Você está na página 1de 16

ANALISIS KONFLIK TAMBANG EMAS ANTARA PT.

BSI DAN WARGA


(Studi Kasus di Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran
Kabupaten Banyuwangi Tahun 2015)
Vivi Vinika Elita Putri, 2015
Jurusan Sosiologi 2014
Universitas Negeri Malang
Jl. Semarang 5, Malang
e-mail: vivivinika@yahoo.co.id

ABSTRAK
Masyarakat pedesaan adalah masyarakat gemeinschaft (paguyuban), masyarakat yang
tenang harmonis, rukun dan damai dengan julukan masyarakat yang adem ayem, tetapi
sebenarnya di dalam masyarakat pedesaan mengenal bermacam- macam gejala,
diantaranya adalah konflik. Hal itulah yang terjadi di Desa Sumberagung,Kecamatan
Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi yang terdapat konflik, karena terdapat kegiatan
penambangan emas oleh PT.Bumi Sukses Indo (BSI) yang kegiatan penampangannya
dilakukan di kawasan hutan lindung.Lokasi penambangan emas yang berdekatan dengan
lingkungan warga desa tersebut menyebabkan kerusakan lingkungan dan juga ekosistem
sekitar.Hasil dari analisis menunjukkan bahwa ada konflik antara masyarakat sekitar daerah
tambang dengan PT Bumi Suksesindo,perusahaan pemegang izin eksplorasi pertambangan
emas di Banyuwangi, Jawa Timur. Saat ini, hampir 2.000 hektare, atau tepatnya 1.994
hektare areal di wilayah Gunung Tumpang Pitu akan digunakan sebagai kawasan
pertambangan emas pada 2016.Masyarakat menuntut untuk menutup tambang yang sedang
dalam tahap persiapan pengelolaan.Masyarakat menganggap bahwa kegiatan tambang
tersebut merusak ekosistem dan juga hutan lindung di kawasan tersebut,alih fungsi kawasan
hutan lindung menjadi tambang akan berakibat pada robeknya kohesi sosial di
masyarakat..Konflik warga sudah lama terjadi puncaknya pada 25 November 2015,bentrok
yang terjadi antara warga dan petugas mengakibatkan 3 orang terkena tembakan peluru
karet yang ditembakkan oleh petugas saat terjadinya bentrokan dan juga fasilitas
perusahaan yang dibakar warga yang emosi.

KataKunci
:TambangEmas,Konflik,KohesiMasyarakat,MasyarakatDemo,Banyuwangi,Bentrokan,Jawa Timur.

PENDAHULUAN
Di kabupaten yang terletak di ujung timur Pulau Jawa tersebut, menyimpan potensi tambang
emas yang besar, yakni di Gunung Tumpang Pitu, dekat Pantai Selatan Banyuwangi.
Kekuatan besar hutan lindung yang konon memiliki kandungan bijih emas jauh lebih besar
dibanding tambang emas di Sumbawa, NTT itu. Berdasarkan paparan PT IMN yang juga
berencana untuk melakukan penambangan emas, jumlah cadangan bijih emas Tumpang Pitu
mencapai sekitar 9.600 ribu ton dengan kadar emas rata-rata mencapai 2,39 ton. Sedangkan
jumlah logam emas sekitar 700 ribu ton. Penambangan dengan metode tambang dalam
(underground mining) itu akan memproduksi emas mencapai 1,577 ton pertahun. Total
investasi awal yang disiapkan PT IMN mencapai US$ 4,3 juta. Dikhawatirkan, hutan lindung
yang dari kejauhan tampak seperti jejeran gunung dengan tujuh puncak itu akan dijadikan
lahan baru untuk mendulang rupiah, dengan mengesampingkan banyak aspek utamanya
sosial dan lingkungan. Tak hanya itu, hutan lindung Gunung Tumpang Pitu yang merupakan
kawasan potensi air bawah tanah mencapai 30 liter per detik, akan segera beralih fungsi.
Proyek itu juga akan mengancam keberadaan Taman Nasional Meru Betiri (TNBM) yang
hanya berjarak 27 kilometer dari Tumpang Pitu.Gunung Tumpang Pitu merupakan kawasan
lindung mutlak dengan kategori hutan lindung.
Salah satu badan usaha yang bergerak di pertambangan emas di wilayah Kabupaten
Banyuwangi adalah PT. Bumi Suksesindo (BSI). PT. Bumi Suksesindo (BSI) merupakan
pemegang Kontrak Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan. Kegiatan penambangan
yang dilakukan oleh PT. Bumi Suksesindo (BSI) yang dilakukan di wilayah Kabupaten
Banyuwangi, khususnya di wilayah Kecamatan Marangkayu Pesanggaran tidak sepenuhnya
berjalan mulus tanpa adanya konflik. Mayoritas konflik yang terjadi pada wilayah tersebut
bersifat horizontal yaitu konflik antara masyarakat sekitar lokasi tambang menuntut untuk
menutup kegiatan tambang emas yang dilakukan PT. Bumi Suksesindo (BSI). Status lahan
yang menjadi wilayah kerja PT. Bumi Suksesindo (BSI) sesuai kontrak karyanya merupakan
Kawasan Hutan, yang mana untuk dapat beroperasi di wilayah tersebut PT. Bumi Suksesindo

