Você está na página 1de 24

1

Senang Berjumpa Kembali dengan Anda!


Pada periode Juli September 2014 bersama para pemangku kepentingan di
Maluku dan Jawa Tengah telah memilih Desa Jeruksari, Mulyorejo, dan Tegaldowo di
Kecamatan Tirto Kabupaten Pekalongan, dan Negeri Amahai dan Negeri Soahuku di
Kecamatan Amahai Kabupaten Maluku Tengah sebagai daerah replikasi mengambil
pembelajaran dan praktik baik dari API Perubahan fase-1, termasuk melanjutkan
pendampingan di Negeri Kabauw, Rohomoni, Sameth, Haruku, dan Oma di Pulau
Haruku Kabupaten Maluku Tengah. Sehingga pada fase-2 ini API Perubahan akan
mendampingi upaya-upaya API-PRB di sepuluh Desa/Negeri.
Sebagai langkah awal upaya API-PRB, kajian risiko bencana terintegrasi iklim sedang
dilakukan baik di tingkat Kabupaten maupun tingkat Komunitas. Universtias setempat
akan mengkoordinir pelaksanaan kajian tingkat Kabupaten sehingga hasilnya dapat
menjadi acuan dalam pembangunan daerah dan kebijakan. Sedangkan POKJA yang
berasal dari perwakilan masyarakat akan menfasilitasi proses kajian di tingkat komunitas
secara partisipatif, segera setelah belajar bersama dalam pelatihan Participatory
Rural Appraisal untuk kajian risiko bencana pada pertengahan September lalu. Kajian
risiko di tingkat komunitas ini akan menjadi acuan dalam menentukan rencana aksi
komunitas, dan advokasi upaya-upaya peningkatan ketahanan masyarakat kedalam
rencana pembangunan daerah melalui MUSRENBANG.

Selamat membaca!
Redaksi

Turap Baru

Turap Lama

Mal-Adaptasi:
2

Terlewatkan

atau Terlupakan?

Pembelajaran dari Kelompok Siaga Bencana (KSB) Bungo Pasang


Kota Padang, Sumatera Barat
Oleh: Andry Napitupulu

raktik kedokteran yang salah atau tidak sesuai dengan standar profesi atau standar prosedur
operasional yang dilakukan dokter atau tenaga medis atau rumah sakit dikenal dengan istilah
malpraktik. Ada banyak contoh kejadian malpraktik di Indonesia, bahkan pernah ada aksi
bersama pengumpulan koin untuk melawan aksi malpraktek tersebut. Sama halnya dengan
aksi-aksi adaptasi, juga berpeluang terjadinya maladaptation. Tulisan ini merupakan sebuah
proses pembelajaran bagi program API Perubahan sebagai pegiat aksi API-PRB untuk melihat komponen
penghidupan yang lebih menyeluruh bagi aksi-aksi adaptasi. Dalam tulisan newsletter edisi sebelumnya,
sebuah artikel tentang 12 alasan monitoring dan evaluasi API-PRB sangat menantang juga menyebutkan
maladaptation sebagai salah satu alasannya.
Bungo Pasang yang berlokasi di Kota Padang, Sumatera Barat ini merupakan salah satu kelurahan dampingan
Mercy Corps Indonesia melalui program API Perubahan fase-1. Berbatasan langsung dengan Samudera
Hindia, Bungo Pasang akrab dengan banjir pasang dan rob. Salah satu skema API Perubahan untuk mengkaji
risiko di kelurahan adalah melalui kajian risiko bencana terintegrasi iklim (VCA) dan penyusunan rencana
aksi komunitas (Local Resilience Action Plan LRAP)
Banjir dan banjir rob merupakan risiko yang selalu hadir di tengah kehidupan warga Bungo Pasang, terlebih

saat puncak pasang bulan purnama. Sehingga prioritas aksi adaptasi yang dilakukan dan didanai bersama
adalah: 1) pembersihan dan pengerukan sedimen muara sungai, 2) rehabilitasi turap (seperti gambar di
bawah), dan 3) penanaman mangrove.
Pada saat pelaksanaan pilot project, ketiga prioritas tersebut terlaksana dengan baik. Bahkan pengerukan
sedimen dibantu sepenuhnya oleh Dinas Pekerjaan Umum provinsi. Turap pun pada akhirnya selesai
dibangun dan menciptakan rasa tenang dikomunitas. Melalui pintu-pintu air yang dibangun di beberapa titik,
arus air yang masuk dan keluar dari muara berlangsung sebagaimana mestinya. Titik pasang tertinggi pada
bulan purnama pun tidak melewati titik tertinggi turap yang dibangun. Air pasang yang tertahan turap mencari
jalan keluar melalui pintu-pintu air tersebut.

Awal maladaptation dimulai


dari pintu -pintu air
Genangan tetap melimpah di pemukiman warga ketika pasang. Melalui LRAP yang dikembangkan, pada
prioritas aksi untuk mendukung arus keluar dan arus masuk air. Saat pasang, air masuk melalui pintu-pintu
air dan tidak mengalir dengan baik ke pemukiman warga karena rusaknya saluran drainase pemukiman.
Sebaik dan sekokoh apapun turap yang dibangun, air yang tidak mengalir di drainase pemukiman bagaimana
pun akan menggenangi pemukiman. Ada bagian aksi adaptasi yang terlewatkan untuk mendukung langkah
adaptasi lainnya. Drainase pemukiman tidak mendukung turap untuk menjalankan fungsinya sebagai
pencegah banjir.
Pembelajaran penting yang harus dipelajari dari kejadian ini adalah melihat adaptasi sebagai sebuah sistem.
Pada saat melakukan kunjungan ke Bungo Pasang bulan Agustus 2014 yang lalu, banjir pasang baru
saja surut sekitar jam 9 pagi. Drainase pemukiman tampak tak sanggup mengalirkan air ke sudut-sudut
pemukiman kampung.
Banyak perkembangan terjadi setelah API Perubahan berakhir di Bungo
Pasang sejak September 2013, termasuk keberhasilan advokasi KSB Bungo
Pasang mengakses dana untuk aksi-aksi penanggulangan bencana. Pada
titik ini, komunitas lah yang mampu secara mandiri mengatasi kejadian
maladaptasi. Melalui LRAP yang diajukan ke pemerintah kota, akhirnya
Kelurahan Bungo Pasang berhasil mendapatkan dana PNPM Perkotaan
dan rencana prioritas komunitas yang bersumber dari pembiayaan PNPM
diselaraskan dengan LRAP, yaitu pembangunan dan rehabilitasi drainase
pemukiman (seperti yang tercantum di LRAP). Realisasi pembangunan dan
rehabilitasi drainase pemukiman akan segera dilakukan setelah pencairan
anggaran dari PNPM perkotaan.
Pembelajaran lain adalah bahwa adaptasi adalah sebuah proses, bukan
produk akhir. KSB mengerti dan paham lokasi permukiman yang berisiko
tinggi terhadap banjir mengharuskan mereka untuk selalu aktif berinteraksi
dengan pemerintah melalui langkah advokasi dan membuahkan hasil.
Pasca berakhirnya program API Perubahan, komunitas tetap berproses
secara mandiri agar risiko selalu dapat dikurangi. Komunitas akhirnya
berevolusi untuk lebih giat berinteraksi dengan pemerintah melalui
pengetahuan yang termanifestasi melalui rencana aksi komunitas.

