Você está na página 1de 8

BAB I

KONSEP DASAR
A. Pengertian
Smeltzer (2002:2357), fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai
jenis dan luasnya. Sedangkan menurutN Sjamsuhidajat (1996:1138), fraktur adalah terputusnya
jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Kemudian
menurut Tucker (1998:198), fraktur adalah patah tulang atau terputusnya kontinuitas tulang.
Pendapat lain oleh Doenges (1999:761) yang menerangkan bahwa, fraktur adalah pemisahan
atau patahnya tulang.
Kesimpulan yang dapat diambil dari berbagai pengertian tersebut di atas adalah bahwa
fraktur merupakan suatu keadaan terputusnya jaringan atau kontinuitas tulang dan atau tulang
rawan yang pada umumnya disebabkan oleh rudapaksa dan ditentukan sesuai dengan jenis dan
luasnya.
B. Menurut Smeltzer (2001:257) jenis-jenis fraktur yaitu:
1. Fraktur complete adalah patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami
pergeseran (bergeser pada posisi normal). Fraktur in complete, patah hanya terjadi pada
sebagian dari garis tengah tulang.
2. Fraktur tertutup (fraktur simple) tidak menyebabkan robeknya kulit. Fraktur terbuka
(fraktur kompleks) merupakan fraktur dengan luka pada kulit atau membran mukosa
sampai ke patahan tulang. Fraktur terbuka digradasi menjadi:
1. Grade I dengan luka bersih kurang dari l cm panjangnya.
2. Grade II luka lebih besar, luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang ekstensif.

3. Grade III yang sangat terkontaminasi dan mengalami kerusakan jaringan lunak
ekstensif, merupakan yang paling kuat.
Menurut Smeltzer (2001:257) fraktur juga digolongkan sesuai pergeseran anatomis fragmen
tulang, fraktur bergeser/tidak bergeser. Jenis ukuran fraktur adalah:
1.

Greenstick

fraktur di mana salah satu sisi tulang patah sedang sisi

lainnya

membengkok.
2. Transversal

: fraktur sepanjang garis tengah tulang.

3. Oblique

: fraktur yang membentuk sudut dengan garis tengah

tulang (lebih tidak stabil

dibanding batang tulang).


4. Spiral

: fraktur memuntir seputar batang tulang.

5. Communitive : fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa fragmen.


6. Depresi

: fraktur dengan tulang patahan terdorong ke dalam (sering terjadi pada tulang

tengkorak dan tulang wajah).


7. Kompresi

: fraktur di mana tulang mengalami kompresi (terjadi pada tulang belakang).

8.

Patologik

fraktur yang terjadi pada bawah tulang berpenyakit (kista tulang, penyakit

paget, metastasis tumor tulang).


9. Avulasi

: tertariknya fragmen tulang dan ligamen atau tendon pada perlekatannya.

10. Impaksi

: fraktur di mana fragmen tulang lainnya rusak.

C. Etiologi
Menurut Long (1996:357) dan Reeves (2001:248), faktor-faktor yang dapat menyebabkan fraktur
adalah:

1. Benturan dan cidera (jatuh pada kecelakaan).


2. Fraktur patologik, kelemahan tulang karena penyakit/osteoporosis.
3. Patah karena letih, patah tulang karena otot tidak dapat mengabsorbsi energi, seperti
karena berjalan kaki yang terlalu jauh.
4. Fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang.
Fraktur sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan atau luka yang disebabkan
kecelakaan kendaraan bermotor.
Sedangkan menurut Appley (1995:212) faktor-faktor yang dapat menyebabkan fraktur adalah:
1. Fraktur akibat trauma
Terjadi akibat benturan dan cidera yang disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba dan berlebihan.
2. Trauma langsung
Tulang dapat patah pada area yang terkena jaringan lunak. Pemukulan menyebabkan fraktur
melintang. Penghancuran menyebabkan fraktur komunitif disertai kerusakan jaringan lunak
yang luas.