(BSI) telah mendapatkan Ijin. Hingga saat ini masyarakat sekitar tambang PT. Bumi
Suksesindo (BSI) yang berlokasi di Kecamatan Marangkayu masih menuntut untuk
penutupan lahan pertambangan tersebut dengan alasan merusak ekosistem disekitar hutan
lindung dikawasan tumpang pitu.

Kerangka Dasar Teori

Soerjono Soekanto mengatakan bahwa konflik merupakan suatu proses sosial di mana
individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menantang pihak
lawan yang disertai dengan ancaman dan atau kekerasan.
Teori Konflik Teori konflik digunakan untuk dasar dalam menganalisa faktor penyebab
timbulnya, mekanisme dan pola penyelesaian konflik lahan antara masyarakat sekitar
tambang dengan PT. BSI di wilayah Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi adalah
teori konflik dari Karl Marx.
Karl Marx dipandang sebagai tokoh utamadan yang paling kontroversialyang
menjelaskan sumber-sumber konflik serta pengaruhnya terhadap peningkatan perubahan
sosial secara revolusioner. Marx mengatakan bahwa potensi-potensi konflik terutama terjadi
dalam bidang pekonomian, dan ia pun memperlihatkan bahwa perjuangan atau konflik juga
terjadi

dalam

bidang

distribusi

prestise/status

dan

kekuasaan

politik.

Segi-segi pemikiran filosofis Marx berpusat pada usaha untuk membuka kedok sistem nilai
masyarakat, pola kepercayaan dan bentuk kesadaran sebagai ideologi yang mencerminkan
dan memperkuat kepentingan kelas yang berkuasa. Meskipun dalam pandangannya, orientasi
budaya tidak seluruhnya ditentukan oleh struktur kelas ekonomi, orientasi tersebut sangat
dipengaruhi dan dipaksa oleh struktur tersebut. Tekanan Marx pada pentingnya kondisi
materiil seperti terlihat dalam struktur masyarakat, membatasi pengaruh budaya terhadap
kesadaran individu para pelakunya. Terdapat beberapa segi kenyataan sosial yang Marx
tekankan, yang tidak dapat diabaikan oleh teori apa pun yaitu antara lain adalah, pengakuan
terhadap adanya struktur kelas dalam masyarakat, kepentingan ekonomi yang saling
bertentangan diantara orang-orang dalam kelas berbeda, pengaruh yang besar dari posisi
kelas ekonomi terhadap gaya hidup seseorang serta bentuk kesadaran dan berbagai pengaruh
dari konflik kelas dalam menimbulkan perubahan struktur sosial, merupakan sesuatu hal yang
sangat penting. Marx lebih cenderung melihat nilai dan norma budaya sebagai ideologi yang
mencerminkan usaha kelompok-kelompok dominan untuk membenarkan berlangsungnya
dominasi mereka. Selanjutnya, mereka pun berusaha mengungkapkan berbagai kepentingan