berbagi pemikiran

KRISIS
AIR BERSIH

MENGANCAM KOTA AMBON

ewasa ini, semakin disadari


bahwa kebutuhan air di
kota Ambon terus-menerus
meningkat seiring dengan terus
meningkatnya pertumbuhan
pendudukan dan pembangunan di berbagai
sektor. Di sisi lain, sumber-sumber air
untuk memenuhi kebutuhan tersebut
semakin mengalami kemunduran, baik
kuantitas maupun kualitas. Hal tersebut
dikarenakandegradasi
lingkungan
dan
kesalahan pengelolaan sumber daya
air, sehingga menimbulkan krisis air di
berbagai tempat termasuk kekeringan di
musim kemarau dan banjir di musim hujan.
Hasil penelitian ESP-USAID (2009) pada
beberapa sumber air PDAM di wilayah
Kota Ambon menunjukkan, debit mata air
cenderung menurun walaupun pada musim
hujan. Bahkan, di semua sumber air PDAM
debit air mencapai penurunan hingga 34%
(Mata air keluar dan Mata air batugajah), dan
semakin menurun pada musim kemarau.

SUMBER
DAYA AIR

APA YANG

HARUS
KITA LAKUKAN

merupakan unsur
bagi
hidup kita di
A utama
i
r
planet ini. Kita mampu bertahan hidup tanpa
makan dalam beberapa minggu, namun tanpa
Selain itu, air merupakan komponen esensial
bagi seluruh ekosistem makhluk hidup, baik
bidang ekonomi modern, air merupakan
kebutuhan utama untuk budidaya pertanian,
industri, pembangkit tenaga listrik, transportasi,
wisata/rekreasi, dan sebagainya. Sayangnya,
air SEGAR yang tersedia di permukaan bumi
sangat terbatas.
Bahkan pada waktu dan tempat tertentu,
seringkali air dapat dikelompokkan sebagai

Oleh Prof. Dr. Rafael. M. Osok


Ketua Lembaga Penelitian
Kebencanaan Universitas
Pattimura

(unrenewable resources). Karena, sekitar 97%


air di Bumi berada di samudera sebagai air laut

berbagi permikiran

Sementara 3% sisanya

masyarakat di desa.

KRISIS AIR
beberapa hal sebagai berikut:

Pertama

Kedua,

kekeringan.

APA YANG HARUS DILAKUKAN

1.

Penanganan serius terhadap


DAS-DAS di Ambon

Kota Ambon berada di sebuah pulau kecil dengan banyak sungai sehingga memiliki banyak DAS dengan
ukuran yang relatif kecil. Hal tersebut menyebabkan Kota Ambon berisiko tinggi terhadap degradasi, khususnya perubahan tata air. Dengan ukuran sempit dan lereng dominan curam yang tersebar di 73% dari
total wilayah, DAS-DAS di Ambon mempunyai dimensi kawasan yang terbatas untuk menyimpan air. Kondisi
ekstrim seperti banjir di musim hujan dan kekeringan di musim panas adalah indikator telah terjadinya peningkatan debit aliran permukaan di musim hujan dan hanya sedikit air yang masuk ke dalam tanah.
Kondisi ekstrim seperti ini menunjukkan telah terjadi degradasi ekosistem dan fungsi DAS sebagai pengatur
tata air di wilayah Kota Ambon. Penyebab utama degradasi ekosistem DAS ini adalah perubahan tata guna

berbagi pemikiran

lahan di DAS. Contohnya, di bagian hulu DAS yang sebagian besar merupakan kawasan hutan lindung
saat ini hanya memiliki tutupan hutan primer kurang dari 15% dan sisanya adalah hutan sekunder, semak
belukar dan alang-alang. Bahkan masih terjadi berbagai aktivitas destruktif di kawasan hutan lindung
seperti penebangan liar, pertumbuhan pemukiman, pembakaran lahan dan kebun. Padahal dua kawasan
hutan lindung, yaitu hutan lindung Gunung Sirimau (3449 ha) dan Gunung Nona (877,78 ha) berfungsi
sebagai daerah resapan (imbuhan) air bagi beberapa sumber mata air.Perubahan pola tata guna lahan
yang semakin ekstrim dan penurunan debit delapan sumber air bersih yang semakin besar. Di bagian
tengah DAS, dimana terdapat perbukitan rendah dengan lereng terjal di domuniasi oleh semak belukar,
alang-alang, dan kawasan pemukiman. Hilangnya vegetasi pohon yang tergantikan bangunan dan jalan
menyebabkan air hujan yang jatuh lebih mudah menjadi aliran permukaan daripada masuk ke dalam
tanah mengisi akuifer, sehingga hampir seluruh air hujan menjadi aliran permukaan. Sehingga saat ini
kontribusi terbesar aliran permukaan dan sedimen justru berasal dari kawasan-kawasan pemukiman
padat di daerah perbukitan. Tidak heran hanya dengan hujan yang singkat dan intensitas tinggi,
kawasan-kawasan tertentu di hilir sudah tergenang dan jalan-jalan dipenuhi sampah yang terbawa aliran
permukaan dari kawasan pemukiman. Berkurangnya resapan air pada daerah darat akan memengaruhi
tinggi muka air tanah di wilayah pesisir dimana pergerakan air dipengaruh gravitasi, sehingga sudah
terjadi penyusupan air asin pada sumur dangkal di beberapa lokasi.

2.

Pembangunan
Berbasis DAS

Aktivitas pembangunan yang berbasis DAS adalah kegiatan pemanfaatan dan pengelolaan sumber
daya alam di DAS harus diatur secara terpadu, serasi, dan bersinergi antara semua pihak; baik pihak
perencana maupun pengguna, dengan memperhatikan dampak setiap kegiatan terhadap wilayah pesisir.
Apabila wilayah pesisir ditata tetapi di darat tidak dikelola dengan baik maka dampak negatif dari aktivitas
pembangunan di darat terhadap daerah pesisir pun tetap besar. Penataan di darat harus difokuskan untuk
mendukung ketersedian air cukup besar. Namun apabila keseimbangan alami antara peresapan air ke
dalam tanah, penyimpanan dan pelepasan terus terganggu; air akan menipis dan akan mungkin habis.
Di darat,, khususnya daerah resapan (imbuhan), penutupan vegetasi yang baik harus tetap dijag, dan arelarel yang terbuka di tanami dengan tanaman pohon. Selain itu, kawasaa harus dipetakan dan dilindungi
dengan Peraturan Daerah (Perdaa. Penggunaan lahan harus sesuai dengan kemampuan lahaa, dan
penghentian pembongkaran batu karang serta pengambilan pasir di pantai juga harus segera dilakukan.
Pada kawasan padat pemukiman,(baik di daerah perbukitan maupun pesisi) diharapkan pemilik rumah
memiliki kesadaran untuk membuat sumur resapan dan biopori sebagai alternatif penyerap dan
penampung air untuk mengurangi jumlah aliran air permukaan sekaligus mencegah banjii. Halaman
rumah berupa(tana) yang terbuka sebaiknya ditutupi dengan rumput atau tanaman lain. Selain itu,
halaman rumah juga dapat ditanamt pagar hidup sebagai batas halaman agar dapan mengurangi laju
aliran permukaan, sehingga air mempunyai waktu untuk masuk ke dalam tanah. Dengan menurunnya
debit aliran permukaan makaorisiko terjadinya banjir, erosi dan longsor dapat ditekan.

