Você está na página 1de 24

BAB I

LAPORAN PENDAHULUAN
A. Konsep Dasar
1. Pengertian
Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat (ssp) yang dicirikan
oleh terjadinya bangkitan yang bersifat spontan dan berkala. Bangkitan
dapat diartikan sebagai modifikasi

fungsi

otak

yang

bersifat

mendadak dan sepintas, yang berasal dari sekelompok besar sel-sel


otak, bersifat singkron dan berirama. Istilah epilepsi tidak boleh
digunakan untuk bangkitan yang terjadi hannya sekali saja, misalnya
kejang pada hipo glikem (Harsono.2007)
Epilepsi ialah manifestasi gangguan otak dengan berbagai etiologi namun
dengan gejala tunggal yang khas, yaitu serangan berkala yang disebabkan
oleh lepas muatan listrik neuron kortikal secara berlebihan (Mardjono,
2009). Sedangkan menurut Muttaqin (2011), saat ini penyebab epilepsi
masih idiopatik, namun ada beberapa faktor predisposisi penyebab
epilepsi. Faktor predisposisi tersebut antara lain: Pasca trauma
kelahiran,asfiksia
tinggi,riwayat

neonatorum,pascacedera
keturunan

kepala,riwayat

demam

gangguan

sirkulasi

epilepsi,riwayat

serebral,riwayat gangguan metabolisme dan nutrisi,riwayat intoksikasi


obata-obatan atau alkohol,riwayat tumor otak, abses, dan kelainan bentuk
bawaan,riwayat

penyakit

keracunan,riwayat

infeksi

ibu-ibu

yang

pada
risiko

masa

anak-anak,riwayat

tinggi,riwayat

ibu

yang

menggunakan obat antikonvulsan selama kehamilan.


Epilepsi merupakan penyakit pada otak akibat peningkatan krentanan
selneuron terhadap kejadian kejang epileptic yang berdampak pada aspek
neurologis, psikologis, kognitif, dan social individu serta merupakan
gejala

kompleks

dari

banyak

gangguan

fungsi

otak

yang

dikarakteristikkan oleh kejang berulang. Kejang merupakan akibat dari


1

pembebasan listrik yang tidak terkontrol dari sel saraf korteks serebral
yang ditandai dengan serangan tiba-tiba, terjadi gangguan kesadaran
ringan, aktivitas motorik, atau gangguan fenomena sensori (Christanto
dkk, 2014).
2. Etiologi
Adapun penyebab epilepsi, yaitu:
a. Epilepsi Primer (Idiopatik)
Pada sebagian besar pasien, penyebab epilepsi tidak diketahui dan
biasanya pasien tidak menunjukkan manifestasi cacat otak dan
juga tidak bodoh.Sebagian dari jenis idiopatik disebabkan oleh
interaksi beberapa faktor genetik. Gangguan fisiologis ini
melibatkan stabilitas sistem talamik intralaminar dari substansia
kelabu basal dan mencakup reticuler activating system dalam
sinkronisasi lepas muatan. Sebagai akibatnya dapat terjadi
gangguan kesadaran yang berlangsung singkat (absens murni,
petit mal), atau lebih lama dan disertai kontraksi otot tonik-klonik
(tonik-klonik umum, grand mal) Pengaruh faktor genetik atau
hereditas memang ada pada epilepsi, tetapi kecil. Pada epilepsi
idiopatik pengaruh lebih besar. Telah dilakukan beberapa
penelitian anak kembar untuk mengungkapkan hal iniTsuboi dan
Okada mengumpulkan 6 laporan penelitian besar mengenai
epilepsi pada kembaran dan mendapatkan bahwa konkordans
untuk epilepsi ialah 60% bagi kembar telor tunggal dan 13%
untuk kembar telor ganda
b. Epilepsi Sekunder (Simtomatik)
Epilepsi simtomatik terjadi bila fungsi otak terganggu oleh
berbagai kelainan intrakranial atau ekstrakranial. Penyebab
intrakranial misalnya anomali kongenital, trauma otak, neoplasma
otak, lesi iskemia, ensefalopati, abses otak, jaringan parut.
Penyabab yang bermula dari ekstrakranial dan kemudian juga
menggangu fungsi otak, misalnya gagal jantung, gangguan
pernafasan, gangguan metabolisme (hipoglikemia, hiperglikemia,
2

