Você está na página 1de 23

Thyroid

Tiroid merupakan kelenjar kecil, dengan diameter sekitar 5 cm dan terletak di leher, tepat dibawah
jakun. Kedua bagian tiroid dihubungkan oleh ismus, sehingga bentuknya menyerupai huruf H atau dasi
kupu-kupu.
Dalam keadaan normal, kelenjar tiroid tidak terlihat dan hampir tidak teraba, tetapi bila membesar,
dokter dapat merabanya dengan mudah dan suatu benjolan bisa tampak dibawah atau di samping jakun.
Kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroid, yang mengendalikan kecepatan metabolisme tubuh.
Hormon tiroid mempengaruhi kecepatan metabolisme tubuh melalui 2 cara:
1. Merangsang hampir setiap jaringan tubuh untuk menghasilkan protein
2. Meningkatkan jumlah oksigen yang digunakan oleh sel.
Jika sel-sel bekerja lebih keras, maka organ tubuh akan bekerja lebih cepat.
Untuk menghasilkan hormon tiroid, kelenjar tiroid memerlukan yodium, yaitu suatu eleman yang
terdapat di dalam makanan dan air.
Kelenjar tiroid menangkap yodium dan mengolahnya menjadi hormon tiroid.
Setelah hormon tiroid digunakan, beberapa yodium di dalam hormon kembali ke kelenjar tiroid dan
didaur-ulang untuk kembali menghasilkan hormon tiroid.
Tubuh memiliki mekanisme yang runit untuk menyesuaikan kadar hormon tiroid.
Hipotalamus (terletak tepat di atas kelenjar hipofisa di otak) menghasilkan thyrotropin-releasing
hormone, yang menyebabkan kelenjar hipofisa mengeluarkan thyroid-stimulating hormone (TSH).
Sesuai dengan namanya, TSH ini merangsang kelenjar tiroid untuk menghasilkan hormon tiroid.
Jika jumlah hormon tiroid dalam darah mencapai kadar tertentu, maka kelenjar hipofisa menghasilkan
TSH dalam jumlah yang lebih sedikit; jika kadar hormon tiroid dalam darah berkurang, maka kelenjar
hipofisa mengeluarkan lebih banyak TSH. Hal ini disebut mekanisme umpan balik.
Hormon tiroid terdapat dalam 2 bentuk:
1. Tiroksin (T4), merupakan bentuk yang dihasilkan oleh kelenjar tiroid, hanya memiliki efek yang
ringan terhadap kecepatan metabolisme tubuh.
2. Tiroksin dirubah di dalam hati dan organ lainnya ke dalam bentuk aktif, yaitu tri-iodo-tironin
(T3).
Perubahan ini menghasilkan sekitar 80% bentuk hormon aktif, sedangkan 20% sisanya
dihasilkan oleh kelenjar tiroid sendiri.
Perubahan dari T4 menjadi T3 di dalam hati dan organ lainnya, dipengaruhi oleh berbagai faktor,
diantaranya kebutuhan tubuh dari waktu ke waktu.

Sebagian besar T4 dan T3 terikat erat pada protein tertentu di dalam darah dan hanya aktif jika tidak
terikat pada protein ini. Dengan cara ini, tubuh mempertahankan jumlah hormon tiroid yang sesuai
dengan kebutuhan agar kecepatan metabolisme tetap stabil.
Agar kelenjar tiroid berfungsi secara normal, maka berbagai faktor harus bekerjasama secara benar:
- hipotalamus
- kelenjar hipofisa
- hormon tiroid (ikatannya dengan protein dalam darah dan perubahan T4 menjadi T3 di dalam hati
serta organ lainnya).
GEJALA
Gejala-gejala penyakit tiroid
Hipertiroidisme
DENYUT JANTUNG YG CEPAT
TEKANAN DARAH TINGGI
KULIT LEMBAT & BERKERINGAT BANYAK
GEMETARAN
GELISAH
NAFSU MAKAN BERTAMBAH DISERTAI PENAMBAHAN
BERAT BADAN

SULIT TIDUR
SERING BUANG AIR BESAR & DIARE
LEMAH
KULIT DIATAS TULANG KERING MENONJOL & MENEBAL

HIPOTIROIDISME
DENYUT NADI YG LAMBAT
SUARA SERAK
BERBICARA MENJADI LAMBAT
ALIS MATA RONTOK
KELOPAK MATA TURUN
TIDAK TAHAN CUACA DINGIN
SEMBELIT
PENAMBAHAN BERAT BADAN
RAMBUT KERING, TIPIS, KASAR
KULIT KERING, BERSISIK, TEBAL, KASAR
KULIT DIATAS TULANG KERING MENEBAL &
MENONJOL

MATA MEMBENGKAK, MEMERAH & MENONJOL


MATA PEKA TERHADAP CAHAYA
MATA SEAKAN MENATAP
KEBINGUNGAN

SINDROMA TEROWONGAN KARPAL


KEBINGUNGAN
DEPRESI
DEMENSIA

DIAGNOSA
UNTUK MENGETAHUI FUNGSI KELENJAR TIROID, BISA DILAKUKAN BEBERAPA PEMERIKSAAN
LABORATORIUM.
SALAH SATU PEMERIKSAAN YANG PALING SERING DILAKUKAN ADALAH PENGUKURAN KADAR TSH DI
DALAM DARAH. HORMON INI MERANGSANG KELENJAR TIROID, KARENA ITU JIKA KELENJAR TIROID
KURANG AKTIF MAKA KADAR HORMON INI TINGGI; SEDANGKAN JIKA KELENJAR TIROID TERLALU
AKTIF , MAKA KADAR HORMON INI RENDAH.
BIASANYA PEMERIKSAAN YANG PERLU DILAKUKAN ADALAH PENGUKURAN KADAR TSH DAN KADAR T4
YANG BEBAS DALAM DARAH.

TETAPI BISA JUGA DILAKUKAN PENGUKURAN KADAR PROTEIN GLOBULIN PENGIKAT TIROKSIN, KARENA
KADAR PROTEIN YANG ABNORMAL BISA MENIMBULKAN KESALAHPAHAMAN DALAM MENILAI KADAR
HORMON TIROID TOTAL.

PENDERITA PENYAKIT GINJAL, BEBERAPA PENYAKIT KETURUNAN ATAU PEMAKAIAN STEROID ANABOLIK
MEMILIKI KADAR GLOBULIN PENGIKAT TIROKSIN YANG RENDAH. SEBALIKNYA, WANITA HAMIL,
PEMAKAI PIL KB ATAU ESTROGEN LAINNYA, PENDERITA HEPATITIS STADIUM AWAL DAN BEBERAPA
PENYAKIT LAINNYA, MEMILIKI KADAR GLOBULIN PENGIKAT TIROKSIN YANG TINGGI.
BEBERAPA PEMERIKSAAN BISA DILAKUKAN PADA KELENJAR TIROID.
JIKA DIDUGA TERDAPAT PERTUMBUHAN DI DALAM KELENJAR TIROID, DILAKUKAN PEMERIKSAAN USG,
UNTUK MENENTUKAN APAKAH PERTUMBUHAN INI BERUPA CAIRAN ATAU PADAT.
SKENING KELENJAR TIROID DENGAN YODIUM RADIOAKTIF ATAU TEKNETIUM, BISA MENUNJUKKAN
KELAINAN FISIK PADA KELENJAR TIROID. SKENING TIROID JUGA BISA MEMBANTU MENENTUKAN
APAKAH FUNGSI DARI SUATU DAERAH TIROID BERSIFAT NORMAL, TERLALU AKTIF ATAU KURANG AKTIF.
JIKA MASIH BELUM YAKIN APAKAH KELAINANNYA TERLETAK PADA KELENJAR TIROID ATAU KELENJAR
HIPOFISA, MAKA DILAKUKAN PEMERIKSAAN PERANGSANGAN FUNGSIONAL.
PADA SALAH SATU DARI PEMERIKSAAN INI DILAKUKAN PENYUNTIKAN THYROTROPIN-RELEASING
HORMONE INTRAVENA DAN PEMERIKSAAN DARAH UNTUK MENGUKUR RESPON DARI KELENJAR HIPOFISA.

Kelainan Kelenjar Thyroid


Hipertiroidisme
DEFINISI
Hipertiroidisme adalah suatu keadaan dimana kelenjar tiroid bekerja secara berlebihan, sehingga
menghasilkan sejumlah besar hormon tiroid.
Hipertiroidisme bisa ditemukan dalam bentuk penyakit Graves, gondok noduler toksik atau
hipertiroidisme sekunder.
PENYAKIT GRAVES
Penyakit Graves (goiter difusa toksika) dipercaya disebabkan oleh suatu antibodi yang merangsang
tiroid untuk menghasilkan hormon torid yang berlebihan.
Penderita penyakit Graves memiliki gejala-gejala khas dari hipertiroidisme dan 3 gejala tambahan
khusus:
SELURUH KELENJAR TERANGSANG, SEHINGGA KELENJAR SANGAT MEMBESAR, MENYEBABKAN
SUATU BENJOLAN DI LEHER (GONDOK, GOITER)
Eksoftalmus (mata menonjol).