Kabar dari Jateng

Alih Fungsi Lahan


Pertanian di Desa
Jeruksari dan
Mulyorejo menjadi
Tambak Bandeng

elah satu dekade lamanya


masyarakat
di
Desa
Jeruksari dan Mulyorejo
berkawan dengan air
laut yang menggenangi
kisi-kisi lahan mereka. Sejak rob kerap
menyambangi daerah tersebut, hampir
tak ada daratan yang luput dari genangan
air, mulai dari rumah, sekolah hingga
area pesawahan dan perkebunan.
Bukan hanya rumah dan sekolah yang
tak lagi nyaman untuk ditinggali karena
selalu basah dengan genangan air laut.
Lahan-lahan yang sebelumnya menjadi
tumpuan sumber penghidupan bagi
sebagian besar masyarakat pun saat ini
sudah tak mampu lagi ditanami.
Untuk bertahan hidup, berbagai upaya
adaptasi secara tradisional telah mereka
lakukan, seperti meninggikan rumah
dan jalan raya. Selain upaya-upaya
tersebut mata pencaharian mereka pun
harus beradaptasi. Karena hampir tak
ada tanaman produksi yang mampu
bertahan di atas genangan air rob.
Akibatnya, beberapa keluarga yang
semula menggantungkan hidupnya pada
tanaman padi, kangkung, kelapa, dan
beberapa komoditi tanaman lain tidak lagi
bertahan dengan sumber penghidupan
tersebut, dan harus memutar haluan
untuk mencari sumber penghidupan
lain. Banyak penduduk yang kemudian
menjadi pekerja serabutan di Kota
Pekalongan atau menjadi buruh dan
nelayan di luar kota.

Melihat begitu luasnya lahan bekas pesawahan yang sekian


lama terbengkalai digenangi air rob dan hanya ditumbuhi
oleh eceng gondok dan rerumputan liar, beberapa tokoh
di daerah tersebut akhirnya mengambil inisiatif untuk
mengalihfungsikan lahan mereka menjadi tambak ikan.
Namun, upaya tersebut juga membutuhkan usaha yang tidak
mudah, karena dibutuhkan sumber daya yang besar untuk
mengubah lahan pertanian menjadi tambak. Maka, demi
melaksanakan niat tersebut, Pemerintah Kabupaten melalui
Dinas Kelautan dan Perikanan menyambut inisiatif tersebut
dengan memberikan bantuan baik berupa dana maupun bibit
ikan. Salah satu jenis ikan yang telah diujicobakan dan cocok
dibudidayakan di Desa Mulyorejo dan Desa Jeruksari adalah
ikan bandeng, sehingga sejak empat tahun terakhir mulailah
warga di dua desa tersebut mengalihfungsikan lahan mereka
menjadi tambak ikan bandeng.
Namun keberhasilan upaya tersebut tidak berlaku bagi
desa tetangga mereka yaitu Desa Tegaldowo yang juga
turut dilanda banjir rob dan semakin parah sejak lima tahun
terakhir. Ada beberapa penyebab yang membuat lahan-lahan
bekas sawah mereka tidak dapat dialihfungsikan menjadi
tambak ikan seperti dua desa tetangga mereka. Beberapa
hal yang menjadi penyebabnya adalah tingginya kadar garam
pada air yang menggenangi lahan mereka dan banyaknya
industri batik rumahan yang membuang air limbah batik
ke lahan-lahan tersebut. Persoalan tersebut menjadi salah
satu masalah besar yang dihadapi oleh masyarakat di Desa
Tegaldowo dan masih terus diupayakan untuk menemukan
solusinya. Maka melalui upaya bersama dalam Adaptasi
Perubahan Iklim dan Pengurangan Risiko Bencana ini
mereka berharap dapat menemukan solusi bagi persoalan
yang mereka hadapi saat ini. Tidak hanya solusi jangka
pendek, namun juga jangka panjang, termasuk bagaimana
solusi-solusi tersebut dapat menjadi bagian dari kebijakan
pembangunan di daerah yang akan melibatkan pemerintah,
masyarakat sipil, dan dunia usaha.

Kabar dari Jateng

Belajar Mengenali
Risiko di Tingkat Komunitas
8

etelah dipilihnya Desa Jeruksari, Tegaldowo, dan Mulyorejo di Kecamatan Tirto, Kabupaten
Pekalongan untuk upaya Adaptasi Perubahan Iklim dan Pengurangan Risiko Bencana (API
dan PRB), beberapa perwakilan masyarakat dari tiap desa tersebut mengikuti pelatihan
Participatory Rural Appraisal (PRA) sebagai bagian dari proses kajian risiko bencana partisipatif
di tingkat komunitas. Pelatihan digelar pada tanggal 23 27 September 2014.

Acara yang berlangsung lima hari itu dilaksanakan secara bergiliran; mulai dari kantor Camat Tirto pada hari
pertama, lalu ke Desa Jeruksari pada hari kedua, Desa Mulyorejo pada hari ketiga, dan Desa Tegaldowo
pada hari keempat dan kelima. Dengan pelaksanaan yang bergantian seperti itu memberikan kesempatan
kepada seluruh mitra latih untuk bergantian menjadi tuan rumah, meningkatkan hubungan sosial antar
Desa, dan memberikan nuansa lokal yang beragam sehingga semakin memperkaya materi pelatihan.
Salah satu sesi yang sangat menarik ketika peserta pelatihan menggali tentang Sejarah Desa di Tegaldowo;
ternyata asal nama Desa tersebut ketika pertama kali dibentuk pada tahun 1785 mengambil dari karakteristik
Tegalan Ndhowo, yang dalam bahasa Indonesia berarti Kebun Panjang. Desa Tegaldowo dulunya adalah
sebuah wilayah perkebunan yang memanjang. Namun saat ini sepertinya nama desa tersebut sudah tidak
mewakili kondisi yang sebenarnya. Tegaldowo sekarang sudah tidak memiliki kebun, dan sebagian besar
wilayahnya sudah terendam oleh banjir rob.Setelah pelatihan, mitra latih menyusun sebuah rencana kerja
untuk melakukan kajian risiko di komunitasnya masing-masing. PRA secara bersama dipahami sebagai
sebuah cara untuk mengenali wilayahnya. Namun yang menjadi penting dari proses tersebut adalah diskusidiskusi yang terbangun antara fasilitator dengan komunitas dan antar komunitas. Diskusi-diskusi untuk
mengkaji risiko yang dimiliki akan menjadi dasar yang kuat untuk penyadaran tentang pentingnya API dan
PRB, serta menjadikannya sebagai sebuah agenda bersama untuk meringankan risiko yang dihadapi oleh
masyarakat diadaerah tersebut.

