Você está na página 1de 13

STUDI PEMILIHAN ALTERNATIF TEKNOLOGI PENGOLAHAN SAMPAH

TPA KAWASAN REGIONAL


(STUDI KASUS: TPA LEGOK NANGKA, JAWA BARAT)
STUDY OF MUNICIPAL SOLID WASTE TREATMENT TECHNOLOGY SELECTION
IN REGIONAL FINAL PROCESSING AREA
(CASE STUDY: TPA LEGOK NANGKA, WEST JAVA)
Aghnia Qinthari Nabilah1 dan Emenda Sembiring2
Program Studi Teknik Lingkungan
Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung
Jl. Ganesha 10 Bandung 40132
1
aghnia@students.itb.ac.id dan 2emenda@tl.itb.ac.id

Abstrak: Metropolitan Bandung Raya merupakan kawasan yang sedang dikembangkan oleh Pemerintah
Provinsi Jawa Barat sebagai pendukung percepatan ekonomi di Jawa Barat. Untuk menunjang perkembangan
kawasan ini diperlukan adanya sarana dan prasarana yang memadai, khususnya infrastruktur pengelolaan
persampahan. Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah menyiapkan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) skala
regional di Legok Nangka, Kecamatan Nagreg, Kabupaten Bandung. Timbulan sampah di wilayah pelayanan
TPA Legok Nangka saat ini mencapai 10.453 m3/hari atau 2.342 ton/hari dan akan semakin meningkat seiring
perkembangan wilayah tersebut. Sampah organik merupakan komposisi dominan dari seluruh jenis yang ada.
besarnya mencapai 71,17%. TPA Legok Nangka direncanakan akan beroperasi selama 20 tahun dari tahun
2017-2036 sehingga beban sampah yang masuk pada awal operasi yaitu tahun 2017 sebesar 7.499 m3/hari. Pada
akhir tahun operasi diprediksi sebesar 11.883 m3/hari sampah yang masuk ke TPA Legok Nangka. Salah satu
solusi dalam mereduksi timbulan sampah kota adalah dengan teknologi pengolahan. Dalam memilih teknologi
pengolahan dibutuhkan pendekatan ilmiah yakni dengan analisis multikriteria. Metode yang digunakan pada
studi ini adalah Analytical Hierarchy Process (AHP) yang didasari oleh penilaian stakeholder pengelolaan
persampahan di Jawa Barat terhadap beberapa kriteria. Responden terdiri dari kalangan pemerintah,
masyarakat, dan akademisi. Pemilihan teknologi pengolahan ditinjau dari beberapa aspek kriteria yaitu sosial,
ekonomi, lingkungan, dan teknis. Alternatif teknologi yang dipilih pada studi ini antara lain produksi refuse
derived fuel dengan biodrying, gasifikasi, anaerobic digestion, dan sanitary landfill. Berdasarkan hasil penilaian
responden secara agregat didapatkan alternatif teknologi terpilih adalah produksi refuse derived fuel dengan
biodrying.
Kata kunci: sampah kota, teknologi pengolahan, pengambilan keputusan, multikriteria, analytical hierarchy
process

Abstract: Greater Bandung Metropolitan Area is a region which is being developed by the Government of West
Java Province as supporter of economic acceleration in West Java. Adequate infrastructure, especially
municipal solid waste management, is needed to support its development. The government has prepared a
regional final processing area located in Legok Nangka, Nagreg District, Bandung Regency. Recently, MSW
generation in service areas of TPA Legok Nangka is reaching10.453 m3/ day or 2.342 tonne/day. This is going
to be increase along with the development of this area. Dominant composition of MSW is organic, it reachs
71,17%. TPA Legok Nangka is planned to be operate for 20 years from 2017 until 2036. Loading of MSW in
2017 is predicted about 7.499 m3/day. In 2037, loading of MSW is predicted about 11.883 m 3/day. MSW
generation can be reduced by treatment technology. In order to select suitable treatment technology, it needs a
scientific approach. In this study, Analytical Hierarchy Process (AHP) is proposed. AHP is a multi-criteria
decision making method which is based on experts judgement. Experts who become respondents in this study is
categorized by three groups, there are government, society, and researcher. Some criterions that have to be
considered by respondents are social aspects, economical aspects, environmental aspects, and technical
aspects. Alternative technology options for TPA Legok Nangka are refuse derived fuel production using
biodrying, gasification, anaerobic digestion, and sanitary landfill. Based on all stakeholders judgement, the
best technology treatment to be applied in TPA Legok Nangka is refuse derived fuel production using biodrying.
Key words: municipal solid waste, processing technology, decision making, multiple criteria, analytical
hierarchy process
1

