Você está na página 1de 24

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ginjal adalah organ ekskresi dalam vertebrata berbentuk mirip kacang, sebagai bagian
dari system urin, ginjal berfungsi menyaring kotoran(terutama urea) dari darah dan
membuangnya bersama dengan air dalam bentuk urin. Progresivitas penurunan fungsi ginjal
berbeda-beda, yaitu dapat berkembang cepat atau lambat. Penyakit ginjal kronik adalah suatu
keadaan yang ditandai dengan adanya kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan berupa
kelainan structural atau fungsional dengan penurunan laju filtrasi glomerulus dengan etiologi
yang bermacam-macam, disertai kelainan komposisi darah atau urin dan kelainan dalam tes
pencitraan. Secara laboratorik dinyatakan penyakit ginjal kronik apabila hasil pemeriksaan
klirens kreatinin <15 mg/dl. (Prima Astiawati, 2008).
Penderita gagal ginjal kronik terus meningkat dan diperkirakan pertumbuhannya
sekitar 10% setiap tahun. Dari data di beberapa pusat nefrologi di Indonesia diperkirakan
insidens dan prevalensi penyakit ginjal kronik masing-masing berkisar 100-150/ 1 juta
penduduk dan 200-225/ 1 juta penduduk. (Prima Astiawati, 2008). Penderita acute kidney
injury di Indonesia, menurut Suhardjono (2005), jumlahnya tidak terlalu besar jika
dibandingkan dengan masyarakat Amerika Serikat, sekitar 1200 per 1 juta penduduk.
Beberapa laporan dunia menunjukkan insidens AKI yang bervariasi antara 0,5-0,9% pada
komunitas, 0,7-18% pada pasien yang dirawat di rumah sakit, hingga 20% pada pasien yang
dirawat di unit perawatan intensif (ICU), dengan angka kematian yang dilaporkan dari seluruh
dunia berkisar 25% hingga 80% (Robert Sinto, 2010)
Keadaan yang menimbulkan terjadinya kerusakan ginjal biasanya menghasilkan
gejala-gejala serius yang tidak berhubungan dengan ginjal. Sebagai contoh, demam tinggi,
syok, kegagalan jantung dan kegagalan hati, bisa terjadi sebelum kegagalan ginjal dan bisa
lebih serius dibandingkan gejala gagal ginjal.
Setelah penyebabnya ditemukan, tujuan pengobatan adalah untuk mengembalikan
fungsi ginjal biasanya. Masukan Jumlah cairan sangat dibatasi tergantung dari seberapa
banyak urine yang dapat dihasilkan oleh ginjal.Makanan juga harus dipilih jangan sampai
meracuni ginjal , protein harus dikurangi sampai batas tertentu ,rendah garam dan potasium ,
untuk karbohidrat dapat lebih leluasa diberikan. Dialisis mungkin diperlukan sebagai
tatalaksana gagal ginjal.
BAB 2
1

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Acute Kidney Injury(AKI)
2.1.1 Definisi
AKIN mendefinisikan AKI sebagai penurunan fungsi ginjal secara tiba-tiba (dalam 48
jam) ditandai dengan peningkatan serum kreatinin (SCr) >0.3 mg/dL (>25 mol/L) atau
meningkat sekitar 50% dan adanya penurunan output urin < 0.5 mL/kg/hr selama >6 jam
(Molitoris et al, 2007).
Suatu kondisi penurunan fungsi ginjal yang menyebabkan hilangnya kemampuan
ginjal untuk mengekskresikan sisa metabolisme, menjaga keseimbangan elektrolit dan cairan
(Eric Scott, 2008).
Secara konseptual AKI adalah penurunan cepat (dalam jam hingga minggu) laju
filtrasi glomerulus (LFG) yang umumnya berlangsung reversibel, diikuti kegagalan ginjal
untuk mengekskresi sisa metabolisme nitrogen, dengan/ tanpa gangguan keseimbangan cairan
dan elektrolit (Brady et al, 2005).
Penurunan tersebut dapat terjadi pada ginjal yang fungsidasarnya normal (AKI
klasik) atau tidak normal (acute onchronic kidney disease). Dahulu, hal di atas disebut
sebagai gagal ginjal akut dan tidak ada definisi operasional yang seragam, sehingga parameter
dan batas parameter gagal ginjal akut yang digunakan berbeda-beda pada berbagai
kepustakaan. Hal itu menyebabkan permasalahan antara lain kesulitan membandingkan hasil
penelitian untuk kepentingan meta-analisis, penurunan sensitivitas kriteria untuk membuat
diagnosis dini dan spesifisitas kriteria untuk menilai tahap penyakit yang diharapkan dapat
menggambarkan prognosis pasien (Mehta et al, 2003)
Atas dasar hal tersebut, Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI) yang beranggotakan
para nefrolog dan intensives di Amerika pada tahun 2002 sepakat mengganti istilah ARF
menjadi AKI. Penggantian istilah renal menjadi kidney diharapkan dapat membantu
pemahaman masyarakat awam, sedangkan penggantian istilah failure menjadi injury dianggap
lebih tepat menggambarkan patologi gangguan ginjal. Kriteria yang melengkapi definisi AKI
menyangkut beberapa hal antara lain (1) kriteria diagnosis harus mencakup semua tahap
penyakit; (2) sedikit saja perbedaan kadar kreatinin (Cr) serum ternyata mempengaruhi
prognosis penderita; (3) kriteria diagnosis mengakomodasi penggunaan penanda yang sensitif
yaitu penurunan urine output (UO) yang seringkali mendahului peningkatan Cr serum;
(4)penetapan gangguan ginjal berdasarkan kadar Cr serum, UO dan LFG mengingat belum

adanya penanda biologis (biomarker) penurunan fungsi ginjal yang mudah dan dapat
dilakukan di mana saja (Rusli R, 2007).
2.1.2

