Você está na página 1de 11

Tatalaksana Pada Pasien

Ceftriaxone
Ceftriaxone diabsorpsi lengkap setelah pemberian IM dengan kadar plasma
maksimum rata-rata antara 2-3 jam setelah pemberian. Dosis multipel IV atau IM
dengan interval waktu 12-24 jam, dengan dosis 0,5-2g menghasilkan akumulasi
sebesar 15-36 % diatas nilai dosis tunggal.
Sebanyak 33-67 % ceftriaxone yang diberikan, akan diekskresikan dalam uring
dalam bentuk yang tidak diubah dan sisanya diekskresikan dalam empedu dan
sebagian kecil dalam feses sebagai bentuk inaktif. Setelah pemberian dosis 1g IV,
kadar rata-rata ceftriaxone 1-3 jam setelah pemberian adalah : 501 mg/ml dalam
kandung empedu, 100 mg/ml dalam saluran empedu, 098 mg dalam duktus
sistikus, 78,2 mg/ml dalam dinding kandung empedu dan 62,1 mg/ml dalam
plasma.
Setelah pemberian dosis 0,15-3g, maka waktu paruh eliminasinya berkisar antara
5-8 jam, volume distribusinya sebesar 5,70-13,5 L, klirens plasma 0,50-1,45
L/jam dan klirens ginjal 0,32-0,73 L/jam.
Ikatan protein ceftriaxone bersifat reversibel dan besarnya adalah 85-95 %.
Ceftriaxone menembus selaput otak yang mengalami peradangan pada bayi dan
anak-anak dan kadarnya dalam cairan otak setelah pemberian dosis 50 mg/kg dan
75 mg/kg IV, berkisar antara 1,3-18,5 ug/ml dan 1,3-44 ug/ml
Dibanding pada orang dewasa sehat, farmakokinetik ceftriaxone hanya sedikit
sekali terganggu pada usia lanjut dan juga pada pasien dengan gangguan fungsi
ginjal/hati, karena itu tidak diperlukan penyesuaian dosis.

Farmakodinamik
Efek bakterisida ceftriaxone dihasilkan akibat penghambatan sintesis dinding
kuman. Ceftriaxone mempunyai stabilitas yang tinggi terhadap beta-laktanase,

baik terhadap penisilinase maupun sefalosporinase yang dihasilkan oleh kuman


gram-negatif, gram-positif.

Indikasi Dan Cara Penggunaan


Ceftriaxone diindikasikan untuk pengobatan pada infeksi-infeksi dibawah ini yang
disebabkan oleh mikroorganisme yang sensitif seperti :

Infeksi saluran napas bawah


Infeksi kulit dan jaringan lunak
Goneore tanpa komplikasi
Penyakit radang rongga panggul
Septikemia bakterial
Infeksi tulang dan sendi
Infeksi intra-abdominal
Meningitis

Kontraindikasi
Ceftriaxone dikontraindikasikan pada pasien dengan riwayat alergi terhadap
golongan cephalosporin.

Efek Samping
Secara umum ceftriaxone dapat ditoleransi dengan baik. Efek samping yang dapat
ditemukan adalah :

Reaksi lokal : Sakit, indurasi atau nyeri tekan pada tempat suntikan dan

phlebitis setelah pemberian intravena.


Hipersensitivitas : Ruam kulit dan kadang-kadang pruritus, demam atau

menggigil
Hematologik : Eosinofilia, trombositosis, lekopenia dan kadang-kadang
anemia, anemia hemolitik, netropenia, limfopenia, trombositopenia dan

pemanjangan waktu protrombia.


Saluran cerna : Diare dan kadang-kadang mual, muntah, disgeusia.

Hati : Peningkatan SGOT atau SGPT dan kadang-kadang peningkatan

fosfatase alkali dan bilirubin.


Ginjal : Peningkatan BUN dan kadang-kadang peningkatan kreatinin serta

ditemukan silinder dalam urin.