Kabar dari Jateng

etelah melalui beberapa proses kajian termasuk survey


lapangan ke beberapa Kabupaten dan Kecamatan di
wilayah Jawa Tengah, para pemangku kepentingan di
tingkat Provinsi yang terlibat dalam Komite Pengarah
Program (KPP) Adaptasi Perubahan Iklim dan Pengurangan
Risiko Bencana untuk Ketahanan (API Perubahan) sepakat memilih
Kabupaten Pekalongan sebagai daerah percontohan untuk upaya-upaya
peningkatan ketahanan terhadap dampak perubahan iklim dan risiko
bencana. Pemilihan daerah percontohan tersebut didasari atas kriteriab2) Memiliki keterwakilan isu yang mencakup salah satu diantara isu
pulau-pulau kecil, pesisir, pedesaan dan urban, c3) Telah terganggunya
adanya intervensi ING) didaerah tersebut di bidang yang sama.
Berdasarkan kriteria-kriteria tersebut tim KPP yang saat ini terdiri dari BPBD,
Forum PRB, dan BAPPEDA mengerucutkan 35 Kota/Kabupaten menjadi
hanya beberapa daerah saja yang patut diprioritaska,. Adapun daerahdaerah tersebut diantaranya; Kabupaten Grobogan, Kabupaten Kudus,
Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Temanggung, dan Kabupaten Demak.

Prioritaskan
Desa Jeruk
sari, Desa
Mulyorejo,
dan Desa
Tegal dowo
Kecamatan
Tirto,
Kabupaten
Pekalongan
untuk API &
PRB

Proses pemilihan dilanjutkan dengan survey kondisi eksisting di lapangan


serta proses diskusi-diskusi dengan beberapa aktor setempat(seperti
BPBD di Kabupaten dan para Cama) di daerah yang dinominasika
.aHasilnya adalah, Kabupaten Pekalongan dinilai sebagai daerah
yangkpatut diprioritaskanmuntuk upaya-upaya Adaptasi Perubahan
Iklim (API) dan Pengurangan Risiko Bencana (PRB).
Kabupaten Pekalongan memiliki isu bencana terkait perubahan iklim yang
cukup krusia , Salah satunya adalah banjir rob. Banjir rob telah melanda
setidaknya lebih dari lima belas desa di tiga kecamatan di Kabupaten
Pekalongan dengan intensitas yang tinggi dan volume yang tinggi pula.
Selain itu,nterganggunya mata pencaharian masyarakat akibat
terjadinya bencana juga menjadi salah satu pertimbangan yang sangat
berpengaruh. Menurut hasil wawancara yang dilakukan dengan camat
Tirto, terungkap bahwa 95% lahan pertanian yang ada di desa Jeruksari,
Desa Tegaldowo, dan desa Mulyorejo telah mengalami alih fungsi dari
lahan pertanian padi menjadi tambak. Padahal sejarah mencatat bahwa
daeraa tersebut pernahuberkontribusi sebagai lumbung padi di Jawa
Tengah. Kenyataan ini menjadi semakin ironis saat persoalan rob belum
dimasukan dalam peta risiko bencana dan belum mendapat perhatian
dan tanggung jawab yang sepadan dengan bencana lain seperti tanah
longsor atau letusan gunung api. Maka, usaha pengintegrasian(API
dan(PR) menjadi sangat penting untuk dilakukan di wilayah dan isu
tersebut, sehingga bersama BPBD dan BAPPEDA di Kabupaten
Pekalongan yang saat ini telah tergabung sebagai KPP, sepakat untuk
memprioritaskan desa Jeruksari, Desa Tegaldowo, dan Desa Mulyorejo
untuk upaya API dan PRB

Kabar dari Jateng

k
i
t
a
BPekalongan

dan
h
a
k
r
e
B
Antara
Limbah

10

ersoalan limbah batik di Pekalongan menjadi salah satu masalah pelik dan dilematis yang terus dihadapi
baik oleh Pemerintah Kota maupun Kabupaten Pekalongan. Di satu sisi, geliat ekonomi Pekalongan
kian bertumbuh pesat seiring dengan semakin naik daunnya pamor Pekalongan sebagai kota dan
sentra industri batik. Namun di sisi lain, kesuksesan itu harus dibayar dengan kian menghitamnya
sungai-sungai dan selokan-selokan di Pekalongan akibat pembuangan limbah batik tersebut.

Korban dari pencemaran limbah batik tidak hanya menghitamnya sungai dan selokan saja tapi juga
memburuknya kualitas air tanah di beberapa wilayah di Kabupaten & Kota tersebut. Akibatnya, masyarakat
di beberapa wilayah di Kabupaten dan Kota Pekalongan, terutama di daerah-daerah yang dekat dengan
sentra industri batik tidak dapat lagi menggunakan air tanah mereka untuk konsumsi sehari-hari. Oleh karena
itu masyarakat harus rela mengeluarkan anggaran belanja tambahan demi memenuhi kebutuhan air bersih.
Persoalan tidak hanya berhenti di situ. Rembesan limbah batik juga menjadi penyebab bagi menurunnya
tingkat kesuburan sawah dan ladang di daerah tersebut. Persoalan ini menjadikan kepentingan petani versus
kepentingan pengrajin batik menjadi berhadap-hadapan.
Persoalan tersebut menjadi kian pelik saat bencana banjir melanda dan air sungai meluap ke berbagai
penjuru desa. Sebaran limbah pun turut meluas tak terkontrol. Ketika banjir terjadi, air hujan bertemu dengan
banjir air laut di lahan-lahan pertanian. Hal tersebut berarti kiamat bagi lahan-lahan di daerah itu.
Kenyataan inilah yang dialami oleh masyarakat Tegaldowo yang telah kehilangan lebih dari 45 hektar sawah
yang tak lagi dapat difungsikan baik untuk pertanian maupun pertambakan. Masyarakat bukan tidak pernah
protes, keresahan tersebut sudah pernah mereka suarakan pada pemerintah setempat melalui Kantor
Lingkungan Hidup. Namun entah karena kurang tegasnya penegakan aturan, atau mungkin rendahnya
kesadaran masyarakat, menjadikan persoalan ini sulit diatasi.Maka, duduk bersama antara pemerintah
Kota dan Kabupaten Pekalongan untuk menyelesaikan persoalan ini menjadi agenda mendesak yang harus
dan perlu. Mengingat laju pertumbuhan batik di Pekalongan yang kian pesat menanggung konsekuensi
meningkatnya volume limbah yang dihasilkan. Jika persoalan ini terus diabaikan, bukan tidak mungkin akan
ada desa-desa lain yang bernasib serupa dengan Desa Tegaldowo.

