Você está na página 1de 142

KUALITAS HIDUP PADA PENDERITA GAGALGINJAL

KRONIK YANG MENJALANI TERAPI HEMODIALISIS


DI RSUDdr.SOEDIRAN MANGUN SUMARSO
KABUPATEN WONOGIRI

SKRIPSI
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Ujian Guna Mencapai Gelar Sarjana Keperawatan

Oleh :
Dewi Putri Mardyaningsih
NIM. S10011

PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN


STIKES KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2014

ii

SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini :


Nama : Dewi Putri Mardyaningsih
NIM

: S10011

Dengan ini saya menyatakan bahwa :


1) Karya tulis saya, skripsi ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk
mendapatkan gelar akademik (Sarjana), baik di STIKes Kusuma Husada
Surakarta maupun perguruan tinggi lain.
2) Karya tulis ini adalah murni gagasan, rumusan dan penelitian saya sendiri,
tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan Tim Pembimbing dan masukan dari
Tim Penguji.
3) Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis
atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas
dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang
dan dicantumkan dalam daftar pustaka.
4) Pernyataan ini saya buat sesungguhnya dan apabila di kemudian hari terdapat
penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia
menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh
karena karya ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang berlaku di
perguruan tinggi.

Surakarta, Juli 2014


Yang membuat pernyataan,

Dewi Putri Mardyaningsih


NIM. S10011

iii

KATA PENGANTAR

Puji Syukur Kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat, hidayah serta
karuniaNya, peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Kualitas Hidup
Pada Penderita Gagal Ginjal Kronik Yang Menjalani Terapi Hemodialisis di
RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri. Dalam penyusunan
skripsi ini, penulis mendapat bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak.
Penulis menyadari tanpa adanya bimbingan dan dukungan maka kurang sempurna
penyelesaian skripsi ini. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1.

Ibu Dra. Agnes Sri Harti, MSi. selaku ketua STIKes Kusuma Husada
Surakarta

2.

Ibu Wahyu Rima Agustin, S.Kep.,Ns. M.Kep, selaku Pembimbing Utama dan
Kepala Program Studi S-1 Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta
yang telah memberikan banyak masukan dan bimbingan serta arahan dalam
penyusunan skripsi ini.

3.

Ibu Ariyani, S.Kep.,Ns. M.Kes, selaku Pembimbing Pendamping yang telah


memberikan banyak masukan, bimbingan serta arahan dalam penyusunan
skripsi ini.

4.

Ibu Wahyuningsih Safitri, S.Kep.,Ns. M.Kep, selaku Penguji yang telah


memberikan banyak masukan, bimbingan serta arahan dalam penyusunan
skripsi ini.

5.

Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr.Soediran Mangun Sumarso


Kabupaten Wonogiri yang telah memberikan izin kepada peneliti untuk
melakukan penelitian.
iv

6.

Bapak Waluyo, selaku kepala ruang Unit Hemodialisis RSUD dr.Soediran


Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri yang telah membantu dan
mengarahkan peneliti dalam proses penelitian.

7.

Seluruh staf pengajar dan akademik Prodi S-1 Keperawatan STIKes Kusuma
Husada Surakarta yang telah membantu penulis.

8.

Bapak Sobirin dan Ibu Maryati, Bapak dan Ibuku tercinta yang selalu
mengajarkan arti kesabaran dan kekuatan, yang tak henti hentinya
mendoakan dan selalu memberikan motivasi serta dukungan terbesar kepada
penulis. Sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan maksimal.
Skripsi ini penulis persembahkan untuk Bapak dan Ibu tercinta, meskipun
belum sebanding dengan pengorbanan dan perjuangan Bapak dan Ibu dalam
merawat dan membesarkan penulis.

9.

Adik tercinta Retno Mardyanti atas doa dan motivasi yang selalu diberikan
kepada penulis dan telah berjuang bersama sama dalam membahagiakan
dan membanggakan Bapak dan Ibu tercinta.

10. Kakek, nenek serta saudara saudara yang terkasih atas doa dan motivasi
yang diberikan kepada penulis.
11. Teman teman kost Matic dan kost Mawar Berduri yang telah memberikan
dukungan, semangat dan motivasi kepada penulis serta telah berjuang
bersama sama dalam penyelesaian skripsi.
12. Teman teman seperjuangan dan seangkatan (S10) Prodi S-1 Keperawatan
STIKes Kusuma Husada Surakarta yang tak pernah berhenti memberikan

dukungan kepada penulis dan telah berjuang bersama dalam penyelesaian


skripsi.
13. Seluruh partisipan yang telah berkenan menjadi partisipan dalam penelitian
ini dan telah membantu peneliti dalam memberikan informasi.
14. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu dalam penyusunan
skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak terlepas dari kekurangan, untuk itu
penulis mengharapkan kritik, saran dan masukan dari berbagai pihak. Semoga
penelitian ini dapat memberikan manfaat.

Surakarta,

Juli 2014

Penulis

vi

DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN

ii

SURAT PERNYATAAN

iii

KATA PENGANTAR

iv

DAFTAR ISI

vii

DAFTAR TABEL

xi

DAFTAR SKEMA

xii

DAFTAR LAMPIRAN

xiii

DAFTAR SINGKATAN

xiv

ABSTRAK
ABSTRACT
BAB I

BAB II

PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang

1.2.Rumusan Masalah

1.3.Tujuan

1.4. Manfaat Penelitian

10

1.5.Keaslian Penelitian

11

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Penyakit Gagal Ginjal Kronik
2.1.1. Pengertian

14
14

vii

2.1.2. Etiologi

15

2.1.3. Manifestasi Klinis

15

2.1.4. Patofisiologi

16

2.1.5. Klasifikasi

18

2.1.6. Penatalaksanaan

18

2.1.7. Pemeriksaan Penunjang

19

2.2. Hemodialisis

20

2.2.1. Pengertian

20

2.2.2. Tujuan

20

2.2.3. Indikasi Hemodialisis

21

2.2.4. Adekuasi Hemodialisis

21

2.2.5. Peran Perawat Hemodialisis

22

2.3. Kualitas Hidup

BAB III

25

2.3.1. Pengertian

25

2.3.2. Model Konsep Kualitas Hidup

26

2.3.3. Dampak Hemodialisis terhadap kualitas hidup

28

2.3.4. Status fungsional

32

METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Fokus Penelitian

36

3.2. Desain Penelitian

37

3.3. Tempat dan Waktu Penelitian

38

3.4. Populasi dan Sampel

39

viii

3.5. Pengumpulan Data

BAB IV

41

3.5.1. Cara Pengumpulan Data

41

3.5.2. Alat Pengumpul Data

42

3.5.3. Tahap Pengumpul Data

42

3.6. Analisa Data

46

3.7. Validitas dan Reliabilitas

47

3.8. Etika Penelitian

49

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


4.1. Gambaran Tempat Penelitian

50

4.2. Gambaran Karakteristik Partisipan

51

4.3. Hasil Penelitian

72

4.3.1. Tema dari Dimensi Fisik

72

4.3.2. Tema dari Dimensi Psikologis

81

4.3.3. Tema dari Dimensi Hubungan sosial

87

4.3.4. Tema dari Dimensi Lingkungan

90

4.4. Pembahasan

94

4.4.1. Dimensi Fisik

94

4.4.2. Dimensi Psikologis

108

4.4.3. Dimensi Hubungan sosial

110

4.4.4. Dimensi Lingkungan

115

4.5. Keterbatasan Penelitian

ix

117

BAB V

PENUTUP
5.1. Kesimpulan

119

5.2. Saran

120

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1.1 Keaslian Penelitian ..................................................................... 12
Tabel 2.1 Klasifikasi GGK berdasarkan derajat penyakit .......................... 18

xi

DAFTARSKEMA
Halaman
Skema 2.1 Skala Pengukuran kualitas hidup menurut WHOQOL-Bref ..... 28
Skema 3.1 Fokus Penelitian .........................................................................

xii

36

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1

: F-1 Usulan topik penelitian

Lampiran 2

: F-2 Pengajuan persetujuan judul

Lampiran 3

: F-4 Pengajuan izin studi pendahuluan

Lampiran 4

: Surat izin studi pendahuluan

Lampiran 5

: Surat Rekomendasi Kesbangpol Wonogiri

Lampiran 6

: Surat pengantar RSUD dr.Soediran Mangun Sumarso Wonogiri

Lampiran 7

: F-7 Pengajuan surat penelitian

Lampiran 8

: Surat izin penelitian

Lampiran 9

: Surat rekomendasi Kesbangpol Wonogiri

Lampiran 10 : Surat pengantar RSUD dr.Soediran Mangun Sumarso Wonogiri


Lampiran 11 : Surat pernyataan selesai penelitian
Lampiran 12 : Surat permohonan menjadi partisipan
Lampiran 13 : Persetujuan menjadi partisipan
Lampiran 14 : Pedoman wawancara
Lampiran 15 : Jadwal penelitian
Lampiran 16 : Lembar biodata partisipan
Lampiran 17 : Lembar konsultasi
Lampiran 18 : Transkrip wawancara
Lampiran 19 : Tema tema
Lampiran 20 : Kata kunci dan makna - makna

xiii

DAFTAR SINGKATAN

AVF

: Akses Vaskular Fistula

Av-Shunt

: Akses Vaskular-Shunt

BAK

: Buang Air Kecil

BUN

: Blood Urea Nitrogen

CKD

: Chronic Kidney Disease

CRF

: Chronic Renal Failure

ESRD

: End Stage Renal Disease

ESRF

: End Stage Renal Failure

FGD

: Focus Group Discussion

GGK

: Gagal ginjal kronik

GFR

: Glomerulus Filtration Rate

HB

: Hemoglobin

HD

: Hemodialisis

ICU

: Intensive Care Unit

LFG

: Laju Filtrasi Glomerulus

Ml

: Mili Liter

Mg

: Mili Gram

NKF

: The National Kidney Foundation

PH

: Pangkat Hidrogen

QB

: Quick Of Blood

RSUD

: Rumah Sakit Umum Daerah

xiv

SD

: Sekolah Dasar

USRDS

: The United States Renal Data System

WHO

: World Health Organization

WHOQoL

: World Health Organization Quality of Life

YGDI

: Yayasan Ginjal Diatrans Indonesia

xv

PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN


STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA
2014
Dewi Putri Mardyaningsih
Kualitas Hidup Pada Penderita Gagal Ginjal Kronik Yang Menjalani Terapi
Hemodialisis di RSUD dr.Soediran Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri
Abstrak

Penyakit
ginjalmencakup
berbagaipenyakit
dan
gangguan
yangmempengaruhi ginjal. Jika penyakit ginjal tidak segera diobati dan ditangani
maka akan terjadi gagal ginjal. Gagal ginjal akan mengakibatkan terganggunya
kualitas hidup penderita. Hemodialisis merupakan tindakan pengganti fungsi
ginjal untuk mengeluarkan sisa metabolisme.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas hidup penderita gagal
ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis di RSUD dr.Soediran Mangun
Sumarso Kabupaten Wonogiri. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif
dengan pendekatan fenomenologis. Data diperoleh dari wawancara mendalam
terhadap 5 partisipan yang menjalani terapi hemodialisis satu tahun terakhir. Data
dianalisa menggunakan metode Colaizzi. Kemudian data dianalisa dan didapatkan
kata kunci, makna makna dan tema tema. Hasil penelitian didapatkan
beberapa tema. (1) Tema dimensi fisik : (a) kelemahan fisik; (b) sesak nafas; (c)
BAK tidak lampias; (d) kulit hitam; (e) kualitas tidur dan (f) perubahan pola
nutrisi. (2) Tema dimensi psikologis : (a) perasaan positif dan (b) perasaan
negatif. (3)Tema dimensi hubungan sosial : (a) kurang bersosialisasi; (b) disfungsi
seksual dan (c) butuh dukungan. (4) Tema dimensi lingkungan : (a) perubahan
status ekonomi; (b) butuh informasi dan (c) puas dengan akses kesehatan dan
transportasi.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi pihak
rumah sakit khususnya pelayanan hemodialisis untuk lebih meningkatkan asuhan
keperawatan yang menyeluruh terhadap penderita gagal ginjal.
Kata Kunci : Gagal Ginjal Kronik, Kualitas Hidup, Hemodialisis
Daftar Pustaka : 42 (2001-2013)

xvi

BACHELOR DEGREE PROGRAM IN NURSING SCIENCE


KUSUMA HUSADA SCHOOL OF HEALTH OF SURAKARTA
2014

Dewi Putri Mardyaningsih


Life Quality of Chronic Renal Failure Clients Undergoing Hemodialysis
Therapy at dr. Soediran Mangun Sumarso Local General Hospital of
Wonogiri Regency
Abstract

Kidney disease includes various diseases and disorders that affect kidneys.
If the kidney disease is not immediately medicated and handled, the renal failure
will occur. The renal failure will disrupt the life quality of its sufferer.
Hemodialysis is an intervention to substitute the renal functions to discharge the
wastes of metabolism.
The objective of this research is to investigate the life quality of chronic
renal failure clients undergoing hemodialysis therapy at dr.Soediran Mangun
Sumarso Local General Hospital of Wonogiri regency.
This research used the qualitative research method with the
phenomenological approach. The data of the research were were gathered through
in-depth interview to five participants who underwent hemodialysis therapy for
the last one year. The data of the research were analyzed by using the Colaizzi
method.
The result of the research includes several themes as follows: (1) physical
dimension theme which includes (a) physical weakness, (b) difficulty in
breathing, (c) incomplete emptying of the bladder when urinating, (d) black skin,
(e) sleep quality, and (f) nutrition pattern change; (2) psychological dimension
theme which comprises (a) positive feeling and (b) negative feeling; (3) social
relation dimension theme which includes (a) lack of socialization, (b) sexual
dysfunction, and (c) support need; and (4) environmental dimension theme which
covers (a) economic status change, (b) information need, and (c) satisfaction to
health access and transportation.
The result of this research is expected to provide information to the
hospital particularly to the department which provides hemodialysis services to
improve nursing care thoroughly for the sufferers of renal failure.
Keywords: Chronic renal failure, life quality, and Hemodialysis
References: 42 (2001-2013)

xvii

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Penyakit ginjal mencakup berbagai penyakit dan gangguan yang
mempengaruhi ginjal. Sebagian besar penyakit ginjal menyerang unit
penyaringan ginjal, nefron dan merusak kemampuan untuk menghilangkan
limbah dan kelebihan cairan (Corrigan 2011). Jika penyakit ginjal tidak
segera diobati dan ditangani maka kemungkinan akan terjadi gagal ginjal.
Gagal ginjal merupakan akibat dari beberapa penyakit ginjal yang sudah
menahun. Disebut gagal ginjal akut jika kurang dari tiga bulan dan gagal
ginjal kronik jika lebih dari tiga bulan.
The National Kidney Foundation (2002) mendefinisikan gagal ginjal
kronik sebagai adanya kerusakan ginjal, atau menurunnya tingkat fungsi
ginjal untuk jangka waktu tiga bulan atau lebih. Hal ini dapat dibagi lagi
menjadi 5 tahap, tergantung pada tingkat keparahan kerusakan ginjal dan
tingkat penurunan fungsi ginjal. Tahap 5 Chronic Kidney Disease (CKD)
disebut sebagai stadium akhir penyakit ginjal / gagal ginjal (End Stage Renal
Disease / End Stage Renal Failure). Tahap ini merupakan akhir dari fungsi
ginjal. Ginjal bekerja kurang dari 15% dari normal (Corrigan 2011)
Kasus gagal ginjal kronik laporan The United States Renal Data
System (USRDS 2013) menunjukkan prevalensi rate penderita penyakit
ginjal kronik di Amerika Serikat pada tahun 2011 sebesar 1.901 per 1 juta

penduduk. Treatment of End-Stage Organ Failure in Canada, 2000 sampai


2009 menyebutkan bahwa hampir 38.000 warga Kanada hidup dengan
penyakit gagal ginjal kronik dan telah meningkat hampir 3x lipat dari tahun
1990, dari jumlah tersebut 59% (22.300) telah menjalani hemodialisis dan
sebanyak 3000 orang berada dijadwal tunggu untuk transplantasi ginjal
(Corrigan 2011).

Sedangkan di Indonesia setiap tahunnya cukup tinggi,

mencapai 200250/1 juta penduduk. Di RSUD Ulin Banjarmasin Kalimantan


Timur, prevalensi penderita gagal ginjal kronik mencapai 192 pasien pada
bulan Desember 2011 (Rahman 2013). Gagal ginjal kronik menjadi masalah
besar dunia karena sulit disembuhkan, biaya perawatan dan pengobatannya
yang terhitung mahal (Supriyadi 2011).
Ada beberapa treatment untuk menghadapi kasus gagal ginjal kronik.
Saat ini ada tiga terapi modalitas pengobatan yang tersedia untuk gagal ginjal
kronik yang telah mencapai derajat V (End Stage Renal Disease) yaitu
hemodialisis, peritoneal dialisis dan transplantasi ginjal (Corrigan 2011).
Terbatasnya jumlah donor ginjal yang tersedia untuk transplantasi, dialisis
(hemodialisis dan peritoneal dialisis) cenderung menjadi metode yang paling
umum dari pengobatan (Corrigan 2011). Menurut USRDS (2013) pada tahun
2011, jumlah pasien baru yang memulai hemodialisis mulai turun sebanyak
1,5%, total kejadian pasien yang menjalani dialisis adalah sebanyak 112.788
orang, sementara 2,855 orang telah menerima dan melakukan transplantasi,
total dari semua pasien yang menjalani terapi pada end stage renal disease
pada tahun 2011adalah sebanyak 115,643 orang. Sedangkan di RSUD dr.

Soediran Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri yang menjalani terapi


hemodialisis mencapai 40 orang.
Hemodialisis adalah suatu bentuk tindakan pertolongan dengan
menggunakan alat yaitu dializer yang bertujuan untuk menyaring dan
membuang sisa produk metabolisme toksik yang seharusnya dibuang oleh
ginjal. Hemodialisis merupakan terapi utama selain transplantasi ginjal pada
orang- orang dengan gagal ginjal kronik (Rahman 2013).
Studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 30 November 2013
melalui wawancara dengan kepala ruang Unit Hemodialisis RSUD Wonogiri
yaitu Bp. Waluyo menyatakan bahwa ruang hemodialisis RSUD Wonogiri
memiliki kapasitas 6 tempat tidur dengan 2 shift pagi dan siang hari yang
berdiri 2 tahun terakhir, dengan jumlah perawat 5 orang. Shift pagi dan siang
selalu penuh dalam satu minggu. Terhitung sebanyak 40 orang yang
menjalani hemodialisis, baik satu minggu satu kali maupun satu minggu dua
kali dan lamanya hemodialisis selama 4 5 jam. Pemeriksaan laboratorium
(ureum, kreatinin, hemoglobin, dll) dilakukan pada saat awal pasien
terdiagnosa penyakit gagal ginjal kronik. Pemeriksaan saat perawatan hanya
pada saat diperlukan ketika pasien mengalami kondisi yang mulai memburuk.
Dari wawancara yang dilakukan kepada 3 pasien yang menjalani
hemodialisis, diapatkan data mengenai dimensi fisik, dimensi psikologi,
dimensi lingkungan dan dimensi sosial.
Data yang diperoleh dari dimensi fisik, semua pasien (3 pasien)
mengungkapkan merasakan nyeri pada seluruh tubuh dan merasa lemas pada

awal penyakitnya. Nyeri dirasakan ketika aktivitas. Semua pasien juga


mengungkapkan ketika dipasang AV Fistula (Akses Vaskular Fistula) akan
merasakan nyeri dan setelah hemodialisis selesai akan merasakan pusing dan
sakit kepala serta lemas yang terkadang mengganggu untuk perjalanan
pulang. Semenjak harus menjalani hemodialisis, aktivitas fisik dari ketiga
pasien akan terganggu dan tidak maksimal seperti dahulu sebelum menjalani
hemodialisis. Dua pasien yang baru menjalani hemodialisis selama 1 bulan
harus istirahat total dan tidak bekerja, namun teman kerjanya sudah bisa
mengerti, kemudian 1 pasien yang sudah menjalani hemodialisis selama 1
tahun dapat melakukan pekerjaan rumah tangga secara mandiri. Ketiga pasien
mengungkapkan tidak dapat pergi jauh dan berlama lama karena mereka
mempunyai jadwal hemodialisis yang tidak mungkin untuk ditinggalkan.
Ketiga pasien mengalami nutrisi yang tidak adekuat dikarenakan setelah
hemodialisis mengalami mual dan muntah. Satu pasien mengatakan setelah
dilakukan hemodialisis keadaan tubuhnya semakin membaik dalam satu
minggu setelahnya. Satu pasien menyebutkan mengalami gangguan tidur satu
hari menjelang hemodialisis.
Data yang diperoleh dari dimensi psikologi, 2 pasien mengatakan
bahwa pada awal didiagnosa gagal ginjal dan harus menjalani hemodialisis,
mereka selalu berfikir negatif tentang hidupnya, seperti (kenapa saya sakit
seperti ini, padahal saya masih muda?). Satu pasien mengatakan bahwa
dirinya sudah menerima kondisinya semenjak awal diagnosa. Ketiga pasien
memiliki harga diri yang positif seperti mereka dapat dihargai oleh orang lain.

Ketiga pasien saat ini menerima kondisinya karena memang sudah jalan yang
ditentukan Tuhan, ini membuat mereka semakin mendekatkan diri kepada
Tuhan. Namun 2 pasien mengatakan, bahwa dirinya merasa sehat dan tidak
perlu dilakukan hemodialisis lagi.
Data yang diperoleh dari dimensi hubungan sosial, ketiga pasien
mengatakan masih dapat berhubungan dengan orang lain secara baik. Satu
pasien mengatakan teman kantor sudah dapat menerima kondisi saat ini dan
membantu pekerjaannya. Ketiga pasien sudah mendapat dukungan yang
penuh dari beberapa anggota keluarga dan teman. Tiga pasien menyebutkan
tidak dapat berhubungan seksual dengan pasangannya dikarenakan kondisi
saat ini yang tidak memungkinkan.
Data yang diperoleh dari dimensi lingkungan, ketiga pasien
mengatakan bahwa pembiayaan hemodialisis ditanggung oleh pemerintah,
mereka terdaftar sebagai peserta jamkesmas. Hanya saja untuk transportasi
harus menggunakan uang sendiri. Pada awalnya 2 pasien belum mengetahui
alur untuk hemodialisis dengan program jamkesmas, kemudian dijelaskan
oleh perawat ruangan. Akses kesehatan yang tidak terlalu jauh dari rumah
membuat ketiga pasien mudah untuk mendapatkan pelayanan hemodialisis
atau pelayanan kesehatan. Hampir dari seluruh kualitas kehidupan pasien
berubah semenjak harus menjalani hemodialisis. Mereka telah mengetahui
hemodialisis akan dilakukan seumur hidupnya.
Kesimpulan yang dapat diambil dari wawancara terhadap 3 orang
pasien adalah ketiga pasien mengalami masalah mengenai hidupnya, hampir

seluruh dari aspek kehidupannya berubah semenjak harus hemodialisis.


Ketiga pasien harus bertahan dengan kondisi saat ini dan sebisa mungkin
tetap beraktivitas.
Hal ini menjadi suatu perhatian khusus, karena penyakit gagal ginjal
kronik akan menimbulkan berbagai macam gangguan lainnya. Pada gagal
ginjal kronik akan terjadi penurunan fungsi ginjal dalam proses eritropoesis
yang dapat menyebabkan anemia, terjadinya hipertensi dan edema yang
berakibat pada penurunan kualitas hidup pasien baik dari segi fisik, mental,
sosial dan lingkungan (Rahman 2013).
Kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi
hemodialisis masih merupakan masalah yang menarik perhatian para
profesional kesehatan. Pasien bisa bertahan hidup dengan menjalani terapi
hemodialisis, namun masih menyisakan sejumlah persoalan penting sebagai
dampak

dari

terapi

hemodialisis.

Hemodialisis

bertujuan

untuk

mempertahankan kualitas hidup penderita (Brunner & Suddart 2002).


Mencapai kualitas hidup perlu perubahan secara fundamental atas cara
pandang pasien terhadap penyakit gagal ginjal kronik itu sendiri (Togatorop
2011).
World Health Organization (WHO) menjelaskan bahwa sehat tidak
hanya terbebas dari penyakit dan kelemahan, tetapi juga terdapatnya
kesejahteraan fisik, mental dan sosial. Halhal tersebut merupakan hal yang
menjadi masalah pada pasien dengan gagal ginjal kronik karena pada

penyakit tersebut terjadi penurunan kualitas hidup yang meliputi aspek aspek tersebut (Lacson 2010).
World Health OrganizationQuality of Life mengemukakankualitas
hidup adalah persepsi individu dalam kemampuan, keterbatasan, gejala serta
sifat psikososial hidupnya dalam konteks budaya dan sistem nilai untuk
menjalankan peran dan fungsinya (WHOQoL dikutip dalam Nurchayati
2010). Perubahan fisik yang berasal dari gagal ginjal kronik yang sudah
mencapai stage V tidak hanya terbatas pada sistem ginjal. Sistem tubuh lain
juga dapat dipengaruhi dan menyebabkan penurunan status kesehatan dan
kualitas hidup. Banyak perubahan yang terjadi pada penderita gagal ginjal
kronik yaitu, perubahan fisik, secara terpisah, masing-masing perubahan fisik
memiliki potensi untuk menurunkan kualitas hidup, perubahan psikologi
(Psychological Changes), respon psikologis pasien terhadap penyakit dapat
bervariasi dan sering berhubungan dengan kerugian, baik aktual atau
potensial, dan telah disamakan dengan proses kesedihan. Salah satu
bentuknya adalah depresi, diketahui bahwa depresi dapat menurunkan respon
kekebalan tubuh, dan untuk pasien dengan gagal ginjal kronik stage V
penambahan depresi ke dalam pikirannya dapat semakin memperburuk
keadaan (Tallis 2005).
Selain perubahan pada fisik dan psikologis, Tallis juga menyebutkan
pada penyakit gagal ginjal kronik akan mengalami perubahan sosial (social
changes), nutrisi merupakan komponen penting dan utama dalam kehidupan
setiap orang. Untuk orang dengan gagal ginjal kronik pentingnya gizi

mengingat dampak negatif dari manajemen diet yang buruk. Efek samping
tersebut termasuk hiperkalemia, hiperfosfatemia, protein yang berhubungan
dengan kekurangan gizi dan kelebihan cairan. Sebagian besar dari interaksi
sosial antara orang melibatkan makan dan minum sehingga tidak jarang untuk
pasien dengan gagal ginjal kronik untuk mengurangi keterlibatan sosial
mereka karena pembatasan makanan dan cairan yang ketat (Tallis 2005).
Hasil penelitian Kusumawardani (2009) menunjukkan bahwa terdapat
hubungan antara karakteristik individu dengan kualitas hidup dimensi fisik
pasien gagal ginjal kronik di Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarang. Hal ini
menunjukkan semakin tinggi karakteristik seseorang maka akan semakin baik
pula kualitas hidupnya. Karakteristik seseorang sangat mempengaruhi pola
kehidupan seseorang, karakteristik bisa dilihat dari beberapa sudut pandang
diantaranya umur, jenis kelamin dan tingkat pendidikan seseorang, disamping
itu keseriusan seseorang dalam menjaga kesehatannya sangat mempengaruhi
kualitas kehidupannya baik dalam beraktivitas, istirahat, ataupun secara
psikologis. Banyak orang yang beranggapan bahwa orang terkena penyakit
gagal ginjal akan mengalami penurunan dalam kehidupannya.
Sebagai care provider dan pemberi layanan kepada pasien maka
perawat khusunya spesialis hemodialisis berperan dalam meningkatkan
kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik, yaitu dalam ranah primer, sekunder
dan tersier. Perawat berperan dalam memberikan edukasi kepada pasien
tentang penyakit, prognosis serta perawatannya, sehingga penyakit ginjal

tidak mengalami progesifitas dan menyebabkan komplikasi serta kematian


(World Kidney Day dikutip dalam Nurchayati 2010).
Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
mengenai kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik yang sedang menjalani
terapi hemodialisis.