yang berbeda dan bertentangan yang mungkin dikelabui oleh munculnya konsensus nilai dan
norma. Apabila konsensus terhadap nilai dan norma ada, para ahli teori konflik menduga
bahwa konsensus itu mencerminkan kontrol dari kelompok dominan dalam masyarakat
terhadap berbagai media komunikasi (seperti lembaga pendidikan dan lembaga media
massa), dimana kesadaran individu dan komitmen ideologi bagi kepentingan kelompok
dominan dibentuk.
Menurut Karl Marx, kehadiran konflik didasarkan pada pemilikan sarana- sarana produksi.
Dimana pemilikan sarana-sarana produksi tersebut menyebabkan adanya perbedaan hak
kepemilikan atas sarana-sarana produksi yang dimiliki oleh setiap individu atau kelompok.
Dan perbedaan kepemilikan itulah yang kemudian akan menjadi unsur pokok adanya
pemisahan kelas di dalam masyarakat.
Barang siapa memiliki sarana produksi lebih besar, maka dialah yang akan menduduki
kelas atas. Sedangkan barang siapa yang memiliki sarana produksi lebih sedikit atau bahkan
tidak memiliki sarana produksi, maka dialah yang akan menduduki kelas bawah.
Oleh karenanya, Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan
perjuangannya. Dalam hal ini, Marx tidak mendefinisikan kelas secara panjang lebar tetapi ia
menunjukkan bahwa dalam masyarakat, terdiri dari kelas pemilik modal (kelas borjuis) dan
kelas pekerja miskin (kelas proletar). Kedua kelas ini berada dalam suatu struktur sosial
hirarkis, dimana kaum borjuis melakukan eksploitasi terhadap kaum proletar dalam proses
produksi. Eksploitasi ini akan terus berjalan selama kesadaran semu eksis (false
consiousness) dalam diri proletar, yaitu berupa rasa menyerah diri, menerima keadaan apa
adanya tetap terjaga.
Ketegangan hubungan antara kaum proletar dan kaum borjuis mendorong terbentuknya
gerakan sosial besar, yaitu revolusi, yang pada akhirnya akan mengarah pada perubahan
sosial di masyarakat. Ketegangan tersebut terjadi jika kaum proletar telah sadar akan
eksploitasi kaum borjuis terhadap mereka. Sehingga memutuskan untuk mengorganisasi
massa menjadi gerakan sosial yang besar untuk diarahkan pada perjuangan menuju prubahan
sosial yang lebih baik, seperti yang mereka inginkan.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan kajian deskriptif yang mendalam
atas penyebab konflik. Data yang diperoleh dengan teknik wawancara, observasi, studi
pustaka dan dokumentasi yang mana keseluruhan data dan informasi dikumpulkan dan
dianalisis pohon konflik. Dari hasil analisis kemudian dilakukan identifikasi konflik sehingga
akhirnya dapat dilakukan pemetaan konflik.

Fokus Penelitian
Adapun fokus penelitian ini yaitu : (1) Lokasi terjadinya konflik lahan antara masyarakat
dengan PT.BSI, (2) Faktor penyebab konflik.

Hasil Penelitian
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Penelitian konflik ini dilakukan melalui media cetak,dan konflik terjadi di Desa
Sumberagung,

Kecamatan

Pesanggaran,

Kabupaten

Banyuwangi,

Provinsi

Jawa

Timur.Dengan luas wilayah 430.68 km dengan Jumlah penduduk sebanyak 48.050 dengan
kepadatan penduduk 112 jiwa/km.
Kecamatan Pesanggaran adalah salah satu kecamatan di Banyuwangi yang memiliki luas
paling luas (selain Kecamatan Tegaldlimo). Wilayahnya terdiri dari hutan tropis di utara dan
pesisir pantai di selatan. Di Kecamatan Pesanggaran banyak terdapat gunung-gunung dengan
dengan ketinggian yang tidak terlalu tinggi seperti Gunung Tumpangpitu (489 meter),
Gunung Lampon (180 meter), Gunung Tembakur (458 meter), Gunung Gendong (893 meter),
Gunung Sumbadadung (520 meter) dan Gunung Permisan (587 meter). [2] Selain itu di
Kecamatan Pesanggaran juga banyak terdapat pantai, sebagian diantaranya adalah objek
wisata yang dikunjungi oleh wisatawan lokal dan mancanegara seperti Teluk Hijau, Pantai
Sukamade, Pantai Rajegwesi, Pulau Merah, Pantai Pancer dan Pantai Lampon. Kecamatan
Pesanggaran juga menjadi tempat wilayah konservasi Taman Nasional Meru Betiri yang
melindungi spesies penyu hijau dan banteng jawa.
Pada periode 2006-2011, saat berita mengenai kandungan emas di Gunung Tumpangpitu
mulai menyeruak, banyak warga desa yang ikut-ikutan menambang emas di area ini dengan

peralatan seadanya. Kegiatan penambangan ilegal ini sempat menimbulkan korban karena
tertimbun galian. Beberapa usaha pernah dilakukan pihak berwenang untuk menutup dan
menertibkan kegiatan penambangan liar ini. Hingga akhirnya kini area tambang tersebut
dikelola oleh PT. Bumi Suksesindo. Dampak dari penambangan liar itu adalah, dimana
banyak warga desa yang menemukan emas dari kegiatan itu dan menjadi kaya mendadak,
pada masa itu warga beramai-ramai merenovasi rumah dari uang hasil penjualan emas.