Kabar dari MALUKU

PERSPEKTIF
KEBENCANAAN
PMI PROVINSI
MALUKU
Oleh Herry Latuheru
Sekretaris/Kepala
Markas PMI Propinsi
Maluku

MI Provinsi Maluku adalah salah


satu Organisasi Kemanusiaan
yang berpegang pada tujuh prinsip
dasar Kepalangmerahan, dan
merupakan salah satu perwakilan
PMI yang ada Maluku. PMI Provinsi Maluku
sudah mempunyai 6 PMI Kabupaten dan 2 PMI
Kota yang ada di Provinsi Maluku yaitu: PMI
Kabupaten Buru, PMI Kabupaten Buru Selatan,
PMI Kabupaten Seram Bagian Timur, PMI
Kabupaten Maluku Tengah, PMI Kabupaten
Maluku Tenggara Barat, PMI Kota Ambon, dan
PMI Kota Tual.
Dalam perspektif PMI, penanggulangan
bencana
harus
dilaksanakan
secara
berkesinambungan yang dikelola untuk
pengendalian dampak bencana, mengurangi
risiko, dan mempersiapkan masyarakat untuk
menghindari atau mengatasi dampak bencana
dan perubahan iklim. PMI Provinsi Maluku
selalu siap siaga ketika ada terjadi bencana
di wilayah Maluku dengan moto PMI Cepat
Handal dan Dicintai Masyarakat 6-7 jam
sudah tiba dilokasi bencana. PMI Provinsi
Maluku sendiri telah memiliki tenaga-tenaga

11

spesialis yang siap turun langsung ke lapangan ketika


terjadi bencana, memiliki relawan yang selalu siap siaga
untuk dimobilisasi ke lokasi bencana dan memegang
teguh 7 prinsip dasar Kepalangmerahan dengan tidak
membedakan suku, ras, pandangan politik dan agama.
Sebagai langkah awal dalam upaya penanggulangan
karakteristik bencana yang mengancam untuk
selanjutnya disampaikan kepada aparatur Pemerintah
dan masyarakat terutama yang tinggal diwilayah rawan
bencana. Upaya mengenal karakteristik bencanabencana yang sering terjadi di Provinsi Maluku
merupakan suatu upaya mitigasi, karena dengan
pengenalan karakteristik tersebut kita dapat memahami
perilaku dari ancaman sehinggga dapat diambil
langkah-langkah yang diperlukan dalam mengatasinya
atau mengurangi dampak yang ditimbulkannya.

12

Tugas dan Fungsi dalam Kebencanaan


PMI dibentuk oleh pemerintah dan masih diakui sebagai satu-satunya Organisasi Kepalangmerahan
di Indonesia berdasarkan Keppres Nomor 25 Tahun 1950 dan Keppres Nomor 246 tahun 1963. PMI
melaksanakan tugas atas nama pemerintah dan bertanggung jawab kepada pemerintah dengan berpegang
pada tujuh prinsip gerakan palang merah dan bulan sabit merah internasional. Mandat PMI dalam konteks
Penanggulangan Bencana adalah membantu dan bekerjasama dengan Pemerintah, terutama dalam
menangani aspek bantuan kemanusiaaa kepada korban yang paling rentan. Di samping tugas utama untuk
memberikan bantuan darurat pada waktu terjadinya bencann, tugas-tugas kepalangmerahan pada masa
sebelum bencana dan sesudah bencana juga dilaksanakan. Dalam menjalankan tugas-tugas penanggulangan
bencana, PMI membina kemitraan dengan BNPB, BPBD Propinsi dan Kota/Kabupaten serta dengan
stakeholders lainny . Selain dalam penanganan bencana PMI juga
dipercayakan untuk menjalankan Transfusi Dara, sebagaimana
dilandasi olehUU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, UU
Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, PP Nomor 65
Tahun 2009 Tentang Standat Pelayanan Minimum, dan PP Nomor 7
Tahun 2009 Tentang Pelayanan Transfusi Dara.
Penanggulangan Bencana dalam perspektif PMI merupakan kegiatan
berkesinambungan yang dikelola untuk pengendalian
dampak bencana, mengurangi risiko, dan mempersiapkan
masyarakat untuk menghindari atau mengatasi dampak
bencana

Kabar dari MALUKU

Sosialisasi

& Diskusi

Program API Perubahan


DI KABUPATEN MALUKU TENGAH
Isra Amin Ali dan Maun Kusnandar

emerintah Indonesia
telah memperhatikan
pentingnya
tindakan
adaptasi
perubahan
iklim, mengedepankan
konteks lokal dan memadukan
antara pengurangan risiko bencana
dengan adaptasi perubahan iklim
sebagaimana tercantum di dalam
Rencana Aksi Nasional Adaptasi
Perubahan
Iklim
(RAN-API)
2014. Namun demikian, informasi
dan data yang dibutuhkan untuk
perencanaan dampak perubahan
iklim secara umum belum mudah
diakses, dipahami dan disesuaikan
untuk skala masyarakat lokal dan
pemerintah daerah.
Untuk
membangun
perspektif
bersama
tentang
pentingnya
ketahanan
masyarakat
dan
perencanaan
yang
mempertimbangkan risiko bencana
dan dampak perubahan iklim,
tanggal 10 September 2014 yang lalu
Badan Penanggulangan Bencana
Daerah (BPBD) Kabupaten Maluku
Tengah bersama Mercy Corps
Indonesia mengadakan Sosialisasi
tentang Adaptasi Perubahan Iklim
dan Pengurangan Risiko Bencana
untuk Ketahanan Masyarakat di
Kota Masohi.
Kegiatan sosialisasi ini bertujuan
untuk mendesain strategi dan
rencana bersama untuk upaya

adaptasi perubahan iklim dan pengurangan risiko bencana di


Kabupaten Maluku Tengah, termasuk kajian risiko bencana terintegrasi
iklim sebagai langkah awal untuk mengetahui kondisi obyektif daerah.
Kepala Pelaksana BPBD Kabupaten Maluku Tengah, Ir. Bob Rahmat,
dalam sambutannya menyampaikan pentingnya keterlibatan semua
pihak baik itu Pemerintah, jajaran SKPD, TNI/Polri, akademisi,
sektor swasta, maupun para praktisi kebencanaan dalam hal
pengurangan risiko bencana, baik bencana geologi maupun bencana
hidrometeorologi yang diakibatkan oleh perubahan iklim, sehingga
penting untuk membangun kerjasama dalam menghadapi berbagai
ancaman bencana. Bob Rahmat juga memaparkan Tugas Pokok dan
Fungsi BPBD Kabupaten Maluku Tengah dalam hal penanggulangan
bencana, serta bencana alam dari aspek geologi seperti gempa bumi,
tsunami dan letusan gunung berapi.
Willy Wicaksono, yang mewakili Mercy Corps Indonesia ketika itu
menyampaikan tentang pentingnya kajian risiko bencana terintegrasi
iklim, karena sebagian besar kajian risiko bencana yang ada saat
Padahal pertimbangan iklim didalam kajian ini sangat membantu
dalam penyusunan kebijakan dan perencanaan jangka pendek
dan jangka panjang. Sesi diskusi dalam kegiatan ini berlangsung
secara dinamis dan interaktif yang dipandu oleh salah satu praktisi
kebencanaan di Maluku yaitu Jaliman Latuconsina dan Program
API Perubahan Maluku, Isra Amin Ali. Diskusi ini diikuti oleh
perwakilan dari Bappeda, BPLHD, Dinas Pariwisata, Badan Ketahanan
Pangan, Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Pertambangan dan
Energi, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Kesehatan, Dinas Kehutanan,
Satpol PP, Polres Maluku Tengah dan KODIM 1502 Binaya. Di
samping itu, sektor swasta yang diwakili oleh BRI dan perwakilan dua
Negeri (Amahai dan Soahuku) turut menghasilkan banyak masukanmasukan yang bersifat membangun, di antaranya kesepakatan untuk
mengintegrasikan API dan PRB ke dalam dokumen perencanaan
daerah demi membangun sinergi antara upaya-upaya yang sedang
dijalankan oleh para penggiat API dan PRB dengan rencana strategis
disetiap SKPD terkait, dan lain-lain.