Hal ini terjadi sebagai akibat dari penimbunan zat di dalam orbit mata.
Penonjolan kulit diatas tulang kering.
Otot-otot yang menggerakkan mata tidak mampu berfungsi sebagaimana mestinya, sehingga
sulit atau tidak mungkin menggerakkan mata secara normal atau sulit mengkoordinir gerakan
mata, akibatnya terjadi pandangan ganda.
Kelopak mata tidak dapat menutup secara sempurna, sehingga mata terpapar oleh benda-benda
asing dan mengalami kekeringan.
Perubahan mata ini bisa terjadi bertahun-tahun sebelum gejala lainnya timbul (merupakan
pertanda awal dari penyakit Graves) atau bisa juga muncul setelah gejala lainnya timbul.
Gejala mata bahkan bisa terjadi atau bertambah buruk setelah pelepasan hormon tiorid yang
berlebihan ini diobati dan berhasil dikendalikan.
Gejala mata bisa dikurangi dengan:
- menempatkan kepala pada posisi yang lebih tinggi di tempat tidur
- memberikan obat tetes mata
- tidur dengan kelopak mata tertutup, dengan bantuan plester
- mengkonsumsi obat diuretik (kadang-kadang).
Penglihatan ganda bisa diatasi dengan memakai kacamata prisma.
Jika tindakan-tindakan diatas tidak membantu, mungkin perlu diberikan obat kortikosteroid,
terapi sinar X atau pembedahan mata.
Zat yang tertimbun di belakang mata juga bisa tertimbun di dalam kulit, biasanya diatas tulang
kering. Daerah penebalan in bisa terasa gatal dan merah serta terasa keras jika ditekan dengan
jari tangan.
Penebalan kulit ini juga bisa terjadi sebelum atau sesudah gejala hipertiroidisme lainnya
muncul.
Untuk mengurangi gatal dan kekerasan kulit, bisa diberikan krim atau salep kortikosteroid.
Gangguan ini seringkali menghilang dengan sendirinya beberapa bulan atau beberapa tahun
kemudian.

Goiter noduler toksika


Pada goiter noduler toksika, satu atau beberapa nodul di dalam tiroid menghasilkan terlalu
banyak hormon tiorid dan berada diluar kendali TSH (thyroid-stimulating hormone.
Nodul tersebut benar-benar merupakan tumor tiroid jinak dan tidak berhubungan dengan
penonjolan mata serta gangguan kulit pada penyakit Graves.

Hipertiroidisme sekunder
Hipertiroidisme bisa disebabkan oleh tumor hipofisa yang menghasilkan terlalu banyak TSH,
sehingga merangsang tiroid untuk menghasilkan hormon tiroid yang berlebihan.
Penyebab lainnya adalah perlawanan hipofisa terhadap hormon tiroid, sehingga kelenjar
hipofisa menghasilkan terlalu banyak TSH.
Wanita dengan mola hidatidosa (hamil anggur) juga bis menderita hipertiroidisme karena
perangsangan yang berlebihan terhadap kelenjar tirois akibat kadar HCG (human chorionic
gonadotropin) yang tinggi dalam darah.
Jika kehamilan anggur berakhir dan HCG tidak ditemukan lagi di dalam darah, maka
hipertiroidisme akan menghilang.
PENYEBAB
Penyebab dari hipertiroidisme adalah:
Reaksi imunologis
Tiroiditis
ADENOMA TIROID TOKSIK

GEJALA
Pada hipertiroidisme, apapun penyebabnya, terjadi peningkatan fungsi tubuh:

- Jantung berdetak lebih cepat dan bisa terjadi kelainan irama jantung, yang bisa menyebabkan
palpitasi (jantung berdebar-debar)
- Tekanan darah cenderung meningkat
- Penderita merasakan hangat meskipun berada dalam ruangan yang sejuk
- Kulit menjadi lembab dan cenderung mengeluarkan keringat yang berlebihan
- Tangan memperlihatkan tremor (gemetaran) halus
- Penderita merasa gugup, letih dan lemah meskipun tidak melakukan kegiatan yang berat
- Nafsu makan bertambah, tetapi berat badan berkurang
- Sulit tidur
- Sering buang air besar, kadang disertai diare
- Terjadi perubahan pada mata : bengkak di sekitar mata, bertambahnya pembentukan air mata, iritasi
dan peka terhadap cahaya. Gejala ini akan segera menghilang setelah pelepasan hormon tiroid
terkendali, kecuali pada penyakit Graves yang menyebabkan gangguan mata khusus.

KOMPLIKASI
Badai tiroid adalah suatu aktivitas yang sangat berlebihan dari kelenjar tiroid, yang terjadi secara tibatiba.
Badai tiroid bisa menyebakan:
- demam
- kelemahan dan pengkisutan otot yang luar biasa
- kegelisahan
- perubahan suasana hati
- kebingungan
- perubahan kesadaran (bahkan sampai terjadi koma)
- pembesaran hati disertai penyakit kuning yang ringan.
Badai tiroid merupakan suatu keadaan darurat yang sangat berbahaya dan memerlukan tindakan segera.
Tekanan yang berat pada jantung bisa menyebabkan ketidakteraturan irama jantung yang bisa berakibat
fatal (aritmia) dan syok.
Badai tiroid biasanya terjadi karena hipertiroidisme tidak diobati atau karena pengobatan yang tidak
adekuat, dan bisa dipicu oleh:
- infeksi
- trauma
- pembedahan
- diabetes yang kurang terkendali
- ketakutan
- kehamilan atau persalinan

- tidak melanjutkan pengobatan tiroid


- stres lainnya.
Badai tiroid jarang terjadi pada anak-anak.
DIAGNOSA
Tanda-tanda vital (suhu, nadi, laju pernafasan, tekanan darah) menunjukkan peningkatan denyut
jantung. Tekanan darah sistolik bisa meningkat.
Pemeriksaan fisik bisa menunjukkan adanya pembesaran kelenjar tiroid atau gondok.
Untuk menilai fungsi tiroid dilakukan pemeriksaan:
- TSH serum (biasanya menurun)
- T3, T4 (biasanya meningkat).
PENGOBATAN
Hipertiroidisme biasanya dapat diatasi dengan obat-obatan, pilihan lainnya adalah pembedahan untuk
mengangkat kelenjar tiroid atau pemberian yodium radioaktif.
Setiap pengobatan memiliki kelebihan dan kekurangan.
Agar bekerja sebagaimana mestinya, kelenjar tiroid memerlukan sejumlah kecil yodium; jumlah
yodium yang berlebihan bisa menurunkan jumlah hormon yang dibuat dan mencegah pelepasan
hormon tiroid.
Karena itu untuk menghentikan pelepasan hormon tiroid yang berlebih, bisa diberikan yodium dosis
tinggi.
Pemberian yodium terutama bermanfaat jika hipertiroidisme harus segera dikendalikan (misalnya jika
terjadi badai tiroid atau sebelum dilakukan tindakan pembedahan).
Yodium tidak digunakan pada pengobatan rutin atau pengobatan jangka panjang.
Propiltiourasil atau metimazol, merupakan obat yang paling sering digunakan untuk mengobati
hipertiroidisme. Obat ini memperlambat fungsi tiroid dengan cara mengurangi pembentukan hormon
tiroid oleh kelenjar.
Kedua obat tersebut diberikan per-oral (ditelan), dimulai dengan dosis tinggi, selanjutnya disesuaika
dengan hasil pemeriksaan darah terhadap hormon tiroid.
Obat ini biasanya bisa mengendalikan fungsi tiroid dalam waktu 6 minggu sampai 3 bulan. Dosis yang
lebih tinggi bisa mempercepat pengendalian fungis tiroid, tetapi resiko terjadinya efek samping juga
meningkat.
Efek samping yang terjadi bisa berupa reaksi alergi (ruam kulit), mual, hilang rasa dan penekanan
sintesa sel darah merah di sumsum tulang. Penekanan sumsum tulang bisa menyebabkan berkurangnya
jumlah sel darah putih, sehingga penderita sangat peka terhadap infeksi.
Pada wanita hamil, penggunaan propiltriurasil lebih aman dibandingkan dengan metimazol karena
lebih sedikit obat yang sampai ke janin.