Kronologis Konflik Tambang Emas Tumpang Pitu


Berikut riwayat kehadiran pertambangan emas di Gunung Tumpang Pitu itu:
Mei 2006, Bupati Banyuwangi (2005-2010) Ratna Ani Lestari mengeluarkan izin kuasa
eksplorasi kawasan hutan lindung dan produksi seluas 11.621,45 hektare kepada PT Indo
Multi Niaga.
Tahun 2007, PT Indo Multi Niaga melakukan kerja sama pembiayaan dengan Intrepid Mines
Ltd yang berpusat di Australia. Intrepid mengeluarkan dana Rp 1 triliun untuk eksplorasi
Tumpang Pitu.
25 Januari 2010, Bupati Ratna Ani Lestari menerbitkan izin usaha produksi (IUP) di kawasan
hutan lindung dan produksi seluas 4.998 hektare kepada PT Indo Multi Niaga selama 20
tahun. Namun untuk berproduksi, perusahaan membutuhkan izin dari Menteri Kehutanan.
Tahun 2007-2011, masyarakat sekitar tambang dan daerah yang berpotensi dampak lainnya
berulang kali melakukan unjuk rasa.
Agustus 2011, ribuan warga yang menjadi penambang rakyat membakar aset PT IMN.
Mereka meminta agar pemerintah kabupaten mengizinkan warga ikut menambang.
Juli 2012, Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas menyetujui pengalihan IUP dari PT
Indo Multi Niaga ke PT Bumi Suksesindo.
Maret 2013, Intrepid Mines Ltd menggugat Bupati Banyuwangi Azwar Anas ke PTUN

Surabaya.
September 2013, Intrepid kalah, ajukan banding ke PT TUN. Intrepid juga menggugat PT
IMN ke Arbitrase Singapura. Namun akhirnya Intrepid bersedia mencabut gugatan setelah
diberi ganti rugi.
September 2013, PT Merdeka Serasi Jaya (induk perusahaan PT BSI) memberikan saham 10
persen kepada pemerintah Kabupaten Banyuwangi.
November 2013, Menteri Kehutanan melalui Surat Keputusan Nomor 826/2013 tertanggal 19
November 2013 menyetujui alih fungsi hutan lindung Tumpang di gunung tersebut menjadi
hutan produksi. Dengan turunnya status ini, pertambangan emas PT Bumi Suksesindo bisa
dilakukan secara terbuka.
2014, PT Bumi Suksesindo melakukan pembangunan infrastruktur menjelang eksploitasi
pada 2016.
Sejumlah warga Dusun Pancer, Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten
Banyuwangi, Jawa Timur mengalami luka tembak, setelah terlibat bentrok dengan anggota
polisi. Bentrok dipicu aksi unjuk rasa dan penolakan warga terkait aktivitas tambang emas
PT. Bumi Suksesindo (BSI) di kawasan Gunung Tumpang Pitu.
Warga yang berjumlah sekitar 300-an menyerbu gudang PT. BSI, melakukan aksi
pembakaran serta perusakan sejumlah fasilitas dan kendaraan. Aksi ini dipicu ketidakpuasan
warga terhadap hasil pertemuan dengan Manajemen PT. BSI yang difasilitasi Polres
Banyuwangi. Intinya, warga menolak dan tidak setuju terhadap aktivitas penambangan emas
di kawasan Gunung Tumpang Pitu.
Warga menolak penambangan itu dengan melakukan aksi, karena mediasi gagal dilakukan.
Warga juga tersinggung dengan perkataan Kapolres Banyuwangi yang mengatakan Saya
baru tahu kalau masyarakat Banyuwangi tidak memiliki etika.Hal tersebutlah yang membuat
masyarakat akhirnya marah dan membuat mereka mengamuk sehingga hal tersebut memjadi
salah satu pemicu pecahnya konflik pada tanggal 25 November 2015.
Kemarahan masyarakat kemudian dilampiaskan dalam bentuk aksi anarkis warga di sekitar

