Você está na página 1de 6

Week 10_Oktaviani Indah P_07151233054

Perspektif Feminisme: Memperjuangkan Hak Publik Wanita


Perspektif feminisme memasuki dinamika studi HI pada tahun 1980-an
bersamaan dengan lahirnya perspektif-perspektif kritikal lainnya sepertinya
critical theory, posmodernisme, green theory, dan sebagainya. Sama seperti
perspektif anti-mainstream lainnya, perspektif fenimisme juga mengkritik
teori dan diskursus HI tradisional. Bila anda memahami perspektif feminisme
hanya sebagai perjuangan perempuan untuk mendapat kesetaraan hak yang
sama dengan laki-laki, anda tidak salah, namun itu hanyalah bagian kecil
dari isi perspektif ini. Masih banyak issue yang diangkat oleh perspektif ini.
Perspektif melihat fenomena HI dari segi pandang berbeda yaitu sebagai
fenomena

maskulinitas

dan

femininitas.

Dikarenakan

keunikan

dari

perspektif ini penulis ingin membahas pandangan perspektif feminisme lebih


lanjut.
Kemunculan perspektif feminisme dalam HI tidak bisa dipisahkan dari
masa kritis yang terjadi pada tahun 1980-an yang memicu lahir perspektifperspektif alternatif. Salah satunya adalah perspektif feminisme. Perspektif
ini

mengenalkan

permasalahan

gender

sebagai

alat

analisis

untul

memahami dunia politik (True, 2005: 213). Munculnya perspektif ini dalam
studi HI berasal dalam suatu diskursus yang berjudul Gender and IR yang
dilaksanakan di London School of Economics pada tahun 1988 (Jackson &
Sorensen, 2009: 242). Selain itu yang menjadi tanda kelahir perspektif ini
adalah tulisan Cyntia Enloe (1989 dalam Sutch & Elias, 2007: 122). Buku ini
menanyakan

tentang

dimana

keberadaan

wanita

di

dunia

politik

internasional. Enloe mengkritik tentang HI yang terlalu high politic yaitu


selalu membahas permasalahan negara dan menghiraukan peran orang
yang di dalamnya termasuk peran wanita sebagai istri diplomat, pekerja di
perusahaan multinasional, dan pekerja wanita yang bekerja di pabrik. Meski
baru muncul di HI pada tahun 1980, pembahasan mengenai telah ada sejak
zaman dulu. Salah satu contohnya adalah Marry Wollstonecraft yang
ditinggal di era Marchiavelli dan dia telah memperjuangkan persamaan hak

Week 10_Oktaviani Indah P_07151233054


antara laki-laki (Goldstein, 2013: 111). Tokoh-tokoh feminisme antara lain
Marysia Zalewski and V. Spike Peterson, Christine Sylvester, Judith Butler
Untuk memahami perspektif feminisme lebih lanjut dapatlah kita
melihat asumsi dari persepektif ini. Perspektif ini berusaha mengkritik
perspektif

mainstream

HI,

realisme,

sebagai

perspektif

malestream

(Wardhani, 2016). Para kaum fenimisme melihat bahwa pandangan realisme


mengenai anarki, perang, dan kedaulatan negara merupakan refleksi dari
bagaimana cara pria berpikir (Goldstein, 2013: 113). Hal ini bisa dijelaskan
secara biologis karena pria memiliki hormon testoteron yang cenderung
membuat manusia agresif. Karena itulah sesuai dengan pandangan realisme,
para pria yang dominan menempati posisi presiden, diplomat, dan tentara
cenderung

memilih

keputusan

untuk

berperang.

Dalam

pandangan

perspektif realisme, wanita selalu dihubungkan dalam ranah domestik dan


privat, sedangkan ranah publik adalah area pria. Sebaliknya, menurut kaum
feminisme, dunia akan lebih baik bila wanita memiliki pengaruh dalam
mengambil kebijakan politik. Karena sifat wanita yang lemah lembut, sabar,
dan lebih menjaga hubungan manusia, wanita akan lebih efektif dalam
menyelesaikan permasalahan. Dalam memandang sistem internasional,
feminisme memandang bahwa negara memiliki ketergantungan satu dengan
lainnya. Feminisme lebih menekankan tanggung jawab tiap individu untuk
menjalin hubungan yang baik dengan manusia lainnya dan hak asasi
manusia lebih utama dibanding hanya mempertahan batas negara saja
(Goldstein, 2013: 113). Karena itulah kaum feminisme memandang bila
wanita menjadi pemimpin negara ataupun posisi politik lainnya dapat
merubah dunia akan lebih damai. Namun tak selamanya pemimpin wanita
selalu berpihak kepada kedamaian. Ada juga kemungkinan wanita berpikir
seperti pria yang memilih jalan perang (Goldstein, 2013: 116). Contohnya
adalah presiden Korea Selatan Park Geun-Hye yang memutuskan untuk
berperang dengan Korea Utara. Namun banyak juga pengaruh wanita dalam
dinamika HI yang membawa perdamaian dunia. Contohnya seperti tokoh
Bertha von Suttner pada tahun 1892 yang menyarankan Afred Nobel untuk