Obat-obat beta bloker (misalnya propanolol) membantu mengendalikan beberapa gejala


hipertiroidisme. Obat ini efektif dalam memperlambat denyut jantung yang cepat, mengurangi gemetar
dan mengendalikan kecemasan.
Beta bloker terutama bermanfaat dalam mengatasi badai tiroid dan penderita yang memiliki gejala yang
mengganggu atau berbahaya, yang hipertiroidismenya tidak dapat dikendalikan oleh obat lain. Tetapi
beta bloker tidak mengendalikan fungsi tiroid yang abnormal.
Hipertiroidisme juga bisa diobati dengan yodium radioaktif, yang menghancurkan kelanjar tiroid.
Yodium radioaktif per-oral memberikan pengaruh yang sangat kecil terhadap tubuh, tetapi memberikan
pengaruh yang besar terhadap kelenjar tiroid. Karena itu dosisnya disesuaikan sehingga hanya
menghancurkan sejumlah kecil tiroid agar pembentukan hormon kembali normal, tanpa terlalu banyak
mengurangi fungsi tiroid.
Sebagian besar pemakaian yodium radioaktif pada akhirnya menyebakan hipotiroidisme. Sekitar 25%
penderita mengalami hipotiroidisme dalam waktu 1 tahun setelah pemberian yodium radioaktif.
Yodium radioaktif tidak diberikan kepada wanita hamil karena bisa melewati sawar plasenta dan bisa
merusak kelenjar tiroid janin.
Pada tiroidektomi, kelenjar tiroid diangkat melalui pembedahan.
Pembedahan merupakan terapi pilihan untuk:
- penderita muda
- penderita yang gondoknya sangat besar
- penderita yang alergi terhadap obat atau mengalami efek samping akibat obat.
Setelah menjalani pembedahan, bisa terjadi hipotiroidisme. Kepada penderita ini diberikan terapi sulih
hormon sepanjang hidupnya.
Komplikasi lain dari pembedahan adalah kelumpuhan pita suara dan kerusakan kelenjar paratiroid
(kelenjar kecil di belakang kelenjar tiroid yang mengendalikan kadar kalsium dalam darah).

Hipotiroidisme
DEFINISI
Hipotiroidisme adalah suatu keadaan dimana kelenjar tiroid kurang aktif dan menghasilkan terlalu
sedikit hormon tiroid.
Hipotiroid yang sangat berat disebut miksedema.
PENYEBAB
Penyebab yang paling sering ditemukan adalah tiroiditis Hashimoto.
Pada tiroiditis Hashimoto, kelenjar tiroid seringkali membesar dan hipotiroidisme terjadi beberapa
bulan kemudian akibat rusaknya daerah kelenjar yang masih berfungsi.
Penyebab kedua tersering adalah pengobatan terhadap hipertiroidisme. Baik yodium radioaktif maupun

pembedahan cenderung menyebabkan hipotiroidisme.


Kekurangan yodium jangka panjang dalam makanan, menyebabkan pembesaran kelenjar tiroid yang
kurang aktif (hipotiroidisme goitrosa).
Kekurangan yodium jangka panjang merupakan penyebab tersering dari hipotiroidisme di negara
terbelakang.
GEJALA
Kekurangan hormon tiroid menyebabkan melambatnya fungsi tubuh.
Gejalanya ringan dan timbul secara bertahap, bisa disalahartikan sebagai depresi.
Ekspresi wajah menjadi tumpul, suara menjadi serak dan berbicara menjadi lambat, kelopak mata
menutup dan mata serta wajah menjadi bengkak.
Banyak penderita yang mengalami penambahan berat badan, sembelit dan tidak tahan terhadap cuaca
dingin.
Rambut menjadi tipis, kasar dan kering; kulit menjadi kasar, kering, bersisik dan menebal.
Banyak penderita yang mengalami sindroma terowongan karpal.
Denyut nadi bisa melambat, telapak tangan dan telapak kaki tampak agak oranye (karotenemia) dan
alis mata bagian samping mulai rontok.
Beberapa penderita, terutama yang berusia lanjut, menjadi pelupa, bingung dan pikun.
Jika tidak diobati, pada akhirnya akan terjadi anemia dan gagal jantung.
Keadaan ini bisa berkembang menjadi stupor atau koma (koma miksedema). Keadaan ini bisa berakibat
fatal; pernafasan menjadi lambat, penderita mengalami kejang dan aliran darah ke otak berkurang.
Koma miksedema bisa dipicu oleh:
- cuaca dingin
- infeksi
- trauma
- obat-obatan (misalnya obat penenang yang menekan fungsi otak).
DIAGNOSA
Pemeriksaan fisik menunjukkan tertundanya pengenduran otot selama pemeriksaan refleks. Penderita
tampak pucat, kulitnya kuning, pinggiran alis matanya rontok, rambut tipis dan rapuh, ekspresi
wajahnya kasar, kuku rapuh, lengan dan tungkainya membengkak serta fungsi mentalnya berkurang.
Tanda-tanda vital menunjukkan perlambatan denyut jantung, tekanan darah rendah dan suhu tubuh
rendah.
Pemeriksaan rontgen dada bisa menunjukkan adanya pembesaran jantung.
Pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui fungsi tiroid biasanya menunjukkan kadar T4 yang
rendah dan kadar TSH yang tinggi.
PENGOBATAN
Hipotiroidisme diobati dengan menggantikan kekurangan hormon tiroid, yaitu dengan memberikan
sediaan per-oral (lewat mulut).
Yang banyak disukai adalah hormon tiroid buatan T4. Bentuk yanglain adalah tiroid yang dikeringkan
(diperoleh dari kelenjar tiroid hewan).

Pengobatan pada penderita usia lanjut dimulai dengan hormon tiroid dosis rendah, karena dosis yang
terlalu tinggi bisa menyebabkan efek samping yang serius.
Dosisnya diturunkan secara bertahap sampai kadar TSH kembali normal.
Obat ini biasanya terus diminum sepanjang hidup penderita.
Dalam keadaan darurat (misalnya koma miksedem), hormon tiroid bisa diberikan secara intravena.

Graves Disease
Penyakit Graves merupakan bentuk tiroktoksikosis (hipertiroid) yang paling sering dijumpai
dalam praktek sehari-hari. Dapat terjadi pada semua umur, sering ditemukan pada wanita dari pada
pria. Tanda dan gejala penyakit Graves yang paling mudah dikenali ialah adanya struma (hipertrofi dan
hiperplasia difus), tirotoksikosis (hipersekresi kelenjar tiroid/ hipertiroidisme) dan sering disertai
oftalmopati, serta disertai dermopati, meskipun jarang.(1,2,3)
Patogenesis penyakit Graves sampai sejauh ini belum diketahui secara pasti. Namun demikian, diduga
faktor genetik dan lingkungan ikut berperan dalam mekanisme yang belum diketahui secara pasti
meningkatnya risiko menderita penyakit Graves. Berdasarkan ciri-ciri penyakitnya, penyakit Graves
dikelompokkan ke dalam penyakit autoimun, antara lain dengan ditemukannya antibodi terhadap
reseptor TSH (Thyrotropin Stimulating Hormone - Receptor Antibody /TSHR-Ab) dengan kadar
bervariasi.(1,2)

Definisi
Penyakit Graves (goiter difusa toksika) merupakan penyebab tersering hipertiroidisme adalah suatu
penyakit otonium yang biasanya ditandai oleh produksi otoantibodi yang memiliki kerja mirip TSH
pada kelenjar tiroid. Penderita penyakit Graves memiliki gejala-gejala khas dari hipertiroidisme dan
gejala tambahan khusus yaitu pembesaran kelenjar tiroid/struma difus, oftamopati (eksoftalmus/ mata
menonjol) dan kadang-kadang dengan dermopati.(1,4,5,6)

Etiologi
Penyakit Graves merupakan salah satu penyakit otoimun, dimana penyebabnya sampai sekarang belum
diketahui dengan pasti. Penyakit ini mempunyai predisposisi genetik yang kuat, dimana 15% penderita
mempunyai hubungan keluarga yang erat dengan penderita penyakit yang sama. Sekitar 50% dari
keluarga penderita penyakit Graves, ditemukan autoantibodi tiroid didalam darahnya. Penyakit ini
ditemukan 5 kali lebih banyak pada wanita dibandingkan pria, dan dapat terjadi pada semua umur.
Angka kejadian tertinggi terjadi pada usia antara 20 tahun sampai 40 tahun.(2,6)

