu
Yazid berkata : Jika satu zarah saja dari diri nabi mengejawantah dalam penciptaan, maka tiada
sesuatu pun yang berada di bawah Singgasana akan bisa menanggungnya. Dia juga berkata :
Marifat dan pengetahuan manusia itu, kalau dibandingkan dengan marifat dan pengetahuan Nabi,
adalah bagaikan setets embun yang menetes dari pucuk kantung air kulit. Salah seorang dari
mereka berkata : Tak satu nabi pun mencapai kesempurnaan kesetujuan (taslim) dan kepasrahan
(tafwid), kecuali Yang Terkasih dan Sang Karib. Dengan alasan ini, tokoh-tokoh besar Sufi tak
berharap bisa mencapai kesempurnaan, meski mereka dalam keadaan dekat (dengan Tuhan) dan
telah mengalami perenungan yang sejati. Abul Abbas dan Ibn Atha berkata : Taraf yang paling
rendah dari para rasul adalah yang paling tinggi dari para nabi, dan taraf paling rendah dari para
nabi adalah yang paling tinggi dari orang-orang mukmin sejati, dan taraf yang paling rendah dari
orang-orang yng benar-benar beriman adalah yang paling tinggi dari para syuhada, dan taraf paling
rendah dari para syuhada adalah yang paling tinggi dari orang-orang takwa, dan taraf paling rendah
dari orang-orang takwa adalah yang paling tinggi dari orang-orang yang beriman.
25.
AJARAN KAUM SUFI TENTANG KESALAHAN-KESALAHAN PARA NABI
Al-Junaid, an-Nuri dan tokoh-tokoh besar Sufi lainnya beranggapan bahwa apa-pun yang terjadi
atas para nabi hanya mempengaruhi mereka secara lahiriah saja, dan bahwa hati nurani mereka
terserap oleh perenungan akan Tuhan. Mereka menyitir firman Tuhan untuk menunjang pandangan
ini : Tetapi dia lupa, dan tidak mempunyai cara berpikir yang kuat. Mereka mengatakan bahwa
segenap tindakan tidak akan paripurna kecuali yang didahului oleh ketetapan hati dan niat, dan
bahwa segala sesuatu yang tidak didahului dengan ketetapan hati dan niat, berarti bukan suatu
perbuatan. Tuhan menyangkal hal ini dalam kasus Adam ketika Dia berfirman, Tapi dia lupa dan
tidak mempunyai cara berpikir yang kuat. Ketika Tuhan mencal mereka karena hal-hal tersebut,
hal itu dilakukan-Nya hanya demi memberi tanda bagi orang-orang lain, agar mereka tahu bahwa
jika mereka tidak patuh (pada Tuha), mereka masih berkesempatan untuk mencari ampunan Tuhan.
Tapi tokoh-tokoh Sufi lain mengakui kesalahan-kesalahan (para nabi) ini. Meski demikian, mereka
menjelsakan bahwa kesalahan-kesalahan tersebut merupakah kekhilafan-kekhilafan yang muncul
dari penafsiran yang salah : mereka ditegus karena taraf mereka yang tinggi dan tempat mereka
yang mulia, dan hal ini dimaksudkan sebagai peringatan bagi yang lain-lain dan peringatan agar
para nabi itu melestarikan keunggulan mereka atas orang-orang lain. Beberpa tokoh Sufi

mengatakan bahwa kesalahan-kesalahan mereka mestinya dianggap sebagai contoh-contoh


kealpaan dan kelalaian, dan mereka menjelssakan bahwa para nabi itu alpa pada hal-hal yang
rendah karena (mereka keasyikan) dengan hal-hal yang tinggi. Begitulah penjelasan yang
mereka berikan sehubungan dengan kejadian nabi alpa bersembahyang bahwa dia assyik dengan
sesuatu yang lebih besar dari sekedar bersembahyang; sebab bukanlah beliau bersabda :
Kesenanganku adalah dalam bersembahyang. Dengan kata-kata itu beliau memberi tahu kita
bahwa ada sesuatu dalam sembahyang yang menyenangkannya. Beliau tidak mengatakan: Aku
telah menjadikan sembahyang kesenanganku. Tapi orang-orang menegaskan bahwa para nabi
dapat melakukan kesalahan dan kelalaian menganggap kesalahan dan kelalaian itu hanya sebagai
dosa-dosa kecil yang dengan mudah dapat dihilangkan dengan tobat. Maka Tuhan berfirman, ketia
Dia menuturkan perkataan Adam dan Istrinya : Wahai Tuhan kami, kami telah mengaiaya diri kami
sendiri. Dan lagi : Kemudian Tuhan memilihnya, menerima tobatnya dan memberinya petunjuk.
Sedangkan mengenai Daud Dia berfirman : Dan Daud mengetahui bahwa Kami mengujinya. Lalu
dia meminta ampun kepada Tuhannya ssambil menyungkur sujud dan bertaubat.
26.
AJARAN KAUM SUFI TENTANG KEKUATAN GAIB (KARAMAH) PARA WALI
Mereka bersepakat dalam mengakui kekuatan-kekuatan gaib para wali, meski sejauh mengakui
keajaiban seperti berjalan di atas air, bebicara dengan binatang, pergi dari satu tempat atau disaat
lain daripada saat dan tempatnya berada. Semua contoh mengenai hal ini tercatata sebagaimana
mestinya di dalam kisah-kisah dan hadis-hadis, dan juga dibicarakan dalam kitab suci. Misalnya
cerita mengenai orang yang memiliki pengetahuan mengenai al-Kitab. Yang mengatakan : Saku
sanggup membawanya kepadamu dalam sekejap mata!. Dan cerita mengenai Maryam, ketika
Zakaria berkata kepadanya : Hai Maryam! Dari mana engkau mendapatkan makanan ini? Maryam
menjawab : Dari Allah. Juga cerita mengenai dua orang yang berada bersama Nabi. Kemudian
pergi, lalu cambuk yang mereka bawa bersinar. Hal yang semacam itu bisa terjadi pada msa Nabi
maupun pada masa-masa lain. Karena kekuata-kekuatan gaib itu diberikan pada masa Nabi untuk
menguji kebenaran (pernyataannya), maka, dengan alasan yang sama, kekuatan-kekutan gaib
tersebutbisa juga terjadi pada masa-masa lain. Setelah wafatnya Nabi, hal ini terjadi pada Umar ibn
Khattab, ketika dia memanggil Sariyah dan berkata : Wahai Sariyah ibn Hisn, Gunung itu! Gunung
it!, Umar pada waktu itu sedang berkhutbah di mimbar dan Sariyah sedang mengahdapi musuh
yang jauhnya sebulan perjalanan dari sana. Cerita ini terbukti benar. Orang-orang yang menyangkal
pendapat ini beralasan bahwa, jika demikian, hal itu mengisyaratkan penghinaan terhadap fungsi
nabi, sebab seorang nabi dibedakan dengan orang lain hanya oleh adanya fakta bahwa di mampu
mendatangkan mukjizat yang membuktikan kebenaran sabda-sabdanya, yang tidak bisa dilakukan
oleh orang-orang lain. Oleh karena itu, jika kemampuan tersebut muncul dari diri orang lain, maka
yang nabi dan yang bukan nabi tidak akan ada bedanya lagi; atau, bukti kebenaran sabda-sabda nabi
tidak akan ada lagi. Lebih-lebih, hal itu akan mengisyaratkan bahwa Tuhan tidak dapat
membedakan seorang nabi dengan yang bukan nabi. Tapi Abu Bakr al-Warraq menegaskan :
Seorang nabi itu menjadi nabi bukan dikarenakan oleh mukjizatnya, melainkan karena Tuhan
mengutusnya dan memberi wahyu kepadanya. Jika Tuhan telah mengutus seseorang, dan memberi
wahyu kepadanya, maka jadilah dia nabi, tak soal apakah dia memiliki kekuatan-kekuatan gaib atau
tidak. Dan, adalah merupakan suatu kewajiban untuk menerima pengakuan seorang Rasul,
sekalipun dia tidak melihat mukjizat yang mendahului kedatangannya; sebab tujuan mukjizat yang
sesungguhnya dalah memberi bukti-bukti yang tak terbantahkan oleh orang-orang yang menyangkal
dan mengguatkan ancaman hukuman atas orang-orang yang keras kepala. Alasan untuk menerima
pernyataan seorang nabi adalah karena dia memanggil orang-orang agar mengikuti apa yang telah
ditetapkan oleh Tuhan sendiri sebagai suatu kewajiban, yaitu pengakuan atas keesaan-Nya,
sekaligus sangkalan atas pernyataan bahwa Dia bersekutu, dan pelaksanaan semua yang oleh akal
tidak dinyatakan mustahi, melainkan justru waib atau dibolehkan. Kenyataannya, ada dua macam

hal yang tersangkut di sini, yaitu nabi (sejati) dan nabi palsu. Nabi itullah yang benar, sedang nabi
palsu itu salah; Tapi, dalam penampilan dan pembicaraan mereka (seolah-olah) sama.
Mereka mengakui bahwa Tuhan memberi nabi sejati, kekuatan sebuah mukjizat, sedangkan nabi
yang ssalah tidak memiliki kemampuan seperti nabi yang benar itu, sebab hal itu akan
mengisyaratkan bahwa Tuhan tidak dapat membedakan antara yang benar dan yang salah.
Sedangkan mengenai wali sejati, tapi bukan nabi, dia tidak membuat pernyataan bahwa dia seorang
nabi, atau penyataan lain yang palsdu atau tidak benar, dia hanya mengajak orang untuk menerima
kebenaran atau yang benar. Jika Tuhan memberi suatu suatu kekuatan gaib (karamah) kepadanya,
hal ini sama sekali tidak menjadikan ragu kedudukan nabi; sebab, orang yang benar itu sesuai
dengan nabi, baik dalam perkataan maupun perbuatan, dan penampilan kekuatan gaib oleh dia itu
malah untuk memperkuat nabi dan mengejawantahkan pernyataannya, menguatkan bukti
kenabiannya dan haknya agar perbuatan dan pernyataannya sebagi nabi diterima, dan juga
menegaskan prinsip bahwa Tuhan itu Esa.
Beberapa tokoh Sufi mempertahankan pendapat mereka bahwa mungkin saja Tuhan akan membuat
musuh-musuh-Nya bisa memiliki yaitu dengan cara yang sebegitu rupa, sehingga tidak
menimbulkan keraguan (dalam diri orang lain) beberpa kekuatan tertentu, dengan maksud
menyeeret meraka pelan-pelan menuju kehancura. Kekuatan-keuatan itu kemudian mendatangkan
kesombongan dan kecongkakan dala jiwa mereka, dan mereka membayangkan bahwa kekuatankekuatan itu merupakan kekuatan gaib yang pantas mereka terima karena tindakan-tindakan mereka
dan merupakan hak mereka dikarenakan perbuatan-perbuatan mereka; mereka membual mengenai
tindakan-tindakan mereka, menganggap diri mereka lebih unggul dibanding orang-orang lain;
mereka memandang rendah hamba-hamba Tuhan dan bersikap sangat angkuh terhadap mereka,
sebab mereka tidak tahu apa yang direncanakan oleh Tuhan atas diri mereka. Tapi mengenai para
wali, kalau anugerah gaib diberikan oleh Tuhan kepada mereka, mereka justru merasa semakin
takut dan semakin merasa hina di hadapan Tuhan, dan mereka semakin menghina diri mereka
sendiri sehingga dengan mudah mengakui kekuasaan Tuhan atas diri mereka; dan ini menambah
kekuatan dan kemampuan mereka untuk melaksanakan tugas-tugas yang berat, dan mempertebal
rasa syukur mereka terhadap Tuhan atas semua yang telah Dia berikan kepadanya.
Jadi para nabi itu diberi mukjizat-mukjizat, orang-orang suci diberi kekuatan-kekuatan gaib, dan
musuh-musuh (Tuhan) diberi tipuan-tipuan. Seoang tokoh Sufi berkaa : Kekuatan-kekuatan gaib
yang diberikan kepada orang-orang suci tidak mereka ketahui dari mana datangnya; sedangkan para
nabi tahu darimana (asal)nya mukjizat-mukjizat mereka, dan perkataan-perkataan mereka
menegaskan mengenai mukjizat-mukjizat tersebut. Perbedaan ini dikarenakan adanya kenyataan
bahwa, bahwa para wali, ada bahaya bahwa mereka jadi tergoda (oleh kekuatan-kekuatan gaib
mereka), sebab mereka tidak dijaga Tuhan sedang kan para nabi, karena mereka tahu bahwa mereka
berada di bawah lindungan Tuhan, bahaya itu tidak muncul.
(Mereka menjelaskan perbedaan antara kekuatan gaib dan mukjizat sebagai berikut). Kekuatan gaib
para wali merupakan jawaban bagi doa, atau penyempurnaan dari keadaan kejiwaan, atau jaminan
atas kekuatan untuk melaksanakan sesuatu tindakan, atau pemberian alat untuk dignakan sebagai
mata pencaharian, dalam cara yang di luar kebiasaan; sedangkan mukjizat yang diberikan kepada
para nabi itu merupakan kemampuan untuk menghasilkan sesuatu dari sesuatu yang tidak ada, atau
mengubah sifat yang esensial dari sebuah obyek.
Beberapa ahli ilmu kalam dan tokoh Sufi mengakui bahwa mukjizat-mukjizat ini bisa jadi diberikan
kepada orang-orang yang slah, dengan cara yang tidak mereka ketahui pada saat mereka mengaku
memiliki mukjizat-mukjizat tersebut, tapi sikap mereka sama sekali tidak menimbulkan keraguan.
Contoh-contoh hal ini adalah; kisah mengenai Sungai Nil yang mengalir ketika Firaun
menyuruhnya mengalir; dan kisah mengenai Dajjal, seperti yang diceritakan oleh Muhammad saw.
yang akan membunuh seseorang kemudian, sebagai yang beliau gambarkan, akan
menghidupkannya kembali. Mereka menjelaskan kedua masalah ini dengan menyatakan bahwa
masing-masing mengkau memiliki sesuatu yang sama sekali tidak menimbulkan keraguan, sebab
siffat-sifat mereka yang sesungguhnya memiliki bukti yang cukup dari kepalsuan pernyataan bahwa
mereka memiliki kekuatan-kekuatan Tuhan (rububiyah).

Mereka berselisih paham mengenai kemungkinan bagi wali untuk mengetahui bahwa dirinya
seorang wali. Seorang tokoh Sufi berkata : Hal ini tidak mungkin, sebab pengethuan semacam itu
akan menghapuskan ketakutannya akan masalah itu dan dengan begitu mengisyaratkan rasa aman
(amn). Padahal isyarat rasa man itu berarti hapusnya kehambaan,Sebab hamba (tuhan) itu berada di
antara ketakuan dan harapan, Tuhan berffirman : Mereka berdoa kepda Kami dengan perasaan
harap-harap cemas. Tapi tokoh terbesar dan terpenting Sufi mempertahankan pendapatnya bahwa
mungkin saja bagi wali itu untuk menyadari kewaliannya; sebab kewalian itu merupakan karunia
(karamah) dan Tuhan untuk menusai; dan manusia diizinkan untuk menyadari kerunia dan
kemurahn Tuhan, sebab dengan begitu hatinya akan tersentuh dan lebih bersyukur.
Ada dua jenis kewalian. Yang pertama adalah semata-mata terjauhkannya seseorang dari
permusuhan, dan dalam hal ini berlaku umum bagi semua orang beriman; tidak perlu orang itu
menyadarinya, atau mengetahuinya, sebab hal itu hanya dimaksudkan dalam arti umum,
sebagaimana dinyatakan dalam kalimat ini, Orang yang beriman adalah karib (wali) Tuhan. Yang
kedua adalah kewalian orang-orang yang khusus dipilih, dan hal ini perlu disadari dan diketahui
oleh orang itu. Kalau seseorang memiliki kwajlian ini, maka ia dijaga agar tidak berbangga diri dan,
karena itu, dia tidak jatuh dalam kecongkakan; dia dijauhkan dari orang orang lain, yaitu dalam
arti ikut menikmati kesenangan dari kebanggan mereka, dan karenanya mereka tidak bisa
menggodanya. Dia dihindarkan dari kesalahan-kesalahan yang telah menjadi sifat manusia,
meskipun sebutan sebagai manusia biasa tetap melekat dalam diri mereka; karena itu, dia tidak ikut
menikmati kesenangan nafsunya, dalam cara yang begitu rupa, seperti kalau dia asyik-masyuk di
dalam agamanya, meskipun kesenangan alamiah tetap dinikmatinya. Ini semua merupakan sifatsifat khusus dari kekariban Tuhan (wilayah) dengan manusia, dan jika seseoang memiliki sifat-sifat
ini, maka musuh itu tidak akan mampu mencapainya dan membawanya ke dalam kesesatan; sebab
Tuhan berfirman : Sesungguhnya, hamba-hamba Ku, tidak ada kemampuanmu untuk menyesatkan
mereka. Sekalipun begitu, dia tidak dijaga oleh Tuhan dari melakukan dosa-dosa yang lebih kecil
maupun yang lebih besar; tapi jika jatuh ke dalam salah satunya, maka tobat yang tulus sudah
tersedia dekat kepadanya. Tapi, Nabi dijaga oleh Tuhan; semuanya mengakui bahwa tidak ada dosa
besar yang bisa menghinggapinya, sementara sebagian orang lain bahkan beranggapan bahwa hal
itu berlaku pula untuk dosa-dosa kecil. Lebih-lebih, dalam dirinya, rasa takut akan masalah itu jelas
sudah terlewatkan tanpa ada penghalang. Nabi memberi tahu para sahabat bahwa mereka adalah
para penghuni surga, da mengenai sepuluh orang di antara mereka, diberi kesaksian bahwa mereka
akan dimasukan ke dalam surga; yang mengisahkan hadits ini adalah Said ib Zaid, dan dia
termasuk salah seorang dari sepuluh orang tersebut. Jadi, kesaksian Nabi itu harus diterima dengan
persetujuan bulat, kemantapan dan kepercayaan; dan ini jelasa mengisyaratkan kemanan dari
peraliha, dan hapusnya rasa takut akan perubahan. Toh, masihh ada kisah-kisah termasyhur yang
diceritakan untuk menggambarkan rasa takut yang encekam orang-orang ini (yang telah diberi
tempat di surga), atas kesaksian nabi. Abu Bakr berkata : Kalau-kalau aku menjadi seperti sebuah
korma yang dicucuki burung-burung. Umar berkata : Kalau-kalau kau menjadi jerami begini.
Kalau-kalau aku menjadi bukan apa-apa. Abu Ubaidah berkata : Kalau saja aku bsia menjadi
seekor biri-biri, dan pemilik-ku akan menjadikan aku korban dan memakan dagingku serta
meneguk kaldu dagingku. Aisyah berkata : Kalau-kalau aku menajdi selembar daun dari pohon
ini. Padahal wanita itulah yang diberi kesaksian bahwa wanita ini adalah istri nabi di dunai Kini
dan dunia nanti. Perasaan-perasaan itu mengusik hati mereka, karena mereka takut jangan-jangan
mereka menanggung dosa karena tindakan-tindakan mereka yag menentang (Tuhan), tidak
mencermin penghormatan kepada Tuhan dan kepada kekuasaan-Nya; sebab, mereka memiliki rasa
hormat kepada Tuhan yang begitu besar sehingga mereka tidak mungkin menentang-Nya, sekalipun
mereka tidak akan dihukum oleh-Nya. Maka Umar berkata : Alangkah baiknya orang seperti
Suhaib itu! Dia tidak akan ingkar dari Tuhan, sekalipun jika dia tidak takut kepada-Nya. Yang dia
maksudkan adalah Suhaib tidak ingkar dari Tuhan bukan karena dia takut akan akibat-akibatnya,
tapi karena dia takzim kepada Tuhan dan menghormati kekuasaan-Nya, serta malu kana Dia, Jadi,
rasa takut dari orang-orang yang perkataan-perkataannya telah kami kutip itu, bukanlah rasa takut
akan peralihhan dan perubahan; sebab, rasa takut akan kedua hal itu, pada saat Nabi telah membuat

kesaksian, akan mengisyaratkan keraguan atas penuturan Nabi, dan itu berarti kekafiran; rasa takut
itu pun bukanlah rasa takut akan hukuman neraka, tanpa mereka harus ada di sana selamanya, sebab
mereka telah tahu bahwa mereka tidak akan dihukum dengan neraka karena perbuatan-perbuatan
mereka. Sebab, sekalipun mereka melakukan dosa-dosa kecil, dosa-dosa tersebut akan diampuni
karena mereka menjauh dari dosa-dosa besar , atau dikarenakan penderitaan yang mereka alam
selama berada di dunia. Abdullah ibn Umar menuturkan bahwa Abu Bakr al-Siddiq berkata : Aku
sedang berada bersama Rasulullah ketika ayat yang berikut ini diturunkan : Barang siapa
mengerjakan kejahatan, tentu akan diberi pembalasan yang setimpal dengan kejahatan itu. Nabi
berkata : Tidakkah engkau sebaiknya ku suruh menyitir ayat yang baru saja diturunkan kepadaku
itu? Aku mebjawab : Tentu saja, Wahai Rasul Allah!. Maka beliau menyuruhku menyitir ayat itu;
dan aku tidak tahu apa yag menimpaku, tapi aku merasa seakan-akan punggungku patah, dan aku
meregangkan badanku. Melihat itu Nabi bertanya : Apa yang membuat mu sakit, Abu Bakr? Aku
menjawab : Wahai Rasul Allah! Aku memohon kepdamu demi bapak dan ibuku, adakah di antara
kita yang belum pernah melakukan kejahatan? Sesungguhnya kita diberi balasan untuk semua
perbuatan kita> Nabi menyahut L Untuk engkau, Abu Bakr, dan untuk orang-orang beriman,
mereka akan diberi balasan untuk semua perbuatan mereka di dunia ini, sehingga engkau akan
bertemu dengan Tuhan tanpa tanggungan dosa, tapi, untuk yang selebihnya. Tuhan akan
mengumpulkan balasan untuk mereka itu, dan mereka akan diberi balasan itu nanti pada Hari
Kebangkitan. Atau, jika mereka melakukan dosa-dosa besar , maka tobat akan segera
menghapuskannya, dan kesaksian Nabi mengenai surga akan terpenuhi untuk mereka; sebab, hais
ini secara jelas menyatakan bahwa Abu Bakr akan melewati Hari Kebangkitan tanpa tanggungan
dosa sama sekali. Pada kesempatan lain Nabi berkata kepada Umar : Bagaimana engkau tahu
bahwa Tuhan belum memberi keputusan mengenai orang-orang yang bertempur di Badr, padahal ia
berfirman : Lakukan apa yang kamu inginkan, sebab Aku telah mengampunimu?.
Beberapa hali mempertahankan pendapat mereka bahwa sementara mereka diberi janji surga,
mereka tidak diberi janji bahwa mereka tidak akan dihukum. Jika hal ini benar, maka mereka akan
takut pada neraka, sekalipun mereka tahu bahwa mereka tidak akan berada di sana selamanya; dan,
dalam hal itu, orang-orang yang lebih disukai, sama sekali tidak berbeda dengan orang-orang
beriman lainnya, yang sudah jelas akan di jauhkan dari neraka. Nah, Jika ada kemungkinan bahwa
Abu Bakr dan Umar ankan masuk neraka, sekalipun nabi telah melukiskan mereka sebagai
Pemimpin para sesepuh penghuni surga, baik yang lebih dulu maupun yang kemudian, maka akan
ada kemungkinan bahwa al-Hasan dan al-Husain juga akan (masuk neraka) sekalipun Nabi tela
melukiskan mereka sebagai Pemimpin para peuda penghuni surga. Kalau begitu, Jika ada
kemungkinan bahwa Tuhan akan memasukan para pemimpin penghuni surga ke neraka, dan
menghukum mereka di sana, maka tidak ada kemungkinan bahwa seseorang bisa masuk surga tanpa
lebih dulu dihukum dengan neraka, Lebih jauh lagi Nabi berkata : Sedangkan mengenai orangorang dari taraf yang lebih tinggi, mereka akan dipandang oleh orang-orang yang ada di bawah
mereka sebagaimana engkau memandang sebuah bintang yang muncul dari kaki langit.
Sesungguhnya Abu Bakr dan Umar ada di antara mereka, dan mereka diberkahi. Nah, Jika dua
orang ini akan dimasukan ke neraka, dan di sana mereka dihinakan sebab Tuhan berfirman :
Siapa yang Engkau masukan ke dalam neraka, sesungguhnya Engkau telah menghinakannya.
Lalu bagaimana yang lain-lain bisa dijauhkan dari sana? Lgi, Ibn Umar bercerita bahwa suatu hati
Nabi bersama Abu Bakr dan Umar masuk ke Masjid, yang seorang di samping kanannya dan yang
seorang lagi di samping kirinya, dan beliau memegang tangan meraka dan berkata : Beginilah
kami nanti akan diangkat ke tampat yang lebih tinggi pada Hari Kebangkitan. Jika hal ini
mungkin, seperti disebutkan di atas, bahwa kedua orang itu nanti akan masuk neraka, maka
mungkin pula bagi orang yang ketiga untuk masuk neraa. Tapi Nabi berkata : Akan masuk surga
tujuh puluh umatku tanpa melalui penghitungan. Ukkayah ibn Mihshan al-Asadi berkata : Wahai
Rasul Allah! Doakanlah kepada Tuhan agar aku termasuk salah seorang dari mereka. Nabi
menyahut : Engkau salah seorang dari mereka. Nah, Abu Bakr dan Umar itu lebih baik dibanding
Ukkasyah, sebab Nabi melukiskan mereka sebagai para pemimpin para sesepuh penghuni surga,
baik yang lebih dahulu maupun yang kemudian. Lalu, bagaimana mungkin Ukkasyah akan masuk

surga tanpa melalui penghitungan, padahal dia tidak melebihi mereka dalam kebaikannya, kalau
mereka saja masuk neraka? Ini jelas merupakan sebuah kesalahan besar. Jadi hadis-hadis ini
menjelaskan bahwa tidak ada kemungkinan kedua orang itu dihukum dengan neraka, terutama
dilihat dari kesaksian Nabi bahwa mereka akan berada di surga. Bagaimanapu juga, mereka aman;
dan apapun yang telah dikatakan mengenai delapan orang yang telah disebutkan sebelumnya,
apakah mereka itu aman atau tidak, hanya menyangkut mereka saja, dan lepas dari yang dua orang
ini.
Sedangkan mengenai cara para wali tahu perihal (tempat yang telah disediakan untuk mereka di
surga) lepas dari sepuluh orang yang disebut terdahulu sebab mereka menyimaknya dari
percakapan langusng dengan Nabi, Sedangkan yang lain-lain tidak menikmati hak khusu ini,
mengingat bahwa mereka tidak hidup pada masa nabi --- mereka menjadi tahu periha itu dari
kemurahan Tuhan yang diberikan kepaa mereka sebagai wali; sebab hati nurani mereka mengenal
keadaan-keadaan kejiwaan itu, yang merupakan tanda-tanda kekariban dengan Tuhan. Allah
memilih mereka dan menjauhkan diri merka dari hal-hal lain agar mereka bisa dekat kepada-Nya,
sehingga hati nurani mereka menjadi kebal dari segala kejadian, peristiwa maupun perubahan, yaitu
hal-hal yang bisa menarik mereka agar menjauh dari-Nya; lebih-lebih mereka mereka bisa
menikmati penglihatan dan wahyu-wahyu yang hanya diperuntukan oleh Tuhan bag orang-orang
yang secara khusus dipilih sendiri oleh-Nya di alam kekal, dan juha menikmati hal-hal semacam itu
yang tidak diberikan-Nya kepada musuh-musuh-Nya. Ada Hadis Nabi yang berrkenaan dengan Abu
Bakr al-Siddiq : Dia lebih unggul daripada kamu bukan karena dia banyak berpuasa dan berdoa,
tapi karena sesuatu yang telah diisikan di dalam dadanya, atau di dalam hatinya. Inilah arti hadis
itu, yang menenteramkan hati mereka, karena mereka merasakan dalam hati mereka karunia dan
rahmat Tuhan, dan bahwa karunia dan rahmat itu nyata dan bukan hanya tipuan belaka, seperti yang
terjadi pada orang yang oleh Tuhan diberi. tanda-tanda dan yang kemudian dia berpantang
mempercayainya. Mereka tahu bahwa tanda-tanda yang nyata itu tidak sama dengan tanda-tanda
yang menipun dan menyesatkan, sebab tanda-tandan yang menipu itu hanya mempengaruhi tata
lahir mereka saja dan berupa suatu kejadian luar biasa yang menarik hati orang yang kena tipu itu
serta memerdayakan dia, sehingga dia mengira bahwa tanda-tanda tersebut merupakan gejala-gejala
yang menandai kesucian seseorang dan kedekatannya (kepada) Tuhan; padahal sebenarnya, tandatanda itu sebenarnya, tanda-tandan itu semata-mata tipuan dan kecurigaan. Kalau memang mungkin
bahwa Tuhan akan membuat karunia khusus yang doanugerahkan oleh-Nya kepada prara wali-Nya
sama dengan tipuan-tipuan yang digunakan-Nya untuk membawa musuh-musuh-Nya ke dalam
kehancuran, maka hal ini berarti bahwa Dia bisa saja berusaha dengan para wali-Nya sebagaimana
Dia berurusan dengan musuh-musuh-Nya.Dia bahkan bisa saja mengutuk nabi-nabi-Nya dan
menjauhkan mereka dari-Nya, sebagaimana yang Dia lakukan terhadap orang-orang yang telah
diberi-Nya tanda-tanda; tapi Tuhan sama sekali tidak dapat dikatakan sepeerti itu. Lebih-lebihm jika
memang mungkin bagi musuh-musuh (Tuna) untuk menikmati tanda-tanda yang dimiliki oleh para
wali, dan orang-orang terpilih, sedangkan yang menunjuk seseorang sebagai wali dan orang terpilih
itu, dalam kenyataannya, tidak menunjuk mereka, maka bagi mereka itu tidak akan ada petunjuk
menuju kebenaran sama sekali. Tapi tanda-tanda walayah itu bukan hanya hiasan luar dan
pengejawatahan dari yang luar biasasaja; tanda-tandanya yang benar ada di dalam dan merupakan
pengalaman-pengalaman yang diberikan oleh Tuhandi dalam hati nurani, yaitu pengalamanpengalaman yang hanya diketahui oleh Tuhan serta orang-orang yang telah menikmati pengalamanpengalaman tersebut.
27.
AJARAN KAUM SUFI TENTANG IMAN
Menurut sebagian besar tokoh Sufi, iman terdiri atas pengucapan lisan, tindakan dan niat. Nabi,
menurut hadis yang diriwayatkan oleh Jafar ibn Muhammad dari orang-orang tua beliau,
mengatakan : Iman itu merupakan pengakuan dengan lidah, pembuktian dengan hati dan