PENDAHULUAN
Sampah merupakan salah satu permasalahan sanitasi yang dihadapi oleh berbagai
daerah di Indonesia terutama di kota-kota besar. Meningkatnya pembangunan, pertambahan
jumlah penduduk, dan aktivitas di berbagai tingkat sosial ekonomi masyarakat berakibat
jumlah timbulan sampah turut meningkat. Keadaan tersebut tidak diimbangi dengan sarana
dan prasarana yang memadai sehingga sampah menjadi permasalahan yang cukup kompleks.
Di Jawa Barat pada tahun 2005 silam terjadi peristiwa longsornya TPA Leuwigajah yang
menelan korban jiwa. Peristiwa ini menjadi sebuah pelajaran bagi pemerintah sebagai
penyedia sarana prasarana persampahan untuk memperbaiki pengelolaan sampah di
daerahnya masing-masing.
Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 12 Tahun 2014 tentang
Pengelolaan Pembangunan dan Pengembangan Metropolitan dan Pusat Pertumbuhan di Jawa
Barat, Pemerintah Provinsi Jawa Barat akan membangun TPA skala regional Legok Nangka
yang melayani wilayah Metropolitan Bandung yaitu Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten
Bandung, Kabupaten Bandung Barat, sebagian Kabupaten Garut, dan sebagian Kabupaten
Sumedang.Wilayah Metropolitan Bandung merupakan pusat pertumbuhan yang memiliki
keunggulan karena lokasi, sejarah, dan/atau kebijakan pemerintah sehingga dapat
dimanfaatkan sebagai penggerak percepatan pembangunan di daerah sekitarnya. Seiring
dengan berkembangnya wilayah tersebut, dibutuhkan infrastruktur yang memadai khususnya
di bidang persampahan. Aspek pengolahan sampah guna mereduksi timbulan dan
meningkatkan umur operasional TPA merupakan salah satu hal yang penting dalam
pengelolaan persampahan. Untuk memilih alternatif teknologi pengolahan yang dapat
diterapkan di TPA Regional Legoknangka, diperlukan adanya pendekatan ilmiah. Metode
yang digunakan adalah metode analisis multikriteria menggunakan Analytical Hierarchy
Process (AHP) yang didasari oleh pendapat para pakar dan pemangku kepentingan di bidang
pengelolaan persampahan di Jawa Barat. Opsi teknologi pengolahan yang digunakan dalam
penelitian ini antara lain:
1. Produksi Refuse Derived Fuel (RDF) menggunakan biodrying
RDF adalah hasil pemilahan sampah kota berdasarkan fraksi yang dapat dibakar dan
tidak dapat dibakar. Nilai kalor yang dimiliki RDF lebih tinggi dari sampah kota yang
tidak dipilah yaitu berada di sekitaran 12-13 MJ/kg (Cheremisinoff, 2003). Sampah kota
yang belum diolah memiliki kadar air tinggi, nilai kalor rendah, dan ukuran partikel yang
heterogen. Hal tersebut menyebabkan penggunaan sampah kota sebagai bahan bakar
menjadi kurang menarik. Mengolah sampah kota menjadi RDF memberikan banyak
keuntungan, antara lain adalah nilai kalor tinggi dan cenderung bersifat konstan, bentuk
fisik dan karakteristik yang homogen, kemudahan dalam penyimpanan dan transportasi,
rendahnya emisi polutan dan mengurangi udara berlebih saat pembakaran (Caputo &
Pelagagge, 2002).
RDF dihasilkan dari proses segregasi material sampah yang terbakar dan tidak dapat
terbakar lalu diolah melalui proses screening dan pengeringan. Metode pengeringan pada
produksi RDF antara lain secara Mechanical Biological Treatment (MBT) dan Mechanical
Heat Treatment (MHT). Pada studi ini pemanfaatan sampah menjadi RDF dilakukan
dengan metode MBT yakni biodrying. Biodrying adalah suatu teknologi yang
memanfaatkan mikroorganisme untuk mendekomposisi sampah secara aerobik (Velis
dkk., 2009).
2. Gasifikasi
Gasifikasi merupakan teknologi termal yang mengubah kandungan karbon dan
hidrogen dalam sampah menjadi syngas dan residu padat seperi arang dan abu. Pada
2

gasifikasi terjadi proses pembakaran secara parsial, dimana oksigen yang digunakan
kurang dari pembakaran sempurna sesuai stoikiometri (Arena, 2012). Kualitas syngas
dipengaruhi oleh udara pada pembakaran. Gasifikasi menggunakan udara dengan oksigen
murni akan menghasilkan syngas dengan nilai kalor tinggi, sedangkan penggunaan udara
bebas menghasilkan syngas dengan nilai kalor lebih rendah. Reaktor gasifikasi bekerja
pada suhu 1000C sampai 1600C. Temperatur tinggi berguna untuk melelehkan abu
menjadi slag.
3. Anaerobic Digestion
Anaerobic digestion merupakan proses transformasi biologis sampah dengan bantuan
mikroorganisme tanpa kehadiran oksigen. Mikroorganisme membantu pada proses
degradasi material organik sehingga menghasilkan biogas dan produk lain yang kaya akan
kandungan organik. Tahapan reaksi metabolis seperti hidrolisis, asidogenesis, acetogenesis
dan methanogenesis terjadi pada proses dekomposisi anaerobik (Khalid dkk., 2011)
4. Sanitary Landfill
Pembuangan akhir merupakan prasarana yang harus tersedia karena pilihan teknologi
apapun selalu membutuhkan lahan untuk membuang sisa hasil prosesnya (Fernando,
2007). Sistem pembuangan akhir sampah yang baik adalah menggunakan sistem sanitary
landfill yang dilengkapi dengan sistem pengamanan gas metan dan pengamanan lindi.
Menurut Damanhuri dkk. (2006), mekanisme pengurugan sampah dengan metode sanitary
landfill adalah sampah disebar dan dipadatkan lapis per-lapis lalu ditutup oleh tanah
penutup setiap hari. Gas metan yang dihasilkan dari landfill bersifat mudah terbakar dan
meledak. Untuk mengendalikan pengumpulan gas tersebut, maka di dasar lahan urug
dibuat sistem jaringan pipa atau batu koral untuk aliran pelepasan gas metan ke udara
terbuka. Jika volume sampah yang diurug sangat besar, maka gas metan dibakar pada
setiap ujung pelepasnya ditangkap untuk dikonversi menjadi energi listrik. Demikian juga
dengan lindi, karena adanya proses pembusukan pada sampah, maka lindi dari sampah
tersebut perlu dilakukan pengamanan, untuk menghindari pencemaran terhadap
lingkungan sekitar.

