Você está na página 1de 12

STRUKTUR MOLEKUL DAN ANALISIS ZAT AKTIF

Rumus kimia : C47H73NO17


Gugus fungsi yang ada di amfoterisin B :
Hidroksil: -OH
Karboksilat : R-COOH
Poliena : (-C=C- )n
Ester : R-COOR
Amina : (NH2)
Jenis Ikatan
Ikatan kovalen : CH3
Ikatan Hidrogen : OH
Ikatan glikosida : antara OH dan gula.
METODE ANALISIS YANG DIGUNAKAN UNTUK PENGUJIAN MUTU
IDENTIFIKASI AMFOTERISIN B
Spektro UV
Amphotericin B punya spektrum absorpsi ultraviolet yang sangat khusus di larutan
DMSO, CH3OH. Pita yang kuat dan inten muncul dari transisi * dari kromofor
heptaena. Pita yang kuat pada 406, 382, 363, 345 nm (Florey, 1977).

Prinsip:
Prinsip penentuan spektrofotometer UV-Vis adalah aplikasi dari Hukum
Lambert-Beer, yaitu:
A = - log T = - log It / Io = . b . C = a. b. C
Dimana : A

= Absorbansi dari sampel yang akan diukur

T = Transmitansi
I0 = Intensitas sinar masuk
It = Intensitas sinar yang diteruskan

= Koefisien ekstingsi

= Tebal kuvet yang digunakan

= Konsentrasi dari sampel (Sastrohamidjojo, 1991).

(Japanese Pharmacopoeia, 2006).


Infra Merah
Radiasi inframerah (2500-50000 nm atau 4000-200 cm-1) dapat menyebabkan
terjadinya vibrasi dan/ rotasi suatu gugus fungsional dalam molekul sehingga gugus
fungsi yang berlainan dalam suatu struktur kimia masing-masing akan menunjukkan
spektrum serapan inframerah yang karakteristik.

Bilangan gelombang
3390
2918
1710
1692
1556
(Florey, 1977)

Jenis vibrasi
OH Stretch
CH2, CH3 Stretch
C=0 Stretch
NH2 Bend
C=C poliena Stretch

Reaksi Warna
Pemeriksaan kualitatif, karena proses cepat dan sederhana.
Prinsip:
Perubahan warna untuk uji kualitatif Amfoterisin B.
PROSEDUR ANALISIS BAHAN BAKU
Sfektrofotometri Ultraviolet
Larutan dipersiapkan sebagai berikut: larutkan 25 mg amfoterisin B di 5 mL
dimetilsulfoksida, dan tambahkan methanol hingga 50 mL. Diambil 1 mL larutan dan
ditambah methanol hingga 50 mL (Japanese Pharmacopoeia, 2006).
Spektrofotometri Infra Merah

Amfoterisin B yang telah dikeringkan, didispersikan dalam kalium bromide P dan


bilangan gelombang atau spektrum yang dihasilkan dibandingkan dengan baku
pembanding. Pemeriksaan dengan sfektrofotometri IR (2.2.24), dibandingkan dengan
spektrum yang diperoleh dengan amfoterisin B CRS. Jika spectra yang diperoleh
menunjukkan perbedaan, keringkan zat yang akan diperiksa pada 60 C pada tekanan
yang tidak melebihi 0.7 kPa selama 1 jam dan persiapkan spektrum baru (British
Pharmacopoeia, 2009).
Reaksi Warna
Sebanyak 1 mL larutan 0.5 g/L amfoterisin B di dimetil sulfoksida R, ditambah 5 mL
asam fosfat R untuk membentuk lapisan bawah, hindari pencampuran kedua cairan.
Cincin biru terbentuk pada perbatasan kedua cairan dengan seketika. Campur,
dihasilkan warna biru yang kuat. Tambahkan 15 mL air R dan campur, larutan
menjadi kuning pucat (British Pharmacopoeia, 2009).
KEMURNIAN AMFOTERISIN B
Sisa pemijaran (FI IV, hal 101)
Sisa pengarangan dibasahi dengan 2 ml asam nitrat P dan 5 tetes asam sulfat P,
tidak lebih dari 0,5%.
Susut pengeringan (FI IV, hal 102)
Dengan metode pengeringan dalam botol bersumbat kapiler dalam hampa udara,
tidak lebih dari 8,0 %.
Penetapan kadar (FI IV, hal 102)
Dengan penetapan potensi antibiotik secara mikrobiologi, menggunakan volume
larutan uji yang diukur seksama, encerkan secara kuantitatif dan bertahap dengan
Dapar nomor 10.
PROSEDUR ANALISIS BAHAN BAKU, IPC DAN OBAT JADI
PROSEDUR ANALISIS BAHAN BAKU
Spektrofotometri infrared
Prosedur:

