Você está na página 1de 7

Alergi Obat

Alergi obat merupakan salah satu reaksi simpang obat yang


diperantarai oleh mekanisme imunologi. Mekanisme yang mendasari
alergi obat dapat berupa reaksi hipersensitivitas tipe 1, 2, 3, atau 4.
Alergi obat memerlukan paparan sebelumnya dengan obat yang
sama atau terjadi akibat reaksi silang.
Pemberian label alergi obat pada anak sering menyebabkan
penghindaran obat tertentu sepanjang hidup. Diagnosis alergi obat
pada anak sulit karena kesulitan melakukan tes kulit pada anak. Hal ini
sering menyebabkan overdiagnosis alergi obat pada anak.

Beberapa survei yang cukup besar menunjukkan prevalens alergi


obat pada anak berkisar antara 2,8% sampai 7,5%. Penelitian metaanalisis pada 17 studi prospektif menunjukkan proporsi penderita
rawat inap karena alergi obat sekitar 2,1%, 39,3% merupakan reaksi
yang mengancam jiwa. Insidens reaksi simpang obat pada anak
yang dirawat di rumah sakit sekitar 9,5% dan pada penderita rawat
jalan sekitar 1,5%.
Faktor risiko
Faktor risiko yang terpenting adalah riwayat alergi sebelumnya
dengan obat yang sama. Pemberian parenteral dan topikal lebih
sering menyebabkan sensitisasi. Dosis tunggal yang besar lebih
jarang menimbulkan sensitisasi daripada pemberian yang sering dan
lama. Usia dewasa muda lebih mudah bereaksi daripada bayi atau
usia tua. Predisposisi atopi tidak meningkatkan kemungkinan
terjadinya alergi obat, tetapi dapat menyebabkan reaksi alergi yang
lebih berat. Infeksi virus tertentu seperti HIV, Herpes, EBV, dan CMV
meningkatkan kemungkinan terjadinya alergi obat.

Diagnosis
Anamnesis
Anamnesis yang terperinci merupakan tahap awal terpenting untuk
membuat diagnosis alergi obat. Anamnesis meliputi formulasi obat,
dosis, rute, dan waktu pemberian (Tabel 1). Selain itu harus
ditanyakan perjalanan, awitan, dan hilangnya gejala. Catatan medik
dan keperawatan harus diperiksa untuk mengkonfirmasi hubungan
antara obat dan gejala yang timbul. Riwayat alergi terhadap obat

yang sama atau satu golongan harus ditanyakan.

Pedoman Pelayanan Medis 1

Pemeriksaan fisis
Pemeriksaan fisis yang teliti dapat menentukan mekanisme yang
mendasari reaksi obat.
Reaksi obat dapat terjadi sistemik atau mengenai satu atau
beberapa organ (Tabel 2). Kulit merupakan organ yang sering
terkena.
Pemeriksaan penunjang
Tes kulit dapat memberikan bukti adanya sensitisasi obat, terutama
yang didasari oleh reaksi tipe 1 (IgE mediated). Namun demikian
sebagian besar obat tidak diketahui imunogen yang relevan
sehingga nilai prediktif tes kulit tidak dapat ditentukan. Penisilin
merupakan obat yang sudah dapat ditentukan metabolit
imunogennya. Tes kulit dapat berupa skin prick test (SPT) atau tes
intradermal. Tes intradermal lebih sensitif tapi kurang spesifik
dibandingkan SPT. Pemeriksaan penunjang lainnya antara lain: IgE
spesifik, serum tryptase, dan cellular allergen stimulation test
(CAST).
Tes Kulit
Tes kulit untuk preparat penisilin diperlukan metabolit imunogennya,
major antigenic determinant yaitu penicylloil. Preparat penicylloil
untuk tes kulit dijual dengan nama dagang Pre-Pen, sayangnya
preparat ini belum ada di Indonesia sehingga tes kulit terhadap
penisilin tidak dapat dilakukan di Indonesia.
Untuk obat dan antibiotika yang lain, belum ada preparat khusus untuk
tes kulit. Untuk beberapa jenis antibiotika yang sering digunakan dan
kita ragu apakah pasien alergi atau tidak, dapat dilakukan tes kulit
dengan pengenceran yang tidak menimbulkan iritasi (nonirritating
concentration). Meskipun demikian, tes kulit untuk diagnosis alergi obat
terutama antibiotika tidak dianjurkan karena nilai prediksi rendah.
Kalau hasil tes positif, masih mungkin alergi terhadap obat tersebut,
tetapi kalau negatif belum tentu tidak alergi.

Graded Challenge
Graded challenge, tes provokasi dengan dosis yang ditingkatkan,
dilakukan dengan hati-hati pada pasien yang diragukan apakah
alergi terhadap sesuatu obat atau tidak. Tes provokasi ini biasanya
dilakukan secara oral. Anak yang jelas dan nyata menunjukkan
reaksi yang berat setelah terpajan dengan obat, tidak dilakukan tes
provokasi ini.
Graded challenge biasanya aman untuk dikerjakan, tetapi tetap

dengan persiapan untuk mengatasi bila terjadi reaksi anafilaksis.