METODOLOGI
Pengumpulan data awal
Tahap pertama adalah pengumpulan data sekunder dari instansi pemerintah. Data
sekunder berupa data kependudukan, data ekonomi kecamatan dan kondisi eksisting
pengelolaan sampah di wilayah pelayanan TPA Legok Nangka.
Penentuan lokasi TPS
Lokasi penelitian untuk mengukur timbulan, komposisi, dan karakteristik sampah
dilakukan di TPS yang berada di wilayah pelayanan TPA Regional Legok Nangka. TPS
dipilih berdasarkan metode proportionate stratified random sampling yaitu teknik
pengambilan sampel secara acak namun memperhatikan strata yang ada di dalam populasi.
Dalam penelitian ini sampel ditentukan berdasarkan tingkat ekonomi kecamatan dimana
lokasi TPS tersebut berada. Klasifikasi ekonomi dikategorikan menjadi tingkat ekonomi
rendah, menengah, dan tinggi. Indikator ekonomi yang digunakan adalah nilai Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita dan jumlah keluarga sejahtera tahap I (KS-I).

Pengambilan sampel sampah di TPS


Pelaksanaan sampling timbulan sampah dilakukan di minimal tiga TPS di tiap
kabupaten atau kota. Pengukuran timbulan sampah dilakukan selama delapan hari berturutturut di setiap TPS (SNI 19-3694, 1994). Metode pengukuran yang dilakukan adalah metode
load-count analysis, yakni mengukur jumlah (berat dan/atau volume) sampah yang diangkut
oleh armada pengangkut, misalnya gerobak. Untuk mengetahui satuan timbulan sampah perekivalensi penduduk, sumber sampah perlu diketahui jumlah penduduk yang dilayani
(Damanhuri dan Padmi, 2010).
Uji karakteristik sampah
Penentuan karakteristik sampah dilakukan di Laboratorium Limbah Padat dan B3
Institut Teknologi Bandung dengan metode uji pada Tabel 1.
Tabel 1 Metode Uji Karakteristik Sampah
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Parameter
Kadar Air
Kadar Abu
Nilai Kalor
Kadar Volatil
C-Organik
Nitrogen Total Khjeldaal

Metode
ASTM D 2216-98
Gravimetri SKSNI M-36-1991-03
SKSNIM-36-1991-03
Gravimetri SKSNI M-36-1991-03
ASTM D 5369-93
ASTM D 5198-09

Analisis multi kriteria pemilihan alternatif teknologi pengolahan sampah


Analisis multikriteria pada penelitian ini dilakukan dengan metode Analytical
Hierarchy Process (AHP). AHP merupakan salah satu metode pengambilan keputusan yang
tersusun dalam suatu hierarki yang terdiri dari tujuan, kriteria, sub kriteria, dan alternatif.
Pembobotan tiap elemen dalam struktur hierarki dilakukan dengan membandingkan secara
berpasangan antara elemen satu dengan elemen lainnya. Nilai pembobotan diberikan oleh
stakeholders pengelola sampah di wilayah Metropolitan Bandung Raya sesuai bobot numerik
pada Tabel 2. Langkah-langkah pemilihan teknologi pengolahan sampah dengan metode
AHP ditunjukkan pada Gambar 1.
Tabel 2 Skala pembobotan AHP
Tingkat
Kepentingan

Definisi

Keterangan

Sama pentingnya

Sedikit lebih penting

Lebih penting

Sangat penting

Mutlak lebih penting

Satu elemen mutlak lebih disukai dibandingkan


dengan pasangannya, pada tingkat keyakinan tertinggi

Nilai-nilai tengah di antara dua


pendapat yang berdampingan

Nilai-nilai ini diperlukan suatu kompromi

2, 4, 6, 8

Kedua elemen mempunyai pengaruh yang sama


Pengalaman dan penilaian sangat memihak satu
elemen dibandingkan dengan pasangannya
Satu elemen sangat disukai secara praktis
dominasinya sangat nyata, dibandingkan elemen
pasangannya
Satu elemen terbukti sangat disukai dan secara praktis
dominasinya sangat nyata dibandingkan dengan
elemen pasangannya

(Sumber: Saaty, 1993)