pelaksanaan dengan tindakan. Mereka mengatakan, akar-akarnya imna adalah pengakuan dengan
lidah beserta pembuktian dengan hati, dan cabangnya adalah pelaksanaan perintah-perintah
(Tuhan). Mereka juga menatakan bahwa iman itu ada di luar dan di dalam, yang di dalam itu
merupakan satu benda, yaitu hati, sedang yang di luar merupakan banyk hal.
Mereka bersepakat bahwa aspek lahir iman adalah sebesar aspek batinnya, dan bukannya hanya satu
bagian saja dari yang lahir itu; sebab, bagian batin iman itu merupakan bagian dari keseluruhannya,
maka bagian luar iman itu pun harus merupakan bagian dari keseluruhannya, yaitu dalam
melaksanakan perintah-perintah Tuhan; sebab, ini berlaku umum bagi semua yang lahir,
sebagaimana pentahkikan (verisikasi) itu berlaku umum bagi semua yang batin. Mereka
mengatakan bahwa iman itu bisa juga lebih besar atau lebih kecil. Al-Junadi Syal dan tokoh-tokoh
Sufi yang lebih dahulu menganggap bahwa pentahkikan itu bisa juga lebih besar atau lebih kecil.
Berkurangnya pentahkikan berarti peranjakan dari iman, sebab, itu merupakan pentahkikan dari apa
yang telah dituturkan dan di janjikan oleh Tuhan, dan keraguan yang paling kecil pun akan hal ini
sama dengan kekafiran; lebih besarnya pentahkikan bisa diartikan sebagai kekuatan dan
kemantapan. Pengakuan lidah tidak beragam, tapi pelaksanaannya bisa jadi lebih bessar atau lebih
kecil. Seorang tokoh Sufi berkata : Istilah yang beriman, merupakan ssalah satu nama Tuhan,
sebab Dia berfirman : Yang memberi kedamaian, yang beriman yang melindungi. Lewat iman,
Tuhan membuat orang yang berimana merasa aman dari hukuman-Nya. Kalau orang yang beriman
itu membuat pengakuan dan pentahkikan, dan juga melaksanakan segala kewajiban, menahan diri
dari hal-hal yang dilarang, maka dia aman dari Hukuman Tuhan. Jika seseorang tidak melakukan
hal tersebut sama sekali, maka dia akan hidup kekal di neraka. Kalau seorang itu membuat
pengakuan dan pentahkikan, tapi tidak sepenuhnya melaksanakan kewajiban-kewajibannya; oleh
karena itu, dia aman dari hukuman yang kekal, tapi bukan berarti tidak dihukum sama sekali. Rasa
amannya berarti tidak menyeluruh, tidak sempurna; tapi, rasa aman orang yang melaksanakan
segala kewajiban itu bersifat menyeluruh, dan tidak kurang. Dengan begitu maka rasa aman yang
tidak sempurna merupakan akibat dari iman yang tidak sempurna, sebab pemenuhan rasa aman itu
bergantung pada pemenuhan iman. Nabi melukiskan iman seseorang yang tidak berhasil
melaksanakan kewajiban-kewajibannya sebagai kelemahan, ketika beliau berkata : Orang
seperti itu lemah dalam iman. Ia adalah orang yang melihat sesuatu sebagai yang tidak dapat
dibenarkan, dan tidak membenarkannya di dalam hati, tapi membenarkannya dalam tata lahir nya;
maka Nabi mengatakan bahwa iman di dlam batin tanpa iman di lahir adalah iman yang lemah.
Beliau juga menggunakan istilah kesempurnaan dalam hal ini, ketika beliau berkata : Bahwa
orang beriman paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya. Akhlak itu terdiri atas
yang batin dan yang lahir; oleh akrena itu beliau melukiskan seseorang sebagai pemilik iman
sempurna jika dia baik dalam keduanya, dan lemah jika dia tidak baik pada keduanya. Seorang
tokoh Sufi berkata : Iman yang lebih besar atau lebih kecil itu merupakan masalah kualitas, bukan
esensi; pertambahannya adalah dalam hal kebaikan , kebagusan dan kekuatannya, sedang
pengurangannya adalah dalam hal kebaikan, kebagusan dn kekuatannya pula, bukan dalam
eseensinya. Nabi berkata : Banyak laki-laki yang sempurna, tapi perempuan tidak, kecuali empat
orang. Nah, kekurangan-kekurangan dari perempuan-perempuan yang lain itu bukan merupakan
masalah sifat-sifat esensi mereka, melainkan sifat pelengkap mereka. Beliau juga melukiskan
mereka kurang dalam hal intelektualitas dan agama, dan beliau menerangkan bahwa kekurangan
yang ke dua itu muncul karena dalam kenyataan, mereka tidak bersembahyang dan berpuasa pada
masa haid mereka. Nah, Agama itu, dalam kenyataannya, adalah Islam, dan Islam itu identik
dengan iman dalam pandangan orang-orang yang menganggap beramal itu tidak merupakan bagian
dari iman. Salah seorang tokoh besar Sufi, ketika di tanya apakah iman itu, menjawab : Iman
dalam diri Tuhan tidak bisa lebih besar atau lebih kecil; dalam diri para Nabi bisa lebih besar atau
lebih kecil, tapi dalam diri orang-orang lain bisa lebih besar dan lebih kecil. Yang dimaksudkan
dengan kata-kata dalam diri Tuhan tidak bisa lebih besar atau lebih kecil, adalah bahwa iman itu
merupakan sebuah gelar Tuhan yang dengan it Dia diberi sfat. Tuhan berfirman, Yang memberi
kedamaian, yang beriman, yang Melindungi. Nah, gelar Tuhan itu tidak dapat diperkirakan sebagai
yang lebih besar atau lebih kecil. Tapi, adalah mungkin bahwa Iaman dalam Diri Tuhan berarti

iman yang di berikan-Nya kepada seseorang sesuai dengan ke-Mahatahuan-Nya, yang tidak lebih
besar pada saat iman itu di ejawantahkan, dan yang tidak lebih kecil daripada iman yang telah
diketahui Tuhan dan diberikan kepada orang itu. Nabi-nabi itu berada dalam kedudukan yang bisa
menikmati tambahan dari Tuhan lewat kekuatan, kemntapan, dan perenungan atas hal-hal gaib;
sebab Tuhan berfirman : Demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim kerajaan langit dan bumi,
agar Ibrahim termasuk orang-orang yang benar-benar yakin. Orang-orang yang lain mendapat
tambahan dalam hal batin mereka lewa kekuatan dan kemntapan, tapi mengalami pengurangan
menynakgut cabang-cabang iman mereka, karena kelemahan-kelemahan mereka dalam
melaksanakan perintah-perintah Tuhan, dan karena mereka melakukan dosa-dosa yang di larang
(oleh Tuhan). Tapi, para Nabi terjaga dari melakukan dosa-dosa, dan terjaga dari kelemahankelemahan dalam melaksanakan perintah-perintah Tuhan; oleh karena itu, mereka tidak dapat
diperikan sebagi tidak sempurna dalam hal apa pun.
28.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI HAKIKAT IMAN
Salah seorang syekh berkata : Unsur iman itu ada empat : penyatuan tanpa batas, ingatan tanpa
selaan, keadaan tanpa pemerian dan ekstase tanpa waktu. Kata-kata keadaan (hal0 tanpa pemerian
(nat) berarti bahwa yang diperikannya adalah juga keadaannya, sehingga dia diberi sifat dengan
setiap keadaan mulia yang diperikannya; ekstase tanpa waktu (waqt) berarti bahwa dia
merenungkan Tuhan pada setiap waktu. Seorang tokoh Sufi berkata : Jika iman seseorang sejati
adanya, maka dia tidak akan menggubris fenomena (kaun) dan obyek-obyek fenomenal; sebab,
kerendahan tujuan itu muncul dari kurangnya marifat. Yang berkata : Iman yang sejati adalah
pemujaan akan Tuhan, dan buahnya adalah rasa malu terhadap Tuhan. Telah dikatakan bahwa :
Sedang mengenai orang yang beriman, dadanya diluaskan dengan cahaya Islam, dan hatinya
dipalingkan kepada Tuhan-nya; bagian dalam hatinya (fuad) menyaksikan Tuhan-nya, dan
pemahamanya pun jelas; dia berada bersama tuhannya, merasa puas kalau dia dekat, dan menangis
kalau Dia jauh, Yang lain berkata : Iman kepada Tuhan adalah merenungkan ketuhanan-Nya,
Abul Qasim al-Baghdadi berkata : Iman adalah yang menyatukanmu dengan Tuhan dan yang
memusatkan pikiranmu kepada Tuhan. Tuhan itu esa, dan begitu pula, orang yang beriman itu satu.
Jika orang menyesuiakan diri dengan benda-benda, maka nafsu-nafsu memisahkan dirinya; dan jika
orang itu terpisahkan dari Tuhan oleh nafsu-nafsunya, dan mengikuti syahwat serta benda-benda
yang diinginkannya, maka dia kehilangan Tuhan. Tidakkah engkau tahu bahwa tuhan
memerintahkan mereka untuk mengulang-ulang akad perjanjian mereka pada setiap pemikiran dan
pandangan? Sebab Tuhan berfirman : Hai orang-orang yang berriman! Tetaplah percaya. Nabi
berkata : Kekafiran itu lebih tersembunyi di antara umatku daripada jejak seekor semut di atas batu
pada malam gelap. Nabi juga berkata : Semoga mereka yang memuja uang itu binasa, semoga
mereka yang memuja kelamin itu binasa, semoga yang pakaian itu binasa. Saya bertanya pada
seorang syekh kita mengenai iman, dan dia berkata : Itu berarti bahwa engkau mesti benar-benar
tanggap akan panggilan Tuhan, melenyapkan dari hatimu semua pemikiran mengenai pergimu dariNya, sehingga engkau selalu ada bersama semua yang menjadi milik Tuhan dan menghidanr dari
semua yang bukan menjadi milik Tuhan. Pada kesempatana lain, saya menanyakan kepadanya
pertanyaan yang sama, dan dia menjawab : Iman adalah sesuatu yang tidak boleh digantikan, dan
tugas yang tidak boleh dilalaikan. Kata-kata Hai orang-orang yang berriman, mengandung arti,
Hai orang-orang pilihan dan marifat-Ku! Hai orang-orang yang dekat dan selalu merenungkan
Aku!. Beberpa tokoh Sufi menganggap Iman dan Islam itu khusus. Seorang tokoh Sufi berkata :
Iman itu merupakan perwujudan dan kepercayaan, Islam itu kerendahan hati dan penghambaan.
Yang lain berkata : Tauhid adalah sebuha rahasia dan itu bisa dicapai dengan pernyataan bahwa
Tuhan itu tidak dapat dilihat, marifat itu adalah suatau ketakwaan, dan itu berarti bahwa engkau
mengenal Tuhan dalam gelar-gelar-Nya, Iman itu adalah ikrar hati untuk menjaga rahasia itu, dan
untuk mengenal ketakwaan itu; Islam adalah perenungan kemaujudan Tuhan di dalam segala
sesuatu yang dibutuhkan darimu.

29.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI MAZHAB-MAZHAB YANG SAH
Berkenaan dengan masalah-masalaha yang menimbulkan perbedaan pendapat di antara para ahli
hukum, tokoh-tokoh Sufi mencari jalan yang lebih hati-hati dan konservatif, dan sebisanya
mengikuti konsesus kedua pihak yang saling bertentangan itu. Mereka beranggapan bahwa
perbedaan-perbedaan di antara para ahli hukum itu akan mendatangkan kebenran, dan bahwa tak
satu pihak pun yang benar-benar bertentangan dengan yang lainnya. Dalam pandangan mereka,
setiap orang yang berusaha mencari kebenaran (berijtihad) itu benar adanya, dan setiap orang yang
memegang prinsip tertentu dalam hukum sebagai yang benar, lewat analogi dengan prinsip-prinsip
serupa yang ditetapkan dan al-Quran dan Sunnah, atau lewat penggunaan penafsiran secara
bijaksana, adalah benar dalam memegang kepercayaan yang semacam itu. Tapi jika seseorang tidak
memiliki dasar yang cukup kuat dalam hukum, maka dia meski tunduk kepada keputusan ahli-ahli
hukum terdahulu yang dianggapnya lebih pandai, yang penilaiannya dianggap tegas olehnya.
Mereka percaya akan kemustajaban doa mereka, sebab dalam pandangan mereka hal ini merupakan
jalan yang baik, asal orang itu yakin mengenai saat yang tepat dalam melakukannya, dan begitu
pula pada kemustajaban pelaksanaan semua tugas keagamaan pada waktu-waktu yang semestinya.
Mereka tidak mengizinkan adanya pemendekan, penangguhan atau penghilangan , kecuali dengan
alasan yang tepat. Mereka setuju, bahwa kalau sedang bepergian, orang boleh memendekkan
sembahyangnya, tapi jika dia terus-menerus pergi dan tidak memiliki tempat tinggal yang tetap,
maka dia harus melaksanakan sembahyang dengan penuh. Mereka beranggapan bahwa orang boleh
membatalkan puasa. Mereka menafisrkan prinsip kemampuan, dalam hubungannya dengan
kewajiban pergi ke tanah suci, dalam arti yang paling luas, dan tidak membtasai syarat-syaratnya
pada pemilikan perbekalan dan jumlahnya. Ibn Atha berkata : Kemampuan itu terdiri atas dua hal :
Keadaan dan kekayaan. Jika seseorang tidak memiliki keadaan yang diperrlukan untuk
menunjangnya, maka kekayaannya akan bisa menolongnya untuk mencapai hal itu.
30.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI PENGHASILAN
Mereka mengakui bahwa orang diizinkan memiliki penghasilan dari perdagangan, perniagaan atau
pertanian, atau cara-cara lain yang diizinkan oleh syariah, asal orang itu berhatai-hati, tidak tergesagesa dan cermat dalam menghinndari hal-hal yang kesahannya diragukan, penghasilan-penghasilan
ini hendaknya dipakai untuk keperluan saling bantu dengan menekan nafsu-nafsu, dan selalu siaga
membantu yang lain serta bermurah hati kepada tetangga. Mereka beranggapan, bahwa orang harus
mencari nafkah jika dia memiliki tanggungan-tanggungan yang mesti ditunjang olehnya. Menurut
Al-Junaid, cara yang tepat untuk mencari nafkah, disamping syarat-syarat terdahulu, adalah dengan
melakukan pekerjaan-pekerjaan yang akan mebawa orang itu lebih dekat kepada Tuhan, dan
menyibukan diri dalam pekerjan-pekerjan itu dengan semangat yang sama dengan pekerjaanpekerjaan sunnah yang diperintahkan kepada orang itu, bukannya dengan gagasan bahwa pekerjaanpekerjaan itu merupakan alat mata pencaharian atau alat untuk mendapatkan keuntungan. Tapi
tokoh-tokoh lain beranggapan bahwa mendapat penghasilan itu boleh saja, tapi bukan berarti bahwa
hal itu perlu, asalkan kepercayaan orang itu kepada Tuhan tak berkurang sama sekali, atau
keagamaannya terpengaruh; tapi, sebenarnya, akan lebih tepat kalau seseorang menyibukan diri
dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban Tuhan, dan dalah tugas yang utama bagi orang itu
untuk menjauh dari segala penghasilan demi menyempurnakan kepercayaan dan imannya kepada
Tuhan. Sahl berkata :Tidaklah pantas bagi orang-orang yang menaruh kepercayaan kepada Tuhan
mencari penghasilan, kecuali dengan tujuan mengikuti Sunnah Nabi; dan bagi yang lain-lain, hal itu
tidaklah pantas, kecuali untuk tujuan saling menolong.
Ini semua merupakan doktrin-doktrin sejati para Sufi, sepanjang yang telah kami buktikan dari yang
telah dinyatakan dalam kitab-kitab mereka, yang nama-namanya telah kami sebutkan pada awal

buku ini, atau telah kami dengan dari para ahli yang dapat dipercaya yang mengenai prinsip-prinsip
mereka dan menguji doktrin-doktrin mereka, atau sepanjang kami memahami teka teki dan acuanacuan terselubung dan terkandung dalam wacana aktual mereka. Memang, semua ini tak
diungkapkan dalam cara yang sama seperti cara kami menuturkannya. Sebagian besar bukti yang
telah kami sitir merupakan susunan kami sendiri, yang mengungkapkan apa yang telah kami
kumpulkan dari kitab-kitab dan risalah-risalah mereka; tapi, apabila orang itu mempelajari wacana
dan buku-buku mereka, dia akan tahu bahwa apa yang telah kami tuturkan ini benar adanya.
Sungguh pun begitu, kalau bukan karena keseganan kami untuk membuat sebuah pembahasan yang
panjang, maka pasti kami telah mengutip bab-bab dan syair-syair dari buku-buku mereka untuk
setiap pokok masalah yang telah kami kemukakan, sebab semua ini tidak dituliskan secara cukup
jelas dalam buku-buku itu.
Dan kini kami akan menyebutkan doktrin-doktrin Sufi yangkhusus, ungkapan-ungkapan tertentu
yang mereka gunakan, ilmu-ilmu yang mereka pelajari, dan pokok-pokok isi umum wacara mereka,
dengan keterangan tentang makna-makna mereka yang perlu. Dari Tuhan kami minnta batuan,s
ebab tiada kekuasaan atau kekuatan kecuali dari Tuhan.
31.
MENGENAI ILMU-ILMU SUFI TENTANG KEADAAN-KEADAAN (AHWAL)
Saya katakan (dan semoga Tuhan menjadi penolong saya) : Ketahuilah, bahwa ilmu-ilmu Sufi
adalah ilmu-ilmu mengenai keadaan-keadaan ruhani, dan bahwa keadaan-keadaan ini merupakan
warisan dari tindakan-tindakan, dan hanya dialami oleh orang-orang yang tindakan-tindakannya
benar. Nah, langkah pertama menuju perbuatan yang bernar adalah mengetahui ilmu-ilmu yang
menyangkut masalah itu, yaitu peraturan-peraturan yang sah yang terdiri atas prinsip-prinsip hukum
(fiqh) yang mengatur cara-cara salat, berpuasa dan tugas-tugas keagamaan lainnya, juga mengetahui
ilmu-ilmu sosial yang mengatur perkawinan, perceraian, transaksi-transaksi dagang, dan masalahmasalah lain yang mempengaruhi kehidupan manusia, yang oleh Tuhan telah ditetapkan dan
ditentukan sebagai hal-hal yang diwajibkan. Semua itu merupakan ilmu-ilmu yang bisa didapatkan
dengan jalan mempelajarinya; dan sudah menjadi kewajiban manusia untuk berusaha mencari ilmu
ini dan aturan-aturannya, sepanja g dia mampu mencari hingga batas kemampuan akalnya sebagai
manusia, setelah dia mendapat dasar yang menyeluruh dalam ilmu agama dan cara-cara memahami
Al-Quran, Sunnah serta konsensus para salaf sampai batas memahami doktrin yang benar dari
Muslim Ahlus Sunnah wal Jamaah. Jika Tuhann menolongnya memperoleh pencapaian yang lebih
tinggi daripada ini, sehingga dia bisa membuang segala keraguan pandangan atau pemikiran yang
menimpanya, hal itu bagus sekali; tapi, bahkan jika dia berrpaling dari pemikiran-pemikiran jahat
dengan mecari perlindungan dari kesseluruhan pengetahuan yang dimilkinya, dan menghindari
pandangan yang melawannya dan yang menjauhkannya dari (Tuhan), maka itu merupakan bagian
yang cukup sesuai untuk dirinya, jika memang Tuhan menghendaki; sebab dia disibukkan dengan
pelaksanaan pengetahuannya dan dia melaksanakan itu menurut apa yang diketahuinya.
Oleh karena itu, yang paling penting adalah bahwa dia harus tahu mengenai kejahatan-kejahatan
jiwa, dan benar-benar mengenal jiwa itu, pendidikannya, dan penempaan akhlaknya; dia juga harus
tahu mengenai tipu-tipu muslihat musuh dan godaan-godaan dunia ini serta cara-cara untuk
menjauhkan diri darinya. Ilmu ini merupakan ilmu tentang kebijaksanaan (hikmah). Kalau jiwa itu
ditegur dengan sepantasnya, dan kebiasaan-kebiasaannya diubah, kalau dia diajari tata cara
ketuhanan dengan menguasai anggota-anggotanya dan menjaga jari-jari serta indera-inderanya,
maka akan mudah bagi seseorang untuk mengubah akhlaknya dan memurnikan bagian-bagian
lahirnya, sehingga dia tidak lagi terkungkung dalam urusan-urusannya sendiri dan menghindar serta
mengelakkan diri dari dunia ini. Kalau sudah begitu maka, orang itu akan bisa mengawasi pikiranpikirannya dan memurnikan bagian-bagian lahirnya; dan inilah ilmu marifat itu. Di balik itu adalah
ilmu-ilmu pemikiran, ilmu-ilmu perenungan dan wahyu; semua ilmu ini seluruhnya terdiri atas ilmu
isyarat (isyarah), dan inilah yang merupakan ilmu utama yang dimiliki oleh orang-orang sufi, yang
mereka dapatkan setelah mereka menguasai semua ilmu yang telah kami sebut sebelum ini. Istilah

Isyarat diberrikan kepada ilmu ini; karena perenungan yang dinikmati oleh hati, dan wahyu yang
diberikan kepada kesadaran (sirr) tidak dapat diungkapkan secara harfiah; hal itu harus dipelajari
lewat pengalaman nyata akan yang gaib, dan hanya bisa diketahui oleh orang-orang yang telah
mengalami keadaan-keadaan gaib ini serta hidup dalam keadaan-keadaan itu. Said ibn al-Musayyib
meriwayatkan dari Abu Harairah, bahwa Nabi berkata : Sesungguhnya, sebagian pengetahuan itu
berkenaan dengan sesuatu yang tersembunyi, yang bisa diketahui oleh mereka yang mengenal
Tuhan. Kalau mereka membicarakan mengenai ilmu itu, maka hanya orang-orang yang tidak
mengindahkan Tuhan saja yang tidak menyetujuinya. Penuturan berikut adalah dari Abdul Wahid
ibn Zaid : Aku bertanya kepada al-Hasan mengenai ilmu batin, dan dia menyahut, aku bertanya
kepada Hudzaifah mengenai ilmu batin, dan dia menyahut, aku bertanya kepada Rasul Allah
mengenai ilmu batin, dan dia menyahut,aku bertanya kepada Jibril megenai ilmu batin, dan dia
menyahut, dan aku bertanya kepada Tuhanmengenai ilmu batin, dan Dia berfirman : Itu adalah
rahasia dari rahasia Ku; Aku menanamkannya di dalam hati hamba-Ku dan tak satu makhluk-Ku
pun yang memahaminya. Abul Hasan ibn Abi Dzar mengutip puisi berikut dari Al-Syibli dalm
bukunya Minhaj al-Din :
Ilmu orang-orang Sufi itu tak terrbatas;
Ilmu yang tinggi, mulia suci;
Di dalamnya hari para syekh tenggelam dalam-dalam,
Dan manusia yang andai, menghargainya dengan tanda itu.
Nah, setiap tingkatan itu ada awal dan akhirnya; dan di antara yang dua itu ada berbagai keadaan.
Setiap tingkatan ada ilmunya sendiri, dan setiap keadaan itu ada isyaratnya sendiri. Dalam setiap
tingkatan, ada satu penegasan dan satu sangkalan; tapi tidak semua yang disangkal di dalam satu
tingkatan itu disangkal pula di dalam tingkatan yang sebelumnya; begitu pula, tidak semua yang
ditegaskan di dalam satu tingkatan akan di tegaskan di dalam tingkatan sesudahnya. Ini sesuai
dengan perkataan Nabi : Jika seseorang tidak memiliki keimanan, maka dia tidak memiliki iman.
Ini menunjuk pada iman dari keimanan itu, bukan iman dari kepercayaan keagamaan. Nah, oarngorang yang ditegus ini merasakan hal ini, sebab mereka telah berada dalam tingkatan keimanan atau
telah melewati tingkatan itu; Nabi memahami keadaan jiwa mereka, maka Beliau menjelaskan diri
Beliau kepada mereka. Nah, jika orang yang sedang berbicara itu tidak mengindahkan keadaan
kejiwaan para pendengarnya, tapi hanya menguraikan secara terperinci ssuatu tingkatan yang
menegaskan dan menyangkal, maka ada kemungkinan bahwa di antara para pendengarnya ada
orang yang belum pernah berada dalam tingkatan itu; apa yang disangkalnya bisa jadi telah
ditegaaskan di dalam tingkatan pendengar itu, shinga dia akan beranggapan bahwa pembicaran itu
telah menyangkal suatu yang oleh pengetahuan ditegaskan; dan bahwa dia kalau tidak berbuat suatu
kesalahan, telah jatuh ke dalam bidah, atau bahkan telah terelempar ke dalam kekafiran. Karena
adanya peristiwa seperti itu, maka tokoh-tokoh Sufi mencari ungkapan-ungkapan teknis untuk ilmuilmu mereka, yang mereka pahami dalam lingkungan mereka sendiri; ungkapan-ungkapan itu
mereka gunakan sebagai kode, yang akan bisa dimengerti oleh sesama Sufi, tapi tidak bisa
dimengerti oleh pendengar mana pun yang belum pernah berada dalam tingkatan yang sama.
Karenanya, pendengar itu akan melakukan salah satu dari kedua hal berikut : Dia menganggap baik
pembicara itu dan menerimanya serta menyalahkan dirinya sendiri karena kekurang-mengertiannya
sehingga dia tidak sanggup menangkap maksud pembicara itu; atau dia menganggap buruk
pembicara itu, menganggapnya gila dan menganggap apa yang dikatakannya merupakan ocehan
sinting, dan bahkan jika pembicara itu memang hanya mengoceh saja, hal itu masih lebih baik
daripada kalau dia menolak dan menyangkal kebenaran. Seorang ahli ilmu kalam berkata kepada
Abul Abbas ibn Atha : Ada apa dengan kamu semua,orang-oran Sufi? Kamu semua telah membuat
ungkapan-ungkapan yang kamu gunakan untuk memohon kepada para pendengarmu dengan cara
berbicara yang begitu aneh, dan kamu meninggalkan caa berbicara yang biasa. Bukankah ini tidak
lain ditujukan untuk mendatangkan kekacauan, atau menyembunyikan sebuah doktrin yang keji?
Abul-Abbas menyahut : Kami melakukan ini hanya karena kami waspada terhadap Dia, dan
kaerna kekuasaan-Nya atas kami, sehingga yang lain-lain tidak akan dapat mencicipi (kegembiraan
yang dingkapkan dengan) (istilah-istilah) ini. Lalu dia mulai menyitir puisi sebagai berikut :

Inilah hal kterrbaik yang pernah diwahyukan oleh Allah;


Dan kami ungkapkan, tapi pada kami sendiri tetap tersembunyi;
Satu kebenaran yang menyingsing yang, bagai si pecinta, diuacpkan dari bibir ke bibir.
Dalam cahanya sendiri, ku bungkus dia rapat;
Dan ku sembunyikan, kalau-kalau ada orang yang tak mengenal kedalamannya.
Membukanya, dan dengan ungkapan-ungkapan kasa membuang;
Keindahan kejiwaannya; atau, orang yang tak pandai
Memahaminya, tidak, tan sampai sepenuhnya,
Akan dibawanya itu dengan tangannya, dan diumumkannya;
Dan kebodohan akan menyebar karena tipuannya;
Dan pengetahuan akan hilang selamanya, dan keindahannya;
Akan lenyap; jejaknya terkubur dalam pasir yang mengalir.
Puisi yang berikut ditukan untuk orang yang sama :
Kala orang awam menanyai kai;
Kami menjawab mereka dengan tanda-tanda rahasia;
Serta teka-teki gelap, sebab lidah manusia itu..
Tidak mampu mengungkapkan kebenaran yang begitu tinggi,
yang jangkauannya..
Melewati ukuran manusia ; tapi hatiku..
Telah mengenalnya, dan mengenal kegairahannya..
Yang menggetarkan dan mengisi tubuhku,
Setiap bagian..
Tanpa melihat engkau, perasaan gaib ini menangkap
Seni berbicara yang asasi, sebagai orang yang tahu..
Menaklukan dan membungkam musuh yang ummi.
32.
MENGENAI SIFAT DAN MAKNA TASAWUF
Saya mendengar bahwa Abul-Hasan Muhammad ibn Ahmad al-Farisi berkata : Unsur-unsur
Tasawuf itu ada sepuluh jumlahnya. Yang pertama adalam pemecilan pengesaan; yang kedua adalah
pengertian audisi (sama); yang ketiga adalah persahabatan yang baik; yang keempat adalah kelebih
sukaan kepada yang lebih disukai; yang ke lima adalah pemasrahan pilihan pribadi; yang keenam
adalah pergerakan ekstase; yang ketujuh adalah pengungkapan pikiran; yang kedelapan adalah
perjalanan yang banyak; yang kesembilan adalah pemasrahan rizki; yang kesepuluh adalah
penolakan untuk menimbun (harta).
Pemecilan pengesaan berarti bahwa pemikiran mengenai penyembahan kepada banyak tuhan atau
ketidakpercayaan akan adanya Tuhan tidak akan dapat merusak kesucian akan kepercayaan kepada
Tuhan Yang Esa. Audisi mengandung arti bahwa orang harus mendengarkan dalam tuntunan
pengalaman gaib, bukan hanya melalui proses belajar. Kelebihsukaan kepada yang lebih disukai
berarti bahwa orang itu harus lebih menyukai orang lain lebih menyukai, sehingga dia akan
mendapatkan kebaikan dari kelebihsukaan itu. Pergerakan ekstase terwujud kalau kesadaran tidak
hampa dari sesuatu yang menimbulkan ekstase dan tidak dipenuhi pemikiran-pemikiran yang
mencegah orang mendengarkan anjuran-anjuran Tuhan. Pengungkapan pikiran berarti bahwa orang
itu harus menguji setiap pemikiran yang masuk ke dalam kesadarannya, dan mengikuti apa yang
berasal dari Tuhan, tapi meninggalkan apa yang tidak berasal dari Tuhan. Perjalanan yang banyak,
ditujukan untuk melihat peringatan-peringatan yang dapat dicari di langit dan di bumi; sebab Tuhan
berfirman : Tidakkah mereka menjelajahi bumi ini untuk menyelidiki bagaimana nasib bangsabangsa yang sebelum mereka? Dan lagi. Katakanlah: Mengembaralah di muka bumi ini, lalu
perhatikan bagaimana Allah memulia penciptaan segala-galanya. Dan kata-kata : Mengembaralah

di muka bumi ini, dijelaskan sebagai mengandung arti, dengan tuntunan marifat, bukannya
dengan kegelapan kejahilan, demi memotong ikatan (kebenaran) dan melatih jiwa. Pemasrahan
rizki diartikan sebagai tuntutan agar jiwa bertawakal kepada Tuhan. Penolakan untuk menimbun
hanya diartikan sehubungan dengan kondisi pengalaman gaib, dan bukan sehubungan dengan
peraturan-peraturan ilmu kalam. Karena itu, ketika salah seorang dari mereka yang duduk dalam
mahkamah itu wafat dengan meninggalkan satu dinar, nabi berkata mengenai orang itu : Sebuah
cap pembakaran (di neraka).
33.
MENGENAI PENGUNGKAPAN PIKIRAN
Salah seorang dari Syekh itu berkata : Pikiran itu ada empat : Dari Tuhan; dari malaikat; dari diri
sendiri dan dari setan. Pikiran yang berasal dari Tuhan merupakan suatu teguran yang baik; yang
dari Malaikat, suatu dorongan agar patuh; yang dari diri sendiri, pemenuhan nafsu; yang dari setan,
ajakan kepada keingkaran. Dengan tuntunan pengesaan, pikiran dari Tuhan itu diterima, dam
dengan tuntunan marifat, pikiran dari malaikat itu diterima; dengan tuntunan iman, (pikiran
mengenai) diri sendiri itu disangkal, dan dengan tuntunan Islam, (pikiran mengenai) setan itu di
tolak.
34.
MENGENAI TASAWUF DAN KETENTERAMAN BERSAMA TUHAN
Al-Junaid berkata : Tasawuf merupakan pelestarian saat-saat, yaitu bahwa seseorang tidak
mengindahkan apa yang ada di luar batas-batasnya. Tidak mengakui segala sesuatu kecuali Tuhan,
dan hanya berurusan dengan saatnya yang tepat. Ibn Atha berkata : Tasawuf berarti merasa
tenteram bersama Tuhan. Abu Yaqub al-Susi berkata : Sufi adalah orang yang tidak pernah
merasa tidan tenteram kalau ada sesuatu yang di ambil dari padanya, dan tidak pernah repot-repot
mencari (apa yang tidak dimilikinya). Al-Junaid ditanya : Apakah Tassawuf itu? Jawabnya : Itu
adalah menggantungkan kesadaran pda Tuhan; dan hal ini tidak dapat dicapai kecuali kalau jiwa
menjauh dari sebab-sebab (asbab) sekunder, lewat kekuatan ruh, dan tinggal bersama Tuhan. AlSyibli ditanya : Mengapa orang-orang itu dipanggil Sufi? Dia menjawab : Karena mereka telah di
cap dengan kamaujudan citra dan penegasan gelar (Tuhan). Jika mereka telah dicap dengan
ketiadaan citra itu, maka hanya Dia saja yang tetap ada, yang mengadakan citra dan menegaskan
gelar itu, dan menuangkan citra-citra itu kepada mereka, Tapi tidak membenarkan bahwa semua
orang yang benar-benar tahu mesti memiliki citra atau gelr. Abu Yazid berkata : Paar Sufi adalah
anak-anak yag duduk di pangkuan Tuhan. Abu Abdillah al-Nijabi berkata : Tasawuf adalah seperti
penyakit birsam, (Tumor di perut), pada tahap pertama si sakit meracau; tapi, ketika penyakit itu
menguasainya, dia menjadi bisu. Yang dimaksudkannya adalah bahwa Sufi pada mulanya
melukiskan keadaannya dan berbicara seperti yang diperintahkan oleh keadaannya itu; tapi setelah
wahyu diberikan kepadanya, dia menjadi bingung dan menahan lidahnya. Saya mendengar faris
berkata : Selama gagasan-gagasan muncul dalam pemikiran seseorang , menurut suara jiwa, dia
pun menemukan dalam hatinya nilai yang lebih tinggi daripada keadaan yang terdahulu, maka
jadilah dia membuka rahasia; tapi mengenai pencapaian, itu menyelubungi cara-cara pemenuhan
kepuasan, sehingga pada akhirnya dia bisu saja, tak berselera. Ketika Al-Nuri ditanya mengenai
Tasawuf, dia menjawab : Itu merupakan pengungkapan rahasia keadaan, dan suatu pencapaian
ketinggain (maqam). Ketika diminta untuk melukiskan sifat-sifat mereka (yaitu para Sufi), dia
berkata : Mereka membawa kegembiraan ke dalam (hati) orang-orang lain, dan menjauh dari
keinginan untuk membahayakan mereka. Tuhan berfirman : Bersikaplah pemaaf, anjurkanlah
berbuat amal kebajikan dan berpalinglah dari orang jahil. Dengan pengungkapan rahasia keadaan
yang dimaksudkannya addalah bahwa oang Sufi, jka dia mengungkapkan mengenai dirinya sendiri,
adalah dalam hubungannya dengan keadaan kejiwaannya sendiri, dan tidak menyinggung keadaan
kejiwaan orang lain, secara teoritis; dan yang dimaksud engan pencapaian ketinggian (maqam),