uremia), gangguan keseimbangan elektrolit, intoksikasi obat,


gangguan hidrasi (dehidrasi, hidrasi lebih).Pada ank faktor usia
dan perkembangan ikut mempengaruhi apakah akan ada epilepsi
atau tidak. Bangkitan kejang lebih jarang didapatkan pada bayi
prematur, karena sistim syarafnya belum berkembang, dan lebih
sering dijumpai pada bayi cukup bulan. Bangkitan epilepsi lebih
jarang dijumpai pada usia bulan-bulan pertama, dan sering antara
usia 4 bulan sampai 4 tahun, kemudian menurun frekuensinya
sampai remaja (christanto dkk, 2014).
3. Pathofisiologi/Pathway
Sampai saat ini belum diketahui dengan baik mekanisme terjadinya
bangkitan epilepsy. Namun beberapa faktor yang ikut berperan telah
terungkapkan, misalnya (Batticaca, 2008):
a. Gangguan pada sel neuron
Potensial membrane neuron tergantung pada permeabilitas sel
tersebut terhadap ion natrium dan kalium. Membran neuron
permeable sekali terhadap ion kalium dan kurang permeable
terhadap ion natrium, sehingga didapatkan konsentrasi ion kalium
yang tinggi dan konsentrasi ion kalium yang rendah didalam sel
dalam keadaan normal. Potensial membrane ini dapat terganggu
dan berubah oleh berbagai hal, misalnyaperubahan konsentrasi
ion ekstraseluler, styimulasi mekanik atau kimiawi, penyakit,
jejas, atau pengaruh kelainan genetic. Bila keseimbangan
terganggu, sifat semi permeable berubah, membiarkan ion kalium

dan natrium berdifusi melalui membrane dan mengakibatkan


perubahan kadar ion dan perubahan potensial yang menyertai.
Potensial aksi menyebar sepanjang akson. Konsep ini banyak
dianut pada bangkitan epilepsi saat ini banyak dianut.

b. Gangguan pada mekanisme inhibisi prasinaps dan pasca sinaps


Sel neuron berhubungan sesamanya melaui sinaps-sinaps.
Potensial aksi yang terjadi disatu neuron dihantar melalui
neurakson yang kemudian membebaskan zat transmitter pada
sinaps,

yang

mengekstasi

atau

mengekshibisi

membrane

pascasinaps. Transmiter ekstasi (asetilkolin, glitamic acid)


mengakibatkan depolarisasi; zat transmitter inhibisi(GABA atau
Gama Amino Butyric Acid, glisin) menyebabkan hiperpolarisasi
neuron penerimanya. Jadi satu impuls dapat mengakibatkan
stimulasi atau inhibisi pada transmitter sinaps. Pada keadaan
normal terdapat keseimbangan antara inhibisi dan ekshibisi,
gangguan terhadap keseimbangan ini dapat mengakibatkan
kejang. Efek inhibisi adalah miningkatkan polarisasi membrane
sel. Kegagalan mekanisme inhibisi mengakibatkan terjadinya
lepas muatan listrik yang berlebihan. Gangguan sintesis GABA
mengakibatkan perubahan keseimbangan eksitasi-inhibisi, dan
ekstasi lebih unggul dan dapat menimbulkan bangkitan kejang
c. Sel glia
4

Sel glia diduga sebagai fungsi untuk mengatur ion kalium


ekstraseluler disekitar neuron dan terminal presinaps. Pada gliosis
atau cidera, fungsi glia yang mengatur konsentrasi ion kalium
ekstraseluler

terganggu

dan

mengakibatkan

meningkatnya

ekstabilitas sel neuron disekitarnya. Rasio yang tinggi antara


kadar ion kalium ekstraseluler dapat mendepolarisasi membrab
neuron. Didapatkan waktu kejang ion kalium meningkat 5 kali
atau lebih dicairan interstitial yang mengitari neuron. Waktu ion
kalium diserap oleh astrolgia cairanpun ikut diserap dan sel
astrolgia menjadfi bengkak(edema), ini merupakan gambaran
yang terhadap meningkatnya ion kalium ekstraseluler, baik yang
disebabkan oleh hiperaktifitas neural, maupun akibat iskemia
serebral.Para penyelidik sependapat bahwa sebagian besar
bangkitan epilepsy berasal dari sekelompok sel neuron yang
abnormal diotak, yang terlepas muatan listrik secara berlebih dan
hipersinkron. Kelompok sel neuron yang abnormal ini disebut
focus epileptikus, mendasari semua jenis epilepsy baik fokal
maupun umum. Bila sekelompok sel neuron tercetus dalam
aktifitas listrik berlebihan, maka didapatkan 3 kemungkinan:
1) Aktifitas ini tidak menjalar kesekitarnya, melainkan
terlokalisasi pada kelompok neuron tersebut, kemudian
berhenti.