Penentuan kriteria

Pembobotan

Penentuan sub
kriteria

Penentuan alternatif
teknologi

Pembuatan matriks

Penyusunan
Hierarki AHP

perbandingan

berpasangan

Sintetis prioritas

Uji konsistensi

Penarikan
kesimpulan

Gambar 1 Langkah pemilihan teknologi pengolahan sampah dengan AHP


Langkah pertama yang dilakukan dalam analisis AHP adalah menentukan kriteria dan
sub kriteriaberdasarkan studi literatur. Lalu menentukan opsi alternatif pengolahan yang
sesuai dengan komposisi dan karakteristik sampah di wilayah Metropolitan Bandung Raya.
Setelah itu hierarki AHP disusun sebagai dasar penyusunan kuisioner. Langkah selanjutnya
adalah pembobotan yang dilakukan oleh responden. Hal yang diutamakan dalam metode
AHP adalah kualitas data dari responden bukan tergantung dari kuantitasnya (Saaty, 1993),
sehingga penilaian AHP memerlukan pakar sebagai responden dalam pemilihan alternatif.
Pakar yang dimaksud adalah orang-orang kompeten yang benar-benar menguasai,
mempengaruhi pengambilan kebijakan atau benar-benar mengetahui informasi yang
dibutuhkan. Jumlah responden dalam metode AHP tidak memiliki rumusan tertentu, namun
ada batas minimum yaitu dua orang responden (Saaty, 1993). Responden dalam penelitian ini
diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu:
a. Kelompok pemerintah
Responden dari kelompok pemerintah diwakili oleh dua orang staff Balai Pengelolaan
Sampah Regional (BPSR) Jawa Barat. BPSR Jawa Barat merupakan lembaga yang
berwenang melaksanakan kegiatan perencanaan dan pengelolaan sampah skala regional di
Jawa Barat. Untuk saat ini, BPSR Jawa Barat sedang menangani pengelolaan sampah di
TPPAS Sarimukti. Kelompok masyarakat diwakili oleh Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) yang bergerak di bidang lingkungan yakni Wahana Lingkungan Hidup (WALHI)
Jawa Barat sebanyak dua orang.
b. Kelompok masyarakat
Kelompok masyarakat diwakili oleh lembaga swadaya masyarakat yang memiliki sepak
terjang yang lama dalam menangani permasalahan lingkungan di wilayah Jawa Barat,
terutama masalah persampahan, yaitu Wahana Lingkungan Hidup Jawa Barat (WALHI
Jabar). Responden dari WALHI Jabar pada penelitian ini diwakili oleh dua orang.
c. Kelompok akademisi
Kelompok akademisi diwakili oleh tenaga pengajar yang memiliki fokus di bidang
persampahan dan pernah melakukan penelitian mengenai persampahan di wilayah Jawa
Barat. Responden dari kelompok akademisi diwakili oleh dua orang yang berprofesi
sebagai tenaga pengajar program studi teknik lingkungan di Kota Bandung.
Setelah dilakukan pembobotan, langkah selanjutnya adalah melakukan sintesis atau
perhitungan untuk memperoleh prioritas elemen-elemen yang dibandingkan. Perhitungan
5

dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Expert Choice 11. Nilai yang dianalisis
adalah nilai rata-rata dari kuisioner tiap kelompok stakeholder dan seluruh stakeholder.
Langkah terakhir adalah menghitung nilai konsistensi matriks yang bersangkutan. Tingkat
inkonsistensi yang masih dapat diterima pada metode AHP adalah sebesar 10% (Saaty,
1993).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Analisis timbulan sampah wilayah pelayanan TPA Legok Nangka
Sampling dilakukan selama 8 hari berturut-turut di Tempat Penampungan Sementara
(TPS) yang terletak di daerah layanan TPA Legok Nangka. Sumber sampah merupakan
sampah rumah tangga di wilayah permukiman. Pemilihan lokasi TPS dilakukan berdasarkan
klasifikasi tingkat ekonomi per kecamatan. Tabel 3 menunjukkan hasil sampling timbulan
yang dihasilkan liter per orang per hari.
Tabel 3 Hasil sampling timbulan TPS
Wilayah Pelayanan
Kota Bandung
Kabupaten Bandung
Kabupaten Bandung Barat
Kota Cimahi
Kabupaten Garut
Kabupaten Sumedang

Klasifikasi Tingkat Ekonomi


Menengah
2,17
2,39
2,37
2,26
2,58
2,11

Rendah
2,13
2,20
2,07
2,09
2,49
2,11

Tinggi
2,43
2,48
2,57
2,41
2,67
2,17

Total timbulan sampah wilayah pelayanan TPA Legok Nangka pada tahun 2015
berdasarkan perhitungan ekivalensi penduduk adalah 10.453 m3/hari atau 2.342 ton/hari. TPA
Legok Nangka direncanakan akan beroperasi selama 20 tahun dari tahun 2017-2036 sehingga
dibutuhkan prediksi jumlah timbulan selama di sumber selama tahun operasi. Berdasarkan
hasil perhitungan ekivalensi penduduk, beban sampah yang masuk pada awal operasi yaitu
tahun 2017 sebesar 7.499 m3/hari. Pada akhir tahun operasi diprediksi sebesar 11.883 m3/hari
sampah yang masuk ke TPA Legok Nangka.
Komposisi sampah ditunjukkan pada Gambar 2. Sampah organik merupakan
komposisi dominan dari seluruh jenis yang ada. besarnya mencapai 71,17%. Komposisi
terbesar setelah organik adalah plastik sebesar 11,42% lalu kertas sebesar 6,10%. Selanjutnya
kaca sebesar 2,9%, kayu sebesar 1,92%, kain sebesar 1,53%, logam sebesar 1,29%, kulit
sebesar 0,30%, karet sebesar 0,27%, dan jenis yang tidak teridentifikasi sebesar 3,71%.
1,53

1,92

0,27

0,30

3,71

2,29
1,29
6,10
11,42
71,17

Organik
Plastik
Kertas
Logam
Kaca
Kain
Kayu
Karet
Kulit
Lain-lain

Gambar 2 Komposisi sampah wilayah pelayanan TPA Legok Nangka


6

Karakteristik sampah
Selain jumlah timbulan, parameter lain untuk menentukan bahwa sampah memiliki
potensi pemulihan energi adalah karakteristik fisik dan kimia. Parameter fisik terdiri dari
ukuran material sampah, kadar air, dan densitas. Parameter kimia yang digunakan untuk
menentukan teknologi pengolahan dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Parameter kimia berdasarkan teknologi pengolahan
Teknologi Pengolahan
Termal
- Pirolisis
- Gasifikasi

Biologi
- Anaerobic digestion
- Biomethanation

Parameter
-

Kadar air
Kadar volatil
Fixed carbon
Nilai kalor

- Kadar air
- Kadar volatil
- Rasio C/N

Kriteria Nilai
< 45%
> 40%
< 15%
> 1200 Kcal/kg
> 50%
> 40%
25-30

(Sumber: Mohapatra, 2013)