3. Trauma tidak langsung


Tulang dapat mengalami fraktur pada tempat yang jauh dari tempat yang tertekan kekuatan itu.
Kekuatan dapat berupa:
a. Pemuntiran, menyebabkan fraktur spinal
b. Penekukan, menyebabkan fraktur melintang
c. Penekukan dan penekanan menyebabkan fraktur yang sebagian melintang tetapi disertai
fragmen kupu-kupu berbentuk segitiga terpisah.
4. Fraktur kelelahan
Terjadi akibat tekanan berulang-ulang sering ditemukan pada tibia, fibula, metatarsal, terutama
pada atlet dan penari.

5. Fraktur patologik
Fraktur yang dapat terjadi oleh tekanan yang normal jika tulang itu lemah (misal: oleh tumor
atau tulang itu sangat rapuh atau osteoporosis).
6. Fraktur oblique pendek
Fraktur yang terjadi dari kombinasi pemuntiran, penekukan dan penekanan.
D. Manifestasi Klinis
Menurut Smeltzer (2002:2358), manifestasi klinis fraktur adalah:
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai tulang diimobilisasi.
2. Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada
integritas tulang tempat melekatnya otot.
3. Deformitas (terlihat maupun teraba).
4. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot
yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur.
5. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang dinamakan krepitus
yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan yang lainnya.
6. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan
perdarahan yang mengikuti fraktur.
E. Penatalaksanaan Fraktur
1. Tindakan umum menurut Handerson (1997:222) yaitu:
a. Reposisi
Setiap pergeseran atau angulasi pada ujung patahan harus direposisi dengan hati-hati melalui
tindakan manipulasi yang biasanya dengan anestesi umum.
b. Imobilisasi
Untuk memungkinkan kesembuhan fragmen yang diperlukan:
1) Fiksasi Interna

Ujung patahan tulang disatukan dan difiksasi pada operasi misalnya : dengan sekrup, paku, plat
logam.
2) Fiksasi Interna
Fraktur diimobilisasi menggunakan bidai luas dan traksi.
c. Fisioterapi dan mobilisasi
Untuk memperbaiki otot yang dapat mengecil secara cepat jika tidak dipakai.
d. Penatalaksanaan medis dengan ORIF
ORIF atau Open Reduction Internal Fixation adalah reduksi terbuka dari fiksasi internal di mana
dilakukan insisi pada tempat yang mengalami fraktur. Kemudian direposisi untuk mendapatkan
posisi yang normal dan setelah direduksi, fragmen-fragmen tulang dipertahankan dengan alat
orthopedik berupa pen, sekrup, plat dan paku (Price,1996:374).
2. Penatalaksanaan keperawatan
Tindakan pada fraktur terbuka harus dilakukan secepat mungkin:
a.

Berikan toksin anti tetanus

b. Berikan antibiotik untuk kuman gram positif dan negatif.


c.

Dengan teknik debridement. Prosedur teknik debridement adalah: melakukan nekrosis umum
atau anestesis lokal bila luka ringan dan kecil, bila cukup luas pasang tourniquet, cuci seluruh
ekstremitas selama 5-10 menit, kemudian lakukan pencukuran, luka diirigasi dengan hall steril,
lakukan tindakan desinfeksi dan pemasangan duk, eksisi luka lapis demi lapis mulai dari kulit,
sub kulit fasia otot, eksisi otot-otot yang tidak vital dan dibuang, lalu buang tulang-tulang kecil
yang tidak melekat periosteum. Pertahankan program tulang besar yang perlu untuk stabilitas,
luka fraktur terbuka dan lalu dibiarkan terbuka dan perlu ditutup satu minggu, kemudian setelah
edema menghilang (secondary sature) atau dapat juga hanya dijahit pada situasi bila luka tidak
terlalu terbuka atau lebar (jahit luka jarang).

F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada pasien fraktur menurut Doenges (2000: 762) adalah sebagai
berikut:
1. Pemeriksaan Rontgen

Untuk menentukan lokasi atau luasnya fraktur.


