Você está na página 1de 10

A.

Identitas Pasien
a. Nama
b. Umur
c. Alamat
d. Pekerjaan
e. TTL
f. Suku
g. Jenis Kelamin

:K
: 1 Tahun 7 bulan
: Desa Ereng-Ereng
:: Bantaeng 28 Mei 2014
: Bugis
: Perempuan

B. Anamnesis
Alloanamnesis dengan ibu pasien pada hari Sabtu 16 Januari 2016
pukul 10.00 WITA di Puskesmas Banyorang. Pasien berusia 4 tahun mengeluh
sakit perut sejak 1 minggu yang lalu terus menerus disertai demam sejak 1
minggu yang lalu naik turun, demam tidak disertai dengan menggigil. pasien
juga mengeluh mual tapi tidak muntah. Pasien juga malas makan dan nafsu
makan menurun. Pasien selalu mengeluh gatal dan selalu menggaruk di bagian
anus. Menurut ibunya, pasien selalu bermain di tanah dengan kakaknya, tetapi
kakaknya tidak mengeluhkan keluhan yang sama. Pasien belum BAK dari
kemarin.
C. Pemeriksaan
a. Tanda Vital
TD
:
Nadi
:
Pernapasan
:
Suhu
:
b. Status Gizi
BB
: 16 Kg
TB
:
IMT
:
c. Pemeriksaan Fisis
Inspeksi
:
Palpasi
:
Perkusi
:
Auskultasi
: Bisisng usus menurun
d. Pemeriksaan penunjang : e. Diagnosis
: susp. Askariasis
f. Dif. Diagnosis
:

g. Perencanaan terapi
D. Diskusi dan Pembahasan

: Pirantel pamoat

ASKARIASIS
PENDAHULUAN
Askariasis merupakan infeksi cacing yang paling sering ditemui. Diperikan
prevalensinya di dunia sekitar25 % atau 1,25 miliar penduduk di dunia. Biasanya
bersifat asimtomatis. Prevalensi paling besar pada daerah tropis dan di negara
berkembang di mana sering terjadi kontaminasi tanah oleh tinja sebagai pupuk.
Gejala penyakitnya sering berupa pertumbuhan yang terhanbat, pneumonitis,
obstruksi
intestinal
atau
hepatobiliar
danpancreatic
injury.(soegeng
soegijanto,2005)

ETIOLOGI
Askariasis disebabkan oleh Ascariasis lumbricoides. Cacing Ascariasis
lumbricoides dewasa tinggal di dalam lumen usus kecil dan memiliki umur 10-2
bulan. Cacing betina dapat menghasilkan 200.000 telur setiap hari. Telur fertil
berbentuk oval dengan panjang 45-70 m. Setelah keluar bersama tinja, embrio
dalam telur akan berkembang menjadi infektif dalam 5-10hari pada kondisi
lingkungan yang mendukung.

Gambar 1. Cacing Askariasis lumbricides


EPIDEMOLOGI
Askariasis merupakan infeksi cacing pada manusia yang angka kejadian sakitnya
tinggi terutama di daerah tropis dimana tanahnya memiliki kondisi yang sesuai
untuk kematangan telur di dalam tanah. Diperkirakan hampir 1 miliar penduduk
yang terinfeksi dengan 4 juta kasus di Amerika Serikat. Prevalensi pada komunitas-