1.2. RUMUSAN MASALAH


Berdasarkan latar belakang diatas dan fenomena yang muncul
mengenai kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik yang sedang menjalani
terapi hemodialisis, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
bagaimana kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik yang sedang menjalani
terapi hemodialisis ditinjau dari berbagai dimensi kehidupan ?

1.3. TUJUAN PENELITIAN


1.3.1. Tujuan Umum
Penelitian ini memiliki tujuan umum yaitu untuk menjelaskan kualitas
hidup pasien gagal ginjal kronik yang sedang menjalani terapi
hemodialisis.
1.3.2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah :
1. Menganalisa kualitas hidup pasien dilihat dari dimensi kesehatan
fisik.

10

2. Menganalisa kualitas hidup pasien dilihat dari dimensi kesehatan


psikologis.
3. Menganalisa kualitas hidup pasien dilihat dari dimensi hubungan
sosial.
4. Menganalisa kualitas hidup pasien dilihat dari dimensi lingkungan.

1.4. MANFAAT PENELITIAN


Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat bagi :
1.4.1. Institusi keperawatan / rumah sakit
1. Dapat

menambah

wawasan

perawat

tentang

pentingnya

mengetahui kualitas hidup klien gagal ginjal kronik

yang

menjalani hemodialisis dengan ranah tindakan memberikan


pendidikan mengenai awal diagnosis, terapi rutin hemodialisis dan
pemberian motivasi.
2. Memberikan pengetahuan dan dapat diaplikasikan dalam praktik
layanan keperawatan kepada klien khusunya gagal ginjal kronik
yang menjalani terapi hemodialisis.
1.4.2. Ilmu keperawatan
1. Mengembangkan intervensi keperawatan bagi pasien gagal ginjal
kronik yang memiliki semangat dan motivasi rendah untuk bisa
menerima kondisinya.

11

2. Mengembangkan intervensi keperawatan pemberian pendidikan


mengenai kualitas hidup bahwa pasien gagal ginjal dengan terapi
hemodialisis dapat bertahan hidup lebih panjang.
1.4.3. Bagi institusi pendidikan keperawatan
1. Dapat dijadikan kepustakaan mengenai kualitas hidup pasien gagal
ginjal kronik yang sedang menjalani hemodialisis.
2. Dapat dijadikan acuhan bagi penelitian selanjutnya.
1.4.4. Bagi peneliti lain
Dapat dijadikan penelitian selanjutnya mengenai penderita gagal
ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis terutama di Rumah
Sakit Umum Daerah (RSUD) dr.Soediran Mangun Sumarso
Kabupaten Wonogiri.
1.4.5. Bagi peneliti
Menambah wawasan ilmu pengetahuan mengenai penderita penyakit
gagal ginjal kronik yang sedang menjalani terapi hemodialisis

1.5. KEASLIAN PENELITIAN


Penelitian ini difokuskan pada kualitas hidup penderita gagal ginjal
kronik yang sedang menjalani terapi hemodialisis dengan menekankan aspek
dan dimensi dari kualitas hidup penderita gagal ginjal kronik.

12

Tabel 1.1
Keaslian Penelitian
Nama
Peneliti
Sofiana
Nurchayati
(2010)

I Gusti Ayu
Puja Astuti
Dewi
(2010)

Judul
Penelitian
Faktor faktor
yang
berhubungan
dengan
kualitas hidup
pasien
penyakit gagal
ginjal kronik
yang menjalani
hemodislisis di
Rumah Sakit
Islam Fatimah
Cilacap
dan
Rumah Sakit
Umum Daerah
Banyumas

Metode
Penelitian
Deskriptif
korelasi
dengan
pendekatan
cross
sectional
study.

Hubungan
antara Quick of
Blood
(QB)
dengan
adekuasi
hemodialisis
pada
pasien
yang menjalani
terapi

Kuantitatif
dengan
pendekatan
cross
sectional
study.

Hasil
Penelitian
Kualitas hidup
penderita tidak
berhubungan
dengan usia,
jenis kelamin,
pendidikan,
pekerjaan,
anemia,
adekuasi
hemodialisis
dan
akses
vaskular; lama
hemodialisis
berhubungan
dengan
kualitas hidup
artinya
responden
yang
belum
lama menjalani
hemodialisis
beresiko
2.6
kali hidupnya
kurang
berkualitas;
faktor dominan
yang
berhubungan
dengan
kualitas hidup
adalah tekanan
darah.
Tidak
ada
hubungan yang
bermakna
antara
Qb
dengan
adekuasi
hemodialisis
menggunakan
rumus

Penelitian
Sekarang
Judul
:
Kualitas hidup
pada penderita
gagal
ginjal
kronik
yang
menjalani
terapi
hemodialisis di
RSUD
dr.Soediran
Mangun
Sumarso
Kabupaten
Wonogiri.
Metode
:
Kualitatif
dengan
pendekatan
fenomenologis

Judul
:
Kualitas hidup
pada penderita
gagal
ginjal
kronik
yang
menjalani
terapi
hemodialisis di
RSUD

13

hemodialisis di
ruang
HD
BRSU Dareah
Tabanan Bali

Aditya
Rizky Arief
Rahman
(2013)

Hubungan
antara
adekuasi
hemodialisis
dan
kualitas
hidup pasien di
RSUD
Ulin
Banjarmasin.

Kuantitatif
dengan
pendekatan
cross
sectional.

penghitungan
Kt/V
dan
URR.
Dari
variabel
perancu, hanya
jenis kelamin
yang memiliki
hubungan
bermakna
dengan
adekuasi
hemodialisis.
Nilai adekuasi
yang adekuat
yaitu 22,72%
dan
pasien
yang memiliki
nilai adekuasi
yang inadekuat
adalah sebesar
77,28%. nilai
kualitas
kesehatan fisik
(PCS) pasien
memiliki
proporsi nilai
yang
terdiri
atas
kualitas
fisik
rendah
43,3%,
kualitas fisik
sedang 47,8%,
kualitas fisik
baik 9 %; nilai
kualitas
kesehatan
mental (MCS)
pasien
memiliki
proporsi nilai
yang
terdiri
atas
kualitas
mental rendah
20,5 %

dr.Soediran
Mangun
Sumarso
Kabupaten
Wonogiri
Metode
:
Kualitatif
dengan
pendekatan
fenomenologis
Judul
:
Kualitas hidup
pada penderita
gagal
ginjal
kronik
yang
menjalani
terapi
hemodialisis di
RSUD
dr.Soediran
Mangun
Sumarso
Kabupaten
Wonogiri
Metode
:
Kualitatif
dengan
pendekatan
fenomenologis

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. KONSEP PENYAKIT GAGAL GINJAL KRONIK


2.1.1. Pengertian
Gagal ginjal kronik (chronic kidney disease) adalah destruksi
struktur ginjal yang progresif dan terus menerus. Gagal ginjal kronik dapat
timbul dari hampir semua penyakit penyerta, akan terjadi perburukan
fungsi ginjal secara progresif yang ditandai dengan penurunan laju filtrasi
glomerulus (LFG) yang progresif (Corwin 2009).
The National Kidney Foundation (2002) mendefinisikan gagal ginjal
kronik sebagai adanya kerusakan ginjal, atau menurunnya tingkat fungsi
ginjal untuk jangka waktu tiga bulan atau lebih. Gagal ginjal kronik ini
dapat dibagi lagi menjadi 5 tahap, tergantung pada tingkat keparahan
kerusakan ginjal dan tingkat penurunan fungsi ginjal. Tahap 5 Chronic
Kidney Disease (CKD) disebut sebagai stadium akhir penyakit ginjal (end
stage renal disease / end stage renal failure). Tahap ini merupakan akhir
dari fungsi ginjal. Ginjal bekerja kurang dari 15% dari normal (Corrigan
2011).
Chronic Renal Failure (CRF) atau gagal ginjal kronik adalah
kerusakan ginjal yang irreversibel yang diakibatkan karena berbagai

14

15

macam cidera pada ginjal yang mengakibatkan sindrom klinis yang


disebut uremia (Emanuelsen & Rosenlicht 2010).
Gagal ginjal kronik (GGK) yang mulai perlu dialisis adalah penyakit
ginjal kronik yang mengalami penurunan fungsi ginjal dengan laju filtrasi
glomerulus (LFG) <15 mL/menit. Pada keadaan ini fungsi ginjal sudah
sangat menurun sehingga terjadi akumulasi toksin dalam tubuh yang
disebut dengan uremia. Pada keadaa uremia dibutuhkan terapi pengganti
ginjal untuk mengambil alih fungsi ginjal dalam mengeliminasi toksin
tubuh sehingga tidak terjadi gejala yang lebih berat (Cahyaningsih 2008).
2.1.2. Etiologi
Beberapa penyakit yang dapat merusak nefron dapat mengakibatkan
gagal ginjal yang kronik. Penyebab utama penyakit gagal ginjal kronik
adalah

diabetes

melitus

yaitu

sebesar

30%,

hipertensi

24%,

glomerulonhepritis 17%, chronic pyelonephritis 5% dan yang terakhir


tidak diketahui penyebabnya sebesar 20% (Milner 2003).
2.1.3. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala pada pasien gagal ginjal kronik dapat
diklasifikasikan sesuai dengan derajatnya. Berikut adalah tanda dan gejala
gagal ginjal kronik (Black & Hawks dikutip dalam Nurchayati 2010) :
1. Derajat I
Pasien dengan tekanan darah normal, tanpa abnormalitas hasil tes
laboratorium dan tanpa manifestasi klinis

16

2. Derajat II
Umumnya

asimptomatik,

berkembang

menjadi

hipertensi

dan

munculnya nilai laboratorium yang abnormal.


3. Derajat III
Asimptomatik, nilai laboratorium menandakan adanya abnormalitas
pada beberapa sistem organ.
4. Derajat IV
Munculnya manifestasi klinis penyakit ginjal kronik berupa kelelahan
dan penurunan rangsangan.
5. Derajat V
Peningkatan Blood Urea Nitrogen (BUN) dan anemia.
2.1.4. Patofisiologi
Patofisiologi pada gagal ginjal kronik tergantung dari penyakit yang
menyebabkannya. Pada awal perjalanannya, keseimbangan cairan dan
penimbunan produksi sisa masih bervariasi dan bergantung pada bagian
ginjal yang sakit. Sampai fungsi ginjal turun kurang dari 25%, manifestasi
gagal ginjal kronik mungkin minimal karena nefron nefron lain yang
sehat mengambil alih fungsi nefron yang rusak.
Nefron yang rusak meningkatkan laju filtrasi, reabsorbsi dan
sekresinya serta mengalami hipertrofi dalam proses tersebut. Seiring
dengan semakin banyaknya nefron yang mati, nefron yang tersisa
menghadapi tugas yang semakin berat, sehingga nefron nefron tersebut
menglami kerusakan dan akhirnya mati. Siklus kematian ini tampaknya

17

berkaitan dengan nefron nefron yang ada untuk meningkatkan reabsorbsi


protein. Seiring dengan progesif penuyusutan dari nefron, akan terjadi
pembentukan jaringan parut dan penurunan aliran darah ke ginjal (Corwin
2009).
Proses kegagalan ginjal selanjutnya masuk ketahap insufisiensi
ginjal. Sisa akhir metabolisme mulai terakumulasi dalam darah sebab
nefron sehat yang tersisa tidak cukup untuk mengkompensasi nefron yang
tidak berfungsi, yang akan mengakibatkan tertimbunnya produk sisa
metabolisme di dalam darah yang tidak dapat dikeluarkan oleh ginjal akan
menggangu kerja dari sistem tubuh lainnya. Kerja sistem tubuh yang
terganggu meliputi sistem gastrointestinal, integumen, hematologi, syaraf
dan otot, kardiovaskuler serta endokrin. Pasien gagal ginjal kronik sering
menunjukkan manifestasi klinis berbagai keadaan patologis disfungsi
organ baik yang disebabkan oleh penyakit primer (diabetes melitus) dan
efek patologis intrinsik uremia atau keduanya (Milner 2003).
Uremia

mengacu

pada

banyak

efek

yang

dihasilkan

dari

ketidakmampuan untuk mengekskresikan produk dari metabolisme protein


dan asam amino. Beberapa produk metabolisme tertentu menyebabkan
disfungsi organ (Milner 2003). Efek multiorgan uremia juga disebabkan
oleh gangguan dari berbagai metabolisme dan fungsi endokrin yang
biasanya dilakukan oleh ginjal (Milner 2003).
Dari urutan kejadian diatas akan menimbulkan berbagai manifestasi
klinis dan komplikasi pada seluruh sistem tubuh. Semakin banyak

18

tertimbun sisa akhir metabolisme, maka gejala akan semakin berat. Klien
akan merasa kesulitan dalam menjalani aktivitas sehari hari akibat
timbulnya berbagai macam manifestasi klinis tersebut. Beberapa
komplikasi yang ditimbulkan akan berpengaruh buruk terhadap kualitas
hidup (Corwin 2009).
2.1.5. Klasifikasi
Klasifikasi gagal ginjal kronik dapat dibedakan seperti dibawah ini :

Tabel 2.1
Klasifikasi gagal ginjal kronik menurut derajat penyakit
Derajat

Deskripsi

Kerusakan ginjal
dengan
GFR
normal
Kerusakan ginjal
dengan penurunan
GFR ringan
Penurunan GFR
tingkat sedang
Penuruna
GFR
tingkat berat
Gagal ginjal

II

III
IV
V

Nama lain

risiko

GFR
(ml/menit/1,73m2)
>90

Chronic renal
insufisiensi

60 - 89

Chornic renal
failure (CRF)
CRF

30 - 59

End-stage
renal disease
(ESDR)

15 - 29
<15

Sumber : (Levey et al. 2010)


2.1.6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan gagal ginjal kronik (stage V) adalah untuk
mempertahankan fungsi ginjal dan homeostasis. Penatalaksanaan tersebut
meliputi penanganan konservatif, yaitu :

19

1.

Menghambat perburukan fungsi ginjal / mengurangi hiperfiltrasi


glomerulus dengan diet seperti pembatasan asupan protein dan fosfat.

2.

Terapi farmakologis dan pencegahan serta pengobatan terhadap


komplikasi,

bertujuan mengurangi hipertensi intraglomerulus

dan memperkecil resiko terhadap penyakit kardiovascular seperti


diabetes, hipertensi, dislipidemia, anemia, asidosis, neuropati perifer,
kelebihan cairan dan keseimbangan elektrolit (Price & Wilson 2005).
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada seseorang yang mengidap
penyakit gagal ginjal kronik atau ginjal tahap akhir, yang bertujuan
untuk menghindari komplikasi dan memperpanjang umur pasien.
Terapi pengganti ginjal dibagi menjadi dua, antara lain dialysis
(hemodialisis dan peritoneal dialisis) dan transplantasi ginjal
(Shahgholian et al. 2008).
2.1.7. Pemeriksaan Penunjang
Pada gagal ginjal kronik dapat dilakukan pemeriksaan salah satunya
dengan ultrasonografi gagal ginjal. Ultrasonografi saat ini digunakan
sebagai pemeriksaan rutin dan merupakan pilihan pertama pada penderita
gagal ginjal kronik. Pada gagal ginjal tahap awal ukuran ginjal masih
terbilang normal sedangkan pada gagal ginjal kronik ukuran ginjal pada
umunya mengecil, dengan penipisan parenkim, peninggian ekogenitas
parenkim dan batas kartikomedular yang sudah tidak jelas/mengecil.
Ultrasonografi juga dapat digunakan untuk menilai ukuran serta ada
tidanya obstruksi ginjal (Andika 2003).

20

2.2. HEMODIALISIS
2.2.1. Pengertian
Hemodialisis adalah dialisis yang dilakukan diluar tubuh, darah
dikeluarkan dari tubuh melalui sebuah kateter arteri, kemudian masuk ke
dalam sebuah mesin besar, di dalam mesin tersebut terdapat dua ruang
yang dipisahkan oleh sebuah membran semipermeabel. Darah dimasukkan
ke salah satu ruang, sedangkan ruang yang lain diisi oleh cairan perdialisis
dan diantara keduanya akan terjadi difusi. Darah dikembalikan ke tubuh
melalui sebuah pirau vena. Hemodialisis memerlukan waktu selama 3 5
jam dan dilakukan sekitar 3x dalam seminggu. Pada akhir interval 2 3
hari diantara terapi, keseimbangan garam, air dan pangkat hidrogen (PH)
sudah tidak normal lagi dan penderita biasanya merasa tidak sehat (Corwin
2009).
Price & Wilson (2005) hemodialisis adalah proses dimana terjadi
difusi partikel terlarut (solut) dan air secara pasif melalui satu
kompartemen cair yaitu darah dan menuju kompartemen lainnya yaitu
cairan dyalisat melalui membran semipermeabel dalam dialiser.
2.2.2. Tujuan
Tujuan

dilaksanakannya

terapi

hemodialisis

adalah

untuk

menghilangkan gejala yaitu mengendalikan uremia, kelebihan cairan dan


ketidakseimbangan elektrolit yang terjadi pada pasien penyakit ginjal
tahap akhir. Selain itu, memungkinkan kehidupan untuk dijalani dan

21

memberikan kehidupan yang layak untuk dijalani, tidak hanya menjaga


pasien agar tetap hidup dengan dialisis (Tallis 2005).
2.2.3. Indikasi Hemodialisis
Hemodialisis diindikasikan pada pasien dalam keadaan akut yang
memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa hari hingga beberapa
minggu) atau pasien dengan gagal ginjal tahap akhir yang memerlukan
terapi jangka panjang / permanen (Smeltzer et al. 2008). Secara umum
indikasi dilakukan hemodialisis pada penderita gagal ginjal adalah :
1.

Laju filtrasi glomerulus kurang dari 15ml/menit

2.

Hiperkalemia

3.

Kegagalan terapi konservatif

4.

Kadar ureum lebih dari 200mg/dl

5.

Kreatinin lebih dari 65mEq/L

6.

Kelebihan cairan

7.

Anuria berkepanjangan lebih dari 5 kali.

2.2.4. Adekuasi Hemodialisis


Adekuasi atau kecukupan dosis hemodialisis dicapai setelah proses
hemodialisis selesai selama kurang lebih 5 jam. Adekuasi hemodialisis
tercapai ababila pasien merasa nyaman dan keadaan menjadi lebih baik,
dan dapat menjalani hidup yang lebih panjang meskipun harus dengan
penyakit gagal ginjal kronik.

22

2.2.5. Peran Perawat Hemodialisis


Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang
lain terhadap seseorang, sesuai kedudukannya dalam sebuah sistem dan
dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dari dalam maupun dari luar profesi
keperawatan dan bersifat konstan (Farida 2010). Perawat berperan dalam
meningkatkan kesehatan dan pencegahan penyakit, serta memandang klien
secara komprehensif. Peran perawat adalah sebagai pemberi perawatan,
membuat keputusan klinik, pelindung dan advocad, manajer kasus,
rehabilitator, komunikator, dan pendidik (Potter & Perry 2005). Penyedia
pelayanan yang komprehensif untuk pasien yang membutuhkan perawatan
yang komprehensif telah berkembang menjadi upaya multidisiplin
komplek yang melibatkan perawat (Rajeswari & Sivamani 2010).
Kallenbach (dikutip dalam Dewi 2010) menyatakan bahwa peran
dan fungsi perawat hemodialisis adalah sebagai care provider, educator,
dan researcher. Perawat dapat melaksanakan peran dan fungsinya sebagai
care provider dan educator sesuai dengan tahap proses hemodialisis.
Tahapan tersebut dimulai dari persiapan hemodialisis, pre hemodialisis,
intra hemodialisis dan post hemodialisis.
1. Persiapan Hemodialisis
Tahap ini perawat dapat memberikan edukasi atau pendidikan
kesehatan mengenai penyakit ginjal tahap akhir dan manfaat terapi
hemodialisis. Perawat memberikan dukungan kepada pasien dalam
mengambil keputusan untuk mengikuti terapi hemodialisis dengan

23

memfasilitasi pasien untuk bertemu dan berdiskusi dengan pasien yang


telah mengikuti terapi hemodialisis, selanjutnya perawat memberikan
penjelasan tentang cara pemasangan akses vascular sementara dan
permanen

(kolaborasi

dengan

dokter),

perawatan

akses

dan

penanganan komplikasi akses vascular.


2. Intra Hemodialisis
Peran perawat pada tahap ini yang terpenting adalah penanganan
komplikasi akut yang sering terjadi misalnya hipotensi, hipertensi,
mual muntah, sakit kepala, kejang kram, demam disertai menggigil,
nyeri dada dan gatal gatal. Perawat melakukan kolaborasi dengan tim
dokter. Penanganan komplikasi intra hemodialisis antara lain
pengaturan Quick Blood, pemberian oksigen, pemberian medikasi, dan
pemantauan cairan dialisat.
3. Post Hemodialisis
Tahap ini perawat melakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang seperti pemeriksaan darah lengkap (ureum, kreatinin), dan
elektrolit darah. Perawat dapat memberikan edukasi tentang diet,
intake cairan dan pencapaian berat badan yang ideal selama pasien
dirumah sebelum menjalani terapi hemodialisis selanjutnya. Setelah
selesai hemodialisis pastikan akses tidak terjadi perdarahan sebelum
membiarkan pasien pulang dan melakukan
(Rajeswari & Sivamani 2010)

aktifitas

kembali

24

Perawat dapat menghabiskan waktu dengan pasien sehingga


dengan hal itu pasien akan dapat meningkatkan kualitas hidupnya. Hal
ini tidak hanya cukup untuk memperpanjang umur pasien tetapi juga
penting untuk merehabilitasi pasien sebaik mungkin. Penting bahwa
perawat dapat mengidentifikasi area rejimen pengobatan yang dapat
mempengaruhi kualitas hidup pasien dan mengembangkan strategi
untuk mengurangi kualitas hidup yang negatif (Tallis 2005).
Headley &

Wall

(dikutip

dalam

Farida

2010) praktek

keperawatan hemodialisis merupakan praktik keperawatan lanjutan


yang dilakukan oleh perawat dialisis yang terdiri dari perawat praktisi
dan perawat spesialis klinik dan memiliki sertifikat pelatihan dialisis.
Praktik keperawatan di Indonesia, unit hemodialisis umumnya
diberikan oleh perawat dengan tingkat pendidikan diploma baik yang
sudah mengikuti maupun yang belum mengikuti pelatihan dialisis.
Peran perawat adalah menangani prosedur dialisis seluruhnya dengan
sedikit pengawasan langsung dari dokter.
Perawat memiliki kontak yang paling sering dengan pasien yang
sedang menjalani terapi hemodialisis. Dengan demikian perawat harus
memiliki pegetahuan yang lebih banyak dan menyeluruh tentang
patofisiologi gagal ginjal, mekanik dan aspek dialiser dari hasil yang
diharapkan dan komplikasi hemodialisis khususnya kebutuhan pasien
mengenai hemodialisis. Perawat yang bekerja di unit hemodialisis
dapat

menikmati

banyak

kepuasan

dalam

membantu

pasien

25

hemodialisis mempertahankan kehidupannya yang produktif dan dapat


hidup dalam jangka panjang dengan gagal ginjal kronik, perawat dapat
merubah kehidupan pasien (Rajeswari & Sivamani 2010).
Perawat mempunyai tanggung jawab untuk semua bentuk terapi
hemodialisis. Asuhan keperawatan berfokus pada penilaian dan
pemantauan pasien selama proses dialisis (Rajeswari & Sivamani
2010). Berapa prioritas keperawatan dalam kaitannya dengan asuhan
keperawatan pada pasien hemodialisis yaitu, promosi homeostasis;
menjaga kenyamanan; mencegah komplikasi; dukungan / perawatan
diri pasien; dan memberikan informasi tentang proses penyakit /
prognosis dan pengobatan (Rajeswari & Sivamani 2010)

2.3.KUALITAS HIDUP
2.3.1. Pengertian
Nurchayati (2010) menyebutkan bahwa kualitas hidup seseorang
tidak dapat didefinisikan dengan pasti, hanya orang tersebut yang dapat
mendefinisikannya, karena kualitas hidup merupakan suatu yang bersifat
subyektif. WHOQoL menyatakan kualitas hidup adalah persepsi individu
terhadap posisinya dalam kehidupan, dalam konteks budaya dan sistem
nilai dimana individu tersebut hidup, dan hubungan terhadap tujuan,
harapan, standar dan keinginan. Hal ini merupakan suatu konsep yang
dipadukan dengan berbagai cara seseorang untuk mendapat kesehatan

26

fisik, keadaan psikologis, tingkat independen, hubungan sosial, dan


hubungan dengan lingkungan sekitarnya.
Kinghron (dikutip dalam Farida 2010) pengertian kualitas hidup
masih menjadi suatu permasalahan, belum ada suatu pengertian tepat yang
dapat digunakan sebagai acuhan untuk mengukur kualitas hidup
seseorang. Kualitas hidup merupakan suatu ide yang abstrak yang tidak
terkait oleh tempat dan waktu, bersifat situasional dan meliputi berbagai
konsep yang saling tumpang tindih. Kualitas hidup merupakan suatu
model konseptual, yang bertujuan untuk menggambarkan perspektif klien
dengan berbagai macam istilah. Dengan demikian kualitas hidup akan
berbeda bagi orang sakit dan orang sehat.
Kinghron (dikutip dalam Farida 2010), terdapat dua komponen dasar
dari kualitas hidup yaitu subyektifitas dan multidimensi. Subyektifitas
mengandung arti bahwa kualitas hidup hanya dapat ditentukan dari satu
sudut pandang klien itu sendiri dan ini hanya dapat diketahui dengan
bertanya langsung kepada klien. Sedangkan multidimensi bermakna
bahwa kualitas hidup dipandang dari seluruh aspek kehidupan seseorang
secara holistik meliputi aspek biologi / fisik, psikologis, sosial dan
lingkungan.
2.3.2. Model Konsep Kualitas Hidup
Kualitas hidup sangat berhubungan dengan aspek / dominan yang
dinilai meliputi fisik, psikologis, hubungan sosial dan lingkungan. Model
konsep kualitas hidup dari WHOQoL-Bref (The World Health

27

Organization Quality of Life - Bref) mulai berkembang sejak tahun 1991.