Susunan saraf pusat : Kadang-kadang timbul sakit kepala atau pusing.
Saluran kemih dan genital : Kadang-kadang dilaporkan timbulnya
monitiasis atau vaginitis

Dosis Dan Cara Pemberian


Ceftriaxone dapat diberikan secara intravena atau intramuskular
Dewasa : Dosis lazim harian untuk orang dewasa adalah 1-2g sekali sehari (atau
dibagi dalam 2 dosis) tergantung dari jenis dan beratnya infeksi. Dosis total harian
tidak boleh melebihi 4g. Untuk pengobatan infeksi gonokokal tanpa komplikasi,
dosis yang dianjurkan adalah 250 mg intramuskular sebagai dosis tunggal, untuk
profilaksis opersai, dosis yang dianjurkan adalah 1g sebagai dosis tunggal dan
diberikan 0,5-2 jam sebelum operasi.
Anak-anak : Untuk pengobatan infeksi kulit dan jaringan lunak, dosis total harian
yang dianjurkan adalah 50-75 mg/kg sekali sehari (atau dibagi 2 dosis), dosis total
harian tidak boleh melebihi 2g. Untuk pengobatan meningitis dosis harian adalah
100 mg/kg dan tidak boleh melebihi 4g, dosis diberikan dengan atau tanpa dosis
muat 75mg/kg
Keterangan Umum Dosis : Secara umum terapi dengan ceftriaxone harus
dilanjutkan paling tidak 2 hari setelah tanda dan gejala infeksi menghilang. Lama
pengobatan terapi umumnya adalah 4-14 hari, dimana pada infeksi yang disertai
dengan komplikasi terapi yang diperlukan akan lebih lama.

Methylprednisolone
Farmakologi:

Metilprednisolon merupakan kortikosteroid dengan kerja intermediate yang


termasuk kategori adrenokortikoid, antiinflamasi dan imunosupresan.

Adrenokortikoid:
Sebagai adrenokortikoid, metilprednisolon berdifusi melewati membran dan
membentuk komplek dengan reseptor sitoplasmik spesifik. Komplek tersebut
kemudian memasuki inti sel, berikatan dengan DNA, dan menstimulasi rekaman
messenger RNA (mRNA) dan selanjutnya sintesis protein dari berbagai enzim
akan bertanggung jawab pada efek sistemik adrenokortikoid. Bagaimanapun, obat
ini dapat menekan perekaman mRNA di beberapa sel (contohnya: limfosit).
Efek Glukokortikoid:
Anti-inflamasi (steroidal)
Glukokortikoid menurunkan atau mencegah respon jaringan terhadap proses
inflamasi,

karena

itu

menurunkan

gejala

inflamasi

tanpa

dipengaruhi

penyebabnya.
Glukokortikoid menghambat akumulasi sel inflamasi, termasuk makrofag dan
leukosit pada lokasi inflamasi. Metilprednisolon juga menghambat fagositosis,
pelepasan enzim lisosomal, sintesis dan atau pelepasan beberapa mediator kimia
inflamasi. Meskipun mekanisme yang pasti belum diketahui secara lengkap,
kemungkinan efeknya melalui blokade faktor penghambat makrofag (MIF),
menghambat lokalisasi makrofag: reduksi atau dilatasi permeabilitas kapiler yang
terinflamasi dan mengurangi lekatan leukosit pada endotelium kapiler,
menghambat pembentukan edema dan migrasi leukosit; dan meningkatkan
sintesis lipomodulin (macrocortin), suatu inhibitor fosfolipase A2-mediasi
pelepasan asam arakhidonat dari membran fosfolipid, dan hambatan selanjutnya
terhadap sintesis asam arakhidonat-mediator inflamasi derivat (prostaglandin,

tromboksan dan leukotrien). Kerja immunosupresan juga dapat mempengaruhi


efek antiinflamasi.
Immunosupresan
Mekanisme kerja immunosupresan belum dimengerti secara lengkap tetapi
kemungkinan dengan pencegahan atau penekanan sel mediasi (hipersensitivitas
tertunda) reaksi imun seperti halnya tindakan yang lebih spesifik yang
mempengaruhi respon imun, Glukokortikoid mengurangi konsentrasi limfosit
timus (T-limfosit), monosit, dan eosinofil. Metilprednisolon juga menurunkan
ikatan immunoglobulin ke reseptor permukaan sel dan menghambat sintesis dan
atau pelepasan interleukin, sehingga T-limfosit blastogenesis menurun dan
mengurangi perluasan respon immun primer. Glukokortikoid juga dapat
menurunkan lintasan kompleks immun melalui dasar membran, konsentrasi
komponen pelengkap dan immunoglobulin.