area pertambangan masyarakat yang mengamuk membakar fasilitas kantor yang ada dan turut
membakar 2 kendaraan motor milik kantor.Keadaan yang begitu tegang membuat pihak
kepolisian kemudian melepaskan tembakan peluru karet yang ditujukan pada masyarakat
yang tengah mengamuk setidak nya 3 warga terkena tembakan peluru karet 2 orang terkena
di telinga dan satu warga tekena tembakan di paha yang kemudian dibawa ke rumah sakit.
Hal ini justru membuat warga marah dan geram sehingga balik melempari aparat dengan
batu.Respon warga terhadap polisi membuat polisi akhirnya memburu pelaku pelemparan
batu dirumah warga.Dari pencarian ini rumah warga menjadi sasaran aparat 1 televisi warga
dirumah dan sebuah sepeda motor rusak.
Penolakkan warga terhadap aktivitas tambang emas di Tumpang Pitu sudah berlangsung
sejak 1997. Namun, kembali marak pada 19 Oktober, 22 November dan yang terakhir 25
November 2015. Warga menolak karena takut dampak yang terjadi bila Tumpang Pitu
dijadikan tambang emas.
Gunung Tumpang Pitu diyakini warga sebagai pelindung dari tiupan angin barat daya serta
bencana tsunami. Rere Christanto, Divisi Advokasi dan Kampanye Wahana Lingkungan
Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur menyebut, pelepasan kawasan pesisir selatan Jawa
untuk wilayah pertambangan dipastikan akan memicu konflik sosial yang melibatkan warga
karena bersentuhan langsung dengan lahan. Selain itu, pemanfaatan kawasan pesisir untuk
pertambangan tidak sesuai dengan rencana tata ruang nasional maupun provinsi. Kawasan
itu sudah dinyatakan rawan bencana tsunami juga merupakan area produktif untuk budidaya
pertanian maupun perikanan nelayan tradisional.
Walhi Jawa Timur mempertanyakan turunnya izin penambangan oleh PT. BSI yang dinilai
sarat kepentingan. Perijinan yang diberikan pemerintah terkesan cepat dikeluarkan, yang
diawali perubahan status Gunung Tumpang Pitu dari hutan lindung menjadi hutan produksi.
Ini menyalahi aturan, sebelumnya Tumpang Pitu ditetapkan sebagai kawasan lindung, ujar
Rere.
Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan saat itu, pada 19 November 2013, telah tega mengubah
status Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu dari hutan lindung menjadi hutan produksi
melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK 826/Menhut-II/2013.
Hutan seluas 1.942 hektar didorong oleh usulan Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas

melalui surat Nomor 522/635/429/108/2012 tanggal 10 Oktober 2012 dengan luasan 9.743,28
hektar atau 5 kali dari yang disetujui Menteri Kehutanan.
Di kawasan hutan lindung tidak diperbolehkan melakukan aktivitas pertambangan terbuka,
ini sesuai Undang-Undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Dengan diturunkan menjadi
hutan produksi, tambang emas bisa berjalan, lanjut Rere.
Penurunan status hutan lindung menjadi hutan produksi demi penambangan emas merupakan
tindakan berisiko tinggi. Pemerintah Pusat dan Provinsi harus evaluasi seluruh izin
pertambangan di pesisir selatan Jawa.
Merugikan
Sebagai Kawasan Rawan Bencana, Gunung Tumpang Pitu pernah dihantam Tsunami pada 3
Juni 1994. Memberi kemudahan izin penambangan sangat membahayakan keselamatan
masyarakat yang ada di sekitar Tumpang Pitu. Eksploitasi emas di Tumpang pitu juga akan
mengancam kehidupan masyarakat yang menggantungkan hidup sebagai petani dan nelayan.
Aktivitas ribuan truk yang mengeruk Tumpang Pitu dipastikan akan berpengaruh terhadap
hasil pertanian masyarakat, karena fungsi hutan sebagai kawasan resapan atau penyimpan
sumber air akan hilang. Pencemaran limbah yang dibuang langsung ke laut akan merugikan
kehidupan nelayan yang sangat bergantung dari tangkapan ikan.
Air merupakan elemen penting dan utama dari sebuah proses pemurnian emas yang
dilakukan perusahaan tambang, termasuk di Tumpang Pitu. Kajian kebutuhan air yang pernah
dilakukan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) pada 2008 menyebutkan, pemurnian emas
membutuhkan air dalam jumlah sangat besar. Diperkirakan, aktivitas tambang emas di
Tumpang Pitu menghisap air sebanyak 2,038 juta liter setiap hari.Rere mengatakan bahwa
Jumlah kerukan tanah sebanyak 8.219 truk per hari merupakan ancaman kematian bagi dunia
pertanian khususnya di Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi

Berdasarkan konflik yang terjadi antara PT.BSI selaku pemegang izin penambangan
dan masyarakat disekitarnya,penulis menggunakan model analisis Conflict Tree.