Amfoterisin B yang telah dikeringkan, didispersikan dalam kalium bromide P dan


bilangan gelombang atau spektrum yang dihasilkan dibandingkan dengan baku
pembanding. Pemeriksaan dengan sfektrofotometri IR (2.2.24), dibandingkan
dengan spektrum yang diperoleh dengan amfoterisin B CRS. Jika spectra yang
diperoleh menunjukkan perbedaan, keringkan zat yang akan diperiksa pada 60 C
pada tekanan yang tidak melebihi 0.7 kPa selama 1 jam dan persiapkan spektrum
baru (British Pharmacopoeia, 2009).
Spektrofotometri ultraviolet
Prosedur:
Larutan dipersiapkan sebagai berikut: larutkan 25 mg amfoterisin B di 5 mL
dimetilsulfoksida, dan tambahkan methanol hingga 50 mL. Diambil 1 mL larutan
dan ditambah methanol hingga 50 mL (Japanese Pharmacopoeia, 2006).
Metode susut pengeringan (FI IV, hal 101)
Prosedur:
Sebanyak 100 mg Amfoterisin B dikeringkan dalam botol bersumbat kapiler dalam
hampa udara pada tekanan tidak lebih dari 5 mmHg pada suhu 60C selama 3 jam.
Penetapan kadar (FI IV, hal 891-899)
Penetapan Potensi Antibiotik secara Mikrobiologi
Prosedur:
Penyiapan baku pembanding
Amfoterisin B dikeringkan terlebih dahulu. Larutan persediaan dibuat dengan
pengenceran Amfoterisin B menggunakan pelarut awal dimetil sulfoksida
dengan kadar persediaan akhir 1 mg/ml. Lalu larutan diencerkan secara

kuantitatif dan bertahap dengan dapar nomor 10 dengan dosis tengah 1,0 g.
Penyiapan contoh
Siapkan larutan sampel dengan pengenceran yang sama dengan baku. Penetapan
menggunakan 5 tingkat dosis baku, memerlukan hanya satu tingkat dosis contoh
pada kadar perkiraan sama dengan aras dosis tengah baku.

Mikroba uji
Saccharomyces cerevisine
Penyiapan inokula
Mikroba diinokulasikan ke permukaan 250 ml media agar 19 pada suhu 29-

31C selama 48 jam. Suspensi persediaan dibuat dengan cara mengumpulkan


biakan permukaan ke dalam 50 ml larutan natrium klorida P 0,9% steril.
Suspensi persediaan kemudian diencerkan dengan larutan natrium klorida P
0,9% steril dan diukur transmitannya pada 580 nm. Perbandingan inokula dan
larutan natrium klorida P 0,9% steril diatur hingga mempunyai transmitan 25%.
Jumlah inokula yang dianjurkan 1 ml/100 ml.
Cara pengujian
- Metode lempeng silinder
Sebanyak 21 ml media dituang ke dalam sejumlah cawan petri yang
diperlukan dan biarkan memadat. Tambahkan 8 ml lapisan inokula, ratakan
dan biarkan memadat. Sebanyak 6 silinder dijatuhkan pada permukaan dengan
sejumlah enceran larutan Amfoterisin B, inkubasi lempeng pada suhu 29-30C
-

selama 16-18 jam.


Metode turbidimetri
Sejumlah dosis yang diperlukan disiapkan, kemudian dimasukkan ke dalam
tabung reaksi sebanyak 1 ml setiap dosis pada masing-masing 3 tabung reaksi
yang telah disiapkan dan tempatkan 3 replikat tabung dengan posisi secara
acak pada rak tabung. Secara bersamaan control juga diletakkan. Sebanyak 9
ml inokula ditambahkan ke dalam tiap tabung dalam rak lalu diinkubasikan
pada suhu 36-37,5C selama 2-4 jam. Setelah inkubasi, secara bersamaan
tambahkan 0,5 ml larutan formaldehida encer ke dalam tiap tabung.