Pengobatan:

Asma bronkial
Berillosis
Sindrom Loeffler (pneumonitis eosinofil atau sindrom hipereosinofil).
Pneumonia aspirasi.
Sarkoidosis simptomatik.
Tuberkulose paru-paru yang tersebar atau fulminant (pengobatan
tambahan): diberikan bersamaan dengan kemoterapi anti tuberkulosa

yang sesuai.
Bronkitis asmatik akut dan kronik.
Edema pulmonari nonkardiogenik (disebabkan sensitivitas protamin):

pengobatan sebaiknya diberikan dalam injeksi i.v. atau i.m.


Hemangioma, obstruksi saluran nafas pada anak: pengobatan

sebaiknya diberikan dalam injeksi i.v. atau i.m.


Pneumonia, pneumosistitis carinii, yang berhubungan dengan sindrom

immunodefisiensi yang diperoleh (pengobatan tambahan).


Pada penderita AIDS atau yang mengidap infeksi HIV yang terkena
pneumonia pneumocystis.

Penyakit paru-paru, obstruksi kronis (yang tidak dapat dikontrol

dengan teofilin dan -adrenergik agonis).


Status asmatikus: pemberian harus secara i.v. atau i.m.
Pengobatan shock: akibat insufisiensi adrenokortikal.
Pengobatan tiroiditis non supuratif.

Indikasi:
Abnormalitas fungsi adrenokortikal, penyakit kolagen, keadaan alergi dan
peradangan pada kulit dan saluran pernafasan tertentu, penyakit hematologik,
hiperkalsemia sehubungan dengan kanker.

Kontraindikasi:

Infeksi jamur sistemik dan pasien yang hipersensitif.


Pemberian kortikosterooid yang lama merupakan kontraindikasi pada
ulkus duodenum dan peptikum, osteoporosis berat, penderita dengan

riwayat penyakit jiwa, herpes.


Pasien yang sedang diimunisasi.

Dosis:

Dewasa:

Dosis awal dari metilprednisolon dapat bermacam-macam dari 4 mg - 48 mg


per hari, dosis tunggal atau terbagi, tergantung keadaan penyakit.
Dalam multiple sklerosis:
Oral 160 mg sehari selama 1 minggu, kemudian 64 mg setiap 2 hari sekali
dalam 1 bulan.

Anak-anak:

Insufisiensi - adrenokortikal:

Oral 0,117 mg/kg bobot tubuh atau 3,33 mg per m2 luas permukaan tubuh
sehari dalam dosis terbagi tiga.

Indikasi lain:

Oral 0,417 mg - 1,67 mg per kg berat tubuh atau 12,5 mg - 50 mg per m2 luas
permukaan tubuh sehari dalam dosis terbagi 3 atau 4.

Efek samping:
Efek samping biasanya terlihat pada pemberian jangka panjang atau
pemberian dalam dosis besar, misalnya gangguan elektrolit dan cairan tubuh,
kelemahan otot, resistensi terhadap infeksi menurun, gangguan penyembuhan
luka, meningkatnya tekanan darah, katarak, gaangguan pertumbuhan pada
anak-anak, insufisiensi adrenal, cushing syndrome, osteoporosis, tukak
lambung.

Peringatan dan perhatian:

Tidak dianjurkan untuk wanita hamil dan menyusui, kecuali memang


benar-benar dibutuhkan, dan bayi yang lahir dari ibu yang ketika hamil
menerima terapi kortikosteroid ini harus diperiksa. Kemungkinan adanya

gejala hipoadrenalism.
Pasien yang menerima terapi kortikosteroid ini dianjurkan tidak
divaksinasi terhadap smallpox, juga imunisasi lain terutama yang
mendapat dosis tinggi, untuk mencegah kemungkinan bahaya komplikasi

neurologi.
Tidak dianjurkan untuk bayi dan anak-anak, karena penggunaaan jangka

panjang dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak.


Jika kortikosteroid digunakan pada pasien dengan TBC latent atau Tuber
Culin Reactivity perlu dilakukan pengawasan yang teliti sebagai

pengaktifan kembali penyakit yang dapat terjadi.


Ada peningkatan efek kortikosteroid pada pasien dengan hipotiroidi dari
cirrhosis.

Tidak dianjurkan penggunaan pada penderita ocular herpes simplex,

karena kemungkinan terjadi perforasi corneal.


Pemakaian obat ini dapat menekan gejala-gejala klinis dari suatu penyakit

infeksi.
Pemakaian jangka panjang dapat menurunkan daya tahan tubuh terhadap
penyakit infeksi.