Klasifikasi Etiologi

Etiologi AKI dibagi menjadi 3 kelompok utama berdasarkan patogenesis AKI, yakni
(1) penyakit yang menyebabkan hipoperfusi ginjal tanpa menyebabkan gangguan pada
parenkim ginjal (AKI prarenal,~55%); (2) penyakit yang secara langsung menyebabkan
gangguan pada parenkim ginjal (AKI renal/intrinsik,~40%); (3) penyakit yang terkait dengan
obstruksi saluran kemih (AKI pascarenal,~5%). Angka kejadian penyebab AKI sangat
tergantung dari tempat terjadinya AKI. Salah satu cara klasifikasi etiologi AKI dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi etiologi AKI (Robert Sinto, 2010)
AKI Prarenal

I. Hipovolemia
- Kehilangan cairan pada ruang ketiga, ekstravaskular
- Kerusakan jaringan (pankreatitis), hipoalbuminemia,
obstruksi
- usus
- Kehilangan darah
- Kehilangan cairan ke luar tubuh
- Melalui saluran cerna (muntah, diare, drainase), melalui
saluran
- kemih (diuretik, hipoadrenal, diuresis osmotik), melalui kulit
- (luka bakar)
II. Penurunan curah jantung
- Penyebab miokard: infark, kardiomiopati
- Penyebab perikard: tamponade
- Penyebab vaskular pulmonal: emboli pulmonal
- Aritmia
- Penyebab katup jantung
III. Perubahan rasio resistensi vaskular ginjal sistemik
- Penurunan resistensi vaskular perifer
- Sepsis, sindrom hepatorenal, obat dalam dosis berlebihan
- (contoh: barbiturat), vasodilator (nitrat, antihipertensi)
- Vasokonstriksi ginjal
- Hiperkalsemia, norepinefrin, epinefrin, siklosporin,
takrolimus,
- amphotericin B
- Hipoperfusi ginjal lokal
- Stenosis a.renalis, hipertensi maligna
IV. Hipoperfusi ginjal dengan gangguan autoregulasi ginjal
- Kegagalan penurunan resistensi arteriol aferen
- Perubahan struktural (usia lanjut, aterosklerosis, hipertensi
- kronik, PGK (penyakit ginjal kronik), hipertensi maligna),
- penurunan prostaglandin (penggunaan OAINS, COX-2 inhibi
- tor), vasokonstriksi arteriol aferen (sepsis, hiperkalsemia,
3

AKI Renal

AKI pascarenal

2.1.3

- sindrom hepatorenal, siklosporin, takrolimus, radiokontras)


- Kegagalan peningkatan resistensi arteriol eferen
- Penggunaan penyekat ACE, ARB
- Stenosis a. renalis
V. Sindrom hiperviskositas
- Mieloma multipel, makroglobulinemia, polisitemia
I. Obstruksi renovaskular
- Obstruksi a.renalis (plak aterosklerosis, trombosis, emboli,
- diseksi aneurisma, vaskulitis), obstruksi v.renalis (trombosis,
- kompresi)
II. Penyakit glomerulus atau mikrovaskular ginjal
- Glomerulonefritis, vaskulitis
III. Nekrosis tubular akut (Acute Tubular Necrosis, ATN)
- Iskemia (serupa AKI prarenal)
- Toksin
- Eksogen (radiokontras, siklosporin, antibiotik, kemoterapi,
- pelarut organik, asetaminofen), endogen (rabdomiolisis,
hemolisis,
- asam urat, oksalat, mieloma)
IV. Nefritis interstitial
- Alergi (antibiotik, OAINS, diuretik, kaptopril), infeksi
(bakteri,
- viral, jamur), infiltasi (limfoma, leukemia, sarkoidosis),
- idiopatik
V. Obstruksi dan deposisi intratubular
- Protein mieloma, asam urat, oksalat, asiklovir, metotreksat,
sulfonamida
VI. Rejeksi alograf ginjal
I. Obstruksi ureter
- Batu, gumpalan darah, papila ginjal, keganasan, kompresi
eksternal
II. Obstruksi leher kandung kemih
- Kandung kemih neurogenik, hipertrofi prostat, batu,
keganasan, darah
III. Obstruksi uretra
- Striktur, katup kongenital, fimosis

Klasifikasi AKI
ADQI mengeluarkan sistem klasifikasi AKI dengan kriteria RIFLE yang terdiri

dari 3 kategori (berdasarkan peningkatan kadar Cr serum atau penurunan LFG atau
kriteria UO) yang menggambarkan beratnya penurunan fungsi ginjal dan 2 kategori yang
menggambarkan prognosis gangguan ginjal, seperti yang terlihat pada tabel 2. (Rusli R,
2007).

Tabel 2. Klasifikasi AKI dengan Kriteria RIFLE, ADQI Revisi 2007


4

Kategori
Risk
Injury
Failure
Loss
End stage

2.1.4

Peningkatan kadar SCr


>1,5 kali nilai dasar

Penurunan LFG
>25% nilai dasar

Kriteria UO
<0,5 mL/kg/jam,
>6 jam
>2,0 kali nilai dasar
>50% nilai dasar
<0,5 mL/kg/jam,
>12 jam
>3,0 kali nilai dasar
>75% nilai dasar
<0,3 mL/kg/jam, >24
jam
Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 4
minggu
Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 3
Bulan
Patofisiologi
Patofisiologi Aki dapat dibagi menjadi mikrovaskular dan komponen tubular
seperti yang terdapat didalam gambar (Bonventre, 2008) berikut ini:

Gambar 1. Patofisiologi AKI (Bonventre, 2008)