Biasanya dosis dimulai dengan 1/10 sampai 1/100 dari dosis penuh
dan dinaikkan 2 sampai 5 kali lipat setiap setengah jam, sampai
mencapai dosis penuh. Bila pada waktu peningkatan dosis terjadi
reaksi alergi, maka tes dihentikan dan pasien ditata laksana seperti
prosedur pengatasan reaksi alergi.
Tes provokasi dilakukan bila pemeriksaan lain negatif dan diagnosis
alergi obat masih meragukan. Tujuan tes ini adalah untuk
menyingkirkan sensitifitas terhadap obat dan menegakkan diagnosis
alergi obat.
2

Alergi Obat

Tata laksana
-- Menghentikan obat yang dicurigai
-- Mengobati reaksi yang terjadi sesuai manifestasi klinis (antara lain
lihat Bab Urtikaria dan Angioedema) .
-- Mengidentifikasi dan menghindari potential cross-reacting drugs
-- Mencatat secara tepat reaksi yang terjadi dan pengobatannya
-- Jika memungkinkan, identifikasi pilihan pengobatan lain yang
aman
-- Jika dibutuhkan pertimbangkan desensitisasi. Desensitisasi
dilakukan dengan memberikan alergen obat secara bertahap
untuk membuat sel efektor menjadi kurang reaktif. Prosedur ini
hanya dikerjakan pada pasien yang terbukti memiliki antibodi IgE
terhadap obat tertentu dan tidak tersedia obat alternatif yang
sesuai
untuk
pasien
tersebut.
Protokol
spesifik
telah
dikembangkan untuk masing-masing obat. Prosedur ini harus
dikerjakan di rumah sakit dengan peralatan resusitasi yang
tersedia lengkap dan berdasarkan konsultasi dengan dokter
konsultan alergi.

Kepustakaan
1.

Boguniewicz M, Leung DYM. Adverse reactions to drugs. Dalam: Kliegman RM,


Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, editor. Nelson textbook of pediatrics. 18th ed .
Philadelphia: Saunders; 2007. h. 990-3.

2.
3.
4.

5.

Rebelo GE, Fonseca J, Araujo L, Demoly P. Drug allergy claims in children:


from self reporting to confirmed diagnosis. Clin Exp Allergy 2008; 38;191-8
Orhan F, Karakas T, Cakir M et al,. Parental-reported drug allergy in 6 to 9 yr
old urban school children. Pediatr Allergy Immunol 2008; 19;82-5
Lange L, Koningsbruggen SV, Rietschel E. Questionnaire-based survey of
lifetime-prevalence and character of allergic drug reactions in German
children. Pediatr Allergy Immunol 2008; 19;634-8

Impicciatore P, Choonara I, Clarkson A, Provasi D, Pandolfini C, Bonati M. Incidence of


adverse drug

reactions in pediatric in/out-patients: a systematic review and meta-analysis of


prospective studies. Br J Clin Pharmacol 2001; 52;77-83
6. Brockow K, Romano A, Blanca M, Ring J, Pichler W, Demoly P. General
considerations for skin test procedures in the diagnosis of drug
hypersensitivity. Allergy 2002; 57;45-51
7. Aberer W, Bircher A, Romana A et al,. Drug provocation testing in the
diagnosis of drug hypersensitivity reactions: general considerations. Allergy
2003; 58;854-63
8. Mirakian R, Ewan PW, Durham SR et al,. BSCAI guidelines for the management
of drug allergy. Clin
Exp Allergy 2009; 39;43-61
9.

Solensky R, Mendelson LM. Drug allergy and anaphylaxis. Dalam: Leung DYM,
Sampson HA, Geha RS, Szefler SJ, penyunting. Pediatric allergy, principles and
practices. St. Louis: Mosby; 2003. h. 611-23.

Pedoman Pelayanan Medis 3

Tabel 1. Informasi penting yang dibutuhkan pada anak yang dicurigai mengalami alergi
obat
Gambaran terperinci gejala reaksi obat
Lama dan urutan gejala
Terapi yang telah diberikan
Outcome
Hubungan antara waktu pemberian obat dan gejala
Apakah penderita sudah pernah mendapatkan obat yang sama sebelum terapi sekarang?
Berapa lama penderita telah mendapatkan obat sebelum munculnya reaksi?
Kapan obat dihentikan?
Apa efeknya?
Keterangan keluarga atau dokter yang
merawat
Apakah ada foto pasien saat mengalami
reaksi?
Apakah ada penyakit lain yang
menyertai?
Daftar obat yang diminum pada waktu
yang sama
Riwayat sebelumnya
Alergi lainnya
Reaksi obat lainnya
Penyakit lainnya
Tabel 2. Manifestasi klinis reaksi
obat
Reaksi
sistemik

Reaksi
spesifik
pada organ

Anafilaksis
Serum sickness
SLE like
Sclerodermalike
Microscopic polyangiitis

Kulit
Urtikaria/angio-edema

Pemphigus
Purpura
Ruam makula papular
Dermatitis kontak

Drug rash with eosinophilia


systemic
symptoms (DRESS)
Nekrolisis epidermal toksik
Sindrom Steven Johnson

Foto-dermatitis
Acute generalized
exanthematouspustulosis
(AGEP)
Fixed drug eruption (FDE)
Erythema multiforme
Nephrogenic systemic fibrosis

Paru
Asma

Organizing pneumonia (timbulnya


jaringan
granulasi pada saluran napas
distal)

Batuk
Pneumonitis interstisial
Hati
Cholestatic hepatitis
Hepato-cellular hepatitis
Ginjal
Interstitial nephritis
Membranous nephritis
Darah
Anemia hemolitik
Netropenia
Trombositopenia
Jantung
Valvular disease
Musculo-skeletal/neurological
Polymyositis
Myasthenia gravis
Aseptic meningitis

Você também pode gostar