dia memberitahukan bahwa orang semacam itu terbawa oleh keadaannya sendiri lewat keadaannya
sendiri, menjauh dari keadaan orang-orang lain. Puisi dari Al-Nuri berikut ini, dengan tepat sekali
melukiskan apa yang diucapkannya :
Jangan bicarakan ini Engkau berkata,
Lalu ke dalam rahasia tanpa kata, Engkau membawa Jiwa kembaraku;
Bisakah ucapan memerikan yang tak terucap?
Tidak semua orang yang berseru,
Nah, begiliha kau! Engkau anggap demikian;
Kalau perbuatan-perbuatan telah menampakkan
Bahwa begitulah dia, maka Engkau akui milikmu.
Tujuan kami adalah untuk melukiskan beberapa di antara keadaan-keadaan itu dalam bahasa orangorang Sufi sendiri, tapi tidak dengan cara berpanjang-panjang, sebab kami tidak menyukai
pembicaraan yang panjang. Kami akan menuturkan wacana-wacana para Syekh, hanya yang cukup
mudah dimengerti saja, untuk menghindari teka-teki yang gelap dan isyarat-isyarat terselubung.
Kami akan memulai dengan Tobat.
35.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI TOBAT
Al-Junaid ditanya : Apakah tobat itu? Dia menjawab : Tobat adalah pelupaan dosa seseorang.
Sahl, ketika diajukan pertanayan yang sama, menjawab : Tobat berarti tidak melupakan dosa
seseorang. Perkataan Al-Junaid mengandung arti bahwa kemanisan tindakan semacam itu
sepenuhnya mejauh dari hati, sehingga di dalam kesadaran tidak ada lagi jejaknya, sampai orang itu
merasa seakan-akan dia tidak pernah mengetahuinya. Ruwain berkata : Arti tobat adalah bahwa
engkau harus bertobat atas tobat itu. Arti ini mirip dengan yang dikatakan oleh Rabi,ah : Aku
memohon ampun kepada Tuhan karena ketidaktulusan dalam berbicara; Aku mohon ampun kepada
Tuhan. Al-Husain am Maghazili, ketika ditanya mengenai tobat, berkata : Apakah yang engkau
tanyakan mengenai tobat peralihan, atau tobat tanggapan? Yang lain berkata : Apakah arti tobat
peralihan itu? Ruwain menjawab : Bahwa engkau harus takut kepada Tuhan karena kekuasaan-Nya
atas dirimu. Yang lain bertanya : Dan apakah tobat tanggapan itu? Ruwain menyahut : Bahwa
engkau harus malu kepada Tuhan karena Dia ada di dekatmu. Dzul Nun berkata : Tobat orang
awam adalah tobat dari dosanya; Tobat orang terpilih adalah tobat dari kekhilafannya; Tobat para
Nabi adalah tobat dari kesadaran mereka akan ketidaksempurnaan mencapai apa yang telah dicapai
orang lain. Al-Nuri bekata : tobat berarti bahwa engkau harus berpaling dari segala sesuatu
kecuali Tuhan. Ibrahim al-Daqqak berkata : Tobat berarti bahwa engkau harus menghadap Tuhan
tanpa berbalik lagi, bahkan jika sebelumnya engkau telah berbalik dari Tuhan tanpa menghadap
kembali.
36.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI ZUHUD
Al-Junaid berkata : Zuhud adalah keadaan pada saat tangan kosong dari pemilikan, dan hati dari
ambisi. Ali ibn Abi Thalib, ketika ditanya mengenai sifat zuhud, menjawab : Itu berarti bahwa
orang tidak peduli siapa yang memanfaatkan (benda-benda) dunia ini, entah dia seorang beriman
atau kafir. Yahya berkata : zuhud berarti meninggalkan apa yang bisa ditinggalkan. Ibn Maruq
berkata : Tak ada satu sebab sekuder pun, kecuali Tuhan, yang bisa menguasai orang yang zuhud.
Al-Syibli, ketika ditanya mengenai zuhud, berkata : Malang bagimmu! Berapa nilai yang ada di
dalam sesuatu yang tidak lebih daripada selembar sayap seekor nyamuk, sehingga zuhud harus
dilaksanakan berkaan dengannya?, Abu Bakr al-Wasithi berkata : Mengapa engkau begitu tak
sabar untuk meninggalkan suatu tempat yang hina. Atau seberapa lamakah engkau akan tetap
bersemangat untuk berpaling dari sesuatu yang ditimbang oleh Tuhansebagai tidak lebih berat

daripada selembar sayap seekor nyamuk.? Al-Syibli, ketika ditanya lagi mengenai zuhud, berkata :
Dalam kenyataannya, zuhud itu tak ada; Jika seseorang berzuhud dari sesuatu yang tidak menjadi
miliknya, maka itu bukan zuhud; dan jika seseorang berzuhud dari sesuatu yang menjadi miliknya,
bagaimana bisa dikatan bahwa itu zuhud, sedangkan sesuatu itu masih ada padanya dan dia masih
memilikinya? Zuhud berarti menahan nafsu, bermurah hati dan berbuat kebaikan. Hal itu seakanakan mengisyaratkan bahwa dia menafsirkan zuhud sebagai tindakan meninggalkan sesuatu yang
tidak menjadi miliknya; dan jika sesuatu itu tidak menjadi milik seseorang, maka tidak dapat
dikatakan bahwa orang itu meninggalkannya, sebab sesuatu itu memang telah tertinggalkan;
sedangkan jika sesuatu itu menjadi milik seseorang, maka tidak mungkin orang itu
meninggalkannya.
37.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI KESABARAN
Sahl berkata : Kesabaran adalah pengharapan akan lipuran dari Tuhan; kesabaran merupakan
kebaktian yang paling mulia dan paling tinggi. Yang lain berkata : Kesabaran berarti bersikap
sabar terhadap kesabaran. Hal ini menandakan bahwa orang tidak boleh mencari pelipur di situ.
Yang lain menggubah syair di bawah ini :
Dengan kesabaran, dia bersabar menanggung,
Hingga kesabaran, berseru Kan memberikan pertolongannya.
Dan, karena terdidik dalam kesabaran..
Wahai kesabaran, bersabarlah! dia menyahut...
Sahl berkata : Firman Tuhan yang berbunyi : Minta tolonglah kamu dengan kesabaran dan shalat
(Qs.2:42), mengandung arti : Mintalah pertolongan Tuhan, dan bersabarlah dengan perintah dan
takdir Tuhan> Sahl juga berkata : Kesabaran itu rahmat, dan dengan itu segala sesuatu diberi
rahmat. Abu Amar al-Damisyqi menjalskan firman Tuhan : Bencana (penyakit) telah
menimpaku, Artinya : Bencana telah menimpaku, dan mengajarkan kesabaran kepadaku, sebab
Engkaulah yang paling Pengasih, di antara yang pengasih. Yang lain berkata : Dia (yaitu Ayyub)
bersikap tidak sabar hanya demi Tuhannya, bukan untk dirinya sendiri, karena, penyakit itu telah
begitu menguasai badannya, sehingga dia takut kalau-kalau akalnya tidak bekerja lagi. Mereka
mengutip puisi berikut, yang digubah Abul Qasim Summun, daam hubungannya dengan masalah ini
:
Ah, telah ku minum dari kantung waktu,
Dan telah kuteguk segala ceria dan kepedihannya,
Yah, telah ku tempelkan mulut kantung itu pada bibirku,
Dan... ku hisap habis setiap tetesnya...
Dan takdir telah menungkan ke dalam pialanya...
Kesedihan yang terminum, dari lautan kesabaran ..
Yang telah kuisikan penuh-penuh..
Dan ku sodorkan kembali kepada takdir itu..
Dengan kesabaran aku diladami, dan menggelinding..
Waktu bergelantungan, aku pun berseru :
Bersabarlah engkau Wahai Jiwaku!
Atau Engkau kan binasa karena kesedihan.
Begitu besar penderitaanku, sehingga...
Gunung-gunung pun bergetar pada ketinggiannya,
Akan lenyap, bagai bintang yang jatuh...
Akhirnya hilang dari pandangan...........
38.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI KEFAKIRAN

Abu Muhammad al-Jurairi berkata : Kefakiran berarti bahwa orang tidak boleh mencari yang tidak
maujud, sampai rang itu gagal menemukan hal yang maujud. Maksudnya adalah, bahwa orang
tidak boleh mencari mata pencaharian, kecuali jika orang itu khawatir tidak mampu melaksanakan
tugas keagamaan, karenanya Ibn al-Jalla berkata : Kefakiran adalah, bahwa tidak ada sesuatu, itu
tidak boleh menjadi milikmu. Perkataan itu mengandung arti sama dengan firman Tuhan : Sedang
mereka lebih mengutamakan kepentingan orang lain, ketimbang kepentingan mereka sendiri,
sekalipun mereka dalam kesusahan (pua). Abu Muhammad Ruwai, ibn Muhammad, berkata :
Kefakiran itu berati ketidak maujudan semua maujud, dan pemasrahan semua benda yang tidak
ada lagi. Al-Kattani berkata : Kalau seseorang benar-benar membutuhkan Tuhan, berati dia benarbenar kaya karena dia bersama Tuhan; tak satu pun dari dua keadaan itu sempurna oleh ketiadaan
salah satunya. Al-Nuri berkta : Fakir adalah orang yang harus bungkam ketika dia tidak memiliki
sesuatu, dan bermurah hati serta tidak hanya memikirkan dirinya sendiri kalua dia memiliki
sesuatu. Salah seorang dari tokoh-tokoh besar Sufi berkata : Orang yang fakir dilarang berlehaleha, dan juga dilarang meminta. Maka Nabi berkata : Jika dia telah memohon kepada Tuhan,
maka Tuha pasti telah memenuhinya. Hal ini menandakan bahwa dia tidak akan memohon
sebegitu rupa> Al-Darraj berkata : Aku mengamati lengan baju tuanku, mencari-cari kotak celak,
dan di dlamnya kutemukan sepotong perak. Aku terperanjat dan waktu beliau datang aku
mendekatinya dan berkata : Lihat, saya menemukan sepotong (perak) di lengan baju tuan! Bilia
menyahut : Aku telah melihatnya. Kembalikanlah. Lalu beliau berkata : Ambillah, dan belilah
sesuatu dengannya. Aku bertanya : Apakah gunanya potongan ini, dalam padangan hukum-Nya
yang tuan puja? Beliau menjawab : Tuhan tidak memberikan kepdaku yang kuning dan yang putih
di dunia ini, kecuali ini; dan aku bermaksud untuk membuat pernyataan bahwa benda itu harus
dibungkus dalam alas tilamku, sehingga aku bisa mengembalikannya kepada Tuhan.
Saya mendengar Abul-Qasim al baghdadi menuturkan anekdor berikut ini, yang didengarnya dari
Al-Dauri : Pada malam perayaan, kami ada bersama Abul-Husain al Nuri, di Masjid Syunizi.
Seorang laki-laki mendatangi kami da berkata kepada al-Nuri, Tuan, besok akan ada perayaan.
Apa yang akan tuan kenakan?Al Nuri mulai menyitir puisi ini :
Esok akan ada perayaan!, seru mereka,
Pakaian apa yang tuan kenakan? Dan ku menyahut :
Pakaian pemberian-Nya, yang telah menuangkan
penuh-penuh unemelaratan..
Dan kesabran adalah bajuku, dan mereka menutup
Sebuah hati yang pada setiap pesta menampak Pecintanya..
Adakah pakaian yang lebih indah untuk menjelang Sang Karib..
Atau mengunjungi Dia, kecuali yang telah dipinjamkan oleh-Nya?
Kala engkau, Pengahrapanku, tiada dekat..
Setiap saat adalah kedukaan dan ketakuran;
Tapi sementara aku bida memandang dan mendengar engkau..
Seluruh hartaku, dan hidup itulah perayaan!!!
Salah seorang tokoh Sufi ditanya : Apa yang telah mencegah orang kaya itu dari menyerahkan
kelebihan harta mereka kepaa kelompok ini? Dia menjawab : Tiga hal. Yang pertama adalah,
bahwa yang mereka miliki itu tidak baik; nah, orang-orang Sufi itu adalah pilihan Tuhan; dan apa
yng telah dipilih untuk hamba-hamba Tuhan adalah yang diterima (oleh Tuhan), sedang Tuhan
hanya menerima yang baik saja. Yang ke dua adalah bahwa orang-orang Sufi itu pantas menerima
(karunia Tuhan), dan karenanengapa engkau tidak meminta kepada orang-orang agar mereka
memberimu makanan? Dia menyahut : Aku takut meminta kepada mereka, kalau-kalau mereka
menolak diriku dan menjadi binasa karenanya. Aku telah mendengar nabi berkata : Jika
permintaan itu tulus, yang menolak dirinya akan binasa.
39.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI KERENDAHAN HATI (TAWADHU)

Al-Junaid ditanya mengenai kerendahan hati dan dia berkata : Itu adalah merendahkan sayap dan
mengerutkan pinggang. Ruwain berkata : Kerendahan hati adalah hati yang merendahkan diri di
hadapan Tuhan, yang megetahui yang gaib. Sahl berkata : Penyempurnaan zikir kepada Tuhan
adalah perenungan, dan penyempurnaan kerendahan hati dalam perasaan senang bersama Tuhan.
Yang lain berkata : Kerendahan hati adalah menerima kebenaran dari Kebenaran dan demi
Kebenaran. Yang lain berkata : Kerendahan hati adalah berbesar hati pada masa-masa sulit, teguh
dalam kepasrahan, dan menanggung beban dari orang-orang beragama.
40.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI KETAKUTAN (KHAUF)
Abu Amr al-Damisyqi berkata : Orang yang takut itu adalah yang meresa lebih takut kepada
dirinya sendiri daripada kepada musuh.Ahmad ibn al-Sayyid Hamdawaih berkata: Orang yang
takut itu dibuat takut oleh hal-hal yang menyebabkan (yang lain) merasa takut. Abu Abdillah ibn
al-Jalla berkata : Orang yang takut adalah yang ditetntramkan dari hal-hal yang menyebabkan rasa
takut. Ibn Khubaiq berkata : Orang yang takut itu diliputi keadaan-keadaan tiap-tiap sat mistis.
Pada suatu waktu dia dibaut takut oelh hal-hal yang menyebabkan rasa takut, dn pada waktu yang
lain hatinya ditenteramkan. Orang yang takut akan hal-hal yang menyebabkan rasa takut adalah
orang yang dikuasai oleh rasa takut sampai sedemikian rupa, sehingga dia sepenuhnya menjadi rasa
takut, dan segala sesuatu menjadi takut kepadanya. Maka dikatakan bahwa, Siapa pun yang merasa
takut kepda Tuhan, akan ditakuti oleh segala sesuatu. Orang yang ditenteramkan hatinya dari halhal yang membuat rasa takut itu sifatnya adalah sedemikian rupa, sehingga ketika hal-hal itu
berupaya mengganggu zikirnya, maka mereka tidak bisa mempengaruhinya, sebab rasa takutnya
kepada Tuhan membuatnya tidak menyadari adanya segala sesuatu, maka segala sesuatu itu pun
tidak akan menyadari adanya dia. Puisi berikut akan memberi penjelasan akan hal ini :
Dia yang dibakar api, adalha dia yang melihat api;
Tapi dia yang menjadi api --- bagaimana bisa terbakar..?
Ruwain berkata : Orang yang takut adalah dia yang tidak merasa takut kepada apa pun selain
Tuhan. Yang dimaksudkannya adalah bahwa dia takut kepada Tuhan, bukan demi dirinya sendiri,
melainkan akrena rasa takzimnya kepada Tuhan. Rasa takut hanya demi dirinya sendiri adalah rasa
takut kepada rasa itu sendiri. Sahl berkata : Rasa takut (Khauf) itu laki-laki, pengharapan (raja) itu
perempuan. Yang dimaksudkannya adalah, bahwa dari yang dua itu lahirlah hakikat iman. Dia juga
berkata : Jika seseorang merasa takut kepada yang selain Tuhan, sedang dia meletakkan
harapannya kepada Tuhan, maka Tuhan memberinya rasa aman dari ketakutan itu dan dia pun
diselubungi.
41.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI KETAKWAAN
Sahl berkata : Ketakwaan itu berarti merenungkan keadaan-keadaan dalam keadaan uzlah. Yang
dimaksudkannya adalah bahwa orang tidak boleh takut kepada sesuatu selain Tuhan, berlindung
kepada Tuhan dan mendapatkan kesenangan dalam diri-Nya. Firman Tuhan : Dan bertakwalah
kamu kepada Allah sepenuh kemampuanmu, mengandung arti, takutlah kepda Tuhan dengan
segenap kekatanmu. Sahl berkata : Sepenuh kemampuanmu memperlihatkan kebutuhan dan
keinginan akan Dia. Muhammad ibn Sinjan berkata : Ketakwaan berarti meninggalkan segala
seuatu kecuali Tuhan. Sahl, memberi penjelasan tentang firman Tuhan, Namun yang akan sampai
kepada-Nya hanyalah ketakutan hatimu jua. Sebagai berikut : Dasar ketakwaan adalah menghindar
dari yang dilarang dan menjauh dari jiwa (Nafsu) semakin banyak mereka melakukan tanpa
merasakan kesenangan dalam jiwa mereka semakin banyak kemantapan yang mereka capai. Puisi
berikut disebut-sebut sebagai gubahan oleh Al-Nuri :
Wahai Tuhan, aku takut kepada-Mu; bukan karena
Aku takut kepada kemurkaan yang akan tiba;

Karena betapa
Hal itu bisa menakutkan, sedangkan tiada pernah ada karib...
Yang lebih baik daripada Engkau?
Engkau tahu benar rencana hati,
Tujuan rahasia pikiran:
Dan aku memuja Engkau, Cahay Ilahi,
Agar tak ada cahaya lain membutakanku.
42.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI KEIKHLASAN
Al-Junaid berkata : Keikhlasan adalah sesuatu yang dengan jalan itu Tuhan didambakan, apa pun
tidankannya. Ruwaim berkata : Keikhlasan adalah mengangkat rasa hormat seseorang dari
perbuatannya. Saya mendengar Faris menuturkan, bahwa sejumlah orang melarat datang dari
Khurasan menemui Abu Bakr al-Qahtabi, yang mengatakan kepada mereka : Apa yang
diperintahkan oleh Syekh Kalian? --- yaitu Abu Usman. Mereka menjawab : Dia memerintah kami
agar selalu patuh, tapi selalu melihat kesalahan-kesalahan kami yang ada di situ. Abu Bakr
menyahut : Mestinya dia malu! Tidakkah dia memerintahkan kamu semua gar tidak menyadari
akan kepatuhanmu, di dalam pandangan Dia yang merupakan Pencipta kepatuhanmu? Seseorang
berkata kepada Abul-Abbas ibn Atha : Apakah Keikhlasan itu? Dia menjawab : Sesuatu yang
bebas dari kesalahan. Abu Yaqub al-Shufi berkata : Tindakan yang benar-benar ikhlas adalah
yang tidak diketahui oleh malaikat yang akan mencatatnya, maupun oleh setan yang akan
merusaknya, atau oleh jiwa yang akan membanggakannya. Yang dimaksudkannya adalah bahwa
seseorng itu harus memisahkan dirinya sendiri sepenuhnya demi Tuhannya, dan berpaling dari
tindakan itu kepada-Nya.
43.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI SYUKUR
Al-Harits al-Muhasibi berkata : Syukur adalah tambahan yang diberikan oleh Tuhan kepada orang
yang bersyukur. Yang dimaksudkannya adalah bahwa kelau seseorang itu bersyukur, maka Tuhan
akan menambahkan rakhmat-Nya, dan dengan demikian ddia terlimpahi rahmat. Abu Sa-id akKharraz berkata : Syukur itu artinya mengenal Yang memberim dan mengakui sifat ketuhananNya. Abu Ali al-Rudzabari berkata :
Andai seluruh anggota tubuhku berlidah..
Tuk memuja Engkau yang begitu pemurah..
Segenap karunia baru akan menyimpan lagu pujaan...
Dan seluruh puji bagi-Mu tak kan ternyaynyikan.
Seorang tokoh Sufi berkata : Syukur berarti tidak menyadari rasa syukur akibat kesadaran akan
hadirnya Yang Memberi. Yahya ibn Muadz berkata : Setiap pemberian Tuhan harus disyukuri,
dan harus begitu selamanya. Puisi yang berikut ini dianggap berasal dari Abdul-Husain al-Nuri :
Tuhan, aku berterima kasih pada-Mu, bukan karena aku..
Dapat membayar kembali kasih-Mu dengan cara begitu,
Tapi agar aku dikatakan,
Dia menerima pemberian Tuhan dengan penuh syukur.
Setiap saat indah yang kulewatkan bersama-Mu..
Kini telah menjadi kenangan bagiku..
Karena inilah harta terakhir dari syukur...
Kegembiraan yang dikenang...
Salah seorang tokoh besar Sufi selalu mengatakan dalam doa-doanya : Wahai Tuhan, Engkau tahu,
aku tiada mampu berterimakasih kepada-Mu, berterimaksihlah pada Diri Mu Sendiri untukku.

44.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI TAWAKAL
Sirri al-Saqati, berkata : Tawakal adalah pelepasan dari kekuasaan dan kekuatan. Ibn Masruq
berkata : Tawakal adalah kepasrahan kepda ketetapan takdir. Sahl berkata : Kepercayaan berarti
merasa tenang di hadapan Tuhan. Abu Abdillah al-Qyrasyi berkata : Kepercayaan berarti
meninggalkan setiap tempat berlindung kecuali Tuhan. Abu Said al-Kharaz berkata : Tuhan
memberikan kecukupan bagi orang-orang di kerajaan-Nya, dan mereka dibebaskan dari keadaankeadaan dalam mempercayai-Nya agar Tuhan mencukupi mereka, sebab, betapa tak layaknya jika
kaum yang suci menetapkan persyaratan. Dia menganggap bahwa jika seseorang bertawakal
kepada Tuhan hanya demi mendapatkan kecukupan, berarti dia menyaratkan agar Tuhan
membuatnya berkecukupan. A;-Syibli berkata : Tawal adalah dusta yang pantas. Sahl berkata :
Semua keadaan punya muka dan punggung, kecuali tawakal tawakal adalah muka tanpa
punggung. Dia menunjuk kepada tawakal akan perhatian (kepada Tuhan), bukan tawakal demi
mendapat kecukupan dari Tuhan; yaitu tawakal yang tidak mencari balas jasa dari Tuhan. Seorang
tokoh Sufi berkata : Tawakal adalah rahasia yang hanya diketahui oleh hamba Tuhan. Perkataan
ini memliki arti yang sama dengan perkataan lain yang dianggap berasal dari salah seorang tokoh
Sufi : Tawakal yang sesungguhnya adalah meninggalkan tawakal itu, dan itu berarti bahwa Tuhan
harus sampai kepada mereka sebagai mana Dia sampai kepada mereka sebelum mereka
diwujudkan. Seorang tokoh Sufi berkata kepada Ibrahim al-Khawwas : Ke mana Tasawuf
membawamu? Dia amenjawab : Kepada tawakal. Yang lain berkata : Mestinya engkau malu!
Yang dimaksudkannya adalah bahwa meletakkan tawakal pada Tuhan hanya demi dirinya sendiri
adalah semata-mata merupakan suatu jalan melindungi diri dari beberapa ketidak-enakan yang
mungkin menimpa.
45.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI KEPUASAN (RIDHA)
Al-Junaid berkata : Kepuasana adalah melepaskan kehendak bebas. Al-Harits al-Muhasibi berkata
: Kepuasan adalah tenteramnya hati di bawah ketetapan takdir. Dzul-Nun berkata : Kepuasan
adalah kesenangan hati di jalan takdir. Ruwaim berkata : Kepuasan adalah mengharapkan
ketetapan (Tuhan) dengan senang hati. Ibn Atha berkata : Kepuasan adah penghargaan hati untuk
apa yang telah dipilih Tuhan bagi hamba-Nya sejak mula-mula sekali, sebab apa yang telah dipilih
oleh-Nya bagi dia adalah yang terbaik. Sufyan berkata kepada Rabiah : Wahai Tuhan, puaslah
dengan diriku. Wanita itu berkata kepadanya : Apakah engkau tidak malu meminta kepuasan dari
Dia yang kepadanya engkau sendiri merasa tidak puas? Sahl berkata : Kalau kepuasan itu
disatukan dengan keridhaan (Tuhan), barulah kepuasan itu kekal; dan Untuk mereka kebahagiaan
dan tempat kembali terbaik di akhirat. Dia menunjuk kepada firman Tuhan dalam kata-kata itu :
Allah Ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah. Perkataan ini berarti bahwa
kepuasan di dunia dalam menerima ketentuan (Yuhan) akam mewarisi keraidhaan (Tuhan) di dunia
mendatang bersama apa yang telah dicatat oleh pena-pena itu. Tuhan berfirman : Demikianlah,
telah berlaku keputusan Allah terhadap para hamba-Nya dengan adil. Maka berkumandanglah
ucapan : Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam!. Ini merupakan pernyataan orang-orang
bertuhan ssatu dari kedua pihak, yaitu para penghuni surga dan penghuni neraka; sedang bagi
orang-orang kafir, mereka tidak dijinkan menyuarakan pujian sebab, mereka diselubungi. Puisi
al-Nuri berikut ini sungguh sangat mengena.
Ah, kepuasan itu adalah minuman yang pahit
Dierguk oleh kesenangan, kala hidup menjadi huru-hara gelap.
Diambil untuk kegembiraan; tapi dia
Mengungkap hal-hal yang paling suci,
Bahkan di hadirat Tuhan. Selalu binatang yang mandul itu.
Yang paling serakah di padang gembalaan.

46.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI KEPASTIAN
Al-Junaid berkata : Kepastian adalah hilangnya keraguan, Al-Nuri berkata : Kepastian adalah
perenungan. Ibn Atha berkata : Kepastian adalah sesuatu yang tidak tersentuh oleh kebalikannya
sepanjang waktu. Dzul Nun berkata : Segala sesuatu yang dilihat mata dihubungkan dengan
pengetahuan, dan yang diketahui oleh hati dihubungkan dengan pengetahuan, dan yang diketahui
oleh hati dihubungkan dengan kepastian. Yang lain berkata : Kepastian adalah mata hati.
Abdullah berkata : Kepastian adalah penyatuan selang waktu, dan pemutusan apa-apa yang ada di
antara jarak waktu. Kata-kata ini mengandung arti yang sama dengan kata-kata Haritsah : Dan
seolah-olah saya melihat Singgasana Tuhan-ku tampil; daya lihatnya disatukan dengan yang tak
terlihat, dan selubung yang ada di antara dia dan yang tak terlihat telah hilang. Sahl berkata :
Kepastian adalah wahyu. Maka yang lain berkata : Jika selubung itu telah diangkat, tidak akan
aku memiliki kepastian lebih bessar dari pada ini.
47.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI ZIKIR
Zikir yang sesungguhnya adalah melupakan semuanya kecuali Yang Esa. Maka Tuhan berfirman :
Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika engkau lupa. Yaitu, jika engkau telah melupakan apa yang
bukan Tuhan, maka berarti engkau telah mengingat Tuhan. Nabi berkata : Orang yang sendiri itu
lebih utama. Mereka bertanya : Siapakah orang yang sendiri itu, wahai Rasul Allah? Dia
menjawab : Laki-laki dan perempuan yang banyak mengingat. Yang sendiri adalah dia yang
tidak bersama sia-siapa. Salah seorang tokoh besar Sufi berkata : Ingatan itu membuang alpa; dan
kalau kealpaan itu telah hilang, maka engkau menajdi orang yang ingat, bahkan jika engkau diam
saja. Puisi yang berikut ini dianggap merupakan gubahan al-Junaid :
Aku mengingat Engkau;
Tak akan kenanganku
Walau dalam sekejap mata pun
Lepas dari engkau
Aku mengingat engkau;
Tapi tak ada yang lebih mudah..
Dibanding kata yang gampang terucap..
Terlupa segera setelah terdengar..
Saya mendengar Abul Qasim al-Baghdadi menuturkan, bahwa dia bertanya kepada salah seorang
tokoh besar Sufi : Apakah yang membuat jiwa para Ahli marifat itu sakit? Mereka membenci
zikir, dan senang akan perenungan, tapi, sebenarnya, perenungan itu tidak mendatangkan
penyelesaian, sedangkan zikir itu tidak membawa mereka jauh dari penderitaan. Kebanggan mereka
ada dalam kehormatan yang tersembunyi di balik perenungan, dan yang membuat mereka lupa akan
penderitaan dalam susah payah mereka. Dengan mengatakan, Mereka menganggap enteng buah
dari zikir. Dia mengisyaratkan bahwa buah-buah zikir ini merupakan kesenangan jiwa (Nafsu), dan
sudah tentu para ahli marifat itu telah berpaling dari jiwa dan kesenangan-kesenangannya. Tapi,
perenungan mereka adalah tentang keagungan, kebesaran, pilihan dan kebaikan Tuhan; mereka
merenungkan utang mereka pada Tuhan, dan karena itu mereka menghormati-Nya, sementara
mereka berpaling dari pemikiran mengenai kebaikan apa saja yang mungkin mereka miliki di
hadapan Tuhan, karena menghargai Dia. Sebab Nabi berkata, atas persetujuan Tuhan, Jika
seseorang selalu mengingat Ku sehingga ia lupa berdoa kepada-Ku, Aku anugerahkan baginya
pahala yang lebih mulia daripada pahala yang Ku berikan bagi mereka yang berdoa kepada-Ku.
Firman ini bisa ditafsirkan begini : Jika seseorang begitu terpusat perhatiannya dalam merenungkan
keagungan-Ku sehingga dia lupa mengingat Aku dengan lidahnya .... Sebab ingatan dengan lidah