Patogenesis
Pada penyakit Graves, limfosit T mengalami perangsangan terhadap antigen yang berada didalam
kelenjar tiroid yang selanjutnya akan merangsang limfosit B untuk mensintesis antibodi terhadap
antigen tersebut. Antibodi yang disintesis akan bereaksi dengan reseptor TSH didalam membran sel
tiroid sehingga akan merangsang pertumbuhan dan fungsi sel tiroid, dikenal dengan TSH-R antibody.
Adanya antibodi didalam sirkulasi darah mempunyai korelasi yang erat dengan aktivitas dan
kekambuhan penyakit. Mekanisme otoimunitas merupakan faktor penting dalam patogenesis terjadinya
hipertiroidisme, oftalmopati, dan dermopati pada penyakit Graves.
Sampai saat ini dikenal ada 3 otoantigen utama terhadap kelenjar tiroid yaitu tiroglobulin (Tg),
thyroidal peroxidase (TPO) dan reseptor TSH (TSH-R). Disamping itu terdapat pula suatu protein
dengan BM 64 kiloDalton pada permukaan membran sel tiroid dan sel-sel orbita yang diduga berperan
dalam proses terjadinya perubahan kandungan orbita dan kelenjar tiroid penderita penyakit Graves.
Sel-sel tiroid mempunyai kemampuan bereaksi dengan antigen diatas dan bila terangsang oleh
pengaruh sitokin (seperti interferon gamma) akan mengekspresikan molekul-molekul permukaan sel
kelas II (MHC kelas II, seperti DR4) untuk mempresentasikan antigen pada limfosit T.
Faktor genetik berperan penting dalam proses otoimun, antara lain HLA-B8 dan HLA-DR3 pada ras
Kaukasus, HLA-Bw46 dan HLA-B5 pada ras Cina dan HLA-B17 pada orang kulit hitam. Faktor
lingkungan juga ikut berperan dalam patogenesis penyakit tiroid otoimun seperti penyakit Graves.
Virus yang menginfeksi sel-sel tiroid manusia akan merangsang ekspresi DR4 pada permukaan sel-sel
folikel tiroid, diduga sebagai akibat pengaruh sitokin (terutama interferon alfa). Infeksi basil gram
negatif Yersinia enterocolitica, yang menyebabkan enterocolitis kronis, diduga mempunyai reaksi
silang dengan otoantigen kelenjar tiroid. Antibodi terhadap Yersinia enterocolitica terbukti dapat
bereaksi silang dengan TSH-R antibody pada membran sel tiroid yang dapat mencetuskan episode akut
penyakit Graves. Asupan yodium yang tinggi dapat meningkatkan kadar iodinated immunoglobulin
yang bersifat lebih imunogenik sehingga meningkatkan kecenderungan untuk terjadinya penyakit tiroid
otoimun. Dosis terapeutik dari lithium yang sering digunakan dalam pengobatan psikosa manik
depresif, dapat pula mempengaruhi fungsi sel limfosit T suppressor sehingga dapat menimbulkan
penyakit tiroid otoimun. Faktor stres juga diduga dapat mencetuskan episode akut penyakit Graves,
namun sampai saat ini belum ada hipotesis yang memperkuat dugaan tersebut.
Terjadinya oftalmopati Graves melibatkan limfosit sitotoksik (killer cells) dan antibodi sitotoksik lain
yang terangsang akibat adanya antigen yang berhubungan dengan tiroglobulin atau TSH-R pada

fibroblast, otot-otot bola mata dan jaringan tiroid. Sitokin yang terbentuk dari limfosit akan
menyebabkan inflamasi fibroblast dan miositis orbita, sehingga menyebabkan pembengkakan otot-otot
bola mata, proptosis dan diplopia.
Dermopati Graves (miksedema pretibial) juga terjadi akibat stimulasi sitokin didalam jaringan
fibroblast didaerah pretibial yang akan menyebabkan terjadinya akumulasi glikosaminoglikans .
Berbagai gejala tirotoksikosis berhubungan dengan perangsangan katekolamin, seperti takhikardi,
tremor, dan keringat banyak. Adanya hiperreaktivitas katekolamin, terutama epinefrin diduga
disebabkan karena terjadinya peningkatan reseptor katekolamin didalam otot jantung.(2)

Gambaran Klinis
A. Gejala dan Tanda
Pada penyakit graves terdapat dua kelompok gambaran utama yaitu tiroidal dan ekstratiroidal yang
keduanya mungkin tidak tampak. Ciri-ciri tiroidal berupa goiter akibat hiperplasia kelenjar tiroid dan
hipertiroidisme akibat sekresi hormon tiroid yang berlebihan. Gejala-gejala hipertiroidisme berupa
manifestasi hipermetabolisme dan aktifitas simpatis yang berlebihan. Pasien mengeluh lelah, gemetar,
tidak tahan panas, keringat semakin banyak bila panas, kulit lembab, berat badan menurun walaupun
nafsu makan meningkat, palpitasi, takikardi, diare dan kelemahan srta atrofi otot. Manifestasi
ekstratiroidal berupa oftalmopati dan infiltrasi kulit lokal yang biasanya terbatas pada tungkai bawah.
Oftalmopati yang ditemukan pada 50% sampai 80% pasien ditandai dengan mata melotot, fissura
palpebra melebar, kedipan berkurang, lid lag (keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti gerakan
mata) dan kegagalan konvergensi. (3) Gambaran klinik klasik dari penyakit graves antara lain adalah tri
tunggal hipertitoidisme, goiter difus dan eksoftalmus. (5)
Perubahan pada mata (oftalmopati Graves) , menurut the American Thyroid Association
diklasifikasikan sebagai berikut (dikenal dengan singkatan NOSPECS) :
Kelas Uraian
0 Tidak ada gejala dan tanda
1 Hanya ada tanda tanpa gejala (berupa upper lid retraction,stare,lid lag)
2 Perubahan jaringan lunak orbita
3 Proptosis (dapat dideteksi dengan Hertel exphthalmometer)
4 Keterlibatan otot-otot ekstra ocular
5 Perubahan pada kornea (keratitis)
6 Kebutaan (kerusakan nervus opticus)
Kelas 1, terjadinya spasme otot palpebra superior dapat menyertai keadaan awal tirotoksikosis Graves
yang dapat sembuh spontan bila keadaan tirotoksikosisnya diobati secara adekuat.
Pada Kelas 2-6 terjadi proses infiltratif pada otot-otot dan jaringan orbita.
Kelas 2 ditandai dengan keradangan jaringan lunak orbita disertai edema periorbita, kongesti dan
pembengkakan dari konjungtiva (khemosis).
Kelas 3 ditandai dengan adanya proptosis yang dapat dideteksi dengan Hertel exophthalmometer.
Pada kelas 4, terjadi perubahan otot-otot bola mata berupa proses infiltratif terutama pada musculus
rectus inferior yang akan menyebabkan kesukaran menggerakkan bola mata keatas. Bila mengenai
musculus rectus medialis, maka akan terjadi kesukaran dalam menggerakkan bola mata kesamping.
Kelas 5 ditandai dengan perubahan pada kornea ( terjadi keratitis).
Kelas 6 ditandai dengan kerusakan nervus opticus, yang akan menyebabkan kebutaan.
Oftalmopati Graves terjadi akibat infiltrasi limfosit pada otot-otot ekstraokuler disertai dengan reaksi
inflamasi akut. Rongga mata dibatasi oleh tulang-tulang orbita sehingga pembengkakan otot-otot
ekstraokuler akan menyebabkan proptosis (penonjolan) dari bola mata dan gangguan pergerakan otototot bola mata, sehingga dapat terjadi diplopia. Pembesaran otot-otot bola mata dapat diketahui dengan

pemeriksaan CT scanning atau MRI. Bila pembengkakan otot terjadi dibagian posterior, akan terjadi
penekanan nervus opticus yang akan menimbulkan kebutaan.
Pada penderita yang berusia lebih muda, manifestasi klinis yang umum ditemukan antara lain palpitasi,
nervous, mudah capek, hiperkinesia, diare, berkeringat banyak, tidak tahan panas dan lebih senang
cuaca dingin. Pada wanita muda gejala utama penyakit graves dapat berupa amenore atau infertilitas.
Pada anak-anak, terjadi peningkatan pertumbuhan dan percepatan proses pematangan tulang.
Sedangkan pada penderita usia tua ( > 60 tahun ), manifestasi klinis yang lebih mencolok terutama
adalah manifestasi kardiovaskuler dan miopati, ditandai dengan adanya palpitasi , dyspnea deffort,
tremor, nervous dan penurunan berat badan. (1,2)
Pada neonatus, hipertiroidisme merupakan kelainan klinik yang relatif jarang ditemukan, diperkirakan
angka kejadian hanya 1 dari 25.000 kehamilan. Kebanyakan pasien dilahirkan dari ibu yang menderita
penyakit graves aktif tetapi dapat juga terjadi pada ibu dengan keadaan hipotiroid atau eutiroid karena
tiroiditis autoimun, pengobatan ablasi iodine radioaktif atau karena pembedahan. (8)
Gejala dan tanda apakah seseorang menderita hipertiroid atau tidak juga dapat dilihat atau ditentukan
dengan indeks wayne atau indeks newcastle yaitu sebagai berikut :