2) Aktifitas menjalar sampai jarak tertentu, namun tidak


melibatkan seluruh otak
3) Aktifitas menjalar keseluruh otak kemudian berhenti.
4) Pada keadaan 1 dan 2 didapatkan bangkitan epilepsy
fokal(parsial), sedang pada keadaan 3 didapatkan kejang
umum.

PATHWAY

Ketidak seimbangan
neurotransmitter otak

Asetilkolin

GABA

Hiperpolarisasi
Depolirasasi
meningkat
Exitabilitas otak
menurun

Kejang

Penyakit metabolik

1. Risiko cidera berhubungan dengan


aktivitas kejang.
2. Defisiensi pengetahuan pada keluarga
berhubungan dengan kurangnya sumber
informasi
3. Ketidakmampuan koping keluarga

berhubungan dengan kekhawatiran orang


terdekat pasien

4. Tanda dan Gejala


Manifestasi dari epilepsi, yaitu:
a.Sawan Parsial (lokal, fokal)
1) Sawan Parsial Sederhana : sawan parsial dengan kesadaran
tetap normal
a) Dengan gejala motorik:
7

(1) Fokal motorik tidak menjalar: sawan terbatas pada


satu bagian tubuh saja
(2) Fokal motorik menjalar : sawan dimulai dari satu
bagian tubuh dan menjalar meluas ke daerah lain.
Disebut juga epilepsi Jackson.
(3) Versif : sawan disertai gerakan memutar kepala,
mata, tubuh.
(4) Postural : sawan disertai dengan lengan atau
tungkai kaku dalam sikap tertentu
(5) Disertai gangguan fonasi : sawan disertai arus
bicara yang terhenti atau pasien mengeluarkan
bunyi-bunyi tertentu
b) Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial;
sawan disertai halusinasi sederhana yang mengenai
kelima panca indera dan bangkitan yang disertai
vertigo.
(1) Somatosensoris: timbul rasa kesemuatan atau
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

seperti ditusuk-tusuk jarum.


Visual : terlihat cahaya
Auditoris : terdengar sesuatu
Olfaktoris : terhidu sesuatu
Gustatoris : terkecap sesuatu
Disertai vertigo

c) Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom


(sensasi epigastrium, pucat, berkeringat, membera,
piloereksi, dilatasi pupil).
d) Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur)
(1) Disfagia : gangguan bicara, misalnya mengulang
suatu suku kata, kata atau bagian kalimat.
(2) Dimensia : gangguan proses ingatan misalnya
merasa seperti sudah mengalami, mendengar,
melihat, atau sebaliknya. Mungkin mendadak

mengingat suatu peristiwa di masa lalu, merasa


seperti melihatnya lagi.
(3) Kognitif : gangguan orientasi waktu, merasa diri
berubah.
(4) Afektif : merasa sangat senang, susah, marah,
takut.
(5) Ilusi : perubahan persepsi benda yang dilihat
tampak lebih kecil atau lebih besar.
(6) Halusinasi kompleks (berstruktur) : mendengar ada
yang bicara, musik, melihat suatu fenomena
tertentu, dll.
2) Sawan Parsial Kompleks (disertai gangguan kesadaran)
a) Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran :
kesadaran mula-mula baik kemudian baru menurun.
(1) Dengan gejala parsial sederhana {a1). - a4).} :
gejala-gejala seperti pada golongan {a1). - a4).}
diikuti dengan menurunnya kesadaran.
(2) Dengan

automatisme,

yaitu

gerakan-gerakan,

perilaku yang timbul dengan sendirinya, misalnya


gerakan mengunyah, menelan, raut muka berubah
seringkali seperti ketakutan,

menata sesuatu,

memegang kancing baju, berjalan, mengembara tak


menentu, dll.
b) Dengan penurunan kesadaran sejak serangan; kesadaran
menurun sejak permulaan kesadaran.
(1) Hanya dengan penurunan kesadaran
(2) Dengan automatisme
3) Sawan Parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum
(tonik-klonik, tonik, klonik)

