Você está na página 1de 7

Analisis Penerapan UU No.

2 Tahun 2012 sebagai Solusi Konflik Pembebasan Lahan


Pembangunan PLTU ( Pembangkit Listrik Tenaga Uap ) di Batang
Elok Faiqotul Mutia
Program Studi Ilmu Lingkungan Pascasarjana Universitas Indonesia
ABSTRAKS
Penelitian ini fokus pada analisis penerapan UU No. 2 Tahun 2012 dalam penyelesaian
konflik yang terjadi pada pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap ( PLTU ) di Batang,
Jawa Tengah. Rencana pembangunan PLTU di Batang, tidak hanya menimbulkan pro-kontra
diantara masyarakat, namun juga memunculkan konflik antara masyarakat dengan
perusahaan dan pemerintah. Sampai saat ini, Pembangunan PLTU di Batang masih terganjal
dengan permasalahan pembebasan lahan. Para pemilik lahan yang menolak menjual lahannya
menganggap adanya upaya pemaksaan seperti ancaman, intimidasi bahkan kriminalisasi agar
pemilik lahan bersedia untuk menjual lahan kepada pihak perusahaan dan pemerintah.
Pemerintah kemudian menerapkan UU No. 2 Tahun 2012 mengenai pembebasan lahan untuk
kepentingan umum, sebagai penyelesaian konflik. Namun pemilik lahan tetap menolak dan
melaporkan hal ini ke KOMNAS HAM karena melanggar hak untuk bekerja dan
mempertahankan lingkungan hidup mereka. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
Metode penelitian yang digunakan dalam yaitu in-depth interview dan shadow observation.
Hasil penelitian menunjukan bahwa dalam menyelesaikan konflik yang sudah terjadi hampir
5 tahun lamanya, pemerintah seharusnya tidak menerapkan undang-undang , kebijakan,
maupun peraturan yang merugikan rakyat. Terlebih lagi alasan pemilik lahan untuk menolak
menjual lahan mereka tidak hanya karena masalah ekonomi saja, namun juga
memperjuangkan lingkungan hidup mereka agar tidak tercemar dari bahaya limbah PLTU.
Untuk memenuhi kebutuhan pembangunan, pemerintah harus menerapkan pembangunan
yang berkelanjutan seperti mulai beralih ke energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan.
Kata Kunci : Konflik, Pembangunan Berkelanjutan, PLTU Batang.
I.

Pendahuluan

Sampai dengan tahun 2013, Indonesia memiliki 71 PLTU dengan total kapasitas yang
terpasang sebesar 15.554 MW yang tersebar diberbagai wilayah di Indonesia (PLN , 2013)
Saat ini, Indonesia sedang menjalankan pembangunan PLTU terbesar se-Asia Tenggara di
Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Dokumen pelaksanaan dan penjaminan proyek Pembangkit