Patofisiologi dari AKI dapat dibagi menjadi komponen mikrovaskular dan
tubular, bentuk lebih lanjutnya dapat dibagi menjadi proglomerular dan komponen
pembuluh medulla ginjal terluar. Pada AKI, terdapat peningkatan vasokonstriksi dan
penurunan vasodilatasi pada respon yang menunjukkan ginjal post iskemik. Dengan
peningkatan endhotelial dan kerusakan sel otot polos pembuluh, terdapat peningkatan
adhesi leukosit endothelial yang menyebabkan aktivasi system koagulasi dan obstruksi
pembuluh dengan aktivasi leukosit dan berpotensi terjadi inflamasi.
Pada tingkat tubuler, terdapat kerusakan dan hilangnya polaritas dengan diikuti
oleh apoptosis dan nekrosis, obstruksi intratubular, dan kembali terjadi kebocoran filtrate
glomerulus melalui membrane polos dasar. Sebagai tambahan, sel-sel tubulus
menyebabkan mediator vasoaktif inflamatori, sehingga mempengaruhi vascular untuk
5

meningkatkan kerjasama vascular. Mekanisme positif feedback kemudian terjadi sebagai


hasil kerjasama vascular untuk menurunkan pengiriman oksigen ke tubulus, sehingga
menyebabkan mediator vasoaktif inflamatori meningkatkan vasokonstriksi dan interaksi
endothelial-leukosit. Bonventre (2008)
2.1.5

Pendekatan Diagnosis

1. Pemeriksaan Klinis
Petunjuk klinis AKI prarenal antara lain adalah gejala haus, penurunan UO dan
berat badan dan perlu dicari apakah hal tersebut berkaitan dengan penggunaan OAINS,
penyekat ACE dan ARB. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan tanda hipotensi
ortostatik dan takikardia, penurunan jugular venous pressure (JVP), penurunan turgor
kulit, mukosa kering, stigmata penyakit hati kronik dan hipertensi portal, tanda gagal
jantung dan sepsis. Kemungkinan AKI renal iskemia menjadi tinggi bila upaya pemulihan
status hemodinamik tidak memperbaiki tanda AKI. Diagnosis AKI renal toksik dikaitkan
dengan data klinis penggunaan zat-zat nefrotoksik ataupun toksin endogen (misalnya
mioglobin, hemoglobin, asam urat). Diagnosis AKI renal lainnya perlu dihubungkan
dengan gejala dan tanda yang menyokong seperti gejala trombosis, glomerulonefritis akut,
atau hipertensi maligna.
AKI pascarenal dicurigai apabila terdapat nyeri sudut kostovertebra atau
suprapubik akibat distensi pelviokalises ginjal, kapsul ginjal, atau kandung kemih. Nyeri
pinggang kolik yang menjalar ke daerah inguinal menandakan obstruksi ureter akut.
Keluhan terkait prostat, baik gejala obstruksi maupun iritatif, dan pembesaran prostat pada
pemeriksaan colok dubur menyokong adanya obstruksi akibat pembesaran prostat.
Kandung kemih neurogenik dapat dikaitkan dengan pengunaan antikolinergik dan temuan
disfungsi saraf otonom (Robert Sinto, 2010).
2. Pemeriksaan Penunjang
Dari pemeriksaan urinalisis, dapat ditemukan berbagai penanda inflamasi glomerulus,
tubulus, infeksi saluran kemih, atau uropati kristal. Pada AKI prarenal, sedimen yang
didapatkan aselular dan mengandung cast hialin yang transparan. AKI pascarenal juga
menunjukkan gambaran sedimen inaktif, walaupun hematuria dan piuria dapat ditemukan
pada obstruksi intralumen atau penyakit prostat. AKI renal akan menunjukkan berbagai cast
yang dapat mengarahkan pada penyebab AKI, antara lain pigmented muddy brown
granular cast, cast yang mengandung epitel tubulus yang dapat ditemukan pada ATN; cast

eritrosit pada kerusakan glomerulus atau nefritis tubulointerstitial; cast leukosit dan
pigmented muddy brown granular cast pada nefritis interstitial (Schrier et al, 2004).
Hasil pemeriksaan biokimiawi darah (kadar Na, Cr, urea plasma) dan urin (osmolalitas
urin, kadar Na, Cr, urea urin) secara umum dapat mengarahkan pada penentuan tipe AKI,
seperti yang terlihat pada tabel berikut ini:
Tabel 3. Kelainan analisis urin (Robert Sinto, 2010)

Pemeriksaan yang cukup sensitif untuk menyingkirkan AKI pascarenal adalah


pemeriksaan urin residu pascaberkemih. Jika volume urin residu kurang dari 50 cc, didukung
dengan pemeriksaan USG ginjal yang tidak menunjukkan adanya dilatasi pelviokalises, kecil
kemungkinan penyebab AKI adalah pascarenal. Pemeriksaan pencitraan lain seperti foto polos
abdomen, CT-scan, MRI, dan angiografi ginjal dapat dilakukan sesuai indikasi.
Pemeriksaan biopsi ginjal diindikasikan pada pasien dengan penyebab renal yang
belum jelas, namun penyebab pra- dan pascarenal sudah berhasil disingkirkan. Pemeriksaan
tersebut terutama dianjurkan pada dugaan AKI renal non-ATN yang memiliki tata laksana
spesifik, seperti glomerulonefritis, vaskulitis, dan lain lain (Brady HR, 2005).
2.1.6 Penatalaksanaan
1. Terapi nutrisi
Kebutuhan nutrisi pasien AKI bervariasi tergantung dari enyakit dasarnya dan kondisi
komorbid yang dijumpai. Sebuah sistem klasifikasi pemberian nutrisi berdasarkan status
katabolisme diajukan oleh Druml pada tahun 2005 dan telah dimodifikasi oleh Sutarjo seperti
pada tabel berikut:
Tabel 4. Kebutuhan nutrisi klien dengan AKI (Sutarjo, 2008)