B. Pemeriksaan laboratorium
Kelainan laboratorium pada keadaan hipertiroidisme dapat dilihat pada skema dibawah ini :

Autoantibodi tiroid , TgAb dan TPO Ab dapat dijumpai baik pada penyakit Graves maupun tiroiditis
Hashimoto , namun TSH-R Ab (stim) lebih spesifik pada penyakit Graves. Pemeriksaan ini berguna
pada pasien dalam keadaan apathetic hyperthyroid atau pada eksoftamos unilateral tanpa tanda-tanda
klinis dan laboratorium yang jelas. (2)
Untuk dapat memahami hasil-hasil laboratorium pada penyakit Graves dan hipertiroidisme umumnya,
perlu mengetahui mekanisme umpan balik pada hubungan (axis) antara kelenjar hipofisis dan kelenjar
tiroid. Dalam keadaan normal, kadar hormon tiroid perifer, seperti L-tiroksin (T-4) dan tri-iodo-tironin
(T-3) berada dalam keseimbangan dengan thyrotropin stimulating hormone (TSH). Artinya, bila T-3
dan T-4 rendah, maka produksi TSH akan meningkat dan sebaliknya ketika kadar hormon tiroid tinggi,
maka produksi TSH akan menurun.
Pada penyakit Graves, adanya antibodi terhadap reseptor TSH di membran sel folikel tiroid,
menyebabkan perangsangan produksi hormon tiroid secara terus menerus, sehingga kadar hormon
tiroid menjadi tinggi. Kadar hormon tiroid yang tinggi ini menekan produksi TSH di kelenjar hipofisis,
sehingga kadar TSH menjadi rendah dan bahkan kadang-kadang tidak terdeteksi. Pemeriksaan TSH
generasi kedua merupakan pemeriksaan penyaring paling sensitif terhadap hipertiroidisme, oleh karena
itu disebut TSH sensitive (TSHs), karena dapat mendeteksi kadar TSH sampai angka mendekati
0,05mIU/L. Untuk konfirmasi diagnostik, dapat diperiksa kadar T-4 bebas (free T-4/FT-4). (1,2,3)
C. Pemeriksaan penunjang lain
Pemeriksaan penunjang lain seperti pencitraan (scan dan USG tiroid) untuk menegakkan diagnosis
penyakit Graves jarang diperlukan, kecuali scan tiroid pada tes supresi tiroksin. (1)

D. Diagnosis Banding
Penyakit Graves dapat terjadi tanpa gejala dan tanda yang khas sehingga diagnosis kadang-kadang sulit
didiagnosis. Atrofi otot yang jelas dapat ditemukan pada miopati akibat penyakit Graves, namun harus
dibedakan dengan kelainan neurologik primer.
Pada sindrom yang dikenal dengan familial dysalbuminemic hyperthyroxinemia dapat ditemukan
protein yang menyerupai albumin (albumin-like protein) didalam serum yang dapat berikatan dengan
T4 tetapi tidak dengan T3. Keadaan ini akan menyebabkan peningkatan kadar T4 serum dan FT4I,
tetapi free T4, T3 dan TSH normal. Disamping tidak ditemukan adanya gambaran klinis
hipertiroidisme, kadar T3 dan TSH serum yang normal pada sindrom ini dapat membedakannya dengan
penyakit Graves.
Thyrotoxic periodic paralysis yang biasa ditemukan pada penderita laki-laki etnik Asia dapat terjadi
secara tiba-tiba berupa paralysis flaksid disertai hipokalemi.
Paralisis biasanya membaik secara spontan dan dapat dicegah dengan pemberian suplementasi kalium
dan beta bloker. Keadaan ini dapat disembuhkan dengan pengobatan tirotoksikosis yang adekuat.
Penderita dengan penyakit jantung tiroid terutama ditandai dengan gejala-gejala kelainan jantung, dapat
berupa :
- Atrial fibrilasi yang tidak sensitif dengan pemberian digoksin
- High-output heart failure
Sekitar 50% pasien tidak mempunyai latar belakang penyakit jantung sebelumnya, dan gangguan
fungsi jantung ini dapat diperbaiki dengan pengobatan terhadap tirotoksikosisnya.
Pada penderita usia tua dapat ditemukan gejala-gejala berupa penurunan berat badan, struma yang
kecil, atrial fibrilaasi dan depresi yang berat, tanpa adanya gambaran klinis dari manifestasi
peningkatan aktivitas katekolamin yang jelas. Keadaan ini dikenal dengan apathetic hyperthyroidism.
E. Komplikasi
Krisis tiroid (Thyroid storm)
Merupakan eksaserbasi akut dari semua gejala tirotoksikosis yang berat sehingga dapat mengancam
kehidupan penderita.
Faktor pencetus terjadinya krisis tiroid pada penderita tirotoksikosis antara lain :
- Tindakan operatif, baik tiroidektomi maupun operasi pada organ lain
- Terapi yodium radioaktif
- Persalinan pada penderita hamil dengan tirotoksikosis yang tidak diobati secara adekuat.
- Stress yang berat akibat penyakit-penyakit seperti diabetes, trauma, infeksi akut, alergi obat yang
berat atau infark miokard.
Manifestasi klinis dari krisis tiroid dapat berupa tanda-tanda hipermetabolisme berat dan respons
adrenergik yang hebat, yaitu meliputi :
- Demam tinggi, dimana suhu meningkat dari 38C sampai mencapai 41C disertai dengan flushing dan
hiperhidrosis.
- Takhikardi hebat , atrial fibrilasi sampai payah jantung.
- Gejala-gejala neurologik seperti agitasi, gelisah, delirium sampai koma.
- Gejala-gejala saluran cerna berupa mual, muntah,diare dan ikterus.
Terjadinya krisis tiroid diduga akibat pelepasan yang akut dari simpanan hormon tiroid didalam
kelenjar tiroid. Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa kadar T4 dan T3 didalam serum
penderita dengan krisis tiroid tidak lebih tinggi dibandingkan dengan kadarnya pada penderita
tirotoksikosis tanpa krisis tiroid.
Juga tidak ada bukti yang kuat bahwa krisis tiroid terjadi akibat peningkatan produksi triiodothyronine

yang hebat. Dari beberapa studi terbukti bahwa pada krisis tiroid terjadi peningkatan jumlah reseptor
terhadap katekolamin, sehingga jantung dan jaringan syaraf lebih sensitif terhadap katekolamin yang
ada didalam sirkulasi.
Hipertiroidisme dapat mengakibatkan komplikasi mencapai 0,2% dari seluruh kehamilan dan jika tidak
terkontrol dengan baik dapat memicu terjadinya krisis tirotoksikosis, kelahiran prematur atau kematian
intrauterin. Selain itu hipertiroidisme dapat juga menimbulkan preeklampsi pada kehamilan, gagal
tumbuh janin, kegagalan jantung kongestif, tirotoksikosis pada neonatus dan bayi dengan berat badan
lahir rendah serta peningkatan angka kematian perinatal.

PENGELOLAAN PENYAKIT GRAVES


Walaupun mekanisme otoimun merupakan faktor utama yang berperan dalam patogenesis terjadinya
sindrom penyakit Graves, namun penatalaksanaannya terutama ditujukan untuk mengontrol keadaan
hipertiroidisme.
Sampai saat ini dikenal ada tiga jenis pengobatan terhadap hipertiroidisme akibat penyakit Graves,
yaitu : Obat anti tiroid, Pembedahan dan Terapi Yodium Radioaktif.
Pilihan pengobatan tergantung pada beberapa hal antara lain berat ringannya tirotoksikosis, usia pasien,
besarnya struma, ketersediaan obat antitiroid dan respon atau reaksi terhadapnya serta penyakit lain
yang menyertainya.
1. Obat obatan
a. Obat Antitiroid : Golongan Tionamid
Terdapat 2 kelas obat golongan tionamid, yaitu tiourasil dan imidazol. Tiourasil dipasarkan dengan
nama propiltiourasil (PTU) dan imidazol dipasarkan dengan nama metimazol dan karbimazol. Obat
golongan tionamid lain yang baru beredar ialah tiamazol yang isinya sama dengan metimazol.
Obat golongan tionamid mempunyai efek intra dan ekstratiroid. Mekanisme aksi intratiroid yang utama
ialah mencegah/mengurangi biosintesis hormon tiroid T-3 dan T-4, dengan cara menghambat oksidasi
dan organifikasi iodium, menghambat coupling iodotirosin, mengubah struktur molekul tiroglobulin
dan menghambat sintesis tiroglobulin. Sedangkan mekanisme aksi ekstratiroid yang utama ialah
menghambat konversi T-4 menjadi T-3 di jaringan perifer (hanya PTU, tidak pada metimazol). Atas
dasar kemampuan menghambat konversi T-4 ke T-3 ini, PTU lebih dipilih dalam pengobatan krisis
tiroid yang memerlukan penurunan segera hormon tiroid di perifer. Sedangkan kelebihan metimazol
adalah efek penghambatan biosintesis hormon lebih panjang dibanding PTU, sehingga dapat diberikan
sebagai dosis tunggal.
Belum ada kesesuaian pendapat diantara para ahli mengenai dosis dan jangka waktu pengobatan yang
optimal dengan OAT. Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa obat-obat anti tiroid (PTU dan
methimazole) diberikan sampai terjadi remisi spontan, yang biasanya dapat berlangsung selama 6 bulan
sampai 15 tahun setelah pengobatan.
Untuk mencegah terjadinya kekambuhan maka pemberian obat-obat antitiroid biasanya diawali dengan
dosis tinggi. Bila telah terjadi keadaan eutiroid secara klinis, diberikan dosis pemeliharaan (dosis kecil
diberikan secara tunggal pagi hari).
Regimen umum terdiri dari pemberian PTU dengan dosis awal 100-150 mg setiap 6 jam. Setelah 4-8
minggu, dosis dikurangi menjadi 50-200 mg , 1 atau 2 kali sehari.
Propylthiouracil mempunyai kelebihan dibandingkan methimazole karena dapat menghambat konversi
T4 menjadi T3, sehingga efektif dalam penurunan kadar hormon secara cepat pada fase akut dari
penyakit Graves.
Methimazole mempunyai masa kerja yang lama sehingga dapat diberikan dosis tunggal sekali sehari.
Terapi dimulai dengan dosis methimazole 40 mg setiap pagi selama 1-2 bulan, dilanjutkan dengan
dosis pemeliharaan 5 20 mg perhari.
Ada juga pendapat ahli yang menyebutkan bahwa besarnya dosis tergantung pada beratnya tampilan