Instrumen ini terdiri dari 26 item pertanyaan yang terdiri dari 4 domain
(Skevington et al. 2004), yaitu :
1.

Dimensi kesehatan fisik yang terdiri dari rasa nyeri, energi, istirahat,
tidur, mobilitas, aktivitas, pengobatan dan pekerjaan;

2.

Dimensi psikologis yang terdiri dari perasaan positif dan negatif, cara
berfikir, harga diri, body image, spiritual.

3.

Dimensi hubungan sosial terdiri dari hubungan individu, dukungan


sosial, aktivitas seksual.

4.

Dimensi lingkungan meliputi sumber keuangan, informasi dan


ketrampilan, rekreasi dan bersantai, lingkungan rumah, akses ke
perawatan kesehatan dan sosial, keamanan fisik, lingkungan fisik,
transportasi.

28

Skema 2.1. Skala pengukuran kualitas hidup menurut


WHOQoL-Bref
Rasa nyeri, energi,
istirahat, tidur,
mobilitas, aktivitas,
pengobatan dan
pekerjaan
Perasaan positif,
perasaan negatif, cara
berfikir, harga diri,
spiritual dan body
image
Hubungan individu dan
sosial, dukungan sosial,
aktivitas seksual
Sumber keuangan,
informasi dan
ketrampilan, rekerasi
dan bersantai,
lingkungan rumah,
akses ke perawatan
kesehatan dan sosial,
keamanan fisik,
lingkungan fisik,
transportasi

Fisik

Psikologi

Hubungan
sosial

Kualitas
Hidup

Lingkungan

2.3.3. Dampak hemodialisis terhadap kualitas hidup


Dampak hemodialisis akan berakibat terhadap respon pasien. Hal ini
dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya karakteristik individu,
pengalaman sebelumnya dan mekanisme koping. Masing masing
dimensi mempunyai pengaruh tersendiri terhadap kualitas hidup.
1. Dimensi fisik
Dimensi fisik mempunyai beberapa dampak terhadap kualitas
hidup penderita gagal ginjal kronik. Dimensi fisik merujuk pada gejala

29

gejala yang terkait penyakit dan pengobatan yang dijalani. Pada


penderita gagal ginjal kronik akan mengalami perubahan fisik.
Kelemahan merupakan hal utama yang dirasakan oleh pasien gagal
ginjal kronik. Kelemahan berhubungan dengan gangguan pada kondisi
fisik, termasuk malnutrisi, anemia uremia. Kelemahan fisik dapat
menurunkan motivasi. Kelemahan secara signifikan berhubungan
dengan timbulnya gejala gangguan masalah tidur, status kesehatan
fisik yang menurun dan depresi yang dapat mempengaruhi kualitas
hidupnya (Farida 2010).
Tallis (2005), menyatakan bahwa perubahan fisik pada pasien
dengan gagal ginjal kronik tidak terbatas pada sistem ginjal, sistem
tubuh lain juga dapat dipengaruhi dan dapat mengakibatkan penurunan
status kesehatan dan kualitas hidup. Farida (2010) mengenai kualitas
hidup penderita gagal ginjal kronik dalam konteks asuhan keperawatan
didapatkan hasil bahwa kualitas hidup secara fisik akan menurun
setelah mengalami gagal ginjal dan harus menjalani hemodialisis.
Seluruh aktivitasnya terbatas dikarenakan kelemahan, respon fisik
dirasakan menurun, merasa mudah capek, dan keterbatasan dalam
asupan cairan dan nutrisi serta merasakan kurang tidur. Hal ini
mempengaruhi semua kesehatan fisik penderita gagal ginjal kronik
sehingga tidak dapat melakukan kegiatan seperti saat sebelum
menjalani hemodialisis. Adaptasi yang dilakukan penderita dalam
mengatasi kesehatan fisik yang menurun berupa membatasi aktivitas

30

fisik seperti tidak melakukan pekerjaan yang berat, membatasi


pemasukan cairan dan nutrisi sesuai yang dianjurkan berdasarkan
kesehatannya.
2. Dimensi psikologi
Tallis (2005) respon psikologis pada pasien gagal ginjal kronik
dapat bervariasi dan sering berhubungan dengan kerugian, baik aktual
maupun potensial, dan telah disamakan dengan proses kesedihan.
Depresi merupakan respon psikologis yang paling umum dan telah
dilaporkan berhubungan dengan kualitas hidup yang rendah yang
berhubungan dengan kesehatan. Kemarahan dan penolakan yang
sering dilakukan oleh pasien untuk melindungi diri dan emosi tak
terkendali, ini dapat memiliki efek negatif yang dapat menyebabkan
penurunan kepatuhan pasien terhadap rejimen pengobatan dan
mengurangi komunikasi yang efektif antara pasien dan tim kesehatan.
Penderita gagal ginjal kronik akan mengalami perubahan dalam
hal

spiritual.

dibandingkan

Pasien
sebelum

lebih

mendekatkan

terkena

gagal

diri

ginjal

kepada
dan

Tuhan

melakukan

hemodialisis. Mendekatkan diri kepada Tuhan dilakukan dengan


menjalankan aturan agama dan tidak berbuat hal yang dilarang agama.
Lebih memikirkan kehidupan untuk bekal diakherat. Kualitas hidup
secara spiritual dirasakan lebih meningkat dengan cara mendekatkan
diri kepada Tuhan dan berbuat baik (Farida 2010).

31

Inti dari spiritual adalah kualitas dari suatu proses menjadi lebih
religius, berusaha mendapatkan inspirasi, penghormatan, perasaan
kagum, memberi makna dan tujuan yang dilakukan oleh individu yang
percaya dan tidak percaya kepada Tuhan. Lebih memikirkan
kehidupan untuk bekal diakherat. Selain dampak spiritual, penderita
akan merasa mudah putus asa, malu, merasa bersalah, hal ini dapat
menyebabkan depresi. Rasa kehilangan pekerjaan, peran dalam
keluarga dan kehilangan teman, serta tingkat pendidikan yang rendah
merupakan resiko utama terjadinya depresi. Depresi merupakan hal
yang berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien. Adaptasi psikologi
yang dilakukan adalah menjadi lebih sabar, menerima keadaan dan
ikhlas (Farida 2010)
3. Dimensi hubungan sosial
Nutrisi merupakan komponen penting dalam kehidupan pasien
dengan gagal ginjal kronik. Efek samping jika mengalami gangguan
nutrisi

adalah

hiperkalemia,

hiperfosfatemia,

protein

yang

berhubungan dengan kekurangan gizi dan kelebihan cairan. Sebagian


besar dari interaksi orang, melibatkan makan dan minum sehingga
tidak jarang untuk pasien dengan ESRF untuk mengurangi keterlibatan
sosial mereka karena pembatasan makanan dan minuman yang ketat.
Masalah sosial lainnya dapat dipengaruhi oleh penyakit kronis dan
termasuk status kerja pasien, hubungan antara keluarga dan temanteman, dan bahkan keinginan untuk melakukan kegiatan rekreasi.

32

Perubahan aspek sosial dapat disebabkan oleh perubahan fisik dan /


atau psikologis dan bisa ada siklus negatif yang jika dipelihara maka
penyebabnya juga dapat menjadi efek (Tallis 2005).
Pasien hemodialisis juga mengalami gangguan sosial berupa
disfungsi seksual. Dusfungsi seksual terjadi pada klien gagal ginjal
kronik tahap akhir

dengan hemodialisis. Pada pasien gagal ginjal

kronik, umumnya mendapatkan terapi antidepresan, dimana obat ini


dapat berefek menurunkan libido dan menunda orgasme pada wanita,
menurunkan ereksi dan ejakulasi pada laki laki. Selain faktor
depresan hal lain yang berkontribusi pada disfungsi seksual adalah
body image, defisiensi zinc dan gangguan hormonal (Diaz et al. 2006).
4. Dimensi lingkungan
Penelitian yang dilakukan oleh Chang (dikutip dalam Farida
2010) mengenai faktor faktor yang mempengaruhi kemampuan
dalam melakukan koping pada pasien yang menjalani hemodialisis.
Hasil penelitian mengatakan penyebab stres utama adalah yang
berhubungan dengan masalah ekonomi dan ketidakmampuan untuk
mendapatkan uang.
2.3.4. Status fungsional yang mempengaruhi kualitas hidup pasien gagal
ginjal kronik
National Kidney Foundation, dalam menilai kualitas hidup pasien
gagal ginjal kronik yang mengalami hemodialisis, faktor yang dinilai
adalah akses vaskular, dyalisis adequacy, anemia, nutrisi, hipertensi, serta

33

penyakit tulang (kontrol phospat dan kalsium) (Clarkson & NKF dikutip
dalam Nurchayati 2010) :
1. Anemia
Brunner & Suddart (2002), menyatakan derajat anemia yang
terjadi pada pasien dengan gagal ginjal kronik sangat bervariasi,
mayoritas terjadi pada pasien dengan nitrogen urea dalam darah
(BUN) > 10 mg/dl. Hematokrit turun antara 20 30%, sedangkan pada
pemeriksaan apusan darah tepi sel darah merah tampak normal.
Anemia tersebut terjadi karena penurunan ketahanan hidup sel darah
merah maupun defisiensi eritropoetin.
Dampak anemia terhadap kualitas hidup, adalah sebagai berikut :
a.

Dampak anemia terhadap fungsi fisik


Pada pasien dialisis dengan anemia memiliki nilai volume O2
maximal 50% dibandingkan dengan orang sehat ataupun yang
sesuai. Level oksigen yang rendah akan menyebabkan pasien
keusulitan untuk melakukan aktivitas harian atau bekerja sesuai
dengan keadaan normal (Gregory 2005).

b.

Dampak anemia terhadap fungsi kognitif


Pada pasien dengan dialisis mengalami penurunan fungsi kognitif
yang dimanifestasikan dengan kebingungan, gangguan memori,
tidak mampu berkonsentrasi, dan penurunan kesadaran mental
(Gregory 2005).

c.

Dampak anemia terhadap fungsi psikologis dan sosial

34

Percobaan klinis telah menemukan adanya efek anemia terhadap


kesehatan psikologis dan sosial pada pasien hemodialisis, dengan
meningkatkan level hemoglobin dapat meningkatkan kesehatan
psikologis dan sosial pada pasien hemodialisis yang mengalami
anemia (Gregory 2005).
2. Adekuasi hemodialisis
NKF-KDOQi (2001) adekuasi hemodialisis adalah kecukupan
dosis hemodialisis yang direkomendasikan untuk mendapatkan hasil
yang adekuat pada pasien gagal ginjal yang menjalani hemodialisis.
Nurchayati (2010) secara klinis hemodialisis dikatakan adekuat bila
keadaan umum pasien dalam keadaan baik, merasa lebih nyaman,
tidak ada manifestasi uremia dan usia hidup pasien lebih panjang.
Akan tetapi ketergantungan pasien pada mesin dialisis seumur
hidupnya mengakibatkan terjadinya perubahan pada perubahan untuk
menjalani fungsi kehidupan sehari hari yang dapat mempengaruhi
kualitas hidupnya.
3. Hipertensi
Hipertensi pada penyakit ginjal dapat terjadi akibat kelainan
glomerulus maupun kelainan vascular diginjal (Nurchayati 2010). Soni
et al. (2010) penelitian yang dilakukan terhadap penduduk Afrika
selama 7 tahun dengan jumlah responden sebanyak 1094 orang yang
memiliki Mean Arterial Pressusre (MAP) 102 107 mmHg, yang
telah mendapat terapi antihipertensi dan setelah dilakukan pengukuran

35

kualitas hidup menggunakan SF-36 didapatkan hasil adanya efek


negatif yang signifikan antara MAP dengan kualitas hidup.
4. Akses vascular
Wasse et al. (2007) yang telah melakukan penelitian mengenai
akses vascular hemodialisis didapatkan adanya hubungan antara akses
vascular (pada pasien yang menggunakan AVF) dengan kualitas hidup
pada pasien yang menjalani hemodialisis.
5. Nutrisi
Malnutrisi pada pasien gagal ginjal kronik sangat berkaitan, dan
secara umum dengan berbagai tipe yaitu berat badan rendah,
kehilangan protein tubuh (massa otot berkurang), tingkat serum
albumin rendah (Nurchayati 2010).
6. Kontrol kalsium dan phospat
Abnormalitas lain dari pasien gagal ginjal kronik adalah
gangguan metabolisme kalsium dan phospat. Kadar serum kalsium
dan phospat tubuh memiliki hubungan timbal balik, jika salah satu
meningkat maka yang lainnya akan menurun. Dengan menurunnya
filtrasi glomerulus di ginjal terjadi peningkatan kadar phospat serum
dan sebaliknya (Nurchayati 2010).

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Fokus Penelitian

Skema 3.1
Fokus Penelitian

Peran perawat
hemodialisis

Fisik

Kualitas Hidup
penderita gagal
ginjal kronik

Psikologi

Faktor yang
mempengaruhi :
- Anemia
- Adekuasi
hemodialisis
- Hipertensi
- Akses vascular
- Nutrisi
- Kontrol
phospat dan
kalsium

Hubungan
sosial

Lingkungan

Keterangan :

Tidak diteliti
Diteliti

36

37

3.2. Desain Penelitian


Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan
pendekatan fenomenologis. Saryono & Anggraeni (2010) penelitian kualitatif
efektif digunakan untuk memperoleh informasi yang spesifik mengenai nilai,
opini, perilaku dan konteks sosial menurut keterangan populasi. Sedangkan
pendekatan fenomenologis merupakan pendekatan yang berusaha untuk
memahami makna dari berbagai peristiwa dan interaksi manusia didalam
situasinya yang khusus. Fenomenologi menggambarkan riwayat hidup
seseorang dengan cara menguraikan arti dan makna hidup serta pengalaman
suatu peristiwa yang dialaminya. Penelitian ini dilakukan dalam situasi
penelitian yang alami, sehingga tidak ada batasan dalam memaknai atau
memahami fenomena yang diteliti. Dengan demikian cara fenomenologis
menekankan pada berbagai aspek subyektif dari perilaku manusia supaya
dapat memahami tentang bagaimana dan makna apa yang mereka bentuk dari
berbagai peristiwa di dalam kehidupan informan sehari harinya (Sutopo
2006).
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk mengeksplorasi
kualitas hidup pasien yang menjalani hemodialisis di unit hemodialisis
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr.Soediran Mangun Sumarso
Kabupaten Wonogiri sesuai dengan pengalaman pasien. Pendekatan ini juga
memberikan kesempatan kepada partisipan untuk mengungkapkan hal hal
yang selama ini terjadi dalam hidupnya setelah didiagnosa gagal ginjal kronik
dan harus menjalani hemodialisis.

38

3.3. Tempat dan Waktu Penelitian


Tempat dan waktu penelitian sangat berpengaruh terhadap hasil yang
diperoleh dalam penelitian. Pemilihan tempat penelitian harus disesuaikan
dengan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian, sehingga tempat
ditentukan benar benar menggambarkan kondisi informan yang
sesungguhnya. Tempat penelitian adalah tempat interaksi informan dengan
lingkungannya yang akan membangun pengalaman hidupnya (Saryono &
Anggraeni 2010).
3.3.1. Tempat Penelitian
Penelitian ini telah dilakukan di Unit Hemodialisis Ruamh Sakit
Umum Daerah (RSUD) dr. Soediran Mangun Sumarso Kabupaten
Wonogiri terhadap pasien yang menjalani hemodialisis dan telah
memenuhi kriteria penelitian yang telah ditetapkan oleh peneliti. Alasan
dilakukan penelitian ini dikarenakan belum pernah dilakukan penelitian
serupa mengenai kualitas hidup pasien penderita gagal ginjal kronik di
Unit Hemodialisis Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr.Soediran
Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri. Unit Hemodialisis Rumah Sakit
Umum Daerah (RSUD) dr.Soediran Mangun Sumarso Kabupaten
Wonogiri telah berdiri sejak tahun 2010, dalam satu bangsal berkapasitas
9 tempat tidur.
3.3.2. Waktu Penelitian
Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Januari sampai bulan Mei
2014.

39

3.4. Populasi dan Sampel


Populasi dalam penelitian adalah setiap subyek (misalnya manusia,
pasien) yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan (Nursalam 2011).
Sampel terdiri dari bagian populasi terjangkau yang dapat dipergunakan
sebagai subyek penelitian melalui sampling. Sampling adalah proses
menyeleksi porsi dari populasi yang dapat mewakili sampel yang ada
(Nursalam 2011).Saryono & Anggraeni (2010) konsep sampel dalam
penelitian kualitatif berkaitan dengan bagaimana memilih informan atau
situasi sosial tertentu yang dapat memberikan informasi yang adekuat dan
terpercaya mengenai elemen elemen yang ada yang akan diteliti. Pada
penelitian fenomenologi sampel yang diambil adalah sampel yang pernah
mengalami substansi yang akan diteliti, yang artinya sampel tersebut pernah
mengalami sesuatu hal yang akan diteliti oleh peneliti.Dalam penelitian
kualitatif sampel diartikan sebagai partisipan / informan.
Partisipan dalam penelitian ini adalah pasien dengan gagal ginjal kronik
yang sedang menjalani terapi hemodialisis di Unit Hemodialisis Rumah Sakit
Umum Daerah (RSUD) dr.Soediran Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri.
Pengambilan dan rekrutmen partisipan dilakukan dengan cara purposive
sampling, yang mana penelitian mendasarkan pada landasan kaitan teori yang
digunakan, keingintahuan pribadi, dan karakteristik empiris yang dihadapi.
Dengan kecenderungan peneliti untuk memilih informasinya berdasarkan
posisi dengan akses terentu yang dianggap memiliki informasi yang berkaitan
dengan permasalahannya secara mendalam dan dapat dipercaya menjadi

40

sumber data yang akurat (Sutopo 2006). Kekhususan penelitian ini adalah
pasien

yang

menjalani

hemodialisis

yang

dapat

mengungkapkan

pengalamannya mengenai kualitas hidup. Partisipan yang terpilih untuk


mengikuti penelitian adalah individu yang memiliki kriteria sebagai berikut :
1. Pasien dewasa dengan gagal ginjal kronik yang sedang menjalani terapi
hemodialisis.
2. Menjalani hemodialisis dengan frekuensi 1 2 kali dalam seminggu.
3. Berusia 30 50 tahun.
4. Telah menderita gagal ginjal kronik selama 1 tahun terakhir.
5. Mampu berkomunikasi secara verbal dan baik.
6. Pasien yang kooperatif.
7. Menyetujui informed consent.
8. Bersedia menjadi partisipan selama penelitian berlangung.
Rekruitmen partisipan dimulai dengan mengidentifikasi nama
nama partisipan yang didapatkan di rekam medik atau catatan nama
nama pasien yang menjalani hemodialisis di Unit Hemodialisis Rumah
Sakit Umum Daerah (RSUD) dr.Soediran Mangun Sumarso Kabupaten
Wonogiri. Jumlah partisipan dalam penelitian ini adalah minimal 5 orang
sesuai dengan krteria yang telah dibuat. Dimana hal ini sesuai pendapat
Saryono & Anggraeni (2010) bawah fokus penelitian kualitatif adalah
pada kedalaman dan proses sehingga pada penelitian ini hanya melibatkan
jumlah partisipan yang sedikit. Pertemuan dengan masing masing
partisipan dilakukan secara bertahan.

41

3.5. Pengumpulan Data


Saryono & Anggraeni (2010) dalam proses pengumpulan data
penelitian kualitatif, manusia berfungsi seabagi instrumen utama penelitian.
Meskipun demikian, pada pelaksanaannya peneliti dibantu oleh pedoman
pengumpulan data.
3.5.1. Cara pengumpulan data
Dalam penelitian kualitatif terdapat banyak cara yang dipakai untuk
mengumpulkan data, cara pengumpulan data dalam penelitian ini adalah
sesuai dengan pedoman menurut Saryono & Anggraeni (2010) :
1. Wawancara
Wawancara merupakan alat re-cheking atau pembuktian terhadap
informasi

terhadap

informasi

atau

keterangan

yang diperoleh

sebelumnya. Tehnik wawancara yang digunakan dalam penelitian ini


adalah wawancara mendalam (In dept interview). Wawancara
mendalam (In dept interview) adalah proses memperoleh keterangan
untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka
antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai,
dengan atau tanpa menggunakan pedoman dan informan terlibat dalam
kehidupan sosial yang relatif lama. Pedoman wawancara dalam
penelitian ini dibuat sesuai dengan indikator indikator kualitas hidup.
2. Dokumen
Sejumlah besar data tersimpan dalam bahan yang berbentuk
dokumentasi. Dalam penelitian ini mengambil sumber data dari

42

dokumen rekam medik di Unit Hemodialisis Rumah Sakit Umum


Daerah (RSUD) dr.Soediran Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri
yang bertujuan untuk mengetahui data nama pasien dan lama
menjalani hemodialisis.
3. Observasi
Observasi dilakukan untuk mengetahui dan mendapatkan data
mengenai hal hal yang dapat dinilai secara obyektif dari partisipan.
Dalam penelitian ini pengumpulan data secara onbservasi dilakukan
untuk

mengetahui

indikator

indikator

seperti

mobilisasi,

pengungkapan nyeri, pembatasan energi dan perubahan fisik.


3.5.2. Alat Pengumpul Data
Alat pengumpul data penelitian ini terdiri dari :
1.

enghasilan per bulan.

2.

Lembar alat pengumpulan data mengenai nama, umur, alamat dan


pLembar transkrip wawancara dan pertanyaan.

3.

Alat tulis.

3.5.3. Tahap Pengumpulan Data


1. Tahap Orientasi
Peneliti melakukan pengumpulan data segera dilakukan setelah
peneliti memperoleh izin dari Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD)
RSUD dr.Soediran Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri dan
selanjutnya peneliti melihat data identitas calon partisipan di dokumen
rekam medik. Setelah menentukan calon partisipan yang sesuai dengan

43

kriteria penelitian dan mendiskusikannya dengan perawat di Unit


hemodialisis Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr.Soediran
Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri. Peneliti bertemu langsung
dengan calon partisipan sesuai dengan jadwal hemodialisis atau
menghubungi lewat telepon untuk menjelaskan tujuan penelitian,
manfaat penelitian, prosedur penelitian, hak hak partisipan serta
peran partisipan dalam penelitian.
Setelah membina hubungan saling percaya, kemudian peneliti
menanyakan kesediaan calon partisipan untuk menjadi partisipan
dalam penelitian ini. Jika calon partisipan bersedia menjadi partisipan
dalam penelitian ini, selanjutnya peneliti membuat perjanjian tempat
dan waktu dilakukannya wawancara. Calon partisipan / informan
menandatangani lembar persetujuan (informed consent).
2. Tahap Pelaksanaan
Setelah peneliti membuat perjanjian dengan calon partisipan dan
bersedia untuk menjadi partisipan dalam penelitian ini serta telah
menandatangani informed consent, selanjutnya adalah wawancara
mendalam terhadap partisipan. Peneliti memberikan pertanyaan kepada
partisipan sesuai dengan pedoman wawancara yang telah dibuat pada
saat persiapan sebelum penelitian dilakukan. Setelah wawancara
selesai, peneliti segera melakukan transkripsi hasil wawancara dan
melakukan konsultasi dengan pembimbing tentang pertanyaan yang
mungkin perlu untuk dikembangkan dan ditambahkan. Pertanyaan

44

sesuai dengan pedoman wawancara dibuat berdasarkandata yang telah


dikumpulkan pada saat studi pendahuluan dan sesuai dengan kategori
kategori

dimensi

pengembangan

kualitas

sesuai

hidup,

dengan

dengan

keadaan

berbagai

partisipan.

macam

Wawancara

dilakukan dengan pedoman wawancara namun tidak bersifat kaku


karena pertanyaan dapat berkembang sesuai dengan proses yang
belangsung selama wawancara, dengan tanpa meninggalkan landasan
teori yang telah ditetapkan dalam penelitian. Hal ini bertujuan untuk
memungkinkan peneliti mendapatkan respon yang luas dari partisipan.
Informasi yang disampaikan partisipan terbebas dari pengaruh orang
lain baik dari keluarganya maupun orang terdekat dari partisipan,
mengingat kualitas hidup merupakan hal subyektif yang hanya dapat
diungkapkan oleh partisipan penderita gagal ginjal kronik, informasi
tersebut diperoleh langsung dari sumbernya.
Pada saat tahap pengumpulan data, peneliti melakukan analisa
data dengan metode Colaizzi yang sesuai dengan transkrip wawancara
yang telah dibuat, setelah menemukan kata kunci dan makna serta
tema sementara dari analisa yang dilakukan peneliti melakukan
wawancara terhadap partisipan selanjutnya. Peneliti menggunakan alat
perekamsebagai alat bantu perekaman wawancara.
Jumlah pertemuan antar peneliti dengan partisipan berbeda - beda
anatar satu hingga dua kali pertemuan. Peneliti selalu memperhatikan
kondisi partisipan sehingga jika pada saat pertemuan pertama belum

45

tercapai semua tujuan penelitian maka peneliti dan partisipan membuat


kesepakatan waktu dan tempat untuk pertemuan yang selanjutnya,
mengingat partisipan tidak selalu dalam kondisi yang baik pada saat
dilakukan wawancara dan pengambilan data sehingga wawancara
disesuaikan dengan kondisi partisipan.
Wawancara kedua dilakukan setelah semua data dari hasil
wawancara pertama telah dibuat dalam suatu transkrip data serta telah
ditetapkan kata kunci, makna dan tema sementara dari berbagai
pengalaman yang dideskripsikan para partisipan. Selama wawancara
ini, partisipan diminta untuk mengkonfirmasi tema tema yang
sementara dihasilkan berhubungan dengan pengalaman mereka
mengenai kualitas hidup berdasarkan intepretasi data yang telah dibuat
oleh peneliti.
Pada wawancara kedua ini juga penting dilakukan untuk
memberikan kesempatan kepada para partisipan melakukan verifikasi /
konfirmasi, memperluas dan menambah deskripsi mereka dari
pengalaman pengalaman mereka mengenai kualitas hidup untuk
lebih menambah keakuratan dari penelitian ini. Setelah wawancara
kedua selesai dan dilakukan transkrip wawancara, transkrip dirujuk
kedalam kata kunci dan makna serta tema tema yang telah dibuat
sebelumnya sehingga setelah wawancara kedua ini tema tema sudah
ditetapkan sebagai pernyataan yang tegas.