Week 10_Oktaviani Indah P_07151233054


membuat suatu Nobel Perdamaian yang eksis sampai sekarang. Lalu juga
ada organisasi Women Action for Nuclear Disarmament (WAND) yang berdiri
tahun 1980 untuk menentang adanya nuklir.
Dalam buku Steans (2010) Introduction to International Relations
Perspectives

and

Themes,

menjelaskan

bahwa

dalam

perkembangan

perspektif fenimisme terbagi menjadi beberapa aliran yang memiliki sudut


pandang berbeda mengenai fenimisme. Yang pertama adalah feminisme
liberal. Feminisme liberal memandang masa Enlightenment dan modern ini
yang sebaga proses kemajuan dan mengutamakan ilmu pengetahuan,
seharusnya memperlakukan wanita lebih baik dan diberi hak dalam ranah
publik yang sama dengan pria. Wanita dapat ikut voting, berdebat
permasalahan sosial dan politik, menjadi aktor politik itulah harapan-harapan
para feminisme liberalis. Aliran kedua yaitu feminism marxisme. Berbeda
dengan feminism liberalisme, fenimisme marxisme mengatakan bahwa
kemajuan wanita tak bisa hanya diraih dengan emansipasi wanita karena
kapitalisme akan tetap memarginalkan mereka. Menurut kaum ini keadaan
kapitalisme ini mengontruksi dipisahnya antara ranah publik dan domestik.
Dalam masyarakat seperti ini wanita hanya memiliki peran dalam ranah
domestik untuk merawat suami dan anak-anak mereka. Aliran ketiga yaitu
fenimisme standpoin. Kaum ini berpendapat bahwa wanita dan pria berada
di dunia berbeda dikarenakan proses sosialisasi. Aliran keempat adalah
fenimisme

posstrukturalisme. Perspektif

ini

tidak

berbicara

mengenai

emansipasi wanita namun memberikan strategi agar wanita mendapatkan


posisi yang lebih baik. Mereka menganjurkan untuk melakukan hal yang
konkrit setiap harinya agar mendapat akses yang diinginkan. Aktivitas yang
dilakukan disesuaikan dengan keadaan masyarakatnya karena menurut
aliran ini pengertian orang mengenai maskulinitas dan femininitas adalah
terkonstruksi oleh bahasa, simbol, dan cerita yang dibuat oleh masyarakat
itu sendiri. Hal ini juga dikatakan oleh aliran feminisme poskolonial bahwa
pemahaman feminisme harus disesuaikan dengan budaya dan masyarakat di
lokasi tersebut.

Week 10_Oktaviani Indah P_07151233054


Salah satu kaum feminisme, Franke Wilmer (2000 dalam Kegley et al,
2010: 55) berargumen bahwa wanita tak pernah absen dari dunia politik.
Keberadaan wanita ada dan peranan wanita sangat penting namun kurang
disoroti oleh HI. Ambil contoh saja peristiwa runtuhnya Uni Soviet akibat
keputusan kapitalisme dari Presiden Gorbachev yang sangat bertentang
dengan paham komunisme. Hal ini sebenarnya tak jauh dari pengaruh
istrinya Raisya yang suka berbelanja di luar negeri sehingga mempengaruhi
pikiran Gorbachev ke arah kapitalisme (Wardhani, 2016). Selain itu juga
banyak politis wanita yang kapabilitasnya tak kalah dengan pria seperti
Presiden German Angela Merkel, mentri luar negeri U.S. Hillary Clinton,
direktur manager IMF Christine Lagarde, Presiden Brazil Dilma Rousseff, dan
sebagainya. Telah banyak perempuan yang terbukti dapat bersaing dengan
laki-laki.

Sehingga

pemikiran

mengenai

laki-laki

lebih

superior

dari

perempuan adalah pemikiran kuno.