komunitas tertentu lebih besar dari 80%. Prevalensi dilapokan terjadi di lembah
sungai Yangtze di Cina. Masyarakat dengan kondisi sosial ekonomi yang rendah
memiliki prevalensi infeksi yang tinggi, demikian juga pada masyarakat yang
menggunakan tinja sebagai pupuk dan dengan kondisi geografis yang mendukung.
Walaupun infeksi dapat menyerang semua usia, infeksi tertinggi terjadi pada anakanak pada usia sebelum sekolah dan usia sekolah. Penyebarannya terutama melalui
tangan ke mulut (hand to mouth) dapat juga melalui sayuran atau buah yang
terkontaminasi. Telur askaris dapat bertahan selama 2 tahun pada suhu 5-10 C.
Empat dari 10 orang di Afrika, Asia, dan Amerika Serikat terinfeksi oleh cacing ini.
Prevalensi dan intensitas gejala simtomatis yang paling tinggi terjadi pada anakanak. Pada anak-anak obstruksi intestinal merupakan manifestasi penyakit yang
paling sering ditemui. Diantara anak-anak usia 1-12 tahun yang berada di rumah
sakit Cape Town dengan keluhan abdominal antara 1958-1962, 12.8 % dari
infeksinya disebabkan olehAscariasis lumbricoides. Anak-anak dengan askariasis
kronis dapat menyebabkan pertumbuhan lambat berkaitan dengan penurunan
jumlah makanan yang dimakan.
Menurut World Health Organization (WHO), intestinal obstruction pada anak-anak
menyebabkan komplikasi fatal, menyebabkan 8000 sampai 100,000 kematian per
tahun.
PATOFISIOLOGI
Ascariasis lumbricoides adalah nematoda terbesar yang umumnya
menginfeksi manusia. Cacing dewasa berwarna putih atau kuning sepanjang 15-35
cm dan hidup selama 10-24 bulan di jejunum dan bagian tengah ileum.

Gambar 2. Daur kehidupan Cacing Ascaris lumbricoides


1.
Cacing betina menghasilkan 240.000 telur setiap hari yang akan terbawa
bersama tinja.
2.
Telur fertil jika jatuh pada kondisi tanah yang sesuai, dalam waktu 5-10 hari
telur tersebut dapat menginfeksi manusia.
3.
Telur dapat bertahan hidup di dalam tanah selama 17 bulan. Infeksi umumnya
terjadi melalui kontaminasi tanah pada tangan atau makanan.
4.
Kemudian masuk pada usus dan akan menetas pada usus kecil (deudenum).
5.
Pada tahap kedua larva akan melewati dinding usus dan akan berpindah
melalui sistem portal menuju hepar (4d) dan kemudian paru.
6.
Infeksi yang berat dapat di ikuti pneumonia dan eosinifilia. Larva kemudian
dibatukkan dan tertelan kembali menuju jejunum.
7.
Diperlukan waktu 65 hari untuk menjadi cacing dewasa.
MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis tergantung pada intensitas infeksi dan organ yang terlibat. Pada
sebagian besar penderita dengan infeksi rendah sampai sedang gejalanya
asimtomatis atau simtomatis. Gejala klinis paling sering ditemui berkaitan dengan
penyakit paru atau sumbatan pada usus atau saluran empedu. Gejala klinis yang
nyata biasanya berupa nyeri perut, berupa kolik di daerah pusat atau epigastrum,
perut buncit (pot belly), rasa mual dan kadang-kadang muntah, cengeng, anoreksia,
susah tidur dan diare.
Telur cacing askariasis akan menetas didalam usus. Larva kemudian menembus
dinding usus dan bermigrasi ke paru melalui sirkulasi dalam vena. Parasit dapat
menyebabkanPulmonari ascariasis ketika memasuki alveoli dan bermigrasi melalui
bronki dan trakea. Manifestasi infeksi pada paru mirip dengan sindrom Loffler

dengan gejala seperti batuk, sesak, adanya infiltrat pada paru dan eosinofilia. Cacing
dewasa akan memakan sari makanan hasil pencernaan host. Anak-anak yang
terinfeksi dan memiliki pola makanan yang tidak baik dapat mengalami kekurangan
protein, kalori, atau vitamin A, yang akhirnya dapat mengalami pertumbuhan
terlambat. Obstruksi usus, saluran empedu dan pankreas dapat terjadi akibat
sumbatan oleh cacing yang besar. Cacing ini tidak berkembang biak pada host.
Infeksi dapat bertahan selama umur cacing maksimal (2 tahun), serta mudah terjadi
infeksi berulang.