13

Kabar dari MALUKU

embentukan Pembentukan Pembentukan


m forum forum forum forum forum Forum

engurangan pengurangan Pengurangan

o bencana risiko bencana Risiko Bencana


maluku propinsi maluku Propinsi Maluku
Oleh Maun Kusnandar

14

erespon pembentukan Platform Nasional (Planas) Pengurangan Risiko Bencana sesuai


amanat Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan
komitmen global terhadap Kerangka Aksi Hyogo (Hyogo Frame Works/HFA) 2005-2015, para
pihak yang concern terhadap kebencanaan di Maluku memandang perlu membentuk Forum
Pengurangan Risiko Bencana (PRB) di Provinsi Maluku. Forum PRB berfungsi sebagai
wadah untuk koordinasi, komunikasi, berbagi pengalaman dan berbagi peran yang melibatkan pemerintah,
organisasi masyarakat, perguruan tinggi, sektor swasta dan pemangku kepentingan lainnya dalam bidang
pengurangan risiko bencana di Wilayah Maluku.
Pada tanggal 26 Agustus 2014, Dra. Ny. Farida Salampessy, M.Si, menginisiasi diskusi pembentukan
Forum PRB. Dalam diskusi tersebut juga membahas amanat Undang-Undang No. 24 / 2007 tentang
Penanggulangan Bencana; bahwa Penanggulangan Bencana (PB) yang meliputi tindakan pra-bencana,
saat bencana, dan pasca bencana, merupakan tanggung jawab bersama dan bukan hanya tanggung jawab
pemerintah saja. Paradigma yang perlu ditanamkan saat ini adalah; mencegah bencana lebih baik daripada
melakukan tindakan tanggap darurat, sehingga tindakan atau kegiatan pra-bencana perlu mendapat porsi
perhatian yang lebih besar. Disadari bahwa Propinsi Maluku merupakan wilayah kepulauan yang sangat
rawan bencana, baik bencana alam maupun bencana sosial. Secara geologis, wilayah Propinsi Maluku
berada pada gugusan Ring of Fire yang menyebabkan adanya patahan-patahan besar dan kecil yang
membelah Kepulauan Maluku. Kondisi ini diperkuat lagi adanya zona subduksi di Samudera Hindia antara
aktif. Sebagai akibatnya wilayah Propinsi Maluku dapat digolongkan sebagai wilayah yang rawan terhadap
bencana tsunami. Maka dari itu, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Propinsi Maluku selaku
instansi yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan penanggulangan bencana merasa perlu
mempunyai mitra sejajar dari berbagai komponen masyarakat sebagai pendukung sekaligus penyeimbang
kegiatan penanggulangan bencana, khususnya dalam upaya Pengurangan Resiko Bencana.
Dalam rangka mengakomodir kebutuhan tersebut, diinisiasi pembentukan Forum Pengurangan Resiko
Bencana (F-PRB) Propinsi Maluku sebagai wadah koordinasi dan komunikasi berbagai pemangku
kepentingan dalam PRB. Saat ini Forum yang telah di bentuk dan di ketuai oleh Dr. Ir. Alex Soselisa, M.Sc,
akademisi dari Universita. Pattimura in, sedang dalam proses pelantikan oleh Gubernur Propinsi Maluku.

Kabar dari MALUKU

Pembentukan
Tim Siaga

Bencana

Wujud Kesiapsiagaan
Masyarakat Ambon
dalam Menghadapi
Bencana

Jemaat Soya (Tagana. J. Soya)

ota Ambon memiliki tingkat kerawanan


dan ancaman bencana yang cukup
tinggi, khususnya dilatarbelakangi letak

pemukiman baru di masyarakat yang tidak


sesuai dengan aturan tata ruang, sehingga Pemerintah
Daerah dan masyarakat Kota Ambon dituntut memiliki
ketahanan dan kesiapsiagaan dalam mengantisipasi
kemungkinan terjadinya bencana. Menyadari kondisi
tersebut, Jemaat Gereja Protestan Maluku (GPM)
di Negeri Soya menginisiasi pembentukan sebuah
kelompok siaga bencana sebagai upaya kesiapsiagaan
masyarakat dalam rangka pengurangan risiko bencana
di wilayah Negeri Soya, Ambon.
Ketua Seksi Pelpem Jemaat GPM Soya, bapak
Eliza Tulalesy menyampaikan bahwa Tim siaga
bencana yang dibentuk harus memiliki kepekaan
dalam menolong orang lain. Tim siaga bencana juga
harus selalu mencari kesempatan untuk menolong
korban bencana. Pada kesempatan yang sama,
hadir Kepala Pelaksana BPBD Propinsi Maluku,
Dra. Ny. Farida Salampessy
M.Si sebagai narasumber
yang dalam paparannya
menyampaikan
bahwa
kondisi sebagian besar
wilayah Propinsi Maluku
yang rawan bencana perlu
disikapi secara serius, baik
oleh Pemerintah maupun
masyarakat sebagai upaya
bersama.

Tim siaga bencana ini sangat diharapkan


keberadaannya sehingga dapat membantu BPBD
dan instansi terkait lainnya dalam penanganan
bencana alam, termasuk dapat membantu proses
evakuasi lebih cepat sebelum tim pemerintah
mencapai lokasi. Dalam acara tersebut, anggota
POKJA API Perubahan Sirimau, Ny. Karin Soplanit
yang juga tergabung dalam Tim Siaga Bencana
Jemaat Soya dan Tim API Perubahan Mercy
Corps Indonesia juga turut hadir. Di penghujung
acara, digelar penyerahan simbolik peralatan
dan perlengkapan evakuasi kepada Tim Siaga
Bencana oleh bapak Eliza Tulalesy dan tutup
dengan renungan oleh bapak Pdt. J.R. Ohello.
Dalam renungannya, Ohello menyampaikan
bahwa sebagai orang yang berkeyakinan, anggota
Tim Siaga Bencana harus memegang prinsip Salib
Kristus, artinya, dalam menolong orang lain atas
dasar kasih.
Selain itu, anggota Tim Siaga Bencana harus
mempunyai hubungan yang dekat dengan Tuhan.