Tema utama dari perspektif feminisme adalah bias gender dalam HI.
Istilah gender dapat diartikan sebagai dimensi hubungan dan fungsi sosial
dari pria dan wanita yang merupakan konstruksi dari masyarakat (Steans,
2010: 164). Gender lebih mengacu pada perilaku dan harapan sosial yang
membedakan antara maskulinitas dan feminitas (Jackson & Sorensen, 2009 :
322). Kaum fenimisme ini melihat bahwa perspektif mainstream HI, praktik di
dunia hubungan internasional, lalu juga bagaimana kebijakan luar negeri
diambil, menunjukkan bahwa terdapat ketidakadilan antara pria dan wanita
(Kegley et al, 2010: 54). Dunia gender saat ini meletakkan maskulinitas
diatas feminitas (Jackson & Sorensen, 2009 : 322). Pria yang dilambangkan
dengan

maskulinitasnya

memiliki

hak

untuk

mengatur

dunia

politik

sedangkan wanita yang feminim hanya menjadi labour of love yang


melayani suami dan anak di rumah. Karena itulah kaum feminimin ini
melakukan emansipasi untuk mendapat kesetaraan hak dengan pria. Dalam
catatan sejarah terdapat tiga gelombang perjuangan wanita (Wardhani,
2016). Gelombang pertama terjadi pada abad 19-an yang terjadi di Inggris
dan Amerika Serikat yang memperjuangkan untuk mendapat hak pilih dalam

Week 10_Oktaviani Indah P_07151233054


pemilu.

Gelombang

kedua

memperjuangkan

untuk

menghentikan

diskriminasi dan ingin upah kerja wanita disamakan dengan lelaki dalam
porsi

kerja

yang

sama.

Gelombang

ketiga

adalah

memperjuang

permasalahan micro-politic seperti human trafficing (Wardhani, 2016).


Pada intinya kaum feminim berpusat pada penghapusan bias, seksisme,
diskrimansi, serta subordinasi demi mencapai emansipasi gender.
Perspektif feminisme juga tak teralakkan mendapat kritik dari para
cendekiawan HI. Kritikan yang pertama mengenai fokus perspektif ini
tentang hubungan gender. Namun perspektif ini hanya cenderung lebih
terkonsentrasi pada wanita. Kritikan kedua adalah mengenai pendapat kaum
feminis tentang adanya kategori wanita universal yang memiliki kepentingan
yang sama. Padahal kenyataannya pengalaman wanita dan pendapatnya
tentang gender tidaklah sama antara masyarakat satu dengan yang lainnya.
Dalam hal ini kaum feminisme berusaha mengembangkan pemahaman
pandangan wanita dikonstruksikan (Steans, 2010: 181).
Dari penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa feminisme
merupakan perspektif yang membawa pandangan yang berbeda bagi
Hubungan Internasional. Distingsi perspektif ini dari perspektif-perspektif
alternatif lain adalah diusungnya gender, yang sebelumnya dianggap
sensitif, sebagai kategori empiris dalam analisis. Fokus utama feminisme
ialah pencapaian kesetaraan gender antara maskulinitas dan femininitas.
Feminisme
keberadaan

menyibak
maupun

tatanan

berpikir

kepentingan

yang

cenderung

perempuan

sehingga

mengabaikan
menjadikan

perempuan subordinat dari berbagai aktivitas yang didominasi laki-laki.


Analisis

feminisme pun berpusat pada

penghapusan bias, seksisme,

diskriminasi, serta subordinasi demi mencapai emansipasi gender.


Feminisme tak hanya muncul sebagai kajian teori, namun juga sebagai
pergerakan. Sebagai perspektif sendiri, feminisme memiliki beberapa
percabangan yakni feminisme liberal, feminisme Marxis, feminisme sosialis,
dan feminisme radikal. Masuknya isu gender yang dibawa feminisme
mendorong perluasan kajian teori Hubungan Internasional dalam menelaah

Week 10_Oktaviani Indah P_07151233054


penempatan hirarki gender. Hal ini turut pula mendorong pergeseran
metodologi studi ini untuk memperluas kajiannya, tak hanya pada high
politics namun juga low politics. Feminisme menunjukkan bahwa isu-isu low
politics juga krusial dan permasalahan domestik juga dapat mempengaruhi
interaksi internasional. Tak hanya mengenai persamaan dan perempuan,
namun feminisme juga menggiring studi Hubungan Internasional untuk mulai
memperhatikan pula kaum-kaum yang terabaikan dalam fenomena interaksi
internasional.
Referensi:
Goldstein, Joshua S. 2013. International Relations. New York : Pearson/Longman
Jackson, Robert., & Sorensen, Georg. 2009. Pengantar Studi Hubungan
Internasional. Edisi kedua. Diterjemahkan oleh Dadan Suryadiputra.
Yogyakarta : Pustaka Belajar
Keglay, Charles et al. 2011. World Politic: Trend and Transformation. Wadsworth: Cengage
Brain
Steans, Jill, et al. 2010. Introduction to International Relations, Perspectives
& Themes, 3rd edition. Pearson & Longman
Sutch, Peter & Elias, Juanita. 2007. International Relations: The Basics. New York: Routledge
True, Jacqui. 2005. Feminism. Dalam Schott Burchill. Theories of International
Relations. 3rd edition. Palgrave
Wardhani, Baiq. 2016. Gender and Feminism. Materi disampaikan pada
kuliah Teori Hubungan Internasional, Departemen Hubungan
Internasional, Universitas Airlangga.

Você também pode gostar