Interaksi obat:

Berikan dengan makanan untuk meminumkan iritasi gastrointestinal.


Penggunaan bersama-sama dengan antiinflamasi non-steroid atau
antirematik lain dapat mengakibatkan risiko gastrointestinal, perdarahan

gastrointestinal.
Penggunaan bersama-sama

penyesuaian dosis.
Pasien yang menerima vaksinasi terhadap smallpox, juga imunisasi lain

dengan

anti-diabetes

harus

dilakukan

terutama yang mendapat dosis.

Ranitidine
Ranitidine, memiliki cincin furan dan durasi yang lebih lama dan 5-10 kali lebih
potensial dari simetidin. Ranitidine dimetabolisme dalam hati.

Dosis
150 mg 2x / hari atau dosis tunggal 300 mg sebelum tidur.

Efek samping
sakit kepala, pusing, gangguan gastro intestinal, ruam kulit.

Interaksi obat
ranitidin menurunkan bersihan warfarin, prokainamid, dan N-asetil prokainamid,
meningkatkan absorpsi midazolam, menurunkan absorpsi kobalamin.

Yang termasuk antagonis reseptor H2 adalah Simetidine, Ranitidine, Nizatidine,


dan Famotidine. Senyawa-senyawa antagonis reseptor H2 secara kompetitif dan
reversibel berikatan dengan reseptor H2 di sel parietal, menyebabkan
berkurangnya produksi sitosolik siklik AMP dan sekresi histamine yang
menstimulasi sekresi asam lambung. Interaksi antara siklik AMP dan jalur
kalsium menyebabkan inhibisi parsial asetilkolin dan gastrin yang menstimulasi
sekresi asam.
Yang potensinya paling lemah adalah simetidin sedangkan yang paling kuat
adalah Famotidin. Ranitidin memiliki durasi yang lebih lama dari Simetidin.
Ranitidine dan Simetidin digunakan juga untuk profilaksis. Reseptor H2 terdapat
di lambung, pembuluh darah (menurunkan tekanan darah dengan menurunkan
resistensi perifer, positif kronotropisme, inotropik positif).
Antagonis reseptor H2 menghambat secara sempurna sekresi asam lambung yang
sekresinya diinduksi oleh histamin maupun gastrin, tetapi menghambat secara
parsial sekresi asam lambung yang sekresinya diinduksi oleh asetilkolin. Hal
tersebut dapat terjadi dengan melihat kembali mekanisme sintesis asam lambung
di sel parietal.
Antagonis reseptor H2 juga menghambat sekresi asam lambung yang distimulasi
oleh makanan, insulin, kafein, pentagastrin, dan nokturnal. Antagonis reseptor H2
mengurangi volume cairan lambung dan konsentrasi H+. Seluruh senyawa yang
termasuk antagonis reseptor H2 efektif menyembuhkan tukak lambung maupun
tukak duodenum. Secara umum kekambuhan setelah terapi umumnya berhenti
(60-100%).
Kegunaan terapi antagonis reseptor H2: Tukak peptic, Zoolinger Ellison Syndrom,
Tukak akut, dan GERD (Gastro Esophageal Refluks Disease) / heart burn.

Efek samping Antagonis reseptor H2


Sakit kepala, pusing, mual, diare, obstipasi, sakit otot dan sendi, sistem saraf pusat
(kecemasan, halusinasi terutama pada orang tua dan konsumsi jangka panjang),
penurunan transaminase serum.

Furosemide ( Lasix )
Indikasi
Oedema pada jantung, hipertensi

Kontra indikasi
Gangguan ginjal dan hati yang berat.

Bentuk sediaan obat


Tablet, injeksi, infus

Dosis
Oral , dewasa 20-40 mg pada pagi hari, anak 1-3 mg/kg bb; Injeksi, dewasa dosis
awal 20-50 mg im, anak 0,5-1,5mg/kg sampai dosis maksimal sehari 20 mg; infus
IV disesuaikan dengan keadaan pasien

Efek samping
Gangguan saluran cerna dan kadang-kadang reaksi alergi seperti ruam kulit

Peringatan
Dapat menyebabkan hipokalemia dan hiponatremia; kehamilan dan menyusui;
gangguan hati dan ginjal; memperburuk diabetes mellitus; perbesaran prostat;
porfiria.

Você também pode gostar