2. Terapi Farmakologi: Furosemid, Manitol, dan Dopamin


Dalam pengelolaan AKI, terdapat berbagai macam obat yang sudah digunakan
selama berpuluh-puluh tahun namun kesahihan penggunaannya bersifat kontoversial.
Obatobatan tersebut antara lain diuretik, manitol, dan dopamin. Diuretik yang bekerja
menghambat Na+/K+-ATPase pada sisi luminal sel, menurunkan kebutuhan energi sel
thick limb Ansa Henle. Selain itu, berbagai penelitian melaporkan prognosis pasien
AKI non-oligourik lebih baik dibandingkan dengan pasien AKI oligourik. Atas dasar
hal tersebut, banyak klinisi yang berusaha mengubah keadaan AKI oligourik menjadi
non-oligourik, sebagai upaya mempermudah penanganan ketidakseimbangan cairan
dan mengurangi kebutuhan dialisis. Meskipun demikian, pada keadaan tanpa fasilitas
dialisis, diuretik dapat menjadi pilihan pada pasien AKI dengan kelebihan cairan
tubuh. Beberapa hal yang harus diperhatikan pada penggunaan diuretik sebagai bagian
dari tata laksana AKI adalah: (Mohani, 2008)
a. Pastikan volume sirkulasi efektif sudah optimal, pastikan pasien tidak dalam
keadaan dehidrasi. Jika mungkin, dilakukan pengukuran CVP atau dilakukan tes
cairan dengan pemberian cairan isotonik 250-300 cc dalam 15- 30 menit. Bila
jumlah urin bertambah, lakukan rehidrasi terlebih dahulu.

b. Tentukan etiologi dan tahap AKI. Pemberian diuretik tidak berguna pada AKI
pascarenal. Pemberian diuretik masih dapat berguna pada AKI tahap awal
(keadaan oligouria kurang dari 12 jam).
Pada awalnya, dapat diberikan furosemid i.v. bolus 40mg. Jika manfaat tidak
terlihat, dosis dapat digandakan atau diberikan tetesan cepat 100-250 mg/kali dalam 16 jam atau tetesan lambat 10-20 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 1 gram/hari.
Usaha tersebut dapat dilakukan bersamaan dengan pemberian cairan koloid untuk
meningkatkan translokasi cairan ke intravaskuler. Bila cara tersebut tidak berhasil
(keberhasilan hanya pada 8-22% kasus), harus dipikirkan terapi lain. Peningkatan
dosis lebih lanjut tidak bermanfaat bahkan dapat menyebabkan toksisitas (Robert,
2010).
Secara hipotesis, manitol meningkatkan translokasi cairan ke intravaskuler
sehingga dapat digunakan untuk tata laksana AKI khususnya pada tahap oligouria.
Namun kegunaan manitol ini tidak terbukti bahkan dapat menyebabkan kerusakan
ginjal lebih jauh karena bersifat nefrotoksik, menyebabkan agregasi eritrosit dan
menurunkan kecepatan aliran darah. Efek negatif tersebut muncul pada pemberian
manitol lebih dari 250 mg/kg tiap 4 jam. Penelitian lain menunjukkan sekalipun dapat
meningkatkan produksi urin, pemberian manitol tidak memperbaiki prognosis pasien
(Sjabani, 2008).
Dopamin dosis rendah (0,5-3 g/kgBB/menit) secara historis digunakan dalam
tata laksana AKI, melalui kerjanya pada reseptor dopamin DA1 dan DA2 di ginjal.
Dopamin dosis rendah dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah ginjal,
menghambat Na+/K+-ATPase dengan efek akhir peningkatan aliran darah ginjal, LFG
dan natriuresis. Sebaliknya, pada dosis tinggi dopamin dapat menimbulkan
vasokonstriksi.
Faktanya teori itu tidak sesederhana yang diperkirakan karena dua alasan yaitu
terdapat perbedaan derajat respons tubuh terhadap pemberian dopamin, juga tidak
terdapat korelasi yang baik antara dosis yang diberikan dengan kadar plasma dopamin.
Respons dopamin juga sangat tergantung dari keadaan klinis secara umum yang
meliputi status volume pasien serta abnormalitas pembuluh darah (seperti hipertensi,
diabetes mellitus, aterosklerosis), sehingga beberapa ahli berpendapat sesungguhnya
dalam dunia nyata tidak ada dopamin dosis renal seperti yang tertulis pada literatur.
Dalam penelitian dan meta-analisis, penggunaan dopamin dosis rendah tidak
terbukti bermanfaat bahkan terkait dengan efek samping serius seperti iskemia
9

miokard, takiaritmia, iskemia mukosa saluran cerna, gangrene digiti, dan lain-lain.
Jika tetap hendak digunakan, pemberian dopamin dapat dicoba dengan pemantauan
respons selama 6 jam. Jika tidak terdapat perubahan klinis, dianjurkan agar
menghentikan penggunaannya untuk menghindari toksisitas. Dopamin tetap dapat
digunakan untuk pengobatan penyakit dasar seperti syok, sepsis (sesuai indikasi)
untuk memperbaiki hemodinamik dan fungsi ginjal (Robert Sinto, 2010).
2.1.7

Komplikasi dan Penatalaksanan


Pengelolaan komplikasi yang mungkin timbul dapat dilakukan secara

konservatif, sesuai dengan anjuran yang dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 5. Penatalaksanaan Komplikasi AKI (Robert, 2010)

10

2.2 Gagal Ginjal Kronik


2.2.1

Definisi
Menurut The Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) of the

National Kidney Foundation (NKF) pada tahun 2009, mendefenisikan gagal ginjal kronis
sebagai suatu kerusakan ginjal dimana nilai dari GFR nya kurang dari 60 mL/min/1.73 m 2
selama tiga bulan atau lebih. Dimana yang mendasari etiologi yaitu kerusakan massa
ginjal dengan sklerosa yang irreversibel dan hilangnya nephrons ke arah suatu
kemunduran nilai dari GFR.