46

3.6. Analisa Data


Analisa

data

dalam

penelitian

ini

menggunakan

metode

fenomenologis deskriptif dengan metode Colaizzi (Polit & Back 2006),


metode Colaizzi dinilai efektif digunakan dalam penelitian ini, dikarenakan
dengan metode Colaizzi fenomena fenomena dapat terungkap dengan jelas
sesuai dengan makna makna yang didapat. Adapun langkah langkah
analisa data adalah sebagai berikut :
1. Peneliti menggambarkan fenomena dari pengalaman hidup partisipan
yang diteliti yaitu mengenai kualitas hidup penderita hemodialisis.
2. Peneliti

mengumpulkan

gambaran

fenomena

partisipan

berupa

pengalaman pasien gagal ginjal yang menjalani hemodialisis terhadap


kualitaas hidup.
3. Peneliti membaca semua protokol atau transkrip untuk mendapatkan
perasaan yang sesuai dari partisipan. Kemudian mengidentifikasi
pernyataan partisipan yang relevan. Serta membaca transkrip secara
berulang ulang hingga ditemukan kata kunci dari pernyataan
pernyataan mengenai kualitas hidup.
4. Kemudian peneliti mencari makna dan dirumuskan ke dalam tema.
Setelah tema dianalisa, merujuk kelompok tema kedalam transkrip dan
protokol asli untuk memvalidasi
5. Peneliti mengintegrasikan hasil kedalam deskripsi lengkap dari fenomena
yang diteliti mengenai kualitas hidup.

47

6. Merumuskan deskripsi lengkap dari fenomena yang diteliti sebagai


pernyataan tegas dan diidentifikasi kembali.
7. Kembali kepada partisipan untuk langkah validasi akhir / verifikasi tema
tema segera setelah proses verbatim dilakukan

dan peneliti tidak

mendapatkan data tambahan baru mengenai kualitas hidup selama


verifikasi.

3.7. Validitas dan Reliabilitas

Triangulasi merupakan cara yang paling umum digunakan untuk


peningkatan validitas data dalam penelitian kualitatif (Sutopo 2006). Dalam
penelitian ini menggunakan triangulasipeneliti, data, metodologi dan teoritis.
Alasan menggunakan triangulasi tersebut dikarenakan focus group
discussion tidak dapat dilakukan mengingat masing masing partisipan tidak
memungkinkan dilakukan FGD dalam penelitian ini.

3.8. Etika Penelitian


Etika penelitian adalah suatu sistem nilai normal yang harus dipatuhi
oleh peneliti saat melakukan aktivitas penelitian yang melibatkan responden,
meliputi kebebasan dari adanya ancaman, kebebasan dari adanya eksploitasi
keuntungan dari penelitian tersebut, dan resiko yang didapatkan (Polit &
Hungler 2005).

48

Peneliti

meyakini

bahwa

partisipan

harus

dilindungi

dengan

memperhatikan aspek aspek : self determination, privacy, anonymity,


informed consent, dan protections for discomfort (Polit & Hungler 2005) :
1. Self determination
Partisipan diberikan kebebasan untuk menentukan apakah bersedia
atau tidak untuk mengikuti kegiatan penelitian secara sukarela. Peneliti
memberikan kebebasan kepada partisipan untuk ikut berpartisipasi.
Peneliti memberikan penjelasan kepada calon partisispan mengenai tujuan
dan manfaat penelitian yang dilakukan. Peneliti juga menjelaskan bahwa
partisipan yang mengikuti penelitian tidak dipungut biaya apapun, seluruh
biaya sudah ditanggung peneliti.
2. Informed consent
Peneliti menegaskan kembali mengenai maksud dan tujuan
penelitian yaitu untuk menganalisa kualitas hidup dilihat dari dimensi
fisik, dimensi psikologis, dimensi hubungan sosial dan dimensi
lingkungan. Setelah partisipan mengerti, peneliti memberikan lembar
Informed consent kepada partisipan.
3. Privacy
Selama dan sesudah penelitian, privacy partisipan dijaga secara
benar, semua partisipan diberlakukan sama, peneliti akan menjaga
kerahasiaan partisipan dari informasi yang diberikan dan hanya digunakan
untuk kegiatan penelitian serta tidak akan dipublikasikan tanpa izin dari
partisipan.

49

4. Anonymity
Nama partisipan selama penelitian tidak digunakan melainkan
diganti dengan nomor dan inisial penelitian. Nomor dan inisial dari
partisipan ini digunakan dengan tujuan untuk menjaga kerahasiaan
partisipan dan mencegah kekeliruan peneliti dalam memasukkan data.
Berikut kode partisipan yang digunakan dalam penelitian ini : Partisipan I
(P01), Partisipan II (P02), Partisipan III (P03), Partisipan IV (P04) dan
Partisipan V (P05).
5. Protections for discomfort
Selama pengambilan data penelitian, peneliti memberi kenyamanan pada
partisipan dengan mengambil tempat wawancara sesuai dengan keinginan
partisipan. Sehingga partisipan dapat leluasa tanpa ada pengaruh
lingkungan untuk mengungkapkan masalah yang alami. Pada penelitian
ini, penelitian dilakukan dirumah masing masing partisipan karena
penelitian tidak memungkinkan dilakukan di ruang Hemodialisis.

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai karakteristik seluruh partisipan dan
berbagai pengalaman kehidupan pasien dengan gagal ginjal kronik yang
menjalani terapi hemodialisis di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr.Soediran
Mangun Soemarso Kabupaten Wonogiri. Pada penelitian ini telah ditemukan tema
tema yang memberikan sebuah gambaran mengenai kualitas hidup penderita
gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis.
4.1.GAMBARAN TEMPAT PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Unit Hemodialisis Rumah Sakit Umum
Daerah (RSUD) dr. Soediran Mangun Sumarso. RSUD dr. Soediran Mangun
Sumarso Kabupaten Wonogiri telah lama menemani masyarakat Kabupaten
Wonogiri dalam memberikan pelayanan dibidang kesehatan dan juga
dimanfaatkan oleh sebagian besar masyarakat diluar kabupaten Wonogiri,
sehingga memuaskan masyarakat dalam jasa pelayanan rumah sakit.
RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri telah
ditetapkan izin operasionalnya oleh Menteri Kesehatan pada tanggal 13
Januari 1956 sebagai rumah sakit tipe D. Seiring dan sejalan tuntutan publik,
maka pembenahan pelayanan dilakukan dengan kerja keras oleh RSUD dr.
Soediran Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri yang membawa peningkatan
tipe rumah sakit menjadi tipe C pada tanggal 11 Juni 1983. Setelah itu, RSUD

50

51

dr. Soediran Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri melakukan perbaikan lagi


dan ditetapkan menjadi tipe Non B pendidikan.
Unit hemodialisis RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kabupaten
Wonogiri telah berdiri sejak tahun 2010 dengan kapasitas 6 tempat tidur,
namun sering berjalannya waktu kapasitas bertambah menjadi 9 tempat tidur
dan 5 perawat spesialis hemodialisis.

4.2.GAMBARAN KARAKTERISTIK PARTISIPAN


4.2.1. Partisipan I (P01)
Ny.ST umur 44 tahun berjenis kelamin perempuan merupakan
partisipan pertama yang diwawancarai untuk pertama kalinya pada hari
Jumat, 31 Januari 2014 pukul 17.00 WIB dirumah Ny.ST yang beralamat
di Desa Tanjung Belikuirp Baturetno. Jarak antara partisipan dengan
peneliti adalah 1 meter. Wawancara kedua dilakukan pada hari sabtu, 17
Mei 2014 pukul 15.30 WIB di rumah Ny.ST. Saat wawancara kedua
kondisi Ny.ST sudah membaik. Jarak antara partisipan dengan peneliti
adalah 1 meter.
Ny.ST merupakan pasien gagal ginjal kronik sejak satu tahun yang
lalu. Ny.ST harus menjalani terapi hemodialisis 2x dalam satu minggu
yang dilaksanakan pada hari selasa pagi dan jumat pagi. Ny.ST memiliki
riwayat darah tinggi sejak 15 tahun yang lalu. Ny.ST juga menggunakan
KB pil selama 15 tahun. Oleh bidan setempat, Ny.ST sudah diberi

52

pengertian mengenai resiko penderita hipertensi jika menggunakan pil KB,


namun Ny.ST siap untuk menerima resiko.
Pada awal penyakitnya Ny.ST tidak merasakan gejala yang khas.
Jauh sebelum didiagnosa gagal ginjal kronik, Ny.ST mengkonsumsi
minuman rebusan daun sirih. Konsumsi rebusan daun sirih dilakukan 3
tahun terakhir dan konsumsi 2 3x dalam sehari untuk mengobati
keputihan. Selain itu, Ny.ST sering menahan BAK setiap harinya
dikarenakan Ny.ST bekerja di pabrik roti yang mengharuskan Ny.ST
untuk selalu bekerja cepat. Pada awal penyakit gagal ginjal kronik, tiba
tiba Ny.ST mengalami penurunan kesadaran, perut bengkak dan badan
lemas sehingga tidak dapat melakukan aktivitas apapun. Kemudian oleh
keluarga Ny.ST dibawa ke Rawat Inap daerah Baturetno, di Rawat Inap
tidak dilakukan pemeriksaan apapun.
Sebagai orang yang sakit saat itu, Ny.ST tidak menghindari makanan
apapun. Saat itu Ny.ST belum mengetahui mengenai penyakitnya.
Beberapa hari setelah dibawa pulang dari rawat inap, kondisi Ny.ST
kembali buruk dan oleh keluarga dibawah ke Rumah Sakit Medika Mulya
Wonogiri, Rumah sakit tersebut tidak mampu menangani Ny.ST, akhirnya
Ny.ST dirujuk ke Rumah Sakit Dr.Moewardi Surakarta untuk mendapat
pengobatan yang lebih lanjut. Di Rumah Sakit Dr.Moewardi Surakarta
Ny.ST

dilakukan

pemeriksaan

pemeriksaan

penunjang

untuk

memperjelas penyakitnya. Ny.ST lalu masuk ke ruang Intensive Care Unit


(ICU) Rumah Sakit Dr.Moewardi karena kondisi yang tidak sadar,

53

keadaan itu berlangsung hingga 9 hari. Kemudian oleh dokter disarankan


untuk dilakukan cuci darah, setelah dilakukan cuci darah 2x selama 5 jam,
Ny.ST kemudian sadar.
Beberapa saat setelah sadar Ny.ST tidak dapat mengingat siapa
namanya, nama suami dan anaknya. Ny.ST hanya merasakan pikirannya
seperti orang yang ling lung dan bingung tidak tahu siapa siapa serta
lupa apa yang telah terjadi padanya. Namun oleh keluarga selalu dibantu
untuk mengingat dan selalu diajak untuk berbincang bincang. Setelah
beberapa saat, Ny.ST sedikit demi sedikit dapat mengingat orang orang
yang berada disekitarnya. Ny.ST merasakan perut yang sakit dan badan
panas setiap kali diberikan obat. Ny.ST tidak pernah betah tinggal di ruang
Intensive Care Unit (ICU) dikarenakan setiap kali ingin mandi atau sibin
yang melakukan tindakan adalah perawat laki laki, sehingga Ny.ST
merasa malu selain itu Ny.ST juga takut banyak alat dan kabel yang
terpasang ditubuhnya.
Perasaan Ny.ST pada saat itu adalah perasaan takut dan ingin cepat
pulang serta ingin cepat sembuh. Pada saat kondisi yang sudah membaik,
Ny.ST dipindah ke ruang biasa untuk menstabilkan kondisinya. Diruangan
biasa Ny.ST merasakan kondisi yang kurang lebih baik daripada di
Intensive Care Unit (ICU) dikarenakan kondisi ruangan yang panas dan
banyak pasien. Beberapa saat setelah kondisi sudah membaik, Ny.ST
diperbolehkan untuk pulang, namun tetap harus menjalani terapi
hemodialisis di Rumah Sakit Dr.Moewardi Surakarta sebanyak 1x dalam

54

satu minggu. Tidak ada pilihan lain Ny.ST dan keluarga harus mentaati
perintah dari dokter mengingat kondisi Ny.ST yang harus tetap menjalani
hemodialisis.
Pada saat dilakukan hemodialisis 1x dalam seminggu, kondisi Ny.ST
kurang baik, lalu oleh dokter disarankan untuk menambah frekuensi
hemodialisis menjadi 2x dalam seminggu. Dengan hemodialisis yang
dilakukan 2x dalam seminggu kondisi Ny.ST jauh lebih baik. Pada awal
diagnosa gagal ginjal, ada perasaan menyesal, sedih, pasrah dan bingung.
Mengingat kondisi keuangan Ny.ST yang merupakan keluarga menengah
kebawah, sehingga Ny.ST dan keluarga harus berfikir 2x untuk
mendapatkan uang. Tindakan hemodialisis yang dijalani Ny.ST sudah
termasuk dalam jamkesmas, keluarga Ny.ST hanya memikirkan untuk
transportasi.
Akses yang tidak mudah dan jarak yang terlalu jauh yang harus
dijangkau oleh Ny.ST untuk melakukan tindakan hemodialisis membuat
Ny.ST selalu merasa lelah sebelum dan sesudah hemodialisis. Hal itu akan
tetap dilakukan oleh Ny.ST mengingat unit hemodialisis di Rumah Sakit
Dr.Moewardi merupakan unit hemodialisis yang terdekat. Selama tahun
Ny.ST menjalani terapi hemodialisis di Rumah Sakit Dr.Moewardi, Ny.ST
meminta pindah tempat ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD)
Wonogiri, mengingat pada saat itu RSUD Wonogiri sudah membuka unit
hemodialisis. Ny.ST dapat meminimalkan biaya transportasi dan tidak
mengeluarkan banyak tenaga. Sejak saat itu, Ny.ST melakukan terapi

55

hemodialsisi di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr.Soediran Mangun


Sumarso Kabupaten Wonogiri hingga saat ini.
Kondisi Ny.ST tidak selalu baik, Ny.ST sering keluar masuk rumah
sakit dengan penyakit yang sama. Pada saat wawancara yang pertama
kondisi Ny.ST sedang membaik dan kondisinya sudah stabil. Namun perut
Ny.ST tetap membesar. Ny.ST tidak pernah mentaati diit yang dianjurkan
oleh dokter dan perawat di rumah sakit. Ny.ST selalu minum banyak air
putih yang dingin, jika Ny.ST tidak minum air dingin maka kondisi badan
tidak stabil. Ny.ST akan merasakan badan tidak nyaman dan badan lemas
jika minumnya hanya sedikit, menurut Ny.ST lebih baik minum daripada
makan. Hal ini yang membuat Ny.ST selalu dilakukan pengeluaran cairan
dalam perut, sekali tindakan dapat mengeluarkan sebanyak 5 6 liter.
Ny.ST tidak dapat melakukan aktivitas seperti biasanya semenjak
mengidap gagal ginjal. Ny.ST tidak dapat bekerja dan susah untuk
bersosialisasi karena kondisi badan yang sudah tidak seperti dahulu.
Ny.ST selalu merasakan badan lemah dan lemas ketika melakukan
aktivitas yang berlebih, Ny.ST sudah tidak dapat melakukan aktivitas
secara maksimal. Karena penyakitnya Ny.ST merasa malu jika harus
bepergian jauh dan bertemu dengan orang lain yang belum mengenalnya.
Semenjak sakit Ny.ST tidak melakukan aktivitas rekreasi dengan
keluarga dikarenakan kondisi yang tidak memungkinkan. Ny.ST selalu
mengeluhkan bahwa tidak bisa buang air kecil (BAK) dengan puas
dikarenakan fungsi ginjal yang tidak maksimal lagi, buang air kecil (BAK)

56

hanya menetes pada saat pagi dan malam hari. Ny.ST selalu
mengharapkan ingin cepat sembuh dari sakitnya agar tidak merepotkan
keluarga yang lain. Semenjak hemodialisis dilakukan 2x dalam seminggu
Ny.ST selalu merasakan badan yang enak setelah terapi hemodialisis
selesai, namun pada saat terapi dilakukan badan terasa capek dan lemas
serta kadang kadang ingin muntah.
Manfaat dari terapi hemodialisis dirasakan Ny.ST setelah 1 hari
melakukan terapi. Satu sampai dua hari menjelang hemodialisis
berikutnya, Ny.ST mengeluhkan badan yang kurang enak dan kurang
stabil, perut terasa sesak dan tidak dapat buang air kecil (BAK). Saat ini
Ny.ST tetap rutin menjalani terapi hemodialisis di Rumah Sakit Umum
Daerah (RSUD) dr.Soediran Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri.
Akses vaskular yang digunakan Ny.ST adalah akses vaskular biasa. Saat
ini kondisi Ny.ST sudah mulai membaik dan terhitung dari awal tahun
2014 Ny.ST belum pernah dirawat dirumah sakit dengan sakit yang sama.
4.2.2. Partisipan II (P02)
Tn.ST

umur

54

tahun

merupakan

partisipan

kedua

yang

diwawancarai pada hari Rabu tanggal 5 Februari 2014 pukul 13.00 WIB.
Tn.ST bertempat tinggal di Dusun Kajar, Blembem Pokoh Kidul
Kabupaten Wonogiri. Wawancara kedua dilakukan pada hari Minggu, 18
Mei 2014, jarak antara partisipan dengan peneliti adalah 1 meter. Tn.ST
menjalani terapi hemodialisis sejak tanggal 28 Agustus 2012, sejak saat itu
Tn.ST mengalami perubahan yang drastis pada kehidupannya.

57

Awal mula penyakit gagal ginjal tidak dirasakan oleh Tn.ST,


mengingat selama hidupnya Tn.ST tidak pernah mengalami sakit yang
separah ini. Sebelum Tn.ST sakit gagal ginjal, Tn.ST berprofesi sebagai
supir truk di luar jawa selama hampir seumur hidupnya. Tn.ST merupakan
orang yang mempunyai banyak teman, terbukti pada saat Tn.ST sakit,
banyak teman teman Tn.ST yang turut simpati dan prihatin. Pada awal
sakitnya, Tn.ST tidak merasakan hal yang khas sebagai penderita gagal
ginjal.
Riwayat penyakit yang diderita Tn.ST yaitu penyakit diabetes
melitus sejak 6 tahun yang lalu, penyakit diabetes melitus tidak terlalu
diperhatikan oleh Tn.ST dan juga Tn.ST jarang memeriksakan
penyakitnya tersebut. Selain itu, Tn.ST juga jarang melakukan aktivitas
olahraga, akibat dari penyakit diabetes melitus yang tidak pernah
diperhatikan, Tn.ST terdiagnosa gagal ginjal. Pada awal terdeteksi
penyakit diabetes melitus adalah ketika Tn.ST mencangkul dibelakang
rumah dan jari kaki terkena cangkul, setelah 3 hari, lukanya tak kunjung
sembuh dan semakin menghitam. Lalu oleh keluarga dibawa ke Rumah
Sakit Dr.Moewardi. di Rumah Sakit Dr.Moewardi Tn.ST dilakukan
amputasi pada jari kaki kanan.
Pada saat dirawat, setiap harinya Tn.ST dilakukan cek gula darah
oleh perawat ruangan, gula darah saat itu mencapai 500mg/dl. Tn.ST
merasa tidak nyaman dirawat diruangan, lalu dengan inisiatif sendiri
Tn.ST melarikan diri untuk pulang. Selang beberapa bulan, jari kiri Tn.ST

58

juga terkena cangkul, luka tidak kunjung sembuh dan menjalar ke


punggung kaki sampai kelima jari kaki. Oleh dokter umum, Tn.ST
disarankan untuk amputasi seluruh kaki, namun Tn.ST dan keluarga tidak
setuju. Tn.ST dan keluarga lalu membawanya ke Rumah Sakit Medika
Mulya, di Rumah Sakit tersebut Tn.ST dilakukan amputasi pada satu jari
kaki kiri, serta jaringan jaringan yang sudah mati dibersihkan.
Tn.ST memanggil perawat home care untuk merawat luka bekas
operasi amputasi. Perawatan luka selama kurang lebih 3 bulan, setelah itu
kondisi luka mulai membaik dan perawatan luka dilanjutkan oleh istri
Tn.ST. Awal diagnosa Tn.ST merasakan badan yang tidak enak, seluruh
badan seperti berisi air, namun saat itu Tn.ST masih melakukan pekerjaan
seperti biasanya. Tn.ST tidak langsung dibawa ke rumah sakit melainkan
melakukan cek darah ke laboratorium Prodia dan didapatkan hasil bahwa
Tn.ST harus cuci darah dan harus dirawat inap, kemudian oleh keluarga
dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr.Soediran Mangun
Sumarso Kabupaten Wonogiri.
Tn.ST tidak mengalami penurunan kesadaran, hanya saja pada saat
itu Tn.ST merasakan badannya lemas dan tidak mampu untuk beraktivitas.
Di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr.Soediran Mangun Sumarso
Kabupaten Wonogiri Tn.ST dilakukan pemeriksaan penunjang untuk
memperjelas penyakitnya. Tn.ST didiagnosa gagal ginjal. Tn.ST juga
harus menjalani terapi hemodialisis 2x dalam satu minggu. Mulai dari saat
itu kondisi dan keadaan Tn.ST naik turun, terkadang stabil dan terkadang

59

tidak stabil, karena kondisi dan keadaan tersebut Tn.ST berkali kali
keluar masuk rumah sakit dengan penyakit yang sama.
Kehidupan Tn.ST mulai berubah, Tn.ST tidak dapat bekerja seperti
dulu dan tidak dapat bersosialisasi dengan bebas. Kebutuhan keuangan
keluarga Tn.ST juga ikut terpengaruh, Tn.ST sudah terdaftar sebagai
peserta jamkesmas, namun Tn.ST harus mempersiapkan biaya transportasi
untuk mencapai layanan kesehatan. Setiap harinya Tn.ST merasakan
badannya lemas, tidak mampu untuk berkativitas seperti biasanya, badan
mudah lelah dan terkadang sesak nafas. Pada awal diagnosa, Tn.ST tidak
dapat menerima kondisinya dikarenakan gagal ginjal merupakan penyakit
yang tidak dapat disembuhkan. Namun berkat dukungan keluarga, Tn.ST
sedikit demi sedikit telah mampu untuk menerima kondisinya.
Banyak keluhan yang dirasakan Tn.ST semenjak sakit, Tn.ST
mengeluhkan tidak dapat buang air kecil (BAK) dengan puas. Satu hari
menjelang hemodialisis, Tn.ST selalu merasakan badannya tidak enak dan
pikiran tidak tenang, namun setelah hemodialisis selesai, Tn.ST merasakan
badannya enak, dapat buang air kecil (BAK) meskipun hanya menetes.
Tn.ST ingin segera sembuh dari sakitnya dan ingin kembali beraktivitas
seperti dahulu. Tn.ST harus mentaati diit dari rumah sakit untuk menjaga
cairan supaya seimbang antara masukan dan pengeluaran.
Namun Tn.ST tidak pernah taat diit dari rumah sakit, minum tidak
pernah patuh, Tn.ST minum sehari minimal dua gelas. Pada saat awal
Tn.ST melakukan terapi hemodialisis, Tn.ST merasakan tidak nyaman

60

dengan akses yang digunakan untuk hemodialisis. Tn.ST selalu merasa


kesakitan setelah hemodialisis, kemudian oleh perawat ruangan disarankan
untuk dilakukan operasi pemasangan Akses Vaskular-Shunt(AV-Shunt).
Akses vaskular yang digunakan Tn.ST saat ini adalah Akses VaskularShunt(AV-Shunt Akses Vaskular-Shunt(AV-Shunt) dirasakan lebih baik
daripada menggunkan akses vascular biasa.
4.2.3. Partisipan III (P03)
Ny. SL berumur 40 tahun merupakan partisipan yang ketiga.
Wawancara pertama dilakukan pada hari Kamis tanggal 6 Februari 2014
pukul 13.00 WIB di rumah Ny.SL yang beralamat di Dusun Semen Rt 02 /
01 Nguntoronadi Kabupaten Wonogiri. Wawancara kedua dilakukan pada
hari minggu, 18 Mei 2014 pukul 09.45 WIB jarak antara partisipan dengan
peneliti adalah 1 meter. Kondisi saat dilakukan wawancara yang pertama
adalah Ny.SL sedang dalam keadaan kurang baik dan sesak nafas.
Kondisi pada saat wawancara kedua adalah Ny.SL dalam keadaan
yang lebih sehat daripada wawancara yang pertama. Pendidikan terakhir
Ny.SL adalah tamat Sekolah Dasar (SD). Sebelum sakit, Ny.SL berprofesi
sebagai penjaga warung miliknya yang berada didekat rumah. Ny.SL
merupakan pasien penderita gagal ginjal kronik sejak 19 Juli 2012. Ny.SL
memiliki riwayat darah tinggi sejak masih berusia muda. Jika darah
tingginya kambuh Ny.SL hanya membeli obat obatan warung dan
apotek. Namun terkadang juga memeriksakan kondisinya ke dokter umum
terdekat.