Gambar 3. Cacing Ascariasis dewasa pada usus

KOMPLIKASI
1.
Spoilative action. Anak yang menderita askariasis umumnya dalam keadaan
distrofi. Pada penyelidikan ternyata askariasis hanya mengambil sedikit
karbohidrat hospes, sedangkan protein dan lemak tidak diambilnya. Juga
askariasis tidak mengambil darah hospes. Dapat ditarik kesimpulan bahwa
distrofi pada penderita askariasis disebabkan oleh diare dan anoreksia.
2.
Toksin. Chimura dan Fuji berhasil menbuat ekstrak askaris yang disebut
askaron yang kemudian ketika disuntikkan pada binatang percobaan (kuda)
menyebabkan renjatan dan kematian, tetapi kemudian pada penyelidikan
berikutnya tidak ditemukan toksin yang spesifik dari askaris. Mungkin renjatan
yang terjadi tersebut disebabkan oleh protein asing.
3.
Alergi. Terutama disebabkan larva yang dalam siklusnya masuk kedalam
darah, sehingga sesudah siklus pertama timbul alergi terhadap protein askaris.
Karenanya pada siklus berikut dapat timbul manifestasi alergi berupa asma
bronkiale, ultikaria, hipereosinofilia, dan sindrom Loffler. Simdrom Loffler
merupakan kelainan dimana terdapat infiltrat (eosinofil) dalam paru yang
menyerupai bronkopneumonia atipik. Infiltrat cepat menghilang sendiri dan
cepat timbul lagi dibagian paru lain. Gambaran radiologisnya menyerupai

tuberkulosis miliaris.Disamping itu terdapat hiperesinofilia (40-70%). Sindrom


ini diduga disebabkan oleh larva yang masuk ke dalam lumen alveolus, diikuti
oleh sel eosinofil. Tetapi masih diragukan, karena misalnya di indonesia dengan
infeksi askaris yang sangat banyak, sindrom ini sangat jarang terdapat,
sedangkan di daerah denagn jumlah penderita askariasis yang rendah, kadangkadang juga ditemukan sindrom ini.
4.
Traumatik action. Askaris dapat menyebabkan abses di dinding usus,
perforasi dan kemudian peritonitis. Yang lebih sering terjadi cacing-cacing
askaris ini berkumpul dalam usus, menyebabkan obstuksi usus dengan segala
akibatnya. Anak dengan gejala demikian segera dikirim ke bagian radiologi untuk
dilakukan pemeriksaan dengan barium enema guna mengetahui letak obstruksi.
Biasanya dengan tindakan ini cacing-cacing juga dapat terlepas dari
gumpalannya sehingga obstruksi dapat dihilangkan. Jika cara ini tidak menolong,
maka dilakukan tindakan operatif. Pada foto rontgen akan tampak gambaran
garis-garis panjang dan gelap (filling defect).
5.
Errantic action. Askaris dapat berada dalam lambung sehingga menimbulkan
gejala mual, muntah, nyeri perut terutama di daerah epigastrium, kolik. Gejala
hilang bila cacing dapat keluar bersama muntah. Dari nasofaring cacing dapat ke
tuba Eustachii sehingga dapat timbul otitis media akut (OMA) kemudian bila
terjadi perforasi, cacing akan keluar. Selain melalui jalan tersebut cacing dari
nasofaring dapat menuju laring, kemudian trakea dan bronkus sehingga terjadi
afiksia. Askaris dapat menetap di dalam duktus koledopus dan bila menyumbat
saluran tersebut, dapat terjadi ikterus obstruktif. Cacing dapat juga menyebabkan
iritasi dan infeksi sekunder hati jika terdapat dalam jumlah banyak dalam kolon
maka dapat merangsang dan menyebabkan diare yang berat sehingga dapat
timbul apendisitis akut.
6.
Irritative Action. Terutama terjadi jika terdapat banyak cacing dalam usus
halus maupun kolon. Akibat hal ini dapat terjadi diare dan muntah sehingga
dapat terjadi dehidrasi dan asidosis dan bila berlangsung menahun dapat terjadi
malnutrisi.
7.
Komplikasi lain. Dalam siklusnya larva dapat masuk ke otak sehingga timbul
abses-abses kecil; ke ginjal menyebabkan nefritis; ke hati menyebabkan absesabses kecil dan hepatitis. Di indonesia komplikasi ini jarang terjadi tetapi di
srilangka dan Filipina banyak menyebabkan kematian.
DIAGNOSIS
1) Ditegakkan dengan :
i.