THE
LEAVES

THE THRUNK

THE ROOTS

Keterangan analisis :
a. The roots (struktural faktor/masalah struktural)
Massa menolak lantaran pertambangan sudah pasti akan merugikan lingkungan warga sekitar.
Petani yang membutuhkan air akan kesulitan karena air di kawasan tersebut akan habis untuk
proses penambangan. Sedangkan nelayan khawatir limbah tambang akan mencemari
lingkungan.
Belum lagi bencana yang akan terjadi jika gunung Tumpang Pitu habis ditambang. Hal itu
karena gunung yang berdekatan denga laut itu sebagai penahan tsunami dan angin puting
beliung.
Warga menolak karena pertambangan merambah ke hutan lindung,padahal penolakan telah
dilakukan sejak tahun 1997.Selain itu gunung Tumpang pitu merupakan salah satu pelindung
warga dari tiupan angi barat daya.Angin tersebut sangat kencang sehingga warga khawatir
akan memporak porandakan rumah mereka.Dengan adanya gunung tersebut ketika angin baat
daya tengan berhembus genteng warga bisa terangkat.
b. The trunk (isu yang nampak dipermukaan berhubungan dengan faktor struktural)
Penolakan tambang yang dilakukan warga bertahun-tahun tidak ada perubahan justru
kegiatan pertambangan tetap dilakukan bahkan hanya pindah tangan antar PT. Warga
menolak namun kegiatan penambangan masih dilakukan yang terbaru di lakukan oleh PT BSI
dan PT BSI sudah mengantongi ijin dari pemerintahan setempat.Warga kecewa dan salah satu
faktor juga ketika warga menginginkan mediasi antara PT dan warga namun PT tidak
menemui warga dan tidak ada yang mewakili.Hingga akhirnya warga berduyun-duyun datang
ke perusahaan namun dihalangi oleh anggota kepolisian sehingga terjadi dorong-dorongan
antara warga dan pihak aparat.Akhirnya warga berorasi dan menyampaikan aspirasi di depan
perusahaan dan dijaga aparat kepolisian seperti yang ada dalam rekaman ketika warga
berdemo.Bahkan statment yang dikeluarkan kapolres Banyuwangi menyulut amarah warga

yang mengatakan bahwa Saya baru tahu bahwa masyarakat Banyuwangi tidak punya Etika
maka warga marah.

c. The leaves (efek atau dampak yang ditimbulkan)


Dari perkataan kapolres Banyuwangi yang mengatakan masyarakat Banyuwangi tidak
memiliki etika menimbulkan tersulutnya kemarahan warga dan berbondong-bondong datang
dan mengamuk,konflik ini tergolong destruktif karena terjadinya perusakan fasilitas kantor
dan pembakaran beberapa infrastruktur milik perusahaan yang telah dibangun.Setidaknya 2
motor perusahan dibakar warga ketika warga mengamuk.Tindakan anarkis ini pun membuat
aparat kepolisian menembakan peluru karet kearah warga dan 3 orang terkena luka tembak 2
ditelinga dan 1 di kaki.Hal ini justru membuat warga marah dan geram sehingga balik
melempari aparat dengan batu.Respon warga terhadap polisi membuat polisi akhirnya
memburu pelaku pelemparan batu dirumah warga.Dari pencarian ini rumah warga menjadi
sasaran aparat 1 televisi warga dirumah dan sebuah sepeda motor rusak.
Solusi Yang Ditawarkan
PT terbuka yang mengelola tambag dirubah kepada perusahaan publik dan negara. Maka
pemilik sebnarnya adalah publik dan negara, bukan private.
Normalisasi perusahaan publik dan negara sesuai hukum Islam. negaralah yang akan
menjadi satu-satunya hak pengelolanya.
Menghapus secara total UU dan aturan yang meliberalisasi aset negara. Kemudian aturan
disesuaikan dengan sistem ekonomi Islam dalam pengelolaan SDA. Serta memilih pejabat
yang amanah untuk mengemban tugas mengelolanya.
Meminta bantuan teknisi, tenaga ahli, dan memanfaatkan potensi sumber daya manusia
untuk mengelola dan mengeksplorasi tambang. Tujuannya untuk mengkaji segala bentuk
dampak, recovery alam, dan pengaturan produksi. Mereka digaji karena aqad bekerja.
Memberikan edukasi kepada rakyat baik secara politik, ekonomi, dan sosial untuk
memunculkan kewaspadaan pada ide yang rusak. Ide itulah yang disebut neo-liberalisme
yaitu menyerahkan pengelolaan SDA pada swasta lokal dan internasional. Selain itu, ada neoimprealisme yakni penjajahan gaya baru dengan cara menguasai sumber kekayaan rakyat dan
menyuap pejabat yang korup, komprador, dan nakal.