itu berarti berdoa; lebih-lebih, perenungan mengenai keagungan-Nya itu membingungkan dia, dan
membuat dia tidak mengingat Tuhan lagi. Inilah arti kata-kata Nabi : Aku tidak bisa membllang
pujian yang menjadi milik-Mu. Puisi Al-Nuri berikut dikutip dalam hubungannya dengan hal ini :
Begitu menggebu cintaku, aku sungguh ingin,
Untuk menyimpan kenangan-Nya, selamanya dalam hatiku;
Tapi wahai, gairah yang membakarku..
Menghanguskan pikiran ku, dan membutuhkan ingatanku!.
Dan sungguh ajaib, gairah
Itu sendiri tersapu, menjauhd an mendekat
Kekasih berdiri, dan seluruh rasa
Kenanganku tersapu dalam harapan dan ketakutan..
Al-Junaid berkata : Jika seseorang mengatakan Tuhan sedangkan dia belum pernah merenung,
maka dia seorang pendusta. Kebenaran pernyataan ini disaksikan oleh firman Tuhan : Mereka
mengatakan : Kami mengakui, bahwa kamu benar-benar utysan Allah. ..... Allah menyaksikan
bahwa orang-orang munafik itu benar-benar pendusta. Tuha menuduh mereka pendusta, meskipun
pernyataan mereka itu benar adanya, karena pernyatan itu tidak didasarkan atas perenungan. Yang
lain berkata : Hati adalah untuk merenung, lidah adalah untuk mengutarakan perenungan itu; Jika
seseorng mengutarakan sesuatu tanpa merenungkannya, maka dia adalah saksi yang tidak sah.
Salah seorang tokoh Sufi berkata :
Engkaulah pencipta kesusahanku, Tuhan, bukan kenanganku,
Sebab Engkau akan menghapus segala kenanganku,
Kenangan adalah selubung, dan bersekutu dengan pikiran..
Untuk membutakan hatiku, dan menyembunyikan Engkau dari
Pandangan-ku
Inilah penafsirannya : Zikir adalah alat bagi oang yang mengingt; oleh karena itu, jika saya tak
merenung pada saat ssaya mengingat, maka klalaian itu adalah pada diri saya, sebab , sifat-sifat
orang itu sendirilah yang mencegahnya dari merenungkan Tuhannya. Sarri as-Saqati berkata : Aku
menemani seorang berkulit hitam (negro) di padang pasir dan aku mengamati bahwa setiap kali dia
mengingat Tuhannya, warna kulitnya berubah putih. Aku berkata : Saudaraku, sungguh, jika
engkau mengingat Tuhan sebagaimana Dia mestinya diingat, kulitmu sendiri pun akan berubah, dan
bentukmu berganti. Lalu dia mulai bernyanyi :
Kami-kmai mengingta ... namun kealpaan
Bukanlah kebiasaan kami, tapi cahaya bersinat..
Udara gaib terhirup, dan Tuhan dekat..
Lalu hilang lenyaplah kedirina, dan aku
Ada sendiri bersama Tuhan, yang dengan kabar jelas
Bersaksi atas Dzat-Nya dan dengan itu dikenal,
Syair berikut dari Ibn Atha bisa juga dikutip :
Zikir adalah dari jenis yang lain, kulihat,
Yang pertama oleh cinta dan rindu bisa di atasi;
Yang berikut, hubungan jiwa,
Dan dengannya bercampur, sebagai keseluruhan tanpa kehidupan
Oleh ruh dipercepat pada nafa..
Yang berikut melepas ruh, dan berurusan dengan kematian..
Yang kadang tersembunyi, kdang tampak, yang akhir menjulang..
Tinggi atas mahkota kepala, dan segala kekuatan
Penglihatan dan pemikiran, ya, setiap fantasi..
Dari benak tiada sanggup menjangkau. Dengan jelas
Mata hati kemudian melihat Dia, dan mencaci
Zikir, sebagai beban yang berat ditanggungnya.
Dia membagi zikir menjadi beberapa kelas. Yang pertama adalah zikir hati, berarti bahwa Dia yang
diingat dulunya terlupakan, lalu teringat kembali; yang kedua adalah Zikir tentang sifat-sifat Dia

yang diingat; yang ketiga adalah perenungan mengenai Dia yang diingat. Dan yang terakhir ini,
maka berarti orang itu telah melewai zikir; sebab sifat-sifat Dia yang diingat membuat engkau jauh
dari sifat-sifatmu sendiri, dan dengan begitu engkau jauh dari zikir.
48.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI KEINTIMAN (UNS)
Al-Junaid ditanya : Apakah keintiman itu? Dia menjawab : Keintiman adalah hilangnya
kegugupan, bersamaan dengan berlangsungnya pesona. Yang dimaksudkan dengan hilangnya
kegugupan adalah karena harapan lebih lazim dibanding ketakutan. Dzul Nun, ketika ditanya
mengenai hal yang sama berkata : Keintiman adalah keberanian si pencinta dengan Yang
Dicintainya. Perkataannya mengandung arti yang sama dengan kata-kata Karib (Ibrahim) :
Perlihatkanlah kepdaku, bagaimana cara Engkau menghidupkan kembali orang-orang yang sudah
mati. Dan kata-kata orang yang berbicara dengan Tuhan (Musa) : Perlihatkanlah diri-Mu agar aku
dapat melihat-Mu. Jawaban Tuhan : Engkau tak akan melihat-Ku. Yang seolah-olah merupakan
suatu alasan saja, berarti, Engkau tidak akan mampu. Ibrahim al-Maristani ditanya mengenai
keintiman, dan dia menjawab : Keitniman adalah kegembiraan hati ketika ada bersama Yang
Dicintai. Syibli ditanya tentang hal yang sama, dan dia menjawab : Keintiman adalah rasa
terpisah dari dirimu sendiri. Dzul Nun berkata : Keadaan terendah keintiman adalah bahwa
seseorang itu harus dibuang ke dalam api, sekalipun begitu dia tidak dijauhkan dari Dia yang yang
telah dikenalnya. Seoang tokoh Sufi berkata : Keintiman berarti bahwa seseorang itu harus bertulbetul akrab dengan zikir sehingga dia dijauhkan dari bayangan (semua) yang lain. Syair Ruwaim
dikutip di sini dalam hubungannya dengan masalah ini :
Keindahan-Mu adalah kesenangan hatiku,
Dan tak henti-hentinya menguasai benakku;
Kasih-Mu telah menempatkan diriku, dalam pandangan-Mu.
Terpisah dari semua manusia.
Ingatan itu datang kepadaku..
Dengan berita gembira dari Sang Karib;;
Lihat, karena Dia telah berjanji kepdamu
Engkau akan menjangkau dan memperoleh akhir dirimu.
Di manapun Engkau memberi terang,
Wahai Engkau yang menjadi tujuan jiwaku!
Engkau tampak jelas dalam penglihatanku,
Dan tetap ada dalam hatiku.
49.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI KEDEKATAN (QURB)
Sarri As-Saqathi ditanya : Apakah kedekatan itu? Dia menyahut : Kedekatan adalah kepatuhan.
Yang lein berkata : Kedekatan berarti engkau, pada saat yang sama, bersikap lancang terhadapNya, dan tunduk dihadapan-Nya; sebab Tuhan berfirman : Tetap Sujud dan mendekatlah kepadaKu. Ruwaim ditanya mengenai kedekatan, dan dia berkata : Menghilangkan setiap penghalang.
Yang lain, ketika ditanya mengenai hal yang sama, menyahut : Itu berarti engkau menyaksikan apa
yang telah dilakukan-Nya terhadap dirimu. Arti perkataan ini adalah, bahwa engkau melihat
tindakan-tindakan serta pemberian-pemberian-Nya kepdamu, dan di situ engkau tidak sadar akan
tindakan-tindakan dan usaha-usahamu; atau itu bisa juga mengisyaraktkan bahwa engkau
menganggap dirimu sendiri sebagai wakil Tuhan, menurut firman Tuhan, : Waktu kamu melempar
itu, sebenarnya bukan kamu yang melempar, melainkan Allah jualah,: dan Sebenarnya, bukan
kamu yang membunuh mereka itu, tetapi Allah. Al-Nuri menulis sebagai berrikut :
Aku telah mengira bahwa, setelah menjauh
Dari diri, dalam kekhusyukan, aku harus membuat jalan..

Menuju Engkau : Tapi, oh! Tak satu makhluk pun boleh


Mendekati Engkau, kecuali lewat jalan yang Engkau tunjuk..
Aku tak bisa hidup lebih lama lagi, Tuhan, tanpa Engkau..
Tangan-Mu ada di mana-mana, tiada mampu aku lari..
Ada yang berhasrat dengan harap untuk datang kepada-Mu..
Dan telah Engkau tampakkan dalam diri mereka tujuan Tinggi..
Lihat, aku telah memutuskan setiap pemikiran dari diriku..
Dan mematikan kehadiran, agar bisa menjadi milik-Mu..
Berapa lama, buah hatiku? Habis tenagaku..
Tak kuat lagi ku jalani pembuangan ini..
Inilah penafsirannya : Keadaanku membuatku mengira-ngira bahwa kekhusyukanku kepada Mu dan
menjauhnya diriku dari semua yag selain Engkau merupakan jalan untuk mendekat kepada Mu.
Tapi kekusyukan dan kemenjauhan itu hanyalah alat; dan kedekatan dengan diri-Mu tak dapat
dicapai dengan alat apa pun yang ku miliki, kecuali dengan perantraan Engkau sendiri,
sebagaimamana kedekatan itu datang dari-Mu. Dia meneruskan : Beberapa orang telah berusaha
mendekat kepada-Mu lewat perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakan kepatuhan mereka, dan
Engkau telah menyatu bersama mereka dengan karunia-Mu. Aku tiada berbuat apa-apa yang bisa
mendekatkan-Mu kepadaku, dan aku merasa akan musnah karena kerinduanku untuk berada dekat
dengan-Mu; tapi aku sendiri tak memiliki alat untuk datang ke situ. Syair berikut juga karya AnNuri :
Aku melihat-Nya lewat,
Dan ku sangka Dia dekat,
Tapi tuntutan-Nya membuatku pilu, dan harapanku mati.
Lalu, kala datang keputusasaan,
Dan memberikan kesaksian..
Cemerlang dengan mukjizat baru yang tak kan berakhir..
Dia mengatakan : Setiap kali aku berputus asa sepanjang menyangkut diriku sendiri, karunia yang
telah diperlihatkan-Nya mengobati keputusasaanku.
50.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI PENYATUAN (ITTIHAD)
Penyatuan berarti pemisahan dari segala sesuatu yang selain Tuhan, dalam hati tidak melihat
dalam arti memuja apa-apa kecuali Tuhan, dan tidak mendengar apa-apa kecuali firman Tuhan.
An-Nuri berkata : Penyatuan adalah pengungkapan hati dan perenungan kesadaran.
Pengungkapan hati itu dilukiskan dalam kata-kata Haritsah : Seolah-olah sya melihat Singgasana
Tuhan saya tampil. Sedangkan perenungan (dari) kesadaran itu ditunjukan dalam perkataan Nabi :
Pujalah Tuhan seolah-olah engkau melihatnya. Dan perkataan Ibn Umar : Kami melihat Tuhan
di tempat itu. Yang lain berkata : Penyatuan terjadi ketika kesadaran datang dalam keadaan alpa.
Yang berarti bahwa pemujaan kepada Tuhan itu mengacaukan pemujaan kepada segala sesuatu
yang lain. Salah seorang tokoh besar Sufi berkata : Penyatuan adalah ketika hamba itu tidak
bersaksi atas apa pun yang ada padanya kecuali mengenai Pembuat dirinya. Sahl berkata :
Mereka digerakkan oleh kesusahan, karena itu mereka berada dalam kekacauan. Kalau mereka
sedang tenang, maka mereka pasti telah mencapai penyatuan.
51.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI CINTA (MAHABBAH)
Al-Junaid berkata : Cinta adalah kecenderungan hati, berarti bahwa cinta cenderung kepada
Tuhan dan apa yang yang berhubungan dengan Tuhan, tanpa dipaksa, Yang lain berkata : Cinta
adalah penyesuaian. Yaitu kepatuhan terhadap apa yang diperintahkan oleh Tuhan, menjauhakn
diri dari apa yang dilarang oleh Tuhan, dan puas dengan apa yang ditetapkan dan diatur oleh-Nya.

Muhammad ibn Ali al-Kattani berkata : Cinta berarti lebih menyukai Kekasihnya. Yang lain
berkata : Cinta berarti lebih menyukai apa yang dicintai untuk orang yang dicintainya. Abu
Abddillah al-Nibaji berkata : Cinta adalah kesenangan jika itu ditujukan kepda makhluk, dan
pembinasaan jika itu ditujukan kepada Pencipta. Yang dimaksudkannya dengan pembinasaan
adalah, bahwa tidak da minat pribadi yang tinggal, baha cinta yang semacam itu tidak ada
penyebabnya, dan baha si pecinta tidak bertahan lewat penyebab apa pun. Sahl berkata : Barang
siapa mencintai Tuhan, dialah kehidupan; tapi barang siapa mencintai, maka dia tidak memiliki
kehiduan. Dengan kata-kata Dialah kehidupan yang dimaksudkannya adalah bahwa kehidupan
itu serasi , sebab pecinta menemukan kesenangan di dalam segala sesuatu yang datang kepadanya
dari kekasihnya, entah itu sesuatu yang mendatangkan kebencian atau yang diinginkan; sedangkan
dengan kata-kata dia tidak memiliki kehidupan yang dimaksudkannya adalah, karena dia selalu
berusaha mencapai apa yang dicintainya, dan selalu takut kalau-kalau dia dihalangi untuk
mencapainya, maka seluruh kehidupannya musnah. Salah seorang tokoh Sufi berkata : Cinita
adalah suatu kesenangan, dan dengan Tuhan tidak ada kesenangan; sebab keadaan-keadaan hakikat
itu merupakan kekagetan, penyerahan dan kebingungan. Cinta manusia kepada Tuhan adalah suatu
pemujaan yang bersemayam di dalam hati, dan penafian cinta kepada sesuatu selain Tuhan. Cinta
Tuhan kepada manusia adalah bahwa Dia menyusahkannya, dan membuatnya tidak layak untuk apa
pun kecuali untuk Dia. Inilah arti firman Tuhan : Dan aku telah memilihmu untuk-Ku. Tapi katakata membuatnya tidak layak untuk apa pun kecuali untuk Dia berati, bahwa tidak ada bagian
dirinya yang tinggal, yang memungkinkannya melakukan hal-hal lain, atau menaruh perhatian pada
kondisi-kondisi material. Salah seorang tokoh Sufi berkata : Cinta itu ada dua macam : Cinta yang
diakui, yang dimiliki oleh mereka yang terpilih dan orang-orang awam, dan cinta gairah dalam arti
pencapaian. Sehubungan dengan yang kedua ini, tidak ada pertimbangan mengenai diri atau
makhluk-makhluk lain, atau mengenai penyebab-penyebab sekunder atau kondisi-kondisi sekunder,
sebab ada penyerapan tolak ke dalam perenungan tentang apa yang ada beserta Tuhan dan dari
Tuhan. Salah seorang tokoh Sufi menggubah syair berikut ini :
Dengan dua jalan aku mencintai Engkau : secara egois,
Dan kemudian, dengan penghargaan terhadap-Mu.
Cinta dirilah yang telah menyiakanku..
Kecuali memikirkan Engkau dengan segenap pemikiran;
Cinta paling sucilah yang ada ketika Engkau bentangkan..
Slubung menutupi pandanganku yang terpesona.
Bukan keberatan atas puji yang begini atau begitu..
Milik-Mu adalah puji dua-duanya kuharap.
Ibn Abd al-Shamad berkata : Cinta adalah yang mendatangkan kebutaan dan ketulian; Cinta
membutakan segalanya kecuali terhadap Yang Dicinta, sehingga orang itu tidak melihat apapun
kecuali Dia. Nabi berkata : Cintamu adalah sesuatu yang mendatangkan kebutaan dan ketulian.
Dia juga menyitir syair berikut ini :
Cinta membuatku tuli dari segala kecuali suara-Nya;
Pernahkah cinta se aneh ini?
Cinta membutakanku, dan hanya kepada-Nya semata aku memandang
Cinta membutakan, dan karena tersembunyi, membunuh..
Dia juga menyitir :
Ada kelebihan cinta
Yang tak bisa ditahan manusia, cinta membubung tinggi
Melebihi segala nilai, kala begitu banyak hal menakutkan
Turu, Atau biarkan diamenyamai yang dibawa oleh kemarahan
Dia akan gembira, atau biarkan dia melewati segala ukuran
Dia akan bersuka, dan menganggapnya kesenangan
Nah, orang-orang Sufi memang memiliki ungkapan-ungkapan khas dan istilah-istilah teknis tertentu
yang mereka pahami di lingkungan mereka sendiri, tapi sangat jarang digunakan oleh orang lain.
Kami akan terus menuliskan semuanya itu sepanjang masih sesuai, dengan memberi pelukisan arti-

artinya dengan kata-kata atau ungkapan (frase). Di sini semata-mata bertujuan memberi penjelasan
mengenai arti beberapa ungkapan, bukan pengalaman yang diliputi ungkapan itu; sebab,
pengalaman seperti itu disebutkan pun mustahil, apalagi dijelaskan. Esensi yang sesungguhnya dari
keadaan-keadaan kejiwaan orang-oranng Sufi adalah sedemikian rupa, sehingga ungkapanungkapan itu saja tidak cukup untuk melukiskannya. Sekalipun begitu, ungkapan-ungkapan ini
dipahami sepenuhnya oleh orang-orang yang telah mengalami keadaan-keadaan itu.
52.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI PELEPASAN DAN PEMISAHAN
Arti pelepasan adalah bahwa tata lahiriah seseorang harus dilepaskan dari kejadian-kejadian, dan
batinnya dari pahala; yaitu, seseorang tidak boleh mengambil apa pun dari segala kejadian di dunia
ini, atau mencari imbalan apa pun yang orang itu telah disumpah untuk menjauhinya, baik itu
merupakan hal-hal yang bersifat sementara, ataupun bersifat kekal; sebaliknya, orang harus
memathui hal itu karena itu merupakan kewajiban kepada Tuhan, dan bukan disebabkan oleh sebab
atau alasan lain. Lebih jauh, hal itu berarti, bahwa kesadaran seseorang harus dilepaskan dari
pertimbangan berbagai keadaan dan tahapan, yang di dalamnya orang itu berada dari waktu ke
waktu, dalam arti bahwa orang itu tidak puas atau terikat pada keadaan-keadaan itu.
Arti pemisahan adalah, bahwa seseorang harus memishkan dirinya dari segala bentuk, dan terpisah
dalam keadaan dan tindakannya; yaitu bahwa tindakan orang itu harus sepenuhnya ditujukan untuk
Tuhan, dan bahwa mereka tak boleh memiliki pemikiran tentang diri, penghargaan pada jasmani
atau penghargaan pada imbalan. Lebih-lebih, orang harus dipisahkan dalam keadaan-keadaannya
dari keadaan-keadaan itu sendiri, dengan begitu dia tidak menyadari adanya keadaan itu; sama
sekali, karena perhatiannya terserap sepenuhnya pada penglihatan akan Dia yang menentukan
keadaan itu; dan dalam keadaan terpisah dari segala bentuk, orang itu harus tak berhubungan
bentuk-bentuk itu atau berusaha agar terjauh dari bentuk-bentuk itu. Telah dikatakan : Pelepasan
berarti bahwa seseorang itu tidak memiliki, pemisahan berarti bahwa orang itu tidak dimiliki. Syair
berikut dari Amr ibn Usman al-Makki, melukiskan :
Sendiri bersama Tuhan yang sendiri, dia sendiri;
Tetap satu dia, sebab Hasratnya hanya Satu,
Maka telah ku lihat mereka, masing-masing dalam tarafnya.
Para pencari yang sendiri itu, dan lihat, dia
Yang pergi paling jauh, paling dekat pada tujuan.
Orang dari dunia yang diberi kesaksian itu, dengan semangat jiwa
Berpaling, dan membumbung tinggi, tinggi dalam terbangnya.
Sendiri, sendiri dalam segala penderitaannya,
Yang lain terbang dari jiwanya melompat ke
Dalam gairah yang sepi, Yang lain lagi membuka
Ikatan yang rapuh dari kedirian, dan terbangun
Sendiri, tapi tidak sendiri, Tuhan yang Pemurah
Menerima pilihannya Sendiri dengan curahan penuh cinta.
Orang yang membumbung tinggi, tinggi dalam terbangnya sendiri adalah yang sendiri dalam
segala penderitaannya karena dia tidak dapat menemukan jalan sama sekali untuk mendapatkan
yang dicarinya dan tak akan henti-hentinya berusaha. Orang yang Tidak merasakan penderitaan
ini. Akhirnya dia yang membuka ikatan yang rapuh dari kedirian karena telah melewati masa
kediriannya adalah orang yang terpilih dan didekatkan (oleh Tuhan), dan dia sendiri ada bersama
Realitas itu.
53.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI KEGAIRAHAN (WAJD)

Kegairahan (ekstase) adalah suatu perasan yang merasuki hati, entah itu berupa rasa takut, rasa
sedih, atau bayangan kehidupan yang akan datang, atau mengungkapkan keadaan antara manusia
dengan Tuhan. Mereka berkata : Dan kegairahan merupakan pendengaran dan penglihatan oleh
hati, Tuhan berfirman : Sebab bukan mata mereka yang buta melainkan hati yang ada dalam dada
mereka itulah yang buta. Dan lagi : Dan menggunakan pendengarannya, sebab dia menyaksikan
sendiri. Jika kegairahan seseorang itu lemah, berarti dia memamerkan kegairahanyya; pameran
ini terjadi ketika yang dirasakannya di dalam batinnya terejawantah dalam tata lahirnya. Tapi, jika
kegairahannya kuat; dia mengatasi dirinya sendiri dan menajdi pasif. Tuhan berfirman : Tegak bulu
roma orang-orang yang takut kepada Tuhannya. Kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di
waktu mengingati Allah. Al-Kegairahan adalah lidah api yang muncul dari hati, dan timbul dari
kerinduan, dan pada rahmat atau hukuman Tuhan itu (warid), anggota-anggota tubuhnya tergerak,
entah oleh kegembiraan atau kesedihan. Mereka telah berkata : Kegairahan itu sama dengan yang
berlalu (zawal), sedang marifat itu mantap dan tidak akan berlalu> Syair berikut ini adalah
gubahan Al- Junaid :
Dalam gairah senangnlah dia
Menemukan, dalam kegairahan itu, ketenangannya;
Tapi kalau Kebenaran datang, gairah
Itu sendiri dilenyapkan.
Dulu pernah kegairahan menjadi kesenangan bagiku;
Tapi Dia yang benar-benar ku temui
Dalam kegairahan mengambil seluruh penglihatanku,
Dan terhadap yang lain-lainnya aku buta.
Salah seorang tokoh besar Sufi mengubah syair berikut :
Dia perlihatkan selubung dan wibawanya
Mengguncangkan kebesaran hakikat segala
Dan setiap bentuk yang terbayang. Sayang, Dia
Harus selalu dirasa dalam kegairahan,
Mengenai lidah api itu tak lain dari bayangan
Dari ketidak mampuan yang ateralahkan (Kemampuan yang lebih tinggi)
Kegairahan hanya menyentuh bentuk, yang lari
Di hadapan sifat ketuhanan-Nya yang bercahaya
Dan dia bersama mereka. Aku pun sebelumnya menemukan
Kesenangan dalam kegairahan; tapi sengsaralah hatiku,
Kadang di sana, kadang di sini. Lalu, sebagai pelipurku,
Dia berikan kepadaku kesaksian, lepas
Dari segalanya kecuali Yang Disaksikan; kegairahan itu
Tertelan, dan semua kesenangan
Dari segala bentuk yang terlihat, ada dalam Kesatuan yang Esa.
Salah seorang tokoh Sufi berkata : Kegairahan adalah berita-berita gembira yang dikirimkan oleh
Tuhan tentang penaikan sang Sufi menuju tingkatan-tingkatan perenungannya. Yang lain berkata :
Adalah lebih pantas bahwa Dia
Yang dengan segala pemberian-Nya membawakanku kegairahan
Haruskah karunia-Nya yang tak terbatas
Menyapu bersih jiwaku dari setiap jejaknya?
Kala pertama Dia datang kepadaku
Kala pertama Dia menggerakan jiwaku menuju kegairahan
Aku tahu bahwa Dia akan membawa
Hadiah yang jauh di luar jangkauan angan-angan
As-Syibli menulis syair berikut ini :
Aku percaya bahwa kegairahan itu meragukan
Jika dia muncul bukan dari penyaksian;
Dan setiap saksi itu terlempar,

Kala Kebenaran itu membawa saksinya yang jelas.


54.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI KETERKUASAAN
Keterkuasaan adalah suatu keadan yang dialami oleh para Sufi, yang di dalamnya dia tidak mampu
melihat penyebabnya atau menjaga sikapnya, dan sama sekali tidak mampu membedakan apa-apa
mengenai keadaan yang menimpanya; bahkan dia mungkin melakukan sesuatu yang akan
menyebabkan dia tidak diterima dengan baik oleh mereka yang tidak mengerti keadaan dirinya.
Tapi kalau keterkuasaan itu telah lewat, maka dia akan kembali kepada keadaan dirinya yang
normal. Kekuatan-kekutan ini mungkin merupakan rasa takut, rasa terpesona, rasa hormat, rasa
malu atau yang semacam itu. Suatu pelukisan diberikan dalam cerita Abu Lubabah ibn Mundzir.
Banu Quaraizhah bermaksud berunding dengannya, ketika Nabi menghendaki mereka tunduk
kepada wewenang Said ibn Muadz; dan Said menunjuk lehernya dengan tangan, mengisyaratkan
hukum bunuh. Lalu dia bertobat atas apa yag telah dilakukannya, karena amenyadari bahwa dia
telah bersikap tidak setia kepada Tuhan dan Rasul-Nya; maka dia pun pergi dengan kebingungan
dan akhirnya mengikat dirinya sendiri pada salah satu ting masjid, sambil berkata : Aku tidak akan
meninggalkan tempatku ini sampai Tuhan mengapuni apa yang telah ku lakukan. Dia bertindak
bagitu karena takut kepda Tuhan yang menguasainya, dan mencegahnya pergi kepada Nabi seperti
yang seharusnya dia lakukan, menurut perintah Tuhan : Kalau mereka, telah menganiaya dirinya
sendiri, lalu datang kepadamu sambil memohon ampunan kepda Allah, sedang Rasul pun ikut pula
memohonkan ampunan..... Sebab tidak ada tertulis di dalam Hukum bahwa seseorang mesti diikat
pada tembok atau tiang. Ketika Nabi berkata bertapa lama orang itu dalam perjalanan untuk
menemui beliau, beliau berucap : Kalau saja dia telah datang kepadaku, aku pasti telah
memohonkan ampun untuknya; tapi karena dia telah melakukan apa yang kini telah dilakukannya,
maka bukanlah aku yang harus membebaskannya dari tempat ini, sampai Tuhan mengampuninya.
Ketika Tuha melihat bahwa dia memang tulus, dan apa yang terjadi merupakan akibat rasa takut
yang menguasinya, maka Dia pu mengampuninya. Lalu Tuhan mewahyukan ampunan-Nya, dan
Nabi membebaskannya. Nah, ketika rasa takut ini menguasai Abu Lubabah, dia tidak mampu
mengamati penyebabnya dan tidak tahu bahwa Rasul harus mohon ampun, sebab Tuhan berfirman :
Kalau mereka telah menganiaya dirinya sendiri.... Dia juga tidak mampu menjaga seikapnya,
yaitu meminta maaf kepada orang yang didosainya, sehingga dia menentang Nabi ketika beliau
hendak mengdakan gencatan senjata dengan orang-orang kafir pada tahun Hudaibiyah; Umar
melompat bangun dan datang kepada Abu Bakr, berkata : Wahai Abu Bakr! Tidakkah Beliau itu
Rasul Allah? Dia berkata : Ya. Umar berkata : Tidakkah kita ini orang-orang Muslim? Dia
berkata : Y. Umar berkata : Tidakkah mereka itu orang-orang kafir? Dia berkata : Y. Umar
berkata : Lalu, mengapa kita membawa pertimbangan-pertimbangan duniawi ke dalam agama
kita? Abu Bakr berkata : Wahai Umar! Berpeganglah engkau pada sanggurdi beliau.(Menuruti
perintahnya), sebab, aku bersaksi bahwa Beliau Utusan Allah. Umar berkata : Dan aku pun
bersaksi bahwa Beliau Utusan Allah. Lalu dia dikuasai oleh perasaannya, dan dia datang kepada
Nabi dan berkata kepada beliau seperti yang dikatakannya kepada Abu Bakr; dan Nabi menjawab
seperti Abu Bakr dan menyudahinya dengan kata-kata : Aku adalah hamba Tuha dan Rasul-Nya;
aku tak akan menetang perintah-Nya, dan Dia tak akan meninggalkanku. Sesudah itu Umar sering
berkata : Aku tak henti-hentinya berbpausa, memberi sedekah, membebaskan para tawanan serta
berdoa, untuk menebus kelakuanku pada hari itu, sebab aku takut akan kata-kata yang telah
kuucapkan; sampai akhirnya aku berharap agar segala sesuatunya berjalan baik. Sama halnya
ketika dia menentang Nabi, ketika beliau berdoa untuk Abdullah ibn Ubay. Umar berkata :
Beberapa perubahan datang pada diriku, dan aku berdiri di hadapannya serta berkata : Wahai
Utusan Allah; maukah nekgua berdoa untuk orang ini, mengingat bahwa dia telah berkata begini
dan begini pada hari ini dan ini? Begitulah dia menyebutkan harinya satu demi satu, sampai Nabi
berkata kepadanya : Biarkan aku; aku telah diberi pilihan, dan aku telah memilih.Abu Taibah, yang
menoreh kulit Nabi lalu meminum darah beliau, sesuatu yang terlarang dalam Hukum: ini

dilakukannya dalam keadaan dia dikuasai. Tapi Nabi memaafkannya, dan berkata : Engkau telah
memagari dirimu sendiri dengan pagar neraka.
Ceita-cerita semacam itu --- dan banyak lagi lainnya membuktikan bahwa keterkuasaan itu
merupakan keadaan murni dari jiwa yang pada saat itu orang diizinkan berbuat hal-hal yag dilarang,
dalam keadaan tidak sadar Tapi, jika orang itu ada dalam keadaan tenang, seperti halnya Abu Bakr,
dikarenakan kondisi yang agak lebih tinggi, maka dia akan menjadi lebih mantap, dan keadaannya
lebih sempurna.
55.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI KEMABUKAN (SUKR)
Kemabukan itu jelas terlihat ketika seseorang sementara dia tidak sepenuhnya tidak sadar akan halhal di sekelilingnya, tidak bisa membedakan hal-hal itu; yaitu, dia tidak bisa membedakan apa yang
dapat diterima dan menyenangkan dengan kebalikannya, dikarenakan oleh hubungannya dengan
Tuhan. Rasa keterkuasaan oleh wujud Tuhan menghilangkan kemampuannya untuk membedakan
apa yang menyakiti dirinya dan apa yang mendatangkan kesenangan baginya. Ini terlukis dalam
beberapa penuturan. Misalnya, ada hadits mengenai Haritsyah, yang mengatakan : Dalam
pandanganku sama saja antara batu dan lempung, emas dan perak. Amaka Abdullah ibn Masud
berkata : Aku tidak perduli, ke dalam keadaan mana di antara yang dua itu aku akan jatuh, Entah
kekayaan atau kemiskinan; sebab, bila jatuh ke dalam kemiskinan, aku akan sabar, dan jika ke
dalam kekayaan, aku akan bersyukur. Dia tidak bisa membedakan lagi mana yang lebih
menyenangkan dan mana yan sebaliknya, sebab dia dikuasai oleh suatu perasaan yang diperolehnya
dari Tuhan, yaitu kesabaran dan syukur.
Kewarasan, yang menggantikan kemabukan, adalah suatu keadaan yang membuat seseorang bisa
membedakan, dan mengetahi apa yang menyakitkan dan apa yang menyenangkan, tapi dengan
sengaja memilih yang pertama, jika itu yang sesuai dengan kehendak Tuhan; maka dia tidak akan
merasa sakit, melainkan senang, dalam pengalaman yang sebenarnya menyakitkannya. Dikatakan
bahwa salah seornag tokoh Sufi berseru : Jika Engkau hendak menimpakan atasku kemalangan,
aku hanya akan merasakan cinta yang lebih besar terhadap-Mu. Abul-Darda dituturkan sebagai
telah berkata : Aku mencintai mati, sebab aku rindu kepada Tuhanku; Aku mencintai sakit, sebab
aku tunduk karena dosa-dosaku; aku mencintai melarat, sebab aku tunduk pada Tuhanku. Salah
seorang sahabt berkata : Betapa berharganya dua hal yang menjijikan itu, kematian dan
kemelaratan!. Keadaan ini lebih sempurna dibanding (yang mendahuluinya), sebab orang yang
mabuk itu jatuh ke dalam suatu yang mendatangkan kebencian tanpa menyadarinya, sehingga dia
tidak memiliki kesadaran akan perasaan benci; sedangkan yang lain lebih menyukai yang
menyakitkan daripada yang menyenangkan, dan kemudian menemukan kesenangan di dalam
kesakitannya, sebab dia telah terpesona karena adanya Dia yang menyebabkan adanya kesakitan itu.
Orang yang waras, yang sifatnya mengatasi kemabukan, kadang-kadang akan lebih menyukai
kesakitan daripada kesenangan tanpa mempertimbangkan pahala atau mengharapkan balas jasa;
orang yang semacam itu merasakan sakit dalam kesakitan, dan senang dalam kesenangan; yang
dimilikinya adalah kesabaran dan rasa syukur. Salah seorang tokoh Sufi menggubah syair ini :
Jika, dalam keadaan waras, aku
Tidak lagi melihat
Kecuali yang menjadi milik-Nya, kebenaran lebih tinggi
Apa yang menunggu dalam kemabukan, yang merupakan
Keadan yang lebih mulia?
Kini datang kewarasan
Atau biarkan aku dalam
Kemabukan; melaksanakan rencana-Mu;
Mabuk atau waras, selamanya aku milik-Mu.
Yang dimaksudkannya adalah, jika keadaan yang bisa membedakan itu bisa membuatku hanya
menyadari apa yang menjadi milik Tuhan dan tidak menyadari apa yang menjadi milikku, akan

seperti apakah keadaan mabuk itu, keadaan yang didalamnya kemampuan memperbedakan
melarut? Tuhan-lah yang menguasai diriku dalam pelaksanaan tugas-tugasku, yang mengawasi
diriku dalam keadaanku. Kedua keadaan itu membawa pengaruh bagi diriku, tapi keduanya
sesungguhnya milik Tuhan, dan bukan milikku sama sekali; dan selamanya aku akan ada dalam
kedua keadaan ini.
56.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI KETIADAAN DAN KEHADIRAN
Ketiadaan menandaskan bahwa seseorang itu tidak sadar akan hasratnya sendiri, dan tidak tahu
mengenai hasrat-hasrat itu sama sekali, meskipun semua itu masih ada dalam dirinya, hanya dia
tidak ada bersama hasrat-hasrat itu karena dia ada bersama sesuatu yang menjadi milik Tuhan.
Seseorang berkata kepada al-Auzai : Kami melihat pelayan perempuanmu yang bermata biru di
pasar. Dia menyahut : Apakah dia bermata biru? Ketika Abu Sulaiman al-Darani diberi tahu
tentang ini, dia berkata : Mata hati mereka terbuka, dan mata di kepala mereka tertutup. Dengan
begitu dia menunjukan baha meskipun dia tidak sadar akan fakta bahwa perempuan itu bermata
biru, tapi dalam dirinya akan kesukaan terhadap perempuan-perempuan yang bermata hitam, sebab
dia berkata : Apakah dia bermata biru?
Kehadiran menandakan bahwa seseorang itu menganggap hasratnya adalah milik Tuhan, bubkan
miliknya sendiri; apa pun yang diturutnya, dia menurut pada jiwa kehambaannya, dan tunduknya
sifat kemanusiaannya, bukan demi kesenangan ataupu nafsu.
Tapi tetap ada ketiadaan di balik ini, yang didalamnya seseorang tidak sadar akan keterlarutannya;
tidak ada bedanya antara orang yang melarut dalam kehadiran keberlangsungan, dengan orang yang
masih berlangsung (hidup), sebagai yang dijelaskan oleh Haritsah dalam kasus dirinya sendiri.
Kehadiran adalah suatu kesadaran akan rasa terkuasai, bukan suatu kesadaran yang bisa dilihat,
sementara ketiadaan adalah ketiadaan dari apa yang menguntungkan arau apa yang membahayakan,
bukan ketiadaan yang berarti terselubungi atau terselimuti. Al-Nuri menulis :
Jika aku ada, tidak ada pandangan yang kulihat
Ketika aku memandang; cukuplah bahwa Dia
Yang, walaupun tak terlihat, ada di mana-mana,
Menatap mata jiwaku tak henti-hentinya.
Jika aku tiada, rahasia itu bertapa anehnya....
Ketiadaan lewat ketiadaan tiada berkisar;
Lalu apakah ketiadan-Nya dalam cahaya uang indah
Mengejawantah di balik segala kekuatan perubahan?
Salah seorang Syekh kami menjelaskan kehadiran sebagai berikut : Kehadiran berarti bahwa apa
ppun yag disaksikan oleh seseorang, orang itu memandangnya rendah dan menganggapnya seolaholah tidak ada, karena kehadiran Tuhan yang menguasainya. Inilah arti syair berikut ini :
Sesungguhnya, segala sesuatu selain Tuhan itu sia-sia
Dan
Hampa, dan setiap keindahan harus dihancurkan.
Maka Musa berkata : Ini sungguh-sungguh suatu cobaan dari engkau. Dia beranggapan bahwa
orang-orang Samaritan itu tidak ada dikarenakan kesadarannya akan Tuhan. An-Nuri menulis :
Tuhan mengirimkan tipuan-tipuan untuk menyelubungi diriku,
Dan aku tersembunyi dari seluruh umat manusia;
Kekuasaan-Nya tak terbatas
Mencemaskan benak yang mencerap
Kala, tiada tahu bahwa aku tak punya bagian di dalam nya
Dan mengenai urusan kala, aku tak menyadarinya,
Satu perintah Tuhan aku tunggu,
Dan kucaci tangan nasib