Menemukan telur Ascaris lumbricoides dalam tinja.

ii.
2)

Cacing ascaris keluar bersama muntah atau tinja penderita

Pemeriksaan Laboratorium
i.

ii.
tenyakit paru.

Pada pemeriksaan darah detemukan periferal eosinofilia.


Detemukan larva pada lambung atau saluran pernafasan pada

iii.
Pemeriksaan mikroskopik pada hapusan tinja dapat digunakan
untuk memeriksa sejumlah besar telur yang di ekskresikan melalui anus.
3)

Pemeriksaan Foto

i.
Foto thoraks menunjukkan gambaran otak pada lapang pandang
paru seperti pada sindrom Loeffler
ii.

Penyakit pada saluran empedu

a)
Endoscopic
retrograde
cholangiopancreatography (ERCP)
memiliki
sensitivitas 90% dalam membantu mendiagnosis biliary ascariasis.
b)
Ultrasonography memiliki sensitivitas 50% untuk membantu membuat
diagnosisbiliary ascariasis.

Gambar 4. Telur Askariasis lumbricoides


PENGOBATAN
1.
Obat pilihan: piperazin sitrat (antepar) 150 mg/kg BB/hari, dosis tunggal
dengan dosis maksimum 3 g/hari

2.

Heksil resorsinol dengan dosis100 mg/tahun (umur)

3.

Oleum kenopodii dengan dosis 1 tetes/tahun (umur)

4.
Santonin : tidak membinasakan askaris tetapi hanya melemahkan. Biasanya
dicampur dengan kalomel (HgCl= laksans ringan) dalam jumlah yang sama
diberikan selama 3 hari berturut-turut.
Dosis : 0-1tahun = 3 x 5 mg
1-3 tahun = 3 x 10 mg
3-5 tahun = 3 x 15 mg
Lebih dari 5 tahun =3 x 20 mg
Dewasa = 3 x 25 mg
5.

Pirantel pamoat (combantrin) dengan dosis 10 mg/ kg BB/hari dosis tunggal.

6.
Papain yaitu fermen dari batang pepaya yang kerjanya menghancurkan cacing.
Preparatnya : Fellardon.
7. Pengobatan gastrointestinal ascariasis menggunakan albendazole (400 mg P.O.
sekali untuk semua usia), mabendazole (10 mg P.O. untuk 3 hari atau 500 mg P.O.
sekali untuk segala usia) atau yrantel pamoate (11 mg/kg P.O. sakali, dosis
maksimum 1 g). Piperazinum citrate (pertama : 150 mg/kg P.O. diikuti 6 kali dosis 6
mg/kg pada interval 12 hari)
Prognosis : baik, terutama jika tidak terdapat komplikasi dan cepat diberikan
pengobatan.

PENCEGAHAN
Program pemberian antihilmitik yang dilakukan dengan cara sebagai berikut.
1.

Memberikan pengobatan pada semua individu pada daerah endemis

2.
Memberikan pengobatan pada kelompok tertentu dengan frekuensi infeksi
tinggi seperti anak-anak sekolah dasar.
3.
Memberikan pengobatan pada individu berdasarkan intensitas penyakit atau
infeksi yang telah lalu.
4.

Peningkatan kondisi sanitasi

5.

Menghentikan penggunaan tinja sebagai pupuk.

6.

Memberikan pendidikan tentang cara-cara pencegahan ascariasis.

DAFTAR PUSTAKA

Soegijanto, Soegeng.2005.Kumpulan Makalah Penyakit Tropis Dan Infeksi Di


Indonesia Jilid 4. Surabaya: Airlangga University Press
Staf
Pengajar
Ilmu
Kesehatan
Anak
Fakultas
Kedokteran
Universitas Indonesia.2002.Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak 2.Jakarta
:Percetakan Info Medika Jakarta

Você também pode gostar