Memberikan kesadaran untuk menjaga alam dan lingkungan sekitar dari kerusakan akibat
ulah tangan manusia. Jangan sampai atas nama kerakusan segelintir orang, mengorbankan
banyak orang

Kesimpulan
Di kabupaten yang terletak di ujung timur Pulau Jawa tersebut, menyimpan potensi tambang
emas yang besar, yakni di Gunung Tumpang Pitu, dekat Pantai Selatan Banyuwangi.
Kekuatan besar hutan lindung yang konon memiliki kandungan bijih emas jauh lebih besar
dibanding tambang emas di Sumbawa, NTT itu. Berdasarkan paparan PT IMN yang juga
berencana untuk melakukan penambangan emas, jumlah cadangan bijih emas Tumpang Pitu
mencapai sekitar 9.600 ribu ton dengan kadar emas rata-rata mencapai 2,39 ton. Sedangkan
jumlah logam emas sekitar 700 ribu ton. Penambangan dengan metode tambang dalam
(underground mining) itu akan memproduksi emas mencapai 1,577 ton pertahun. Total
investasi awal yang disiapkan PT IMN mencapai US$ 4,3 juta.
Pada periode 2006-2011, saat berita mengenai kandungan emas di Gunung Tumpangpitu
mulai menyeruak, banyak warga desa yang ikut-ikutan menambang emas di area ini dengan
peralatan seadanya. Kegiatan penambangan ilegal ini sempat menimbulkan korban karena
tertimbun galian. Beberapa usaha pernah dilakukan pihak berwenang untuk menutup dan
menertibkan kegiatan penambangan liar ini. Hingga akhirnya kini area tambang tersebut
dikelola oleh PT. Bumi Suksesindo. Dampak dari penambangan liar itu adalah, dimana
banyak warga desa yang menemukan emas dari kegiatan itu dan menjadi kaya mendadak,
pada masa itu warga beramai-ramai merenovasi rumah dari uang hasil penjualan emas.
Penurunan status hutan lindung menjadi hutan produksi demi penambangan emas merupakan
tindakan berisiko tinggi. Pemerintah Pusat dan Provinsi harus evaluasi seluruh izin
pertambangan di pesisir selatan Jawa. Sebagai Kawasan Rawan Bencana, Gunung Tumpang
Pitu pernah dihantam Tsunami pada 3 Juni 1994. Memberi kemudahan izin penambangan
sangat membahayakan keselamatan masyarakat yang ada di sekitar Tumpang Pitu.
Eksploitasi emas di Tumpang pitu juga akan mengancam kehidupan masyarakat yang
menggantungkan hidup sebagai petani dan nelayan.
Aktivitas ribuan truk yang mengeruk Tumpang Pitu dipastikan akan berpengaruh terhadap
hasil pertanian masyarakat, karena fungsi hutan sebagai kawasan resapan atau penyimpan