15

Kabar dari MALUKU

Partisipasi
Amasoa,
Bersama

16

Membangun
Negeri
Tangguh
Bencana
di Tanjung
Kuako,
Maluku
Tengah

artisipasi
adalah
suatu
gejala
demokrasi
di
mana orang diikutsertakan dalam
suatu perencanaan dan pelaksanaan
serta turut ikut memikul tanggung
jawab sesuai dengan tingkat kematangan
dan tingkat kewenangannya. Sementara itu,
bencana adalah peristiwa atau rangkaian
peristiwa yang mengancam dan mengganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat
yang disebabkan baik oleh faktor alam dan/
atau faktor non alam maupun faktor manusia
sehingga mengakibatkan timbulnya korban
jiwa manusia, kerusakan Iingkungan, kerugian
harta benda, dan dampak psikologis. Indonesia
sebagai negara kepulauan yang mempunyai
sebagian besar wilayahnya merupakan lautan
dan pulau-pulau kecil, diapit oleh samudera,
serta terletak pada diantara tiga lempengan
besar dunia, sangat berpotensi terjadinya
berbagai jenis bencana, sehingga negara ini
disebut negara seribu bencana. Kenyataan telah
memperlihatkan bahwa hampir seluruh jenis
bencana yang ada di dunia terdapat di Indonesia.
Perubahan
paradigma
penanggulangan
bencana internasional dari fatalistic responsive
yang terorientasi pada respon darurat bencana,
menuju kepada proactive preparedness di mana
penanggulangan bencana dilakukan sejak dini
melalui kesiapsiagaan sampai dengan tahap
pemulihan. Perubahan ini membawa dampak
terhadap perkembangan penanggulangan
bencana di Indonesia. Sebagai respon positif

Kabar dari MALUKU

telah lahir Undang-Undang Penanggulangan Bencana Nomor 24 Tahun 2007, tentang penanggulangan
bencana yang menempatkan pentingnya partisipasi aktif masyarakat dalam penanggulangan bencana.
Adaptasi Perubahan Iklim (API) dan Pengurangan Risiko Bencana (PRB) merupakan bagian dari upaya
meningkatkan ketahanan yang mendahulukan kepentingan; dari, oleh dan untuk masyarakat, pranata sosial
serta modal sosial (social capital) masyarakat lokal secara kelompok. Pengembangan sumber daya lokal dan
penguatan pranata-pranata sosial menjadi modal dasar untuk melaksanakan pendampingan pengurangan
risiko bencana untuk ketahanan. Komunitas dan sumberdaya lokal sebagai kekuatan utama dalam PRB
menempatkan kajian risiko partisipatif menduduki peran yang sangat strategis. Berbagai metodologi
pengkajian risiko bencana maupun pengkajian kerentanan iklim secara partisipatif yang telah tersedia masih
perlu dikembangkan untuk saling mengisi dan menguatkan. Sehingga, rencana aksi komunitas sebagai
agenda yang akan dilakukan masyarakat menjadi satu kesatuan yang utuh.
Untuk mempersiapkan masyarakat dalam melakukan upaya-upaya API dan PRB, Mercy Corps Indonesia
bersama BPBD Kabupaten Maluku Tengah memberikan sebuah pelatihan kajian risiko untuk perwakilan
komunitas. Pelatihan ini dilaksanakan sebagai langkah awal mengenali berbagai risiko dari dampak
perubahan iklim dan sebagai dasar penyusunan strategi menuju masyarakat berketahanan terhadap dampak
perubahan iklim dan risiko bencana.
Kegiatan dilaksanakan pada tanggal 15-19 September 2014 di Tanjung Huako, Negeri Soahuku Kecamatan
Amahai Kabupaten Maluku Tengah. Pada kesempatan kali ini, pelatihan diikuti oleh perwakilan masyarakat
dari Negeri Amahai dan Negeri Soahuku. Melalui acara tersebut, perwakilan masyarakat kedua Negeri tersebut
mendeklarasikan kelompok AMASOA sebagai penggiat upaya-upaya API-PRB di tingkat masyarakat.
Nama AMASOA diambil dari nama negeri Amahai dan Soahuku.
Dalam proses pelatihan Fasilitator Kajian Risiko Bencana Terintegrasi Iklim ini diharapkanrtersedianya
Fasilitator yang siap dan mampu memfasilitasi proses kajian risiko bencana secara partisipatif di tingkat
komunitas tidak hanya untuk di dua Negeri di Kecamatan Amahai, tetapi juga untuk lingkungan yang lebih
luas. Pelatihan ini merupakan rintisan yang akan terus dikembangkan dalam pengintegrasian Adaptasi
Perubahan Iklim dan Pengurangan Risiko Bencana di Maluku khususnya dan di Indonesia pada umumnya.
Di akhir kegiatan pelatihan sebuah kesimpulan unik mengemuka dari salah satu mitra latih, bahwa partisipasi
masyarakat merupakan bagian integral dari environmental input yang memiliki peranan sangat penting,
melalui partisipasi masyarakat diharapkan adanya kelancaran, kerjasama, simpatik dapat menimbulkan
gairah dan dapat mengurangi kendala-kendala di lapangan pada saat pelaksanaan program pengurangan
risiko bencana.

17

Kabar dari MALUKU

Replikasi

Upaya
API

18

&
PRB
di Maluku Tengah
Upaya-upaya integrasi Adaptasi Perubahan Iklim
(API) dan Pengurangan Risiko Bencana (PRB)
yang telah di inisiasikan bersama para pemangku
kepentingan di tingkat propinsi maupun Kabupaten
Maluku Tengah dan Mercy Corps Indonesia sejak
tahun 2012 di Pulau Haruku telah mendukung
resiliency/
ketahanan masyarakat pesisir dan pulau-pulau
kecil. Contoh-contoh ketahanan tersebut akan
direplikasi dan dikembangkan di beberapa Negeri
lainnya yang patut diprioritaskan untuk replikasi.
Proses pemilihan daerah replikasi di Maluku
menggunakan kriteria yang sama dengan pemilihan
daerah replikasi di Jawa Tengah
. Namun
pada beberapa hal seperti pendekatan dan tingkat
detail yang berbeda disesuaikan dengan konteks
wilayah masing-masing.

Dari studi literatur yang dilaksanakan dengan


kejadian bencana, dan zonasi kerawanan bencana di
dengan tingkat ancaman dan kerentanan tertinggi.
Ambon, Kabupaten Maluku Tengah, dan Kabupaten
Buru. Telah banyaknya INGO bekerja di bidang
yang sama di Kota Ambon, serta perbandingan
antara ancaman dan kerentanan hidrometeorologi
di Kabupaten Maluku Tengah yang lebih tinggi
daripada Kabupaten Buru, menjadi dasar bagi para
pemangku kepentingan yang tergabung dalam
Tim Propinsi mengerucutkan pilihan ke Kabupaten
Maluku Tengah untuk dikaji lebih dalam.
Langkah selanjutnya yang dilakukan adalah survey
ke Kecamatan yang memiliki populasi dan sejarah

Kabar dari MALUKU

19

Kontributor; Maun Kusnandar dan Isra Amin Ali

bencana tertinggi di wilayah Kabupaten Maluku


Tengah, yaitu Kecamatan Amahai. Survey lebih
menitikberatkan pada mempelajari masalah dalam
masyarakat khususnya terkait isu perubahan
iklim dan kebencanaan, tata cara yang berlaku
dalam masyarakat serta situasi-situasi, sikap,
pandangan, proses yang sedang berlangsung
dan juga pengaruh dari suatu fenomena (alam,
sosial, budaya, lembaga) yang sedang dan telah
terjadi di masyarakat. Survey dilakukan dengan
menghimpun informasi
melalui wawancara dengan stakeholder terkait
di kabupaten, Camat, Raja, Tokoh Masyarakat,
Tokoh Adat, Tokoh Pemuda maupun melalui
observasi.
Data-data yang diperoleh adalah berupa kondisi

pengelolaan lingkungan hidup, kondisi sosial


budaya, serta data-data terkait dengan potensipotensi Negeri (pertanian, perikanan, peternakan,
perkebunan,
pertambangan,
pariwisata,
transportasi),. Selain itu, data yang diperoleh juga
termasuk potensi dan sejarah bencana yang pernah
terjadi di lokasi-lokasi survey.
Berdasarkan data-data yang diperoleh dan
perbandingan dari kriteria-kriteria yang telah
ditentukan bersama para pemangku kepentingan
setempat, pada Agustus 2014 kemarin telah
dipilih Negeri Amahai dan Negeri Soahuku di
Kecamatan Amahai, Kabupaten Maluku tengah
sebagai daerah replikasi upaya-upaya API PRB
di Maluku. Keputusan tersebut dibuat secara
bersama antara Mercy Corps Indonesia beserta
Tim Propinsi yang terdiri dari BPBD, BAPPEDA,
dan Akademisi.