61

Pada awal diagnosa gagal ginjal, Ny.SL tidak begitu merasakan


tanda dan gejala yang khas, hanya saja selama berbulan bulan Ny.SL
merasakan badan yang tidak enak, sulit tidur, badan terasa panas dan tidak
dapat bergerak dengan bebas, badan berubah warna menjadi hitam, dengan
inisiatif sendiri Ny.SL melakukan cek darah ke laboratorium. Pada saat itu
dokter mendiagnosa bahwa Ny.SL hanya terlalu capek karena pekerjaan.
Setelah beberapa kali melakukan cek darah, kondisi Ny.SL tidak kunjung
membaik. Terapi terapi lain juga dilakukan oleh Ny.SL diantaranya
terapi alternatif dan dukun, pada saat itu kondisi Ny.SL hampir putus asa,
lalu Ny.SL melakukan cek darah yang kesekian kalinya untuk memastikan
kondisinya.
Oleh dokter selanjutnya, Ny.SL didiagnosa gagal ginjal. Ny.SL lalu
dibawa kerumah sakit oleh keluarganya untuk mendapatkan pengobatan.
Ny.SL dibawa ke Rumah Sakit Dr.Moewardi Surakarta untuk melakukan
rawat inap yang pertama. Rawat inap yang pertama selama 13 hari. Di
Rumah Sakit Dr.Moewardi Surakarta Ny.SL dilakukan pemeriksaan
pemeriksaan penunjang lainnya untuk membenarkan diagnosa. Setelah
didiagnosa gagal ginjal, Ny.SL tidak langsung dilakukan cuci darah.
Ny.SL selalu merasa tidak nyaman ketika dirumah sakit, setiap kali
diberikan obat selalu merasa perut sebah dan kembung, pernafasan terasa
sesak, kaki dan badan terasa panas, tidak nyaman dan keluar keringat.
Ny.SL menghendaki untuk pulang ke rumah, kemudian oleh
keluarga Ny.SL dibawa pulang. Kondisi Ny.SL tidak lebih baik dan masih

62

sama

seperti

sebelumnya,

Ny.SL menghendaki

untuk

dilakukan

pemeriksaan ke dokter lainnya, oleh dokter tersebut Ny.SL harus


melakukan kuretase. Atas saran dokter Ny.SL melakukan kuretase. Setelah
kuretase, kondisi Ny.SL tidak kunjung sembuh, kondisi tidak membaik
dan masih sama dengan kondisi semula.
Untuk yang kedua kalinya Ny.SL dibawa kerumah sakit, Ny.SL
dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr.Soediran Mangun
Sumarso Kabupaten Wonogiri karena kondisi kembali drop dan
memburuk, setelah melihat hasil laboratorium dan pemeriksaan
pemeriksaan lainnya yang telah dilakukan oleh Ny.SL serta melihat
kondisi dan gejala gejala Ny.SL. Oleh dokter, Ny.SL disarankan untuk
dilakukan terapi hemodialisis, hemodialisis pertama kali dilakukan di
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr.Soediran Mangun Sumarso
Kabupaten Wonogiri mengingat akses yang mudah dicapai dan tidak
terlalu jauh.
Pada awalnya Ny.SL melakukan cuci darah 1x dalam seminggu, saat
itu kondisi Ny.SL merasa kurang baik, perut sebah, kaki bengkak dan
sebelum tiba waktu untuk hemodialisis (HD) selanjutnya sudah merasa
badan tidak enak dan kaku, kemudian Ny.SL meminta untuk ditambah jam
hemodialisis (HD). Ny.SL merasa ada perbedaan antara hemodialisis (HD)
1x dalam seminggu dengan 2x dalam seminggu, kaki menjadi tidak
bengkak, dan badan terasa nyaman. Ny.SL merasa menyesal dengan

63

penyakit yang sekarang sedang dideritanya namun saat ini sudah bisa
menerima kondisinya dengan ikhlas dan sabar.
Pada awal diagnosa penyakit gagal ginjal Ny.SL tidak pernah
mematuhi diitnya. Ketika Ny.SL tidak mematuhi diit, maka kondisi
badannya akan drop, sesak nafas dan tidak bisa tidur nyenyak. Ny.SL juga
tidak pernah mendengar nasehat dari suami dan anak anaknya, namun
setelah sekian lama harus mengidap penyakit gagal ginjal dan harus
menjalani terapi hemodialisis dan efek yang ditimbulkan akibat tidak
mentaati diit, Ny.SL mulai merubah kebiasaannya yang kurang baik.
Ny.SL mulai mentaati diit sedikit demi sedikit, hingga saat ini Ny.SL
sudah bisa menerima kondisinya dan mentaati diit terutama minum.
Keluhan yang diungkapkan Ny.SL adalah tidak puas dalam buang air kecil
(BAK), buang air kecil (BAK) hanya pagi hari saja dan menetes, selain itu
Ny.SL selalu tidak bisa tidur pada malam hari, karena merasakan kaki
yang terasa pegal pegal. Ny.SL tidak mampu dalam melakukan aktivitas
sehari hari, badan selalu terasa capek dan lemah serta kondisi yang tidak
seperti dahulu.
Kegiatan sehari hari dari Ny.SL hanya menonton televisi dan
sekedar bersantai dengan keluarga, namun sesekali Ny.SL melakukan
kegiatan menyapu dan memasak. Ny.SL tidak dapat melakukan pekerjaan
sebagai penjaga warung dikarenakan kondisi yang tidak memungkinkan.
Ny.SL hanya bisa pasrah dan bersabar, Ny.SL percaya bahwa akan ada
hikmah dibalik setiap cobaan. Semenjak harus melakukan terapi

64

hemodialisis, kondisi keuangan Ny.SL berubah, perubahan tersebut


dirasakan untuk transportasi dan yang lainnya, tetapi untuk terapi
hemodialisis Ny.SL sudah terdaftar sebagai peserta jamkesmas. Saat ini
Ny.SL menjalani terapi hemodialisis di Rumah Sakit Umum Daerah
(RSUD) dr.Soediran Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri 2x dalam
seminggu.
4.2.4. Partisipan IV (P04)
Tn.SG umur 30 tahun merupakan partisipan yang keempat dilakukan
wawancara. Tn.SG berjenis kelamin laki laki dan merupakan penderita
gagal ginjal kronik, pekerjaan Tn.SG sebagai buruh pabrik di Jakarta.
Wawancara pertama dilakukan pada hari Minggu tanggal 9 Februari 2014
pukul 11.00 WIB dirumah Tn.SG yang beralamat di Klepu Karanganom
Donorojo Pacitan Jawa Timur. Wawancara dilakukan selama kurang lebih
1 jam, jarak partisipan dengan peneliti adalah 1 meter.
Tn.SG memiliki riwayat hipertensi sejak masih muda dan awal
awal pernikahan. Selain itu, Tn.SG selalu menkonsumsi minuman
minuman berenergi selama kurang lebih tiga tahun untuk menunjang
kesehatannya mengingat Tn.SG bekerja sebagai pekerja pabrik yang selalu
dituntut untuk bekerja lebih keras. Pada awal penyakit gagal ginjal, Tn.SG
sering muntah jika kelelahan, namun setelah muntah Tn.SG merasa badan
membaik. Hal ini tidak pernah diperiksakan dan hanya dianggap penyakit
sepele, Tn.SG juga sering keluar keringat dingin. Hal itu dibiarkan begitu
saja dan tidak pernah dirasa sebagai penyakit yang serius.

65

Kemudian Tn.SG merasakan badan yang begitu lemas dan tidak


mampu beraktivitas. Tn.SG memutuskan untuk pulang ke kampung
halaman dan berhenti bekerja. Tn.SG tidak mengalami penurunan
kesadaran namun tetap harus dilakukan pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan penunjang dilakukan dan didapatkan hasil bahwa Tn.SG
mengidap gagal ginjal, selanjutnya Tn.SG juga harus menjalani terapi
hemodialisis 2x dalam seminggu.
Tn.SG menjalani perawatan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD)
dr.Soediran Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri selama kurang lebih
10 hari, kemudian setelah membaik, Tn.SG dibawa pulang oleh
keluarganya. Kondisi pada saat wawancara Tn.SG dalam keadaan yang
sedang stabil dan tidak sesak nafas, Tn.SG akan merasa sesak nafas dan
lelah jika duduk yang terlalu lama. Semenjak terkena gagal ginjal, Tn.SG
harus rutin melakukan hemodialisis. Akses yang terlalu jauh membuat
Tn.SG merasa cepat lelah jika ingin hemodialisis. Tn.SG mengalami
perubahan dalam aktivitas, merasa cepat lelah, capek jika aktivitas yang
terlalu berat.
Akibat dari gagal ginjal, Tn.SG kehilangan pekerjaannya sebagai
pekerja pabrik di Jakarta yang merupakan sumber penghasilan selama ini.
Semenjak Tn.SG harus pulang dari jakarta dan menjalani terapi
hemodialisis Tn.NG menjalani hari harinya dirumah orang tua. Tn.SG
juga

mengeluhkan

masalah

ekonomi

yang

semakin

bertambah

kebutuhannya, mengingat biaya transportasi yang harus dikeluarkan 2x

66

dalam satu minggu. Tn.SG tidak pernah melakukan rekreasi keluar rumah
dengan keluarga mengingat kondisi yang tidak memungkinkan.
Keluhan lain yang diungkapkan oleh Tn.SG yaitu mengeluhkan
tidak puas dalam buang air kecil (BAK), buang air kecil (BAK) hanya
menetes pada pagi hari dan sore hari. Tn.SG bisa tidur lelap pada malam
hari jika kondisinya sedang baik dan tidak sesak nafas, namun jika
kondisinya tidak baik, maka Tn.SG tidak dapat tidur dengan nyenyak dan
selalu terbangun. Jika terbangun di malam hari, aktivitas yang dilakukan
Tn.SG adalah berdoa dan pasrah kepada Tuhan. Tn.SG merasa tidak
pernah melakukan dosa besar, namun selalu bertanya tanya mengapa
dirinya yang diberikan sakit sampai seperti ini, sehingga membuat Tn.SG
selalu sabar dengan kondisinya.
Pada awal diagnosa Tn.SG tidak dapat menerima keadaannya, dan
selalu menyalahkan dirinya sendiri, Tn.SG merasa menyesal. Tn.SG juga
sempat putus asa dengan pengobatan yang dijalani, karena tidak pernah
ada hasilnya. Banyak pengobatan alternatif yang telah diikutinya namun
kondisinya tidak membaik dan tidak ada perubahan. Saat ini Tn.SG sudah
mulai menerima kondisinya dan hanya pasrah kepada yang diatas berharap
bisa sembuh dari penyakitnya.
Tn.SG mengaku mengalami gangguan dalam bersosialisasi dengan
orang lain sehingga dalam kesehariannya Tn.SG jarang kelaur rumah.
Tn.SG juga merasa malu dengan orang yang belum dikenalnya. Saat ini
Tn.SG sedang menjalani terapi hemodialisis dengan frekuensi 2x dalam

67

seminggu di unit hemodialisis Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD)


dr.Soediran Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri.
4.2.5. Partisipan V (P05)
Tn.SO umur 51 tahun yang berprofesi sebagai penjahit adalah
partisipan terakhir yang dilakukan wawancara. Wawancara pertama
dilakukan pada tanggal 12 Februari 2014 pukul 17.00 WIB dirumah
Tn.SO yang berlamat di Desa Gambiranom, Baturetno Wonogiri. Jarak
partisipan dengan peneliti adalah 1 meter. Wawancara kedua dilakukan
pada hari Sabtu, 17 Mei 2014 pukul 17.30 WIB. Tn.SO merupakan pasien
penderita gagal ginjal kronik sejak agustus 2012.
Tn.SO memiliki riwayat darah tinggi sejak masih muda selain itu
Tn.SO juga memiliki riwayat penyakit stroke. Jika Tn.SO merasakan
badan yang kurang enak, kepala pusing dan darah tingginya kambuh maka
Tn.SO akan membawa dirinya ke dokter umum area Baturetno. Tidak ada
tindakan khusus yang dilakukan Tn.SO untuk mengobati penyakit
strokenya tersebut. Tn.SO merupakan seorang pekerja keras, terbukti
dengan banyaknya orderan jahitan yang membuat Tn.SO selalu begadang
setiap harinya. Selain hal tersebut, Tn.SO juga sering menahan buang air
kecil (BAK), setiap kali Tn.SO merasa ingin buang air kecil (BAK) selalu
ditahan terlebih dahulu sampai akhirnya sudah tidak bisa untuk menahan
lagi.
Pada awal penyakitnya, tidak ada gejala yang diketahui mengenai
gagal ginjal yang diderita Tn.SO. Tn.SO merasa sering kelelahan dan

68

badan tidak lagi sekuat dahulu, Tn.SO juga tidak kuat lagi untuk
mengerjakan pekerjaan yang kasar kasar. Aktivitas Tn.SO sudah mulai
mengalami penurunan dan energi tidak sekuat dulu, gejala gejala mual
muntah juga sering dirasakan Tn.SO, namun hal tersebut tidak pernah
dirasa sebagai penyakit yang parah.
Awal sakit pada bulan puasa tahun 2012, Tn.SO tidak dapat
melaksanakan ibadah puasa dengan maksimal dikarenakan kondisi yang
tidak memungkinkan. Awalnya Tn.SO tidak mengetahui bahwa dirinya
mengidap gagal ginjal, kemudian oleh keluarga disarankan untuk
melakukan cek darah ke laboratorium Pramesti. Hasil cek lab tersebut
dibawa ke dokter umum, oleh dokter umum Tn.SO hanya disarankan
untuk istirahat, setelah beberapa hari istirahat kondisi Tn.SO tidak kunjung
sembuh, lalu Tn.SO memeriksakan dirinya ke Rumah Sakit Umum Daerah
(RSUD) dr.Soediran Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri, niat hanya
untuk periksa namun Tn.SO dianjurkan untuk rawat inap, kemudian
Tn.SO menunjukkan hasil laboratorium yang telah dilakukannya.
Setelah beberapa saat dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah
(RSUD) dr.Soediran Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri dicurigai
Tn.SO mengidap gagal ginjal, selama 4 hari Tn.SO dirawat di Rumah
Sakit Umum Daerah (RSUD) dr.Soediran Mangun Sumarso Kabupaten
Wonogiri. Tn.SO tidak mengalami penurunan kesadaran, namun harus
merasakan badan yang lemas, tidak kuat untuk aktivitas, makan dan
minum tidak enak dan rasanya seperti melayang layang. Merasakan

69

badan

yang terlalu

panas. Tn.SO disarankan untuk melakukan

hemosdialisis di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Wonogiri 1x dalam


satu minggu. Dengan alasan ingin mendapatkan kesehatan seperti dahulu,
maka keluarga Tn.SO mengisi lembar persetujuan dilakukan tindakan
hemodialisis.
Setelah kondisi membaik Tn.SO diperbolehkan untuk pulang.
Selama harus menjalani hemodialisis 1x dalam satu minggu, kondisi
Tn.SO tidak menunjukkan perbaikan, selalu merasa badan tidak enak,
badan panas dan perut sesak sebelum tiba waktu hemodialisis selanjutnya,
lalu oleh dokter disarankan untuk hemodialisis 2x dalam seminggu.
Semenjak didiagnosa gagal ginjal dan harus menajalani hemodialisis,
kehidupan Tn.SO harus berubah total. Tn.SO kehilangan pekerjaan
sebagai penopang hidupnya.
Keluhan yang dirasakan Tn.SO adalah tidak bisa beraktivitas seperti
dahulu, badan tidak sekuat dahulu, tidak mampu untuk bekerja dan tidak
mampu untuk bersosialisasi dengan orang lain. Dukungan yang dilakukan
istri Tn.SO adalah selalu memberikan motivasi kepada Tn.SO bahwa
penyakit itu adalah cobaan dari Tuhan. Namun Tn.SO merasa jika anak
anaknya tidak pernah memberikan perhatian, Tn.SO selalu ingin mendapat
dukungan dan perhatian dari orang orang terdekatnya. Pada awal
sakitnya dan banyak mengalami perubahan, Tn.SO merasa malu dan
merasa tidak berguna.

70

Tn.SO tidak percaya jika harus sakit gagal ginjal dan harus
hemodialisis seumur hidupnya. Tn.SO merasa tidak berguna bagi istri dan
anak anaknya terlebih lagi Tn.SO sebagai kepala keluarga. Saat sakit,
Tn.SO jarang melakukan ibadah sholat, namun yang dilakukan hanya
berdoa kepada Tuhan semoga diberi kesembuhan dan ketabahan. Tn.SO
merasakan ada sedikit perubahan dalam hal ekonomi, kebutuhan ekonomi
semakin bertambah seiring dengan biaya transportasi hemodialisis yang
dijalaninya namun hal itu masih bisa diatasi oleh keluarga.
Tindakan hemodialisis sepenuhnya sudah termasuk jamkesmas
sehingga Tn.SO hanya butuh biaya untuk transportasi. Hemodialisis
pertama kali dilakukan oleh Tn.SO adalah pada saat hari pertama lebaran
tahun 2012. Transportasi yang digunakan Tn.SO adalah menggunakan
bus, namun sekarang Tn.SO sudah menggunakan sepeda motor miliknya
sendiri. Banyak perubahan yang dialami oleh Tn.SO. Keluhan lain yang
dirasakan Tn.SO adalah tidak bisa buang air kecil (BAK) dengan puas.
Tn.SO selalu mengeluhkan tidak puas dalam buang air kecil (BAK).
Buang air kecil (BAK) hanya menetes pada saat pagi dan sore.
Awal penyakitnya, Tn.SO tidak mengerti mengenai penyakit gagal
ginjal, Tn.SO menyatakan kurang mendapat informasi dari petugas
kesehatan mengenai penyakitnya. Tn.SO selalu ingin mendapatkan
informasi khususnya mengenai konsumsi air. Sampai peneliti melakukan
wawancara yang pertama Tn.SO mengeluhkan tidak pernah mendapat
informasi mengenai konsumsi air. Konsumsi air yang dilakukan Tn.SO

71

saat ini hanya belajar dari pengalami dirinya sendiri. Jika Tn.SO banyak
minum, maka Tn.SO tidak nyaman, akan merasa sesak nafas dan perut
penuh. Namun jika Tn.SO membatasi cairan yang masuk, badan akan
terasa enak dan lebih baik.
Kondisi Tn.SO semakin meburuk ditambah dengan penyakit
strokenya. Tn.SO tidak mampu melakukan toileting dengan mandiri,
toileting dibantu oleh keluarga. Tn.SO mengeluhkan tidak berani ke toilet
sendiri dikarenakan takut jika jatuh dan akan memperburuk kondisinya.
Tn.SO juga mengeluhkan, pada saat akan dilakukan hemodialisis,
kondisinya kurang baik, karena itu pada saat malam menjelang
hemodialisis Tn.SO akan merasa gelisah dan ingin cepat menjelang pagi
lalu berangkat ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr.Soediran
Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri.
Kondisi Tn.SO akan membaik lagi selang beberapa jam setelah
hemodialisis dilakukan, karena menurut Tn.SO seluruh kotoran dan racun
didalam darah sudah dikeluarkan pada saat hemodialsis. Pada saat
hemodialisis berlangsung, Tn.SO selalu merasakan badan lemas dan ingin
muntah, hemodialisis dilakukan selama kurang lebih 4 5 jam. Tn.SO
sudah dapat menerima kondisinya dengan berserah kepada yang diatas.
Saat dilakukan wawancara kondisi Tn.SO sedang membaik, namun hanya
merasakan sedikit sesak nafas, jika Tn.SO terlalu lama berbincang
bincang maka akan merasakan sesak nafas, sehingga wawancara
menyesuaikan dengan kondisi Tn.SO.

72

Wawancara berlangsung selama kurang lebih 1 jam, Tn.SO sangat


antusias dilakukan wawancara oleh peneliti dan bersedia menandatangani
surat persetujuan menjadi partisipan.

4.3.HASIL PENELITIAN
Dalam analisa tematik akan dijelaskan mengenai tema yang telah
didapat dan telah teridentifikasi dari hasil wawancara. Tema tema yang
telah dihasilkan tersebut mengacu pada tema dimensi fisik, dimensi
psikologis, dimensi hubungan sosial dan dimensi lingkungan. Masing
masing dimensi akan menghasilkan beberapa tema.
Tema tema yang telah dihasilkan dan telah teridentifikasi dari hasil
wawancara tersebut akan secara rinci dibahas untuk mengungkapkan makna
makna atau arti dari berbagai pengalaman hidup penderita gagal ginjal kronik
yang menjalani terapi hemodialisis, yang telah dilakukan dan dijalani oleh
partisipan dalam kehidupan sehari hari. Tema tema dan makna makna
yang telah dihasilkan akan saling berhubungan satu per satu dengan yang
lain. Berikut penjelasan mengenai masing masing tema dari empat macam
dimensi kualistas hidup :
4.3.1. Tema dari dimensi fisik
Tema tema yang telah dihasilkan dari dimensi fisik adalah : 1)
kelemahan fisik; 2) sesak nafas; 3) Buang air kecil (BAK) tidak lampias;
4) kulit hitam; 5) kualitas tidur; dan 6) perubahan pola nutrisi. Tema ini
didapatkan dari analisa terhadap kategori kategori yang didapat dari

73

ungkapan keseluruhan dari partisipan. Berikut penjelasan mengenai


beberapa tema tersebut :
1) Kelemahan fisik
Kelemahan fisik dirasakan oleh seluruh partisipan sebagai akibat
dari capek dan penurunan aktivitas akibat dari hemodialisis yang
dijalaninya. Kelemahan fisik meliputi : 1) gangguan aktivitas; 2)
pembatasan energi; 3) tidak puas aktivitas; 4) gangguan mobilitas dan
5) kehilangan pekerjaan.
Berikut ungkapan dari partisipan mengenai kelemahan fisik dan
gangguan aktivitas :
...pas nyambut damel kesel, duduk lama nggih kesel... sesek
mboten saget aktivitas... (P01)
...kalau untuk aktivitas jalan ya sakit... saya itu kalau mau jalan
lama jadinya kesel... (P02)
...mencuci terlalu berat... kalau untuk jalan suka lelah... (P03)
...pokoknya kegiatan yang nguras tenaga akan ngerasain sakit...
seperti nyuci terlalu berat... (P04)
...kalau mau jalan harus dituntun... susah karena stroke...untuk
jalan dada sesek, capek, udah nggak bisa nglakuin apa
apa...kadang bisa kadang nggak... (P05).
Berikut ungkapan partisipan mengenai energi yang terbatas pada saat
aktivitas :
...tetap ada...ya tidak bisa melakukan aktivitas cuma tidur, tiap
harinya duduk didepan, cari panas matahari didepan rumah,
tidak bisa aktivitas lain seperti nyari rumput untuk kambing...
(P02)
...paling kalau capek saya istirahat tapi sekarang saya sudah
benar benar istirahat. Energinya kurang mbak, soalnya makan

74

dan minum juga dibatasi kalau untuk jalan gitupun sudah


lelah...seperti kalau nyapu sebentar saya sudah capek, duduk
lama juga capek, buat mandi saja kadang capek mbak apa lagi
buat jualan seperti dulu, yuhh nggak pernah dilakukan lagi
(P03)
...saya ngirit energi mbak, kalau jalan 100 meter saja sudah
capek, tenaga tidak seperti dulu, sering lelah, ngerasain tenaga
kurang pembatasan energi jelas ada mbak...misalnya dulu bisa
kemana mana sekarang nggak, dulu mau main bisa bisa saja,
sekarang nggak bisa... (P04)
...ya itu capek banget, menggeh menggeh...
...tenaga jelas kurang...semuanya mbak, mandi kalau kesumur
minta tolong, kalau jatuh itukan bahaya. Kalau untuk jalan
jalan nggak berani mbak. Nyapu saya kesel capek mbak. Sedilit
ngone capek. Semuanya capek mbak... (P05)
Berikut adalah ungkapan kepuasan dan ketidakpuasan partisipan
mengenai aktivitas yang dijalaninya sebagai akibat dari kelemahan
yang dirasakan.
...nggih alhamdulillah kula puas sak enteni niki...(P01)
...yo ndak puas, puas dulu sebelum sakit, tapi sekarang kan
udah tua karena usianya sudah tua yo terserah gitu aja... (P02)
...tetap puas mbak, apapun itu saya tetap puas meskipun harus
ada banyak perubahan...saya tetep kuat mbak, masih bisa
melakukan aktivitas kecil seperti nyapu dan masak... (P03)
...nggak puas, ya jelas nggak puas mbak. Mau gimana lagi.
Kalau saya aktivitas berat sering capek. Mau ngapa ngapain
dipikirkan dulu. Ya nggak puas... (P04)
...tidak...dulu bisa kok sekarang tidak... (P05)
Berikut ungkapan partisipan yang mengalami gangguan mobilitas atau
perpindahan dikarenakan ketidakmampuan untuk mobilitas :
...namung sebatas HD saja mbak, saya pergi...kula mboten
mbak, kerumah saudara harus siap siap lebih awal...kalau
merasa takut untuk bepergian niku mboten mbak, namung malu,

75

malunya perutnya gedhe...iya mbak,karena malu perutnya


gedhe... (P01)
...saya itu kalau mau pergikakinya berat, jadi nggak
pernah...hanya waktu HD... ya kadang direncanakan kadang
tidak...sudah ndak pernah, sekarang ndak pernah lagi. Saya ndak
takut untuk pergi... (P02)
...nggih ada, rasanya capek, kalau mau pergi harus
direncanakan dulu...nggak mbak, tapi saya sudah nggak mau
pergi kemana - mana (P03)
...ya gangguan pasti ada,badannya pasti berat, capek, nggak
seringan dulu, nggak nyaman lah badannya, juga merasa takut
bepergian...takutnya karena sesek biasanya, kondisi nggak kuat,
tenaga nggak kuat, orang tua juga nggak ngebolehin... (P04)
...umpama mau beli apa gitu ke Batu, ya suruh ngeterke... nggak
mbak, trimo. Nggak mau merepotkan anak. Kalau takut saya
nggak takut mbak. Kalau mau pergi harus direncanakan dulu,
misalnya dirumah saudara ada acara, ya harus direncanakan
dulu... (P05)
Ungkapan lain yaitu partisipan merasa kehilangan pekerjaan setelah
menderita sakit gagal ginjal. Partisipan merasa tidak mampu dalam
menjalankan pekerjaannya. Berikut ungkapan ketiga partisipan :
...mbak saya sekarang udah nggak memikirkan pekerjaan yang
penting saya sehat dulu... (P01)
...dulu itu sebelum HD saya mengemudi mobil dump, ngaspal
jalan sampai terminal, buat pasar dan sebagainya...
...lha saya terus sakit ini... (P02)
...sudah nggak bekerja setaun yang lalu mbak, saya sudah nggak
kerja, nggak bisa kerja seperti dulu... (P04)
Ungkapan diatas merupakan ungkapan dari kelima partisipan
mengenai kelemahan fisik. Kelemahan fisik akan mengakibatkan
partisipan melakukan pembatasan energi. Pembatasan energi akan

76

dilakukan oleh partisipan pada setiap harinya. Hal tersebut akan


berdampak terhadap mobilitas dan pekerjaan.
Partisipan mengalami gangguan mobilitas diakibatkan karena
fisik yang tidak mendukung dan tidak memungkinkan. Keseluruhan
partisipan mengungkapkan bahwa karena penyakit gagal ginjal dan
harus menjalani terapi hemodialisis yang membuat partisipan
merasakan lemah untuk aktivitas. Kelemahan fisik dirasakan pada saat
untuk bekerja berat, berjalan lama dan untuk aktivitas yang berat
seperti mencuci dan menyapu.
Akibat dari kelemahan fisik yang dirasakan, keseluruhan dari
partisipan akan merasa capek dan kurang tenaga. Keseluruhan dari
partisipan tidak mampu untuk beraktivitas dengan maksimal dan
merasa mempunyai energi yang terbatas. Dengan kata lain,
keseluruhan dari partisipan akan melakukan pembatasan energi setiap
harinya.
Beberapa partisipan mengungkapkan bahwa merasa puas
dengan aktivitas yang dijalani meskipun harus dengan perubahan yang
sangat berbeda dengan keadaan sehat. Namun, partisipan lain juga
mengungkapkan bahwa tidak merasa puas

dan belum bisa

menyesuaikan aktivitas yang harus dijalani dengan kondisinya saat


ini.