2.2.2

Klasifikasi
Menurut KDOQI, ada 5 tingkatan atau stage dari CKD seperti yang ditunjukkan

oleh table 6 dibawah ini :


(The Renal Association, 2010)
Tabel 6 KDOQI stages of kidney diseases

Suffixes:
p suffix:tambahan p pada tiap tingkatan (misal 3Ap, 4p) menunjukkan adanya
proteinuria
T - : tambahan T pada tiap tingkatan (misalnya 3AT) mengindikasikan bahwa
pasien telah menjalani transplantasi ginjal.
D -: tambahan D pada tingkatan/stage ke 5 (misalnya. 5D) mengindikasikan
bahwa pasien sedang menjalani Dialisis.
11

2.2.3 Etiologi
Perhimpunan Nefrologi Indonesia (pernefri) tahun 2000 mencatat penyebab gagal
ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia.
Tabel 5. Penyebab gagal ginjal di Indonesia

2.2.3

Manifestasi Klinik
Ada beberapa manifestasi klinik gagal gagl ginjal kronik : ( Schrier RW, 2003)
1. Gangguan keseimbangan elektrolit : hipernatremia, huiperkalemia
2. Asidosis metabolic (ditemukan jika LFG<25%)
3. Gangguan metabolism karbohidrat dan lemak
4. Anemia normokrom mormositer
5. Hipertensi
6. Gangguan neurologi
7. Osteodistrofi ginjal
8. Gangguan pertumbuhan
9. Gangguan perdarahan

2.2.4

Patofisiologi
Perjalanan penyakit dari CKD akan digambarkan dalam bagan berikut ini: (J.M
Lopez Novoa et al, 2010)
12

Gambar 3. Hipertensif nefropathy

13

Gambar 4. Diabetic Nefropathy

14

Gambar 5. Nefropaty kronik akibat Renal Mass Reduction(RMR)

15

Gambar 6. Nefropaty akibat ureteral obstruction

16

Gambar 7. Mekanisme CKD


2.2.5
a.

Pemeriksaan Diagnostik
Laboratorium
1. LED: meninggi, yang diperberat oleh adanya anemia, dan hipoalbuminemia.
Anemia normositer normokrom, dan jumlah retikulosi yang rendah.
2. Ureum dan kreatinin: meninggi, biasanya perbandingan antara ureum dan
kreatinin kurang lebih 20:1. Ingat perbandingan bisa meninggi oleh karena
perdarahan saluran cerna, demam, luka bakar luas, pengobatan steroid, dan
obstruksi saluran kemih. Perbandingan ini berkurang: ureum lebih kecil dari
kreatinin, pada diet rendah protein, dan tes Klirens Kreatinin yang menurun.
3. Hiponatremi: umumnya karena kelebihan cairan. Hiperkalemia: biasanya terjadi
pada gagal ginjal lanjut bersama dengan menurunnya dieresis.
4. Hipokalsemia dan hiperfosfatemia: terjadi karena berkurangnya sintesis vitamin
D3 pada GGK.
5. Phosphat alkaline meninggi akibat gangguan metabolism tulang, terutama
isoenzim fosfatase lindi tulang
6. Hipoalbuminemia dan hipokolesterolemia: umumnya disebabkan gangguan
metabolism dan diet rendah protein.
7. Peninggian gula darah, akibat gangguan metabolism karbohidrat pada gagal
ginjal (resitensi terhadap pengaruh insulin pada jaringan perifer).
17

8. Hipertrigliserida, akibat gangguan metabolism lemak, disebabkan peninggian


hormone insulin dan menurunnya lipoprotein lipase.
9. Asidosis metabolic dengan kompensasi respirasi menunjukkan pH yang
menurun, BE menurun, HCO3 menurun, PCO2 menurun, semuanya disebabkan
retensi asam-asam organic pada gagal ginjal.
b.

Pemeriksaan lain
1. Foto polos abdomen: untuk menilai bentuk dan besar ginjal (adanya batu atau
adanya suatu obstruksi). Dehidrasi akan memperburuk keadaan ginjal, oleh
sebab itu penderita diharapkan tidak puasa.
2. IVP (Intra Vena pielografi): untuk menilai system pelviokalises dan ureter.
Pemeriksaan ini mempunyai resiko penurunan faal ginjal pada keadaan tertentu,
misalnya usia lanjut, diabetes mellitus, dan nefropati asam urat.
3. USG: untuk menilai besar dan bentuk ginajl, tebal parenkim ginjal, kepadatan
parenkim ginjal, anatomi system pelviokalises, ureter proksimal, kandung
kemih, dan prostat.
4. Renogram, untuk menilai fungsi ginjal kanan dan kiri, lokasi dari gangguan
(vascular, parenkim, ekskresi) serta sisa fungsi ginjal.
5. EKG, untuk melihat kemungkina hipertropi ventrikel kiri, tanda-tanda
perikarditis, aritmia, gangguan elektrolit (hiperkalemia).
2.2.6

Penatalaksanaan

1. Stage 1 dan 2
Pada CKD stage 1 fungsi ginjal sebenarnya normal tapi terdapat beberapa tanda
adanya kelainan pada ginjal. CKD stage 2 ditandai dengan menurunnya sebagian
fungsi ginjal, GFR 60-89mls/min/1.73m2
Pengkajian Awal pada CKD stage 1+2:
Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi resiko peningkatan kelainan
ginjal pada klien, dan untuk mengurangi resiko terkait. Yang perlu dikaji adalah
a. Hematuria
b. Proteinuria
Jika pengkajian pertama menemukan adanya peningkatan kreatinin maka
penting bagi kita untuk memastikan kestabilan nilainya. Ulangi test 14 hari
berikutnya.
Managemen CKD stage 1+2 :
18

Dalam 12 bulan pencapaian yang harus didapat adalah :