Listrik Tenaga Uap (PLTU) Jawa Tengah ditandatangani di kantor Kementerian Koordinator
Bidang Perekonomian di Jakarta pada 6 Oktober 2011. Proyek ini melibatkan 2 negara yaitu
Indonesia dan Jepang. Konsorsium J-Power, Ithocu, dan Adaro adalah pemenang tender
proyek PLTU yang selanjutnya telah membentuk PT Bhimasena Power Indonesia sebagai
entitas pelaksana proyek (Greenpeace Indonesia , 2014).
Proyek PLTU Jawa Tengah ini merupakan proyek skala besar pertama dengan nilai investasi
lebih dari Rp 30 Triliun, sekaligus proyek pertama yang dilaksanakan berdasarkan peraturan
presiden No. 67 tahun 2005 tentang kerjasama pemerintah dengan badan usaha dalam
penyediaan infrastruktur (PLN, 2014). Di samping itu, proyek ini juga merupakan salah satu
proyek yang turut dimasukkan ke dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi (MP3EI) yang telah dicanangkan oleh pemerintah pada tahun 2010 ( Bappenas,
2010).
Pembangunan PLTU terbesar se-Asia Tenggara ini menimbulkan berbagai macam konflik
seperti konflik sosial dan konflik agraria. Konflik yang terjadi muncul akibat adanya prokontra didalam masyarakat terkait dampak yang akan mereka rasakan dengan adanya
pembangunan PLTU tersebut. Bagi masyarakat kontra, pembangunan PLTU ini dianggap
akan mengakibatkan semakin rusaknya lingkungan di Indonesia. Selain besarnya emisi
karbon yang dikeluarkan akibat pembakaran batubara, lahan pertanian dan laut yang menjadi
tempat sebagian besar penduduk sekitar terancam rusak. Namun, untuk masyarakat yang
mendukung, menganggap bahwa dengan adanya PLTU Batang, masyarakat disekitar PLTU
akan mendapat kesejahteraan dengan lapangan kerja, CSR dari perusahaan, dan juga PLTU
ini dianggap sebagai simbol kemajuan Kabupaten Batang.
Selain itu terjadinya pro-kontra didalam masyarakat, permasalahan pembebasan lahan yang
hingga saat ini belum terselesaikan, juga menjadi penyebab adanya konflik yang akhirnya
berakibat pada penundaan pembangunan PLTU Batang. Dalam konflik ini, masyarakat yang
tidak ingin menjual lahannya, merasa terintimidasi dan terancam haknya untuk
mempertahankan sumber mata pencahariaan mereka. Masyarakat yang sampai saat ini belum
mau menjual lahan, memandang bahwasanya Pemerintah dan Perusahaan memaksa dengan
berbagai cara termasuk menggunakan preman bahkan aparat penegak hukum, untuk
memaksa mereka menjual lahannya. Menanggapi masalah pembebasan lahan tersebut,
Pemerintah menerapkan Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 mengenai pembebasan lahan
untuk kepentingan umum. Dengan Undang-Undang ini, masyarakat wajib menyerahkan

lahannya untuk pembangunan PLTU dan proses penggantian uang lahan akan diserahkan
kepada pengadilan negeri setempat. Konflik sosial dan agraria yang terjadi dalam
pembangunan PLTU Batang ini melibatkan tidak hanya pemerintah dan masyarakat, namun
juga LSM dan LBH yang mendampingi masyarakat kontra. Selain itu, keterlibatan JBIC
sebagai investor juga membuat konflik ini tidak hanya menjadi perhatian nasional namun
juga masalah internasional.
II.

Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penilitian ini yaitu metode kualitatif dengan pendekatan
deskriptif . Dalam pandangan Sukmadinata menyebutkan bahwa penelitian deskriptif adalah
suatu bentuk penelitian yang ditujukan untuk mendiskripsikan fenomena-fenomena yang ada,
baik fenomena ilmah ataupun buatan manusia. Fenomena dapat berupa objek bentuk,
aktivitas, perubahan, hubungan, kesamaan, dan perbedaan antara fenomena satu dengan yang
lain .Pengumpulan data primer dilakukan dengan Wawancara mendalam dan Observasi
Bayangan ditengah masyarakat yang sedang berkonflik. Pengumpulan data sekunder
dilakukan dengan Studi Kepustakaan dan Studi Dokumentasi. Penelitian ini akan dilakukan
di Desa Pnowareng, Karanggeneng dan Roban Timur Kabupaten Batang Jawa Tengah.
III.

Hasil dan Diskusi

PLTU Batang akan dibangun di lahan seluas 226 hektar di 3 desa yaitu Karanggeneng,
Ponowareng dan Ujungnegoro, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Proyek ini dianggap
masyarakat kontra akan merusak melahap lahan pertanian produktif berupa sawah beririgasi
teknis seluas 124,5 hektar dan perkebunan melati 20 hektar, serta sawah tadah hujan seluas
152 hektar, dan akan dibangun di Kawasan Konservasi Laut Daerah Ujungnegoro-Roban,
yang merupakan kawasan kaya ikan dan terumbu karang, kawasan yang menjadi wilayah
tangkapan ikan nelayan dari berbagai wilayah di Pantai Utara Jawa (Greenpeace, 2014).
Masyarakat kontra juga menganggap bahwa jika dibangun, PLTU ini akan menghilangkan
mata pencaharian masyarakat disekitar lokasi yang rata-rata berkerja sebagai petani dan
nelayan.
Saat ini, pembangunan PLTU Batang ini sudah dalam proses pengerukan tanah, meskipun
lahan yang masih belum terjual sekitar 12% dari total lahan yang dibutuhkan. Pemerintah
akan menerapkan Undang-Undang no. 2 Tahun 2012 tentang pengadaan tanah untuk
kepentingan umum ( Supriyanto, 2015) sebagai langkah terakhir dalam sulitnya pembebasan
lahan yang terjadi dalam proyek ini.Tahun lalu, Gubernur Jawa Tengah menerbitkan surat