Transmitan atau serapan diukur pada 530 nm.


Cara perhitungan
Menggunakan metode garis lurus transformasi log dengan prosedur penyesuaian
kuadrat terkecil dan uji linieritas.

ANALISIS IPC DAN EVALUASI OBAT JADI

1. Uji Kejernihan dan Warna (Larutan Parenteral hal 201-203)


Tujuan : memastikan bahwa setiap larutan obat suntik jernih dan bebas
pengotor
Prinsip : wadah-wadah kemasan akhir diperiksa satu persatu dengan menyinari
wadah dari samping dengan latar belakang hitam untuk menyelidiki
pengotor berwarna putih dan latar belakang putih untuk menyelidiki
pengotor berwarna
Hasil
: memenuhi syarat bila tidak ditemukan pengotor dalam larutan.
2. Pemeriksaan pH (FI IV hal 1039-1040)
Alat
: pH meter
Tujuan
: mengetahui pH sediaan sesuai dengan persyaratan yang telah
ditentukan
Prinsip : pengukuran pH cairan uji menggunakan pH meter yang telah
dikalibrasi
Penafsiran hasil : pH sesuai dengan spesifikasi formulasi sediaan yaitu 5-7
(Lund, 1994).
3. Pemeriksaan Bahan Partikulat(FI IV <751> hal 981-985)
Tujuan : memastikan larutan injeksi, termasuk larutan yang dikonstitusi dari
zat padat steril untuk penggunaan parenteral, bebas dari partikel yang dapat
diamati pada pemeriksaan secara visual.
Prinsip : Sejumlah tertentu sediaan uji difiltrasi menggunakan membran, lalu
membran tersebut diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 100x. Jumlah
partikel dengan dimensi linier efektif 10 m atau lebih dan sama atau lebih besar
dari 25 m dihitung
Hasil
: Injeksi volume kecil memenuhi syarat uji jika jumlah rata- rata
partikel yang dikandung tidak lebih dari 10.000 tiap wadah yang setara atau lebih
besar dari 10 m diameter sferik efektif dan tidak lebih dari 1000 tiap wadah
sama atau lebih besar dari 25 m dalam dimensi linier efektif.
Evaluasi Sediaan Akhir
Evaluasi Fisik
1. Penetapan Volume Injeksi dalam Wadah (FI IV, 1044)
Tujuan : menetapkan volume injeksi yang dimasukkan dalam wadah agar
volume injeksi yang digunakan tepat/sesuai dengan yang tertera pada penandaan
(Kelebihan volume yang dianjurkan dipersyaratkan dalam FI IV)

Prinsip : penentuan volume dilakukan dengan cara mengambil sampel dengan


alat suntik hipodermik dan memasukkannya ke dalam gelas ukur yang sesuai.
Hasil
: volume tidak kurang dari volume yang tertera pada wadah bila diuji
satu persatu.
2. Pemeriksaan Bahan Partikulat (FI IV <751> hal 981-985)
Tujuan : memastikan larutan injeksi, termasuk larutan yang dikonstitusi dari
zat padat steril untuk penggunaan parenteral, bebas dari partikel yang dapat
diamati pada pemeriksaan secara visual.
Prinsip : Sejumlah tertentu sediaan uji difiltrasi menggunakan membran, lalu
membran tersebut diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 100x. Jumlah
partikel dengan dimensi linier efektif 10 m atau lebih dan sama atau lebih besar
dari 25 m dihitung
Hasil
: Injeksi volume kecil memenuhi syarat uji jika jumlah rata- rata
partikel yang dikandung tidak lebih dari 10.000 tiap wadah yang setara atau lebih
besar dari 10 m diameter sferik efektif dan tidak lebih dari 1000 tiap wadah
sama atau lebih besar dari 25 m dalam dimensi linier efektif.
3. Pemeriksaan pH (FI IV hal 1039-1040)
Alat
: pH meter
Tujuan
: mengetahui pH sediaan sesuai dengan persyaratan yang telah
ditentukan
Prinsip : pengukuran pH cairan uji menggunakan pH meter yang telah
dikalibrasi
Penafsiran hasil : pH sesuai dengan spesifikasi formulasi sediaan yaitu 5-7
(Lund, 1994).
4.