a. Kreatinin : perubahan signifikan pada eGFR telah ditentukan sebagai shortterm eGFR fall >15% atau [creatinine] meningkat >20%; atau yang terbaru
berdasar NICE guideline adnya kehilangan GFR 1y dari 5ml/min, atau
kehilangan dalam 5y dari 10ml/min.
b. Urinary protein for ACR or PCR : pertahankan nilai ACR 30 atau PCR 50
bagi klien dengan tekana darah yang tinggi(dan suffix 'p' pada CKD stage)
c. Tekanan darah: maksimal 140/90 (130-139/90), atau maksimal 130/80 (120129/80) bagi pasien dengan proteinuria: urinary ACR>30 atau PCR>50.
d. Resiko Kardiovaskular : berikan eduksi dalam hal kebiasaan merokok,
olahraga teratur dan gaya hidup.
2. Stage 3
Dalam CKD stage 3 ini nilai eGFR 30-60%: eGFR 45-59 (3A) atau 30-44 (3B).
Pengkajian awal CKD stage 3
a. Pengakajian klinis : khususnya untuk sepsis, gagl jantung, hipovolemi,
memeriksa adanya pembesaran kandung kemih
b. Review ulang medikasi: periksa apakah diperlukan perubahan dosis obat ketika
GFR terjadi penurunan, untuk mencegah nephrotoxic drug.
c. Tes Urin : adanya hematuria atau proteinuria menunjukkan adanya kelainan
ginjal yang progresif
d. Pencitraan: perlu dilakuakan bila klien diindikasikan adanya obstruksi pada
sistem ginjal
Manajemen CKD stage 3
Dalam 6 sampai 12 bulan targetnya adalah :
a. Creatinine and K :pertimbangkan turunnya nilai eGFR yang tib-tiba >25%
sebagai ARF. NICE menyarankan untuk meminta advis dari specialist ketika
GFR turun lebih 1y dari 5ml/min, atau 5y dari 10ml/min.
b. Hb bila di bawah 110 g/l, terapi spesifik perlu dilakukan. Hb turun secara
progresif mengindikasikan turunnya GFR.
c. Urinary protein for ACR or PCR : pertahankan nilai ACR 30 atau PCR 50 bagi
klien dengan tekana darah yang tinggi(dan suffix 'p' pada CKD stage)
d. Tekanan darah: maksimal 140/90 (130-139/90), atau maksimal 130/80 (120129/80) bagi pasien dengan proteinuria: urinary ACR>30 atau PCR>50.

19

e. Resiko Kardiovaskular : berikan eduksi dalam hal kebiasaan merokok, olahraga


teratur dan gaya hidup.
f. Immunization - influenza dan pneumococcal
g. Medication review review teratur terhadap jenis-jenis obat yang diberikan
untuk mencegah nephrotoxic drugs
3. Stage 4+5
Tanda CKD stage4 adalah adanya penurunan fungsi ginjal yang parah, 15-30% (eGFR
15-29ml/min/1.73m2). Tanda CKD stage 5 adalah adanya penurunan fungsi ginjal
yang sangat parah (endstage atau ESRF/ESRD), <15% (eGFR kurang dari 15 ml/min).
Pengkajian awal CKD stage 4
a. Pengakajian klinis : khususnya untuk sepsis, gagl jantung, hipovolemi,
memeriksa adanya pembesaran kandung kemih
b. Review ulang medikasi: periksa apakah diperlukan perubahan dosis obat ketika
GFR terjadi penurunan, untuk mencegah nephrotoxic drug.
c. Tes Urin : adanya hematuria atau proteinuria menunjukkan adanya kelainan
ginjal yang progresif
d. Tes darah : Ca, PO4, Hb
e. Pencitraan: perlu dilakuakan bila klien diindikasikan adanya obstruksi pada
sistem ginjal
Manajemen CKD stage 4 dan 5
Dalam 3 bulan :
a. Kretainin dan K : waspadai hiperkalemia
b. Hb : Hb rendah, waspadai penyebab lain selain ginjal
c. Ca dan PO4 : obat oral phospat seringkali dibutuhkan
d. Urinary protein for ACR or PCR : pertahankan nilai ACR 30 atau PCR 50 bagi
klien dengan tekanan darah yang tinggi(dan suffix 'p' pada CKD stage)
e. Tekanan darah:

maksimal 140/90 (130-139/90), atau maksimal 130/80 (120-

129/80) bagi pasien dengan proteinuria: urinary ACR>30 atau PCR>50.


f. Resiko Kardiovaskular : berikan eduksi dalam hal kebiasaan merokok, olahraga
teratur dan gaya hidup.
g. Immunization - influenza dan pneumococcal, dan imunisasi Hepatitis B jika
transplantasi ginjal akan dilakukan
h. Medication review review teratur terhadap jenis-jenis obat yang diberikan untuk
mencegah nephrotoxic drugs
20

i. Jika klien osteoporosis: jangan menggunakan bisphosphonates karena bisa


mengarah ke renal osteodystrophy.

Gambar 2. CKD stages


Penatalaksanaan Hemodialisa
Hemodialisa merupakan suatu membran atau selaput semi permiabel. Membran ini
dapat dilalui oleh air dan zat tertentu atau zat sampah. Proses ini disebut dialisis yaitu proses
berpindahnya air atau zat, bahan melalui membran semi permiabel. Terapi hemodialisa
merupakan teknologi tinggi sebagai terapi pengganti untuk mengeluarkan sisa-sisa
metabolisme atau racun tertentu dari peredaran darah manusia seperti air, natrium, kalium,
hidrogen, urea, kreatinin, asam urat, dan zat-zat lain melalui membran semi permiabel sebagai
pemisah darah dan cairan dialisat pada ginjal buatan dimana terjadi proses difusi, osmosis dan
ultra filtrasi (Brunner & Suddarth, 2001).
Jika kondisi ginjal sudah tidak berfungsi diatas 75 % (gagal ginjal terminal atau tahap
akhir), proses cuci darah atau hemodialisa merupakan hal yang sangat membantu penderita.
Proses tersebut merupakan tindakan yang dapat dilakukan sebagai upaya memperpanjang usia
penderita. Hemodialisa tidak dapat menyembuhkan penyakit gagal ginjal yang diderita pasien
tetapi hemodialisa dapat meningkatkan kesejahteraan kehidupan pasien yang gagal ginjal
(Wijayakusuma, 2008).
Diet merupakan faktor penting bagi pasien yang menjalani hemodialisa mengingat
adanya efek uremia. Apabila ginjal yang rusak tidak mampu mengekskresikan produk akhir
metabolisme, substansi yang bersifat asam ini akan menumpuk dalam serum pasien dan
bekerja sebagai racun dan toksin. Gejala yang terjadi akibat penumpukan tersebut secara
kolektif dikenal sebagai gejala uremia dan akan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Diet
rendah protein akan mengurangi penumpukan limbah nitrogen dan dengan demikian
meminimalkan gejala (Brunner & Suddarth, 2001).
Penumpukan cairan juga dapat terjadi dan dapat mengakibatkan gagal jantung
kongestif serta edema paru. Dengan demikian pembatasan cairan juga merupakan bagian dari
resep diet untuk pasien. Dengan penggunaan hemodialisis yang efektif, asupan makanan
pasien dapat diperbaiki meskipunbiasanya memerlukan beberapa penyesuaian dan
pembatasan pada asupan protein, natrium, kalium dan cairan (Brunner & Suddarth, 2001).
Banyak obat yang diekskresikan seluruhnya atau sebagian melalui ginjal. Pasien yang
memerlukan