keputusan (SK) Nomor 590/35/2015 tentang Persetujuan Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah
Sisa Lahan Seluas 125.146 Meter Persegi Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap
(PLTU) Jateng 2 x 1.000 Megawatt di Kabupaten Batang. Berdasarkan SK itu, PLN meminta
kepada BPN untuk melakukan pembebasan lahan yang dibutuhkan tersebut melalui skema
UU No. 2 tahun 2012. Tanah-tanah masyarakat yang telah ditetapkan tidak akan dapat
menolak atau menghalang-halangi proyek ini, uang ganti kerugian akan dititipkan
dipengadilan, jika masyarakat tidak sepakat dengan besaran ganti kerugian mereka
disarankan untuk mengajukan keberatan kepada Pegadilan dan pengadilan akan memutus
perkara tersebut dalam rentang waktu 30 hari dan setelah itu dilakukan pelepasan hak.
Penerbitan surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 590/35 Tahun 2015 beserta
lampirannya itu dinggap sebagian masyarakat melakukan pelanggaran, dimana tindakan
Gubernur Jawa Tengah yang menetapkan Lokasi Pengadaan Tanah untuk Pembangunan
Pembangkit Listrik Tenaga Uap Jawa Tengah 2x1.000 MW di atas tanah milik masyarakat
tanpa terlebih dahulu melakukan sosialisasi dan konsultasi yang melibatkan pihak yang
berhak sebagaimana diatur dalam UU No.2 tahun 2012. Selain itu Pengadaan tanah untuk
kepentingan umum hanya dapat dilakukan oleh pemerintah atas proyek yang direncanakan
oleh pemerintah sendiri. Proyek itu harus dimuat terlebih dahulu dalam dokumen rencana
pembangunan yang dilakukan oleh instansi yang memerlukan. Selain itu dananya harus
bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) atau bersumber dari Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Hubungan PT. Bhimasena Power Indonesia (BPI)
dengan PT. PLN (Persero) hanya sebatas hubungan sebagai penjual dan Pembeli, sehingga
investasi ini murni kepentingan swasta atau kepentingan bisnis. Maka terhadap hal itu,
Gubernur Jawa Tengah selaku Pemerintah tidak tepat mengeluarkan kebijakan penetapan
lokasi pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang akan digunakan oleh BPI.
Berdasarkan UU No. 2/2012, Pasal 52 ayat (1) Bahwa Pendanaan Pengadaan Tanah untuk
kepentingan umum bersumber dari APBN dan atau APBD. Ayat (2) dalam hal instansi yang
memerlukan tanah BUMN/BUMD yang mendapat penugasan khusus, pendanaan bersumber
dari Internal perusahaan atau sumber lain sesuai dengan UU. Tanah yang berasal dari
pengadaan yang menggunakan Uang Negara akan menjadi asset negara, pendanaannya harus
terakomodir melalui rencana kerja yang telah ditetapkan melalui APBN/APBD. Dalam
Perpres No. 71 Tahun 2012, Pasal 116, bahwa Pendanaan pengadaan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum dilakukan oleh instansi yang memerlukan tanah,

dituangkan dalam dokumen pengangaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundanganundangan.