Keseragaman Kandungan (untuk larutan/suspensi rekonstitusi) (FI IV hal. 9991001)


Tujuan : Menjamin keseragaman kandungan zat aktif
Prinsip : Menetapkan kadar 10 satuan sediaan satu per satu sesuai penetapan
kadar
Penafsiran hasil :
Keseragaman dosis terpenuhi jika jumlah zat aktif dalam masing-masing dari 10
satuan sediaan adalah 85-115% dari yang tertera pada etiket dan simpangan baku
relatif 6%. Jika 1 satuan berada di luar rentang tersebut dan tidak ada satuan
berada dalam rentang 75,0-125,0% dari kadar yang tertera pada etiket atau SBR >

6% atau jika kedua kondisi tidak terpenuhi dilakukan uji 20 satuan tambahan
Persyaratan: Terpenuhi jika tidak lebih dari 1 satuan dari 30 sampel terletak di
luar rentang 85,0-115% dari kadar tablet yang tertera pada etiket dan tidak ada
satuan yang terletak di luar rentang 75,0-125,0% dari kadar tablet yang tertera
pada etiket dan SBR 30 satuan tidak lebih dari 7,8%.
5.

Evaluasi kejernihan (FI ed IV <881> hal 998)


Tujuan : memastikan larutan terbebas dari pengotor
Prinsip : membandingkan kejernihan larutan uji dengan Suspensi Padanan,
dilakukan di bawah cahaya yang terdifusi tegak lurus ke arah bawah tabung
dengan latar belakang hitam
Penafsiran Hasil : sesuatu cairan dikatakan jernih jika kejernihannya sama
dengan air atau pelarut yang digunakan bila diamati di bawah kondisi seperti
tersebut di atas atau jika opalesensinya tidak lebih nyata dari suspensi padanan I.
Persyaratan untuk derajat oplesensi dinyatakan dalan suspensi padanan I, II, dan
III.

6.

Uji Kebocoran (Goeswin Agoes, Larutan Parenteral, 191)


Tujuan : memeriksa keutuhan kemasan untuk menjaga sterilitas dan volume
serta kestabilan sediaan.
Prinsip : untuk cairan bening tidak berwarna (a) wadah takaran tunggal yang
masih panas setelah selesai disterilkan, dimasukkan ke dalam larutan metilen biru
0,1%. Jika ada wadah yang bocor maka larutan metilen biru akan masuk ke dalam
karena perubahan tekanan di luar dan di dalam wadah tersebut sehingga larutan
dalam wadah akan berwarna biru.
Untuk cairan yang berwarna (b) lakukan dengan posisi terbalik, wadah takaran
tunggal ditempatkan diatas kertas saring atau kapas. Jika terjadi kebocoran, maka
kertas saring atau kapas akan basah.
Hasil
: sediaan memenuhi syarat jika larutan dalam wadah tidak menjadi
biru (prosedur a) dan kertas saring atau kapas tidak basah (prosedur b)

Evaluasi Biologi
1. Uji Sterilitas (FI IV, 855-863)
Tujuan : menetapkan apakah sediaan yang harus steril memenuhi syarat
berkenaan dengan uji sterilitas seperti tertera pada masing-masing monografi.
Prinsip : Menguji sterilitas suatu bahan dengan melihat ada tidaknya
pertumbuhan mikroba pada inkubasi bahan uji menggunakan cara inokulasi
langsung atau filtrasi dalam medium Tioglikonat cair dan Soybean Casein