berbagi pemikiran

ropinsi Maluku merupakan Daerah Kepulauan dengan luas


wilayah 712.480 Km2 terdiri dari sekitar 92,4% lautan dan
7,6 % daratan, dengan jumlah pulau mencapai 1.340 buah
yang lebih didominasi oleh pulau-pulau kecil. Propinsi Maluku
yang padat penduduk ini terletak di pertemuan tiga lempeng
tektonik; Eurasia
yang penduduknya kurang lebih 1,8 juta jiwa ini merupakan daerah
rawan bencana baik geologi maupun hidrometeorologi. Dengan kondisi
demikian, penyelenggaraan penanggulangan bencana yang sistematis,
terpadu, dan terkoordinasi harus menjadi prioritas. Penanggulangan
bencana dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat
dari ancaman risiko bencana sangatlah penting. Sebagimana telah di
amanatkan oleh para pendiri bangsa ini bahwa salah satu tanggung
jawab negara adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia termasuk di dalamnya melindungi bangsa ini
dari bencana.
Kita ketahui bahwa sebagian besar jenis bencana yang terjadi
seperti banjir, tanah longsor, kekeringan, kebakaran hutan serta

20

anomali cuaca, biasanya dapat diketahui sebelumnya. Namun pada


kenyataannya kejadian bencana yang timbul selalu saja memberikan
kejutan dan menimbulkan banyak kerugian baik jiwa maupun harta
benda. Di samping itu bencana yang terjadi juga berdampak terhadap
bertambahnya penduduk miskin baru. Hal tersebut mengindikasikan
bahwa kewaspadaan dan kesiapsiagaan baik pemerintah, dunia
usaha maupun masyarakat dalam menghadapi bencana masih relatif
rendah. Selain itu, pola kebiasaan dalam penanganan bencana
yang masih bersifat responsif telah terbukti tidak dapat memberikan
hasil yang maksimal dalam pengurangan risiko bencana. Hal ini
mencerminkan betapa besar tantangan dan tugas yang harus di
hadapi bersama baik di tingkat komunitas, regional dan nasional.
Di manapun kita berada, sebaiknya harus selalu sadar bahwa kita
merupakan bagian dari sebuah sistem penanggulangan bencana.
Maka dari itu, kita harus selalu meningkatkan konteks pemahaman
kebencanaan dan selalu menyebarluasakan informasi-informasi yang
positif ke lingkungan yang lebih luas.

MEMPERKUAT KETANGGUHAN
BENCANA MELALUI
KESIAPSIAGAAN KEARIFAN LOKAL

Oleh:
Dra. Ny. F Salampessy, M.Si
(Kalaksa BPBD Propinsi Maluku)

berbagi permikiran

KEARIFAN
LOKAL

Kearifan lokal yang ada di wilayah Propinsi


Maluku seperti sistem Sasi dan Pela
Gandong merupakan tatanan yang sudah
dilaksanakan secara turun temurun
serta dapat memberikan nilai-nilai positif
kepada masyarakat dalam menjaga
dan melestarikan lingkungan. Sasi dapat
diartikan sebagai aturan larangan
untuk mengambil hasil sumber daya alam tertentu sebagai upaya pelestarian sumber daya alam demi
adat ini juga menyangkut pengaturan relasi antara manusia dengan alam. Sasi pada hakekatnya
merupakan satu upaya untuk memelihara tata krama kehidupan masyarakat untuk selaras dengan alam
di masing-masing wilayah. Apabila sistem sasi sudah dimulai atau dijalankan maka masyarakat adat tidak
berani untuk melanggar aturan tersebut. Masyarakat adat sangat percaya jika mereka melanggar aturan
ada di masyarakat Maluku. Makna Pela Gandong itu sendiri adalah suatu sistem hubungan sosial yang
dikenal dalam masyarakat Maluku berupa satu perjanjian hubungan antar Negeri/Desa baik antar desa
Islam dan Nasrani maupun antar sesama agama dengan Negeri dan desa lainnya.
Hubungan Pela ini merupakan satu kearifan lokal dalam tatanan masyarakat Maluku sejak dulu pada
zaman Portugis dan Belanda. Hubungan ini digunakan untuk memperkuat pertahanan terhadap
penyerangan Bangsa Eropa pada waktu itu dimana Portugis dan Belanda berupaya melakukan monopoli
rempah-rempah di wilayah Maluku. Pela juga dianggap sebagai suatu ikatan persaudaraan antara semua
penduduk atau antara satu desa dengan desa lainnya. Hubungan ini dianggap sakral atau suci. Ikatan
ini memiliki rasa yang kuat untuk saling membantu pada saat salah satu desa dilanda bencana alam
maupun bencana sosial.
Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana pasal 5 ditegaskan
bahwa Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menjadi penanggung jawab dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana. Hal ini diperkuat dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun
2008 tentang penyelenggaraan Penanggulangan Bencana dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
46 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Laksana BPBD, dan Peraturan Kepala Badan Nasional
Penanggulangan Bencana Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pedoman Pembentukan Badan Penanggulangan
Bencana Daerah (BPBD). Berdasarkan peraturan perundangan tersebut, maka Pemerintah Propinsi Maluku
membentuk BPBD Propinsi Maluku melalui Peraturan Gubernur Maluku Nomor 13 Tahun 2009 yang berfungsi
untuk membantu tugas gubernur dalam bidang kebencanaan, untuk merumuskan dan menetapkan kebijakan
melakukan koordinasi terhadap pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu,
dan menyeluruh.
Setelah tiga tahun melaksanakan tugas, pada tahun 2011 status organisasi BPBD Propinsi Maluku ditingkatkan
statusnya melalui Perda Nomor 02 Tahun 2010 tentang pembentukan BPBD Propinsi Maluku yang terdiri
dari satu kepala, dan tiga kepala bidang yang masing-masing membawahi dua esselon IV. Kinerja yang
dibangun bersama staf pada tahun 2014 diperluas yaitu bermitra dengan beberapa stakeholder kebencanaan
dimasyarakat dan tergabung dalam organisasi sosial keagamaan, baik kelompok pengajian maupun kelompok
gereja yang terdiri dari jemaat yang ada di desa. Hal tersebut dilakukan untuk membentuk forum pengurangan
risiko bencana di masing-masing kelompok yang nantinya bertugas untuk membantu masyarakat dalam
penanggulangan bencana dan sebagai sumber informasi bencana dalam lingkungan tersebut. Selain itu, kerja
sama terus dibangun dengan Kabupaten/Kota untuk memperluas kelompok PRB di masing-masing Desa.

21

22

Você também pode gostar