Você está na página 1de 4

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Saat ini diseluruh dunia, jumlah lanjut usia diperkirakan lebih dari 629 juta
jiwa (satu dari sepuluh orang berusia lebih dari 60 tahun). Di negara maju,
pertumbuhan populasi penduduk lanjut usia telah di antisipasi sejak awal abad ke-20.
Oleh karena itu, masyarakat di negara maju sudah lebih siap menghadapi masalah
yang sama. Fenomena ini jelas mendatangjan sejumlah konsekuensi, antara masalah
fisik, mental, sosial, serta kebutuhan pelayanan kesehatan dan keperawatan, terutama
kelainan degeneratif (Ziliwu, 2010).
Berdasarkan data Sensus Penduduk tahun 2010, jumlah penduduk Indonesia
berusia lanjut mencapai 18,04 juta jiwa atau sekitar 7,6% dari total penduduk
Indonesia yang berjumlah 237,6 juta jiwa. Tingginya penduduk berusia 60 tahun ke
atas yang diperkirakan menjadi 28,7 juta (11,34%) pada tahun 2020, berarti usia
harapan hidup waktu lahir makin panjang, yaitu saat ini 67 tahun untuk laki-laki dan
71 tahun untuk perempuan (BPS.RI, 2010). Dimana Jawa Tengah 11,16% menduduki
peringkat ke-2, setelah Yogyakarta sebesar 14,04 (BPS-SUSENAS 2009).
Peningkatan jumlah penduduk lansia ini disebabkan peningkatan angka
harapan hidup sebagai dampak dari peningkatan kualitas kesehatan. UHH (Usia
Harapan Hidup) Indonesia pada tahun 2007 UHH 70,5 tahun dan pada tahun 2008

menjadi 70,7 tahun, target UHH pada tahun 2014 adalah 72 tahun (Kementrian
Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat 2010).
Peningkatan umur harapan hidup akan mempengaruhi berbagai aspek
kehidupan lanjut usia, seperti sosial ekonomi, budaya kesehatan fisik dan mental.
Masalah kesehatan yang timbul perlu di antisipasi, untuk selanjutnya diatasi oleh
tenaga profesional bersama dengan masyarakat. (Setiabudhi, 2005).
Setiap tahun sekitar 20% samapai 50% orang dewasa melaporkan adanya
gangguan pemenuhan tidur yang serius. Prevalensi gangguan pemenuhan tidur pada
lansia cukup meningkat yaitu sekitar76%. Kelompok lansia lebih mengeluh
mengalami sulit tidur sebanyak 40%, sering terbangun pada malam hari sebanyak
30% dan sisanya gangguan pemenuhan kebutuhan tidur lain (Amir, 2007).
Established Population for Epidemiologic of the Elderly (EPESE) mendapatkan dari
9000 responden, sekitar 29% berusia di atas 65 tahun mengalami keluhan gangguan
pemenuhan kebutuhan tidur.
Menurut data internasional of sleep Disorder, prevalensi penyebab-penyebab
gangguan tidur adalah sebagai berikut: Penyakit asma (61-74%), gangguan pernafasan
(40-50%), kram kaki malam hari (16%), psychophysiological (15%), sindroma kaki
gelisah (5-15%), ketergantungan alkohol (10%), sindroma terlambat tidur (5-10%),
depresi (65%), demensia (5%), gangguan perubahan jadwal kerja (2-5%), gangguan
obstruksi sesak saluran nafas (1-2%), penyakit ulkus peptikus (<1%), narcolepsy
(mendadak tidur) (0,03%-0,16%) (Iskandar J, 2002).
Hidayat (2006) menjelaskan bahwa tingginya masalah tidur yang terjadi pada
lansia memerlukan penanganan yang sesuai untuk meningkatkan pemenuhan
kebutuhan tidur. Pemenuhan kebutuhan tidur setiap orang berbeda-beda dan terlihat

dari kualitas tidurnya. Kebutuhan kualitas tidur ada yang terpenuhi dengan baik dan
ada yang mengalami gangguan.
Pemenuhan kebutuhan tidur terlihat dari parameter kualitas tidur, seperti
lamanya tidur waktu yang diperlukan untuk tidur, frekuensi terbangun dan berapa
aspek subjektif, seperti kedalaman tidur, perasaan segar pagi hari, kepuasan tidur serta
perasaan lelah siang hari (Bukit, 2003).
Potter & Perry (2005) menjelaskan bahwa peningkatan pemenuhan kebutuhan
tidur dapat dilakukan dengan mengajarkan cara-cara yang dapat menstimulus dan
memotivasi tidur. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah relaksasi. Relaksasi
merupakan suatu bentuk teknik yang melibatkan pergerakan anggota badan dan bisa
dilakukan dimana saja.
Metode relaksasi terdiri dari beberapa macam di antaranya adalah relaksasi
otot progresif, pernafasa diafragma, imagery training, biofeedback, dan hipnosis
(Miltenberger, 2004).
Marks (2011) menjelaskan bahwa relaksasi otot progresif merupakan salah
satu teknik untuk mengurangi ketegangan otot dengan proses yamg simpel dan
sistematis dalam menegangkan sekelompak otot kemudian merilekskannya kembali.
Selain untuk memfasilitasi tidur, relaksasi otot progresif juga bermanfaat
untuk ansietas, mengurangi kelelahan, kram otot serta nyeri leher dan punggung
(Berstein, Borkovec, dan Steven, 2000).
B. Tujuan penulisan
1. Tujuan umum
Mengetahui pengaruh teknik relaksasi otot progresif terhadap pemenuhan
kebutuhan tidur lansia di URESOS Pucang Gading Semarang.

2. Tujuan khusus
a. Mendiskripsikan karakteristik lansia yang menderita gangguan kebutuhan
tidur di URESOS Pucang Gading Semarang.
b. Mendiskripsikan relaksasi otot progresif awal perlakuan pada lansia di
URESOS Pucang Gading Semarang.
c. Mendiskripsikan relaksasi otot progresif

akhir pada kelompok perlakuan

lansia di URESOS Pucang Gading Semarang.


d. Menganalisis perbedaan kebutuhan tidur awal dan akhir kelompok perlakuan
lansia di URESOS Pucang Gading Semarang.
C. Manfaat penulisan
Hasil laporan kasus ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis dalam
keperawatan yaitu sebagai panduan perawat dalam pengelolaan kasus teknik relaksasi
otot progresif pada lansia dengan gangguan kebutuhan tidur. Juga diharapkan menjadi
informasi bagi tenaga kesehatan lain terutama dalam pengelolaan kasus yang
bersangkutan.

Você também pode gostar