a) Sawan parsial sederhana yang berkembang menjadi


bangkitan umum.
b) Sawan parsial kompleks yang berkembang menjadi
bangkitan umum.
c) Sawan parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial
kompleks lalu berkembang menjadi bangkitan umum.
b. Sawan Umum (Konvulsif atau NonKonvulsif)
1) Sawan lena (absence)
Pada sawan ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti,
muka tampak membengong, bola mata dapat memutar ke
atas, tak ada reaksi bila diajak bicara. Biasanya sawan ini
berlangsung selama menit dan biasanya dijumpai pada
anak.
2) Lena tak khas (atipical absence)
Gangguan tonus yang lebih jelas serta permulaan dan
berakhirnya bangkitan tidak mendadak.
3) Sawan Mioklonik
Pada sawan mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar,
dapat kuat atau lemah sebagian otot atau semua otot,
seringkali atau berulang-ulang. Bangkitan ini dapat dijumpai
pada semua umur.
4) Sawan Klonik
Pada sawan ini tidak terjadi gerakan menyentak, repetitif,
tajam, lambat, dan tunggal multiple di lengan, tungkai atau
torso. Dijumpai terutama sekali pada anak.
5) Sawan Tonik
Pada sawan ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya
menjadi kaku pada wajah dan bagian tubuh bagian atas, flaksi
lengan dan ekstensi tungkai. Sawan ini juga terjadi pada anak.
10

6) Sawan Tonik-Klonik
Sawan ini sering dijumpai pada umur di atas balita yang
terkenal dengan nama grand mal. Serangan dapat diawali
dengan aura, yaitu tanda-tanda yang mendahului suatu sawan.
Pasien mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh badan kaku.
Kejang kaku berlangsung kira-kira menit diikuti
kejang-kejang kelojot seluruh tubuh. Bangkitan ini biasanya
berhenti sendiri. Tarikan napas menjadi dalam beberapa saat
lamanya. Bila pembentukan ludah ketika kejang meningkat,
mulut menjadi berbusa karena hembusan napas. Mungkin
pula pasien kencing ketika mendapat serangan. Setelah kejang
berhenti pasien tidur beberapa lamanya, dapat pula bangun
dengan kesadaran yang masih rendah, atau langsung menjadi
sadar dengan keluhan badan pegal-pegal, lelah, nyeri kepala.
7) Sawan atonik
Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas
sehingga pasien terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau
menurun sebentar. Sawan ini terutama sekali dijumpai pada
anak.

c. Sawan Tak Tergolongkan


Termasuk golongan ini ialah bangkitan pada bayi berupa gerakan
bola mata yang ritmik, mengunyah, gerakan seperti berenang,
menggigil, atau pernapasan yang mendadak berhenti sederhana.
(christanto dkk, 2014).
5. Pemeriksaan Penunjang
a. EEG (elektroensefalogram).
Pemeriksaan EEG sangat berguna membantu kita menegagagkan
diagnose epilepsy, bila ditemukan aktivitas epilepsiform pada periode
11

inter-iktal atau abnormalitas fokal. Rekaman EEG dikatakan


abnormal bila terdapat:
1) Asimetris Irama dan voltase gelombang pada daerah yang
sama dikedua hemisfer otak.
2) Irama gelombang tidak teratur
3) Irama gelombang lebih lambat dibanding seharusnya mis:
gelombang delta.
4) Adanya gelombang yang tidak biasanya terdapat pada anak
normal, misalnya: gelombang tajam,paku(spke), paku ombak,
paku majemuk, dan gelombang lambat yang tibul secara
paroksismal.
b. EKG (elektrokardiogram) dilakukan untuk mengetahui adanya
kelainan irama jantung sebagai akibat dari tidak adekuatnya aliran
darah ke otak, yang bisa menyebabkan seseorang mengalami
pingsan.
c. Pemeriksaan CT scan dan MRI dilakukan untuk menilai adanya
tumor atau kanker otak, stroke, jaringan parut dan kerusakan
karena cedera kepala.
d. Kadang dilakukan pungsi lumbal utnuk mengetahui apakah telah
terjadi infeksi otak.
e. Pemeriksaan darah
Kelainan-kelainan darah tertentu dapat menyebabkan serangan
epilepsi,

misalnya

sikle

cell,polisitemia

dan

leukemia.