UU No 2 tahun 2012 ini juga dinilai tidak akan menyelesaikan konflik yang terjadi antara
masyarakat, pemerintah dan investor. Diterapkannya UU ini dalam konflik pembebasan lahan
pembangunan PLTU Batang, maka pemerintah memaksakan masyarakat untuk menjual
tanahnya untuk investor asing. Selain itu pemerintah tak boleh luput, bahwasanya dibalik
penolakan penjualan tanah beberapa pemilik tanah, ada alasan perlindungan terhadap
lingkungan yang ditunjukan. Beberapa pemilik tanah yang menolak menjual menamakannya
dirinya masyarakat UKPWR, bertahan atas tanah mereka karena tidak ingin lingkungan yang
subur akan terancam keberadaannya karena menurut mereka PLTU akan membawa
kerusakan bagi lingkungan sekitar juga terhadap masyarakat. Untuk itu, penerapan UU no 2
tahun 2012 sebagai solusi atas konflik pembebasan lahan perlu dikaji lebih dalam lagi.
Apakah akan akan menjadi efektif, atau justru menimbulkan konflik baru antara pemerintah
dan masyarakat.
Kesimpulan
Penerapan UU No. 22 Tahun 2012 dalam penyelesaian konflik yang terjadi dalam
pembangunan PLTU di Batang tidak dapat menjadi sebuah resolusi yang tepat, justru
menimbulkan permasalahan baru. Untuk menemukan resolusi yang tepat pemerintah perlu
mengkaji berbagai kepentingan yang ada didalam konflik dan keterlibatan berbagai macam
aktor. Untuk

memenuhi

kebutuhan

pembangunan,

pemerintah

harus

menerapkan

pembangunan yang berkelanjutan yang tidak hanya memperhatikan kebutuhan saat ini,
namun juga keberlangsungan kehidupan manusia dan alam dimasa depan.

Referensi
Bock, E. W. (1966). Symbols in conflict: Official versus folk religion. Journal for the
Scientific Study of Religion, 5(2), 204-212.
Coser, L.A., 1967. Continuities in the Study of Social Conflict.
European Commision. 2003, External Costs: Research results on socio-environmental
damages due to electricity and transport, Luxembourg: Ofce for Ofcial Publications of the
European Communities.

Greenpeace

East

Asia,

Quit

Coal

on

http://www.Greenpeace.org/eastasia/campaigns/climate-energy/work/quit-coal/ at 4 February
2016
Greenpeace Indonesia, Aksi Warga Batang Dukung Visi Kedaulatan Pangan Jokowi-JK on
http://www.Greenpeace.org/seasia/id/press/releases/Aksi-Warga-Batang-Dukung-VisiKedaulatan-Pangan-Jokowi-JK/ at 7 February 2016
Greenpeace International. 2008, The True Cost of Coal. A dirty fuel thats destroying the
climate, Amsterdam.
-------. "Batang Coal-fired Power Plant Will destroy health and livelihoods, on
http://www.greenpeace.org/seasia/id/press/releases/Batang-Coal-fired-Power-Plant-Willdestroy-health-andlivelihoods/ at 2 February 2016
-------. 100% Lingkungan Hidup Indonesia: Tantangan untuk Calon Presiden

on

http://www.greenpeace.org/seasia/id/press/releases/100-Lingkungan-Hidup-IndonesiaTantangan-untuk-Calon-Presiden---/ on 20 Februari 2016


-------. Anggota Parlemen Jepang desak JBIC hentikan investasi di Batang on
http://www.greenpeace.org/seasia/id/press/releases/Anggota-Parlemen-Jepang-desak-JBIChentikan-investasi-di-Batang/ on 20 Februari 2016
-------. PLTU Batang Ancam Kedaulatan Pangan dan Memperburuk Perubahan Iklim on
http://www.greenpeace.org/seasia/id/press/releases/PLTU-Batang-Ancam-KedaulatanPangan-dan-Memperburuk-Perubahan-Iklim/ on 20 February 2016
-------.

Stop

Investasi

Jahat

Jepang

di

PLTU

Batang

on

http://www.greenpeace.org/seasia/id/press/releases/stop-investasi-jahat-jepang-di-pltubatang/ on 20 Februari 2016


Greenpeace

Shoutheast

Asia,

WALHI

dan

JATAM,

Batubara

Mematikan

on

http://www.Greenpeace.org/seasia/id/pagefiles/110812/batubara-mematikan18oct2010.pdf
hal: 14 at 20 February 2016
Oberschall, A., 1978. Theories of social conflict. Annual review of sociology, pp.291-315.
PT

PLN

Persero.

Statistik

PLN

2013,

2014.

Tabel

20

http://www.pln.co.id/dataweb/STAT/STAT2013IND.pdf at 7 February 2016

Hal

21

on

Williams, R. and Edge, D., 1996. The social shaping of technology. Research policy, 25(6),
pp.865-899.

Você também pode gostar