Parameter fisik sampah di wilayah pelayanan TPA Legok Nangka terdiri dari kadar
air yakni sebesar 63,2% dan densitas sebesar 171,45 kg/m3. Parameter kimia sampah tersaji
pada Tabel 5. Analisis kadar volatil bertujuan untuk mengetahui persentase material organik
pada sampah yang mudah menguap pada suhu 600C. Pengaruh kadar volatil pada
pembakaran antara lain membantu memudahkan penyalaan awal pada proses pembakaran
dan meningkatkan kemampuan reduksi sampah. Oleh karena itu semakin tinggi kadar volatil
sampah maka semakin cepat sampah tersebut terdekomposisi. Menurut Mohapatra (2013),
kadar volatil sampah yang diolah secara termal sebaiknya lebih dari 40%. Maka dengan kadar
volatil rata-rata 89,2%, sampah layak diolah secara termal.
Kadar abu menunjukkan material sampah yang tidak tervolatilisasi pada suhu 600C.
Rata-rata kadar abu sebesar 11%. Semakin tinggi kadar abu pada pembakaran maka semakin
banyak komposisi material non combustible. Untuk meningkatkan efektivitas pembakaran
sebaiknya ada pemisahan antara material combustible dan non combustible seperti yang
diterapkan pada teknologi produksi RDF.
Fixed carbon pada adalah zat yang tetap ada pada material setelah material volatil
terpisahkan. Pada saat sampah dipanaskan pada suhu 900C, masih terdapat material yang
terbakar pada suhu tersebut, material tersebut dinamakan fixed carbon. Menurut Mohapatra
(2013), untuk pengolahan secara termal sebaiknya kandungan fixed carbon pada sampah
kurang dari 15%. Dari hasil perhitungan didapatkan rata-rata 0,9% kandungan fixed carbon,
maka pengolahan sampah layak dilakukan secara termal.
Pengukuran nilai kalor pada sampah bertujuan untuk mengetahui kandungan energi.
Pada Tabel 5 didapatkan rata-rata nilai kalor sebesar 4.374 cal/gram. Nilai kalor untuk
pengolahan termal sebaiknya berada di atas 1200 cal/g (Mohapatra, 2013). Dalam hal ini,
sampah layak diolah secara termal. Semakin tinggi nilai kalor yang terkandung dalam
sampah maka semakin tinggi potensi energi yang dihasilkan.
Parameter rasio C/N penting untuk pengolahan sampah secara biologi. Pada Tabel 5
didapat rata-rata rasio C/N adalah 8. Nilai ini tergolong rendah. Menurut Mohapatra (2013),
kandung rasio C/N yang baik untuk pengolahan anerobic digestion adalah di antara 25-30.
Rasio C/N rendah akan meningkatkan emisi dari nitrogen sebagai amoniak (Supriyanto, 2001
dalam Andarini dan Padmi, 2012).
7

Tabel 5 Parameter kimia sampah sampel TPS


Parameter

Nilai

Kadar volatil (%)

89,20

Kadar abu (%)

11,03

Fixed carbon (%)

0,89

Nilai kalor (cal/g)

4.374

Rasio C/N

7,98

Hasil analisis multi kriteria pemilihan alternatif teknologi pengolahan sampah


Pemilihan alternatif teknologi pengolahan sampah dimulai dengan menentukan
kriteria untuk parameter penilaian. Menurut Amurwaraharja (2006), terdapat empat aspek
untuk menentukan opsi teknologi pengolahan sampah yaitu aspek sosial, aspek ekonomi,
aspek lingkungan, dan aspek teknis. Setiap aspek memiliki sub kriteria yang dijabarkan pada
Tabel 6. Struktur hierarki studi pemilihan teknologi pengolahan sampah ditunjukkan pada
Gambar 3.
Tabel 6 Sub kriteria pemilihan teknologi pengolahan sampah
Kriteria
Aspek sosial

Aspek ekonomi

Aspek lingkungan

Aspek teknis

Sub Kriteria
1. Penerimaan masyarakat
Keberadaan teknologi pengolahan sampah sering menciptakan persepsi negatif seperti potensi
pencemaran pada lingkungan sekitar. Penerimaan masyarakat diharapkan dapat mencegah
terjadinya konflik sehingga teknologi yang diterapkan dapat bersifat berkelanjutan.
2. Penyerapan tenaga kerja
Kegiatan operasional dan perawatan membutuhkan pekerja sehingga dapat membuka peluang
lapangan pekerjaan bagi masyarakat.
3. Penguatan peran serta masyarakat.
Penerapan teknologi pengolahan sampah diharapkan dapat memperkuat partisipasi masyarakat
dalam pengelolaan sampah misalnya kemauan untuk membayar.
1. Biaya investasi
Biaya investasi dibutuhkan untuk membangun teknologi pengolahan. Jumlah biaya yang
dibutuhkan berpengaruh terhadap keputusan dalam memilih teknologi.
2. Biaya operasional dam pengolahan
Biaya ini berpengaruh terhadap jumlah tipping fee yang dibayarkan oleh pemerintah daerah
terhadap jasa pihak pengelola sampah kota.
1. Pencemaran terhadap tanah dan air
Potensi pencemaran terhadap tanah dan air adalah lindi. Karakteristik lindi mengandung bahan
berbahaya dan sulit terdegradasi. Teknologi terpilih diharapkan menimbulkan dampak minim
pada lingkungan.
2. Pencemaran terhadap udara
Potensi pencemaran terhadap udara adalah emisi gas dan bau.
1. Kemampuan reduksi sampah
Tujuan utama dalam pengolahan sampah adalah dapat mereduksi jumlah sampah sehingga TPA
memiliki umur operasional yang panjang.
2. Kemudahan operasional dan perawatan
Kemudahan dalam operasional dan perawatan dapat mereduksi biaya terutama biaya upah
pekerja.
3. Mengatasi keterbatasan lahan
Bertambahnya jumlah timbulan sampah berpengaruh terhadap lahan yang dibutuhkan untuk
pembuangan. Teknologi terpilih diharapkan dapat mengatasi keterbatasan lahan untuk
pembuangan sampah.
4. Ketersediaan teknologi dan sumber daya manusia
Ketersediaan teknologi dan sumber daya manusia yang paham pada teknologi yang diterapkan
harus dipertimbangkan dalam proses pemilihan.
5. Pemanfaatan produk hasil pengolahan
8