77

2) Sesak nafas
Gangguan pola nafas yaitu sesak nafas ditemukan pada
penelitian ini. Berikut ungkapan dari partisipan mengenai sesak nafas :
...kalau banyak kadang sesek, rasanya penuh diperut... (P02)
...minumnya banyak rasanya mual dan senep... (P03)
...rasanya ya jelas nggak enak.gimana ya, rasanya sesek kalau
kebanyakan minum... (P04)
...niku keluhan tiap hari nggih sesek. Aktivitas sehari hari
sering sesek... (P05)
Sesak nafas diungkapkan tiga partisipan akibat dari konsumsi
air yang berlebih dan tidak dibatasi selain itu sesak nafas juga
dirasakan oleh satu partisipan pada saat aktivitas yang berlebih.
Akibat dari sesak nafas tersebut partisipan akan mengalami gangguan
pada saat tidur malam yang mengakibatkan partisipan tersebut tidak
dapat tidur kembali dan akhirnya tidurnya akan kurang. Selain
gangguan tidur, sesak nafas juga akan berakibat partisipan tidak dapat
melakukan aktivitas yang berat berat.
3) Buang air kecil (BAK) tidak lampias
Gangguan eliminasi BAK diungkapkan oleh kelima dari
partisipan dan merupakan masalah yang terjadi pada partisipan.
Berikut ungkapan dari kelima partisipan mengenai BAK tidak lampias
:
...nggak bisa puas. (P01)
...siang dan sore cuma tes - tes saja. Tidak puas.(P02)

78

...nggak bisa mbak, ya keluarnya dengan dicuci itu mbak


(P03)
...pagi hari hanya sedikit, netes saja (P04)
...rasanya anyang anyangan mbak, sakit. Pipisnya sedikit
(P05).
Keseluruhan dari partisipan mengatakan bahwa sudah tidak bisa
lagi untuk BAK / kencing. BAK dilakukan hanya pada saat pagi hari
itupun hanya menetes dan tidak bisa puas. Jumlah urin yang
dikeluarkan jauh lebih sedikit daripada sebelum sakit gagal ginjal.
4) Kulit hitam
Perubahan pada kulit yang menjadi hitam diungkapkan oleh dua
partisipan. Perubahan warna kulit tersebut menjadi hitam, bersisik dan
gatal gatal. Berikut ungkapan dari dua partisipan mengenai
perubahan warna kulit :
...mau ketemu sama orang lain aja susah, masalahnya malu
kok aku dadi kaya ngene rupaku (kulit hitam dan kurus)...
(P01)
...malu dengan kondisi (hitam, kurus)......dulu kan seger,
nggak item... (P04)
Menurut dua partisipan perubahan tersebut dikarenakan proses
hemodialisis

yang

dilakukan

2x

dalam

seminggu

dengan

menggunakan cairan kimia yang dimasukkan ke dalam tubuh. Itulah


yang mengakibatkan kulit mengalami perubahan warna menjadi hitam
dan bersisik serta gatal gatal. Perubahan kulit tersebut menjadikan
partisipan malu untuk melakukan aktivitas seperti dahulu. Malu untuk
keluar rumah dan tidak mampu dalam bersosialisasi. Dari hasil

79

observasi yang telah dilakukan pada saat wawancara, keseluruhan dari


partisipan mengalami perubahan warna kulit, kulit menjadi hitam,
kering dan bersisik. Kulit yang terlihat mengalami perubahan warna
adalah bagian kulit kaki.
5) Kualitas tidur
Keluhan tidur ditemukan dalam penelitian ini, keluhan kurang
tidur diungkapkan oleh 3 partisipan. Berikut ungkapan dari ketiga
partisipan :
...iya nggak bisa tidur, malam malam itu saya malah nyapu
nggak bisa tidur, jam 11 12 saya kebangun...istirahat cukup
mbak, orang saya nggak ngapa ngapain, Cuma tidurnya saja
yang kurang... (P03)
...kadang cukup kadang enggak, soalnya tidurnya juga susah,
kalau nggak bisa tidur ya istirahatnya nggak banyak. Nggak
enak rasanya badan, panas......Kalau tidurnya cukup berarti
istirahatnya cukup......nggak nyenyak tidurnya nggak
nyenyak. Ya karena kondisi panas, terutama panas, terus ya
badannya pada sakit, nggak enak, nggak nyaman, apalagi
sekarang gusinya itu sering berdarah. Gelisah juga kalau tidur,
gelisahnya nggak tenang pokoknya......kalau terlalu turun
kebawah kebangun soalnya sesek... (P04)
...dulu dulu sering kaya gitu. Kan baru sekali seminggu,
belum sampai saatnya untuk HD, malam senin sudah
merasakan. Rasanya kadang kadang sebah, sesek, campur
semuanya...sering, ya cuma duduk, kadang nggak bisa tidur. Ya
pokoknya sengsara nggak ada enaknya...istirahate cukup wong
tiap hari istirahat... (P05)
Mereka mengungkapkan bahwa jika tidurnya cukup maka
istirahatnya juga akan cukup. Namun ada 2 partisipan yang
mengatakan tidur cukup tetapi istirahatnya tidak cukup. Tidur malam
selalu terbangun dan tidak bisa tidur kembali. Beberapa partisipan

80

merasakan kaki panas, perut kembung, kondisi badan panas, rasanya


sakit, tidak enak, tidak nyaman, gelisah saat tidur dan gusi berdarah.
Satu partisipan mengatakan tidak mengetahui perasaan apa yang
menyebabkan dirinya tidak bisa tidur.
6) Perubahan pola nutrisi
Perubahan pola nutrisi merupakan hal yang diungkapkan oleh
partisipan mengenai asupan makan dan minum pasien dengan gagal
ginjal kronik. Berikut ungkapan dari partisipan mengenai perubahan
pola nutrisi :
...tidak mbak, wong saya kalau tidak minum malah rasanya
lemas, jadi saya minum sesuka saya. Pakai air es. Kalau nggak
es rasanya nggak enak. Arepo mati kakean banyu es mbok ben
mbak...mendingan minum daripada makan. Kalau makan
secukupnya saja, makanan protein mboten angsal kaleh sayuran
lan buah buahan... (P01)
...dari petugas saya menyuruhnya melakukan pembatasan,
aturane dikit sekali kalau minum, tapi sekarang gimana lagi
kalau makan nggak minum, rasanya nggak enak, ya nyolong
nyolong, tidak pernah patuh...ya mungkin dua gelas, makan
boleh banyak, tapi maemnya 3x sedikit sekali...kalau banyak
kadang sesek, rasanya diperut penuh... (P02)
...tetap dibatasi mbak untuk minumnya, kalau nggak banyak
kondisinya lebih baik, kalau misal minumnya banyak rasanya
mual dan senep. Saya minum hanya 2 gelas, sore satu gelas,
siang juga minum pas makan siang itu mbak, paling setengah
gelas. Makan nggak boleh buah buahan sama protein... (P03)
...kalau satu hari minum dua gelas saja, itu anjuran dari dokter
tapi kan nggak ditaati, mungkin 1 liter saya habis
sehari......Kalau nggak minum kondisinya panas, kalau nggak
hujan malah tanbah panas dan dehidrasi, pengennya minum es,
kalau minum es malah tambah bengkak, paling nggak boleh
minum es......ya boleh banyak sih, protein sama buah
buahan, yang dianjurkan ikan sama daging, tapi paling ya dikit
dikit nggak terlalu banyak.......ya dulu dulu sih ngikutin,

81

tapi kan namanya orang nggak tentu, bosen juga, sekarang


makan tempe tahu dibacem itu kan berani dikit dikit juga sih
nggak terlalu banyak... (P04)
...yen esuk segelas, awan segelas, sore kat bengi 3 gelas.
Dibatasi dewe mbak minumnya. Dari pengalaman...maemnya
kalau mau okeh yo ra kepenak. Yen niki tak sedikitke kok mbak,
yen akeh akeh dilit dilit BAB. (P05)
Ketiga partisipan tidak menjalani aturan diit dari rumah sakit
mengenai konsumsi air. Konsumsi air pada penderita gagal ginjal
harus dibatasi, namun pada penelitian ini ditemukan tiga orang
partisipan tidak melakukan pembatasan diit terutama konsumsi air.
Satu orang partisipan menungkapkan bahwa melakukan pembatasan
diit minuman atas dasar pengalamannya sendiri.

4.3.2. Tema dari dimensi psikologis


Tema tema yang dihasilkan dari dimensi psikologis mengenai
adaptasi psikologis dibagi menjadi 2 yaitu perasaan positif diantaranya
adalah : 1) banyak berdoa dan beribadah; 2) sabar. Sedangkan perasaan
negatif diantaranya adalah : 1) putus asa; 2) sedih; 3) menyesal; 4) kecewa
dan 5) malu. Keseluruhan dari partisipan mengungkapkan perasaan positif
dan negatif. Ungkapan tersebut merupakan ungkapan mengenai dirinya
semenjak harus menderita sakit gagal ginjal dan harus menjalani terapi
hemodialisis seumur hidupnya. Berikut penjelasan masing masing tema :

82

1) Perasaan positif
a. Banyak berdoa dan beribadah
Berdoa dan beribadah merupakan tindakan yang selalu
dilakukan dan dilaksanakan oleh keseluruhan dari partisipan.
berikut ungkapan dari kelima partisipan mengenai hal ini :
...alhamdulillah mbak, sehari hari semakin meningkat.
saya jalankan sholat 5 waktu, menjalankan ibadah, berdoa
kepada Tuhan... (P01)
... selama ini saya menjalankan yang ringan ringan saja,
dulu waktu masih sehat saya ke masjid, berdzikir itu selalu,
berbuat baik juga dilakukan, rajin beribadah. Pas jam 12
malam cuma berdoa sama Tuhan bahwa diri saya dikasih
kesehatan lagi. Sholat udah nggak, nggak bisa bungkuk...
(P02)
...ya sholat ngaji, berbuat kebaikan, tetap jalankan ibadah
mbak, saya suka dzikir pas malem malem nggak bisa tidur,
semakin mendekatkan diri sama yang diatas... (P03)
...ikhatiar, tetap harus itu, kalau malam nggak bisa tidur
mungkin berdzikir atau merenung, banyak berdoa, sudah
diterima keadaan ini, agama saya semankin meningkat
mbak... (P04)
...sekarang nggak bisa sholat. Sebelum sakit masih bisa
mbak, masih ke masjid. Sekarang nggak bisa. Beribadah
kepada Tuhan hanya berdoa cuma biasa. Dzikir pas malam
malam. Pasrah juga mbak, mau gimana lagi mbak, kalau
mau wudlu kalau malam takut jatuh... (P05)
Berdoa dan beribadah dilakukan setiap hari oleh partisipan
meskipun tidak dengan menjalankan sholat. Karena suatu alasan
tertentu seperti badan tidak bisa membungkuk dan tidak tahan
untuk berdiri lama maka partisipan tidak dapat melaksanakan
sholat 5 waktu. Jika partisipan tidak dapat melaksanakan sholat 5

83

waktu, maka partisipan akan melakukan ibadah yang ringan


ringan seperti mengaji. Partisipan selalu meminta kepada Tuhan
untuk sembuh dari penyakitnya. Selain itu, partisipan selalu
berdzikir pada malam hari.
b. Sabar
Sabar merupakan hal yang sering diungkapkan oleh
keseluruhan dari partisipan. Berikut ungkapan dari kelima
partisipan :
...pasti bisa sembuh, bersyukur.tapi buat apa disesali, orang
ini sudah takdir, disyukuri alhamdulillah saja, tetap sabar...
(P01)
...saya juga nggak malu, biasa saja...saya sabar, ikhlas
menerima keadaan dan nggak nyesel dengan kondisi
sekarang... (P02)
...saya selalu sabar mbak berusaha untuk nerima keadaan
dan tabah. Saya nggak malu mbak, mau badan saya item,
perut buncit, badan kururs seperti ini, nggak malu mbak.
Saya bersyukur mudah mudahan Allah memberikan yang
terbaik... (P03)
...positifnya ya apa ya? Ya jadi tetap perfikir positif, dulu
suka ngeluh sekarang sudah nggak, sudah bisa nerima
keadaan, kesabaran meningkat, dulu sempat putus asa tapi
sekarang nggak lagi, ikhtiar juga kan masih tetep cuci darah,
harapannya semoga ada kemajuan... (P04)
...Cuma pasrah mbak... (P05)
Keseluruhan dari partisipan mengungkapkan perasaan yang
sabar dalam menghadapi penyakitnya. Perasaan sabar diungkapkan
dengan berbagai macam ungkapan seperti tetap bersyukur dengan
keadaan, perasaan ikhlas dan perasaan tidak menyesal.

84

2) Perasaan negatif
a. Putus asa
Perasaan putus asa diungkapkan oleh tiga partisipan penderita
gagal ginjal kronik. Seperti yang diungkapkan oleh ketiga
partisipan :
...kadang putus asa kok nggak sembuh sembuh, merasa
bersalah dengan keadaan, tapi ya mau gimana lagi... (P02)
...putus asa juga mbak, kok nggak sembuh sembuh
padahal sudah berobat bertahun tahun... (P03)
...karena sakitnya nggak sembuh sembuh, kalau cuci
darah kan bukan obat, cuma ngebersihin darah atau sampah
yang habis dikonsumsi... minum obat diikutin, berobat
kesana diikutin, tapi kok lama lama nggak ada perubahan,
udah capek iya tapi nggak ada perubahan... (P04)
Putus asa dirasakan ketiga partisipan yang sudah menjalani
bermacam macam pengobatan namun kondisinya tetap tidak
membaik dan belum mendapat kesembuhan.
b. Sedih
Perasaan sedih yang dialami oleh partisipan terutama pada
saat awal harus didiagnosa gagal ginjal dan harus menjalani
hemodialisis sepanjang hidupnya. Berikut ungkapan perasaan sedih
dari 4 partisipan :
...saya takut mbak, takutnya itu suntuk jarum. Capek juga
mbak... (P01)
...tapi kadang saya nangis mbak kalau sakit sama kambuh
itu... (P03)
...dulu selalu berfikir positif, mungkin iya mbak, sekarang
dengan kondisi seperti ini ada sedikit gangguan, gimana sih

85

kondisi orang sakit, pasti macam macam pikirannya...


(P04)
...ya umpamanya kadang menangis, sedih. Karena kalau
kumat nggak ada yang ngurusi... (P05)
Partisipan merasa sedih dengan perubahan kondisinya yang
jauh berbeda dengan kondisi sebelum sakit. Perasaan sedih
diungkapkan oleh 4 partisipan
c. Menyesal
Perasaan menyesal diungkapkan oleh kedua partisipan.
Berikut ungkapan dari kedua partisipan :
...ya menyesalnya dulu kok, pernah kan awal awalnya
gejala dulu kok nggak langsung diobati... (P04)
...menyesal mbak dengan kondisi ini, takut juga. Kalau pas
kumat sering emosi. Minta apa apa harus dituruti... (P05)
Ungkapan menyesal dikarenakan partisipan ketika sehat tidak
menjaga kesehatannya, mereka mengabaikan masalah kesehatan
dan akhirnya sampai saat ini harus terkena sakit gagal ginjal kronik
dan harus hemodialisis sepanjang hidupnya
Namun

partisipan

yang

lain

tidak

mengungkapkan

rasa

menyesalnya dengan kondisi yang saat ini sedang dialaminya.


Perasaan menyesal tersebut diungkapkan oleh bermacam macam
karakter dari partisipan. Karena cara berfikir masing masing
partisipan akan berbeda.

86

d. Kecewa
Perasaan kecewa diungkapkan oleh dua dari partisipan.
Partisipan mengungkapkan perasaan kecewanya terhadap kondisi
saat ini. Berikut ungkapan dari kedua partisipan :
...nggak ada puasnya malahan, adanya kecewa kecewa dan
kecewa...kalau awal awalnya nggak nerima dengan kondisi
kaya gini, kok bisa ya aku kan kayaknya nggak berbuat
terlalu buruk, kok bisa begini jadi nggak nerima tapi ya
untungnya ada orang sekeliling yang support, kasih
semangat jadi tambah kuat lagi...(P04)
...belum bisa nerima keadaan karena usianya masih
muda,masih 54 tahun... (P05)
Apa yang dialami partisipan merupakan sebuah kondisi yang
membuat partisipan merasa kecewa. Kecewa kepada diri sendiri
maupun kecewa kepada Tuhan. Satu partisipan merasa bahwa
dirinya tidak melakukan kesalahan yang besar namun diberikan
sakit yang begitu parah
e. Malu
Rasa malu diungkapkan oleh tiga partisipan. Berikut
ungkapan dari ketiga partisipan :
...tetap ada rasa malu mbak, mau ketemu sama orang lain
aja susah, masalahnya malu kok aku dadi kaya ngene
rupaku, kok perutku jadi gedhe, misal mau bertemu sama
orang lain niku isin... (P01)
...kadang kadang ada malu juga sih sama temen, malunya
karena dengan kondisi badan yang seperti ini, dulu kan
nggak keliatan orang sakit gitu lho, sekarang udah kaya gini,
kan cuci darah kan kulitnya jadi item, terus kurus, pokoknya
nggak ada nyaman nyamannya... (P04)

87

...menerima, tapi saya malu jika ketemu sama orang yang


belum dikenal karena badan berubah, kulit item perut besar
akhir akhir ini...bersosialisasi nggak bisa...umpamanya ada
kematian itu sudah nggak bisa, sudah dirumah aja. Kalau
ada arisan juga sudah nggak... (P05)
Rasa malu dikarenakan partisipan merasakan jika dirinya
mengalami perubahan dalam bentuk fisik tubuhnya. Kulit menjadi
hitam dan bersisik serta perut yang membuncit. Partisipan malu
untuk bersosialisasi dengan orang lain yang belum pernah bertemu
dengan partisipan. Rasa malu tersebut membuat partisipan jarang
bersosialsisasi dengan orang lain
4.3.3. Tema dari dimensi hubungan sosial
Tema yang didapat dari dimensi hubungan sosial adalah 1) kurang
sosialisasi; 2) disfungsi seksual; 3) butuh dukungan. Keseluruhan dari
partisipan mengalami gangguan dalam bersosialisasi dengan orang lain
yang diakibatkan karena kondisi yang tidak memungkinkan dan
mengalami perubahan kulit menjadi hitam dan kurus akibat dari
hemodialisis yang dijalani. Berikut penjelasan masing masing tema :
1) Kurang sosialisasi
Kurang mampu bersosialisasi diungkapkan oleh empat dari
partisipan. Berikut ungkapan dari partisipan mengenai kurang
sosialisasi :
...nggih mbak, tapi kurang sosialisasi, isin niku wau mbak...
(P01)
...kalau untuk sosial, saya kurang sosialisasi dengan tetangga,
jarang keluar rumah... (P03)

88

...tidak bebas dalam bersosialisasi... (P04)


...orang lain ya biasa, kalau menarik diri nggak mbak, saya
biasa. Bersosialisasi nggak bisa. Umpamanya ada kematian itu
sudah nggak bisa, sudah dirumah saja... (P05)
Kurang mampu sosialisasi diungkapkan oleh empat partisipan.
Partisipan mengungkapkan bahwa mengalami perubahan dalam
bersosialisasi dan berhubungan dengan orang lain. Keluar rumah
jarang dilakukan oleh partisipan dikarenakan kondisi yang tidak
memungkinkan. Keseluruhan dari partisipan juga tidak mampu
melakukan akivitas rekreasi seperti yang dilakukan sebelum sakit.
2) Disfungsi seksual
Disfungsi seksual dirasakan dan diungkapkan oleh keseluruhan
dari partisipan. Berikut ungkapan dari keseluruhan partisipan
mengenai disfungsi seksual :
...insyaAllah mboten...sama sekali sudah tidak mbak...kalau
saya ngerasain capek mbak... (P01)
...kalau saya sudah nggak pernah melakukan, rasanya capek,
rasanya nggak puas, nggak ada gairah karena penyakit gulanya
apalagi sekarang ini... (P02)
...sudah ndak dilakukan, dari sekitar tiga tahunan yang lalu.
Rasanya ndak ada gairah, sudah lama mbak, tidak kuat juga...
(P03)
...udah nggak bisa, udah nggak dilakukan, orang istri juga
nggak ada disini, kalaupun ada saya juga nggak mbak, capek,
nggak ada gairah sama sekali. Nanti takutnya kalau sesek...
(P04)
...sudah nggak bisa, otomatis itu, berhenti total. Nggak bisa
ereksi, capek tentu, nggak bergairah itu juga... (P05)

89

Keseluruhan
berhubungan

dari

suami

partisipan
istri

dengan

mengungkapkan
pasangannya.

tidak

lagi

Partisipan

mengungkapkan bahwa tidak lagi melakukan hubungan seksual


dikarenakan sudah tidak bergairah, mengalami penurunan kekuatan
dan tidak bisa ereksi.
3) Butuh dukungan
Diperhatikan dan didukung merupakan sesuatu hal yang selalu
diharapkan oleh keseluruhan dari partisipan. Berikut ungkapan dari
partisipan mengenai dukungan yang diperoleh :
kalau informasi sudah terpenuhi mbak, dari ruangan HD...ada
dukungan mbak, sebenarnya HD itu saya capek mbak, tapi
dukungan dari orang tua harus tetap ada. HD dan harus
berangkat HD...lingkunganHD nyaman nyaman saja, teman
teman pada kompak... (P01)
...ada mereka selalu menyuruh saya untuk tidak putus asa
dalam HD ini. mereka nggak pernah putus memberikan
semangat kepada saya. Saya juga tambah kuat. Setiap mau HD
mereka mengantar saya ke rumah sakit. Dari rumah sakit juga
ada kok. Pokoke saya disuruh nurut sama pihak rumah
sakit......ya temen saya kalau hadir kesini sering ninggali
uang gitu aja, tapi mereka juga mendukung......waduh itu
termasuk nyaman, saya sudah puas itu... (P02)
...kalau sama bapak dan kelaurga baik mbak malah semakin
dekat, setiap hari selalu berkomunikasi...kalau dari keluarga
ada dukungan mbak, kalau saya mau HD itu mereka selalu
mendukung, biar saya cepet sembuh. Kalau misal tidak mentaati
dietnya mereka mengingatkan saya supaya makan dan minum
tetap terjaga...dari tetangga mereka selalu memberikan
dukungan...(P03)
...hubungannya kalau orang tua sendiri malah semakin erat
mbak, siapa lagi kalau bukan mereka selalu memberikan
support.....mereka selalu kasih support, yang sabar, semoga
cepat sembuh. Jadi nggak ada perubahan mbak, maksudnya
mereka nggak menjauh...... orangnya baik baik ramah,

90

ruangannya nyaman, AC juga, kalau alat pas mati lampu, sama


jensetnya rusak, terus diganti sama batre yang ada alatnya
itu... (P04)
Dukungan sosial diungkapkan oleh kelima partisipan. Dukungan
sosial merupakan kebutuhan dari partisipan dalam penelitian ini.
Partisipan ingin selalu mendapatkan kenyamanan fisik, ingin selalu
dicintai oleh keluarganya dan oleh semua orang, ingin dihargai oleh
orang lain. Dukungan yang dibutuhkan partisipan dalam penelitian ini
adalah dukungan dari keluarga untuk selalu berangkat hemodialisis,
dukungan untuk tetap kuat menjalani penyakit gagal ginjal, dan
dukungan dari perawat ruangan. Satu partisipan mengungkapkan
bahwa kurang mendapat dukungan dari anaknya, namun tetap
mendapat dukungan dari istri dan tetangga, selain itu partisipan juga
kurang mendapat informasi dari pihak rumah sakit. Berikut ungkapan
dari partisipan tersebut.
...ya biasa, biasa saja nggak ada bedanya. Tapi kalau dengan
ibu ya dekat kan yang merawat saya sehari hari...umpamanya
anak? Ya biasa saja, nggak mendukung. Anak saya cuek
saja...tetangga? iya mereka memberi dukungan, masih baik,
tanya kalau ketemu, po jik HD, masih, yuh mbok gek mari. Gitu
mbak...belum, penyakit gagal ginjal itu nggak boleh begini
nggak boleh begini itu nggak ada penjelasannya... (P05)
4.3.4. Tema dari dimensi lingkungan
Tema yang telah didapat dari dimensi lingkungan adalah 1)
perubahan status ekonomi; 2) butuh informasi dan 3) puas dengan akses
kesehatan dan transportasi. Keseluruhan dari partisipan mengalami
perubahan dalam hal ekonomi. Kelima dari partisipan akan tetap

91

mebutuhkan iformasi mengenai penyakitnya setiap saat. Selain dua hal


tersebut, partisipan mengungkapkan mengenai transportasi dan akses yang
ingin dicapai untuk mendapat layanan kesehatan. Empat partisipan
mengaku mudah untuk mencapai akses ke pelayanan kesehatan, namun
satu pasien mengatakan susah dan jauh untuk mencapai akses layanan
kesehatan, dikarenakan berbeda provinsi. Berikut penjelasan beberapa
tema dari partisipan :
1) Perubahan status ekonomi
Perubahan status ekonomi dirasakan oleh semua partisipan.
Empat dari partisipan mengungkapkan bahwa kebutuhan ekonomi
semakin meningkat seiring dengan hemodialisis yang dijalani saat ini.
Berikut ungkapan dari partisipan :
...ya cukup nggak cukup harus cukup mbak. Alhamdulillah
tetap ada dan terpenuhi. Hanya untuk transportasi dan
sebagainya. Kalau HD sudah dari jamkesmas... (P01)
...saya menggunakan jamkesmas, kalau untuk sehari hari
belum cukup, harus lebih ngirit, untuk transportasi HD saya
dikasih sama anak dan istri. Kalau untuk kebutuhan lain, harus
cari uang pinjaman juga, intinya masih kurang. Kalau sudah
gini, mau sambat ke siapa, mau minta siapa. Orang seperti saya
cuma adane itu ya itu... (P02)
...kadang yo kurang kadang yo nggak mbak. Kadang cukup dan
harus cukup mbak. Harus bisa membagi bagi antara
kebutuhan rumah untuk makan... (P03)
...kalau HD jamkesmas mbak, jadi lumayan ringan nggak
terlalu berat berat banget. Paling untuk transportasi...ya
kasian orang tua yang cari uang, apalagi dikampung gini kan
penghasilannya juga minim. Kalau saya sudah nggak dapet
penghasilan sama sekali. Kadang ngerasanya pingin cepet
cepet bisa kerja lagi. Harus bagi bagi uang buat
transportasi... (P04)

92

Kebutuhan tersebut adalah kebutuhan untuk trasnportasi.


Partisipan harus mempersiapkan uang untuk setiap kali hemodialsisi.
Belum lagi ditambah jika partisipan harus rawat inap jika kondisi
badannya

kurang

baik.