Pemeriksaan gula darah,elektrolit darah ureum perlu dilakukan


atas dasar indikasi. Misalnya serangan spasme infantil dapat
disebabkan oleh karena hipoglikemia.Pemerikasaan TORCH.
f. Pemeriksaan urin
Kadang kadang serangan epilepsi juga disebabka oleh kelainan
fingsi ginjal yang dapat dideteksi dengan pemeriksaan urin untuk
mengetahui asam amino dalam urine
5. Pengobatan
Pengobatan yang diberikan pada epilepsi jika penyebabnya adalah tumor,
infeksi atau kadar gula maupun natrium yang abnormal, maka keadaan
tersebut harus diobati terlebih dahulu. Jika keadaan tersebut sudah
12

teratasi, maka kejangnya sendiri tidak memerlukan pengobatan. Jika


penyebabnya tidak dapat disembuhkan atau dikendalikan secara total,
maka diperlukan obat anti-kejang untuk mencegah terjadinya kejang
lanjutan. Sekitar sepertiga penderita mengalami kejang kambuhan,
sisanya biasanya hanya mengalami 1 kali serangan.
Obat-obatan biasanya diberikan kepada penderita yang mengalami kejang
kambuhan (Nurarif & Kusuma, 2015)
Obat

Jenis epilepsi

Efek samping yg mungkin


terjadi

Karbamazepin

Generalisata, parsial

Jumlah sel darah putih & sel


darah merah berkurang

Etoksimid

Petit mal

Jumlah sel darah putih & sel


darah merah berkurang

Gabapentin

Parsial

Tenang

Lamotrigin

Generalisata, parsial

Ruam kulit

Fenobarbital

Generalisata, parsial

Tenang

Fenitoin

Generalisata, parsial

Pembengkakan gusi

Primidon

Generalisata, parsial

Tenang

Valproat

Kejang infantil, petit mal

Penambahan berat badan,


rambut rontok

6. Perawatan
Tindakan yang dapat dilakukan, antara lain:
a. Jangan panik karena serangan akan berhenti sendiri
b. Bebaskan jalan nafas, longgarkan baju
c. Bila mulut terbuka, masukkan bahan empuk diantara gigi
d. Bila mulut tertutup jangan dibuka paksa
13

e. Miringkan kepala agar ludah keluar


f. Jangan memberi minum sebelum klien benar-benar sadar

B. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Perawat mengumpulkan informasi tentang riwayat kejang pasien. Pasien
ditanyakan tentang faktor atau kejadian yang dapat menimbulkan kejang.
Asupan alkohol dicatat. Efek epilepsi pada gaya hidup dikaji: Apakah ada
keterbatasan yang ditimbulkan oleh gangguan kejang? Mekanisme
koping apa yang digunakan? Obsevasi dan pengkajian selama dan setelah
kejang akan membantu dalam mengindentifikasi tipe kejang dan
penatalaksanaannya
a. Selama serangan :
1) Apakah ada kehilangan kesadaran atau pingsan.
2) Apakah ada kehilangan kesadaran sesaat atau lena.
3) Apakah pasien menangis, hilang kesadaran, jatuh ke
lantai.
4) Apakah disertai komponen motorik seperti kejang tonik,
kejang klonik, kejang tonik-klonik, kejang mioklonik,
kejang atonik.
5) Apakah pasien menggigit lidah.
6) Apakah mulut berbuih.
7) Apakah ada inkontinen urin.
8) Apakah bibir atau muka berubah warna.
9) Apakah mata atau kepala menyimpang pada satu posisi.
10) Berapa lama gerakan tersebut, apakah lokasi atau sifatnya
berubah pada satu sisi atau keduanya.
b. Sesudah serangan
1) Apakah pasien : letargi , bingung, sakit kepala, otot-otot
sakit, gangguan bicara
2) Apakah ada perubahan dalam gerakan.
3) Sesudah serangan apakah pasien masih ingat apa yang
terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan.
14