57.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI PEMUSATAN DAN PEMISAHAN
Bagian pertama pemusatan itu adalah pemusatan niat, yaitu bahwa semua niat seseorang itu harus
menjadi satu niat saja. Begitulah dikatakan dalam hadits : Jika seseorang membuat banyak niat
menjadi satu niat saja, yaitu niat untuk keadaan mendatang, maka Tuhan akan memenuhi semua
niatnya, tapi jika niat-niatnya tercerai berai, Tuhan tidak akan peduli di lembah mereka yang mana
dia akan lenyap. Ini merupakan hasil usaha dan disiplin. Tapi pemusatan itu, yang merupakan
tujuan khusus para Sufi, dalam kenyataannya merupakan suatu keadaan kejiwaan; dalam keadaan
ini niat tidak lagi cerai berai. Para sufi itu tidak lagi harus berusaha sendiri untuk memusatkan niatniat itu; melainkan, niat-niat itu telah terpusat dan menjadi satu niat saja di hadapan Dia yang
memusatkan mereka, sehingga pemusatan itu terjadi semata-mata karena Tuhan, dan tidak ada yang
lain.
Pemisahan, sebagai lawan dari pemusatan, adalah suatu keadaan yang di dalamnya, para Sufi
dipisahkan dari niat-niat jasmaniah dan dari hasrat akan kesenangan dan hal-hal yang bisa
mendatangkan kesenangan; Dia dipisahkan dari dirinya sendiri, dan gerakan-gerakan yang
dibuatnya bukanlah untuk dirinya sendiri. Bisa juga terjadi pada beberapa keadaan bahwa orang
yang terpusat itu akan mengikuti hasratnya sendiri, dan tidak dicegah untuk berbuat begitu; tapi dia
tidak akan mampu memusatkan hasrat-hasrat itu, dan hasrat-hasrat itu tidak membawa pengaruh
atas dirinya; dan dia tidak berkebertan dengan ini, tapi justru menginginkannya, sebab dia tahu
bahwa ini merupakan perbuatan Tuhan, dan dengan begitu Tuhan memilihnya dan mendekatkannya
kepada diri-Nya.
Salah seorang tokoh Sufi ditanya, Apakah pemusatkan itu? Dia menjawab : Yakni pemusatan isi
hati yang paling daalam atas sesuat yang sangat penting, dan ketundukannya. Di situ; sebab Dia tak
mempunyi persamaan maupun kebalikan. Yang lain berrkata : Dia memusatkan niat-niat itu pada
diri-Nya Sendiri waktu Dia menyatukan mereka dengan meninggalkannya. Dan Dia memisahkan
mereka dari-Nya Sendiri ketika mereka mencari-Nya lewat sesuatu yang menjadi bagian dari diri
mereka sendiri; pencerai-beriaian itu terjadi dikarenakan oleh hasrat akan penyebab sekunder, dan
pemusatan itu terjadi kalau mereka merenungkan Dia dalam setiap masalah. Pemisahan yang
dibicarakannya itu adalah pemisahan yang datang sebelum adanya pemusatan; yang
dimaksudkannya adalah bahwa pemisahan itu merupakan hasil pencarian untuk mendekati Tuhan
lewat perbuatan-perbuatan, sedangkan ketika mereka tahu bahwa Tuhan sendiri yang mendekatkan
mereka, maka mereka sampai pada pemusatan itu. Salah seorang tokoh Sufi menulis :
Dengan pemusatan mereka termuliakan
Dari kedirian, sebeagaimana sebelum lahirnya kala,
Dan pemisahan itu yang menjadikan mereka mulia,
Tapi hanya sementara, hanya sedikit,
Menyatu dengan diri mereka sendiri, tercabut dari kemanusiaan,
Dan kesaksian atas Kebenran yang mereka temukan;
Dalam pemusatan yang lepas dari kala, mereka berkisar
Di balik keliaran tak berjalur perubahan ini
Karena, seperti kala yang tak berbentuk dan kala tak bernyawa,
Mereka tak melihat bahwa mereka harus terpusat,
Lalu, karena tercerai berai, mereka mendapat
Kehidupan yang lebih berkecukupan, yang dulu mereka miliki di..
Surga, maka ketiadaan merupakan buah dari pemusatan,
Dan keadaan, pahala dari pemisahan.
Pada dua hal ini, ada atau tidak.
Jalur kenisbian bergantung
Kata-kata Dengan pemusatan mereka termuliakan dari kedirin berarti bahwa pengetahuan mereka
bahwa mereka ada demi Tuhan,dalam engetahuan-Nya akan diri mereka, membuat mereka
kehilangan diri mereka sendiri pada masa ketika mereka ada demi Dia; maka pemusatan itu

mendatangkan keadaan tidak ada, sebagaimana halnya bahwa tidak ada sesuatu yang ada tanpa
sepengetahuan Dia. Pemisahan adalah syarat untuk terbawanya mereka dari tidak da kepada ada.
Kata-kata Menyatu dengan diri mereka sendiri berarti bahwa mereka menganggap diri mereka
sendiri, pada masa mereka ada, seperti pada masa mereka belum (ada), tidak memiliki kekuasaan
untuk mencelakai atau mendatangkan keuntungan, sementara pengethuan Tuhan tidak berubah
dalam diri mereka. Pemusatan mereka adalah bahwa Tuhan menghilangkan sifat-sifat yang tak jelas
bentuknya (rasm) dari diri mereka, yaitu bahwa tindakan-tindakan dan sifat-sifat mereka ,
sebagaimana rasm itu, tidak memiliki kekuasaan untuk mempengaruhi perubahan atau peralihan,
tapi sesuai dengan pengetahuan Tuhan, menakdirkan dan menetapkan. Syarat adanya mereka
terhapuskan dalam pengetahuan Tuhan yang kekal, sebab mereka kala itu tidak ada, tidak memiliki
bentuk ataupun kemaujudan. Maka ketika Tuhan menjadikan meaka ada, Dia semata-mata
menggerakan dalam diri mereka sesuatu yang sebelumnya telah dimaksudkan-Nya untuk mereka.
Pemusatan itu berarti bahwa mereka itu tak hadir (di dunia ini), dan menolak menganggap diri
mereka sendiri sebagai yang mempu menentukan, sementara pemisahan berarti bahwa meraka
menganggap keadaan-keadaan dan tindakan-tindakan mereeka sendiri (sebagai yang mampu
menentukan). Ada dan tidak ada merupakan syarat-syarat yang berubah dalam diri mereka, bukan
dalam diri Tuhan.
Abu Said al-Kharraz berkata : Pemuasan itu berarti bahwa Tuhan membuat mereka menemukan
diri-Nya dan diri mereka sendiri, atau Dia menghilangkan kemaujudan mereka dari diri mereka
sendiri dalam masa mereka menjadi ada demi Dia. Maksudnya sama dengan maksud hadits
(Qudsi) ini : Aku menjadi telinga, mata dan kaki tangan baginya, sehingga lewat Aku dia
mendengar dan Lewat Aku dia melihat. Karena, sebelumya mereka melaksanakan urusan-urusan
mereka lewat diri mereka sendiri dan demi mereka sendiri , sedangka kini mereka melaksanakan
urusan-urusan mereka lewat Tuhan dan demi Tuhan.
58.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI WAHYU
Sahl berkata : Wahyu itu ada dalam tiga keadaan : wahyu berupa suatu esensi, yang tidak
terselubung; wahyu berupa sifat-sifat esensi yang merupakan penerangan; dan wahyu berupa
kondisi esensi, yang merupakan kehidupan di dunia mendatang. Kata-kata wahyu berupa suatu
esesi berarti pewahyuan keterkuasaan yang terjadi di dunia ini, sebagaimana yang dilukiskan
dalam perkataan Abdullah ibn Umar : Kami meliaht Tuhan di tempat itu, yaitu pada saat
perjalanan menuju Kabah (maka Nabi berkata : Sembahlah Tuhan seakan engkau melihatnya)dan wahyu visual (yang dapat dilihat) yang akan terjadi di dunia mendatang. Yang dimaksudkannya
dengan wahyu berupa sifat esensi yang merupakan penerangan adalah bahwa kekuasaan Tuhan
atas dirinya diwahyukan kepadanya, Hingga dia tak takut kepada sesuatu pun kecuali Tuhan,
bersamaan dengan pemberian Tuhan untuk mencukupi kepbutuhannya, sehingga dia tak mengharap
sesuatu pun kecuali Tuhan; suatu kondisi yang ditunjukan sebagai yang sesuai untuk semua sifat
esensi lewat perkataan Haritssah, Seolah-olah aku melihat Singgasana Tuhan ku tampil; seakaknakan firman Tuhan terwahyukan kepadanya pada saat Dia berhubungan dengannya, sehingga
hubungan itu bagi Haritsah menjadi seakan-akan suatu penglihatan yang langusng. Sedangkan
wahyu berupa kondisi, akan datang di dunia nanti, Sebagian manusia masuk surga dan sebagian
lagi masuk neraka.
Salah seorang Tokoh besar Sufi berkata : Tanda dari wahyu Tuhanke dalam hati adalah bahwa hati
itu tidak bersaksi akan sesuatu yang dapat dikuassai oleh ungkapan atau terkandung dalam
pengertian; Jika seseorang mengungkapkan atau mengerti tentang sesuatu, maka hal itu adalah
pemikiran akan isyarata, bukan suatu masalah pemujaan. Yang diamksudkannya (dengan wahyu)
adalah bahwa dia bersaksi akan sesuatu yang tidak dapat diutarakan, sebab kesaksiannya ada dalam
jiwa pemujaan dan pesona, dan ini tidak memungkinkan dia menguraikan kesaksiannya. Salah
seorang tokoh Sufi menggubah syair berikut ini :
Kala cahaya kebenaran tampak,

Aku tenggeelam dalam ketakziman,


Dan aku sebagi orang yanng tak pernah melancong kemudian
Pergi ke kehidupan di bawah
Kala aku menjauh
Dari dalam Dia, dan mencapai Dia,
Pencapaian pun kemudian menjadi diri yang terbukti sia-sia
Dan diri itu mati
Dalam penyatuan suci
Dengan Dia, hanya Dia saja yang kulihat;
Aku tinggal sendiri, dan kebahagiaan besar itu
Tiada menjadi milik ku lagi
Penyatuan yang gaib
Dari diri inni telah memisahkan diriku;
Kini menyaksikan rahasia pemusatan
Yang dua menjadi satu
Artinya : Kalau kebenaran muncul, ketakziman menguasai diriku, sehingga aku tidak mampu
mengutarakan (pengalamanku) karena ketakziman itu, senhingga aku menjadi menjadi orang yang
yang tidak pernah dijumpai Tuhan. Kalau aku menjauh dari diriku sendiri, maka kemaujudankan
menjadi milik-Nya, dan kalau aku tidak ada , maka kemaujudan (pribadi)ku hilang. Kondisi kestuan
itu, yaitu kepergianku meninggalkan diri, membuatku tidak dapat menyaksikan apa pun kecuali
Dia; sedangkan kondisi pelepasan dan tekanan dalam diriku sendiri, membuatku tak menyaksikan
Dia. Oleh karena itu, seakan-akan pemusatanku lewat Dia memisahkanku dari diriku sendiri.
Kondisi penyatuan berati bahwa Tuhan-lah yang mengawasiku, bukan aku sendiri, dalam tindakantindakanku; sebab Tuhan itu ada, aku tidak. Maka Tuhan berfirman kepada Nabi-nya : Dan waktu
kamu melempar itu, bukan kamu yang melakukannya, melainkan Allah jualah. Inilah ungkapan
Sufi itu; Ilmu Agama mengajarkan bahwa Tuhan itu pengawasku, dan aku, lewat Dia, mengawasi
diriku sendiri, sehingga kemudian ada hamba dan Yang Diperhambai sekaligus. Salah seorang
tokoh Sufi berkata : Wahyu adalah pembukaan dalam esensi Tuhan; tabir itu berarti bahwa
keadaan dirimu sebagai makhluk mencegahmu untuk melihat apa yang tak terlihat. Dengan
pembukaan tabir kemakhlukan yang dimaksudkannya dalah bahwa Tuhan menopangmu selama
adanya pemindahan wahyu dari yang tak terlihat, sebab makhluk itu tidak dapat menahan keadaankeadaan yang dimiliki oleh yang tak terlihat. Tabir yang muncul aetelah adanya wahyu itu
merupakan keadaan yang di dalamnya segala sesuatu ditutup darimu, sehingga kamu tidak dapat
menyaksikannya, ini dilukiskan dalam cerita Abdullah ibn Umar. Dia sedang mengelilingi kabah
ketika seseorang menyalaminya. Dia tidak membalas salam orang itu; dan ketika orang itu
mengeluhkan ni, dia berkata : Kami melihat Tuhan di tempat itu. Mengenai wahyu Tuhan
kepadanya, dia memberi bukti dengan mengatakan, Kami melihat Tuhan, sedangkan mengenai
tabir yang menutupnya, dia memberi bukti dengan ketidaksadarannya ketika ada orang yang
menyalaminya. Seperti yang dikatakan oleh salah seorang tokoh besar Sufi :
Rahasia Tuhan begi mereka yang terselubungi tidak dibukakan;
Jangan berusaha menyiarkan apa yang telah disembunyikan-Nya.
Darimu; dengan apa yag tidak engkau pahami,
Sendiri, janganlah berpura-pura.
Tidakkah sepatutnya bahwa Hakikat,
Yang terejawantah, akan menyembunyikan dirinya dalam dirimu
59.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI KELUHURAN (FANA) DAN KEBAKAAN
Keluhuran adalah suatu keadaan yang di dalamnya seluruh hasrat meluruh darinya, sehingga para
Sufi itu tidak mengalami perasaan apa-apa, dan kehilangan kemampuan membedakan; dia telah
luruh dari segala sesuatu, dan sepenuhnya terserap pada sesuatu yang menyebabkan dia luruh, maka

Amir ibn Abdillah berkata : Aku tidak peduli apakah aku melihat seorang perempuan atau sebuah
tembok. Lalu Tuhan sendiri mengawasinya, dan mengawasinya sedemikian rupa sehingga dia
melaksanakan tugas-tugasnya dmei Tuhan dan menuruti segala kehendak-Nya; dia sepenuhnya
terjaga dalam memberikan apa yang menjadi hak Tuhan, dan dia terjauh dari segala minat pribadi
serta penentangan terhadap Tuhan, sehingga dia sama sekali tidak bermaksud menetang-Nya. Inilah
yang dimaksudkan dengan perlindungan Tuhan (ishmah) dan pada hal inilah hadits yang
termasyhur itu mengacu : Aku menjadi telinga dan mata baginya.
Kebakaan, yang mengikuti keluruhan, mengandung arti bahwa para Sufi itu meluruh dari sesuatu
yang menjadi miliknya sendiri, dan tetap tinggal dikarenakan sesuatu yag menjadi milik Tuhan,.
Salah seorang tokoh Besar Sufi berkata : Kebakaan adalah keadaan para Nabi. Mereka berpakaian
secarik GOA (Sakinah) dan apa pun yang mendatangi mereka tidak akan mencegah mereka
melaksanakan tugas-tugas mereka terhadap Tuhan, dan untuk menerima karunia-karunia-Nya;
sebab, Tangan Allah-lah yang selalu terbuka; Dia memberi karunia menurut cara yang Dia
kehendaki. Kalau seseorang itu baka, maka, segala sesuatu baginya menjadi hanya satu saja, dan
semua yang diperbuatnya selaras, bukan sebaliknya, sengan Tuhan; dia luruh dari yang tidak selaras
dan tetap tinggal pada yang selaras. Nah, kenyataan bahwa segala sesuatu baginya menjadi hanya
satu saja tidak mengisyaratkan bahwa yang tidak selaras itu menjadi selaras baginya, atau bahwa
larangan menjadi sama dengan perintah baginya, Hal itu semata-mata berarti bahwa apapun yang
terjadi padanya, terjadi sesuai dengan perintah dan keridhaan Tuhan, jadi tak ada sesuatu pun yang
tidak menyenangkan Tuhan. Apa yang dilakukannya, dilakukannya demi Tuhan, bukan demi
kesenangannya sendiri, baik di dunia kini maupun di dunia nanti. Inilah yang dimaksudkan oleh
ungkapan Sufi Dia luruh dari gelarnya sendiri dan tinggal dalam gelar Tuhan, sebab apa yang
dilakukan oleh Tuhan, Dia llakukan demi yang lain, bukan demi diri-Nya sendiri, tiak mencari
keuntungan dari situ ataupun menghindari bahaya. === Tuhan jauh dari semua itu== tapi sematamata untuk mendatangkan keuntungan atau kerugian bagi yang lain. Sama halnya, para Sufi yang
baka dikarenakan Tuhan, dan luruh dari dirinya, melakukan apa yang dilakukannya bukan untuk
mendapatkan keuntungan pribadi atau untuk menghindari kerugian; Seluruh perasaan pribadi dan
hasrat untuk mendapatkan keuntungan pribadi telah hilang dari dirinya. Nah, ini hanya mengacu
paa maksud dan tujuan; jangan ditafsikan bahwa hal ini mengisyaratkan bahwa para Sufi itu tidak
mengalami kesenangan sama sekali dalam melaksanakan tugasnya terhadap Tuhan, maka dia tidak
mengharapkan adanya pahala ataupun takut akana danya hukuman. Adalah benar bahwa dua
perasaan ini, pengharapan dan ketakutan, terus menerus ada dalam dirinya; tapi dia mengharapkan
pahala dari Tuhan hanya agar selaras dengan Tuhan, sebab Tuhan menghendaki itu bagi dirinya, dan
telah memerintahkannya untuk meminta itu darinya, dan dengan demikian dia tidak bertindak demi
kesenangan sendiri, sama halnya, dia takut akan hukuman Tuhan karena dia menghormati Tuhan
dan ingin selaas dengan-Nya. Dan Tuhan membuat makhluk-makhluk-Nya merasa takut. Maka
dalam segala perbuatannya dia bertindak demi kesenangan yang lain, bukan demi kesenangannya
sendiri. Dalam arti inilah pepata ini mestinya dipahami; Orang yang beriman itu makan untuk
memenuhi selera keluarganya. Salah seorang tokoh Sufi menggubah baris-baris syair berikut ini :
Dari ranti diri dan kedirian yang mencekik
Tuhan membebaskannya; dan kemudian
Memakaiakan lagi padanya lempung yang lember,
Sehingga rahasia-rahasia Tuhan bisa terlihat,
Maka bentuk dari bentuk harus ditarik.
Pada fajar mempesona dari wahyu.
Kehendak Tuhan yang gpasti dan Mahakuasa
Akan mengisi setiap hati dengan kegairahan
Arti yang menyeluruh dari keluruhan dan kebakaan adalah bahwa para Sufi itu meluruh dari
perasaan-perasaannya sendiri, dan tinggal di dalam perasaan-perasaanmilik yang lain.
Juga ada jenis lain dari keluruhan, yang merupakan keluruhan kesadaran akan ketidakselarasan
(dengan Tuhan) dan dari semua perbuatan yang secara sengaja ditujukan pada ketidak-selarasan,
dan untuk baka secara selaras dengan (Tuhan), dengan senagaja dan sungguh-sungguh

mengarahkan tujuannya pada keadaan itu dalam setiap perbuatannya. Dalam hal ini ada juga
keluruhan dari penghormatan terhadap sesuatu seain Tuhan dan baka untuk menghormati Tuhan.
Arti yang terakhir itu tampak dalam contoh yang diceritakan mengenai Abu Hazim. Dia berkata :
Apakah dunia ini? Yang telah lewat adalah impian, dan yang ada sekarang merupakan harapan
yang sia-sia dan angan-angan. Dan apakah setan itu, sehingga dia mesti ditakuti? Jika dia dipatuhi,
dia tidak mendatangkan keuntungan, Jika dia tidak dipatuhi, dia tidak mendatangkan kerugian. Dia
berkata begitu seolah-olah dunia dan setan itu tidak ada baginya. Keluruhan perasaan-perasaan
pribadi terlukis dalam cerita Abdullah ibn Masud, yang berkata : Aku sebelumnya tidak tahu
bahwa ada di antara para sahabat Muhammad yang menghendaki dunia, hingga Tuhan berkata, Di
antaramu ada yang menghendaki kesenangan dunia dan ada pula yang menginginkan kebahagiaan
akhirat. Dia telah luruh meninggalkan segala hasrat untuk dunia ini. Dalam hal ini termasuk juga
kata-kata Haritsah : Aku brpaling dari dunia ini, dan seolah-olah aku melihat Singgasana Tuhan
tampil. Dia telah luruh meninggalkan yang sementara menuju yang kekal, dan dari semuanya yang
lain menuju Yang Mahakuasa, Sama halnya dengan cerita Abdullah ibn Umar. Seserang
menyalaminya pada waktu dia sedang mengelilingi Kabah , dan dia tidak menyahutsalam orang
itu. Orang itu mengeluhkan hal itu pada beberapa temannya; dan Abdullah berkata : Kami melihat
Tuhan di temept itu. Sama halnya juga dengan kata-kata Amir ibn Abd al-Qays Aku lebih suka
ditembus pucuk lembing berkali-kali, daripada mengalami peristiwa seperti yang baru saja kamu
sebutkan. Uaitu, pada saat dia sedang beroda. Di ceritakan bahwa Al Hasan berkata : Orang yang
sama dengan dia, tidak dipilih Tuhan di antara kita. Adalagi suatu keluruhan yang lebih jauh, yang
berarti tidak sadar sama sekali akan hal-hal luaran sebagai yang terjadi pada Musa, ketika Tuhan
menurunkan Wahyu di bukit : Musa pun tersungkur pingsan. Dan pada keadaan yang berikutnya,
Dia yang membuatnya tidak sadar, tidak juga memberi ketenangan kepadanya mengenai hal itu.
Abu Said al-Kharraz berkata : Tanda keluruhan sang Sufi adalah keluruhannya dari hasratnya
akan dunia ini dan dunia nanti, kecuali hasratnya akan Tuhan. Maka akan turun untuknya sebuah
wahyu dari kekuatan Tuhan yang memperlihatkan kepadanya bahwa hasratnya akan Tuhan
meninggalkannya demi penghormatannya kepada Tuhan; lalu turun untuknya sebuah wahyu dari
Tuhan yang memperlihatkan kepadanya keluruhan hasratnya kepada penglihatan akan Tuhan; dan
yang tinggal adalah penglihatan akan sesuatu yang menjadi milik Tuhan, Tuhan yang Esa dan Kekal
hanya sendiri di dalam keesaanya; dan dengan Tuhan tidak ada kefanaan atau kebakaan untuk yang
lain selain Tuhan. Kata-kata Luruhnya dia meninggalkan hasratnya akan dunia ini mengandung
arti pencarian akan benda-benda material, dan dunia nanti berarti pencarian pahala. Hasrat akan
Tuhan-nya baka, sebab itulah keridhaan Tuhan dengannya dan kedekatannya dengan-Nya. Lalu
datang kepadanya penghormatan kepada Tuhan, bahwa Dia akan mendekat atau merasa senang
dengan yang seperti dia, maka dia memandang rendah dirinya sendiri dan menghormati Tuhan.
Akhirnya datang kepadanya suatu keadaan yang di dalamnya hak Tuhan sepenuhnya menelan
dirinya, dan membuatnya tidak sadar akan penglihatan akan sifatnya sendiri, yaitu penglihatan akan
keluruhan hasartanya. Kemudian tinggal-lah dalam dirinya suatu yang datang dari Tuhan untuk
dirinya; sedang apa yang datang dari dirinya untuk Tuhan , meninggalkan dirinya. Maka jadilah dia
seperti ketika ada dalam pengetahuan Tuhan, sebelum Tuhan memunculkan dirinya dan ketika
sesuatu yang datang kepadanya dari Tuhan, datang tanpa adanya tindakan dari dirinya.
Keluruhan bisa juga diungkapkan dengan cara yang lain; yakni menjauh dari sifat-sifat manusia
dalam (menanggung) beban menakutkan sifat-sifat Tuhan, sehingga sifat-sifat manusai, yaitu
kebodohan dan ketidak adilan, hilang, seperti firman Tuhan : Lalu amanat itu diterima oleh
manusia, Dengan demikian, manusia itu sangat zalim dan bodoh. Sifat-sifat itu juga termasuk tiak
tahu bersyukur, tidak kenal terimakasih dan setiap sifat yang patutu disalahkan; dan semua ini
hilang, dalam arti bahwa pengetahuan Tuhan menang atas kebodohan manusia, keadilan Tuhan atas
ketidakadilan manusia, teima kasih Tuhan atas kekufuran manusia, dan seterusnya, Abul Qasim
Faris berkata : Keluruhan adalah keadaan seseorang yang tidak menyaksikan sifatnya sendiri, tapi
menyaksikannya sebagai disembunyikan oleh Dia yang membuat sifat itu lenyap, Dia juga
berkata : Keluruhan sifat manusia jangan ditafsirkan sebagai tidak ada, tapi tafsikan baha sifat itu
tertutup oleh suatu kesenangan yang menggantikan realisasi rasa sakit, Kesenangan ini, yang

muncul pada diri Sufi dalam keadaan kejiwaannya, adalah seperti yang menimpa kerabat-kerabat
wanita Yusuf; Mereka mengiris jarao-jari mereka sendiri. Sebab sifat-sifat mereka sendiri telah
lenyap dikarenakan kesenangan yang memenuhi hati mereka ketika melihat Yusuf, dan Yusuf
membuat mereka tidak sadar akan rasa sakit yang mereka derita dikarenakan jari-jari mereka yang
teriris. Dalam masalah ini, salah seorang dari tokoh-tokoh senagkatan kami menulis syair berikut ini
:
Kala wanita-wanita Mesir itu mengiris tangan mereka
Dikarenakan ketampanan rupa seseorang,
Mereka tahu mengenai pesona, yang menahan
Semua kejutan, dan tak merasa marah.
Pupuslah sudah sifat manusia mereka,
Kesenangan dan ketidaksenangan,
Hapuslah sudah semua kebiasaan
Mereka tidak mengacuhkan tapak tangan yang berdarah
Tapi dia, sang istri pangeran
Tiada mengiris tangannya, tak membiarkannya berdarah;
Sebab Yusuf adalah cinta dan kehidupannya,
Dan Yusuf tak ikut campur dalam perbuatan itu.
Syair berikut ini juga melukiskan keadaan keluruhan :
Maka kami mengingat ---- nama kealpaan
Bukanlah kebiasaan kami, tapi cahaya bersinar,
Udara gaib terhirup, dan Tuhan dekat.
Lalu hilang lenyaplah kedirian, dan aku
Ada sendiri bersama Tuhan, yang dengan kabar jelas
Bersaksi ata Dzat-Nya dan dengan itu di kenal
Beberapa tokoh Sufi menganggap keadaan-keadaan ini sebagai suatu keadaan tunggal, lepas dari
kenyataan bahwa berbaga istilah diterapkan untuk keadaan-keadaan itu. Maka mereka
menyetarakan keluruhan dengan keberkesinambungan, pemusatan dan pemisahan, dan begitu juga
kehadiran dengan ketidakhadiran, kemabukan dengan kewarasan. Sebab Sufi itu pergi
meninggalkan apa yang menjadi milik Tuhan; sementara, sebaliknya, dia bukan bersama apa yang
menjadi milik Tuhan, dan dengan demikian pergi meninggalkan apa yang menjadi miliknya. Ketika
dia pergi, dia juga terpusat, dia juga terpisah, sebab dia tidak menyaksikan sendiri, Begitu pula
kerabat-kerabatnya. Dia baka sebab Dia tinggal bersama Tuhan, Yang memusatkannya pada DiriNya sendiri; dia pergi meninggalkan sesuatu yang selain Tuhan, sebab dia terpisah dari sesuatu itu.
Dia tak hadir dan mabuk, sebab kemampuan membedakan itu yang telah kami jelaskan dalam
hubungannya dengan kesenangan dan kesakitan hilang, dan dalam hal ini, segala sesuatu menjadi
satu baginya. Dia tidak menyaksikan gejala ketidakselarasan, sebab Tuhan hanya
memerintahkannya agar bertindak selaras dengan diri-Nya. Pembedaan hanya bisa terjadi dalam
hubungannya dengan dua hal; dan kalau segala hal telah menjadi satu saja maka pembedaan itu
habislah.
Kelompok yang lain menjelaskan keluruhan sebagai berikut : Para Sufi itu dijauhkan dari setiap
jejak pribadi (rasm) dan dari semua jejak semacam itu tanpa dirinya (marsum), sehingga selama
masa (waqt) gaibnya dia tinggal tanpa kebakaan sepanjang yang bisa dipahaminya, tanpa pergi
meninggalkan sepanjang dia sadar, dan tanpa masa sepanjang dia memahami; tapi penciptanyalah
yang tahu mengenai ketetapan tinggalnya dan kepergiannya, dan Dia menjaganya dari setiap
tindakan yang patut di cela.
Mereka berselisih paham mengenai masalah apakah para Sufi yang telah luruh, akan pernah
kembali lagi pada sifat-sifatnya. Sebagian mengatakan bahwa para Sufi itu pasti kembali dan bahwa
keadaan keluruhan itu tidak tetap; sebab, jika tidak begitu, maka anggota-anggota tubuh pra Sufi itu
akan kehilangan manfaatnya untuk melaksanakan tugas-tugas keagamaan, dan jelas tidak akan
mampu melakukan sesuatu pun dalam hubungannya denga kehidupannya di dunia ini, begitu juga
di dunia nanti. Dalam hubungan ini, Abul Abbas ibn Atha telah menulis sebuah buku yang berjudul