Namun

ada

satu

partisipan

yang

mengungkapkan bahwa tidak mengalami perubahan dalam kebutuhan


ekonomi. Satu partisipan mengungkapkan bahwa tidak mengalami
perubahan dalam hal ekonomi. Kebutuhan tetap terpenuhi dan tidak
merasakan adanya kebutuhan yang meningkat. Berikut ungkapan dari
partisipan :
...ya dikasih beli bensin sama mbah yang sudah pensiun...ibu
yang bekerja. Nggak merasa kurang mbak, nggak merasa
meningkat juga kebutuhannya, sudah cukup seperti ini... (P05)
2) Butuh informasi
Mendapat informasi dan butuh informasi mengenai penyakit
gagal ginjal kronik dan hemodialisis diungkapkan oleh keseluruhan
dari partisipan. Berikut ungkapan dari partisipan :
...kalau informasi sudah terpenhui mbak dari ruangan HD...
(P01)
...sudah, mereka memberikan informasi mengenai makan dan
minum, aktivitas yang boleh dilakukan, kalau saya bertanya
mereka menjawab. Ya sebatas itu itu saja. Tapi saya cukup.
Mereka meberikan informasi mengenai obat juga... (P02)
...diberikan mbak mengenai makan dan minum dan juga
aktivitas... (P03)
...sudah mbak, sudah mendapat informasi, paling tentang
asupan makan dan minum... (P04)

93

Semua dari partisipan tetap membutuhkan informasi dari


petugas kesehatan mengenai sakit yang dideritanya. Empat partisipan
mengungkapkan bahwa sudah mendapat informasi yang dibutuhkan
dari

petugas

kesehatan,

namun

ada

satu

partisipan

yang

mengungkapkan bahwa belum mendapat informasi dari petugas


kesehatan mengenai sakitnya.
...belum, penyakit gagal ginjal itu nggak boleh begini nggak
boleh begini itu nggak ada penjelasannya... ya cuma sedikit,
tapi sedikitnya itu seberapa, nggak ada penjelasannya. Ada
yang menerangkan kalau pipis suruh nadahi, nanti minumnya
ditambahi sedikit, ya jalau nggak pipis bisa pipis beberapa hari
ngene iki opo kon ra minum... iya belum jelas semua... iya
masih, masih sekali... ya cuma setiap hari ditanya cuma gitu
gitu aja jawabannya... (P05)
Partisipan

tersebut

belum

mendapatkan

informasi

yang

dibutuhkan mengenai penyakit gagal ginjal dan tindakan hemodialisis.


3) Puas dengan akses kesehatan dan transportasi
Puas dengan akses dan transportasi yang digunakan untuk
mencapai ke pelayanan kesehatan. Berikut ungkapan partisipan
mengenai akses dan transportasi yang dibutuhkan untuk mencapai
pelayanan kesehatan :
...gampil menggunakan sepeda motor...tidak mbak (tidak ada
keluhan) kula biasa saja apa adanya (menerima jika
menggunakan sepeda motor untuk HD)... (P01)
...mudah, kalau saya itu termasuk mudah...menggunakan
sepeda motor (untuk HD), dengan itu sudah cukup...tidak
pernah ngeluh. Sepeda motor jelek ya ndak apa apa... (P02)
...mudah mbak, sudah termasuk dekat kalau mau HD... kadang
kadang menggunakan mobil, kadang kadang juga

94

bersepeda...ini pun saya sudah dapat sampai di rumah sakit


mbak. Yang penting saya hadir (HD)... (P03)
...ya sudah, sudah cukup, mudah saja. Orang Cuma deket kok
mbak...saya pakai sepeda motor udah biasa mbak...nggak,
ngapain ngeluh, sudah cukup (dengan menggunakan sepeda
motor untuk HD)...
Keempat dari partisipan menungkapkan bahwa mudah dalam
mencapai pelayanan kesehatan dan puas dengan transportasi yang
digunakan untuk mencapai akses tersebut. Namun satu partisipan
mengungkapkan bahwa sulit untuk mencapai akses yang dibutuhkan
mengingat jarak rumah dengan rumah sakit sangat jauh. Keseluruhan
dari partisipan mengungkapkan bahwa sudah puas dengan transportasi
yang digunakan untuk mencapai layanan kesehatan. Berikut ungkapan
dari satu partisipan mengenai akses yang terlalu jauh :
...terlalu jauh, di Pacitan sendiri sini kan nggak ada ya... ya
jelas pinginnya pakai mobil, tapi uang nggak cukup...motor aja
udah puas dan cukup mbak, yang penting bisa sampai sana
(Rumah sakit)... (P05).

4.4.PEMBAHASAN
4.4.1. Dimensi Fisik
1) Kelemahan fisik
Kelemahan

fisik

dirasakan

oleh

keseluruhan

dari

partisipan.

Kelemahan fisik akan mempengaruhi aktivitas dari partisipan,


partisipan akan melakukan pembatasan energi untuk menyesuaikan
dengan kondisinya. Kelemahan fisik tersebut juga akan mempengarui
mobilitas dan partisipan akan kehilangan pekerjaan Sebagai akibatnya,

95

partisipan tidak dapat melakukan kegiatan tersebut seperti dahulu


sebelum sakit.
Menurut Widodo (2006) kelemahan fisik pada pasien dengan
gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis dapat terjadi akibat
adanya anemia, hal tersebut disebabkan karena menurunnya produksi
eritropoetin akibat kerusakan fungsi ginjal. Anemia merupakan suatu
keadaan dimana sel darah merah dari tubuh kurang dari normal. Gejala
gejala dari anemia adalah lelah, letih dan lesu. Hal tersebut yang
membuat keseluruhan dari partisipan merasa kurang tenaga, merasa
lelah dalam beraktivitas dan merasa kurang energi untuk beraktivitas.
Nurchayati (2010) mengemukakan bahwa anemia dapat terjadi
pada hampir semua pasien dengan gagal ginjal kronik, menyebabkan
kematian dini serta mengurangi kualitas hidup karena menyebabkan
kelelahan, penurunan kemampuan kapasitas latihan, penurunan
kemampuan kognitif serta gangguan imunitas. Target HB yang tinggi
direkomendasikan karena dari berbagai studi observasi ditemukan
bahwa HB yang tinggi dapat meningkatkan ketahanan pasien dan
meningkatkan kualitas hidup. Dengan demikian anemia dapat
mempengaruhi aktivitas fisik pederita gagal ginjal kronik.
Painter (2005) mengungkapkan bahwa tingkat aktivitas fisik
adalah prediktor kematian pada pasien dengan gagal ginjal kronik.
Painter juga mengungkapkan sebagian besar pasien dengan dialisis
tidak pernah melakukan aktivitas fisik di luar dasar dari activity dailiy

96

living (ADL). Johansen (dikutip dalam Painter 2005) melaporkan


sebanyak 39 orang pasin hemodialisis memiliki aktivitas rendah yang
dikur dengan akselerometri. Survey yang dilakukan oleh USRDS
Morbidity and Mortality Study dari 4024 pasien hemodialisis, 12,4%
tidak dapat melakukan ambulasi dan transfer / perpindahan.
Painter (2005) mengungkapkan bahwa ada beberapa latihan fisik
untuk penderita gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis.
Latihan kardiovascular telah meyakinkan terbukti menghasilkan dan
meningkatkan volume O2. Penelitian penelitian yang telah dilakukan
mengenai hal ini menyebutkan bahwa pasien pasien dengan
hemodialisis yang mengikuti latihan termasuk pasien berfungsi tinggi.
Rendahnya volume O2 menunjukkan beberapa keterbatasan fisiologi
pada pasien dengan gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis.
Salah satu keterbatasan tersebut adalah anemia. Dalam studi yang
dilakukan melaporkan bahwa satu satunya faktor yang signifikan
dalam perubahan volume O2 pada pasien yang dilakukan latihanadalah
hematokrit yang tidak normal. Sedangkan kelompok hematokrit
normal dengan latihan volume O2 dapat meningkat sebanyak 21%.
Latihan fisik secara teratur telah terbukti dalam studi
observasional untuk meperpanjang umur dan untuk mengurangi risiko
cacat fisik dikemudian hari. Latihan latihan tersebut antara lain
latihan kekuatan otot dan latihan fungsi vascular. Akibat dari
kelemahan fisik dan pembatasan energi yang dilakukan partisipan juga

97

akan kehilangan pekerjaan, mengalami gangguan hubungan dengan


orang lain dan gangguan berinteraksi dengan orang lain.
Studi yang dilakukan oleh Ritma (dikutip dalam Nurchayati
2010) melalui studi fenomenologi mengemukakan bahwa pasien
dengan gagal ginjal kronik mengalami perubahan peran dalam
hubungan dengan orang lain akibat ketergantungan terknologi medis.
Pada penelitian tersebut ditemukan adanya penurunan independen dan
otonomi, kehilangan identitas peran keluarga, terpisah dari keluarga,
perasaan terisolasi dan membutuhkan pertolongan.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
oleh Farida (2010) yaitu bahwa penderita gagal ginjal kronik
mengalami perubahan kebutuhan fisiologis, penderita gagal ginjal
kronik

selalu

mengalami

kelemahan

fisik

untuk

beraktivitas

dikarenakan adanya anemia. Akibat dari kelemahan fisik dan akibat


dari hemodialisis yang dilakukan, partisipan mengalami gangguan
dalam berinteraksi dengan orang lain.
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Asri
(dikutip dalam Nurchayati 2010) mengatakan bahwa 2/3 pasien yang
mendapat terapi dialisis tidak pernah kembali pada aktivitas atau
pekerjaan seperti sediakala sehingga banyak pasien kehilangan
pekerjaannya. Menurut Warnick (dalam Farida 2010) melaporkan rasa
kehilangan pekerjaan, peran dalam keluarga dan kehilangan teman

98

serta tingkat pendidikan yang rendah merupakan risiko utama


terjadinya depresi.
2) Sesak nafas
Sesak nafas yang diungkapkan oleh partisipan dikarenakan
banyak minum / kelebihan asupan cairan sehingga menyebabkan perut
menjadi senep selain itu sesak nafas juga diakibatkan karena aktivitas
yang terlalu berat dan berlebih. Purcell (dikutip dalam Farida 2010)
sesak juga terjadi akibat adanya komplikasi dari penyakit ginjal kronik
berupa penyakit jantung yang merupakan penyebab utama kematian
pada pasien yang menjalani hemodialisis.
Mavanur (2010) gangguan pernafasan dikaitkan dengan
gangguan kualitas hidup pada pasien gagal ginjal kronik yang
menjalani terapi hemodialisis. Lebih lanjut lagi Mavanur menjelskan
bahwa gangguan pernafasan pada pasien gagal ginjal lebih banyak
disebabkan karena penyakit kardiovaskular, hipertrofi ventrikel kiri
akan dikaitkan dengan kejadian hipoksemia. Hal ini berbeda dengan
hasil penelitian terhadap 3 orang partisipan, pada penelitian ini
partisipan mengeluhkan sesak nafas dikarenakan konsumsi air minum
yang terlalu banyak. Namun ada 1 partisipan yang dicurigai mengidap
penyakit jantung hanya saja tidak terdiagnosa akibat tidak dilakukan
pemeriksaan pemeriksaan. Partisipan tersebut mengungkapkan sesak
nafas untuk segala aktivitas dan merupakan keluhan sehari hari.

99

Sesak nafas diakibatkan karena banyak minum dan tidak


membatasi asupan cairan menyebabkan pasien dengan gagal ginjal
kronik mengalami penumpukan cairan di perut. Cairan tersebut tidak
dapat diproses melalui ginjal dikarenakan ginjal tidak dapat berfungsi
dengan baik. Jika pasien tidak membatasi asupan cairan maka hal
tersebut akan mengakibatkan perut semakin membesar. Perut yang
membesar akan semakin mendesak bagian epigastrium dan semakin
mendesak bagian paru paru akibatnya

paru paru tidak dapat

berkembang dengan baik dan penderita akan mengalami sesak nafas.


3) BAK tidak lampias
Keseluruhan

dari

partisipan

tetap

membutuhkan

terapi

pengobatan untuk kencing selain dari terapi hemodialisis yang


dijalaninya sat ini. Rasa puas untuk BAK tidak pernah dirasakan oleh
seluruh dari partisipan. Perubahan inipun yang paling sering dirasakan
oleh keseluruhan dari partisipan. Namun setelah partisipan menjalani
terapi hemodialisis, partisipan sedikit mampu untuk BAK dikarenakan
racun yang ada diseluruh tubuh sudah dikeluarkan pada saat
hemodialisis. Ketidakmampuan BAK yang dialami oleh partisipan
dapat disebut sebagai anuria.
Nurcahayti (2010) gangguan eliminasi berupa anuria, yaitu
suatu keadaan tidak ada produksi urin selain itu anuria diartikan
sebagai suatu keadaan dimana produksi urin dalam 24 jam kurang dari
100ml. Sebagai akibat dari gangguan eliminasi anuria akan timbul

100

gangguan keseimbangan didalam tubuh yaitu berupa penumpukan


cairan, elektrolit, dan sisa sisa metabolisme tubuh yang seharunya
keluar bersama sama dengan keluarnya urin. Hal ini diakibatkan
karena fungsi ginjal yang sudah tidak maksimal.
Corwin (2009) pada awal penyakit gagal ginjal, manifestasi
anuria mungkin minimal karena nefron nefron lain yang sehat
mengambil alih fungsi nefron yang rusak. Nefron yang rusak akan
meningkatkan laju filtrasi, reabsorbsi dan sekresinya serta mengalami
hipertrofi dalam proses tersebut. Seiring dengan banyaknya nefron
yang mati, nefron yang tersisa akan menghadapi tugas yang banyak
dan semakin berat, sehingga nefron nefron tersebut mengalami
kerusakan

dan

akhirnya

mati.

Sehingga

ginjal

tidak

dapat

tersebut

mulai

mengeluarkan sisa metabolisme dengan maksimal.


Milner

(2003)

sisa

akhir

metabolisme

terakumulasi dalam darah sebab nefron yang sehat tidak mampu untuk
mengkompensasi nefron nefron yang tidak berfungsi, yang akan
mengakibatkan tertimbunnya produk akhir metabolisme di dalam
darah yang tidak dapat dikeluarkan oleh ginjal termasuk produksi urin.
Pada penelitian ini keseluruhan dari partisipan mengalami keluhan
anuria setiap harinya.
4) Kulit hitam
Perubahan warna kulit menjadi kehitaman ditemukan dalam
penelitian ini. Partisipan mengalami perubahan warna kulit menjadi

101

hitam dikarenakan akibat dari hemodialisis dan proses pembersihan


darah dengan zat kimia yang dilakukan satu minggu 2 kali. Hal ini
sesuai

dengan

penelitian

yang

dilakukan

Farida

(2010)

mengungkapkan bahwa pada pasien dengan hemodialisis didapatkan


adanya rasa yang tidak nyaman berupa gangguan pada kulit. Gangguan
pada kulit seperti rasa gatal, kulit kering dan kulit belang / hitam.
Thomas (dikutip dalam Farida 2010) mengungkapkan bahwa penyebab
gatal pada kulit dikarenakan kulit kering, tingginya kadar kalsium dan
fosfat serta meningkatnya kadar histamin dan penumpukan zat besi,
hal tersebut diakibatkan karena ginjal tidak dapat mengeluarkan sisa
sisa metabolisme.
Tindakan yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal tersebut
adalah memberikan pengertian kepada partisipan atau penderita gagal
ginjal kronik untuk menggunakan lotion setiap kali sehabis mandi.
Lotion

tersebut

diharapkan

mampu

melembabkan

kulit

dan

menghilangkan rasa gatal serta bersisik. Dengan tujuan untuk


mempertahankan kelembapan kulit, agar terbebas dari kerusakan
akibat hemodialisis.
5) Kualitas tidur
Kualitas tidur dalam penelitian ini didapatkan bahwa partisipan
mengalami gangguan tidur pada saat malam hari. Tidur tidak dapat
terpenuhi dikarenakan suatu sebab yaitu merasakan kaki panas, perut
kembung, kondisi badan panas, rasanya sakit, tidak enak, tidak

102

nyaman, gelisah saat tidur dan gusi berdarah. Satu partisipan


mengatakan tidak mengetahui perasaan apa yang menyebabkan dirinya
tidak bisa tidur. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Farida
(2010) mengemukakan bahwa perubahan pemenuhan kebutuhan pola
istirahat dan tidur dialami oleh partisipan dalam penelitian. Dalam
penelitian tersebut partisipan mengungkapkan bahwa tidak bisa tidur
dengan alasan yang tidak jelas.
Benz (2012) keluhan tidur pasien gagal ginjal dilaporkan
mencapai 50%, gangguan tidur tersebut termasuk sleep apnea
syndrome dan gelisah. Tidak jauh berbeda, Holley (dikutip dalam
Farida 2010) melaporkan bahwa sleep disorder disturbance pada klien
yang menjalani hemodialisis dapat disebabkan oleh beberapa faktor
antara lain kecemasan, kesedihan dan nyeri tulang.
Benz (2012) mengungkapkan bahwa penyebab terbanyak
gangguan tidur yang dialami oleh pasien gagal ginjal kronik adalah
apnea tidur. Gangguan tidur pada pasien gagal ginjal kronik telah
dikaitkan dengan peningkatan penyakit kardiovaskular termasuk
penyakit arteri koroner, hipertrofi ventrikel kiri dan hipertensi. Pada
penelitian yang dilakukanya, Benz menyebutkan keluhan tidur
subyektif yang umum diungkapkan oleh pasien dialisis adalah
kesulitan memulai dan mempertahankan tidur, merasa gelisah, kaki
tidak nyaman, gatal gatal, nyeri tulang, peningkatan stres,
kecemasan, dan depresi. Gangguan tidur yang dialami pasien dialisis

103

yang sangat tidak nyaman akan mempengaruhi kegiatan sehari hari.


Kebanyakan dari pasien percaya bahwa menghilangkan gangguan tidur
akan meningkatkan kualitas hidup. Dalam penelitiannya tersebut Benz
melaporkan bahwa pasien laki laki lebih banyak mengalami
gangguan tidur dibandingkan dengan pasien perempuan. Hal ini sesuai
dengan hasil penelitian yaitu 2 orang pasien berjenis kelamin laki
laki dan hanya 1 orang pasien berjenis kelamin perempuan mengalami
gangguan tidur.
Parker (dikutip dalam Benz 2012) menyebutkan faktor faktor
yang menyebabkan ganguan tidur pada pasien dengan gagal ginjal
kronik antara lain faktor psikologis (ansietas, depresi, stres, khawatir),
faktor penyakit (status kesehatan umum, anemia, uremia, perubahan
metabolik),

faktor

gaya

hidup

(peningkatan

konsumsi

kopi,

penggunaan rokok) dan faktor demografi (bertambahnya usia, jenis


kelamin dan warna kulit putih).
Berbeda dengan penelitian yang dilakukan Rompas, dkk (2013)
menyebutkan bahwa banyak pasien gagal ginjal kronik yang
mengalami gangguan tidur terkait dengan kadar hemoglobin yang
dimiliki oleh pasien, kadar hemoglobin pada pasien dengan gagal
ginjal kronik mengalami penurunan dan penurunan itu akan
berdampak pada kualitas tidur pasien dikarenakan komplikasi seperti
anemia dan keluhan badan lemah, mual dan kurang nafsu makan. Pada
penelitian

tersebut

dijelaskan

bahwa

semakin

kurang

kadar

104

hemoglobin yaitu <9,7 gr/dl semakin cenderung mengalami kualitas


tidur buruk dan sebaliknya semakin tinggi kadar hemoglobin yaitu
9,76 gr/dl semakin baik pula kualitas tidurnya.
Pada penelitian ini ditemukan bahwa ada 2 partisipan yang
mengatakan tidak bisa tidur dimalam hari dikarenakan alasan yang
tidak jelas. Sedangkan 1 partisipan mengatasi gangguan tidur dengan
melakukan aktivitas seperti menyapu ruangan meskipun hanya
sebentar. Hal yang dilakukan partisipan pada saat terbangun dimalam
hari adalah berdoa.
6) Perubahan pola nutrisi
National Kidney Foundation (2006) Pada pasien dengan gagal
ginjal kronik diet adalah bagian terpenting dalam perawatan sehari
hari. Diet dapat berubah ubah seiring dengan berjalannya waktu dan
seiring dengan bertambahnya keparahan penyakit. Pemasukan cairan
harus disesuaikan dengan berapa banyak fungsi ginjal yang dimiliki.
Laju filtrasi glomerulus adalah cara terbaik untuk melacak fungsi
ginjal. Keseluruhan dari partisipan mengungkapkan bahwa mengalami
perubahan pola nutrisi setiap harinya karena harus melakukan
pembatasan makan dan minum, jika tidak dibatasi maka badan terasa
tidak enak. Beberapa cara yang dilakukan untuk menjaga nutrisi pada
pasien dengan gagal ginjal kronik adalah dengan menjaga asupan
kalori karena kalori dapat memberikan dan menambah energi, dapat

105

mempertahankan

berat

badan

dan

membantu

tubuh

untuk

menggunakan protein sebagai penguat otot dan jaringan.


Pada penderita gagal ginjal dianjurkan untuk membatasi asupan
protein. Selain menjaga asupan kalori dan protein, pada pasien dengan
gagal ginjal perlu menjaga berat badan. Meskipun pada pasien gagal
ginjal kronik dibatasi untuk konsumsi protein, namun pada pasien
tersebut masih berhak untuk mendapatkan asupan protein yang
seimbang, protein tersebut berguna untuk membangun otot /
memperkuat otot, memperbaiki jaringan dan memerangi infeksi. Pada
tahap awal penyakit ginjal, pasien tidak perlu membatasi cairan,
namun jika penyakit ginjal sudah mendekati tahap akhir, pembatasan
cairan sangat penting dilakukan, karena ginjal sudah tidak mampu
untuk memproses cairan yang didalamnya.
Beberapa partisipan mengungkapkan bahwa jika banyak minum
maka badan rasanya tidak enak dan sesak nafas serta perut sebah terasa
penuh. Namun ada satu pasien jika tidak minum banyak badan akan
terasa tidak enak dan merasa lemas. Ketidakpatuhan terhadap asupan
cairan yang terjadi pada partisipan sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Sari (2009) mengungkapkan bahwa klien gagal ginjal
yang menjalani terapi hemodialisis lebih banyak yang tidak patuh
dibandingkan dengan yang patuh. Asupan cairan / air pada penyakit
gagal ginjal kronik sangat perlu dilakukan. Hal ini bertujuan untuk
mencegah terjadinya edema dan komplikasi kardiovascular.

106

YGDI (2008) mengontrol asupan cairan merupakan salah satu


masalah utama bagi pasien dialisis. Karena dalam kondisi normal
manusia tidak dapat bertahan lebih lama tanpa asupan cairan
dibandingkan dengan makanan. Namun bagi penderita gagal ginjal
kronik

harus

melakukan

pembatasan

asupan

cairan

untuk

meningkatkan kualitas hidupnya. Mayoritas klien yang menjalani


terapi hemodialisis di Indonesia menjalani terapi 2x dalam seminggu
antara 4 5 jam pertindakan. Itu artinya tubuh harus menanggung
kelebihan cairan diantara waktu dialisis. Kontrol asupan cairan sangat
diperlukan untuk penderita gagal ginjal kronik.
Brunner & Suddart (2002) air yang masuk kedalam tubuh dibuat
seimbang dengan yang keluar, baik melalui urin maupun IWL. Dalam
melakukan pembatasan asupan cairan, cairan yang masuk bergantung
pada haluaran urin. Lewis dalam Farida (2010) untuk pasien gagal
ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis, asupan cairan harus
diatur sehingga berat badan yang diperoleh tidak lebih dari 1 sampai 3
kg diantara waktu dialisis.
Apabila pasien tidak membatasi jumlah asupan cairan maka
cairan akan menumpuk didalam tubuh dan akan menimbulkan edema
di sekitar tubuh seperti tangan, kaki dan muka. Seperti yang terjadi
pada partisipan yang tidak melakukan pembatasan cairan, partisipan
tersebut akan terkena dampaknya yaitu edema disekitar kaki. Karena
itulah pentingnya melakukan pembatasan dan pengontrolan cairan.

107

Pembatasan tersebut penting agar pasien tetap merasa nyaman pada


saat waktu antara hemodialisis selanjutnya. Ketidakpatuhan partisipan
dalam melakukan pembatasan asupan cairan dipengaruhi oleh
beberapa faktor diantaranya adalah informasi dan dukungan keluarga.
Menurut Notoatmodjo (dikutip dalam Sari 2009) dengan adanya
kemudahan memperoleh informasi mengenai pentingnya pembatasan
asupan cairan pada penderita gagal ginjal kronik sehingga dapat
memfasilitasi terjadinya perilaku kepatuhan dalam melakukan
pembatasam asupan cairan. Dukungan keluarga merupakan salah satu
faktor penguat atau pendorong terjadinya perilaku. Dukungan keluarga
diperlukan karena pasien gagal ginjal kronik akan mengalami sejumlah
perubahan bagi hidupnya, diharapkan dengan adanya dukungan
keluarga dapat menunjang kepatuhan penderita.
Namun masih saja aturan diit tersebut ada yang mentaati dan
ada juga yang tidak mentaati. Keseluruhan dari partisipan mengalami
perubahan pola makan, makan tetap 3x dalam sehari namun hanya
sedikit. Partisipan tidak mengungkapkan rasa mual dan muntah. Hal
ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Farida (2010)
mengatakan bahwa partisipan mengalami penurunan nafsu makan
dapat disebabkan karena adanya mual. Mula dapat disebabkan karena
adanya uremic, yaitu suatu keadaan meningkatnya kadar ureum
didalam darah akibat dari kerusakan ginjal yang progresif.

108

4.4.2. Dimensi Psikologis


1) Perasaan positif
Perasaan positif merupakan adaptasi psikologis yang baik dari
partisipan pada penelitian ini.
a. Banyak berdoa dan beribadah
Partisipan selalu mengharapkan dirinya dapat sembuh dan
lepas dari tindakan hemodialisis yang dijalaninya saat ini. Hal ini
sesuai dengan penelitian yang dilakukan Farida (2010) mengatakan
kondisi pasien membuat pasien menjadi lebih meningkat dalam
menjalankan ibadah. Dengan kondisi yang dihadapi, membuat
partisipan lebih giat dalam beribadah dan berdoa.
Potter & Perry (2005) seseorang akan memperoleh manfaat
yang besar ketika seseorang menggunakan kepercayaannya sebagai
kekuatan yang dapat memberikan dukungan pada kesehatannya.
Keseluruhan dari partisipan selalu menjalankan ajaran agama
seperti berdoa kepada Tuhan untuk meminta kesembuhan.
b. Sabar
Sabar merupakan akibat dari keadaan yang saat ini sedang
dialami oleh partisipan yang menderita sakit gagal ginjal dan harus
menjalani

terapi

hemodialisis

selama

hidupnya.

Beberapa

partisipan mengungkapkan bahwa dirinya tetap sabar dalam


menerima kondisinya saat ini. Selain itu, bersyukur juga
merupakan hal yang dilakukan partisipan untuk menerima kondisi.