klinis, tetapi umumnya dosis PTU dimulai dengan 3x100-200 mg/hari dan metimazol/tiamazol dimulai
dengan 20-40 mg/hari dosis terbagi untuk 3-6 minggu pertama. Setelah periode ini dosis dapat
diturunkan atau dinaikkan sesuai respons klinis dan biokimia. Apabila respons pengobatan baik, dosis
dapat diturunkan sampai dosis terkecil PTU 50mg/hari dan metimazol/ tiamazol 5-10 mg/hari yang
masih dapat mempertahankan keadaan klinis eutiroid dan kadar T-4 bebas dalam batas normal. Bila
dengan dosis awal belum memberikan efek perbaikan klinis dan biokimia, dosis dapat di naikkan
bertahap sampai dosis maksimal, tentu dengan memperhatikan faktor-faktor penyebab lainnya seperti
ketaatan pasien minum obat, aktivitas fisis dan psikis.
Meskipun jarang terjadi, harus diwaspadai kemungkinan timbulnya efek samping, yaitu agranulositosis
(metimazol mempunyai efek samping agranulositosis yang lebih kecil), gangguan fungsi hati, lupus
like syndrome, yang dapat terjadi dalam beberapa bulan pertama pengobatan. Agranulositosis
merupakan efek samping yang berat sehingga perlu penghentian terapi dengan Obat Anti Tiroid dan
dipertimbangkan untuk terapi alternatif yaitu yodium radioaktif.. Agranulositosis biasanya ditandai
dengan demam dan sariawan, dimana untuk mencegah infeksi perlu diberikan antibiotika.
Efek samping lain yang jarang terjadi namun perlu penghentian terapi dengan Obat Anti Tiroid antara
lain Ikterus Kholestatik, Angioneurotic edema, Hepatocellular toxicity dan Arthralgia Akut. Untuk
mengantisipasi timbulnya efek samping tersebut, sebelum memulai terapi perlu pemeriksaan
laboratorium dasar termasuk leukosit darah dan tes fungsi hati, dan diulang kembali pada bulan-bulan
pertama setelah terapi. Bila ditemukan efek samping, penghentian penggunaan obat tersebut akan
memperbaiki kembali fungsi yang terganggu, dan selanjutnya dipilih modalitas pengobatan yang lain
seperti 131I atau operasi.
Bila timbul efek samping yang lebih ringan seperti pruritus, dapat dicoba ganti dengan obat jenis yang
lain, misalnya dari PTU ke metimazol atau sebaliknya.
Evaluasi pengobatan perlu dilakukan secara teratur mengingat penyakit Graves adalah penyakit
autoimun yang tidak bisa dipastikan kapan akan terjadi remisi. Evaluasi pengobatan paling tidak
dilakukan sekali/bulan untuk menilai perkembangan klinis dan biokimia guna menentukan dosis obat
selanjutnya. Dosis dinaikkan dan diturunkan sesuai respons hingga dosis tertentu yang dapat mencapai
keadaan eutiroid. Kemudian dosis diturunkan perlahan hingga dosis terkecil yang masih mampu
mempertahankan keadaan eutiroid, dan kemudian evaluasi dilakukan tiap 3 bulan hingga tercapai
remisi. Remisi yang menetap dapat diprediksi pada hampir 80% penderita yang diobati dengan Obat
Anti Tiroid bila ditemukan keadaan-keadaan sebagai berikut :
1. Terjadi pengecilan kelenjar tiroid seperti keadaan normal.
2. Bila keadaan hipertiroidisme dapat dikontrol dengan pemberian Obat Anti Tiroid dosis rendah.
3. Bila TSH-R Ab tidak lagi ditemukan didalam serum.
Parameter biokimia yang digunakan adalah FT-4 (atau FT-3 bila terdapat T-3 toksikosis), karena
hormon-hormon itulah yang memberikan efek klinis, sementara kadar TSH akan tetap rendah, kadang
tetap tak terdeteksi, sampai beberapa bulan setelah keadaan eutiroid tercapai. Sedangkan parameter
klinis yang dievaluasi ialah berat badan, nadi, tekanan darah, kelenjar tiroid, dan mata.
b. Obat Golongan Penyekat Beta
Obat golongan penyekat beta, seperti propranolol hidroklorida, sangat bermanfaat untuk
mengendalikan manifestasi klinis tirotoksikosis (hyperadrenergic state) seperti palpitasi, tremor, cemas,
dan intoleransi panas melalui blokadenya pada reseptor adrenergik. Di samping efek antiadrenergik,
obat penyekat beta ini juga dapat -meskipun sedikit- menurunkan kadar T-3 melalui penghambatannya
terhadap konversi T-4 ke T-3. Dosis awal propranolol umumnya berkisar 80 mg/hari.3,4
Di samping propranolol, terdapat obat baru golongan penyekat beta dengan durasi kerja lebih panjang,
yaitu atenolol, metoprolol dan nadolol. Dosis awal atenolol dan metoprolol 50 mg/hari dan nadolol 40
mg/hari mempunyai efek serupa dengan propranolol.
Pada umumnya obat penyekat beta ditoleransi dengan baik. Beberapa efek samping yang dapat terjadi