Kembalinya dan Asal Mula Sifat-sifat. Tapi tokoh-tokoh besar Sufi, dan mereka yang memiliki
pengalaman-pengalamana yang bernar, di antaranya al-Junaid, al-Kharraz dan An-Nuri, tidak
beranggapan bahwa para Sufi itu tidak kembali kepada sifat-sifatnya sendiri setelah keluruhannya
itu. Mereka mendebat dengan mengatakan bahwa keluruhan itu merupakan suatu karunia dan
pemberian Tuhan bagi Sufi itu, suatu tanda kesukaan khusus, bukan suatu kondisi yang dicari, itu
merupakan suatu yang diberikan oleh Tuhan kepada orang-orang yang telah dipilih-Nya dan
ditunjuk-Nya sendiri. Oleh karena itu, jika Dia mengenbalikan Sufi itu pada sifatnya sendiri, Dia
akan mengambil lagi apa yang telah diberikan-Nya, dan menjemput kembali apa yang telah
diserahkan-Nya, dan ini tidak cocok dengan sifat Tuhan; atau jika hal itu dianggap sebagai akibat
dari suatu perubahan pikiran, maka itu merupakan sifat oarng yang mencari pengetahuan lebih
banyak, dan ini disangkal dalam hubungannya dengan Tuhan; atau jika ini ditafsirkan sebagai suatu
tipuan atau kecohan, maka Tuhan tidak bisa dikatakan sebagai tukang tipu, dan Dia tidak pernah
mengecoh orang-prang beriman, Dia hanya mengecoh orang-orang munafik dan orang-orang gkafir.
Keluruhan bukan merupakan suatu keadaan yang bisa dicapai dengan kebaikan pribadi, dan bahwa
kebalikannya harus juga dicari secara demikian.
Jika disangkal bahwa Sufi itu nantinya akan berpaling dari iman, yang merupakan taraf tertinggi,
sebab dengan itu semua keadaan telah dapat dicapai, inilah jawaban kami. Iman yang dirinya
seseorang itu kebali adalah iman yang telah didapatkannya lewat pengakuan lidah dan perbuatan
anggota-anggota tubuhnya; iman yang semacam itu tidak bercampur dalam hatinya yang
sesungguhnya, baik sebagai suatu perwujudan yang langsung maupun suatu kepercayaan yang
benar. Dia hanya mengakui tanpa mengetahui kebenran apa yang diakuinya; seperti yang dituturkan
dalam hadits : Malaikat (kematian) akan datang kepada seseorang ketika dia telah berada dalam
kubur, dan akan bertanya : Apakah yang kamu katakan mengenai orang ini? Dia akan menjawab :
Aku mendengar orang ini mengatakan sesuatu dan karena itu aku mengatakannya. Orang yang
semacam itu adalah seorang peragu, dan tidak memiliki kepastian. Atau, kalau tidak, maka dia
mengakui dengan lidahnya, tapi mengingkari dengan diam-diam pengakuannya itu; maka orang
munafik itu mengakui dengan lidahnya, sedang hatinya mengingkari pengakuannya itu, dan diamdiamm menentangnya. Atau mungkin dia mengakui dengan lidahnya, dan tidak mengingkari
pengakuan itu atau diam-diam menentangnya, di dalam hatinya, tapi apa yang diakuinya itu tidak
ada kebenarannya, baik lewat pemikiran maupun lewat ilham; dia belum mendapatkan
pembuktiannya lewat ilu sehingga dia memiliki bukti-bukti kebernarnnya, dan dia belum
merasakan di dalam hatinya suatu keadaan kejiwaa yang akan bisa menghilangkan keraguannya.
Seperti apa pun masalahnya, kedukaan merupakan bagian yang ditakdirkan oleh Tuhan untuk
dirinya; keraguan timbul dalam dirinya, yang dikarenakan entah oleh pikirannya sendiri ataupun
oleh pendebatan-pendebatan orang lain; dia tergoda, dan berpaling dari iman kepada kebalikannya.
Sedangkan mengenai orang yang yang diberi bagian yang lebih baik dari Tuhan, tidak ada keraguan
dalam dirinya, dan semua sangkalan meninggalkannya; sebagai akibat dari apa yang telah
didapatkannya dari pengetahuan di dalam kitab dan Sunnah, dengan bukti-bukti yang masuk akal,
yang menghapuskan pikiran-pikiran jelek serta serta menolak segala keraguan akibat pendebatan
itu, sebab tidaklah mungkin sesuatu yang benar itu ditentang dengan bukti-bukti yang juga benar,
dan dengan begitu maka tidak ada keraguan pada dirinya sama sekali. Juga, karena dia telah
mendapatkan iman yang benar, dan Tuhan sendiri, lewat perlindungan-Nya, menolakkan bagi
dirinya segala pikiran jelek dan dengan demikian juga menolakkan dari dirinya para pendebat yang
mendatangkan keraguan-keraguan dengan karunia-Nya yang istimewa, sehingga dia tidak lagi harus
menemui para pendebat itu, maka kebenaran imannya akan aman, meskipun dia mungkin tidak
memiliki kemampuan membeberkan yang dibutuhkan untuk bedebat dengan pendebat itu, atau
untuk menghalau pikirannya sendiri; atau kalau tidak, karena kebenaran dari pengakuannya telah
ditegaskan dengan penglihatan atau ilham, sebagaimana halnya dengan Haritsah, yang mengatakan
kepada kita bahwa dia benar-benar melihat apa yang dipercayainya; sehingga sesuatu yang (secara
normal) tidak ada, menggantikan apa yang ada, sebab dia berkata bahwa dia berpaling dari dunia
yang terlihat ini, dan yang tidak terlihat menjadi terlihat baginya, dan yang terlihat tak terlihat
maka Al-Darani berkata : Mata hati mereka terbuka dan mata kepala mereka tertutup.

Kalau pengakuan seseorang itu dibenarkan dengan jalan ini maka dia tak akan kembali dari akhirat
ke dunia kini, atau meninggalkan sesuatu yang lebih baik untuk sesuatu yang lebih buruk. Ini semua
merupakan sarana-sarana yang digunakan oleh Tuhan untuk melindungi, dan itu merupakan suatu
bukti janji-Nya : Tuhan memberi jawaban yang pasti kepada yang beriman, baik dalam kehidupan
di dunia kini maupun di dunia nanti. Oleh karena itu, ditegaskanlah bahwa orang yang sungguhsungguh beriman itu tidak dapat digoyahkan dari imannya, sebab iman itu merupakan karunia,
pemberian dan tana kesukaan yang istimewa dari Tuhan untuk dia; jauh sekali Tuhan dari perbuatan
mengambil kembali apa yang telah Dia berikan, atau menjemput kembali apa yang telah Dia
anugerahkan.
Nah, iman yang sesungguhnya itu, dan iman yang semata-mata merupakan formalitas saja, masingmasing memiliki ketrampilan yang sama, tapi sifat-sifat keduanya yang sebenarnya berbeda,
sebaliknya keluruhan itu, dan semua keadaan istimewa lainnya, secara lahiriah tampak berbeda, tapi
sifat-sifat yang sebenarnya sama. Keadaan-keadaan itu bukan merupakan akibat kebaikan pribadi,
melainkan sebagai tanda keridhaan (Tuhan). Oleh karena itu, tidak masuk akal-lah kalau orang
mempertahankan pendapat bahwa Sufi itu, yang telah pergi, kembali lagi kepada sifat-sifatnya
sendiri. Jika seseorang penganut pendapat ini, sedangka dia telah menegaskan bahwa Tuhan
memilih dan menunjuk sendiri Sufi itu, dan sesudah itu mengembalikannya lagi pada keadaannya
yang semula, maka berarti dia menyatakn bahwa Tuhan memilih apa yang sesungguhnya tidak Dia
pilih, dan menunjuk apa yang sesungguhnya tidak Dia tunjuk. Hal ini, jelas tidak masuk akal; sama
tidak masuk akalnya kalau dikatakan bahwa hal itu mungkin saja, dengan maksud untuk meltih Sufi
itu dan menjaganya dari godaan, sebab Tuhan tidak menjaga apa yang telah diberikan-Nya kepada
hamba-Nya dengan maksud untuk mengambilnya lagi, atau mengembalikan orang itu dari keadaan
yang lebih tinggi ke keadaan yang lebih rendah. Ini terlukais dalam kisah para nabi; sebab pendapat
yang semacam itu, seperti yang sebelumnya, akan mengisyarakatkan bahwa mustahil bagi Tuhan
menjaga para Nabi agar tidak terkena godaan, maka diturunkannya taraf para Nabi tersebut ke taraf
para wali atau bahkan ke taraf yang lebih rendah lagi, dan itu tidakm masuk akal. Kebaikan Tuhan
dalam menjaga para Nabi-nya dari berbuat dosa, dan menjaga orang-orang suci-Nya dari godaan,
terlalu banyak untuk di hitung atau diingat-ingat, dan kekuasaan-Nya terlalu besar untuk dibatasi
menjadi satu atau dua tindakan saja.
Jika suatu sangkalan, yang menyatakan bahwa kasus orang yang kepadanya telah dibawakan tandatanda Tuhan, dan kemudian berpantang mempercayainya. Dipakai menyangkal pendapat ini,
maka sangkalan itu tidak sah. Orang yang berpantang mempercayainya itu sama sekali tidak
pernah merasakan keadaan kejiwaan atau mengalami keadaan itu, dan dia tidak pernah terpilih atau
ditunjuk (oleh Tuhan); sebaliknya, dia dibawa pelan-pelan menuju kehancuran, sebab dia kena tipu
dan kena kecoh. Secara lahiriah dia mendapatkan tanda-tanda orang terpilih, tapi dalam
kenyataannya dia adalah orang yang ditolak secara lahiriah dia terhiasi dengan kesibukankesibukan yang berharga dan rangkaian doa-doa suci, tapi hatinya buta dan kesadarannya
terselubungi. Dia tidak pernah mengetahui nikmatna pilihan itu, atau merasakan senangnya iman,
dan dia tidak pernah mengenal Tuhan dengan cara merasakan ehadiran Dia (Syuhud); begitulah
yang dimaksud oleh Tuhan ketika Dia berfirman : Dan dialah salah seorang dari yang terperdaya.
Demikian juga berfirman semnegani iblis : Dan dia termasuk yang kafir. AL-Junaid berkata :
Iblis tidak pernah bisa merenung kalau dia masih ingkar. Abu Sulaiman berrkata : Seseorang itu
tidak akan kembali, kecuali dia yang dalam perjalanan; jika mereka telah tiba di tujuan, mereka
tidak akan pernah kembali.
Sufi yang telah luruh dijaga dalam melaksanakan tugas-tugasnya kepada Tuhan, sebagai yang
dilukiskan dalam kisah berikut ini. Seseorang berkata kepada Al-Junaid : Abul Husain al-Nuri
terlah berdiri selama beberapa hari di masjid Syunizi, tanpa makan, minum, atau tidur, dan setiap
saat dia berkata. Tuhan, Tuhan. Dan dia bersembahyang pada waktu-waktu yang tepat. Lalu
seseorang yang berdiri di sampingnya berkata : Dia waras. Al-Juanid berkata : Tidak! Orang
yang mengalami ekstase itu dijaga oleh Tuhan dalam ekstase mereka.
Nah, jika Sufi yang telah luruh itu tidak kembali kepada sifata-sifat yag manapun, maka dia tidak
akan kembali kepada sifat-sifatnya sendiri, melainkan ditempatkan dalam keadaan yang di sana dia

tetap tinggal bersama siffat-sifat Tuhan. Orang yang luruh itu tidak hilang akal, atau gila; tidak pula
sifat-sifat kemanusiaannya lenyap, sehingga dia akan menjadi malaikat atau hantu; dia hanya luruh
dari perasaan-perasaannya sendiri, sebagai yang telah kami jelaskan sebelumnya.
Orang yang luruh itu bisa jadi seperti salah satu dari dua jenis yang ada. Dia mungkin seperti orang
yang tidak bisa dianggap sebagi seorang pemimpin atau teladan; keluruhannya bisa jadi berarti
mangkir dari sifat-sifatnya sendiri, sehingga dia tampak benar-benar gila dan hilang akal, sebab dia
tidak bisa lagi membedakan apa yang bisa mendatangkan keuntungan baginya, dan tidak lagi
mencari kesenangannya sendiri; dan juga karena dia dijaga hanya untuk melaksanakan tugastugasnya kepada Tuhan. Di antara orang-orang yang semacam itu, banyak yang termasuk umat
(Muhammad), yaitu Hilal si orang Habsyi, budak Al-Mughirah ibn Syubah yang hidup pada masa
Nabi, dan yang disebut-sebut oleh Nabi secara istimewa; Uwais al-Qarni, yang hidup pada masa
Umar ibn al-Khattab, dan yang di sebut-sebut oleh Nabi (sebelumnya) di hadapan Umar dan Ali;
dan banyak yang lain-lainnya lagi. Sebaliknya, orang yang luruh itu bisa jadi seorang pemimpin
yang patut diikuti; mengatur mereka yang mendekatkan diri kepadanya; orang semacam itu ditunjuk
untuk mengatur dan memberi pelajaran bagi kerabat-kerabatnya. Dia dipindahkan ke dalam
keadaan-keadaan, dan dia mengatur urusan-urusannya lewat sifat-sifat Tuhan, bukan oleh sifatsifatnya sendiri, dengan cara-cara yang telah kami jelaskan sebelumnya. Seseorang bertanya kepada
Al-Junaid : Apakah firasat (firasah) itu? Dia menjawab : Firasat adalah hilangnya kecermatan.
Yang lain berkata : Apakah orang yang memiliki firasat mendapatkan sifat itu pada saat
hinggapnya kecermatan itu saja, atau dia memilikinya selamanya? Dia menjawab : Selamanya. Itu
merupakan suatu pemberian (Tuhan) dan karenanya ada bersama dia terus menerus. Dengan begitu
Al-Junaid mengisyaratkan bahwa pemberian (Tuhan) itu ada terus menerus.
Jika seseorang mengikuti dengan sekssama kitab-kitab Sufi, dan mengerti acuan-acuannya, dia akan
tahu bahwa doktrin mereka adalah seperti ayng kami tuturkan. Sesungguhnya, doktrin ini dan
masalah-masalah serupa ini oleh orang-orang sufi tidak didokumentasikan atau dituliskan; tapi
doktrin itu mereka kenal dari pemahaman mereka yang benar mengenai teka-teki doktrin itu dan
dari tanggapan yang benar berkenaan dengan isyarat-isyarat doktrin itu. Tuhanlah yang paling tahu.
60.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI HAKIKAT MARIFAT
Salah seorang Syeikh berkata : Marifat terdiri atas dua jenis; Marifat kebenaran dan marifat
hakikat. Marifat kebenaran merupakan penegasan Keesaan Tuhan atas sifat-sifat yang
dikemukakan-Nya. Sedang marifat hakikat adalah marifat yang tidak bisa dicapai dengan alat apa
pun, disebabkan oleh sifat (Tuhan) yang tak dapat ditembus dan tahkik ketuhanan-(Nya) mustahil
dipahami; Tuhan berfirman : Sedang pengetahuan mereka tidak dapat menjangkau-Nya. Dia
adalah Yang Tak Dapat Ditembus, Hakikat yang gelar-gelar dan sifat-sifatnya tak dapat dilihat.
Salah seorang tokoh Sufi berkata : Marifat adalah panggilan hati lewat berbagai tafakur untuk
menghayati ekstase-ekstase yang ditimbulkan oleh kegiatan zikir, sesuai dengan tanda-tanda
pengungkapan (hakikat) yang berurutan. Maksudnya, hati menyaksikan kekuasaan-Nya, dan
merasakan besarnya kebesaran Tuhan dan Mulia-Nya, Kehebatan-Nya, yang tak dapat diungkapkan
dengan kata-kata.
Al-Nunaid ditanya : Apakah marifat itu? Dia menjawab : Marifat adalah beradanya hati di
antara pernyataan kebesaran Tuhan yang tak bisa dipahami dan pernyataan kehebatan-Nya yang tak
bisa dirasakan. Pada saat lain dia ditanya dengan pertanyaan yang sama dan dia menjawab :
Marifat berarti mengetahui bahwa apap pun yang engkau bayangkan dalam hatimu, Tuhan
merupakan kebalikannya. Kenapa sampai terjadi kekacauan itu! Tuhan tidak merupakan bagian dari
orang mana pun, dan orang itu tidak merupakan bagian dari Tuhan. Dia, adalah suatu kemaujudan
yang bergerak ke sana ke mari di dalam ketiadaan. Ungkapan itu tidak ditujukan untuk Dia; Seba
makhluk-makhluk itu didhului oleh sesuatu, dan yang didahului itu tidak dapat memahami yang
mendahului. Arti kata-kata Dia adalah suatu kemaujudan yang bergerak ke sana ke mari di dalam
ketiadaan adalah bahwa orang yang mengalami keadaan ini (adalah suatu maujud, dan seterusnya);

dia (yaitu al-Junaid) berkata bahwa dia ada dalam padangan mata dan penglihatan, tapi tidak dalam
pandangan gelar dan sifat. Al-Junaid juga berkata : Marifat adalh pikiran yang mempersaksikan
masalah-masalah mengenai kepulagan, dan bahwa ahli marifat tidak memiliki kekuasaan, baik
sehubungan dengan keberlebihan ataupun kelemahan. Yang dimaksudkannya adalah bahwa ahli
marifat tidak mempersaksikan sendiri keadaannya, melainkan pengetahuan Tuhan kan dirinya, dan
bahwa kepulangannya adalah menuju tepat yang telah diadakan untuknya oleh Tuhan sejak
sebelumnya, dan bahwa dia di awasi oleh (Tuhan) baik dalam ibadah maupun dalam
kekuarangannya. Salah seorang tokoh Sufi berkata : Kalau marifat masuk ke dalam hati, hati tidak
mampu menanggungnya, marifat bagaikan matahari yang sinarnya mencegah pelahitnya
merasakan batas dan esensinya. Ibn al-farghani berkata : Yang mengetahui bentuk (rasm) itu
merasa bangga, yang mengetahui kesan (wasm) itu merasa bingung, yang mengetahui yang telah
pergi sebelumnya merasa tidak berdaya, yang mentehaui Tuhan itu teguh, dan yang mengenal Yang
Mahapengatur itu hina. Yang dimaksudkannya adalah baha jika seseorang bersaksi atas dirinya
sendiri bahwa dia melaksanakan tugas-tugasnya bagi Tuhan, da bertindak sia-sia, jika dia bersaksi
atas apa yang telah diberikan oleh Tuhan kepadanya sebelumnya, dia bingug, sebab dia tidak tahu
tentang pengetahuan Tuhan mengenai dirinya, atau apa yang telah dituliskan oleh Pena mengenai
dirinya, jika dia tahu bahwa apa yang telah ditakdirkan untuknya itu tidak dapat dimajukan atau
dimundrkan, dia kurang pandai mencari; jika dia mengenal Tuhan, dakn kekuasaan Tuhan atas
dirinya, dan bahwa cukuplah Tuhan itu baginya, dia teguh dan tidak dibingungkan oleh hal-hal yang
menakutkan atau oleh kebutuhan-kebutuhannya, dan jika ia tahu bahwa Tuhan menguasai segala
urusannya, dia merendahkan dirinya di bawah ketetapan dan penilaian Tuhan. Salah seorang tokoh
besar Sufi berkata : Jika Tuhan memberinya pengetahuan mengenai Dia, maka Dia menempatkan
apdanya marifat yang membuatnya tidak merasakan cinta, ketakutan, harapan, kemelaratan atau
kekayan, sebab semua ini merupakan tujuan, dan Tuhan jauh dari itu. Yang dimaksudkannya
adalah bahwa dia merasakan keadaan-keadaan ini, sebab keadaan-keadaan itu merupakan gelargelarnya sendiri; dan gelar-gelarnya itu jauh dari cukup untuk mendapatkan apa yang merupakan
hak Tuhan. Puisi berikut ini dianggap sebagai karya salah seorang tokoh besar Sufi :
Engkaulah peindungku, Tuhan, dan penjagaku,
Engkau jauhkan aku dari wabah yang riuh;
Engkaulah harapanku di hadapan laan-lawanku,
Dan kalu aku haus, Engkau puaskan hausku,
Hamba Tuhan itu mengambil kuda, sebab dia berharap
Dapat mendaki tebing surga tertinggi yang rahasia,
Lalu, tenggelam dalam lorong tak berujung;
Dia pelajari setiap mukjizat yang dikandungnya.
Dia merobek perekat rahasia yang mengandung
Obat ajaib bagi hati dia yang mencintai;
Tapi ketika bertemu, dia begitu takjub
Hingga, walau masih hidup, tampak matilah dia.
Yang dimaksudkannya adalah bahwa dia begitu takjub dan bingung dikarenakan perasaan batinnya
berupa penghormatan dan rasa terpesona akan Tuhan, sehingga ketika orang melihat dirinya, dia
tampak bagaikan sudah mmati, meskipun dia masih hidup, dan meluruh dari memikirkan apa-apa
yang menjadi miliknya, sebab dia tidak memiliki sendiri kekuatan untuk memajukan atau
memundurkan (apa yang telah ditakdirkan oleh Tuhan).
61.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI PENGESAAN (TAUHID)
Pengesaan itu memiliki tujuh unsur : pemisahan yang kekad dari yang sementara, Menempatkan
Yang Kekal di atas persepsi makhluk, tidak lagi menyekutukan gelar-gelar-Nya, menghlangkan
prinsip sebab akibat dari gelar ketuhanan, mengangkat Tuhan di atas kekuasaan (makhluk) yang

sementara untuk mempengaruhi atau mengubah Dia, dan memuliakan Dia atas segala pembedaan
dan penghitungan (mental) serta menyatakan bahwa Dia lepas dari prinisp kias.
Muhammad ibn Musa al-Wasithi berkata : Pengesaan itu adalah bahwa segala kemampuan lidah
untuk berkata, atau segala kata untuk mengungkapkan, suatu pemuliaan atau pelepasan atau
pemisahan itu, ada penyebabnya; padahal, hakikatnya jauh dari itu semua. Maksudnya, semua ini
termasuk dalam sifat-sifat atau gelar-gelar pribadi, yang seperti manusia juga, ada pembuatnya dan
penyebabnya; sedangkan hakikat Tuhan itu adalah penyifatan oleh Dia Sendiri. Salah seorang tokoh
besar Sufi berkata : Pengesaan itu merupkana pemencilan dirimu sebagai seorang individu tunggal,
dan itu berarti Tuhan membautmu tidak menyaksikan dirimu sendiri. Faris berkata : Pengesaan itu
tidak benar sepanjang masih ada dalam dirimu kaitan pelepasan. Jika pengesaan itu ada dalam
pembicaraan, Tuhan tidak melihat hati orang yang esa itu menyatu dengan-Nya, dan jika pengesaan
itu ada dalam keadaan (hal), maka orang yang percaya kepada yang esa itu mangkir dari segala
pembicaraan; tapi penglihatan akan Tuhan itu merupakan suatu keadaan yang menyebabkan para
Sufi melihat segala sesuatu yang menjadi milik Tuhan. Bagaimana pun juga, tidak ada cara lain
untuk mencapai pengesaan Tuhan, kecuali dengan pembicaraan atau keadaan. Salah seorang tokoh
Sufi berkata : Pengesaan berarti pemisahan dari diri sendiri sepenuhnya, tapi dengan satu syarat,
yaitu melaksanakan sepenuhnya segala sesuatu yang dibebankan atas dirimu dan bahwa tak ada
sesuatu pun yang akan kembali kepadamu untuk memisahkanmu dari Tuhan. Maksudnya,
seseorang harus berusaha keras untuk melaksanakan tugasnya terhadap Tuhan, sesudah itu
membebaskan dirinya dari adanya kenyataan bahwa dia telah melaksanakan tugasnya;
pengesaannya melepaskannya dari sifat-sifatnya sendiri, dan karena itu tidak ada sesuatu pun yang
akan kembali kepadanya, sebab sifat-sifatnya itu akan memishakannya dari Tuhan. Al-Syibli
berkata : Para Sufi itu tidak mencapai pengesaan yang sesungguhnya, sampai dia merasa
dilepaskan dari kesadarannya sendiri. Sebab Tuhan mengejawantah dalam dirinya. Yang lain
berkta : Orang yang mempercayai keesaan Tuhan adalah orang yang dipisahkan oleh Tuhan
sepenuhnya dari kedua dunia itu, sebab Tuhan melindunginya, dan Dia telah berfirman : Kami
adalah teladan-teladan kamu dalam kehidupan di dunia ini dan nanti. Oleh karena itu Kami tidak
menegembalikan kamu kepada wujud (mana) yang laind dari Kami, di dunia kini maupun nanti.
Inilah tanda orang yang percaya kepada keesaan Tuhan itu; dalam dirinya tidak pernah melintas
suatu ingatan penghargaan kepada apa pun yang tidak mengandung hakikat di hadapan Tuhan.
Segala kesaksian terpaling dari kesadarannya dan segala keinginan akan balas jasa terlepas dari
hatinya. Dia tak melihat satu kesaksian pun, tak mengharapkan satu balas jasa pun, tak
mempelajari satu rahasia pun dan tak mengacuhkan satu kebaikan pun. Sedangkan
dalam( melaksanakan) tugas-tugasnya dia terselubung dari (memperhitungkan bahwa dia telah
melaksanakan) tugas-tugasnya; dan meskipun dia teikat pada hasrat, ia mampu lepas dari hasrat itu.
Dia tidak memiliki bagian dalam setiap bagian, sebab dia terkurung di dalam kecukupan dari segala
bagian. Tuhan adalah bagian yang paling mencukupi; kalau dia merasa kurang dekat dengan Tuhan,
maka dia kekuarangan segala sesuatu; walaupun mungkin dia memiliki segala sesuatu, dan kalau
ddia menemukan Tuhan, dia merasa memiliki segala sesuatu, walau pun mungkin dia tidak
memiliki benda sebesar atom pun. Yang dimaksudkan penulis itu adalah bahwa sementara dia
melaksanakan tugas-tugasnya, dia tidak melihat bahwa dia sedang melaksanakan tugas-tugasnya;
dia juga melepaskan dari segala hasratnya, sementara dia melihat jiwanya mematikan hasrat-hasrat
itu. Bagian untuk dirinya dari Tuhanadalah kemaujudan Tuhan; dia terkurung di situ, dan tak
memiliki kekuatan untuk maju atau mundur. Salah seorang tokoh Sufi menulis puisi ini :
Maka, Kebenaran diketahui dalam ekstase,
Sebab, Kebenaran itu akan ada di mana-mana;
Dan bahkan akal yang paling cerdas pun gagal
Memahami rahasia ini
62.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI PEMERIAN MARIFAT