sumber air akan hilang. Pencemaran limbah yang dibuang langsung ke laut akan merugikan
kehidupan nelayan yang sangat bergantung dari tangkapan ikan.
Sejumlah warga Dusun Pancer, Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten
Banyuwangi, Jawa Timur mengalami luka tembak, setelah terlibat bentrok dengan anggota
polisi. Bentrok dipicu aksi unjuk rasa dan penolakan warga terkait aktivitas tambang emas
PT. Bumi Suksesindo (BSI) di kawasan Gunung Tumpang Pitu.
Warga yang berjumlah sekitar 300-an menyerbu gudang PT. BSI, melakukan aksi
pembakaran serta perusakan sejumlah fasilitas dan kendaraan. Aksi ini dipicu ketidakpuasan
warga terhadap hasil pertemuan dengan Manajemen PT. BSI yang difasilitasi Polres
Banyuwangi. Intinya, warga menolak dan tidak setuju terhadap aktivitas penambangan emas
di kawasan Gunung Tumpang Pitu.
Warga menolak penambangan itu dengan melakukan aksi, karena mediasi gagal dilakukan.
Warga juga tersinggung dengan perkataan Kapolres Banyuwangi yang mengatakan Saya
baru tahu kalau masyarakat Banyuwangi tidak memiliki etika.Hal tersebutlah yang membuat
masyarakat akhirnya marah dan membuat mereka mengamuk sehingga hal tersebut memjadi
salah satu pemicu pecahnya konflik pada tanggal 25 November 2015.
Kemarahan masyarakat kemudian dilampiaskan dalam bentuk aksi anarkis warga di sekitar
area pertambangan masyarakat yang mengamuk membakar fasilitas kantor yang ada dan turut
membakar 2 kendaraan motor milik kantor.Keadaan yang begitu tegang membuat pihak
kepolisian kemudian melepaskan tembakan peluru karet yang ditujukan pada masyarakat
yang tengah mengamuk setidak nya 3 warga terkena tembakan peluru karet 2 orang terkena
di telinga dan satu warga tekena tembakan di paha yang kemudian dibawa ke rumah sakit.
Hal ini justru membuat warga marah dan geram sehingga balik melempari aparat dengan
batu.Respon warga terhadap polisi membuat polisi akhirnya memburu pelaku pelemparan
batu dirumah warga.Dari pencarian ini rumah warga menjadi sasaran aparat 1 televisi warga
dirumah dan sebuah sepeda motor rusak.
Solusi yang memungkinkan meredam konflik adalah PT terbuka yang mengelola tambag
dirubah kepada perusahaan publik dan negara. Maka pemilik sebnarnya adalah publik dan
negara, bukan private.Normalisasi perusahaan publik dan negara sesuai hukum Islam.
negaralah yang akan menjadi satu-satunya hak pengelolanya.Menghapus secara total UU dan

aturan yang meliberalisasi aset negara. Kemudian aturan disesuaikan dengan sistem ekonomi
Islam dalam pengelolaan SDA. Serta memilih pejabat yang amanah untuk mengemban tugas
mengelolanya.Meminta bantuan teknisi, tenaga ahli, dan memanfaatkan potensi sumber daya
manusia untuk mengelola dan mengeksplorasi tambang. Tujuannya untuk mengkaji segala
bentuk dampak, recovery alam, dan pengaturan produksi. Mereka digaji karena aqad
bekerja.Memberikan edukasi kepada rakyat baik secara politik, ekonomi, dan sosial untuk
memunculkan kewaspadaan pada ide yang rusak. Ide itulah yang disebut neo-liberalisme
yaitu menyerahkan pengelolaan SDA pada swasta lokal dan internasional. Selain itu, ada neoimprealisme yakni penjajahan gaya baru dengan cara menguasai sumber kekayaan rakyat dan
menyuap pejabat yang korup, komprador, dan nakal.Memberikan kesadaran untuk menjaga
alam dan lingkungan sekitar dari kerusakan akibat ulah tangan manusia. Jangan sampai atas
nama kerakusan segelintir orang, mengorbankan banyak orang.

DAFTAR RUJUKAN

Fuad, F.H. & S. Maskanah. 2000. Inovasi Penyelesaian Sengketa Pengelolaan Sumberdaya
Hutan. Pustaka LATIN. Bogor.

HS, Salim. 2013. Hukum Penyelesaian Sengketa Pertambangan Di Indonesia, Pustaka Reka
Cipta, Bandung. Hlm : 39-40.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
http://nasional.tempo.co/read/news/2015/11/26/058722459/delapan-tahun-konflik-tambangemas-banyuwangi (diakses 12/12/15 jam 19.26)
http://daerah.sindonews.com/read/1064644/23/ini-alasan-warga-tolak-tambang-di-tumpangpitu-banyuwangi-1448512157 (diakses 14/12 jam 19:58)

Você também pode gostar