4) Apakah terjadi perubahan tingkat kesadaran, pernapasan


atau frekuensi denyut jantung.
5) Evaluasi kemungkinan terjadi cedera selama kejang.
c. Riwayat sebelum serangan
1) Apakah ada gangguan tingkah laku, emosi.
2) Apakah disertai aktivitas otonomik yaitu berkeringat,
jantung berdebar.
3) Apakah ada aura yang mendahului serangan, baik sensori,
auditorik, olfaktorik maupun visual.
d. Riwayat Penyakit
1) Sejak kapan serangan terjadi.
2) Pada usia berapa serangan pertama.
3) Frekuensi serangan.
4) Apakah ada keadaan yang mempresipitasi serangan,
seperti demam, kurang tidur, keadaan emosional.
5) Apakah penderita pernah menderita sakit berat, khususnya
yang disertai dengan gangguan kesadaran, kejang-kejang.
6) Apakah pernah menderita cedera otak, operasi otak
7) Apakah makan obat-obat tertentu
8) Apakah ada riwayat penyakit yang sama dalam keluarga.
(Nurarif & Kusuma, 2015).
e. Pemeriksaan Fisik
1) B1: Breath
Dipnoe, sesak nafas, peningkatan frekuensi nafas sampai
apnoe,slem banyak karena hipersalivasi.
2) B2: Blood
Penurunan nadi, hipertensi, acral dingin, CT > dari 2 detik,
sianosis, suhu tubuh kadang tinggi bila pemicunya infeksi.
15

3) B3: Brain
Sakit kepala,

migren, kejang berulang, penurunan

kesadaran,gelisah, gangguan sensori penglihatan (seperti


melihat kilatan cahaya), dan sensori penghidu (membau
yang aneh)
4) B4: Blader
Inkontinensia urine, peningkatan tekanan kandung kemih
dan tonus spinkter.
5) B5: Bowel
Inkontinensia feses, nyeri perut, resistensi terhadap
makanan mual muntah
6) B6: Bone
Kejang, peningkatan tonus otot,Penurunan tonus otot,nyeri
otot dan punggung, gerakan involunter, kerusakan jaringan
lunak dan gigi.
7) B7 Breast
Seksualitas Semua data tentang kondisi seksualitas ibu dan
anak,
8) B8 Bonding Attachment Data tentang tumbuh kembang
dan psikologi orang tua dan anak
9) B9 Behavior And Community
Data tentang tingkah laku dan sosialisasi orang tua dan
anak
16

10) B10 Blood Examination


Data penunjang dari hasil pemeriksaan darah
2. Diagnosa
a. Diagnosa pertama: Risiko cidera berhubungan dengan aktivitas
kejang.
b. Defisiensi pengetahuan pada keluarga berhubungan dengan
kurangnya sumber informasi
c. Ketidakmampuan koping keluarga
kekhawatiran orang terdekat pasien

17

berhubungan

dengan

3. Perencanaan
4.

10.

5. DIAGNOSA
KEP/MASA
LAH
KOLABOR
ATIF

11.

Risiko

berhubungan
aktivitas
rumah

kejang

cidera

6. TUJ
UA
N
DA
N
KRI
TER
IA
HAS
IL

7. RENCANA
TINDAKAN

12. Tuju

dengan

an:

ketikadi

Risi
ko
cider

14. Monitoring

dan 1. Untuk mengetahui

evaluasi

perkembangan

pasien
1. Observasi keadaan klien 2. pasien kejang akan
dan intensitas kejang
kehilangan
15. Nursing treatment:

a
Ana

8. RASION
AL

koordinasi otot
sehingga dapat

2. Lindungi
trauma

akan

dengan

men

klien
atau

dari
kejang

trauma
memasang 3. Melindungi pasien

pengaman tempat tidur

urun
18

menyebabkan

bila kejang terjadi


4. Mengurangi risiko

9.

18.

ketik

3. Anjurkan keluarga agar

mempersiapkan

keja

lingkungan yang aman

ng

seperti

dan alat suction selalu

Anak terbebas

berada

dari cidera
Keluarga dapat

pasien

dengan

cara mencegah

mempertahankan bedrest

cidera
Keluarga dapat

total selama fase akut

faktor penyebab
cidera
Memodifikasi
gaya hidup
menghindari

cidera
6. Untuk efektifan
jalan nafas agar
lidah tidak jatuh ke
belakang
7. keadaan kejang
mengakibatkan
penurunan
kesadaran agar tidak