Pemilihan teknologi pengolahan


sampah

Kriteria

Sub Kriteria
Selain mereduksi volume, pengolahan sampah diharapkan dapat efektif mentransformasi
sampah ke bentuk lain yang memiliki nilai manfaat.

1. Penerimaan masyarakat
(S1)
2. Penyerapan tenaga kerja
(S2)
3. Penguatan peran serta
masyarakat (S3)

Aspek sosial

1.
2.

Aspek ekonomi

Biaya investasi (E1)


Biaya operasional dan
perawatan (E2)

1. Anaerobic digestion
(AD)
2. Produksi Refused
Derived Fuel (RDF)
dengan biodrying
3. Sanitary landfill (SL)
4. Gasifikasi (GAS)

1. Pencemaran air dan tanah


(L1)
2. Penecemaran udara (L2)

Aspek lingkungan

Aspek teknis

1. Efektivitas reduksi (T1)


2. Kemudahan operasional
dan perawatan (T2)
3. Lahan minim (T3)
4. Ketersediaan teknologi
dan SDM (T4)
5. Pemanfaatan produk hasil
pengolahan (T5)

Gambar 3 Hierarki studi pemilihan teknologi pengolahan sampah


Gambar 4 menunjukkan penilaian prioritas kriteria (a) pemerintah, (b) masyarakat,
(c) akademisi, dan (d) seluruh stakeholder. Masing-masing stakeholder menilai aspek
lingkungan merupakan kriteria paling penting dalam pertimbangan pemilihan teknologi. Hal
ini ditunjukkan dengan kriteria lingkungan memiliki bobot tertinggi pada masing-masing
kelompok stakeholder. Kelompok pemerintah memberikan bobot sebesar 0,375; kelompok
masyarakat memberikan bobot 0,422; dan kelompok akademisi memberikan bobot sebesar
0,464. Kriteria lingkungan merupakan aspek yang berkaitan dengan potensi pencemaran
teknologi pengolahan terhadap tanah, air, dan udara.
Preferensi seluruh stakeholder terhadap kriteria pemilihan teknologi pengolahan
adalah aspek lingkungan dianggap paling penting. Hal ini ditunjukkan dengan bobot 0,446.
Kriteria sosial mendapat bobot kedua tertinggi yaitu sebesar 0,23. Selanjutnya kriteria teknis
mendapat bobot 0,208. Opsi terakhir yang dipertimbangkan adalah aspek ekonomi dengan
bobot 0,116.
0,212

Teknis

Lingkungan

Kriteria

Kriteria

Teknis

0,375

Ekonomi

0,186

Sosial

0,227
0

0,2
Bobot Kriteria

0,105

Lingkungan

0,422

Ekonomi

0,074

Sosial
0,4

0,399
0

0,2

0,4

0,6

Bobot Kriteria

(b) Penilaian masyarakat

(a) Penilaian pemerintah

Teknis

0,335

Lingkungan

Kriteria

Kriteria

Teknis

0,464

Ekonomi

0,093

Sosial

Lingkungan

0,446

Ekonomi

0,116

Sosial

0,108
0

0,208

Bobot Kriteria

0,23
0

0,5

Bobot Kriteria

0,5

(d) Penilaian seluruh stakeholder

(c) Penilaian akademisi

Gambar 4 Analisis kriteria


Inconsistency ratio dalam pemilihan prioritas kriteria ditunjukkan pada Tabel 7.
Menurut Saaty (1993), batas penerimaan inkonsistensi dalam suatu analisis multi kriteria
menggunakan metode AHP adalah sebesar 10%. Inconsistency ratio pada penentuan kriteria
masih di bawah 10% sehingga penilaian diterima.
Tabel 7 Inconsistency ratio analisis kriteria
Inconsistency
Ratio
2%
2%
1%
0%