2. CT Scan/ MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Untuk memperlihatkan fraktur juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan
lunak.
3. Pemeriksaan Laboratorium
a.

Hb (Hemoglobin) mungkin meningkat (Hemokonsentrasi) atau juga dapat menurun


(perdarahan).

b. Leukosit meningkat sebagai respon stress normal setelah trauma.


c.

Kreatinin, trauma meningkatkan beban kreatinin untuk klien ginjal.

d. Arteriogram, dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.


G.
1.
a.
b.
c.
d.
2.
a.
1)
2)
3)
4)
b.
1)
2)
3)
4)

Konsep Keperawatan
Diagnosa Keperawatan
Nyeri b/d terputusnya kontinuitas jaringan.
Gangguan pemenuhan ADL b/d immobilisasi
Potensial terjadinya infeksi b/d adanya luka trbuka.
Cemas b/dkurangnya pengetahuan tentang penyakitnya.
Intervensi / implementasi
Nyeri b/d terputusnya kontinuitas jaringan.
Tujuan : nyeri dapat berkurang atau teratasi
Intervensi :
observasi tanda tanda vital
Rasional : untuk mengetahui keadaan klien
kaji tingkat nyeri klien dengan skala nyeri
Rasional : untuk megetahui sejauh mana tingkat nyeri yang di rasakan
atur posisi klien dengan menyokong ekstremitasyang berluka
Rasional : untuk memberikan kenyamanan pada klien
beri obat analgetik sesuai program
Rasional : untuk mengurangi atau menghilangkan ras nyeri
Gangguan pemenuhan ADL / immobilisasi
Intervensi :
observasi TTV
Rasional : untuk mengetahui keadaan klien
bantu klien dalam memenuhi kebutuhan sehari hari
Rasional : utuk memenuhi kebutuhan ADLnya
tingkatkan kemandirian klie dalam memenuhi kebutuhan aktivitas sesuai kemempuan
Rasional : mengurangi ketergantungan kepada orang lain
libatkan keluarga dalam memenuhi kebutuhan sehari harinya
Rasional : agar keluarga dapat membantu kebutuhan sehari hari.

c.
1)
2)
3)
4)
d.
1)
2)
3)
3.
a.
b.
c.
d.

Potensial terjadi infeksi b/d adanya luka terbuka


Tujuan: tidak terjadi infeksi
Intervensi :
kaji keadaan luka klien dan TTV
Rasional : informasi awal dalam intervensi selanjutnya
kaji apakah ada peningkatan nyeri,rasa terbakar
Rasional : tanda tanda tersebut merupakan awal terjadi infeksi
ciptakan lingkungan yang bersih di sekitr klien
Rasional : menmcegah terjadinya infeksi
ganti balutan / perban tiap hari
Rasional : untuk mencegah terjadinya infeksi
Cemas b/d kurangnya pengetahuan tentan penyakitnya
Intervensi :
kaji tingkat kecemasan klien
Rasional : informasi untuk tindakan selanjutnya
bina hubungan saling percaya antara perawat,klien dan keluarga klien
Rasional : untuk menjalin kerja sama
jelaskan tentang penyakit klien
Rasional : agar klien dan keluarga klien dapat mengerti
Evaluasi
nyeri dapat berkurang atau teratasi
kebutuhan ADL dapat terpenuhi
infeksi tidak terjadi
cemas dapat berkurang atau teratasi.

DAFTAR PUSTAKA
1. Appley, Ag Dan Scloman, L, 1999, Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Applay Edisi
7, Widya Medika, Jakarta.

2. Brunner and Suddarth, 2002, Keperawatan Medikal Bedah Volume 3 Edisi 8, EGC,
Jakarta.
3. Carpunito, L. J, 2000, Diagnosa Keperawatan dan Dokumentasi Keperawatan, Diagnosa
Keperawatan dan Masalah Kolaboratif (terjemahan), Edisi 2, EGC, Jakarta.
4. Carpenito, L. J, 2000, Hand Book of Nursing Diagnosis, Edisi 8, EGC,

Você também pode gostar