tua tentang penata

ikuti gerakan anak

bantalan lunak dikepala


6. Memasang spatel lunak
seperti kayu atau dengan
kasaketika anak kejang
19

megurangi risiko

terjadi cidera maka

5. Atur posisi aman beri

cidera
Menggunakan

jika kejang
5. Posisi nyaman

16. HE kepada orang


laksanaan kejang:

untuk

dekat

4. Anjurkan

menjelaskan

tempat

tidur, papan pengaman,

13. KH:

menjelaskan

batasan

jatuh atau terluka

kejang
8. Terapi medikasi
untuk mengontrol
menurunkan respons
kejang berulang

fasilitas

dan

jangan

memberi

kesehatan yang

spatel logam agar gigi

ada
Mamapu

anak tidak tanggal


7. Jangan merubah posisi

mengenali
perubahan status

yang

kesehatan

kejang

melawan

saat

17. Kolaborasi:
8. pemberian

fenitoin

(dilantin )
19.

20.

Defisiensi

21. Tuju

pengetahuan pada keluarga

an:

berhubungan

dengan

Kelu

kurangnya

sumber

arga

informasi

24. Monitoring
evaluasi

dapat keluarga
tentang 2. Dengan berpikir
pemahaman
keluarga
sendiri lebih
tentang penyakit anaknya
mempermudah

aha

25. Nursing treatment:

mi
dijel

pemahaman yang di

1. Menilai

mem

yang

dan 1. Untuk mengetahui

2. Dukung keluarga untuk


mendapatkan

aska
20

pendapat

pemahanan
3. Pengetahuan yang
lebih mempermudah
pengawasan

28.

yang baru dengan cara

pera

yang

wat/t

indiksikan

di

tepat dan cepat

26. HE:

risiko

3. Jelaskan pengertian dari

penyakit anaknya, tanda-

tenta

tandanya

ng

pencegahannya

peny
anak

dan

27. Kolaborasi:

akit

4. Intruksikan keluarga jika


ada tanda-tanda kejang ke

nya

tenaga

22. KH:
-

dan

mengurangi banyak

enag
medi

tepat

padaanak yang sakit


4. Penanganan yang

kesehatan

pelayanan
terdekat.

Keluarga dapat
menjelaskan
kembali apa
yang dijelaskan
perawat/tenaga

21

atau

kesehatan

5.

medis lainnya
Postur
tubuh,ekspresi
wajah

23.
29.

30.

Ketidakmampuan

koping
berhubungan

31. Tuju

keluarga

33. Monitoring

an:

dengan

Kelu

kekhawatiran orang terdekat

arga

pasien

men

evaluasi

34. Nursing treatment:

efekt

mengungkapkan apa yang

membantu keluarga

dirasakan.

memahami kondisi
dan keterbatasan

35.

if

yang diakibatkan
oleh epilepsi
4. beberapa klien

36. HE:

32. KH:
Keluarga dapat

menumbuhkan

koping pada anak


3.
konseling akan
2. Dukung keluarga untuk

yang

diasingkan dari

berbagai aktifitas
asing,depresi dan tidak 2. Dengan terbuka
pasti dengan
keluarga bisa

kan
ng

1. Dengan setatus
epilpsi biasanya

1. Mengkaji,perasaan takut,

unju
kopi

dan

3. Melakukan

konseling

terhadap keluarga dengan

mengidentifikas

rasional
22

epilepsi dapat
mengalami masalah

39.

i koping yang

37. Kolaborasi:

efektif
Keluarga dapat

4. Konsultasi dan Mengkaji

mengidentifikas

adanya

i strategi koping

psikologis

psikologis yang

masalah

dapat disebabkan
oleh kerusakan otak
38.

seperti

skizofrenia dan implusif


atau perilaku cepat marah.

40.DAFTAR PUSTAKA
41.
42.
43.
44.
45.
46.
47.
48.
49.
50.

Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persyarafan. Jakarta:
Salemba Medika
Harsono. 2007. Epilepsi Edisi Kedua.Yogyakarta:Gadjah Mada University Press.
Fransisca B. Batticaca. 2008. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem Persyarafan. Jakarta:
Salemba Medika.
Mardjono, Mahar. (2009). Neurologis Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat
Nuratif Amin H & Kusuma H. 2012. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis & Nanda NIC-NOC.
23

Jakarta: Medi Action


51.
52.
53.

Tanto, Chris. 2014. Kapita Selekta Kedokteran edisi IV. Jakarta : Media Aesculapius.

54.

55.

24

Você também pode gostar