109

Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Farida (2010)


ekspresi spiritual yang terjadi pada klien hemodialisis berupa
bersyukur, pasrah, dan rasa ikhlas menerima kondisi apa adanya.
2) Perasaan negatif
Perasaan negatif merupakan adaptasi psikologis yang kurang
baik dari partisipan dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini
didapatkan hasil bahwa setiap partisipan memiliki perasaan yang
negatif dan memiliki perasaan positif sebagai adaptasi psikologis.
Perasaan negatif yang didapat dalam penelitian ini adalah 1) putus asa;
2) sedih; 3) menyesal; 4) kecewa; 5) malu.
Kualitas psikologis partisipan menurun diungkapkan dengan
rasa putus asa menjalani pengobatan, perasaan sedih, meyesal, kecewa
dan malu hal ini akan dapat menyebabkan depresi dan cemas pada
partisipan. Penelitian yang dilakukan oleh William (dikutip dalam
Farida 2010) mengungkapkan bahwa kualitas hidup juga dipengaruhi
oleh faktor psikologis, seperti adanya cemas. Cemas dialami oleh
pasien hemodialisis sampai 36%, sedangkan prevalensi depresi sekitar
28%. Cemas dan depresi memiliki korelasi negatif terhadap kualitas
hidup, artinya semakin tinggi kejadian cemas dan depresi maka
kualitas hidup semakin rendah. Depresi merupaka satu satunya faktor
yang berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien.

110

4.4.3. Dimensi Hubungan Sosial


1) Kurang bersosialisasi
Kurang bersosialisasi sebagai akibat dari penyakit gagal ginjal
dan dampak dari hemodialisis. Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Farida (2010) mengungkapkan bahwa pasien yang menjalani
hemodialisis mengalami perubahan dalam interaksi sosial. Sebelum
menjalani hemodialisis, pasien aktif melakukan aktivitas, seperti
bekerja diluar rumah, namun setelah menjalani hemodialisis aktivitas
pasien menjadi terbatas, pasien lebih banyak dirumah, sehingga pola
interaksi sosial juga berubah. Hal ini seperti yang terjadi pada
partisipan, sebelum terkena gagal ginjal dan harus menjalani terapi
hemodialisis partisipan tidak mengalami gangguan dalam sosialisasi
namun setelah terkena gagal ginjal dan harus menjalani terapi
hemodialisis aktivitas partisipan berubah dan terganggu sehingga
mengakibatkan kurang mampu untuk bersosialisasi dan interaksi
sosial.
Tallis (2005) Sebagian dari interaksi orang, melibatkan makan
dan minum sehingga tidak jarang untuk pasien dengan gagal ginjal
kronik

untuk

mengurangi

keterlibatan

sosial

mereka

karena

pembatasan makanan dan minuman yang ketat. Tallis juga mengaitkan


asupan nutrisi dengan pola interaksi sosial. Nutrisi merupakan
komponen penting dalam kehidupan pasien dengan gagal ginjal
kronik. Efek samping gangguan nutrisi adalah hiperkalemia,

111

hiperfosfatemia dan kelebihan cairan. Masalah sosial lainnya adalah


hubungan antara keluarga dan teman teman, bahkan untuk
melakukan kegiatan rekreasi. Perubahan aspek sosial dapat disebabkan
oleh perunahan fisik dan atau psikologis. Hal tersebut sesuai dengan
hasil penelitian ini yang mana partisipan mengalami perubahan dalam
proses sosialisasi.
2) Disfungsi seksual
Disfungsi seksual sebagai akibat dari kondisi kekuatan yang
tidak memungkinkan dan kondisi badan yang tidak sehat. Tallis (2005)
pada pasien dengan hemodialisis juga mengalami gangguan sosial
berupa disfungsi seksual. Disfungsi seksual terjadi pada pasien gagal
ginjal kronik tahap akhir dengan hemodialisis, pada pasien ini
umumnya mendapatkan terapi antidepresan, dimana obat ini dapat
berefek menurunkan libido dan ejakulasi pada laki laki.
Diaz et al. (2006) selain faktor depresan lain yang berkontribusi
pada disfungsi seksual adalah body image, defisiensi zinc dan
gangguan hormonal. Pernyataan tersebut sesuai dengan hasil
penelitian.
3) Butuh dukungan
Dukungan sosial sangat dibutuhkan oleh partisipan yang
menjalani hemodialisis. Dukungan sosial yang dibutuhkan partisipan
dalam penelitian ini adalah dukungan dari keluarga untuk selalu
berangkat hemodialisis, dukungan untuk tetap kuat menjalani penyakit

112

gagal ginjal, dan dukungan dari perawat ruangan. Hubungan antara


manusia dan lingkungan sosial adalah suatu keadaan yang dinamis
yang sangat kompleks dan dapat memberikan kontribusi yang berbeda
terhadap kesehatan (Burton et al. dalam Corrigan 2011). Dukungan
sosial adalah sebuah konsep umum yang dapat dipahami dalam arti
intuitif sebagai bantuan dari orang lain dalam situasi kehidupan yang
sulit (Corrigan 2011). Dukungan sosial juga diartikan sebagai
keyakinan individu yang mendapat perawatan, dicintai dan dihargai
oleh orang lain (Cobb dalam Corrgigan 2011).
Peran perawat hemodialisis dalam memberikan dukungan sangat
berpengaruh terhadap kondisi pasien mengingat perawat adalah orang
kedua setelah keluarga yang sering dijumpainya selama seminggu.
Pada tahap awal pasien dengan gagal ginjal dan harus hemodialisis,
perawat dapat memberikan dukungan kepada pasien dalam mengambil
keputusan untuk mengikuti terapi hemodialisis dengan memfasilitasi
pasien untuk bertemu dan berdiskusi dengan pasien yang sebelumnya
telah mengikuti terapi hemodialisis. Dengan dukungan sosial tersebut
partisipan akan merasa lebih kuat dan merasa dihargai. Selain dari
perawat, dukungan dan perhatian dari keluarga merupakan hal yang
perlu dilakukan mengingat pasien hemodialisis kadang mengalami
masalah psikologi terkait dengan penyakit yang dideritanya. Kutner et
al. dalam Corrigan (2011) kepatuhan terhadap pengobatan merupakan
masalah besar dalam manajemen yang efektif dari pasien yang

113

menjalani hemodialisis. Kimmel et al. dalam Corrgigan (2011) studi


yang telah dilakukan untuk mengevaluasi hubungan dukungan sosial
dan kepatuhan terhadap pengobatan telah dilakukan, beberapa dari
studi yang dilakukan telah menunjukkan bahwa dukungan sosial
dikaitkan dengan peningkatan kepatuhan terhadap pengobatan
menjalani hemodialisis. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang
telah dianalisa menunjukkan bahwa partisipan akan lebih semangat
dalam menjalani hemodialisis ketika mendapat dukungan dan support
dari keluarganya.
Studi yang dilakukan Oka & Chaboyer dalam Corrigan (2011)
untuk mengidentifikasi hubungan antara dukungan sosial dan
kepatuhan terhadap pembatasan diet. Oka et al. dalam Corrigan (2011)
semua studi mendukung bahwa kepatuhan diet meningkat seiring
dengan tingkat dukungan sosial. Studi ini juga menunjukkan bahwa
kepatuhan diet meningkat seiring dengan meningkatnya dukungan
sosial, selain itu pasien yang lebih tua membutuhkan lebih banyak
dukungan untuk perilaku kepatuhan diet.
Pasien yang menjalani hemodialisis juga membutuhkan peran
orang lain untuk bisa beradaptasi dan menerima kondisinya. Hal ini
sangat membantu mengatasi masalah masalah yang terjadi pada
pasien. Pasien dengan gagal ginjal kronik harus menghadapi masalah
dan tantangan sehari hari akibat dari kelelahan yang dirasakan,
pembatasan cairan dan diet, perubahan status ekonomi, tingginya biaya

114

perawatan kesehatan, ketergantungan kepada orang lain, hilangnya


peran keluarga, harga diri dan dinamika keluarga (Corrigan 2011).
Selain hal tersebut, dukungan informasi dari petugas kesehatan
sangat diperlukan partisipan untuk mengetahui penyakitnya. Farida
(2010) dalam penelitian kualitatifnya, menyatakan bahwa penderita
gagal ginjal kronik tetap membutuhkan dukungan sosial (dukungan
emosional, dukungan informasional dan dukungan instrumental).
Dalam penelitian ini keempat dari partisipan mendapat informasi yang
dibutuhkan mengenai penyakitnya, namun ada satu partisipan yang
mengungkapkan jika tidak mendapat informasi yang dibutuhkan
mengenai penyakitnya dari petugas kesehatan.
Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Farida (2010) menyatakan bahwa partisipan menerima dukungan
sosial belum sesuai dengan harap partisipan. Kebutuhan dukungan
sosial yang dibutuhkan oleh pasien HD lebih tinggi dari yang diterima.
Dukungan sosial berhubungan positif dengan kualitas hidup
yang lebih tinggi pada pasien dengan hemodialisis (Kimmel et al.
dalam Corrigan 2011).

115

4.4.4. Dimensi Lingkungan


1) Perubahan status ekonomi
Kebutuhan ekonomi yang semakin bertambah seiring dengan
terapi hemodialisis yang dilakukan ditambah lagi dengan kondisi
partisipan yang sudah tidak mampu untuk bekerja. Hal ini membuat
partisipan

mengungkapkan

kebutuhan

ekonomi

yang

semakin

meningkat. Perubahan tersebut diperparah dengan kondisi pasien yang


saat ini sudah total tidak bekerja. Akibat dari kehilangan pekerjaan,
membuat partisipan berfikir 2x lipat untuk mendapatkan uang yang
digunakan untuk memenuhi kebutuhan hemodialisis dan kebutuhan
sehari hari. Kring & Crane (dikutip dalam Farida 2010) mengatakan
pada tahun 2006 biaya yang dibutuhkan untuk pasien dengan penyakit
gagal ginjal kronik melebihi 23 miliar atau 6,4% dari seluruh biaya
kesehatan di Amerika. Biaya untuk hemodialisis dari kelima partisipan
keseluruhnnya menggunakan fasilitas jamkesmas. Dengan demikian
tindakan terapi hemodialisis dirasakan mempengaruhi status ekonomi
partisipan. Namun satu partisipan mengungkapkan bahwa ekonominya
tidak berubah, hal itu dikarenakan sumber penghasilan dan cara
mendapatkan uang masing masing partisipan yang berbeda
. Penyesuaian keadaan ekonomi harus dapat dilakukan oleh
keseluruhan dari partisipan terutama 4 partisipan yang mengatakan
mengalami parubahan ekonomi. Hal tersebut dilakukan untuk bertahan

116

dengan kondisi yang mengharuskan keempat partisipan harus


melakukan terapi hemodialisis setiap minggunya.
2) Butuh informasi
Rajeswari & Sivamani (2010) perawat mempunyai tanggung
jawab untuk semua bentuk terapi hemodialisis. Beberapa prioritas
keperawatan dalam kaitannya dengan asuhan keperawatan pada pasien
hemodialisis yaitu mencegah komplikasi, menjaga keamanan, promosi
homeostasis, dukungan / perawatan diri pasien, dan memberikan
informasi tentang proses penyakit / prognosis dan pengobatan.
Tallis (2005) perawat memiliki kontak yang paling sering
dengan pasien yang sedang menjalani terapi hemodialisis. Dengan
demikian perawat harus memiliki pengetahuan yang lebih banyak dan
menyeluruh tentang patofisiologi gagal ginjal, dan pengetahuan
pengetahuan lainnya mengenai gagal ginjal dan hemodialisis.
Keseluruhan dari partisipan tetap mebutuhkan informasi informasi
dari petugas kesehatan yang berfungsi untuk menunjang kesehatan dan
kualitas hidup yang lebih baik.
3) Puas dengan akses kesehatan dan transportasi
Akses layanan yang dibutuhkan partisipan untuk mencapai
pelayanan kesehatan yang dibutuhkan dalam hal ini adalah untuk
melakukan terapi hemodialisis. Partisipan mengungkapkan bahwa
mudah dalam mencapai akses ke pelayanan kesehatan dikarenakan
jarak rumah dengan unit hemodialisis tidak terlalu jauh. Berbeda

117

dengan pasien yang tinggal di Provinsi Jawa Timur (Kabupaten


Pacitan), mengungkapkan bahwa terlalu jauh untuk mencapai layanan
kesehatan (hemodialisis). Untuk mencapai akses pelayanan kesehatan,
seluruh partisipan tetap membutuhkan transportasi.
Kepuasan terhadap transportasi diungkapkan oleh 4 partisipan.
Namun 1 partisipan merasa kuang puas dengan transportasi yang
digunakan mengingat jarak yang terlalu jauh antara rumah dengan
layanan kesehatan.

4.5.KETERBATASAN PENELITIAN
4.5.1. Peneliti memiliki keterbatasan kemampuan untuk melakukan penelitian
kualitatif mengingat baru pertama kali melakukan penelitian kualitatif,
dalam penelitian ini peneliti berperan sebagai instrumen utama yang mana
pada saat wawancara dan hasil wawancara akan sangat mempengaruhi
hasil penelitian.
4.5.2. Saat pengisian kuesioner untuk melakukan studi pendahuluan dan
pengambilan data, kuesioner tidak seluruhnya diisi oleh calon partisipan
dikarenakan pada saat pengambilan data kondisi calon partisipan tidak
memungkinkan untuk menulis sendiri mengingat saat itu calon partisipan
sedang menjalani terapi hemodialisis. Untuk itu, pertanyaan kuesioner
diisi oleh keluarga partisipan.
4.5.3. Pada saat penelitian, peneliti harus mendatangi satu per satu rumah pasien
di Kabupaten Wonogiri dan Kabupaten Pacitan, jarak yang terlalu jauh

118

membuat peneliti tidak melakukan wawancara yang kedua kepada salah


satu partisipan.
4.5.4. Situasi dan kondisi pada saat wawancara kurang mendukung diantara
beberapa partisipan dikarenakan kondisi partisipan saat itu sedang tidak
stabil yaitu sesak nafas, sehingga wawancara menyesuaikan dengan
kondisi partisipan.
4.5.5. Pada penelitian ini belum mampu mengungkap mengenai beberapa
indikator dari dimensi lingkungan yaitu lingkungan rumah, keamanan
fisik, lingkungan fisik dan ketrampilan. Mengingat hal tersebut merupakan
suatu indikator yang didapatkan melalui observasi yang mendalam dan
kontinyu. Dalam penelitian ini tidak dilakukan observasi secara mendalam
mengenai hal tersebut sehingga data data yang dibutuhkan tidak dapat
ditemui.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai kesimpulan dari penelitian yang
telah didapat mengenai tema tema yang telah dianalisa. Kesimpulan akan
menjelaskan dan menjawab dari tujuan tujuan khusus dan masalah masalah
yang sudah dirumuskan. Selain itu, pada bab ini akan dijelaskan mengenai saran
saran bagi institusi yang bersangkutan.

5.1.KESIMPULAN
Berdasarkan analisa dari kata kunci yang telah didapatkan dalam penelitian
ini, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
5.1.1. Dimensi fisik
Berdasarkan analisa yang telah dilakukan dalam penelitian ini, kualitas
hidup dari dimensi fisik didapatkan tema sebagai berikut : 1) kelemahan
fisik meliputi gangguan aktivitas, pembatasan energi, tidak puas aktivitas
dan gangguan mobilitas; 2) sesak nafas; 3) BAK tidak lampias; 4) kulit
hitam; 5) kualitas tidur dan 6) perubahan pola nutrisi.
5.1.2. Dimensi psikologis
Berdasarkan analisa yang telah dilakukan dalam penelitian ini, kualitas
hidup dari dimensi psikologis didapatkan tema mengenai adaptasi
psikologis. Adaptasi psikologis tersebut adalah 1) perasaan positif meliputi
banyak berdoa dan beribadah serta sabar; 2) perasaan negatif meliputi

119

120

putus asa menjalani pengobatan, sedih, menyesal, kecewa dan malu.


Masing masing dari partisipan mengungkapkan perasaan positif dan
negatif sebagai adaptasi psikologis terhadap kondisi penyakitnya.
5.1.3. Dimensi hubungan sosial
Berdasarkan analisa yang telah dilakukan dalam penelitian ini, kualitas
hidup dari dimensi hubungan sosial didapatkan tema 1) kurang
bersosialisasi; 2) disfungsi seksual dan 3) butuh dukungan.
5.1.4. Dimensi lingkungan
Berdasarkan analisa yang telah dilakukan dalam penelitian ini, kualitas
hidup dari dimensi psikologis didapatkan tema 1) perubahan status
ekonomi; 2) butuh informasi dan 3) puas dengan akses kesehatan dan
transportasi.

5.2.SARAN
5.2.1. Institusi keperawatan / rumah sakit
Bagi institusi keperawatan / rumah sakit khususnya keperawatan medikal
bedah yang menangani tindakan hemodialisis diperlukan pelayanan yang
lebih maksimal mengingat pasien hemodialisis sangat membutuhkan
informasi mengenai penyakit gagal ginjal kronik, terapi hemodialisis dan
diit yang dijalani bagi penderita gagal ginjal kronik. Selain itu, dukungan
sosial dari perawat ruangan hemodialisis sangat diperlukan oleh pasien
mengingat kontak pasien dengan perawat adalah yang paling sering
dilakukan dengan jadwal hemodialisis dalam satu minggu. Sehingga

121

asuhan keperawatan yang diberikan akan bersifat holistik dan menyeluruh


dengan mempertimbangkan segi psikologis, kultural, sosial dan spiritual.
5.2.2. Ilmu keperawatan dan institusi pendidikan keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan
mengenai asuhan keperawatan yang tepat pada penderita gagal ginjal
kronik serta kualitas hidup penderita gagal ginjal kronik yang menjalani
terapi hemodialisis.
5.2.3. Bagi peneliti lain / selanjutnya
Pada penelitian ini belum mampu mengungkap mengenai indikator dari
dimensi lingkungan yaitu lingkungan rumah, keamanan fisik, lingkungan
fisik dan ketrampilan. Indikator tersebut sangat penting untuk diketahui
dikarenakan hal tersebut akan berpengaruh terhadap kualitas hidup
penderita gagal ginjal kronik. Diharapkan untuk peneliti selanjutnya dapat
meneliti mengenai hal ini dengan metode penelitian yang berbeda,
misalnya dengan metode penelitian kuantitatif dan metode penelitian
kualitatif dengan analisa data jalinan dikarenakan indikator indikator
tersebut membutuhkan observasi secara kontinyu dan mendalam.
5.2.4. Bagi penderita gagal ginjal kronik
Bagi penderita gagal ginjal kronik diharapkan penelitian ini dapat
membantu memberikan informasi mengenai kebutuhan kebutuhan dasar
dan segala tentang kualitas hidup pada penderita gagal ginjal kronik yang
menjalani terapi hemodialisis sehingga kehidupan yang dijalani menjadi
lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Andika, H 2003, Ketebalan parenkim ginjal pada penderita gagal ginjal kronik
dengan pemeriksaan ultrasonografi, Laporan Penelitian, SMF Radiologi
RSUP Dr.Kariadi, Semarang.
Benz, RL, Pressman, MR & Masood, I 2012, Sleep disorders associated with
chronic kidney disease, Department of Nephrology Department of Sleep
Medicine Lankenau Medical Center and Lankenau Institute for Medical
Research, Wynnewood, USA
Brunner & Suddart, 2002, Keperawatan Medikal Bedah, EGC, Jakarta
Cahyanignsih, ND 2008, Hemodialisis (cuci darah) panduan praktis perawatan
gagal ginjal, Mitra Cendekia Pres, Yogyakarta
Corrigan, RM 2011, The experience of the older adult with end-stage renal
disease on hemodialysis, Thesis, Queens University, Canada
Corwin, EJ 2009, Buku Saku Patofisiologi, EGC, Jakarta
Dewi, IGAPA 2010, Hubungan antara quick of blood (Qb) dengan adekuasi
hemodialisis pada pasien yang menjalani terapi hemodialisis di ruang HD
BRSU Daerah Tabanan Bali, Tesis, Universitas Indonesia, Depok
Diaz, FM, Ferrer, AR & Cascales, FR 2006, Sexual functioning and quality of
life of male patients on hemodialysis, Nephrologia Journal, vol. 26, no. 4,
hal. 453-458
Emanuelsen, KL & Rosenlicht, JM 2010, Handbook Of Critical Care Nursing,
Bethary Connecticut, New York
Farida, A 2010, Pengalaman klien hemodialisis terhadap kualitas hidup dalam
konteks asuhan keperawatan di RSUP Fatmawati Jakarta, Universitas
Indonesia, Tesis, Depok
Gregory, N 2005, Quality of life in patients on dyalisis benefits of maintaining a
hemoglobin of 11 to 12 g/dl, Nephrol Nursing Journal, vol. 32, no. 3, hal.
7-10, diakses 21 November 2013, http: // www. ncbi. nlm. nig.
gov/pubmed/16035472

Kusumawardani, AN 2009, Hubungan karakteristik individu dengan kualitas


hidup imensi fisik pasien gagal ginjal ronik di RS. Dr.Kariadi Semarang,
Tesis, Universitas Muhammadiyah Semarang, Semarang, diakses 7
November 2013, http://digilib.unimus.ac.id
Lacson, EJR, Xu, J, Lin, SF, Dean, SG, Lazarus, JM & Hakim, RM 2010, A
comparasion of SF-36 and SF-12 composite score and subsequent
hospitalization and mortality risks in long-term dialysis patient, Clinical
Sciences, USA
Levey, AS, Jong, DED, Coresh, J, Nahas, ME, Astor, BC, Matsushita, K,
Gansevoort, RT, Kasiske, BL & Eckardt, KU 2010, The definition,
classification and prognosis of chronic kidney disease : a KDIGO
Controversies Conference Report, International Society Of Nephrology,
Germany
Mavanur, M, Sanders, M & Unruh, M 2010, Sleep disordered breathing in
patients with chronic kidney disease, Renal-Electrolyte Division, University
of Pittsburgh School of Medicine, vol.131, hal.277 284
Milner, Q 2003, Pathophysiology of chronic renal failure, British Journal Of
Anesthesia, vol. 3, no. 5
National Kidney Foundation, 2001, Gidelines for vascular acces update 2000,
diakses 21 November 2013, http://www.kidney.org/profesionals/kdoqi/
National Kidney Foundation, 2006, Anemia and chronic kidney disease, diakses
21 November 2013, http://www.kidney.org
Nurchayati, S 2010, Analisa faktor faktor yang berhubungan dengan kualitas
hidup pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di Rumah
Sakit Islam Fatmawati Cilacap dan Rumah Sakit Umum Daerah
Banyumas, Tesis, Universitas Indonesia, Depok
Nursalam 2011, Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan
Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian Keperawatan, Salemba
Medika, Jakarta
Painter, P 2005, Physical functioning in end-stage renal disease patients: Update
2005, Hemodialysis International, vol.9, hal. 218 - 235
Polit, DF & Beck, CT 2006, Essentials Of Nursing Research Methods, Appraisal,
and Utilization, 6th edition, Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia
Polit, DF & Hungler, BP 2005, Nursing Research : Principles and Methods, 6th
edition, Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia

Potter, PA & Perry, AG 2005, Fundamental of Nursing concept, Process and


Practice, 4th edition, Mosby Company, St Louis
Price, ST & Wilson, LMC 2005, Patofisiologi : Konsep Klinis Proses Proses
Penyakit. Edisi 6, vol. 2, Alih Bahasa oleh Brahm U.Pendith, EGC, Jakarta
Rahman, ARA, Rudiansyah, M & Triawanti 2013, Hubungan antara adekuasi
hemodialisis dan kualitas hidup pasien di RSUD Ulin Banjarmasin, vol. 9,
no. 2, hal. 151-160, diakses 7 November 2013, http://unnes.ac.id/
Rajeswari, RR & Sivamani, L 2010, Nursing care dialysis, Laporan Artikel,
Government General Hospital
Rompas, AB, Tangka, J & Rotti J 2013,Hubungan kadar hemoglobin dengan
kualitas tidur pasien penyakit ginjal kronik Di PoliGinjal Dan Hipertensi
Blu RsupProf. Dr. R. D. KandouManado, Ejournal Keperawatan, vol.1,
no.1
Sari, KL 2009, Faktor faktor yang berhubungan dengan kepatuhan dalam
pembatasan asupan cairan pada Klien dengan gagal ginjal kronik yang
menjalani terapi hemodialisis di Ruangan Hemodialisa RSUP Fatimah
Jakarta, Skripsi, Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta
Saryono & Anggraeni, MD 2010, Metodologi Penelitian Kualitatif Dalam Bidang
Kesehatan, Nuha Medika, Yogyakarta
Shagholian, N, Ghafourifard, M, Rafiedian, M & Mortazavi, M 2008, Impact of
two types of sodium and ultrafiltration profiles on hemodialysis
hypertention in hemodialysis Patients, International Journals of
Nephrology Autumn, vol. 13, hal. 135-136
Skevington, SM, Lotfy, M & OConnell, KA 2004, The world health
organizations WHOQOL-Bref quality of life assesment : psycometric
properties and result of the international field trial a report from the
WHOQOL Group, Departement Psikology Netherlands, vol. 13, hal. 299
310
Supriyadi, Wagiyo& Widowati, SR 2011, Tingkat kualitas hidup pasien gagal
ginjal kronik terapi hemodialisis, Jurnal Kesehatan Masyarakat
Universitas Negeri Semarang, vol. 6, no. 2, hal. 107-112
Sutopo, HB 2006, Metodologi Dasar Teori danTerapannya Dalam Penelitian,
Universitas Negeri Sebelas Maret, Surakarta

Soni, KK, Porter, AC, Lash, JP & Unrih, ML 2010, Health - releated quality of
life In hypertention, chronic kidney disease and coexisten chronic health
conditions, Journal Of Elsevier Helath, vol. 17, no. 14, hal. 17-26, diakses
pada 21 November 2013, http://journals.elsevierhealth.com/
Tallis, K 2005, How to improve the quality of life in patients living with end
stage renal failure, Renal Nursing Society of Australian Journal, vol. 1, no.
1
Togatorop, L 2011, Hubungan perawat pelaksana dengan kualitas hidup pasien
GGK yang menjalani terapi hemodialisis di RSUP Haji Adam Malik
Medan, Universitas Sumatera Utara, Medan
USRDS 2013, Incidence, prevalence, patient characteristik and treatmen
modalities, vol. 2, USA, diakses 15 November 2013, http://usrds.go.org
USRDS 2013, Chronic kidney disease in the general population, vol. 1, USA,
diakses 15 November 2013, http://usrds.go.org
Wasse,H, Nancy, K, Rebbeca, Z & Yijian, H 2007, Association of initial
hemodialysis vascular access with patient-reported health status and quality
of life, Clin J Am Soc Nephrol, vol.2, hal 708 714
Widodo 2006, Zat besi dan peranannya pada pasien penyakit ginjal kronik,
diakses 3 Juni 2014, http://ika.or.id/print,php?id=325
YGDI, 2008, Yayasan ginjal diatrans Indonesia, cuci darah demi Kualitas hidup
diakses 3 Juni 2014, http://ygdi.org.

Você também pode gostar