obat-obatan

(preparat

glikosida

jantung,

antibiotik,

antiaritmia

dan

antihipertensi) harus dipantau dengan ketat untuk memastikan agar kadar obat-obat ini dalam
21

darah dan jaringan dapat dipertahankan tanpa menimbulkan akumulasi toksik (Brunner &
Suddarth, 2001).
Indikasi dan Komplikasi Terapi Hemodialisa
Pada umumya indikasi dari terapi hemodialisa pada gagal ginjal kronis adalah laju
filtrasi glomerulus ( LFG ) sudah kurang dari 5 mL/menit, sehingga dialisis dianggap baru
perlu dimulai bila dijumpai salah satu dari hal tersebut dibawah :
a. Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata
b. K serum > 6 mEq/L
c. Ureum darah > 200 mg/Dl
d. pH darah < 7,1
e. Anuria berkepanjangan ( > 5 hari )
f. Fluid overloaded (Shardjono dkk, 2001).
DAFTAR PUSTAKA
American Journal of Kidney Disease. 2006. Hemodialysis Guidelines. Diakses dari
http://www.kidney.org/professionals/kdoqi/pdf/12-50-0210_JAG_DCP_Guidelines
HD_Oct06_SectionA_ofC.pdf pada tanggal 12 Mei 2012
Astiawanti, Prima. 2008. Perbedaan Pola Gangguan Hemostasis Antara Penyakit
Ginjal Kronik Prehemodialisis Dengan Diabetes Mellitus dan Non Diabetes Mellitus. Diakses
dari http://www.pernefri.org/1-kamus-ginjal.php pada tanggal 12 Mei 2012.
Bonventre, Joseph, MD, PhD. Pathophysiology of Acute Kidney Injury. Nephrology
rounds (2007), Volume 6 Issue 7.
Brady HR, Brenner BM. Acute renal failure. Dalam Kasper DL, Fauci AS, Longo DL,
Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, editor. Harrisons principle of internal medicine. Ed
16. New York: McGraw-Hill, Inc; 2005.p.1644-53.
Effendi,

Ferri.

2008.

Asuhan

Keperawatan

Acute

kidney

http://indonesiannursing.com/2008/07/asuhan-keperawatan-gagal-ginjal-akut/.

injury.
Diakses

tanggal 1 Mei 2012


Hadi, Sjahfiri. 1996. Penatalaksaan Acute kidney injury. Dexa Media, No. 4, Vol.9,
Oktober-Desember

1996.

http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/94962734.pdf.

Diakses

tanggal 1 Mei 2012


Hudak dan Gallo.1996. Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik. Volume 2. Edisi 6.
Jakarta: EGC
22

J. M Lopez Novoa et al. Common Pathophysioogical Mechanism Of Chronic Kidney


Disease : Therapeutic Perspectives. Pharmacology & therapeutic 128 (2010) 61-81
Mehta RL, Chertow GM. Acute renal failure definitions and classification: time for
change?. J Am Soc Nephrol. 2003;14:2178-87.
Mohani CI. Diuretika pada kasus dengan oligouria. Dalam Dharmeizar, Marbun MBH,
editor. Makalah lengkap the 8th Jakarta nephrology & hypertension course and symposium on
hypertension. Jakarta: PERNEFRI; 2008.p.9-10.
Molitoris BA, Levin A, Warnock DG, et al; Acute Kidney Injury Network. Improving
outcomes from acute kidney injury. J Am Soc Nephrol. 2007;18(7): 1992-1994.
National

Kidney

Foundation.

2010.

About

CKD

Guide.

Diakses

dari

http://www.kidney.org/atoz/atozcopy.cfm?pdflink=AboutCKDGuidePatFam.pdf pada tanggal


12 Mei 2012.
National Kidney Foundation. NKF-DOQI clinical practice guidelines for dyalisis
adequaly. Am J Kidney Dis. 1997:567-5136.
Noer, Muhammad Sjaifullah, Ninik Soemyarso. 2012. Acute kidney injury .
http://www.pediatrik.com/isi03.php?
page=html&hkategori=pdt&direktori=pdt&filepdf=0&pdf=&html=07110-jlqk257.htm
diakses 1 Mei 2012 jam 8.00
Roesli R. Kriteria RIFLE cara yang mudah dan terpercaya untuk menegakkan
diagnosis dan memprediksi prognosis gagal ginjal akut. Ginjal Hipertensi. 2007;7(1):18-24.
Schrier RW, Wang W, Poole B, Mitra A. Acute renal failure: definitions, diagnosis,
pathogenesis, and therapy. J. Clin. Invest.2004;114:5-14.
Schrier RW. Renal and Electrolyte Disorders. 6th edition. Lippincolt Williams and
Willkins;2003
Scott, Eric. 2008. Identifying Acute Kidney Injury In High Risk Patients. AGE Health
MR Publication : Scotland
Sinto, Robert, Ginova Nainggolan. 2010. Acute Kidney Injury :Pendekatan Klinis dan
Tata Laksana. Majalah Kedokteran Indonesia Volume 6p Nomor : 2 Pebruari 2010
Sjabani M. Penggunaan manitol: dampaknya pada ginjal. Dalam Dharmeizar, Marbun
MBH, editor. Makalah lengkap the 8th Jakarta nephrology & hypertension course and
symposium on hypertension. Jakarta: PERNEFRI; 2008.p.21-22.
Sutarjo B. Poliuria pada gagal ginjal akut. Dalam Dharmeizar, Marbun MBH, editor.
Makalah lengkap the 8th Jakarta nephrology & hypertension course and symposium on
hypertension. Jakarta: PERNEFRI; 2008.p.53-9.
23