Stakeholder
Pemerintah
Masyarakat
Akademisi
Seluruh stakeholder

Penilaian sub kriteria secara lokal ditunjukkan pada Gambar 5. Penilaian pemerintah
pada aspek sosial, bobot tertinggi adalah penerimaan masyarakat (S1: 0,684). Kelompok
pemerintah menilai terjangkaunya biaya investasi serta operasional dan perawatan adalah
sama penting (E1: 0,5 dan E2: 0,5). Begitu pula dengan aspek lingkungan, kedua sub kriteria
memiliki bobot yang sama (L1: 0,5 dan L2: 0,5). Pada aspek teknis, efektivitas reduksi
sampah memiliki bobot tertinggi (T1: 0,297). Penilaian sub kriteria secara global ditunjukkan
pada Gambar 6. Bobot tertinggi terdapat pada sub kriteria pencemaran udara minim (L2:
0,226)
Analisis sub kriteria kelompok masyarakat secara lokal ditunjukkan pada Gambar 5.
Pada aspek sosial, penguatan peran serta masyarakat merupakan sub kriteria paling penting
(S3: 0,451). Pada aspek ekonomi, biaya investasi terjangkau sama pentingnya dengan biaya
operasional dan perawatan yang terjangkau (E1: 0,5 dan E2: 0,5). Pada aspek lingkungan,
kelompok masyarakat menilai teknologi dengan pencemaran udara yang minim merupakan
yang paling penting (L2: 0,691). Kemudahan operasional dan perawatan teknologi dianggap
paling penting dalam aspek teknis (T2: 0,369). Penilaian sub kriteria secara global dapat
dilihat pada Gambar 6. Sub kriteria paling penting adalah teknologi dengan potensi
pencemaran udara yang minim (L2: 0,288).
Analisis sub kriteria secara lokal ditunjukkan pada Gambar 5. Penerimaan
masyarakat terhadap penerapan teknologi dinilai paling penting dalam aspek sosial (S1:
0,552). Biaya operasional dan perawatan terjangkau dinilai paling penting dalam aspek
ekonomi (E2: 0,634). Dalam aspek lingkungan, teknologi terpilih sebaiknya berpotensi
minim mencemari tanah, air, dan udara (LI: 0,5 dan L2: 0,5). Efektivitas reduksi sampah (T1:
0,33) merupakan sub kriteria paling penting dalam aspek teknis. Gambar 6 menunjukkan
penilaian sub kriteria secara global. Teknologi yang berpotensi minim mencemari tanah dan
air merupakan sub kriteria paling penting (L1: 0,25).
10

Penilaian seluruh stakeholder pada aspek sosial, sub kriteria penerimaan masyarakat
dinilai paling penting (S1: 0,581). Biaya operasional dan perawatan yang terjangkau dinilai
paling penting dalam aspek ekonomi (E2: 0,546). Pada aspek lingkungan, teknologi dengan
potensi pencemaran udara minim menjadi sub kriteria palig penting (L2: 0,567). Kemudahan
operasional dan perawatan dinilai sebagai sub kriteria paling penting dalam aspek teknis (T2:
0,298). Analisis sub kriteria secara global menunjukkan bahwa teknologi yang berpotensi
minim mencemari udara merupakan sub kriteria paling penting(L2: 0,314).

0,8

T5
T5
0,074 0,086

S3
0,098
S3
0,293

S3
0,25

T4
0,138

S2
S3
0,218 0,451

0,7

E2
0,5

E2
0,5
E2
0,634

S2
S2 0,169
0,155

0,6
0,5

E2
0,546

L2
0,5

L2
0,5
L2
0,691

L2
0,567

T3
0,216

T3
T3
0,081 0,127

S1
0,43

0,2

T2
0,216

T2
0,274

0,4
0,3

T4
T4
T4 0,239
0,348 0,224

T3
0,095

S2
0,118

S1
0,684

S1
S1
0,552 0,581

E1
0,5

E1
0,5

E1
E1 0,454
0,366

L1
0,5

L1
0,5
L1
0,309

L1
0,433

T1
0,33

T1
0,297

Ekonomi

Lingkungan

Masyarakat

Pemerintah

Agregat

Akademisi

Pemerintah

Masyarakat

Agregat

Akademisi

Masyarakat

Pemerintah

Agregat

Akademisi

Masyarakat

Pemerintah

Sosial

Teknis

Gambar 5 Analisis sub kriteria secara lokal

T5; 0,014

T5; 0,01

T4; 0,021

T4; 0,038
T3; 0,009
T2; 0,038
T1; 0,011

T3; 0,039
T2; 0,042
T1; 0,06

T5; 0,055
T4; 0,056

T3; 0,034
T2; 0,062

0,8
L2; 0,288

0,7

T5; 0,023
T4; 0,036

T3; 0,025
T2; 0,048
T1; 0,045

T1; 0,095

L2; 0,226
L2; 0,314

0,6

L2; 0,23
L1; 0,122

0,5

L1; 0,211

0,4

E2; 0,034
E1; 0,033

L1; 0,182

E2; 0,075

0,3
0,2
0,1

T1
0,231

T1
0,102

0,9

T2
0,298

T2
0,369

0,1

T5
T5 0,104
0,148

E1; 0,069
S3; 0,024
S2; 0,049

L1; 0,25
E2; 0,051
E1; 0,048

S3; 0,23

S2; 0,037

S1; 0,17

S1; 0,148

Pemerintah

Masyarakat

E2; 0,058
E1; 0,032
S3; 0,033
S2; 0,025
S1; 0,068

S3; 0,065

Akademis

Agregat

S2; 0,041
S1; 0,123

Gambar 6 Analisis sub kriteria secara global


11

Agregat

0,9

Akademisi

Inconsistency ratio pada analisis sub kriteria ditunjukkan pada Tabel 8. Rasio pada
penilaian sub kriteria kelompok stakeholder dan seluruh stakeholder di bawah 10% sehingga
penilaian dapat diterima.
Tabel 8 Inconsistency ratio prioritas sub kriteria
Sub Kriteria
Sosial
Ekonomi
Lingkungan
Teknis