Digest prosedur uji dapat menggunakan teknik inokulasi langsung ke dalam


media pada 30-35oC selama tidak kurang dari 7 hari.
Hasil
: Tahap Pertama: Memenuhi syarat uji jika pada interval waktu
tertentu dan pada akhir periode inkubasi, diamati tidak terdapat kekeruhan atau
pertumbuhan mikroba pada permukaan, kecuali teknik pengujian dinyatakan
tidak absah. Jika ternyata uji tidak absah, maka dilakukan pengujian Tahap
Kedua. Tahap Kedua: Memenuhi syarat uji jika tidak ditemukan pertumbuhan
mikroba pada pengujian terhadap minimal 2 kali jumlah sampel uji tahap
2. Uji Endotoksin Bakteri (Jika dipersyaratkan oleh monografi) (FI IV, 905-907)
Tujuan : memperkirakan kadar endotoksin bakteri yang mungkin ada dalam
atau pada bahan uji.
Prinsip : pengujian dilakukan menggunakan Limulus Amebocyte Lysate
(LAL), meliputi inkubasi selama waktu yang telah ditetapkan dari endotoksin
yang bereaksi dan larutan kontrol dengan pereaksi LAL dan pembacaan serapan
cahaya pada panjang gelombang yang sesuai.
Hasil
: bahan memenuhi syarat uji jika kadar endotoksin tidak lebih dari
yang ditetapkan pada masing-masing monografi.
3. Uji Pirogen (untuk volume sekali penyuntikan > 10 mL) (FI IV, 908-909)
Tujuan : untuk membatasi resiko reaksi demam pada tingkat yang dapat
diterima oleh pasien pada pemberian sediaan injeksi.
Prinsip : pengukuran kenaikan suhu kelinci setelah penyuntikan larutan uji
secara IV dan ditujukan untuk sediaan yang dapat ditoleransi dengan uji kelinci
dengan dosis penyuntikan tidak lebih dari 10 mL/kg bb dalam jangka waktu
tidak lebih dari 10 menit.
Hasil
: setiap penurunan suhu dianggap nol. Sediaan memenuhi syarat bila
tak seekor kelinci pun menunjukkan kenaikan suhu 0,5 atau lebih. Jika ada
kelinci yang menunjukkan kenaikan suhu 0,5 atau lebih lanjutkan pengujian
dengan menggunakan 5 ekor kelinci. Jika tidak lebih dari 3 ekor dari 8 ekor
kelinci masing-masing menunjukkan kenaikan suhu 0,5 atau lebih dan jumlah
kenaikan suhu maksimum 8 ekor kelinci tidak lebih dari 3,3 sediaan dinyatakan
memenuhi syarat bebas pirogen.
4. Penetapan Potensi Antibiotik (khusus jika zat aktif antibiotik) (FI IV, 891-899)
Tujuan : untuk memastikan aktivitas antibiotik tidak berubah selama proses
pembuatan larutan dan menunjukkan daya hambat antibiotik terhadap mikroba.

Prinsip : Pengukuran hambatan pertumbuhan biakan mikroba oleh antibiotik


dalam sediaan yang ditambahkan ke dalam media padat atau cair yang
mengandung biakan mikroba berdasarkan metode lempeng atau metode
turbidimetri.
Penafsiran hasil : Potensi antibiotik ditentukan dengan menggunakan metode
garis lurus transformasi log dengan prosedur penyesuaian kuadrat terkecil dan uji
linieritas (FI IV,hal 898). Harga KHM yang makin rendah, makin kuat potensinya.
Pada Umumnya antibiotik yang berpotensi tinggi mempunyai KHM yang rendah
dan diameter hambat yang besar

Pengujian stabilitas obat jadi


Untuk mendapatkan data stabilitas zat aktif dapat dilakukan uji stabilitas sebagai
-

berikut:
Uji stabilitas yang dilakukan disesuaikan dengan zona iklim dan persyaratan yang
berlaku di negara masing-masing. Indonesia dan ASEAN termasuk zona iklim ke

IV (daerah panas dan lembab).


- Uji stabilitas terdiri atas uji stablitas zat aktif dan sediaan, untuk pengujian stabilitas
zat aktif dilakukan apabila tidak terdapat data stabilitas pustaka. Pengujian zat aktif
dapat dilakukan dengan menggunakan uji stabilitas dipercepat pada 3 suhu di atas
suhu kamar (40C, 50C, 60C).
Tipe uji stabilitas
dipercepat

Kondisi penyimpanan
Interval waktu pengujian
Climax chamber pada suhu Bulan 1, 2, 3, 4, 5, 6
40C, 50C, 60C RH 75% +
5%

Uji stabilitas tersebut berguna untuk mendapatkan penentuan waktu kadaluarsa dan
membantu dalam preformulasi sediaan,
(USP 32, hal 2495)
Florey, K. 1977. Analytical Profiles Of Drug Substances. Volume 6. New York:
Academic Press. P: 5, 13, 14, 17.

Galichet, L. Y. 2005. Clarke's Analysis of Drugs and Poisons.

London:

Pharmaceutical Press.
Japanese Pharmacopoeia, 2006. P : 1524
British Pharmacopoeia,2009. P: 368-369
USP. 2007. P:2495
FI IV hal 101-102, 855-863, 891-899, 905-909, 981-985, 998-1001, 1039-1040, 1044
Agoes, G. Larutan Parenteral. Hal 191, 201-203.

Você também pode gostar