Al-Hasan ibn Ali ibn Yazdaniyar ditanya : Kapankah ahli marifat itu bersama Tuhan? Dia
menjawab : Ketika kesaksian itu muncul dan kesaksian-kesaksian itu hilang, indera-indera itu
lenyap dan ketulusan musnah. Ketia dia mengatakan : Kesaksian itu muncul. Maksudnya adalah
kesaksian Tuhan, yaitu apa yang dilakukan-Nya terhadap Sufi itu sebelumnya, kebaikan-Nya dan
pemberian-pemberian marifat, pengesaan dan iman kepada-Nya yang begitu banyak, pemikiran
akan hal ini akan menyebabkan tindakan-tindakan para Sufi itu sendiri, kesalehan dan
kepatuhannya sendiri, akan lenyap dari benaknya. Lalu dia akan melihat bahwa sebagian besar
dirinya tertelan dalam sebagian kecil dari Tuhan, meski yang demikian Tuhan itu banyak dan yang
dimilikinya sedikit. Keluruhan kesaksian adalh hilangnya pemikiran akan orang-orang lain, apakah
mereka akan merugikan atau menguntungkan, menyalahkan ayau memuji, sementara lenyapnya
indera-indera itu dicontohkan di dalam hadits (Qudsi) ini : Lewat aku dia berkata dan lewat aku dia
melihat.. Musnahnya ketulusan berati bahwa ketika Sufi itu memikirkan sifatnya sendiri --- sebab
sifatnya tunduk kepada penyebab, seperti dirinya sendiri dia tiak lagi menganggap dirinya tulus,
dan tidak lagi menganggap tindakan-tindakannya pernah atau kan tulus.
Dzul Nun ditanya : Bagaimanakah kesudahan ahli Marifat itu? Dia menjawab : Ketika dia tetap
seperti dia sebelumnya di tempat dia sebelumnya di hadapan sesuatu yang dihadapinya
sebelumnya. Dengan ini, yang dimaksudkannya adalah bahwa dia merenungkan Tuhan dan
tindakan-tindakan-Nya, bukannya merenungkan dirinya sendiri dan tindakan-tindakannya. Yang
lain berkata : orang yang paling mengenal Tuhan adalah orang yang paling bingung. Dzul Nun
ditanya : Apakah langkah pertama yang harus diambil oleh ahli marifat? Dia menjawab :
Kebingungan, sesudah itu kebutuhan, sesudah itu penyatuan, sesudah itu kebingungan.
Kebingungan yang pertama adalah pada tindakan-tindakan dan karunia-karunia Tuhan terhadap
dirinya; sebab, dia merasa bahwa rasa syukurnya kepada Tuhan tidak sesuai dengan karunia Tuhan
itu, dan dia tahu bahwa dia perlu bersyukur lantaran karunia-karunia itu; bahkan, jika dia bersyukur,
kesyukurannya merupakan suatu karunia yang harus disyukurinya. Dia merasa bahwa tindakantindakannya tidak cukup patut untuk membawanya bertemu Tuhan; sebab dia mengecilkan arti
tindakan-tindakan itu, menganggap tindakan-tindakan itu sebagai kewajibannya, yang tidak akan
terhapuskan dalam keadaan apapun. Dikatakan bahwa Al-Syibli pada suatu kesempatan berdiri
untuk bersembahyang, dan menanti lama sekali, sesudha itu bersembahyang; dan setelah dia selesai
bersembahyang dia berkata : Aduh! Jika aku berdoa, aku menyangkal, dan jika aku tidak berdoa,
aku tidak bersyukur. Yang dimaksudkannya : Aku menyangkal besarnya kebaikan dan
sempurnanya karunia (Tuhan), kalau aku bandingkan itu dengan tindakan bersyukurku yang buruk
itu. Lalu dia mulai bersyair :
Kini, terrpujilah Tuhan, bahwa aku bagaikan seekor kodok
Yang makanan pokonya tersedia di air dalam
Dan membuka mulutnya, dan segera penuh;
Ia mempertahankan kedamaiannya, dan pasti mati dalam kesedihan
Kebingungan yang kedua adalah di dalam keliaran tanpa penyatuan yang tak berarah, yang di
dalamnya pengertian ahli marifat itu lenyap dan akalnya menciut di hadapan kebesaran kekuasaan,
pesona dan keagungan Tuhan. Telah dikatakan : Di sisi pengesaan ini terdapat keliaran yang di
dalamnya pikiran-pikiran itu lenyap. Abul-Sauda bertanya kepada salah seorang tokoh besar Sufi :
Apakah ahli marifat itu memiliki kesempatan (waqt)? Dia menjawab : Tidak, Yang lain
bertanya : Mengapa tidak? Tokoh Sufi itu menjawab : Sebab, kesempatan adalah suatu jarak
waktu untuk penyegaran setelah kemarahan, dan marifat itu (bagaikan) ombak yang menarik (ahli
marifat), terkadang mengangkatnya, terkadang membantingnya, dan kesemepatannya itu hitam dan
gelap. Lalu dia berkata :
Marifat membuat satu tuntutan, dan hanya satu;
Bahwa, segala sesuatu darimu harus dihapuskan.
Maka, ketika penyelidikan panjang itu dimulai pertama kali,
Yang mencari, belajar menjaga kemurnian pandangannya
Faris berkata : Ahli marifat adalah seseornag yang pengetahuannya merupakan suatu keadaan
kejiwaan, dan yang geraknnya berlimpah-limpah. Junaid, ketika ditanya mengenai ahli marifat

berkata : Warna air itu adalah warna wadahnya. Yang dimaksudkannya adalah bawa dalam setiap
keadaan dia mengikuti apa yang lebih patut; nah, keadaan-keadaannya itu berbeda-beda, maka dia
disebut :Putera sang waktu> Dzul Nun berkata, utnuk menjawab pertanyaan yang sama : Dia ada
di sisi dan kemudian pergi, yang berarti bahwa ahli marifat itu tak pernah terlihat pada dua
kesempatan dalam keadaan yang sama, sebab dia diawasi oleh Yang lain. Puisi berikut ini dianggap
sebagai gubahan Ibn Atha :
Andaikan waktu punya lidah tuk berbicara, maka kan bertutur..
Bahwa dalam selubung hasrat aku senang;
Tapi, waktu tak tau tingkatku yang sejati lagi tinggi,
Karena kuselalu bergerak ke suatu ketinggian..
Sahl ibn Abdillah berkata : Keadaan pertama dalam marifat adalah ketika sang Sufi mendapatkan
suatu kepastian di dalam hatinya, yang dengan itu anggota-anggota tubuhnya menjadi tenang, dan
suatu sifat kebenaran di dalam anggota-anggota tubuhnya yang dengannya dia merasa aman di
dunia ini, serta suatu kehidupan di dalam jiwanya yang dengannya dia mencapai kemenangan di
dalam keadaannya yang mendatang.
Oleh karena itu, ahli marifat telah berusaha keras untuk melaksanakan tugasnya terhadap Tuhan,
dan marifatnya merupakan suatu perwujudan apa yang telah diberikan oleh Tuhan kepadanya, oleh
karena itu dia sungguh-sungguh berpaling dari segala sesuatu dami Tuhan. Tuhan berfirman :
Engkau melihat air mata mereka bercucuran, disebabkan apa yang mereka ketahui sebagai
kebenaran. Barangkali, yang mereka maksud dengan mereka diketahui sebagai kebenaran adalah
yang telah mereka ketahui sebagai kebaikan Tuhan dan pencarian-Nya akan diri mereka,
berpalingnya Dia kepada mereka serta terpilihnya mereka di antara kerabat-kerabat mereka.
Begitulah halnya dengan Ubai ibn Kaab. Nabi berkata kepadanya : Sesungguhnya, Tuhan telah
memerintahkan aku untuk menyitir (ayat-ayat suci) di hadapanmu. Ubai berkata : Wahai Rasul
Allah! Adakah aku disebutkan di situ? Nabi berkata : Ya. Maka Ubai lalu meratap, sebab dia
tidak melihat ada keadaan yang di dalamnya dia bisa menghadap Tuhan, tak ada syukur yang bisa
menyamai karunia Tuhan, tak cukup ingatannya akan Dia; oleh karena itu dia bungkam sja, lalu
meratap. Nabi juga berkata kepada haritsah : Kau telah tahu, maka berpeganglah erat-erat
(padanya). Beliau menuturkan kepadanya marifat itu, dan menyuruhnya berpegang erat-erat
padanya, tanpa memberi tanda kepadanya dengan tindakan apa pun. Ketika ditanya mengenai ahli
marifat, Dzul Nun berkata : Dia adalah orang yang meskipun menyatu dengan marifat itu,
terpisah darinya. Sahl berkata : Mereka yang memiliki marifat Tuhan adalah sebagai oarng-orang
dari Araf, yang mengenal satu sama lain dengan tanda-tanda; Tuhan telah menempatkan mereka
pada keadaan mereka, dan mengangkat mereka tinggi-tinggi melebihi kedua tempat itu, memberi
mereka pengetahuan mengenai dua kerajaan itu. Salah seorang tokoh Sufi menulis baris-baris puisi
ini :
Sayang nian, mereka yang telah menjalani
Kehdipan dunia ini, dan pergi di jalan mereka sendiri!
Bertahun-tahun sudah ku berlomba dengan mereka;
Bagian yang mereka mainkan tak bisa kumainkan;
Kehdupan mereka penuh rahasia dan terpencil.
Di tengah suasana kesombongan atau keningratan,
Manusia-manusia berseru, yang melihat mereka dilucuti
Mereka tak terbentuk, tak bernyawa!
63.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI YANG MENCARI DAN YANG DICARI
Yang mencari itu dalam kenyataanya adalah yang dicari, dan Yang Dicari Yang Mencari; sebab
orang yang mencari Tuhan itu hanya mencari-Nya karena mula-mula Tuhan mencarinya lebih dulu.
Maka Tuhan berkata : Dia mencintai mereka, dan mereka mencintai-Nya. Dan lagi : Allah
senang kepada mereka dan mereka pun senang pula kepada Allah> dan agi : Kemudian Allah

menerima tobat mereka, agar mereka selalu kembali kepada-Nya> Pencarian-Nya akan mereka
merupakan penyebab pencarian mereka akan Dia; sebab penyebab dari segala sesuatu itu adalah
tindakan-tindakan Tuhan, sedang tindakan-tindakan-Nya tidak bersebab. Jika Tuhan mencari
seseorang, tidak akan mungkin bagi orang itu untuk tidak mencari Tuhan; Maka Tuhan telah
membuat orang yang mencari menjadi yang dicari. Yang Dicari menjadi Yang Mencari. Sekali pun
begitu (dalam bahasa orang-orang sufi), orang yang mencari adalah yang tindakannya mendahului
perkataannya, sedang yang dicari adalh dia yang perkataannya mendahului tindakannya. Orang
yang mencari itu dilukiskan dalam firman Tuhan : Orang-orang yang berjuang di pihak Kami akan
Kami tunjuki jalan-jalan Kami> Orang semacam itulah yang dicari Tuhan, Yang memalingkan
hatinya dan menanamkan di dalamnya suatu karunia, untuk menggerakan hatinya agar berjuang
demi Dia dan berpaling kapda-Nya serta mencari-Nya. Lalu Dia ungapkan baginya keadaan
kejiwaan itu. Begitulah halnya dengan haritsah, yang berkata : Aku memalingkan diriku dari dunia
ini, dan berpuasa di siang hari serta berjaga di malam hari> lalu dia berkata : Dan seolah-oleh aku
melihat Singgasana Tuhan tampi. Dengan kata-kata ini dia menunjukan bahwa ilham dari yang tak
terlihat itu mendatangi dirinya, setelah dia berpaling dari dunia ini. Orang yang dicari sebaliknya,
dijauhkan secara paksa dari dunia ini oleh Tuhan, dan diungkapkan baginya keadaan itu, sehingga
lewat kekuatan pewawasan itu dia bisa digerakan untuk berjuang demi Tuhan-nya, dan berrpaling
kepaa-Nya serta menanggung beban yang ditempatkan oleh Tuhan atas dirinya. Maka begitulah
halnya dengan kemampuan sihir Firaun sebab mereka berkata : Kami tidak akan mengutamakan
daripada keterangan-keterangan nyata .... Karena itu hukumlah kamu sesuka hatimu. Begitu pula
halnya dengan Umar ibn Al-Khattab. Ketika dia datang untuk membunuh Nabi; sebab Tuhan
mencegahnya dalam perjalanannya. Sama halnya juga kisah Ibrahim ibn Adham, dia pergi untuk
memburu kesenangan, dan sebuah suara memanggilnya, berkata : Bukan untuk ini kamu
diciptakan, dan bukan untuk ini kamu diperintah. Dua kali suara itu memanggilnya, dan pada kali
ketiga panggilan itu datang dari bagian depan sadel kudanya. Lalu dia berkata : Demi Tuhan, aku
tidak akan ingkar dari Tuhan sesudah ini, sepanjang Tuhanku selalu melindungiku dari dosa. Maka
inilah yang dimaksudkan dengan dijauhkan secara paksa. Orang-orang ini diberi ilham mengenai
keadaan kejiwaan, dan dengan begitu dijauhkan dari keinginan-keinginan dan kekayaan-kekayaan
duniawi mereka. Ahli Hukum Abu Abdillah al-Baraqi pernah mengutip puisi, karangannya sendiri,
ini untuk saya :
Hati si pencari itu tertancap dalam kesucian,
Dan hasrat itu membawa langkahnya menuju setiap celah pegunungan;
Ke sepanjang lembah mana pun tujuannya,
Tempatnya satu-satunya adalah Tuhan segala manusia.
Dia membayar dengan kesucian, dengan cara suci pula,
Dan kesucianlah yang dibawa ke dalam hati oleh lentera,
Yang dicarinya adalah tempat tinggal Sang Pencari:
Lipat tigalah rahmat si pencari yang dicari!.
64.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI UPAYA KERAS (MUJAHADAH) DAN IBADAH
Salah seorang tokoh besar Sufi berkata : Ibadah yang sesungguhnya adalah melaksanakan apa
yang telah dibebankan oleh Tuhan sebagai suatu tugas, asal itu diartikan sebagai suatu kewajiban;
yaitu, bahwa tugas tersebut harus dilaksanakan tanpa mengharapkan balasan, meskipun engkau tahu
bahwa itu merupakan suatu karunia (Tuhan); tugasmu kepada Tuhan itu sudah cukup, ketika engkau
melaksanakan tindakan itu, untuk membuang segala pengharapan akan karunia dan balas-jasa.
Sebab Tuhan berfirman : Sesungguhnya Allh telah membeli jiwa dan harta orang mukmin, yaitu
bahwa mereka boleh membaktikan diri mereka sebagai hamba, bukan dengan jiwa yang loba.
Seseorang berkata kepada Abu Bakr al-Wasithi : Dengan cara bagaimana sang Sufi melaksanakan
perbuatannya? Dia menjawab : Dengan cara meluruh dari tindakan-tindakannya, yang menjadi
ada didkarenakan sesuatu yang selain dia. Abu Abdillah al-Nibaji mengatakan : Kesenangan

dalam kepatuhan itu merupakan buah permisahan dari Tuhan. Seseorang itu tidak disatukan dengan
Tuhan dikarenakan hal itu, atau dijauhakan (Dari Tuhan, dikarenakan tiadk adanya hal itu); dia
tidak mempercayainya sebagai sesuatu yang patut diandalkan, dia pun tidak meninggalkannya
karena dorongan semangat penentangan. Dia melaksanakan tugas-tugasnya semata-mata demi
Tuhan, sebagai seorang budak dan hamba, bersandar pada apa (yang ditakdirkan oleh Tuhan) di
dalam masa pra-kekekalan. Yang dimaksudkannya dengan Kesenangan dalam kepatuhan adalah
menganggap hal itu mendahului dirinya, tanapa menyadari karunia Tuhan dalam membantu orang
itu (untuk patuh). Firman Tuhan : Sesungguhnya seruan dari Tuhanitu lebih baik. Ditafsirkan
bahwa itu lebih baik daripada di dalam akalmu, atau yang dapat diutarakan oleh lidahmu. Zikir
yang sesungguhnya berarti meluakan yang selain Tuhan, sebab, Tuhan berfirman : Dan ingatlah
kepada Tuhanmu jika engkau lupa. Maka Firman Tuhan : Makan minumlah sesenang hatimu,
berkat perbuatan kebajikan yang telah kamu lakukan pada masa silam. Ditafsirkan bahwa pada
masa silam itu mereka tidak mengingat Tuhan, sehingga kamu harus tahu bahwa apa yang kamu
peroleh itu dikarenakan kebaikan Tuhan; bukan didkarenakan tindakan-tindakan sendiri.
Abu Bakr al-Qahtabi berkata : Jiwa orang yang percaya kepada, pada keesaan Tuhan itu muak
dengan segala gelar sifat-sifat mereka yang teelah ternyatakan, dan segala sesuatu yang muncul dari
sifat-sifat itu mereka anggap menjijikan. Mereka terrpisah dari kesaksian-kesaksian mereka,
perolehan-perolehan mereka, dan keuntungan-keuntungan mereka, dan mereka tidak mampu
menyatakan tuntutan apa pun di hadapan-Nya, sebab mereka telah mendengarkan-Nya berfirman :
Dan jangan mempersekutukan seorang pun dengan Tuhan dalam peribadatan. Dengan
kesaksian yang dimaksudkannya adalah kemanusiaan, dengan keuntungan adalah balas jasa,
dengan perolehan-perolehan adalah benda-benda material. Abu Bakr al-Wasithi berkata : Arti
perkataan Tuhan Maha Besar pada saat berdoa adalah Engkau terlalu besar untuk bisa
digabungkan dengan doa, atau untuk dipisahkan dengan jalan menghapuskan doa. Sebab,
pemisahan dan penyatuan itu bukan merupakan tindakan-tindakan (pribadi), melainkan menuruti
suatu ketetapan yang ditakdirkan di dalam kekekalan.Al-Junaid berkata : Janganlah hendaknya
tujuanmu dalam berdoa, melaksanakannya tanpa ikut bersenang dan berrgembira di dalam kesatuan
dengan Dia yang tak bisa didekati dengan alat apa pun kecuali lewat Dia sendiri. Ibn Atha berkata :
Janganlah hendaknya tujuanmu dalam berdoa, melaksanakannya tanpa rasa takjub dan hormat
kepada Dia yang telah melihat engkau melaksanakannya. Yang lain berkata : akna doa adalah
pelepasan dari segala rintangan, dan pemissahan dengan hakikat-hkikat. Rintangan-rintangan itu
adalah segala sesuatu yang selain Tuhan, hakikat-hakikat adalah segala sesuatu yang
dipersembahkan kepada Tuhan dan dari Tuhan. Yang lain berkata : Berdoa adalah menyatu. Saya
mendengar Faris berkata : Makna puasa adalah mangkir dari penglihatan manusia di dalam
penglihatan Tuhan. Sebab Tuhan berfirman di dalam kisah Maryam : Sesungguhnya aku telah
berjanji kepada Tuhan Yang Mahapengasih untuk berdiam diri, maka aku tiak akan berbicara
dengan siap pun pada hari ini. Yaiitu karena aku mangkir dari mereka di dalam penglihatan Tuhan,
dan karenanya aku tidak akan dapat, dalam keadaanku itu. Menggubris sesuatu yang bisa
membingungkan diriku atau melepaskanku dari Dia. Hal ini terbukti dalam perkataan Nabi :
Puasa itu suat penjagaan. Yaitu suatu selubung yang menutupi segala sesuatu kecuali Tuhan.
Tuhan pun berfirman : Puasa itu bagian-Ku, dan Aku akan memberi pahala untu itu. Salah
seorang tokoh Sufi berekata : Itu berarti, Aku yang menjadi pahala untuk itu. Abul Hasan ibn Abi
Dzarr berkata : Itu mengandung arti, marifat-Ku menjadi pahala bagi orang yang berpuasa.
Sudah tentu itu merupakan pahala yang cukup, sebab tidak ada sesuatupun yang dapat memperoleh
marifat Tuhan, atau bahkan mendekatinya saja. Saya mendengar Abul Hasan al-Hasani alHamadani mengatakan : Arti firman Tuhan Puasa itu bagian-Ku adalah bahwa hasrat-hasrat itu
meninggalkannya; yaitu pertama hasrat dari setan, kalau-kalau dia akan merusak-kannya, sebab
setan itu tidak berhasrat akan sesuatu yang menjadi milik Tuhan; yangg berikutnya adalah hasrat
dari jiwa, kalau-kalau jiwa itu menyombongkan diri, sebab jiwa itu hanya menyombongkan apa
yang menjadi miliknya; yang berikutnya lagi, hasrat dari musuh-musuh di dunia mendatang, sebab
mereka hanya mengambil apa yang menjadi milik manusia, bukan yang menjadi milik Tuhan.
Inilah arti firman Tuhan itu, sepanjang yang saya pahami.

Seorang tokoh Sufi berkata : Kesulitan penderitaan adalah keinginan akan kesenangan dan
pengharapan yang ditempatkan pada setiap tindakan pribadi, jika seseorang percaya kepada
kesenangan dan pengharapan itu, maka akibatnya adalah kesedihan; dan kesedihan yang
diperolehnya itu merupakan kesengan bagi musuh-musuhnya. Al-Nuri menulis :
Hari ini aku hampir mencapai tujuanku! aku berseru;
Sayang,.. tujuan yang hampir tercapai itu masih ssangat jauh.
Aku tak berjuang, tapi jatuh; tapi, untuk nerusaha
Dan kalah dalam perang, itu pun suatu pertempuran
Kini, segala harapan pupus, tapi kasih-Mu..
Akan selalu memberi ampun, sifat pemurah-Mu menyetujui;
Kalau tidak, maka surga kan kering; aku mesti terbuang.
Yang lain menulis :
Sungguh, bahwa aku memuja dan mengingat Engkau..
Dalam pengharapan akan pencapaian;
Begitu rindu anak-anak ketakmanatapan itu
Akan kesenangan yang sia-sia
Tuhan, bagaiman Wahyu-Mu yang cemerlang
Akan kutanggung,
Dan meninggalkan dunia ini, nan penuh selubung dan godaan
Dengan cara tak biasa?
Dia berkata : Jika dalam tindakan dan usahaku aku mencari pahala dan inilah yang dicari oleh
orang-orang yang berusaha dan bersusah payah mencari (mutu) ketuhanan itu --- bagaimana aku
akan memikirkan wahyu yang membawaku dari ketakutan akan kabr-kabar mengenai keadaankeadaan dan saat-saatku yang berubah, dan dari anggapan akan perbuatan-perbuatan serta usahausahaku sendiri, yang merupakan hal-hal yang menyelubungi diriku dari-Mu?
65.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI MENGAJAR ORANG LAIN
Seseorang berkata kepada Al-Nuri : Kapan seseorang itu boleh mengajar sesamanya? Dia
menjawab : Ketika dia telah memahami masalah ke-Tuhanan, pada waktu itu barulah dia boleh
mengajari hamba-hamba Tuhan; tapi kalau dia tidak memahami masalah ke-Tuhan-an, maka
penderitaan dirinya itu diderita pula oleh seluruh negeri, dan ditanggung oleh semua orang. Sirri
al-Saqathi berkata : Aku ingat ketika orang-orang datang kepadaku, dan aku berkata, Wahai
Tuhan! Berilah mereka pengetahuan yang akan menjauhan mereka dariku, sebab aku tidak suka
mereka datang kepadaku. Sahl berkata : Selama tiga puluh tahun aku berbicara dengan Tuhan,
dan orang-orang itu mengira aku berbicara dengan mereka. Al-Junaid berkata kepada Al-Syibli :
Kami mempelajari ilju ini sedalam-dalamnya, dan kemudian menyembunyikannya dalam ruanganruangan di bawah tanah; tapi engkau telah datang dan memamerkannya di atas kepala orang-orang
itu. Al-Syibli menyahut : Aku berbicara, dan aku mendengarkan; adakah sesuatu di dunia ini
selain diriku? Salah seorang tokoh besar Sufi berkata kepada Al-Junaid, ketika dia sedang berbicara
dengan orang-orang itu : Wahai Abul Qasim! Tuhan tidak senang kepada orang yang memiliki
satu pengetahuan tertentu sampai Dia melihat dia hidup dalam pengetahuan itu, tetaplah tinggal di
situ, tapi jika tidak, turunlah. Maka Al-Junaid bangkit, dan tidak berbicara dengan orang-orang
selama dua bulan. Sesudah itu dia muncul lagi dan berkata : Kalau bukan karena aku telah
mendengar Nabi berkata : Pada hari akhir pemimpin orang-orang itu akan menjadi yang paling
hina di antara mereka, maka aku tidak akan muncul di hadapanmu. Al-Junaid juga berkata : Aku
tidak pernah berbiicara dengan orang-orang itu, sampai tiga puluh orang yang paling terpandang itu
menunjukku, berkata : Engkau pantas memanggil (orang-orang lain) mendekati Tuhan.
Seseorang bertanya kepada salah seorang Sufi itu : Mengapa engkau tidak mengajar? Dia
menjawab : Inilah suatu dunia yang telah berbalik dan pergi; dan orang yang mengikuti dia yang
telah berbalik itu lebih terbelakang dari yang lain. Abu Mansur al-Panjakhini berkata kepada Abul

Qasim al-Hakim : Dengan tujuan apa aku mesti berbicara dengan orang-orang itu. Dia
menjawab : Aku tidak mengenal tujuan yang berkaitan dengan keingkaran, kecuali
meninggalkannya, Abu Usman Said ibn Ismail al-Razi minta izin kepada Abu Hafsh al-Haddad,
yang waktu itu menjadi gurunya, untuk mengajar orang-orang. Abu Hafs bertanya kepadanya :
Dan apa yang mendorongmu untuk berbuar itu? Dia menjawab : Aku kasihan terhadap mereka,
dan akan menasehati mereka. Yang lain bertanya : Apakah ukuran dari rasa kasihanmu terhadap
mereka? Dia menjawab : Jika aku ahu bahwa Tuhan akan menghukum diriku sebagai ganti semua
orang yang beriman kepada-Nya, dan akan membawwa mereka ke surga, aku akan merasa senang.
Maka Abu Hafs memberikan izin. Nah, diapu menghadapi ujian-ujian; dan ketika Abu Usman telah
menyelesaikan pelajarannya, seseorang berdiri untuk mengemis. Abu Usman mencegah orang itu
dengan memberikan baju yang dipakainya. Lalu Abu Hafs berkata : Engkau menipu, waspadalah
dalam mengajar orang-orang ini, selama hal itu masih ada dalam dirimu. Abu Usman bertanya :
Hal apa itu, tuan? Dia menjawab : Bukankah engkau begitu ingin untuk menasehati mereka. Dan
bukankah engkau ingin begitu ingin mengasihani mereka, sehingga engkau lebih suka kalau mereka
mendapatkan pahala lebih dahulu daripada engkau, dan engkau mengikuti mereka? Saya
mendengar penuturan yang berikut ini dari Faris, yang mendaptkannya dari Abu Amr al-Anmati dan
menyalaminya. Al-Junaid menyahut : Dan damai untukmmu, wahai Panglima Hati.
Berbicaralah! Al-Nuri berkata : Wahai Abul Qasim! Engkau telah menipu mereka, dan mereka
menempatkan engkau di atas mimbar; aku telah menasehati mereka dan mereka telah membuangku
ke tumpukan sampah. Al-Junaid berkata : Aku tidak pernah merasakan kesedihan melebihi
kesedihan waktu itu. Pada hari Jumat berikutnya dia datang pada kami dan berkata : Kalau
engkau melihat seorang Sufi mengejar orang-orang itu, ketahuilah bahwa dia kosong. Ibn Atha
berkata : Firman Tuhan, Dan katakanlah kepada mereka ucapan-ucapan yang bisa merasuk ke
dalam jiwa mereka. Yang berarti, (katakanlah kepada mereka) menurut kemampuan pemahaman
mereka dan batas akal mereka. Yang lain berkata : Firman Tuhan> Andaikata dia membaut-buat
sebagian perkataan atas nama Kami, niscaya Kami ikat persendiannya. Berarti jika dia telah
menatakan mengenai hal-hal ekstasis (spiritual) dari orang orang materialis, Penafsiran ini
dibenarkan dalam firman lain : katakan kepada mereka apa yang telah diturunkan kepadamu oleh
Tuhanmu. Tuhan tidak berfirman, Katakan kepada mereka sesuatu yang dengannya Kami
membuat diri Kami kamu kenal. Al-Husain al-Maghazili melihat Ruwaim ibn Muhammad sedang
mengajar orang-orang mengenai masalah kemelaratan; dia berhenti, dan berkata padanya :
Mengapa engkau kenakan pisau yang berkilau itu,
Yang dengan itu tak seorang pun pernah dikuliti?
Congkak nian engkau dengan senjata terhunus.
Pergi, ambillah gelang kaki yang tersepuh emas!
Dia bermaksud memerikan suatu keadaan yang belum pernah dialaminya. Salah seorang tokoh
besar Sufi berkata : Jika seseorng mengajar tanpa mengetahui arti yang di bicarakannya, dia mirip
seekor keledai dalam kepura-puraannya itu. Tuhan berfirman : Bagai keledai yang membawa
kitab-kitan tebal.
66.
MENGENAI KETAKWAAN DAN AMAL-AMALNYA
Al-Harits al-Muhasibi mendapat warisan dari bapaknya lebih dari 30.000 dinar, tapi tidak mau
menyentuhnya sepeser pun, dan mengatakan : Dia seorang Qadariah. Abu Usman berkata : Aku
sedang di rumah Abu Bakr ibn Abi Hanifah bersama Abu Hafs. Kebetulan kami memperkatakan
tentang seorang teman yang tidak hadir, dan Abu Hafs berkata : Jika aku memiliki secarik kertas,
akan ku tulis kepadanya. Aku berkata, Inilah, ada secarik. Saat itu Abu Bakr sedang pergi ke
pasar. Abu Hafs menyahut, Barangkali Abu Bakr telah meninggal dunia, tanpa kita ketahui, dan
kertas itu telah menjadi milik pewarisnya. Oleh karena itu dia tidak jadi menulis. Abu Usman juga
berkata : Aku sedang bersama Abu Hafs, ketika dia menyimpan sejumlah kismis. Aku mengambil
kismis itu dan memasukannya ke dalam mulutku. Dia tiba-tiba menyambar leherku dan berkata,

Engkau penipu, engkau makan kismisku. Aku menjawab. Aku yakin akan
ketidakhadiranmudalam masalah-masalah dunia ini, sebab aku tahu bahwa engkau tidak
memetingkan dirimu sendiri, dan karena itulah aku mengambil kismis itu. Dia menjawab : Wahai
orang tolo! Engkau mempercayai hati yang tidak dikuasai oleh tuannya! Saya mendengar banyak
dari syekh itu berkata : Syekh itu akan menghindar dari behubungan dengan orang yang melarat
dikarenakan salah satu dari ketiga alasan ini: Jika ddia melaksanakan perjalanan haji setelah
menerima uang dari orang lain: Jika dia pergi ke Khurasan; Dan jika dia memasuki Yaman. Mereka
mengatakan : Jika dia pergi ke Khurasan, dia melakukan hal itu hanya untuk memperoleh
kemudahan, dan di Khurasan tidak ada apa pun yang halal atau baik untuk dimakan; dan mengenai
Yaman, ada banyak jalan di sana menuju kerusakan, Abul Mughith tidak pernah beristirahat atau
tidur dengan berbaring, tapi sepanjang malam dia berdiri mendoa; dan setiap kali matanya terasa
letih, dia akan duduk dan meletakkan keningnya di atas lututnya, dan tidur sebentar. Seseorang
bertanya kepadanya : Berbaik hatilah terhadap dirimu sendiri. Dia menyahut : Tuhan yang Baik
belum berbuat baik kepadaku sehingga aku belum juga mendapatkan kemudahan. Apakah engkau
belum mendengar bahwa Tuhan Para Utusan itu berkata, Orang yang paling susah adalah para
Nabi, kemudian orang-orang yang benar-benar percaya, dan sesudah itu yang semacamnya dan
yang semacamnya. Dikatakan bahwa Abu Amr al-Zajjaji tinggal di Mekkah selam bertahun-tahun,
dan tidak pernah melaksanakan kebutuhan alamiahnya di daerah Haram, tapi selalu pergi keluar
untuk melakukan hal itu dan kemudian kembali dalam keadaan suci untuk beribadah. Saya
mendengar Faris menuturkan anekdot berikut ini : Abu Abdillah yang dikenal sebagai Syikthal,
tidak mau berbicara dengan orang-orang , tapi memencilkan diri di padang pasir di daerah Kufah,
tanpa makan apa-apa kecuali makanan yang dihalalkan. Aku bertemu dengannya pada suatu hari,
dan dengan mendekatinya aku berkata : Aku mohon kepadamu demi nama Tuhan, maukah engkau
mengatakan padaku apa yang mencegah dirimu dari megajar orang? Dia menyahut : Wahai
manusia! Kemaujudan ini bukan lain daripada suatu khayalsan di tengah hakikat, dan adalah tidak
sah bagi kita untuk berbicara mengenai sesuatu yang tidak mengandung hakikat. Dan mengenai
Yang Nyata itu, kata-kata tak mampu memerikannya; lalu apa gunanya mengajar? Kemudian
meninggalkanku dn belalu. Faris juga mengatakan kepadaku bahwa dia mendengar Al-Husain alMaghazili berkata : Aku melihat Abdullah al-Qasysya suatu malam berdiri di tepi sungai Tigris
dan berkata, Tuhanku, aku haus; Tuhanku, aku haus. Begitulah dia terus menerus sampai pagi;
lalu dia berkata Aduh! Engkau membuat sesuatu menjadi halal bagiku tapi mencegahku untuk
mengambilnya; dan Engkau membuat sesuatu haram bagiku tapi memberiku kebebasan untuk
mendapatkannya; lalu apa yang mesti kulakukan? Maka dia kembali, dan tidak minum. Saya
mendengar juga orang yang sama menuturkan bahwa dia mendengar seorang laki-laki melarat
berkata : Pada tahun sulit, aku berada bersama beberpa orang; aku meninggalkan mereka, dan
kemudian kembali dan memerinksa orang-orang yang luka. Aku melihat Abu Muhammad al-Jurairi,
yang waktu itu usianya lebih dari seratus tahun, dan berkata kepadanya : Tuan, mengapa engkau
tidak berdoa, agar (kesedihan) yang engkau lihat ini bisa dihilangkan? Dia menyahut : Aku telah
melakukan itu. Dan kemudian ia menambah kan : Sesungguhnya, aku melakukan apapun yang
hendak kulakukan. Aku mengulangi permohonanku kepadanya dan dia berkata : Saudaraku, ini
bukan waktunya berdoa, kini adalah waktu untuk patuh dan pasrah. Aku berkata kepadanya :
Apakah engkau membutuhakn sesuatu? Dia menjawab : Aku haus. Maka aku bawakan dia air,
dan dia mengambilnya serta ingin meminumnya, lalu dia melihat kepadaku dan berkata : Orangorang ini haus, dan aku minum. Tidak, itu keserakahan. Maka dia kembalikan air itu kepadaku dan
segera sesudah itu dia mati. Faris juga menuturkan bahwa dia mendenegar salah seorang sahabat
Al-Jurairi berkata : Selama dua puluh tahun aku tidak pernah memikirkan tentang makanan sampai
pemikiran akan hal itu dibawa ke dalam hatiku; dan selama dua puluh tahun aku melakukan
sembahyang fajar pada saat aku baru saja menyelesaikan sembahyang malamku, yang kedua; dan
selama dua puluh tahun aku tidak pernah memendekkan doa-doa-ku kepada Tuhan, karena takut
jangan-jangan Dia nanti akan membuktikan kesalahanku lewat mulutku sendiri. Selama dua puluh
tahun, lidahku hanya mendengarkan hatiku; Lalu keadaanku berubah, dan selama dua puluh tahun
hatiku hanya mendengarkan lidahku. Arti perkataannya, Lidahku hanya mendengarkan hatiku