Chronic Kidney Disease

24

Você também pode gostar

  • Hikmah Keutamaan Haji
    Hikmah Keutamaan Haji
    Documento26 páginas
    Hikmah Keutamaan Haji
    Rina Chairunnisa
    Ainda não há avaliações
  • Pengaruh Komunikasi Keluarga Terhadap Kenakalan Anak
    Pengaruh Komunikasi Keluarga Terhadap Kenakalan Anak
    Documento32 páginas
    Pengaruh Komunikasi Keluarga Terhadap Kenakalan Anak
    Abdullah Azzam
    Ainda não há avaliações
  • Pengaruh Penyalahgunaan Narkoba Terhadap Kehidupan Remaja
    Pengaruh Penyalahgunaan Narkoba Terhadap Kehidupan Remaja
    Documento14 páginas
    Pengaruh Penyalahgunaan Narkoba Terhadap Kehidupan Remaja
    Rina Chairunnisa
    Ainda não há avaliações
  • EfekNarkobaOtak
    EfekNarkobaOtak
    Documento3 páginas
    EfekNarkobaOtak
    Rina Chairunnisa
    Ainda não há avaliações
  • Karya Tulis Ilmiah
    Karya Tulis Ilmiah
    Documento9 páginas
    Karya Tulis Ilmiah
    Rina Chairunnisa
    Ainda não há avaliações
  • Penyalahgunaan Narkotika
    Penyalahgunaan Narkotika
    Documento20 páginas
    Penyalahgunaan Narkotika
    Rina Chairunnisa
    0% (1)
  • Efek dan bahaya heroin
    Efek dan bahaya heroin
    Documento3 páginas
    Efek dan bahaya heroin
    Rina Chairunnisa
    Ainda não há avaliações
  • Dampak Psikologis
    Dampak Psikologis
    Documento13 páginas
    Dampak Psikologis
    Rina Chairunnisa
    Ainda não há avaliações
  • Skenario 3 Blok Kedkom
    Skenario 3 Blok Kedkom
    Documento30 páginas
    Skenario 3 Blok Kedkom
    Rina Chairunnisa
    Ainda não há avaliações
  • MRI Payudara Akurat, Tanpa Sakit
    MRI Payudara Akurat, Tanpa Sakit
    Documento2 páginas
    MRI Payudara Akurat, Tanpa Sakit
    anisaparamitha
    Ainda não há avaliações
  • PENYALAHGUNAAN NARKOBA
    PENYALAHGUNAAN NARKOBA
    Documento0 página
    PENYALAHGUNAAN NARKOBA
    Max Sinner
    Ainda não há avaliações
  • SK3 Selesai
    SK3 Selesai
    Documento18 páginas
    SK3 Selesai
    Musyfiqoh Tusholehah
    Ainda não há avaliações
  • Benjolan Payudara
    Benjolan Payudara
    Documento15 páginas
    Benjolan Payudara
    Rina Chairunnisa
    Ainda não há avaliações
  • Diagnosis HCC
    Diagnosis HCC
    Documento7 páginas
    Diagnosis HCC
    Rina Chairunnisa
    Ainda não há avaliações
  • Skenario 1
    Skenario 1
    Documento32 páginas
    Skenario 1
    Rina Chairunnisa
    Ainda não há avaliações
  • Wrap Up PBL
    Wrap Up PBL
    Documento45 páginas
    Wrap Up PBL
    Rina Chairunnisa
    Ainda não há avaliações
  • Diagnosis CA Payudara
    Diagnosis CA Payudara
    Documento3 páginas
    Diagnosis CA Payudara
    Rina Chairunnisa
    Ainda não há avaliações
  • Rumah Sehat
    Rumah Sehat
    Documento16 páginas
    Rumah Sehat
    Raditya Pradnyana
    Ainda não há avaliações
  • Keluarga Berencana Islami
    Keluarga Berencana Islami
    Documento11 páginas
    Keluarga Berencana Islami
    Rina Chairunnisa
    Ainda não há avaliações
  • SK 3
    SK 3
    Documento21 páginas
    SK 3
    Rina Chairunnisa
    Ainda não há avaliações
  • Lo 4. PHBS
    Lo 4. PHBS
    Documento3 páginas
    Lo 4. PHBS
    Rina Chairunnisa
    Ainda não há avaliações
  • Tiu 3
    Tiu 3
    Documento9 páginas
    Tiu 3
    Rina Chairunnisa
    Ainda não há avaliações
  • PBL Sken 2 Semester 6
    PBL Sken 2 Semester 6
    Documento29 páginas
    PBL Sken 2 Semester 6
    Opialeta Putri
    Ainda não há avaliações
  • Gizi, Rumah Sehat
    Gizi, Rumah Sehat
    Documento22 páginas
    Gizi, Rumah Sehat
    Rina Chairunnisa
    Ainda não há avaliações
  • Skenario 2 Kedkomn
    Skenario 2 Kedkomn
    Documento29 páginas
    Skenario 2 Kedkomn
    Rina Chairunnisa
    Ainda não há avaliações
  • Skenario 2
    Skenario 2
    Documento19 páginas
    Skenario 2
    Rina Chairunnisa
    Ainda não há avaliações
  • Bab Iii
    Bab Iii
    Documento13 páginas
    Bab Iii
    Desy Lestari S
    Ainda não há avaliações
  • ANC Pelayanan
    ANC Pelayanan
    Documento22 páginas
    ANC Pelayanan
    Rina Chairunnisa
    Ainda não há avaliações
  • Hubungan Hukum Dokter Pasien
    Hubungan Hukum Dokter Pasien
    Documento24 páginas
    Hubungan Hukum Dokter Pasien
    Andika Adiputra Thehumury
    Ainda não há avaliações
  • PROGRAM Puskesmas
    PROGRAM Puskesmas
    Documento2 páginas
    PROGRAM Puskesmas
    Rina Chairunnisa
    Ainda não há avaliações