antara lain nausea, sakit kepala, insomnia, fatigue, dan depresi, dan yang lebih jarang terjadi ialah
kemerahan, demam, agranulositosis, dan trombositopenia. Obat golongan penyekat beta ini
dikontraindikasikan pada pasien asma dan gagal jantung, kecuali gagal jantung yang jelas disebabkan
oleh fibrilasi atrium. Obat ini juga dikontraindikasikan pada keadaan bradiaritmia, fenomena Raynaud
dan pada pasien yang sedang dalam terapi penghambat monoamin oksidase.
c. Obat-obatan Lain
Obat-obat seperti iodida inorganik, preparat iodinated radiographic contrast, potassium perklorat dan
litium karbonat, meskipun mempunyai efek menurunkan kadar hormon tiroid, tetapi jarang digunakan
sebagai regimen standar pengelolaan penyakit Graves. Obat-obat tersebut sebagian digunakan pada
keadaan krisis tiroid, untuk persiapan operasi tiroidektomi atau setelah terapi iodium radioaktif.
Umumnya obat anti tiroid lebih bermanfaat pada penderita usia muda dengan ukuran kelenjar yang
kecil dan tirotoksikosis yang ringan. Pengobatan dengan Obat Anti Tiroid (OAT) mudah dilakukan,
aman dan relatif murah, namun jangka waktu pengobatan lama yaitu 6 bulan sampai 2 tahun bahkan
bisa lebih lama lagi. Kelemahan utama pengobatan dengan OAT adalah angka kekambuhan yang tinggi
setelah pengobatan dihentikan, yaitu berkisar antara 25% sampai 90%. Kekambuhan dipengaruhi oleh
berbagai faktor antara lain dosis, lama pengobatan, kepatuhan pasien dan asupan yodium dalam
makanan. Kadar yodium yang tinggi didalam makanan menyebabkan kelenjar tiroid kurang sensitif
terhadap OAT.
Pemeriksaan laboratorium perlu diulang setiap 3 - 6 bulan untuk memantau respons terapi, dimana
yang paling bermakna adalah pemeriksaan kadar FT4 dan TSH.
2. Pengobatan dengan cara kombinasi OAT-tiroksin
Yang banyak diperdebatkan adalah pengobatan penyakit Graves dengan cara kombinasi OAT dan
tiroksin eksogen. Hashizume dkk pada tahun 1991 melaporkan bahwa angka kekambuhan renddah
yaitu hanya 1,7 % pada kelompok penderita yang mendapat terapi kombinasi methimazole dan
tiroksin., dibandingkan dengan 34,7% pada kelompok kontrol yang hanya mendapatkan terapi
methimazole.
Protokol pengobatannya adalah sebagai berikut :
Pertama kali penderita diberi methimazole 3 x 10 mg/hari selama 6 bulan, selanjutnya 10 mg perhari
ditambah tiroksin 100 g perhari selama 1 tahun, dan kemudian hanya diberi tiroksin saja selama 3
tahun. Kelompok kontrol juga diberi methimazole dengan dosis dan cara yang sama namun tanpa
tiroksin. Kadar TSH dan kadar TSH-R Ab ternyata lebih rendah pada kelompok yang mendapat terapi
kombinasi dan sebaliknya pada kelompok kontrol. Hal ini mengisyaratkan bahwa TSH selama
pengobatan dengan OAT akan merangsang pelepasan molekul antigen tiroid yang bersifat antigenic,
yang pada gilirannya akan merangsang pembentukan antibody terhadap reseptor TSH. Dengan kata
lain, dengan mengistirahatkan kelenjar tiroid melalui pemberian tiroksin eksogen eksogen (yang
menekan produksi TSH), maka reaksi imun intratiroidal akan dapat ditekan, yaitu dengan mengurangi
presentasi antigen. Pertimbangan lain untuk memberikan kombinasi OAT dan tiroksin adalah agar
penyesuaian dosis OAT untuk menghindari hipotiroidisme tidak perlu dilakukan terlalu sering,
terutama bila digunakan OAT dosis tinggi.
3. Pembedahan
Tiroidektomi subtotal merupakan terapi pilihan pada penderita dengan struma yang besar. Sebelum
operasi, penderita dipersiapkan dalam keadaan eutiroid dengan pemberian OAT (biasanya selama 6
minggu). Disamping itu , selama 2 minggu pre operatif, diberikan larutan Lugol atau potassium iodida,
5 tetes 2 kali sehari, yang dimaksudkan untuk mengurangi vaskularisasi kelenjar dan mempermudah
operasi. Sampai saat ini masih terdapat silang pendapat mengenai seberapa banyak jaringan tiroid
yangn harus diangkat.

Tiroidektomi total biasanya tidak dianjurkan, kecuali pada pasein dengan oftalmopati Graves yang
progresif dan berat. Namun bila terlalu banyak jaringan tiroid yang ditinggalkan , dikhawatirkan akan
terjadi relaps. Kebanyakan ahli bedah menyisakan 2-3 gram jaringan tiroid. Walaupun demikan
kebanyakan penderita masih memerlukan suplemen tiroid setelah mengalami tiroidektomi pada
penyakit Graves.
Hipoparatiroidisme dan kerusakan nervus laryngeus recurrens merupakan komplikasi pembedahan
yang dapat terjadi pada sekitar 1% kasus.
4. Terapi Yodium Radioaktif
Pengobatan dengan yodium radioaktif (I131) telah dikenal sejak lebih dari 50 tahun yang lalu.
Radionuklida I131 akan mengablasi kelenjar tiroid melalui efek ionisasi partikel beta dengan penetrasi
kurang dari 2 mm, menimbulkan iradiasi local pada sel-sel folikel tiroid tanpa efek yang berarti pada
jaringan lain disekitarnya. Respons inflamasi akan diikuti dengan nekrosis seluler, dan dalam
perjalanan waktu terjadi atrofi dan fibrosis disertai respons inflamasi kronik. Respons yang terjadi
sangat tergantung pada jumlah I131 yang ditangkap dan tingkat radiosensitivitas kelenjar tiroid. Oleh
karena itu mungkin dapat terjadi hipofungsi tiroid dini (dalam waktu 2-6 bulan) atau lebih lama yaitu
setelah 1 tahun. Iodine131 dengan cepat dan sempurna diabsorpsi melalui saluran cerna untuk
kemudian dengan cepat pula terakumulasi didalam kelenjar tiroid. Berdasarkan pengalaman para ahli
ternyata cara pengobatan ini aman , tidak mengganggu fertilitas, serta tidak bersifat karsinogenik
ataupun teratogenik. Tidak ditemukan kelainan pada bayi-bayi yang dilahirkan dari ibu yang pernah
mendapat pengobatan yodium radioaktif.
Yodium radioaktif tidak boleh diberikan pada pasien wanita hamil atau menyusui. Pada pasien wanita
usia produktif, sebelum diberikan yodium radioaktif perlu dipastikan dulu bahwa yang bersangkutan
tidak hamil. Selain kedua keadaan diatas, tidak ada kontraindikasi absolut pengobatan dengan yodium
radioaktif. Pembatasan umur tidak lagi diberlalukan secara ketat, bahkan ada yang berpendapat bahwa
pengobatan yodium radioaktif merupakan cara terpilih untuk pasien hipertiroidisme anak dan dewasa
muda, karena pada kelompok ini seringkali kambuh dengan OAT.
Cara pengobatan ini aman, mudah dan relatif murah serta sangat jarang kambuh. Reaksi alergi terhadap
yodium radioaktif tidak pernah terjadi karena massa yodium dalam dosis I131 yang diberikan sangat
kecil, hanya 1 mikrogram.
Efek pengobatan baru terlihat setelah 8 12 minggu, dan bila perlu terapi dapat diulang. Selama
menunggu efek yodium radioaktif dapat diberikan obat-obat penyekat beta dan / atau OAT.
Respons terhadap pengobatan yodium radioaktif terutama dipengaruhi oleh besarnya dosis I131 dan
beberapa faktor lain seperti faktor imun, jenis kelamin, ras dan asupan yodium dalam makanan seharihari.
Efek samping yang menonjol dari pengobatan yodium radioaktif adalah hipotiroidisme. Kejadian
hipotiroidisme sangat dipengaruhi oleh besarnya dosis; makin besar dosis yang diberikan makin cepat
dan makin tinggi angka kejadian hipotiroidisme.
Dengan dosis I131 yang moderat yaitu sekitar 100 Ci/g berat jaringan tiroid, didapatkan angka
kejadian hipotiroidisme sekitar 10% dalam 2 tahun pertama dan sekitar 3% untuk tiap tahun
berikutnya.
Efek samping lain yang perlu diwaspadai adalah :
- memburuknya oftalmopati yang masih aktif (mungkin karena lepasnya antigen tiroid dan peningkatan
kadar antibody terhadap reseptor TSH), dapat dicegah dengan pemberian kortikosteroid sebelum
pemberian I131
- hipo atau hiperparatiroidisme dan kelumpuhan pita suara (ketiganya sangat jarang terjadi)
- gastritis radiasi (jarang terjadi)
- eksaserbasi tirotoksikosis akibat pelepasan hormon tiroid secara mendadak (leakage) pasca
pengobatan yodium radioaktif; untuk mencegahnya maka sebelum minum yodium radioaktif diberikan