adalah :Aku hanya berbicara atas dasar hakikat yang aku miliki. Dan hatiku hanya mendengarkan
lidahku adalah Tuhan menjadikan lidahku, seperti yang dituliskan dalam hadis (Qudsi): Lewat
Aku dia mendengar, lewat Aku dia melihat dan lewat Aku dia berbicara. Salah seorang Syekh kami
mengatakan kepada saya bahwa dia mendengar Muhammad ibn Sadan berkata : Selama dua
puluh tahunaku membaktikan diri kepada Abul Maghith dan tak sekali pun aku melihatnya
menyesali apa pun miliknya yang ketinggalan. Dikatakan bahwa Abul Sauda melaksanakan
perjalanan haji kecil enam puluh kali, dan Jafar ibn Muhammad alj-Khuldi lima puluh kali. Salah
seorang syekh kami saya cenderung beranggapan bahwa dia adalah Abu Hamzah al-Khurasani --melaksanakan perjalanan suci sepuluh kali demi Nabi, sepuluh kali demi para sahabat Nabi. Dan
satu kali perjalanan suci demi dirinya sendiri; dan dia berharap perjalanan-perjalanan sucinya yang
lain bisa membuat perjalanan sucinya sendiri diterima oleh Tuhan.
67.
MENGENAI ANUGERAH TUHAN KEPADA PARA SUFI DAN PERINGATANNYA
TERHADAP MEREKA LEWAT SUARA-SUARA GAIB
Abu Said al-Kharraz berkata : Pada mala Arafah, perasaan akan dekatnya Tuhan memutuskan
diriku dari hasrat untuk berdoa kepada Tuhan. Kemudian jiwaku menentangku agar aku berdoa
kepada Tuhan; dan aku mendengar sebuah suara berkaa : Setelah engkau menemukan Tuhan,
apakah engkau akan berdoa kepada yang selain Tuhan? Abu Hamzah al-Khurasani berkata :
Suatu saat, pada saat aku melaksanakan perjalanan haji, aku sedang berjalan sepanjang jalan itu
ketika tiba-tiba aku jatuh ke dalam sebuah sumur. Jiwaku menentangku agar berteriak minta tolong;
tapi aku berkata : Tidak, demi Tuhan, aku tidak akan berteriak! Aku baru saja akan selesai dengan
renungan itu ketika dua orang lewat di ujung sumur, dan salah seorang dari mereka berkata kepada
yang satunya : Mari kita isi mulut sumur ini agar rata dengan jalan . Maka mereka membawa
sebuah tongkat dan sebuah tikar alang-alang; aku tergerak untuk berteriak; lalu aku berkata :
Wahai Engkau yang lebih dekat kepadaku dibanding mereka! Dan aku merasa tenang ssampai
mereka selesai mengisi sumur dan pergi. Lalu aku melihat sebilah kaki tejuntai ke sumur dan
berkata, Tangkap aku dan pegang erat-erat. Maka aku memegangnya dan melihat bahwa ia adalah
seekor singa; dan aku mendengar sebuah suara berkata : Wahai Abu Hamzah, luar biasa! Kami
telah menyelamatkan engkau dari kebinasaan di dalam sumur lewat seekor singa. Salah seorang
sahabt kami bercerita kepada saya bahwa dia mendengar Abu Walid menuturkan kisah berikut ini :
Suatu hari sahabat-sahabat kami membawakan susu dan aku berkata : Itu akan mencelakakan
diriku. Lalu suatu hari aku berdoa kepada Tuhan dengan mangatakan : Wahai Tuhan,ampuni aku,
sebab Engkau tahu bahwa aku tidak pernah menyekutukan Engkau denagn Tuhan- tuhan lain,
walaupun hanya sekejap mata ! Aku mendengar sebuah suara berkata : Tidak juga pda malam hari
kisah susu itu? Abu Said al-Kharraz berkata : Suatu kali pernah aku berada di padang pasir dan
benar-benar kelaparan. Jiwaku menuntutku agar minta makanan kepada Tuhan; dan aku berkata :
Itu bukan tindakan orang yang mempercayai Tuhannya. Lalu jiwaku menuntutku agar aku berdoa
kepada Tuhan meminta kesabaran; dan ketika aku akan melakukan ini, aku mendengar sebuah suara
berkata :
Lihat, akulah malam! Dia berseru dengan congkak;
Tapi tak seorang pun pernah datang
Untuk mencari pertolongan kami ditolak,
Dan diusir dalam kehinaan.
Begitu lirih manusia kuasa itu menangis
Dalam kelemahan yang menyedihkan
Seakan-akan kami tak pernah terlihat
Olehnya, ataupun dia terlihat oleh kami.
Bahwa fenomena dari suara gaib itu asli, dipersaksikan oleh cerita berikut ini : Ketika mereka
ingin membasuh (tubuh) Nabi, mereka berselisih dengan mengatakan : Demi Tuhan, kami tidak
tahu apakah kai mesti melepaskan seluruh pakaian Nabi sebagaimana yang kami lakukan dengan

orang-orang mati lainnya di antara kami, atau kemi basuh beliau dengan pakaian masih menempel.
Ketika mereka sedang berselisih paham itu, Tuhan menidurkan mereka, hingga dagu setiap yang
hadir tersampir di atas dada mereka. Lalu sebuah suara yang ditujukan kepada mereka dari arah
Kabah, yang tak seorang pun tahu suara siapa itu, mengatakan : Basuhlah Nabi dengan
pakaiannya masih menempel.
68.
MENGENAI PERINGATAN TUHAN KEPADA MEREKA DENGAN PEMBERIAN WAWASAN
BATIN
Abul Abbas ibn al-Muhtadi berkata : Suatu kali pernah aku berada di padang pasir, dan
akumelihat seorang laki-laki berjalan di hadapanku dengan kaki telanjang dan kepala tanpa
penutup, dan dia tidak membawa dompet. Aku berkata kepada diriku sendiri : Bagaimana orang ini
berdoa ? Dia tidak memiliki kesucian, maupun doa. Orang itu berpaling kepadaku dan berkata :
Dia tau apa yang ada di dalam hatimu, karena itu takutlah padanya. Segera sesudah itu aku
pingsan; dan ketika sadar, aku mohon ampun kepada Tuhan akrena telah salah menganggap orang
itu. Dan ketika aku sedang berjalan sepanjag jalan itu, dia datang lagi di hadapanku; ketika aku
melihatnya, aku merasa takut, dan berhenti berjalan. Tapi dia berpaling kapdaku dan menyitir ayat
suci : Allahlah yang menerima tobat dari hamba-hamba-Nya dan mengampuni perbuatanperbuatan buruk mereka. Lalu dia menghilang, dan aku tidak pernah melihatnya lagi. Abul
Hasan al-Farisi mengatakan kepada saya bahwa dia mendengar Abul Hasan al-Muzayyin berkata :
Aku pergi sendirian ke apdang pasir dan memisahkan diri dari orang-orang. Ketika aku ada di AlUmaq, aku duduk di pinggir sebuah kolam di sana, dan jiwaku mulai berbicara kepadaku mengenai
cara dia memisashkan diri dari umat manusia, dan berkelana di padang pasir, dan suatu rasa bangga
merasukinya. Kemudian, lihat, Al-Kattani muncul di hadapanku === atau mungkin juga orang lain
saya masih ragu == di seberang kolam; dia memanggilku sambil berkata : Wahai tukang
melamun! Berapa lama engkau berbicara dengan dirimu sendiri mengenai hal-hal yang ssia-sia?
=== Juga diriwayatkan bahwa suara itu mengatakan : Wahai tukang melamun! Janganlah engkau
berbicara dengan dirimu sendiri mengenai hal-hal yang sia-sia. Dzul Nun berkata : Suatu kali
aku melihat seorang pemuda mengenakan baju rombengan dan jiwaku memberontak terhadapnya,
tapi hatiku berssaksi bahwa dia seorang wali. Maka aku pisahkan hatiku dari jiwaku, merenung.
Pemuda itu melihat apa yang ada dalam benakku, sebab dengan melihat kepadaku dia berkata :
Waai Dzul Nun, jangan melihat kepadaku dengan maksud untuk mengetahui sifatku. Mutiara itu
hanya bsia ditemukan di dalam kerangnya. Kemudian dia berpaling pergi seraya menyitir puisi :
Aku melihat dunia ditelantarkan dikarenakan kecongkakan,
Kerajaanku tak seorang pun mengurus;
Aku seorang pemuda berakal,
Aku mengenal nilai diriku dan nilai mereka,
Aku seorang pengausa dan raja.
Biar saja nasib tersenyum atau meerengut,
Sebab kebebasan selubungku
Kepuasan hati adalah pakaianku.
Wawasan kejiwaan itu merupakan suatu fenomena asli yang dipersaksikan oleh hadits berikut ini :
Takutlah pada wawasan orang yang beriman, sebab sesungguhnya dia melihat dengan cahaya
Tuhan.
69.
MENGENAI PERINGATAN TUHAN KEPADA MEREKA MELALUI PEMIKIRAN
Abu Bakr ibn Mujahid al-Muqri menuturkan kisah berikut ini. Abu Amr ibn al-Ala pada suatu hari
datang untuk memimpin para jamaah untuk berdoa. Waktu itu dia bukan seoarng imam, sehingga
dia harus didatangkan. Setelah melangkah, dia berkata kepada orang-orang itu : Tempatkan diri

kalian masing-masing. Lalu dia pingsan dn tidak sadar sampai keesokan harinya. Ketika
ditanyakan kepadanya mengenai hal ini dia berkata : Pada saat aku berkata pada kalian,
Tempatkan diri kalian msing-masing, suatu pemikiran dari Tuhan merasuki hatiku, seolah-olah
Tuhan berfirman kepadaku : Wahai hamba-Ku! Sudahkah engkau tempatkan dirimu bersamaku
kecuali hanya sekejap mata saja, dan engkau telah berani memerintah orang lain untuk
menempatkan diri mereka? Al-Junaid berkata : Suatu kali aku sakit, dan mohon pada Tuhan agar
Dia berkenan menyembuhkanku. Dia bersabda kepadaku di dalam kesadaranku : Jangan masuk di
antara Aku dan jiwamu. Salah seorang sahabt kami mendengar Muhammad ibn Sadan
menuturkan bahwa dia mendengar salah seorang tokoh besar Sufi berkata : Setiap kali aku tidur
sebentar, aku mendengar sebuah suara memanggilku dan berkata : Apakah engkau tidur dari-Ku?
Jika engkau tidur dari-Ku, sesungguhnya aku akan melecutmu dengan cambuk.
70.
MENGENAI PERINGATAN TUHAN KEPADA MEREKA LEWAT PENGLIHATAN DAN
MUKJIZAT
Abu Bakr Muhammad ibn Ghalib berkata kepada ssaya bahwa dia diberi tahu oleh Muhammad ibn
Khafif bahwa dia mendengar Abu Bakr Muhammad ibn Ali al-Kattani berkata : Aku menemui
Nabi seperti yang biasa ku lakukan == waktu itu adalah kebiasaannya untuk menemani Nabi pada
setiap Senin dan Kamis malam kalau dia ingin mengajukan beberapa pertanyaan yang akan dijawab
oleh Nabi. == dan aku melihat beliau datang kepadakau bersama empat orang. Lalu beliau berkata
kepadaku : Wahai Abu Bakr! Kenalkah engkau dengan orang ini? Aku menjawab : Ya. Itu Abu
Bakr. Beliau bertanya : Kenalkah engkau dengan orang ini? Aku menjawab : Ya, dia Usman,
Beliau berkata : Kenalkah engkau dengan orang yang keempat ini? Di situ aku ragu-ragu dan
tidak menjawab. Nabi mengulang pertanyaan itu dan aku tetap ragu-ragu; beliau bertanya untuk
yang ketiga kalinya dan aku tetap ragu-ragu, sebab aku cemburu kepadanya. Lalu Nabi
mengepalkan tangannya dan menunjuk aku dengan itu; lalu beliau melepaskan kepalannya dan
memukul dadaku sambil berkata : Wahai Abu Bakr, katakanlah! Inilah Ali ibn Abi Thalib. Nabi
kemudian mengenalkan diriku kepada Ali yang memegang tanganku dan mengatakan : Bangunlah
Abu Bakr, dan pergilah ke Al-Safa. Dan aku pergi ke Al-Safa bersamanya, sementara aku masih
tidur di kamarku; dan aku terbangun, dan lihat, aku berada di Al-Safa.
Amsnyur ibn Abdillah mengatakan kepada saya bahwa dia mendengar Abu Abdillah ibn al-Jalla
berkata : Aku memasuki kota Madinah dalam keadaan merasa lapar. Aku pergi ke kubur (Nabi)
dan memberi salam kepada Nabi dan kedua sahabt beliau, Abu Bakr dan Umar; lalu aku berkata :
Wahai Nabi Tuhan! Aku sedang merasa lapar dan aku menjadi tamumu malam ini. Lalu aku
berpaling ke samping dan tidur di antara batu kubur dan mimbar; dan lihat, Nabi mendatangiku dan
memberiku sepotong makanan. Aku memakannya separuh, lalu terbangun dan menemukan dalam
tanganku separuhnya lagi. Yusuf ibn al-Husain berkata : Kami sedang bersama seorang pemuda
yang telah mempelajari hadis sebelum dia selesai mempelajari Al-Quran, seseorang mendatanginya
ketika sedang tidur, dan berkata kepadanya :
Jika engkau tidak sebegitu jahat
Padaku, lalu mengapa kitabku engkau hinakan?
Pikirkanlah, jika engkau tidak buta,
Kata-kataku nan halus yang terkandung di situ.
Bahwa penglihatan itu merupakan suatu fenomena asli, dipersaksikan oleh kisah berikut yang
diceritakan oleh Al-Hasan al-Basri : Aku memasuki Masjid Basrah dan mendapati sejumlah
sahabat kami duduk di sana. Aku duduk bersama mereka dan mendengarkan mereka
memperkatakan seseorang, dan mempermalukan dia. Aku melarang mereka untuk memperkatakan
dia dengan membawakan berbagai hadis yang menuturkan tentang masalah pergunjingan yang
kudengar sebagai berasal dari Nabi dan Isa Putra Maryam. Orang-orang itu kemudian menahan diri
dan mulai membicarakan masalah lain; tapi tak lama kemudian nama orang itu muncul lagi, dan
mereka kembali membicarakannya sedang aku ada bersama mereka. Lalu mereka pergi ke rumah

mereka masing-masing dan aku kembali ke rumahku sendiri. Ketika aku tidur, seorang laki-laki
hitam datang dalam mimpiku. Ia memegang sebuah mangkuk anyaman yang diatasnya ada sekerat
daging babi. Dia berkata kepadaku : Makan. Aku berkata : Aku tidak mau makan, ini adalah
daging babi. Dia berkata : Makan Aku berkata : Aku tak mau makan, itu daging babi yang
haram. Dia berkata : Engkau harus memakannya. Lagi-lagi aku menolaknya. Lalu dia membuka
rahangku dan memasukan daging itu ke mulutku, dan aku mulai mengunyahnya sementara dia terus
berdiri di hadapanku; aku takut membuangnya, tapi aku tidak juga mau menelannya. Dalam
keadaan itu aku bangun; dan sejak saat itu selama tiga puluh hari tiga puluh malam tak sesuatu pun
kuminum atau kumakan mendatangkan kesenangan bagiku, sebab aku merasakan dalam mulutku
rasa daging itu dan membauinya dengan hidungku.
71.
KARUNIA TUHAN KEPADA MEREKA YANG TIMBUL DARI RASA CEMBURUNYA
Sejumlah orang datang untuk mengunjungi Rabiah ketika perempuan itu sedang menderita suatu
penyakit. Mereka berakta kepadany : Bagaimana keadaanmu? Dia menjawab : Demi Tuhan, aku
tidka tahu sebab penyakitku, kecuali bahwa surga dipamerkan dihadapanku dan aku merindukan itu
di dalam hatiku; dan aku menganggap bahwa Tuhanku cemburu kepadaku, dan karena itu
menyalahkan diriku. Hanya Dia yang dapat membahagiaanku. Al-Junaid berkata : Aku datang
pada Sirri al-Saqathi dan mendapatkan sepotong mangkuk yang pecah di dalam kamarnya. Aku
berkata kepadanya : Apakah ini? Dia menyahut : Kemarin dulu, putriku yang masih kecil
membawakan sepoci air untukku, dan berkata kepadaku, Ayah, poci itu tergantung di sini; kalau
sudah dingin, minumlah, sebab malam ini panas sekali. Ketika aku jatuh tertidur. Aku elihat
seorang perempuan cantik masuk ke kamarku dan aku berkata, Siapakah engkau? Dia menyahut :
Hamba-Nya yang tidak minum air dingin dari pooci. Lalu dia menyambar poci itu dengan
tangannya dan poci itu pun pecahlah; dan inilah poci yang engkau lihat. Poci itu tetap tinggal di
tempat yang sama, tanpa dipindah-pindahkan, sampai tertutup debu.
Al-Mujayyin berkata : Sekali waktu aku pernah tinggal di sebuah tempat di padang pasir selama
tujuh hari, tanpa ada sesuatu pun yang masuk ke mulutku. Kemudian seseorang mengundangku ke
rumahnya dan menawarkan kepdaku kurma dan roti; tapi aku tidak dapat makan. Ketika malam
hari, aku merasa ingin makan, maka aku mengambil biji kurma dan kucoba itu untuk membuka
mulutku. Biji itu mematahkan gigiku. Salah seorang di antara gadis-gadis di rumah itu berseru :
Ayah, berapa banyak tamu kita yang makan malam ini? Aku menjawab : Tuhanku, aku kelaparan
selama tujuh hari, dan kini Engkau iri hati kepadaku. Terwujudlah kehendak-Mu, aku tidak akan
menikmatinya.
Ahmad ibn al-Salim berkata : Sekali waktu aku sedang berjalan di sepanjang jalan menuju
Mekkah, ketika aku mendengar seseorang berseru, Wahai manusia Tuhan, milik Tuhan! Aku
berkata. Apakah yang menyakitkanmu? Dia menyahut : Ambillah dariku dirham-dirham ini; aku
tidak dapat mengingat Tuhan selama uang itu ada padaku Maka aku mengambil uang itu darinya;
dan dia berseru; Tuhan, inilah aku, di sinilah aku! Waktu itu, uang itu berjumlah empat belas
dirham. Abul Khair al-Aqtha suatu kali pernah ditanya apa sebab tangannya terpotong. Dia
berkata : Aku sedang berada di Gunung Lukkam, atau mungkin di Libanon, bersama seorang
temanku. Lalu datanglah seseorang yang merupakan wakil pemerintah, sedang membagikan dinar.
Dia memberiku satu dinar, dan aku membuka tanganku, dia pun menempatkan dinar itu di atasnya,
lalu aku menjatuhkan dinar itu ke pangkuan temanku dan berdiri. Satu jam kemudian para opsir
pemerintah mencari maling; dan mereka menahanku dan memotong tanganku.
Keaslian fenomena dipersaksikan ooleh Hadis Nabi :
Tuhan melindungi hamba-hamba-Nya dari dunia ini, Jika dia mencintai-Nya, bahkan seperti ketika
engkau melindungi dirimu yang sakit.
72.

KARUNIA TUHAN BERUPA KESULIAN-KESULITAN YANG HARUS MEREKA


TANGGUNG
Faris mengatakan kepada saya bahwa dia mendengar Abul Hasan al-Alawi, murid Ibrahim alKhawwas, berkata : Aku melihat al-Khawwas berada dalam suatu masjid di kota Dinawar, duduk
di tengah-tengahnya, sementara salju berjatuhan di badannya. Tergugah rasa kasihanku kepadanya,
maka aku berkata kepadanya : Bagaimana jika engkau pindahkan atap itu? Dia menyahut,
Tidak Lalu dia menyitir :
Jalan menuju Mu, jelas dan lebar,
Sebab, tak seorang pun yang mencari-Mu memerlukan penunjuk
Dalam dinginnya musim dingin Engkaulah musim semiku,
Dalam panasnya musimm panas,
Engkaulah penutup tubuhku.
Lalu dia berkata kepadaku : Berikan kepadaku tanganmu. Aku berikan kepadanya tanganku dan
dia menempatkannya ke dalam bajunya, dan lihat, dia berkeringat. Saya mendengar Abul-Hasan
al-Farisi berkata : Aku sedang berada di suatu padang pasir, ketika aku merasa sangat haus,
sehingga karena lemahnya badanku, aku tidak mampu berjalan. Aku tahu bahwa sebelum seseorang
mati kehausan, matanya berair; oleh karena itu aku duduk, menunggu mataku berair. Tiba-tia ku
dengar sebuah suara. Aku melihat berkeliling, lalu menampak seekor ular putih, bersinar bagai
perak murni,d an bergerak cepat sekali ke arahku. Aku merasa takut hingga berjingkrak karenanya,
yang malah mendatangkan kekuatan dalam diriku. Setelah lepas dari kelemahan badanku, aku mulai
berjalan, sedang ular itu berdesis di belakangku. Aku terus berjalan, sampai tiba di tempat air, lalu
suara itu hilang. Aku berpaling berkeliling dan tak dapat melihat ular itu; aku minum air itu, dan
aku selamat. Sekarang, kapan saja aku menderita kesedihan atau penyakit, segera setelah aku
melihat ular itu di dalam mimpiku, aku mengenalinya sebagai suatu tanda bahwa kesedihanku telah
teratasi dan penyakitku hilang.
73.
KARUNIA TUHAN KEPADA MEREKA KETIKA MEREKA MENINGGAL DN SESUDAHNYA
Abul-Hasan, yang disebut sebagai Qazzaz, berkata : Kami sedang ada di Fajj, ketika seorang
pemuda tampan mendatangi kami dengan mengenakan pakaian dari kulit kambing yang sudah
terlalu usang. Dia menyalami kami dan berkata : Adakah tempat yang besih di sini untukku
menanti ajal? Kami sangat terkejut tapi mengtataakan bahwa temapt itu ada, dan menunjukkan
baginya jalan ke sebuah sumur di dekat situ. Dia pergi dan membersihkan dirinya, dan berdoa
sebentar. Kami menunggu dia selama satu jam, dan ketika dia tidak balik lagi kami mendatanginya,
dan mendapai tdia telah meninggal dunia. Para sahabat Sahl ibn Abdillah menuturkan bahwa ketika
Sahl sedang disucikan di atas tandu jenazah, dia melihat jari telunjuknya yang di tangan kanan
menegang dan menunjuk-nunjuk. Abu Amr al-Istakhri berkata : Aku melihat Abu Turab alNakhsyabi di padang pasir, berdiri, mati, tanpa sesuatu pun menopangnya. Ibrahim ibn Syaiban
berkata : Seorang murid datang ke rumahku dan sakit di sana, lalu mati. Setelah dia dimasukan ke
kubur, aku ingin membuka pipinya dari kain yang menyelubunginya dan menempatkannya di atas
tanah sebagai suatu tanda akan kesederhanaan, sehingga mungkin Tuhan akan berbelas kasihan
terhadapnya. Dia tersenyum memandang wajhku dan berkata : Apakah engkau merendahkan
diriku di hadapan Dia yang menghabiskan waktu berssamaku? Aku menjawab : Tidak, kawanku;
apakah memang kehidupan sesudah kematian itu ada? Dia menyahut : Tidakkah engkau tahu
bahwa karib-karib-Nya tidak mati, melainkan dipindahkan dari satu tempat ke tampat lain? Ibrahim
ibn Syaiban juga berkata : Aku mengenal seorang pemuda di kampungku, yang saleh dan tidak
pernah meninggalkan masjid, dan aku senang sekali kepadanya. Suatu hari da jatuh sakit. Pada
suatu hari Jumat aku pergi ke kota untuk berdoa; dan sudah menjadi kebiasaanku, setiap kali aku
pergi ke kota, melewatkan waktu siang malam bersama saudara-saudaraku. Setelah tengah hari aku
merasa gelisah, maka aku kembali ke kampung ketika senja menjelang. Aku mencari pemuda itu

dan orang-orang berkata, Kami kira dia sedang kesakitan. Aku pergi mendatanginya lalu
menyaaminya, dan berjabat tangan dengannya; dan ketika kami sedang berjabat tangan dia
meninggal. Lalu aku mendahului orang lain untuk menyucikan dirinya, dan tanpa sengaja
menuangkan air ke tangan kirinya, bukannya tangan kanannnya; tangannya dijauhkan dari diriku
dan daun bunga seroja yang ada di atasnya jatuh. Orang-orang di dekatku pingsan. Dia membuka
matanya dan memandang kepadaku, dan aku sangat terkejut, lalu berdoa untuknya. Lalu aku
memasuki kuburan untuk menutupi tubuhnya; dan ketika aku membuka wajahnya, dia membuka
matanya dan terrsenyum, sampai gigi-gigi geraham dan gigi serinya kelihatan. Maka kami
menutupkan tanah rapat-rapat ddi atasnya dan menaburkan debu di atasnya.
Bahwa ini merupakan suatu fenomena yang asli, dipersaksikan oleh kisah berikut ini : Al-Rabi ibn
Khirasy telah bersumpah bahwa dia tidak akan tertawa lagi, sampai dia tahu apakah dia da di surga
atau neraka. Maka begitulah dia menunaikan sumpahnya dan tak seorang pun melihatnya tertawa,
ssampai dia meninggal. Mereka menutupkan matanya dan menutupi tubuhnya; kemudian mereka
memerintahkan gara kubur digali dan kain pembungkusnya di bawa ke situ. Saudaranya, Rabi
berkata : Saudara kami selalu berjaga sepnjang malam, dan berpuasa sepanjang hari yang panas.
Ketika mereka duduk di sekitarnya, kain itu dibukakan pada wajhnya, dan dia menyapa mereka
dengan sebuah senyumman. Saudaranya, Rai bertanya : Saudaraku, adakah kehidupan sesudah
kematian? Dia menyahut : Ya, aku telah bertemu Tuhanku, dan Dia menerima ku dengan tenang
dan ridha, dan Dia bukanlah Tuhan yang pemrah. Dia telah memakaikan bagiku baju dari sutera dab
brokat, dan aku telah menemukan bahwa hal itu lebih mudah daripada yang kalian sangka, maka
janganlah kalian tertipu. Dan sekrang kawanku, Muhammad, menantiku untuk berdoa bagiku, oleh
karena itu bercepatlah, segerakanlah! Lalu, ketika dia telah selesai berbicara, nafasnya putus,
bagaikan suara batu koral yang dilemparkan ke dalam air. Kisah ini dituturkan kepada Aisyah,
Ummul Mukminin (Ibu orang-orang beriman); dan dia berkata : Seorang saudara dari pura-putra
suku Aibs, semoga Tuhan berbelas kasih terhadap jiwanya. Akumendengar Nabi berkata :
Seseorang di antara umatku akan berbicara setelah dia maninggal, salah seorang dari pengikutku
yang terbaik.
74.
MENGENAI KARUNIA-KARUNIA LAIN YANG DIBERIKAN KEPADA MEREKA
Abu Bakr al-Qahtabi berkata : Aku sedang berada dalam pertemuan dengan Sumnun, ketika
seseorang berdiri dan menanyakan tentang cinta, dia berkata : Aku tidak mengenal seorang pun
hari ini yang kepadanya aku merasa bebas berbicara mengenai hal ini, dan yang akan bisa
memahaminya. Pada saat itu seekor burung hinggap di atas kepalanya dan jatuh di atas lututnya
dan berkata, Jika ada, inilah dia! Maka dia mulai berbicara, menunjuk kepada burung itu : Aku
telah mendengar begini dn begitu mengenai keadaan orang-orang itu, dan mereka mengalami ini
dan itu, dan berada dalam keadaan begini dan begitu. Begitulah dia terus berbicara dengan burung
itu, sampai burung itu jatuh dari lututnya dan mati.
Abu Bakr ibn Mujahid menuturkan bahwa Ahmad ibn Sinan al-Aththar berkata bahwa dia
mendengar salah seorang dari kawan-kawannya berkata : Suatu hari aku pergi ke Wasith dan
melihat seekor burung putih di tenga perairan, mengatakan : Tuhan dimuliakan di atas kealpaan
manusia. Al-Junaid berkata : Aku bertemu dengan seorang murid yang masih muda duduk di
bawah pohon di apdang pasir, dan aku berkata kepadanya, Anak muda, mengapa engkau duduk di
sini? Dia menjawab : Aku mencari sesuatu yang hilang. Aku pergi meninggalkannya; dan ketika
aku telah agak menjauh darinya. Lagi-lagi aku melihatnya, sebab ddia telah dipindahkan ke suatu
tempat di dekatku. Aku bertanya kepadanya : Mengapa engkau duduk di sini sekarang? Dia
menjawab : Aku telah menemukan sesuatu yang membuatku mencari di tempat ini, dan karenanya
aku terus mengikutinya. Dan aku tidak tahu yang mana di antara kedua keadaan orang itu yang
lebih mulia, pencariannya akan keadaannya, atau ketetapannya untuk berada terus di tempat dia
mendpatkan keinginannya.

Abu Abdillah Muhammad ibn Sadah menuturkan baha dia mendengar salah seorang tokoh besar
Sufi berkata : Suatu hari aku duduk di seberang Kabah, ketika aku mendengar suara ribut yang
meratap-ratap kelaur dari banguna itu, mengatakan : Wahai tembok! Jauhkan dirimu dari para Wali
dan Karibku; sebab barang siapa mengunjungimu, maka sesungguhnya ia mengelilingi dirimu, tapi
barangsiapa mengunjungi Aku, maka sesungguhnya ia berada dalam kehadiranku.
75.
MENGENAI AUDISI (SAMA)
Audisi adalah suatu istilah setelah masa bersusah-payah (Ruhaniah), dan suatu hiburan bagi mereka
yang mengalami keadaan-keadaan ke (jiwa)an, juga sebagai suatu sarana untuk membangunkan
kesadarn orang-orang yang menyibukkan diri mereka dengan hal-hal lain. Audisi lebih banyak
diartikan demikian dariapda masa istirahat dari hal-hal alamiah, karena jiwa itu tidak mungking
cenderung kepadanya atau beristirahat di situ; Sebab dia datang dan pergi menurut ketentuan Tuhan.
Para Sufi, yang menikmati ilham dan pengalaman langsung tidak membutuhkan bantuan-bantuan
semacam itu, sebab mereka memiliki sarana yang akan membawa hati mereka berjalan di taman
ilham.
Saya mendengar Faris berkata : Aku sedang bersama Quthah al-Maushili, yang telah tinggal
selama empat puluh tahun di dekat tiang di masjid Baghdad. Kami berkata kepadanya : Inilah
penyanyi yang baik itu. Mestikah kami panggil dia untukmu? Dia menyahut : Masalahku terlalu
menyedihkan sehingga tak seorang pun bisa membebaskan ku dan tak satu kata pun bisa merasuk
ke dalam diriku. Aku terlalu kebal.
Kalau Audisi itu menembus telinga, dia menggerakkan segala sesuatu yang ada dalam hati; dan
orang itu akan bingung, karena dia terlalu lemah untuk menerima rahmat itu, atau keadaan
kejiwaannya memberinya kekuatan untuk mengatasi dirinya sendiri. Abu Muhammad Ruwaim
berkata : Orang-orang itu mendengar Dzikr pertama mereka ketika Tuhan berfirman, ditujukan
kepada mereka Tidakkah Aku ini Tuhanmu? Dzikr itu mereka sembunyikan di dalam hati, bakan
saat fakta (yang dberitakan) itu tersimpan dalam akal mereka. Maka, ketika mereka mendengar
(seorang Sufi) ber-dzikr, rahasia-rahasia yang ada dalam hati mereka muncul, dan mereka dipaksa,
bahkan saat rahasia-rahasia akal mereka muncul ketika Tuhan memberi tahu mereka mengenal hal
ini, dan mereka percaya.
Saya mendengar AbulQasim al-Baghdadi berkata : Audisi ada dua macam. Tingkat yang satu
adalah orang yang mendengarkan pelajaran-pelajaran dan dari situ mengambil suatu nasihat; orang
yang semacam itu hanya mendengarkan yang dibutuhkannya saja dan dengan menyertakan hatinya
di situ. Tingkat yang satunya lagi mendengarkan musik yang merupakan makanan bagi jiwa; dan
ketika jiwa itu mendapatkan makanannya, maka dia pun mecapai keadaannya yang sepatutnya, dan
menyingkir dari perintah jasmani; dan kemudian muncullah di dalam diri orang yang mendengar itu
suatu keributan dan suatu pergerakan.
Abu Abdillah al-Nibaji berkata : Audisi menggerakkan pikiran dan mendatangkan nasihat; yang
selebihnya adalah suatu godaan. Al-Junaid berkata : Belas kasih (Tuhan) diturunkan kepada orang
melarat lewat tiga cara : Ketika dia makan, sebab dia hanya makan kalau sedang lapar; Ketika dia
berbicara, sebab dia hanya berbicara kalau dia merasa terpaksa; dan pada saat audisi, sebab dia
hanya mendengarkan dalam keadaan Eksstase.
SEPANJANG, Sabtu : 26-10-2013

Você também pode gostar