Pemerintah
6%
0%
0%
5%

Masyarakat
0%
0%
0%
0%

Akademisi
0%
0%
0%
6%

Agregat
0%
0%
0%
1%

Tabel 9 menunjukkan analisis prioritas alternatif teknologi. Kelompok pemerintah


menilai bahwa produksi RDF dengan biodrying merupakan alternatif teknologi terbaik.
Kelompok masyarakat menilai anaerobic digestion merupakan alternatif teknologi terbaik.
Kelompok akademisi menilai gasifikasi adalah alternatif teknologi terbaik. Penilaian
keseluruhan menghasilkan produksi RDF dengan biodrying merupakan alternatif teknologi
terbaik. Inconsistency ratio yang dihasilkan di bawah 10% sehingga penilaian dapat diterima.
Tabel 9 Analisis prioritas alternatif
Stakeholder
Alternatif
AD
RDF
SL
GAS
Inconsistency
Ratio

Pemerintah
0,226
0,326
0,194
0,254
3%

Grade

Masyarakat

3
1
4
2

0,318
0,302
0,195
0,186
3%

Grade
1
2
3
4

Akademisi
0,206
0,309
0,175
0,31
4%

Grade
3
2
4
1

Agregat

Grade

0,253
0,303
0,188
0,256

3
1
4
2

1%

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil sampling didapatkan total timbulan sampah di wilayah pelayanan
TPA Legok Nangka sebesar 2.342 ton/hari. Jumlah timbulan sampah per ekivalensi
penduduk adalah sebesar 0,76 kg/orang/hari atau 3,38 liter/orang/hari. Komposisi rata-rata
sampah di WP TPA Legok Nangka yang paling dominan adalah sampah jenis organik
sebesar 71,17%. Kemudian plastik sebesar 11,42% lalu kertas sebesar 6,10%. Selanjutnya
kaca sebesar 2,9%, kayu sebesar 1,92%, kain sebesar 1,53%, logam sebesar 1,29%, kulit
sebesar 0,30%, karet sebesar 0,27%, dan jenis lain yang tidak teridentifikasi sebesar 3,71%.
Karakteristik sampel sampah wilayah pelayanan TPA Legok Nangka adalah kadar air
rata-rata sebesar 63,2%. Kadar volatil sebesar 89%, kadar abu sebesar 11%, fixed carbon
sebesar 0,9%, dan nilai kalor rata-rata sebesar 4.374 cal/g. Nilai karbon organik sebesar
66,6% dan NTK sebesar 11,7% sehingga rasio C/N adalah 8.
Hasil dari studi ini dibagi menjadi masing-masing kelompok stakeholder dan
keseluruhan stakeholder. Kelompok pemerintah memilih produksi RDF dengan biodrying
sebagai alternatif teknologi, kelompok masyarakat menilai anaerobic digestion adalah opsi
teknologi terbaik. Kelompok akademisi menilai gasifikasi merupakan pilihan teknologi

12

terbaik. Berdasarkan analisis keseluruhan stakeholder, produksi RDF dengan biodrying


adalah prioritas alternatif terbaik untuk diterapkan di TPA Legok Nangka.

DAFTAR PUSTAKA
Amurwaraharja, I. P. (2006). Laporan Tesis: Analisis Teknologi Pengolahan Sampah Dengan
Proses Hirarki Analitik dan Metode Valuasi Kontingensi Studi Kasus di Jakarta Timur.
Bogor: Ilmu Pengolahan Sumber Daya Alam dan Lingkungan IPB
Andarini, A. dan Padmi, T. (2012). Laporan Tugas Akhir: Kajian Komposisi, Karakteristik,
dan Potensi Daur Ulang Sampah TPA (Studi Kasus: TPA Galuga, Bogor). Bandung:
Program Studi Teknik Lingkungan ITB
Arena, U. (2012). Process and Technological Aspects of Municipal Solid Waste Gasification:
A Review. Journal of Waste Management. 32: 625639
Caputo, A.C. dan Pelagagge, P.M. (2002). RDF Production Plants I: Design and Costs.
Journal of Applied Thermal Engineering. 22: 423437
Cheremisinoff, N. P. (2003). Handbook of Solid Waste Management and Waste Minimization
Technologies. Burlington: Elsevier Science
Damanhuri, E., Ismaria, I., dan Padmi, T. (2006). Pedoman Pengoperasian dan
Pemeliharaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sistem Controlled Landfill dan Sanitary
Landfill. Bandung: Teknik Lingkungan ITB
Fernando, A. 2007. Laporan Tesis Pemilihan Teknologi Pengolahan Sampah, Pembiayaan
dan Institusi TPA Regional (Studi Kasus: Kota Jakarta Barat, Kabupaten dan Kota
Tangerang serta Kabupaten Serang). Jakarta: Ilmu Lingkungan UI
Peraturan Daerah Nomor 12 tahun 2014 tentang Pengelolaan Pembangunan dan
Pengembangan Metropolitan dan Pusat Pertumbuhan di Jawa Barat
Khalid, A., Arshad, M., Anjum, M., Mahmood, T., dan Dawson, L. (2011). The Anaerobic
Digestion of Solid Organic Waste. Journal of Waste Management 31: 1737-1744
Mohapatra, S. (2013). Technological Options for Treatment of Municipal Solid Waste of
Delhi. Journal of Renewable Energy Research Vol.3 No.3
Saaty, T. L. (1993). Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin, Proses Hirarki Analitik
untuk Pengambilan Keputusan dalam Situasi yang Kompleks. Pustaka Binama Pressindo
SNI 19-3964-1994 tentang Metode Pengambilan dan Pengukuran Contoh Timbulan dan
Komposisi Sampah Perkotaan
Velis, C.A., Longhurst, P.J., Drew, G.H., Smith, R., dan Pollard, S.J.T. (2009). Biodrying for
Mechanical-Biological Treatment of Wastes: A Review of Process Science and
Engineering. Journal of Bioresource Technology 100: 2747-2761

13

Você também pode gostar