OAT terutama pada pasien tua dengan kemungkinan gangguan fungsi jantung.
Setelah pemberian yodium radioaktif, fungsi tiroid perlu dipantau selama 3 sampai 6 bulan pertama;
setelah keadaan eutiroid tercapai fungsi tiroid cukup dipantau setiap 6 sampai 12 bulan sekali, yaitu
untuk mendeteksi adanya hipotiroidisme.
5. Pengobatan oftalmopati Graves
Diperlukan kerjasama yang erat antara endokrinologis dan oftalmologis dalam menangani oftalmopati
Graves. Keluhan fotofobia, iritasi dan rasa kesat pada mata dapat diatasi dengan larutan tetes mata atau
lubricating ointments, untuk mencegah dan mengobati keratitis. Hal lain yang dapat dilakukan adalah
dengan menghentikan merokok, menghindari cahaya yang sangat terang dan debu, penggunaan
kacamata gelap dan tidur dengan posisi kepala ditinggikan untuk mengurangi edema periorbital.
Hipertiroidisme sendiri harus diobati dengan adekuat. Obat-obat yang mempunyai khasiat
imunosupresi dapat digunakan seperti kortikosteroid dan siklosporin, disamping OAT sendiri dan
hormon tiroid. Tindakan lainnya adalah radioterapi dan pembedahan rehabilitatif seperti dekompresi
orbita, operasi otot ekstraokuler dan operasi kelopak mata.
Yang menjadi masalah di klinik adalah bila oftalmopati ditemukan pada pasien yang eutiroid; pada
keadaan ini pemeriksaan antibody anti-TPO atau antibody antireseptor TSH dalam serum dapat
membantu memastikan diagnosis. Pemeriksaan CT scan atau MRI digunakan untuk menyingkirkan
kemungkinan penyebab kelainan orbita lainnya.
6. Pengobatan krisis tiroid
Pengobatan krisis tiroid meliputi pengobatan terhadap hipertiroidisme (menghambat produksi hormon,
menghambat pelepasan hormon dan menghambat konversi T4 menjadi T3, pemberian kortikosteroid,
penyekat beta dan plasmafaresis), normalisasi dekompensasi homeostatic (koreksi cairan, elektrolit dan
kalori) dan mengatasi faktor pemicu.
7. Penyakit Graves Dengan Kehamilan
Wanita pasien penyakit Graves sebaiknya tidak hamil dahulu sampai keadaan hipertiroidisme-nya
diobati dengan adekuat, karena angka kematian janin pada hipertiroidisme yang tidak diobati tinggi.
Bila ternyata hamil juga dengan status eutiroidisme yang belum tercapai, perlu diberikan obat antitiroid
dengan dosis terendah yang dapat mencapai kadar FT-4 pada kisaran angka normal tinggi atau tepat di
atas normal tinggi. PTU lebih dipilih dibanding metimazol pada wanita hamil dengan hipertiroidisme,
karena alirannya ke janin melalui plasenta lebih sedikit, dan tidak ada efek teratogenik. Kombinasi
terapi dengan tiroksin tidak dianjurkan, karena akan memerlukan dosis obat antitiroid lebih tinggi, di
samping karena sebagian tiroksin akan masuk ke janin, yang dapat menyebabkan hipotiroidisme.
Evaluasi klinis dan biokimia perlu dilakukan lebih ketat, terutama pada trimester ketiga. Pada periode
tersebut, kadang-kadang - dengan mekanisme yang belum diketahui- terdapat penurunan kadar TSHRAb dan peningkatan kadar thyrotropin receptor antibody, sehingga menghasilkan keadaan remisi
spontan, dan dengan demikian obat antirioid dapat dihentikan. Wanita melahirkan yang masih
memerlukan obat antiroid, tetap dapat menyusui bayinya dengan aman.

DAFTAR PUSTAKA
1. Subekti, I, Makalah Simposium Current Diagnostic and Treatment Pengelolaan Praktis Penyakit
Graves, FKUI, Jakarta, 2001 : hal 1-5
2. Shahab A, 2002, Penyakit Graves (Struma Diffusa Toksik) Diagnosis dan Penatalaksanaannya,
Bulletin PIKKI : Seri Endokrinologi-Metabolisme, Edisi Juli 2002, PIKKI, Jakarta, 2002 : hal 9-18
3. Price A.S. & Wilson M.L., Patofisiologi Proses-Proses Penyakit, Alih Bahasa Anugerah P., Edisi 4,
EGC, Jakarta, 1995 : hal 1049 1058, 1070 1080

4. Corwin. E J, Patofisiologi, Edisi 1, EGC, Jakarta, 2001 : hal 263 265


5. Stein JH, Panduan Klinik Ilmu Penyakit Dalam, alih bahasa Nugroho E, Edisi 3, EGC, Jakarta,
2000 : hal 606 630
6. Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, alih bahasa Prof.Dr.Ahmad H. Asdie, Sp.PD-KE,
Edisi 13, Vol.5, EGC, Jakarta, 2000 : hal 2144-2151
7. Lembar S, Hipertiroidisme Pada Neonatus Dengan Ibu Penderita Graves Disease, Majalah
Kedokteran Atma Jaya Jakarta, Vol 3, No.1, Jakarta, 2004 : hal 57 64
8. Mansjoer A, et all, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1, Edisi 3, Media Aesculapius, Fakultas
Kedokteran UI, Jakarta, 1999 : hal 594-598
9. Noer HMS, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 1, Edisi 3, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran UI,
Jakarta, 1996 : hal 725 778

Tiroiditis Hashimoto
DEFINISI
Tiroiditis Hashimoto (Tiroiditis autoimun) adalah peradangan kelenjar tiroid yang sering menyebabkan
hipotiroidisme.
Tiroiditis Hashimoto merupakan jenis tiroiditis yang paling sering ditemukan.
Paling sering terjadi pada wanita usia lanjut dan cenderung diturunkan.

PENYEBAB
Untuk alasan yang tidak diketahui, tubuh melawan dirinya sendiri dalam suatu reaksi autoimun,
membentuk antibodi yang menyerang kelenjar tiroid.
Penyakit ini 8 kali lebih sering terjadi pada wanita dan bisa terjadi pada orang-orang yang memiliki
kelainan kromosom tertentu, seperti sindroma Turner, sindroma Down dan sindroma Kleinefelter.

GEJALA
Tiroiditis Hashimoto sering dimulai dengan pembesaran kelenjar tiroid yang tidak menimbulkan nyeri
atau rasa penuh di leher.
Jika diraba, kelenjar terasa membesar, teksturnya seperti karet tetapi tidak lembut; kadang terasa
berbenjol-benjol.
20% penderita memililki kelenjar tiroid yang kurang aktif, sisanya memiliki kelenjar yang berfungsi
normal.
Banyak penderita yang juga memiliki kelainan endokrin lainnya (seperti diabetes (kencing manis),
kelenjar adrenal yang kurang aktif atau kelenjar paratiroid yang kurang aktif) dan penyakit autoimun
lainnya (misalnya anemia pernisiosa, artritis rematoid, lupus eritematosus sistemik).

DIAGNOSA
Dilakukan pemeriksaan fungsi tiroid pada contoh darah untuk menentukan apakah fungsi kelenjar

masih normal.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala, hasil pemeriksaan fisik dan adanya antibodi yang menyerang
kelenjar (antibodi antitiroid) di dalam darah.

PENGOBATAN
Tidak ada pengobatan khusus untuk tiroiditis Hashimoto.
Sebagian besar penderita pada akhirnya akan mengalami hipotiroidisme dan harus menjalani terapi
sulih hormon sepanjang hidupnya.
Hormon tiroid juga bisa digunakan untuk mengurangi pembesaran kelenjar tiroid.
sumber : http://medicastore.com

Tiroiditis Granulomatosa Subakut


DEFINISI
Tiroiditis Granulomatosa Subakut (Tiroiditis sel raksasa granulomatosa) adalah peradangan kelenjar
tiroid yang biasanya terjadi setelah infeksi saluran pernafasan bagian atas.

PENYEBAB
Tiroiditis granulomatosa subakut mungkin disebabkan oleh virus dan timbul lebih mendadak
dibandingkan tiroiditis Hashimoto.

GEJALA
Penyakit ini seringkali terjadi setelah suatu penyakit virus dan bermula sebagai apa yang disebut
dengan nyeri tenggorokan, meskipun sebenarnya merupakan nyeri leher yang terlokalisir pada tiroid.
Kelenjar tiroid menjadi lunak dan biasanya timbul demam yang tidak terlalu tinggi (37,2-38,3?Celsius).
Nyeri bisa berpindah dari satu sisi ke sisi lainnya, menyebar ke rahang dan telinga dan terasa lebih
nyeri jika penderita menggerakkan kepalanya atau jika penderita menelan. Penyakit ini seringkali
terjadi setelah suatu penyakit virus dan bermula sebagai apa yang disebut nyeri tenggorokan, meskipun
sebenarnya merupakan nyeri leher yang terlokalisir pada tiroid.
Penyakit ini seringkali terjadi setelah suatu penyakit virus dan bermula sebagai apa yang disebut nyeri
tenggorokan, meskipun sebenarnya merupakan nyeri leher yang terlokalisir pada tiroid.
Peradangan biasanya menyebabkan kelenjar tiroid menghasilkan terlalu banyak hormon tiroid,
sehingga terjadi hipertiroidisme, yang hampir selalu diikuti oleh hipotiroidisme sementara.
Banyak penderita yang merasakan kelelahan yang luar biasa.

DIAGNOSA
Pada stadium awal, hasil pemeriksaan laboratorium biasanya menunjukkan kadar TSH yang rendah dan
kadar T4 yang tinggi.
Pada stadium akhir, kadar TSH biasanya tinggi dan kadar T4 rendah.
Biopsi kelenjar tiroid menunjukkan peradangan sel raksasa.

PENGOBATAN
Aspirin atau obat anti peradangan non-steroid lainnya (misalnya ibuprofen) bisa mengurangi nyeri dan
peradangan.
Pada kasus yang sangat berat, bisa diberikan kortikosteroid (misalnya prednison) selama 6-8 minggu.
Jika pemberian kortikosteroid dihentikan, gejalanya sering kembali muncul.

Você também pode gostar